Anda di halaman 1dari 20

www.rajaebookgratis.

com

*)
NASIONALISME INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Oleh: Mestika Zed


Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE)
Fakutas Ilmu-Ilmu Sosial, Universiatas Negeri Padang

www.rajaebookgratis.com

Kemerosotan nasionalisme memiliki banyak bentuk dan semuanya berbahaya.


Bahaya terbesar dari sebuah ”negara-bangsa” yang tengah ditimpa kebangkrutan
nasionalismenya ialah jika kesetiaan tertinggi pengurus negeri tidak lagi kepada negara
dan bangsanya, melainkan lebih kepada mendahulukan kepentingan diri dan
kelompoknya. Dengan begitu prinsip-prinsip nasionaslime dilanggar, kekayaan negara
digerogoti, sementara hak dan kebutuhan dasar rakyat dibiarkan terbengkalai. Hari ini
banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme bangsa dewasa ini benar-benar sedang
sakit. Bahkan, ”negara-bangsa” itu sendiri tengah mengalami sekarat dan seolah tidak
diperlukan lagi.1 Dari tahun ke tahun kesadaran nasionalisme merosot tajam, hanya ada
dalam upacara, pidato-pidato, dan semakin merosot ke dalam retorika ’prosaik’ tanpa
solusi masalah masa kini.2
Tahun lalu, satu abad ”Hari Kebangkitan Nasional” (Harkitnas), diperingati
secara besar-besaran. Tak hanya lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi juga
cukup unik, dan agaknya baru pertama kali terjadi. Presiden SBY menginstruksikan

*)
Makalah ini disampaikan pada Kongres Pancasila, diselenggarakan oleh Universitas Gadjahmada
bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi , Yogyakarta, 30-31 Mei 2009.
1
Lihat misalnya Kenichi Ohmae, The End of The Nation State. The Rise of Regional Economies (New
York, London and Tokyo: The Free Press, 1995).
2
Lihat misalnya, hasil survey ‘jajak pendapat’ Kompas (18 Agustus 2007), berjudul ”Nasionalisme di
atas Papan Global”, menunjukkan kecederungan ini. Sejumlah indikator (a.l. “kebanggaan menjadi orang
Indonesia”, “rasa memiliki”) dan lain-lain, digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran ”nasionalisme”
dan hasilnya amat merisaukan karena merosot tajam dibadingkan dengan survey serupa (2002) sampai
80,8% dalam hubungannya dengan kepemimpinan bangsa dan makin lemahnya nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari (72,9%). Meskipun gambaran ini bukan kesimpulan definitif, melainkan
indikatif, kondisinya memang sudah mencemaskan.

1
www.rajaebookgratis.com

agar peringatan 100 Tahun Harkitnas diperingati sepanjang tahun 2008. Ada juga
kegiatan inti lainnya. Di tiap-tiap provinsi diinstruksikan mengumpulkan ”tanah” dan
”air” dalam jumlah tertentu, kemudian dibawa oleh masing-masing delegasi daerah ke
Jakarta. Semuanya, mulai dari pengambilan ”tanah” dan ”air” di daerah, demikian
penyambutan di Jakarta penuh dengan upacara. Begitulah tiap bulan sepanjang tahun,
kalender Indonesia ditandai tanggal ”merah”. Sebagian besar berkenaan dengan hari
bersejarah. Umumnya diperingati dengan serangkaian upacara. Para pegawai negeri
melakukan apel bendera, sambil mengulang-ulang kegiatan lainnya: lagu kebangsaan,
pembacaan teks Pancasila, berdoa, dan berziarah ke makam pahlawan. Pada moment itu,
peringatan bersejarah merupakan gudang mengenang ’kebesaran’ masa lampau dan
pidato resmi yang diedarkan secara nasional mengulang-ulang kisah sejarah, dengan
retorika yang makin merosot ke dalam kata-kata tanpa solusi masalah masa kini.
Ada apa dengan nasionalisme Indonesia? Apakah kita perlu merumuskan suatu
nasionalisme dalam konteks kekinian? Adakah kemerosotan nasionalisme ke-
Indonesiaan dewasa ini berkaitan erat dengan kuatnya kekuatan tarik menarik antara
globalisasi internasional di satu pihak dan primordialisasi lokal di lain pihak? Apakah
etnonasionalisme betul-betul merupakan ancaman terhadap nasionalisme ke-
Indonesiaan di masa depan? Apakah isu-isu kedaulatan, kemandirian, otonomi, dan
kepribadian dalam konteks globalisme dewasa ini, menyiratkan adanya kekuatan baru
(”neo-imperialisme”/”neokolonialisme”) yang tengah mengancam kemerdeka-an
nation-state NKRI dewasa ini?
Pertanyaan di atas tak syak lagi akan melahirkan lebih banyak pertanyaan
daripada jawaban yang dapat diberikan dalam makalah ini. Namun dengan mencoba
membuka ruang bagi bertukar fikiran tentang isu-isu pokok tertentu, kita mungkin akan
menyadari bahwa kita hanya tahu sedikit daripada yang kita kira. Isu-isu yang
dilontarkan ini sebetulnya bukanlah isu baru sama sekali dan jawabannya sebagian
sudah diketahui. Dengan kesadaran seperti itu, risalah sederhana ini ingin berangkat dari
tesis berikut. Pertama, nasionalisme adalah konsep sejarah dan lahir dari kondisi sejarah
yang spesifik. Tanpa apresiasi sejarah nasionalisme adalah mustahil. Kedua,
nasionalisme ke-Indonesiaan yang lahir sejak awal abad ke-20, pada dasarnya juga
merupakan perjuangan atau pertarungan dalam mengatasi globalisme dan sekaligus

2
www.rajaebookgratis.com

partikularisme lokal. Dan kaum nasionalis sebagai pemimpin bangsa pada zamannya
relatif berhasil mengatasinya. Izinkan saya mulai dari persoalan pertama.

Nasionalisme sebagai Sebuah Memori Sejarah.


Otak manusia memerlukan akurasi, sementara jiwa membutuhkan makna
(meaning). Sejarah melayani keduanya lewat memori. Jika embrio nasionalisme
terbentuk dari ”pengalaman sejarah bersama”, maka pengalaman sejarah bersama itu
ialah memori tentang pahit getirnya hidup di bawah rezim kolonial yang menindas dan
menguras. Dari pengalaman buruk itulah lahirnya tekad, yaitu apa yang disebut Ernst
Renan dengan le desir d’etere ensemble ― ”kehendak untuk hidup bersatu” (menurut
terjemahan Bung Karno) dalam sebuah komunitas baru yang dibayangkan, yaitu suatu
”negara bangsa” yang dicita-citakan. Jika kita menoleh kembali ke sejarah gerakan
nasionalisme Indonesia sejak satu abad lalu itu, maka di situ dengan jelas dapat dilihat
bagaimana gagasan dan ”contour” gerakannya di masa lalu terbentuk atas dasar kondisi-
kondisi historis sezaman. Baik sumbernya, maupun tipologi kepemimpinan gerakan,
maupun aspek instrumental yang mendukungnya serta capaian tertingginya.
Konsep ”nagara-bangsa” itu sediri dan nasionalisme sebagai rohnya bukanlah
asli ciptaan Indonesia. Ia merupakan adonan kreatif dari pelbagai sumber yang datang
dari luar. Pertama, nasionalisme yang berasal dari peradaban Eropa abad Pencerahan
(abad ke-18), tatkla rezim-rezim patrimonial mengalami pembusukan dari dalam dan
digantikan sistem kekuasaan publik yang lebih egalitarian. Dalam perkembangan
selanjutnya, ia juga menjalar sampai ke negeri jajahan. Ini kemudian menjadi salah satu
pemicu gerakan anti-kolonial di kalangan kaum nasionalis di Hindia-Belanda. Kedua
berasal dari gerakan kaum Pan-Islamisme yang berkembang di Timur Tengah abad ke-
19. Jika nasionalisme dari sumber Barat bertunas dalam lembaga pendidikan sekuler
(Belanda) di Hindia-Belanda, nasionalisme dari sumber Islam berkembang dalam
lembaga pendidikan agama swasta. Salah satu pusat pergerakan nasional paling
pengaruh di Indonesia muncul di Pandang Panjang, Sumatera Barat berwarna Islam.3

3
Tentang geensis nasionalis sekuler lihat Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian
Elite (The Hague: W. Van Hoeve, 1970). Dua tulisan terbaik tentang nasioanlsi Islam lihat Deliat Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia. Terjemahan (Jakarta: LP3ES, 1996);dan Taufik Abdullah, School
and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra, 1927-1933 (Ithaca NY: Cornell University,
1971).

3
www.rajaebookgratis.com

Ketiga berasal dari kekuatan perubahan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia
itu sendiri, terutama dampak Politik Etis terhadap lahirnya sekelompok cendekiawan
baru yang berperan sebagai pelopor-pelopor pergerakan nasional.
Bangsa Indonesia dan gagasan kebangsaan itu pada mulanya adalah suatu entitas
yang abstrak dan belum pernah ada sebelumnya. Yang ada waktu itu adalah ’negara
kolonial’ (colonial state) Hindia-Belanda, hasil konstruksi para sarjana Eropa yang
diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri jajahan. Kolonialisme sebagai suatu sistem
ialah berjalannya suatu mekanisme kuasa asing atas sebuah negeri dan rakyat jajahan
untuk melanggengkan kekuasaannya dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut:
- kolonialisme itu berwatak eksapnsif, yang selalu ingin meluaskan kuasa politiknya
dari yang kecil menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan watak
kapitalisme, yang dibawanya, yaitu selalu ingin mendapat keuntungan lebih besar
daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain.4
- kolonialisme itu berwatak diskriminatif, anti-demokrasi, dengan menciptakan
iklim ketergantungan abadi antara penjajah dan rakyat jajahan; semua ditentukan
berdasarkan hierarki kekuasaan dari ”atas” dan dengan dukungan sistem
feodalisme yang sudah berakar dalam masyarakat.
- kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive) dengan memaksakan semua
kehendak penjajah kepada rakyat jajahan atas metode kolonial. Hanya ada tiga
metode kolonial yang lazim digunakan: (i) dengan menggunakan kekerasan
bersenjata (pasifikasi); (ii) dengan instrumen hukum kolonial (exhorbitant recht),
termasuk kontrak-kontrak, yang berpihak kepada rezim penguasa; (iii) dan dengan
melanggengkan feodalisme dan menjinakkan kaum raja-raja, bangsawan/
penguasa lokal tradisional.
- kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative), dengan memeras secara
maksimal semua potensi SDM dan SDA negeri jajahan untuk kepentingan
penjajah, dan sebagian besar hasilnya diangkut ke negeri penjajah.5

4
Ungkapan Minangkabau mengenai watak “ekspansif” ini dilukiskan dalam pepatah “ibarat Belanda
mintak tanah”: dari sejengkal ke sehasta; dari sehasta ke sedepa; dari sedepa ke sekepala, dan
seterusnya; “Lalu penjahit lalu kulindan” (kalau penjahit tangan dijahitkan, maka benang yang diikat
dibelakangnya otomatis lewat pula).
5
Bagaimana pentingnya Hindia-Belanda (Indonesia) sebagai koloni Belanda tercermin dari ungkapan
Belanda: Indie verloren, rampsoed geboren (Kehilangan Hindia Belanda berarti bencana). Bagaimana
makna bencana ini bisa ditafsirkan dalam konteks historis? Sejak 1870, 90% dari keuntungan usaha di
Indonesia dikirim ke Belanda. Kalkulasi yang lebih menjelaskan dapat dibaca dalam J.B.D. Derksn en Jan

4
www.rajaebookgratis.com

Dalam iklim dan watak kolonial itulah kaum nasionalis memperjuangakan


kemerdekaan sebuah negara bangsa yang dicita-citakan. Rintangan utama pada masa
ini, selain harus berhadapan dengan sistem kolonial Belanda yang keras dan wataknya
yang sangat konservatif (berbeda dengan jajahan Inggris), mereka juga harus berurusan
dengan kondisi rakyat jajahan yang beraneka ragam, dan terpecah-pecah ke dalam
sentimen lokal yang kuat. Rintangan psikhis dan kultural ini hampir mustahil dapat
dipecahkan. Lebih-lebih lagi karena mayoritas anak jajahan yang terserak di nusantara
itu mengidap semacam penyakit inferior (minderwaardigheid complex), buta-huruf,
bodoh, karena dibodohi, dan miskin karena dimiskinkan oleh sistem kolonial.
Sementara itu sistem feodalisme yang bercokol di kalangan penguasa pribumi
merupakan hambatan kultural yang tak mudah. Di samping hambatan kultural ini,
cengkraman kekuatan imperialisme kolonial, dengan saudara kandungnya, kapitalisme
Eropa, merupakan kekuatan global yang semakin sulit dibendung. Kapitalisme kolonial
tidak hanya menciptakan kelas buruh yang hina, tetapi juga mengukuhkan kedudukan
anak jajahan menjadi bangsa jongos. ”Bangsa koeli dan koeli bangsa-bangsa”, kata
Soekarno.
Namun demikian, kaum nasionalis dengan segala daya-upaya, pada akhirnya
dapat melewati masa-masa sulit dan penuh cobaan, sehingga akhirnya toh berhasil
mengantarkan Indonesia sebagai ”negara-bangsa” yang merdeka. Siapa mereka dan
bagaimana tipologi kepemimpinan yang dilahirkan dari pengalaman historis zaman
kolonial itu dan bagaimana cara mereka bekerja? Protagonis pergerakan nasional ialah
kaum terpelajar yang telah tercerahkan sebagai nasionalis-nasionalis sejati, yang
kemudian menjadi the founding fathers Indonesia merdeka. Memang tiap tokoh bapak
bangsa kita adalah unik pada dirinya. Persamaan di antara mereka agaknya hanya dua:
(i) intelektualisme mereka dan (ii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme.
Dengan intelektualisme maksudnya ialah bahwa para tokoh nasionalis memiliki
kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi
untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman. Masa depan lahir dari refleksi dan proyeksi dari
masa lalu. Pikiran mereka pada gilirannya menjadi suluh masyarakat untuk menerangi
kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan.

Timbergen, ”Berekening over de economische betekenis van Nederlandsch-Indioe voor Nederland”,


dalam Geld and Geweten. Een bundel opstellen over anderehalve eeuw Nederlands bestuur in
Indonesiche archipel. Deel II (Den Haag: Martinus, 1980), hal. 255-240.

5
www.rajaebookgratis.com

Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: berfikir kritis dan keterlibatan.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan para mereka
mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi
mereka tidak hanya dalam arti harfiah, membaca teks (buku dan sejenisnya),6 melainkan
membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal
ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Intelektualisme selanjutnya menuntut
keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga
membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan.
Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita
lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan
terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu
memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau
mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya.
Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam
istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”, yaitu mereka yang
mendedikasikan dirinya kebajikan bersama.
Dengan kemampuan intelektual dan imajinasi yang kreatif, mereka dengan
berbagai daya upaya, tugas utama mereka adalah mendidik rakyat. ”Belum politik,
tetapi pendidikan.....”, kata Hatta di awal 1930-an. Pada prinsipnya semua mereka,
hampir tanpa kecuali, adalah ”guru” bagi pengikut-pengikutnya. Semua kaum nasionalis
yang pernah bersekolah di Belanda melakukan tugas pendidikan, termasuk pendidikan
politik. Pendidikan bukan sekedar akumulasi pengetahun kognitif atau mencerdaskan
otak, melainkan mencerdaskan ”kehidupan bangsa”. Pendidikan yang ”memberda-
yakan rakyat”, dan bukan sebaliknya melumpuhkan mereka menjadi ”Pak Tiru”,
melainkan pendidikan memberikan perisai kehidupan bagi rakyatnya.7 Pendidikan yang
menularkan kesadaran nasional mencakup nilai-nilai ”kasadaran diri”, ”kemerdekaan”,

6
Sekedar ilustrasi, tanpa perlu mengacu kepada figur besar tokoh pergerakan yang tinggal di Batavia,
seorang politikus kecil di pedesaan Suamatera Barat memiliki lebih dari seribu judul buku dalam tahun
1920-an. Demikian juga pada zaman yang sama, kelompok pelajar agama di Sumatra Thawalib,
Padangpanjang, sudah sangat terbiasa mengupas Das Kapital-nya Marx dan sejumlah buku handbook
politik di “kafe merah”, tempat mereka biasa melakukan debat politik tahun 1920-an. Lihat Mestika Zed,
Pemberontakan Silungkang 192: Suatu Studi tentang Gerakan Sosial di Sumatera Barat (Yogyakarta:
Syarikat Indonesia, 2004).
7
Lihat Sri-Edi Swasono, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, Kompas, 16 Agustus 2005.

6
www.rajaebookgratis.com

dan ”kreativitas”. Ketiga nilai inilah yang ditransformasikan oleh dua tokoh pendidikan
nasional sejak masa kolonial: Ki Hadjar Dewantara dan Engku Moh. Sjafei.
Tak syak lagi bahwa kaum nasionalis di masa lalu, yang telah tercerahkan
dengan spirit kebangsaan di tengah-tengah iklim zaman (zeitgeist) kolonial menjadikan
mereka guru yang kreatif dan penuh imajinatif. Basis materil nasionalisme ke-
Indonesiaan itu ialah ”Tanah Hindia” dengan segala isinya. Multatuli di abad ke 19
menyebutnya ”Zamrud Khatulistiwa” (Gordel van Smaragd) dan penduduknya yang
terserak di seluruh Nusantara dipandang seperti tidak ada di mata kaum kolonialis.
Kondisi-kondisi keterjajahan itu, lambat laun tapi pasti, menciptakan suasana psikologis
dan kultural yang menyesakkan dan pada gilirannya menjadi amunisi bagi pergerakan
menentang kolonialisme. Untuk membangkitkan keinsyafan ”harga diri” rakyat jajahan
yang hina, lagi-lagi argumen historis pun digunakan. Bangsa Indonesia yang
dibayangkan itu adalah anti-tesis dari negara-kolonial yang sudah sangat mapan. Masa
depan lahir dari refleksi dan proyeksi masa lalu. Bukan masa lalu yang kolonial,
melainkan masa lalu yang pernah jaya seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Atas
dasar itu, kaum nasionalis meletakkan imajinasi Indonesia masa depan di atas bangunan
sejarah masa lalu yang penuh pesona, suatu amunisi untuk membangkitkan harga diri
dan kesadaran baru untuk menolak hadirnya rezim kolonial sebagai ”masa kegelapan”.
Betapa pun mitos kehebatan nenek moyang di masa lalu masih bisa diperdebatkan
secara kritis, ia merupakan aspek instrumental yang diperlukan, suatu loncatan imajinasi
yang kreatif untuk masanya.
Para aktivis nasionalis sejak awal abad ke-20, telah bekerja keras, melakukan
segala daya-upaya, dengan segenap energi intelektual mereka untuk menciptakan apa
yang oleh Ernst Renan disebut ”solidaritas agung” (grand solidarity). Yaitu suatu
ikhtiar untuk menyatukan penduduk dengan latar belakang yang sedemikian beraneka
ragam, yang terserak di atas rentangan ribuan kilometer dari Sabang sampai Merauke.
Pada mulanya eksprimen psikologis dan kultural ini nyaris mustahil. Mengapa?
Pertama, bagaimana mungkin, Indonesia sebagai suatu ’entitas’ abstrak yang
sebelumnya tidak pernah ada, dan begitu asing dalam pengalaman hidup sehari-hari,
kini diubah menjadi bagian dari pengalaman bersama. Eksperimen piskologis ini pada
dasarnya menghendaki agar orang awam atau petani di suatu desa terpencil di Aceh,
misalnya, dapat membayangkan bahwa mereka terikat dan merasakan suatu

7
www.rajaebookgratis.com

kebersamaan (saudara setanah air dan sebangsa) dengan saudara mereka di daerah lain
di pelosok nusantara, padahal mereka tidak pernah bertemu muka satu sama lainnya.
Indonesia pada tahap ini adalah suatu imagined community par excellence.8 Kedua,
rintangan psikhis-kultural, yang tak kalah beratnya, seperti disinggung di muka, ialah
”mentalitet bangsa terjajah”, yakni kaum ”inlander”, anak pribumi yang terjajah
direndahkan derjatnya dengan segala citra buruk yang diberikannya. Inlander identik
dengan: pemalas, kumuh, terkebalakang, miskin, penakut, terpecah-pecah, dan
seterusnya. Perlakuan hina dan diskriminatif dari sistem kolonial menghilangkan
kepercayaan diri dan dengan sendirinya “harga diri”. Dengan pendidikan politik yang
membebaskan mereka dari jeratan historis-psikhis ini, lambat laun sentimen
nasionalisme berubah menjadi gerakan bersama.
Dengan sentimen nasionalisme di sini maksudnya ialah adanya perasaan marah
atau gusar jika prinsip dilanggar dan sebaliknya ada perasaan puas atau bahagia jika
prinsip terpenuhi.9 Segera nasionalisme diwujudkan ke dalam suatu gerakan massa yang
luas di sekolah, lingkungan industri, kalangan petani, dan pedagang, maka di situ
perbedaan-perbedaan lokal menjadi cair. Organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain terdapat dipersatukan.
”Manifesto Politik” Persatuan Indonesia (PI) di Belanda tahun 1925 adalah penegasan
pertama dari sikap bersama kaum nasionalis vis a vis rezim kolonial.10 Itu kemudian
dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928. Pada akhirnya yang mereka perjuangkan
tentu bukan sekedar kemerdekaan itu sendiri, melainkan suatu ”cetak-biru” (blue-print)
Indonesia Merdeka. Cetak-biru Indonesia Merdeka ― suatu kompas, pedoman, untuk
mencapai tujuan tertinggi ― terletak dalam Pembukaan UD 1945, termasuk di
dalamnya rumusan Pancasila. Isinya antara lain ialah:
- Terbentuknya pemerintahan yang melindungi segenap anak-bangsa
- Menyejahterakan rakyat (negara kesejahteraan);

8
A. Malik Gismar, “Indonesia: Antara Ika dan Bhineka”, dalam Komaruddin Hidayat [er.al.],
Reinventing Indonesia (Jakarta: Mizan, 2008).
9
Lihat Ernest Gelner, Nations and Nationalism (Ithaca, NY: Conell University Press, 1993), hal.
10
Butir-butirnya antara lain ialah (i) rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih
oleh rakyatnya sendiri; (ii) perjuangan berpemerintahan sendiri, tidak memerlukan bantuan dari phak
amna pun (iii) mutlaknya persatuan yang kokoh. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Ideologi Bangsa dan
Pendidikan Sejarah”, dalam Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal.
28; Mestika Zed, “Warisan Sutan Sjahrir untuk Bangsa”, Makalah Pengantar untuk Diskusi “Sjahrir dan
Peranannya dalam Perjuangan Memerdekan Indonesia”, dalam rangka Peringatan Harkitnas 2009,
Padangpanjang, 20 Mei 2009.

8
www.rajaebookgratis.com

- Mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan membodohinya.


- Ikut berperan serta dan setara dalam kancah internasional.
Itulah produk pemikiran terbaik dari para pendiri bangsa ini, yang diperjuangkan
hampir setengah abad lamanya dan mencapai klimaksnya selama perang kemerdekaan
(1945-1950). Dengan nasionaslisme puritan, kedaulatan akhirnya bisas ditegakkan,
persatuan di antara perbedaan dapat diciptakan dan identitas nasional sangat jelas,
termasuk filosofi yang melandasinya, Pancasila. Namun, agenda politk utama
sebagaimana termaktub dalam ”cetak-biru” Indonesia Merdeka dalam dokumen
Pembukaan UUD 1946 itu masih jauh dari selesai. Pertanyaannya ialah mengapa sejak
beberapa dekade belakangan ini rasa nasionaslisme cenderung mengalami kebangkrutan
ke titik nadir yang belum pernah terjadi sebelumnya?

Nasionalisme Di antara Terpaan Globalisasi dan Primodialisme Lokal.


Globalisasi itu bukanlah gejala unik yang hanya terjadi sekarang. Ia sudah
terbentuk lewat ”sistem dunia”, bahkan sejak 5000 tahun lalu, ketika interaksi antara
berbagai belahan dunia sudah dimungkin.11 Hanya saja memasuki milenium ke-3,
globalisasi semakin kencang dan meluas, sehingga dapat dilihat beberapa perubaan
mendasarnya. Jika globalisasi di masa lalu, khususnya yang masuk lewat jaringan
kolonialisme dan imperialisme lebih berorientasi pada persekutuan politik dan dominasi
ekonomi kapitalis negara, globalisasi abad ke-21, merupakan hadir dalam bentuk kerja-
sama-kerja sama regional yang interdependent lewat apa yang oleh Ohmae (1995)
disebut ”the Four I’s” ― industri, investasi, teknologi informasi dan individual
consummers. Terobosan ”Empati” lambat laun mengaburkan batas-batas antarnegara,
ketika lalu-lalang ide-ide dan praktek berkembang lewat media ”maya”. Akibatnya
konsep ”negara modern” ciptaan abad lalu menjadi usang dan digantikan oleh
”masyarakat sejagad”, yang menjadi acuan baru dalam hubungan di dunia internasional.
Dalam hubungan ini, pertanyaannya ialah bagaimanakah nasib nasionalisme
akibat gencarnya serangan globalisasi abad ini? Sejalan dengan kajian-kajian yang
mutakhir tentang nasionalisme, antara lain, seperti yang dikerjakan oleh Ernest Gelner
(1992), Ben Anderson (1992), Eric Hobsbaum (1992), Godedesn (1990), Ohmae
cenderung memandang nasionalisme semacam ”artefak kebun bunga di rumah kaca”
11
Lihat kritik Andre Gunder Frank terhadap “sistem dunia” Wallerstein, “A Theorerical Introduction to
5000 Yerasr of World System History”, dalam Review, Vol. XIII, No. 2 (Spring 1990), 155-250.

9
www.rajaebookgratis.com

(artifact of hothouse flower). Bagi Hobsbaum nasionalisme adalah temuan akal-akalan


dari imajinasi politik kaum borjuis. Dalam analisis selanjutnya, ” .... nasionalisme”, kata
Hobsbaum, ”hadir lebih duluan daripada bangsa”. ”Bukan bangsa yang membuat
negara, melainkan sebaliknya, nasionalisme ― Nations do not make states and
nasionalisms but the other way round.12 Setelah ”negara-bangsa” terbentuk,
nasionalisme cenderung ditinggalkan. Bagi Anderson, ”negara-bangsa” ― sebagai
komunitas politik yang dibayangkan ― inherent di dalam batas-batas geografis dan
adanya kedaulatan yang konkret. Ia dibayangkan seperti halnya dengan semua
komunitas politik yang lebih luas, memiliki ikatan ”geo-politik” yang melampaui batas-
batas pedesaan dengan sentimen primordialisme lokal karena ada bangsa-bangsa lain
yang terletak di luar batas-batas geografis yang jelas antara dirinya dengan the others. Ia
dibayangkan berdaulat karena ia menggantikan rezim yang sebelumnya (dalam konteks
Indonesia negara kolonial) yang menindas. Ia dibayangkan sebagai ”komunitas’ karena
adanya solidaritas dan persaudaraan (comradeship) horizintal yang mendalam sesama
saudara-saudara sebangsa dam setanah air. Pada titik ini ia adalah bentukan pengalaman
sejarah. Maka demi komunitas yang dibayangkan itu sepuluh juta jiwa melayang,
sebagian besar karena rela mengorbankan jiwa mereka sejak 200 tahun terakhir.13
Sejauh berkenaan dengan dampak globalisasi terhadap nasionalisme ”negara
bangsa” dewasa ini kita mungkin bisa mendukung pandangan beberapa ahli, yang
mengatakan bahwa pada akhirnya globalisasi akan terbukti hanyalah sosok kekar yang
menipu, kreasi negara-negara kapitalis yang dipajang di etalase dunia. Sukses mereka di
beberapa belahan dunia dewasa ini hanyalah ”angat-angat tahi ayam” dan barangkali
juga merupakan sebuah ”respon pelarian” (fugitive response) terhadap merosotnya
kohesi sosial dan politik dalam peradaban negara-negara kapitalis modern tahap akhir.
”Politik identitas jualan negara-negara kapitalis dan seruan mereka akan ”hukum dan
ketertiban” dunia lebih merupakan keluhan penyakit ketimbang diagnosis atau terapi
untuk kemaslahatan ”masyarakat dunia”.14 Klaim mereka sebagai bagian warga
komunitas dunia yang hendak menyeragamkan (homogenisasi) nilai-nilai universal
berwajah ”marketisme” di atas entitas bangsa, bahasa, ras, etnik, nasionalitas yang

12
Eric J. Hobsbaum, Nations and Nationalism since 1780. Programme, Myth, Rality (Cambrdige:
Cambrdige University Press, 1992), hal. 10.
13
Ben Anderson, Imagined Community. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (London:
Verso, 1992), hal. 6-7.
14
Hobsbaum, Nations and Nationalism …., hal. 177.

10
www.rajaebookgratis.com

berbeda-beda, hanyalah ilusi. Sebab pada kenyataan acuan mereka (katakanlah


Washington Consensus) sebenarnya lebih ditujukan kepada seruan atau propaganda
keluar, sementara untuk mereka sendiri, ke dalam, mereka tetap resistensi dengan
perbedaan yang datang dari unsur luar lingkungan mereka sendiri. Di dunia di mana di
mana jumlah mereka tidak lebih selusin di samping 180 negara-negara di dunia, klaim
mereka yang kelihatan masuk akal, tak hanya tidak disukai, tetapi juga bisa ”self-
destructive”.15
Mengutip pendapat Barnet dan Cavanagh (1993: 162), bahwa ledakan
nasionalisme pasca Perang Dingin sebenarnya juga membuktikan kegagalan eksperimen
nasionalisme para pemimpin nasional yang mengusung interdependensi sistem
globalisme di negera mereka. Termasuk di antaranya Indonesia di masa Orde Baru,
yang pernah mengusung topeng ”kebangkitan nasionalisme II’ (1996).16 Eksperimen
nasionaslisme baru semacam itu justru telah menimbulkan kekecewaan rakyat yang
telah memilih mereka.17 Mengapa bisa demikian? Karena tangan para pemimpin yang
telah terikat dengan mesin kapital global ini di satu pihak menciptakan ’ketergantungan’
dan di lain pihak tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat mereka. Yang benar-
benar diuntungkan oleh ikatan-ikatan global semacam itu, termasuk dalam transaksi
hutang, hanyalah pejabat pada rezim yang berkuasa manakala inkam mereka meningkat
dari tahun ke tahun. Pernyataan Presiden Soeharto saat masih berkuasa dalam
menanggapi globalisasi, bahwa ”senang tidak senang, mau tidak mau” proses itu harus
dimasuki, memiliki banyak arti. Dalam satu dan lain hal boleh jadi ditafsirkan lemahnya
kedaulatan negara karena semakin didikte oleh kekuatan luar. Lebih penting lagi karena
eksperimen nasionalisme versi globalisme itu essentially memoryless, kata Smith.18
Frustrasi rakyat negara-negara yang telah terjerat erat-erat ke dalam sistem
globalisme seperti itu malahan berbalik dengan menguatnya nasionalisme alternatif

15
Ibid.
16
Pada pertengahan 1990-an, rejim Orde Baru Soeharto lewat tangan Mesesneg Murdiono dan Lemhanas
(1996), pernah melakukan suatu rekayasa ulang tentang kebangkitan nasionalisme kedua, tetapi semua itu
adalah topeng belaka karena gagasan yang dimunculkan ahistoris dan sebuah lamunan asal jadi (idle
imagination) yang tidak jelas agendanya dan juga tidak ada pergerakan yang mewadahinya. Ulasan kritis
mengenai ini terdapat dalam esei Mochtar Pobottinggi, “Topeng Kebangkitan Nasional” dalam bukunya
Suara Waktu (Jakarta: Erlangga), hal. 161ff.
17
Richard Barnet and John Cavanagh, “A Global Economy: Some Implications and Concequences”
dalam B. Mazlish & R. Buultjens (eds.), Conceptualizing Global History. Boulder: Westview Press,
1993), hal. 14-18.
18
Dikutip dari Tafik Abdullah, “Nasionalisme Indonesia. Dari Asal Usul ke Prospek Masa Depan”,
dalam Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal. 19.

11
www.rajaebookgratis.com

dengan pelbagai istilah sejenis: micronasionalism, militant nationaslism atau apa yang
disebut dengan etnonasionalisme. Inilah yang terjadi di bekas negara Yugoslavia seperti
juga di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru, tatkala meletusnya konflik etnik di
berbagai daerah.19 Etnonasionalisme merupakan guratan ekspektasi yang dikecewakan
karena merasa dianak-tirikan, tetapi kekayaan mereka dikuras mirip rezim kolonial.
Sentimen nasionalisme etnik pada gilirannya menolak diperintah oleh pusat, the others,
dan sebaliknya menghedaki agar sadel kekuasaan berada di tangan putra daerah sendiri.
Pengalaman ini sudah berlangsung sejak tahun 1950-an dan kembali terulang dalam
rezim Orde Baru.
Sejauh berkenaan dengan gejala etnonasionalisme dewasa ini kita mungkin tidak
perlu terlalu merisaukannya. Pada hemat saya, di Indonesia khususnya tidak ada yang
namanya nasionalisme etnik yang genuine, kecuali sentimen loyalitas primordial lokal
akibat diperlakukan tidak adil. Pemunculannya hanya sementara, kabur sifatnya, tetapi
lama-lama akan menjadi lemah dan bimbang manakala ”cetak-biru” Indonesia
Merdeka” benar-benar dijalankan dengan spirit nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah
dirintis sejak satu abad lalu. Bahaya paling besar agaknya bukan datang dari kiri atau
dari kanan; dari sentimen etnonasionalisme lokal, atau dari fenomena globalisme
internasional, melainkan justru dari tengah, yaitu dari dalam tubuh rezim birokratik itu
sendiri. Rezim birokratik yang mengidap narsistik, cenderung meneruskan tradisi buruk
birokrasi kolonial dalam arti orientasinya pada power culture dan bukan pada service
cultur. Namun sebaliknya warisan terbaik birokrasi kolonial, yaitu watak
profesionalfimenya, keteraturan, dan ketelatannya (zakelijk) dalam perencanaan dan
mengurus setiap inci persaolan justru tidak diteruskan.20
***
Bertolak dari pemaparan di atas, berikut ini beberapa catatan mengenai
problematika nasionalime Indonesia kontemporer, yang mungkin bisa menjadi bahan
pemikiran lebih lanjut untuk menyusun agenda pemikiran ke depan. Pertama,

19
Cornelis Lay (ed.), Nasionalisme Etnositas. Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan (Jakarta: kerja
sama penerbit DIAN/ Intefidei & Kompas, 2001).
20
Mestika Zed, “Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi
Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke Depan,” Makalah pada Seminar, ”Peningkatan
Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar
Internasional”, Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober 2008.

12
www.rajaebookgratis.com

nasionalisme puritan bentukan sejarah awal abad ke-20 berkembang menurut dialektika
sejarahnya. Karena itu tidak perlu ada perumusan ulang terhadap nasionalisme dalam
konteks kekinian karena nasionalisme tanpa memori sejarah akan kehilangan rohnya,
seperti halnya dengan ideologi nasional itu sendiri, Pancasila. Kecuali kalau pijakan
“negara bangsa” ke depan bukan lagi Indonesia yang diperjuangkan oleh para bapak
pendiri bangsa ini di masa lalu. Yang lebih dibutuhkan agaknya adalah kemampuan
bangsa untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap berpijak pada landasan nilai-
nilai hakiki dari nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah dirumuskan dalam ”cetak-biru”
Indoensia Merdeka itu sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu.
Kedua, masalahnya sekarang ialah bahwa titik kronis nasionalisme Indonesia
dewasa ini justru berasal dari dalam, tatkala dominannya institusi negara dalam
mendefinisikan nasionalisme berserta isinya. Dalam hubungan ini setidaknya ada tiga
prinsip yang penyebab terjadinya distorsi nilai nasionalisme akibat intervensi berlebihan
dari negara.
1. Prinsip kedaulatan (sovereignty) yang menjadi taruhan motivasi dan sentimen
nasionalisme untuk tidak dijajah dan didikte oleh unsur luar kini diam-diam
dirasakan hasirnya neo-kolonialisme baru tatkala negara tidak berdaya melindungi
rakyat dari ancaman luar. Pernyataan Presiden Soeharto yang dikutip di atas dalam
kaitannnya dengan globalisasi, bahwa ”senang tidak senang, mau tidak mau” proses
itu harus dimasuki, memiliki menunjukkan sifat ketergantungan. Namun, di lain
pihak banyak kebijakan kebijakan yang kurang memperlihatkan pro rakyat
menimbulkan perasaan kekecewaan. Selama Orde Baru, di balik keberhasilan
pembangunan fisik yang megah sejak lebih seperempat abad terakhir, juga tercipta
pula lubang kesenjangan ekonomi dan politik yang makin menganga. Semua ini
menyisakan perasaan diperlakukan tidak adil dan ketidakpuasan mayoritas rakyat
yang termajinalkan dari pembangunan. Sampai tingkat tertentu menyediakan
tumbuhnya bibit-bibit etnonasionalsime lokal. Sejak beberapa dekade belakangan
banyak penumpang kapal NKRI yang tak lagi percaya kepada nakhodanya.
Sebagian minta turun di tengah jalan. Seringkali dengan memaksa secara
kekerasan. Sebagian lain cukup uring-uringan dan berkeluh kesah di atas kapal
seraya membentak sana sini. Tetapi mayoritas umumnya bersikap ’masa-bodo’.
Atau kalau lagi senggang ikut berdoa ketika musim upacara datang.

13
www.rajaebookgratis.com

2. Prinsip persatuan (integrity) yang menjadikan sebuah negara-bangsa tetap utuh


sebagai sebuah entiti politik sebagaimana yang diamanahkan oleh nasionalisme,
yakni bahwa kepentingan tertinggi dari tiap individu dan kelompok adalah pada
negara, dimentahkan tatkala kepentingan-kepentingan individu atau kelompok lebih
menonjol. Dalam hubungan ini pernyataan-pernyataan yang bernada mengancam
tentang ”NKRI” sudah final” tidak diiringi dengan tindakan nyata untuk mengatasi
substansi persoalan yang menjadi penyebab utama timbulnya kebimbangan orang
terhadap ”nakhoda kapal” NKRI seperti yang baru saja disinggung di atas.
Bagaimana rezim penguasa Orde Baru, misalnya, mempertanggung-jawabkan
tindakannya dalam menambah wilayah NKRI seperti di Timor-Timur? Pada saat
yang sama, retorika persatuan dijadikan alasan untuk mengambil hak-hak regional
dan mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan pusat kekuasaan di Jakarta.
3. Identitas (identity) kebangsaan yang disimbolkan dengan ”Bhineka Tunggal Ika”.
Politik identitas kita yang terbentuk dalam simbol-simbol kekhasan sebuah bangsa,
baik ke dalam maupun keluar, dalam arti berbeda dengan bangsa lain, seringkali
ditafsirkan secara sempit, sehingga yang muncul adalah penyeragaman yang
dengan sendirinya melanggar prinsip-prinsip multikultural.
Ketiga, tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, dari inlader bermental anak
jajahan yang rendah diri, ”bangsa kuli dan kuli bangsa-bangsa, menjadi bangsa yang
mandiri, dan memiliki kesadaran komunitas, sejauh ini, tampaknya masih jauh
panggang dari api.’ Kebijakan pendidikan kita selama ini bukan untuk mencerdaskan
’kehidupan’ bangsa, melainkan mencerdaskan intelek individu-individu dengan skill
yang tinggi, tetapi minus filosofi pendidikan yang meletakkan nilai-nilai kesadaran diri,
kemerdekaan, dan kreativitas untuk kabajikan semua. Itulah energi nasionalisme yang
makin hilang tatkala universitas-universitas kita yang makin komersil hanya ditujukan
untuk mencetak calon-calon buruh tingkat tinggi dengan selera borjuis yang kurang
peduli akan naasib bangsanya. Tengok pula betapa rendahnya martabat dan taraf hidup
kaum guru kita — salah satu sumber dan kunci keberhasilan sistem pendidikan. Warga
negara yang bermutu tak pernah lahir dari guru yang kini cenderung direndahkan
sebagai buruh dan yang bergaji rendah. Pendidikan adalah ibu peradaban dan ini
haruslah menjadi pusat perhatian utama jika peradaban manusia Indonesia masa depan

14
www.rajaebookgratis.com

adalah peradaban yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan peradaban imitatif
dan konsumtif.
Keempat adalah pemenuhan serta jaminan negara akan kebutuhan hak-hak
dasariah dan/atau hak-hak asasi warga-negara. Hanya dengan pemenuhan dan jaminan
demikian yang bisa meyakinkan rakyat apakah mereka sebagai anak bangsa ini sudah
merdeka atau masih terjajah. Inilah pula sesungguhnya terjemahan aktual Pembukaan
UUD 1945, yang di dalamnya iklusif pandangan hidup Pancasila dan akan tetap
menjadi rujukan yang valid dan progresif untuk dibawa memasuki abad ke-21.
Kelima, baik globalisasi maupun etnosentrisme lokal bukanlah ancaman utama
terhadap kebangkrutan nasionalisme, meskipun dapat menyediakan amunisi bagi ”self-
destructive” terhadap negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia. Globalisasi yang
kini nyaris diperlakukan sebagai mantra kemajuan yang dengannya pemerintah
menyerah, sebagaimana tercermin dari pernyataan Soeharto di atas. Globalisasi sebagai
pengganti mantra ”modernisasi” di masa lalu justru hanyalah sebuah ilusi yang akan
membuatnya menjadi kotak Pandora bagi bangsa yang lemah daya saingnya. Fakta
bahwa Indonesia termasuk ranking bawah dalam daya saingnya di Asia, apalagi di
dunia tidak bisa dinafikan.21 Namun, kecenderungan ini masih bertahan pada rezim-
rezim yang lebih kemudian. Pada gilirannya akan juga akan menjadi ”boomerang”
terhadap melemahkan kedaulatan (sovereignty) yang menjadi prinsip sebuah negara-
bangsa untuk tidak dijajah dan didikte oleh bangsa lain. Kini ketika nasionalisme
dilucuti dari berbagai jurusan, dan dalam pelbagai macam bentuk, makin banyak orang
Indonesia tidak peduli, kehilangan rasa bangga dan rasa memiliki bersama terhadap
tanah-airnya. Nasionalisme yang sehat dan dewasa, terbuka, serta tidak xenofobia, dan
juga bukan Islamfobia, makin mendesak dibangkitkan kembali. Jika ini bisa dibangun
kembali, globalisasi atau primordialisasi lokal segencar apa pun mengintainya, takkan
mungkin bisa menggoyahkan nasionalisme Indonesia, apalagi hendak menghapuskan
hal-hal sarat makna (the meaningful) di dalamnya.

21
Fakta-fakta mengenai ini telah dikemukakan dalam makalah saya, Mestika Zed, ”Membangun
Optimisme Baru dalam Membangkitkan Daya Saing Bangsa Dari Segi Sosial Ekonomi”, Makalah
disiapkan untuk diskusi berkala dalam rangka memperingati ”Satu Abad Kebangkitan Nasional”,
diselenggarakan oleh Jurusan Manajemen FE UNP, Padang, Rabu, 28 Mei 2008.

15
www.rajaebookgratis.com

Nasionalis qua Homopancasilais


Konsepsi manusia macam apakah yang dicita-citakan oleh para bapak pendiri
bangsa ini di masa lalu tentang bangsa Indonesia itu? Apakah konsepsi macam itu
masih bisa dipertahankan atau perlu ada sebuah ”kloning” yang membuatnya tahan
banting terhadap perubahan zaman? Bagi bapak bangsa, rakyat Indonesia yang terjajah
di zaman lalu harus dikeluarkan dari statusnya sebagai ”anak-jajahan”, ”masyarakat
kolonial” yang bermental inlander, yaitu kaum prubumi yang terkebelakang dengan
seribu satu reputasi buruk, menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat. Dan
Soekarno muda sendiri sebetulnya merekam dengan baik karakterisasi inlander yang
dicitrakan oleh Belanda. Ini tampak sekali dari pernyataan pembelaan dirinya di
hadapan pengadilan Belanda tahun 1929,
Memang, tidak kurang-kurang kita mendengar cacian "Inlander seperti kerbau",
"Inlander goblok", "Inlander bodoh, kalau ngga’ ada kita modar lu', beserta lain-
lain "pujian" lagi yang "segar"! Tetapi, walaupun begitu, bukan terutama dalam
ucapan-ucapan sombong orang Eropa itu letaknya bahaya yang terbesar buat
Kami, bukan terutama di dalam ketinggian hati suatu bangsa kulit putih itu
letaknya bencana batin dari rakyat kami, bahaya yang paling besar dan bencana
yang paling merusak adalah sistem yang tak pedot-pedot, yang tak terhambat-
hambat menginjeksikan kepada rakyat kami racun kepercayaan "kamu Inlander
bodoh, kamu modar kalau tidak kita tuntun" itu. Sebab injeksi ini lama-lama
"makan"! Berabad-abad kami mendapat cekokan "Inlander bodoh", berabad-abad
kami diinjeksi rasa kurang karat, turun-temurun kami menerima sistem ini,—
ketambahan lagi kami ditetapkan "rendah" dan ditetapkan "kecil" sebagai laporan
tentang kemakmuran itu tadi mengatakan, dipadam-padamkan segenap energi
kami, sekarang percayalah kebanyakan bangsa kami, bahwa kami, sesungguhnya,
memang adalah bangsa kurang karat yang tak bisa apa-apa! Hilanglah tiap-tiap
kepercayaan atas kebisaan sendiri, hilanglah tiap-tiap rasa kegagahan, hilanglah
tiap-tiap rasa percaya diri sendiri dan keperwiraan. Kami, sediakala adalah bangsa
yang ikut menjujung tinggi obor kebudayaan Timur dan kebesaran Timur, yang
dulu begitu insaf akan kebisaan diri dan kepandaian diri, kami sekarang menjadi
rakyat yang sama sekali kehilangan keinsyafan itu. Kami menjadilah rakyat yang
mengira, ya, percaya, bahwa kami memang adalah rakyat yang "inferieur". Kini
di mana-mana terdegarlah kesah: ”yah, kami memang bodoh, kalau tidak ada
bangsa Eropa bagaimana kami bisa hidup!22

22
Dikutip dari Gismar, “Indonesia: Antara Ika dan Bhineka .....”, hal. 5.

16
www.rajaebookgratis.com

Menjadi jelas bahwa obsesi Soekarno untuk menggantikannya citra positif


bangsa Indonesia dari anak jajahan yang rendah diri menjadi menusia Indonesia Baru,
yang merdeka dan bermartabat diilhami oleh spirit nasionalisme bercirikan ke-
Indonesiaan dengan nilai dan ciri asli. Manusia Indonesia baru membayangkan adanya
kontras anak jajahan Hindia yang inferior, dan patah semangat dengan anak-bangsa
pasca kemerdekaan. Di lain waktu Soekarno menyebutnya dengan Marhaen,
representasi wong cilik yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Di masa Orde Baru
Soeharto ada istilah Manusia Indonesia Seutuhnya, representasi kesempurnaan lahir
batin.
Dalam konteks ideologi negara, Pancasila, kedua Presiden Indonesia itu
mencoba untuk menciptakan apa yang oleh almarhum Prof. Sartono Kartodirjo disebut
sebagai homopancasilaensis, suatu representasi dari kepribadian superordinat dan ideal
yang dihayati bersama, hadir dalam benak setiap individu, dan dengan demikian
menjadi sumber penting, baik bagi identitas nasional maupun personal. Kepribadian
seperti ini diharapkan akan memberikan inspirasi yang kuat dan positif bagi negara
kesatuan yang baru saja keluar dari penjajahan. Homopancasilaensis juga dianggap
perlu untuk mewadahi dan mengekang ikatan-ikatan dan perasaan-perasaan primordial
yang dianggap berbahaya.
Politik identitas yang dibangun oleh Presiden Soekamo dan diteruskan oleh
Presiden Soeharto itu pada dasarya melakukan dua pendekatan untuk membangun
identitas nasional yang pada gilirannya diharapkan akan mempererat persatuan
Indonesia. Di satu sisi mencari perekatnya berdasarkan konstruksi ”budaya nasional”,
dengan harapan munculnya satu tipe manusia Indonesia yang ideal, yakni manusia
Indonesia seutuhnya. Di sisi lain, meredam perbedaan SARA dan aspek-aspek negatif
dari ”budaya daerah” atau ”budaya tradisional”, atau tribalisme yang dianggap akan
menghambat terciptanya budaya nasional yang unggul. Pendekatan di atas tampak jelas
dalam kebijakan untuk merumuskan tipologi ”budaya nasional” dan ”budaya daerah”
atau ”budaya tradisional”, yang mewarnai hampir seluruh politik budaya Orde Baru.
Sebagaimana diketahui,”budaya nasional” dipahami sebagai ”nilai-nilai budaya
daerah” pilihan (tentunya berdasarkan kacamata ideologi rezim yang memerintah).
Nilai-nilai pilihan ini kemudian diintegrasikan sebagai nilai-nilai budaya nasional yang
diharapkan akan mendukung munculnya pribadi-pribadi dengan jatidiri yang terbangun

17
www.rajaebookgratis.com

dari amalgamasi nilai-nilai asli Indonesia yang unggul ini. Dengan demikian dapat
diharapkan bahwa manusia Indonesia orisinal ini akan terbebas dari kepicikan-
kepicikan kedaerahan ataupun sentimen ”primordialisme” lokal dalam bentuk apapun
lainnya. Sebagai satu komunitas maka kita tidak bisa berharap untuk membangun
collective agency yang diperlukan untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Pendeknya
tanpa identitas nasional yang kuat tidak ada komunitas nasional, dan tanpa komunitas
nasional tidak ada yang namanya masyarakat bangsa. Manusia Pancasila dan
nasionalsime pada dasarnya mengandung konsepsi manusia yang sama dan sebangun
dengan penekanan yang berbeda. Apabila nasionalisme dan kaum nasionalis memberi
akar historis terhadap manusia Pancasilais, yaitu manusia yang sadar dengan asal-usul
dan perubahan zaman, homopancasilais memberi akar filosofis terhadap nasionalisme
atau bagi nasionalis. Dengan kombinasi kedua ini, Pancasila akhirnya menjadi semacam
”civil religion” dan ”nation state” lebih berwajah ”civic nation.

Penutup
Para bapak bangsa telah menyelesaikan pekerjaan mereka dengan segala daya
dan upaya atas dasar ketulusan dan penuh khidmat terhadap tugas dan tanggung jawab
sejarah yang dipikulkan kepada mereka. Dalam arti tertentu, mereka tanpa kecuali,
adalah pemimpin yang mengemban amanah, yang tidak mungkin ditemukan lagi.
Karena menjadi pemimpin sekarang harus membayar dengan sejumlah uang. Justru
karena ketulusan dan dan keikhlasan itulah yang membuat mereka senantiasa
memikirkan dan melakukan sesuatu untuk kebajikan bangsanya. Mereka dalam istilah
Jacques Barzun (1959) adalah “the house of intellect”, yang tak pernah kering
mengalirkan gagasan-gagasan bening dan cerdas serta keterlibatan mereka yang intens
dalam mendobrak sejarah zamannya. Mereka tidak hanya melahirklan Republik ini,
tetapi mereka jugalah sesungguhnya sumber kemenangan Indonesia dalam perjuangan
mengusir Belanda – di samping dukungan militer – pada masa revolusi nasional
1945—1949. Dengan kata lain Bapak Bangsa adalah negarawan sejati yang diciptakan
dan sekaligus menciptakan sejarah. Struktur atau kondisi [kebetulan] sejarah membuat
mereka berada di puncak kulminasi sejarah, sehingga memperoleh kesempatan untuk
merancang dan merumuskan konstitusi, sesuatu yang tak dimiliki oleh negarawan yang
bukan bapak bangsa (the founding fathers). Namun pada saat yang sama mereka adalah

18
www.rajaebookgratis.com

juga “agen sejarah”, yaitu segelintir orang yang oleh sejarawan Arnold Toynbee disebut
kelompok “creative minority”, yang berperan membuat sejarah bangsa ini.
Pada akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting
bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat
sejalan dengan sentimen nasionalisme yang telah dibina oleh the founding fathers di
masa lalu. Teknologi tentu tidak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa
membantu jiwa yang merdeka itu. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya
menelurkan banyak hal yang menggelikan, dan sekaligus menyedihkan, cerminan
pikiran dan sukma pemakainya. Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti
halnya kegamangan dan konservatisme politik—kultural sebagian besar mereka yang
telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis tak
bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali
sudah pergi, sudah gulung tikar, tetapi perangai kekuasaan, ketaknyamanan, kegelisahan
dan ilusi penguasa pribumi membuat wajah Indonesia di zaman Belanda dan Jepang,
kembali muncul di era kemerdekaan. Kalau masih ada yang bertanya atau menegasikan
nasionalisme tidak diperlukan lagi, karena zaman sudah berbeda, sehingga tidak tahu
merumuskan ”siapa musuh kita?”, itu artinya generasi sekarang gagal membaca tanda-
tanda zaman dan dengan demikian juga merumuskan persoalan bangsanya.. Dengan
demikian, harapan akan masa depan yang lebih baik hanya ilusi apabila negeri ini
dibiarkan jatuh ke dalam kedunguan (ignorance), atau ke tangan mereka yang mengaku
sebagai pemimpin, tetapi sebenarnya mereka tengah menjermuskan bangsa di luar jalur
yang telah digariskan oleh bapak bangas di masa lalu.
***

19
www.rajaebookgratis.com

20

Anda mungkin juga menyukai