com
*)
NASIONALISME INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
www.rajaebookgratis.com
*)
Makalah ini disampaikan pada Kongres Pancasila, diselenggarakan oleh Universitas Gadjahmada
bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi , Yogyakarta, 30-31 Mei 2009.
1
Lihat misalnya Kenichi Ohmae, The End of The Nation State. The Rise of Regional Economies (New
York, London and Tokyo: The Free Press, 1995).
2
Lihat misalnya, hasil survey ‘jajak pendapat’ Kompas (18 Agustus 2007), berjudul ”Nasionalisme di
atas Papan Global”, menunjukkan kecederungan ini. Sejumlah indikator (a.l. “kebanggaan menjadi orang
Indonesia”, “rasa memiliki”) dan lain-lain, digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran ”nasionalisme”
dan hasilnya amat merisaukan karena merosot tajam dibadingkan dengan survey serupa (2002) sampai
80,8% dalam hubungannya dengan kepemimpinan bangsa dan makin lemahnya nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari (72,9%). Meskipun gambaran ini bukan kesimpulan definitif, melainkan
indikatif, kondisinya memang sudah mencemaskan.
1
www.rajaebookgratis.com
agar peringatan 100 Tahun Harkitnas diperingati sepanjang tahun 2008. Ada juga
kegiatan inti lainnya. Di tiap-tiap provinsi diinstruksikan mengumpulkan ”tanah” dan
”air” dalam jumlah tertentu, kemudian dibawa oleh masing-masing delegasi daerah ke
Jakarta. Semuanya, mulai dari pengambilan ”tanah” dan ”air” di daerah, demikian
penyambutan di Jakarta penuh dengan upacara. Begitulah tiap bulan sepanjang tahun,
kalender Indonesia ditandai tanggal ”merah”. Sebagian besar berkenaan dengan hari
bersejarah. Umumnya diperingati dengan serangkaian upacara. Para pegawai negeri
melakukan apel bendera, sambil mengulang-ulang kegiatan lainnya: lagu kebangsaan,
pembacaan teks Pancasila, berdoa, dan berziarah ke makam pahlawan. Pada moment itu,
peringatan bersejarah merupakan gudang mengenang ’kebesaran’ masa lampau dan
pidato resmi yang diedarkan secara nasional mengulang-ulang kisah sejarah, dengan
retorika yang makin merosot ke dalam kata-kata tanpa solusi masalah masa kini.
Ada apa dengan nasionalisme Indonesia? Apakah kita perlu merumuskan suatu
nasionalisme dalam konteks kekinian? Adakah kemerosotan nasionalisme ke-
Indonesiaan dewasa ini berkaitan erat dengan kuatnya kekuatan tarik menarik antara
globalisasi internasional di satu pihak dan primordialisasi lokal di lain pihak? Apakah
etnonasionalisme betul-betul merupakan ancaman terhadap nasionalisme ke-
Indonesiaan di masa depan? Apakah isu-isu kedaulatan, kemandirian, otonomi, dan
kepribadian dalam konteks globalisme dewasa ini, menyiratkan adanya kekuatan baru
(”neo-imperialisme”/”neokolonialisme”) yang tengah mengancam kemerdeka-an
nation-state NKRI dewasa ini?
Pertanyaan di atas tak syak lagi akan melahirkan lebih banyak pertanyaan
daripada jawaban yang dapat diberikan dalam makalah ini. Namun dengan mencoba
membuka ruang bagi bertukar fikiran tentang isu-isu pokok tertentu, kita mungkin akan
menyadari bahwa kita hanya tahu sedikit daripada yang kita kira. Isu-isu yang
dilontarkan ini sebetulnya bukanlah isu baru sama sekali dan jawabannya sebagian
sudah diketahui. Dengan kesadaran seperti itu, risalah sederhana ini ingin berangkat dari
tesis berikut. Pertama, nasionalisme adalah konsep sejarah dan lahir dari kondisi sejarah
yang spesifik. Tanpa apresiasi sejarah nasionalisme adalah mustahil. Kedua,
nasionalisme ke-Indonesiaan yang lahir sejak awal abad ke-20, pada dasarnya juga
merupakan perjuangan atau pertarungan dalam mengatasi globalisme dan sekaligus
2
www.rajaebookgratis.com
partikularisme lokal. Dan kaum nasionalis sebagai pemimpin bangsa pada zamannya
relatif berhasil mengatasinya. Izinkan saya mulai dari persoalan pertama.
3
Tentang geensis nasionalis sekuler lihat Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian
Elite (The Hague: W. Van Hoeve, 1970). Dua tulisan terbaik tentang nasioanlsi Islam lihat Deliat Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia. Terjemahan (Jakarta: LP3ES, 1996);dan Taufik Abdullah, School
and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra, 1927-1933 (Ithaca NY: Cornell University,
1971).
3
www.rajaebookgratis.com
Ketiga berasal dari kekuatan perubahan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia
itu sendiri, terutama dampak Politik Etis terhadap lahirnya sekelompok cendekiawan
baru yang berperan sebagai pelopor-pelopor pergerakan nasional.
Bangsa Indonesia dan gagasan kebangsaan itu pada mulanya adalah suatu entitas
yang abstrak dan belum pernah ada sebelumnya. Yang ada waktu itu adalah ’negara
kolonial’ (colonial state) Hindia-Belanda, hasil konstruksi para sarjana Eropa yang
diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri jajahan. Kolonialisme sebagai suatu sistem
ialah berjalannya suatu mekanisme kuasa asing atas sebuah negeri dan rakyat jajahan
untuk melanggengkan kekuasaannya dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut:
- kolonialisme itu berwatak eksapnsif, yang selalu ingin meluaskan kuasa politiknya
dari yang kecil menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan watak
kapitalisme, yang dibawanya, yaitu selalu ingin mendapat keuntungan lebih besar
daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain.4
- kolonialisme itu berwatak diskriminatif, anti-demokrasi, dengan menciptakan
iklim ketergantungan abadi antara penjajah dan rakyat jajahan; semua ditentukan
berdasarkan hierarki kekuasaan dari ”atas” dan dengan dukungan sistem
feodalisme yang sudah berakar dalam masyarakat.
- kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive) dengan memaksakan semua
kehendak penjajah kepada rakyat jajahan atas metode kolonial. Hanya ada tiga
metode kolonial yang lazim digunakan: (i) dengan menggunakan kekerasan
bersenjata (pasifikasi); (ii) dengan instrumen hukum kolonial (exhorbitant recht),
termasuk kontrak-kontrak, yang berpihak kepada rezim penguasa; (iii) dan dengan
melanggengkan feodalisme dan menjinakkan kaum raja-raja, bangsawan/
penguasa lokal tradisional.
- kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative), dengan memeras secara
maksimal semua potensi SDM dan SDA negeri jajahan untuk kepentingan
penjajah, dan sebagian besar hasilnya diangkut ke negeri penjajah.5
4
Ungkapan Minangkabau mengenai watak “ekspansif” ini dilukiskan dalam pepatah “ibarat Belanda
mintak tanah”: dari sejengkal ke sehasta; dari sehasta ke sedepa; dari sedepa ke sekepala, dan
seterusnya; “Lalu penjahit lalu kulindan” (kalau penjahit tangan dijahitkan, maka benang yang diikat
dibelakangnya otomatis lewat pula).
5
Bagaimana pentingnya Hindia-Belanda (Indonesia) sebagai koloni Belanda tercermin dari ungkapan
Belanda: Indie verloren, rampsoed geboren (Kehilangan Hindia Belanda berarti bencana). Bagaimana
makna bencana ini bisa ditafsirkan dalam konteks historis? Sejak 1870, 90% dari keuntungan usaha di
Indonesia dikirim ke Belanda. Kalkulasi yang lebih menjelaskan dapat dibaca dalam J.B.D. Derksn en Jan
4
www.rajaebookgratis.com
5
www.rajaebookgratis.com
Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: berfikir kritis dan keterlibatan.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan para mereka
mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi
mereka tidak hanya dalam arti harfiah, membaca teks (buku dan sejenisnya),6 melainkan
membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal
ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Intelektualisme selanjutnya menuntut
keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga
membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan.
Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita
lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan
terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu
memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau
mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya.
Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam
istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”, yaitu mereka yang
mendedikasikan dirinya kebajikan bersama.
Dengan kemampuan intelektual dan imajinasi yang kreatif, mereka dengan
berbagai daya upaya, tugas utama mereka adalah mendidik rakyat. ”Belum politik,
tetapi pendidikan.....”, kata Hatta di awal 1930-an. Pada prinsipnya semua mereka,
hampir tanpa kecuali, adalah ”guru” bagi pengikut-pengikutnya. Semua kaum nasionalis
yang pernah bersekolah di Belanda melakukan tugas pendidikan, termasuk pendidikan
politik. Pendidikan bukan sekedar akumulasi pengetahun kognitif atau mencerdaskan
otak, melainkan mencerdaskan ”kehidupan bangsa”. Pendidikan yang ”memberda-
yakan rakyat”, dan bukan sebaliknya melumpuhkan mereka menjadi ”Pak Tiru”,
melainkan pendidikan memberikan perisai kehidupan bagi rakyatnya.7 Pendidikan yang
menularkan kesadaran nasional mencakup nilai-nilai ”kasadaran diri”, ”kemerdekaan”,
6
Sekedar ilustrasi, tanpa perlu mengacu kepada figur besar tokoh pergerakan yang tinggal di Batavia,
seorang politikus kecil di pedesaan Suamatera Barat memiliki lebih dari seribu judul buku dalam tahun
1920-an. Demikian juga pada zaman yang sama, kelompok pelajar agama di Sumatra Thawalib,
Padangpanjang, sudah sangat terbiasa mengupas Das Kapital-nya Marx dan sejumlah buku handbook
politik di “kafe merah”, tempat mereka biasa melakukan debat politik tahun 1920-an. Lihat Mestika Zed,
Pemberontakan Silungkang 192: Suatu Studi tentang Gerakan Sosial di Sumatera Barat (Yogyakarta:
Syarikat Indonesia, 2004).
7
Lihat Sri-Edi Swasono, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, Kompas, 16 Agustus 2005.
6
www.rajaebookgratis.com
dan ”kreativitas”. Ketiga nilai inilah yang ditransformasikan oleh dua tokoh pendidikan
nasional sejak masa kolonial: Ki Hadjar Dewantara dan Engku Moh. Sjafei.
Tak syak lagi bahwa kaum nasionalis di masa lalu, yang telah tercerahkan
dengan spirit kebangsaan di tengah-tengah iklim zaman (zeitgeist) kolonial menjadikan
mereka guru yang kreatif dan penuh imajinatif. Basis materil nasionalisme ke-
Indonesiaan itu ialah ”Tanah Hindia” dengan segala isinya. Multatuli di abad ke 19
menyebutnya ”Zamrud Khatulistiwa” (Gordel van Smaragd) dan penduduknya yang
terserak di seluruh Nusantara dipandang seperti tidak ada di mata kaum kolonialis.
Kondisi-kondisi keterjajahan itu, lambat laun tapi pasti, menciptakan suasana psikologis
dan kultural yang menyesakkan dan pada gilirannya menjadi amunisi bagi pergerakan
menentang kolonialisme. Untuk membangkitkan keinsyafan ”harga diri” rakyat jajahan
yang hina, lagi-lagi argumen historis pun digunakan. Bangsa Indonesia yang
dibayangkan itu adalah anti-tesis dari negara-kolonial yang sudah sangat mapan. Masa
depan lahir dari refleksi dan proyeksi masa lalu. Bukan masa lalu yang kolonial,
melainkan masa lalu yang pernah jaya seperti di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Atas
dasar itu, kaum nasionalis meletakkan imajinasi Indonesia masa depan di atas bangunan
sejarah masa lalu yang penuh pesona, suatu amunisi untuk membangkitkan harga diri
dan kesadaran baru untuk menolak hadirnya rezim kolonial sebagai ”masa kegelapan”.
Betapa pun mitos kehebatan nenek moyang di masa lalu masih bisa diperdebatkan
secara kritis, ia merupakan aspek instrumental yang diperlukan, suatu loncatan imajinasi
yang kreatif untuk masanya.
Para aktivis nasionalis sejak awal abad ke-20, telah bekerja keras, melakukan
segala daya-upaya, dengan segenap energi intelektual mereka untuk menciptakan apa
yang oleh Ernst Renan disebut ”solidaritas agung” (grand solidarity). Yaitu suatu
ikhtiar untuk menyatukan penduduk dengan latar belakang yang sedemikian beraneka
ragam, yang terserak di atas rentangan ribuan kilometer dari Sabang sampai Merauke.
Pada mulanya eksprimen psikologis dan kultural ini nyaris mustahil. Mengapa?
Pertama, bagaimana mungkin, Indonesia sebagai suatu ’entitas’ abstrak yang
sebelumnya tidak pernah ada, dan begitu asing dalam pengalaman hidup sehari-hari,
kini diubah menjadi bagian dari pengalaman bersama. Eksperimen piskologis ini pada
dasarnya menghendaki agar orang awam atau petani di suatu desa terpencil di Aceh,
misalnya, dapat membayangkan bahwa mereka terikat dan merasakan suatu
7
www.rajaebookgratis.com
kebersamaan (saudara setanah air dan sebangsa) dengan saudara mereka di daerah lain
di pelosok nusantara, padahal mereka tidak pernah bertemu muka satu sama lainnya.
Indonesia pada tahap ini adalah suatu imagined community par excellence.8 Kedua,
rintangan psikhis-kultural, yang tak kalah beratnya, seperti disinggung di muka, ialah
”mentalitet bangsa terjajah”, yakni kaum ”inlander”, anak pribumi yang terjajah
direndahkan derjatnya dengan segala citra buruk yang diberikannya. Inlander identik
dengan: pemalas, kumuh, terkebalakang, miskin, penakut, terpecah-pecah, dan
seterusnya. Perlakuan hina dan diskriminatif dari sistem kolonial menghilangkan
kepercayaan diri dan dengan sendirinya “harga diri”. Dengan pendidikan politik yang
membebaskan mereka dari jeratan historis-psikhis ini, lambat laun sentimen
nasionalisme berubah menjadi gerakan bersama.
Dengan sentimen nasionalisme di sini maksudnya ialah adanya perasaan marah
atau gusar jika prinsip dilanggar dan sebaliknya ada perasaan puas atau bahagia jika
prinsip terpenuhi.9 Segera nasionalisme diwujudkan ke dalam suatu gerakan massa yang
luas di sekolah, lingkungan industri, kalangan petani, dan pedagang, maka di situ
perbedaan-perbedaan lokal menjadi cair. Organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain terdapat dipersatukan.
”Manifesto Politik” Persatuan Indonesia (PI) di Belanda tahun 1925 adalah penegasan
pertama dari sikap bersama kaum nasionalis vis a vis rezim kolonial.10 Itu kemudian
dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928. Pada akhirnya yang mereka perjuangkan
tentu bukan sekedar kemerdekaan itu sendiri, melainkan suatu ”cetak-biru” (blue-print)
Indonesia Merdeka. Cetak-biru Indonesia Merdeka ― suatu kompas, pedoman, untuk
mencapai tujuan tertinggi ― terletak dalam Pembukaan UD 1945, termasuk di
dalamnya rumusan Pancasila. Isinya antara lain ialah:
- Terbentuknya pemerintahan yang melindungi segenap anak-bangsa
- Menyejahterakan rakyat (negara kesejahteraan);
8
A. Malik Gismar, “Indonesia: Antara Ika dan Bhineka”, dalam Komaruddin Hidayat [er.al.],
Reinventing Indonesia (Jakarta: Mizan, 2008).
9
Lihat Ernest Gelner, Nations and Nationalism (Ithaca, NY: Conell University Press, 1993), hal.
10
Butir-butirnya antara lain ialah (i) rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih
oleh rakyatnya sendiri; (ii) perjuangan berpemerintahan sendiri, tidak memerlukan bantuan dari phak
amna pun (iii) mutlaknya persatuan yang kokoh. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Ideologi Bangsa dan
Pendidikan Sejarah”, dalam Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal.
28; Mestika Zed, “Warisan Sutan Sjahrir untuk Bangsa”, Makalah Pengantar untuk Diskusi “Sjahrir dan
Peranannya dalam Perjuangan Memerdekan Indonesia”, dalam rangka Peringatan Harkitnas 2009,
Padangpanjang, 20 Mei 2009.
8
www.rajaebookgratis.com
9
www.rajaebookgratis.com
12
Eric J. Hobsbaum, Nations and Nationalism since 1780. Programme, Myth, Rality (Cambrdige:
Cambrdige University Press, 1992), hal. 10.
13
Ben Anderson, Imagined Community. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (London:
Verso, 1992), hal. 6-7.
14
Hobsbaum, Nations and Nationalism …., hal. 177.
10
www.rajaebookgratis.com
15
Ibid.
16
Pada pertengahan 1990-an, rejim Orde Baru Soeharto lewat tangan Mesesneg Murdiono dan Lemhanas
(1996), pernah melakukan suatu rekayasa ulang tentang kebangkitan nasionalisme kedua, tetapi semua itu
adalah topeng belaka karena gagasan yang dimunculkan ahistoris dan sebuah lamunan asal jadi (idle
imagination) yang tidak jelas agendanya dan juga tidak ada pergerakan yang mewadahinya. Ulasan kritis
mengenai ini terdapat dalam esei Mochtar Pobottinggi, “Topeng Kebangkitan Nasional” dalam bukunya
Suara Waktu (Jakarta: Erlangga), hal. 161ff.
17
Richard Barnet and John Cavanagh, “A Global Economy: Some Implications and Concequences”
dalam B. Mazlish & R. Buultjens (eds.), Conceptualizing Global History. Boulder: Westview Press,
1993), hal. 14-18.
18
Dikutip dari Tafik Abdullah, “Nasionalisme Indonesia. Dari Asal Usul ke Prospek Masa Depan”,
dalam Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal. 19.
11
www.rajaebookgratis.com
dengan pelbagai istilah sejenis: micronasionalism, militant nationaslism atau apa yang
disebut dengan etnonasionalisme. Inilah yang terjadi di bekas negara Yugoslavia seperti
juga di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru, tatkala meletusnya konflik etnik di
berbagai daerah.19 Etnonasionalisme merupakan guratan ekspektasi yang dikecewakan
karena merasa dianak-tirikan, tetapi kekayaan mereka dikuras mirip rezim kolonial.
Sentimen nasionalisme etnik pada gilirannya menolak diperintah oleh pusat, the others,
dan sebaliknya menghedaki agar sadel kekuasaan berada di tangan putra daerah sendiri.
Pengalaman ini sudah berlangsung sejak tahun 1950-an dan kembali terulang dalam
rezim Orde Baru.
Sejauh berkenaan dengan gejala etnonasionalisme dewasa ini kita mungkin tidak
perlu terlalu merisaukannya. Pada hemat saya, di Indonesia khususnya tidak ada yang
namanya nasionalisme etnik yang genuine, kecuali sentimen loyalitas primordial lokal
akibat diperlakukan tidak adil. Pemunculannya hanya sementara, kabur sifatnya, tetapi
lama-lama akan menjadi lemah dan bimbang manakala ”cetak-biru” Indonesia
Merdeka” benar-benar dijalankan dengan spirit nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah
dirintis sejak satu abad lalu. Bahaya paling besar agaknya bukan datang dari kiri atau
dari kanan; dari sentimen etnonasionalisme lokal, atau dari fenomena globalisme
internasional, melainkan justru dari tengah, yaitu dari dalam tubuh rezim birokratik itu
sendiri. Rezim birokratik yang mengidap narsistik, cenderung meneruskan tradisi buruk
birokrasi kolonial dalam arti orientasinya pada power culture dan bukan pada service
cultur. Namun sebaliknya warisan terbaik birokrasi kolonial, yaitu watak
profesionalfimenya, keteraturan, dan ketelatannya (zakelijk) dalam perencanaan dan
mengurus setiap inci persaolan justru tidak diteruskan.20
***
Bertolak dari pemaparan di atas, berikut ini beberapa catatan mengenai
problematika nasionalime Indonesia kontemporer, yang mungkin bisa menjadi bahan
pemikiran lebih lanjut untuk menyusun agenda pemikiran ke depan. Pertama,
19
Cornelis Lay (ed.), Nasionalisme Etnositas. Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan (Jakarta: kerja
sama penerbit DIAN/ Intefidei & Kompas, 2001).
20
Mestika Zed, “Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi
Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke Depan,” Makalah pada Seminar, ”Peningkatan
Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar
Internasional”, Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober 2008.
12
www.rajaebookgratis.com
nasionalisme puritan bentukan sejarah awal abad ke-20 berkembang menurut dialektika
sejarahnya. Karena itu tidak perlu ada perumusan ulang terhadap nasionalisme dalam
konteks kekinian karena nasionalisme tanpa memori sejarah akan kehilangan rohnya,
seperti halnya dengan ideologi nasional itu sendiri, Pancasila. Kecuali kalau pijakan
“negara bangsa” ke depan bukan lagi Indonesia yang diperjuangkan oleh para bapak
pendiri bangsa ini di masa lalu. Yang lebih dibutuhkan agaknya adalah kemampuan
bangsa untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap berpijak pada landasan nilai-
nilai hakiki dari nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah dirumuskan dalam ”cetak-biru”
Indoensia Merdeka itu sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu.
Kedua, masalahnya sekarang ialah bahwa titik kronis nasionalisme Indonesia
dewasa ini justru berasal dari dalam, tatkala dominannya institusi negara dalam
mendefinisikan nasionalisme berserta isinya. Dalam hubungan ini setidaknya ada tiga
prinsip yang penyebab terjadinya distorsi nilai nasionalisme akibat intervensi berlebihan
dari negara.
1. Prinsip kedaulatan (sovereignty) yang menjadi taruhan motivasi dan sentimen
nasionalisme untuk tidak dijajah dan didikte oleh unsur luar kini diam-diam
dirasakan hasirnya neo-kolonialisme baru tatkala negara tidak berdaya melindungi
rakyat dari ancaman luar. Pernyataan Presiden Soeharto yang dikutip di atas dalam
kaitannnya dengan globalisasi, bahwa ”senang tidak senang, mau tidak mau” proses
itu harus dimasuki, memiliki menunjukkan sifat ketergantungan. Namun, di lain
pihak banyak kebijakan kebijakan yang kurang memperlihatkan pro rakyat
menimbulkan perasaan kekecewaan. Selama Orde Baru, di balik keberhasilan
pembangunan fisik yang megah sejak lebih seperempat abad terakhir, juga tercipta
pula lubang kesenjangan ekonomi dan politik yang makin menganga. Semua ini
menyisakan perasaan diperlakukan tidak adil dan ketidakpuasan mayoritas rakyat
yang termajinalkan dari pembangunan. Sampai tingkat tertentu menyediakan
tumbuhnya bibit-bibit etnonasionalsime lokal. Sejak beberapa dekade belakangan
banyak penumpang kapal NKRI yang tak lagi percaya kepada nakhodanya.
Sebagian minta turun di tengah jalan. Seringkali dengan memaksa secara
kekerasan. Sebagian lain cukup uring-uringan dan berkeluh kesah di atas kapal
seraya membentak sana sini. Tetapi mayoritas umumnya bersikap ’masa-bodo’.
Atau kalau lagi senggang ikut berdoa ketika musim upacara datang.
13
www.rajaebookgratis.com
14
www.rajaebookgratis.com
adalah peradaban yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan peradaban imitatif
dan konsumtif.
Keempat adalah pemenuhan serta jaminan negara akan kebutuhan hak-hak
dasariah dan/atau hak-hak asasi warga-negara. Hanya dengan pemenuhan dan jaminan
demikian yang bisa meyakinkan rakyat apakah mereka sebagai anak bangsa ini sudah
merdeka atau masih terjajah. Inilah pula sesungguhnya terjemahan aktual Pembukaan
UUD 1945, yang di dalamnya iklusif pandangan hidup Pancasila dan akan tetap
menjadi rujukan yang valid dan progresif untuk dibawa memasuki abad ke-21.
Kelima, baik globalisasi maupun etnosentrisme lokal bukanlah ancaman utama
terhadap kebangkrutan nasionalisme, meskipun dapat menyediakan amunisi bagi ”self-
destructive” terhadap negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia. Globalisasi yang
kini nyaris diperlakukan sebagai mantra kemajuan yang dengannya pemerintah
menyerah, sebagaimana tercermin dari pernyataan Soeharto di atas. Globalisasi sebagai
pengganti mantra ”modernisasi” di masa lalu justru hanyalah sebuah ilusi yang akan
membuatnya menjadi kotak Pandora bagi bangsa yang lemah daya saingnya. Fakta
bahwa Indonesia termasuk ranking bawah dalam daya saingnya di Asia, apalagi di
dunia tidak bisa dinafikan.21 Namun, kecenderungan ini masih bertahan pada rezim-
rezim yang lebih kemudian. Pada gilirannya akan juga akan menjadi ”boomerang”
terhadap melemahkan kedaulatan (sovereignty) yang menjadi prinsip sebuah negara-
bangsa untuk tidak dijajah dan didikte oleh bangsa lain. Kini ketika nasionalisme
dilucuti dari berbagai jurusan, dan dalam pelbagai macam bentuk, makin banyak orang
Indonesia tidak peduli, kehilangan rasa bangga dan rasa memiliki bersama terhadap
tanah-airnya. Nasionalisme yang sehat dan dewasa, terbuka, serta tidak xenofobia, dan
juga bukan Islamfobia, makin mendesak dibangkitkan kembali. Jika ini bisa dibangun
kembali, globalisasi atau primordialisasi lokal segencar apa pun mengintainya, takkan
mungkin bisa menggoyahkan nasionalisme Indonesia, apalagi hendak menghapuskan
hal-hal sarat makna (the meaningful) di dalamnya.
21
Fakta-fakta mengenai ini telah dikemukakan dalam makalah saya, Mestika Zed, ”Membangun
Optimisme Baru dalam Membangkitkan Daya Saing Bangsa Dari Segi Sosial Ekonomi”, Makalah
disiapkan untuk diskusi berkala dalam rangka memperingati ”Satu Abad Kebangkitan Nasional”,
diselenggarakan oleh Jurusan Manajemen FE UNP, Padang, Rabu, 28 Mei 2008.
15
www.rajaebookgratis.com
22
Dikutip dari Gismar, “Indonesia: Antara Ika dan Bhineka .....”, hal. 5.
16
www.rajaebookgratis.com
17
www.rajaebookgratis.com
dari amalgamasi nilai-nilai asli Indonesia yang unggul ini. Dengan demikian dapat
diharapkan bahwa manusia Indonesia orisinal ini akan terbebas dari kepicikan-
kepicikan kedaerahan ataupun sentimen ”primordialisme” lokal dalam bentuk apapun
lainnya. Sebagai satu komunitas maka kita tidak bisa berharap untuk membangun
collective agency yang diperlukan untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Pendeknya
tanpa identitas nasional yang kuat tidak ada komunitas nasional, dan tanpa komunitas
nasional tidak ada yang namanya masyarakat bangsa. Manusia Pancasila dan
nasionalsime pada dasarnya mengandung konsepsi manusia yang sama dan sebangun
dengan penekanan yang berbeda. Apabila nasionalisme dan kaum nasionalis memberi
akar historis terhadap manusia Pancasilais, yaitu manusia yang sadar dengan asal-usul
dan perubahan zaman, homopancasilais memberi akar filosofis terhadap nasionalisme
atau bagi nasionalis. Dengan kombinasi kedua ini, Pancasila akhirnya menjadi semacam
”civil religion” dan ”nation state” lebih berwajah ”civic nation.
Penutup
Para bapak bangsa telah menyelesaikan pekerjaan mereka dengan segala daya
dan upaya atas dasar ketulusan dan penuh khidmat terhadap tugas dan tanggung jawab
sejarah yang dipikulkan kepada mereka. Dalam arti tertentu, mereka tanpa kecuali,
adalah pemimpin yang mengemban amanah, yang tidak mungkin ditemukan lagi.
Karena menjadi pemimpin sekarang harus membayar dengan sejumlah uang. Justru
karena ketulusan dan dan keikhlasan itulah yang membuat mereka senantiasa
memikirkan dan melakukan sesuatu untuk kebajikan bangsanya. Mereka dalam istilah
Jacques Barzun (1959) adalah “the house of intellect”, yang tak pernah kering
mengalirkan gagasan-gagasan bening dan cerdas serta keterlibatan mereka yang intens
dalam mendobrak sejarah zamannya. Mereka tidak hanya melahirklan Republik ini,
tetapi mereka jugalah sesungguhnya sumber kemenangan Indonesia dalam perjuangan
mengusir Belanda – di samping dukungan militer – pada masa revolusi nasional
1945—1949. Dengan kata lain Bapak Bangsa adalah negarawan sejati yang diciptakan
dan sekaligus menciptakan sejarah. Struktur atau kondisi [kebetulan] sejarah membuat
mereka berada di puncak kulminasi sejarah, sehingga memperoleh kesempatan untuk
merancang dan merumuskan konstitusi, sesuatu yang tak dimiliki oleh negarawan yang
bukan bapak bangsa (the founding fathers). Namun pada saat yang sama mereka adalah
18
www.rajaebookgratis.com
juga “agen sejarah”, yaitu segelintir orang yang oleh sejarawan Arnold Toynbee disebut
kelompok “creative minority”, yang berperan membuat sejarah bangsa ini.
Pada akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting
bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat
sejalan dengan sentimen nasionalisme yang telah dibina oleh the founding fathers di
masa lalu. Teknologi tentu tidak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa
membantu jiwa yang merdeka itu. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya
menelurkan banyak hal yang menggelikan, dan sekaligus menyedihkan, cerminan
pikiran dan sukma pemakainya. Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti
halnya kegamangan dan konservatisme politik—kultural sebagian besar mereka yang
telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis tak
bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali
sudah pergi, sudah gulung tikar, tetapi perangai kekuasaan, ketaknyamanan, kegelisahan
dan ilusi penguasa pribumi membuat wajah Indonesia di zaman Belanda dan Jepang,
kembali muncul di era kemerdekaan. Kalau masih ada yang bertanya atau menegasikan
nasionalisme tidak diperlukan lagi, karena zaman sudah berbeda, sehingga tidak tahu
merumuskan ”siapa musuh kita?”, itu artinya generasi sekarang gagal membaca tanda-
tanda zaman dan dengan demikian juga merumuskan persoalan bangsanya.. Dengan
demikian, harapan akan masa depan yang lebih baik hanya ilusi apabila negeri ini
dibiarkan jatuh ke dalam kedunguan (ignorance), atau ke tangan mereka yang mengaku
sebagai pemimpin, tetapi sebenarnya mereka tengah menjermuskan bangsa di luar jalur
yang telah digariskan oleh bapak bangas di masa lalu.
***
19
www.rajaebookgratis.com
20