Anda di halaman 1dari 11

Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Disusun Oleh :

CHARLY T. HAHURY

2021-21-373

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON


i

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 3

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3

BAB II ISI ..................................................................................................................... 4

2.1 Metode Penulisan ................................................................................................. 4

2.2 Pembahasan .......................................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 8

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 8

3.2 Saran ..................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 9


1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat hukum adat memiliki kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang
mengagumkan serta sistem sosial- ekonomi yang tangguh. Namun demikian, dalam kenyataannya
terjadi pertentangan antara budaya masyarakat hukum adat yang bertumpu pada keseimbangan
alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsistem (berladang, berburu,
mengumpul, berkebun dan lain-lain), dengan kebijakan pemerintah yang eksploitatif terhadap
sumber daya alam. 1

Masyarakat hukum adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk kepada
masyarakat asli yang mendiami wilayah Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal
dikenal Masyarakat Hukum Adat, namun dalam perkembangan terakhir masyarakat asli menolak
dikelompokkan hanya dalam perspektif hukum saja, tetapi perlu dilihat dalam segala aspek dan
tingkatan kehidupan. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan
subyek hukum lainnya. keberadaan hukum adat telah dicantumkan dalam rumusan

Pasal 18B yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.” Pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu sekaligus
pengakuan terhadap hukum adatnya. Dengan demikian berlakunya hukum adat bukanlah
tergantung kepada penguasa negara atau tergantung kepada kemauan politik penyelenggara
2
negara, melainkan bagian dari kehendak konstitusi.

Bahkan, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya Deklarasi PBB tentang hak-hak
masyarakat hukum adat antara lain menyatakan,mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga-
warga masyarakat hukum adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak- hak asasi manusia yang
diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak-hak kolektif
yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh
sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menjaga dan

1
Hendra Nurtjahyo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam
Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm 73.
2
Rikardo Simarmata, Pengakuan terhadap Masyarakat hukum adat di Indonesia, (United Nations
Development Programme, 2006), hlm 53.
2

memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-
institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika
mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya negara.

Oleh sebab itu, dalam upaya melakukan reformasi hukum di Indonesia, tentu janganlah dilupakan,
terutama berkaitan dengan menentukan paradigma pembaharuan konsepi pembangunan hukum
ada nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat hukum adat yang diakui secara konstitusional dan
dalam Deklarasi PBB.

Menurut Satjipto Rahardjo dikutip oleh Hendra Nurtjahyo dan Fokky Fuad, bahwa ada 4 (empat)
klausula yuridis yang menjadi kriteria eksistensi masyarakat hukum adat:

a. sepanjang masih hidup;

b. sesuai dengan perkembangan masyarakat;

c. sesuai dengan prinsip Negara kesatuan

Republik Indonesia;

d. diatur dalam Undang-Undang.

Pengaturan mengenai keberadaan dan

hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia terdapat di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal
ini menunjukan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat telah diterima dalam
kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Sub- bagian ini akan memberikan penjelasan ringkas
mengenai pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perdebatan mengenai Pengakuan dan Perlindungan terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas sumberdaya alam atau pengakuan
terhadap hukum adat tidak pernah habis relevansinya. Ada energi yang membuatnya selalu
memiliki relevansi yakni konflik dan sengketa. Terus berlanjutnya konflik dan sengketa sumberdaya
alam di era reformasi membuat sejumlah kalangan kembali mendiskusikan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas sumberdaya alam sebagimana yang terjadi di
Maluku.
3

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Eksistensi Hak atas tanah terhadap masyarakat adat?

2. Apakah Eksistensi Masyarakat hukum adat atas tanah adat mereka?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan ini adalah Membahas dan menganalisa Eksistensi Hak atas tanah
terhadap masyarakat adat.
4

BAB II
ISI
2.1 Metode Penulisan
Metode Penulisan yg digunakan adalah :

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang digunakan ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Peter Mahmud Marzuki
menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum prinsip-prinsip hukum, guna menjawab permasalahan hukum, penelitian hukum normatif
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori dan konsep baru sebagai preskripsi (penilaian)
dalam masalah yang dihadapi.

2. Pendekatan Masalah

Sesuai dengan tipe penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis normatif), maka dapat
digunakan lebih dari satu pendekatan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) yakni pendekatan terhadap produk-produk hukum dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) yakni penelitian terhadap konsep hukum seperti
sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya. Serta pendekatan kasus (case
approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan yaitu :

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

-Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria.

b. Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum, jurnal-jurnal
hukum dan kamus hukum.

c. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan informasi maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu internet dan majalah
hukum.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun prosedur pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan yang
5

merupakan metode pengumpulan data dengan jalan menggali atau mempelajari data dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku atau literatur, peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, yang bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-
teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
permasalahan.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan hukum dilakukan dengan cara, data atau hasil yang telah terkumpul atau ditemui
dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis secara kualitatif yakni data yang telah terkumpul atau
ditemui harus dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam
usaha mencapai jawaban masalah penelitian dimaksud.

2.2 Pembahasan
Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya merupakan pembahasan yang telah ada sejak
dahulu di tingkat internasional, di negara manapun masyarakat menganggap bahwa hubungannya
dengan tanah tidak hanya selalu mengenai masalah ekonomi, tetapi juga hubungan secara sosial
dan spiritual. Profesor Robert A.Williams menggambarkan hubungan masyarakat adat dengan
tanahnya sebagai berikut: Masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan material
dari identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan mereka yang unik dengan wilayah
tradisional mereka yang turun temurun.3

Hubungan antara masyarakat adat dengan tanahnya juga diatur di dalam United Nations
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang berbunyi sebagai berikut:

‘ Indigenous peoples have the right to maintain and strengthen their distinctive spiritual
relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used lands, territories,
waters and coastal seas and other resources and to uphold their responsibilities to future
generations in this regard.’

Dari paparan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui
hubungan masyarat adat dengan tanahnya. Di dalam pengakuan yang tercantum di dalam deklarasi
ini mencakup hak dan kewajiban bagi masyarakat adat. Hak yang dimiliki oleh masyarakat adat
menurut deklarasi ini adalah hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas
mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas
pantai, dan sumber-sumber lainnya yang secara tradisional telah mereka miliki atau yang telah
mereka duduki. Di samping hak-hak tersebut, masyarakat adat juga diberi kewajiban untuk

3
Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2011), hlm, 122.
6

bertanggung jawab atas nasib generasi masa depan.4

Erica Irene Daes, seorang pelapor khusus untuk “Studi tentang Masyarakat Adat dan Hubungan
Mereka dengan Tanah”, menyimpulkan sejumlah unsur yang unik pada masyarakat adat dalam
hubungan mereka dengan tanah, yaitu:

a. Ada hubungan yang sangat erat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya
mereka;

b. Bahwa hubungan ini memiliki berbagai dimensi dan tanggung jawab sosial, budaya, spiritual
ekonomi dan politik;

c. Bahwa dimensi kolektif dari hubungan ini adalah signifikan dan bahwa aspek antar generasi dari
hubungan semacam ini juga krusial bagi identitas masyarakat adat, kelangsungan hidup dan
budayanya.

Profesor Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat, menamakan hak dari persekutuan hukum
(desa) ini ”beschikkingrecht”, artinya dalam bahasa Indonesia adalah hak untuk menguasai tanah,
tetapi dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab persekutuan hukum tidak mempunyai
kekuasaan untuk menjual tanah. Djojodigoeno menyebutnya hak purba, sedangkan Soepomo
menyebutnya hak pertuanan.5

UUD 1945 yang merupakan produk hukum tertinggi di dalam hirarki perundang-undangan di
Indonesia, memuat pasal-pasal yang mempunyai relevansi terhadap masyarakat hukum adat.
Pasal-pasal yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat adalah pasal 18B (2) yang
menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang, dan pasal 28I
(3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman dan
peradaban.

Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya ini juga diatur di dalam
peraturan lain di bawah konstitusi. UUPA yang merupakan undang-undang pokok dalam
pengaturan sumber daya alam mengakui mengenai keberadaan hak ulayat melalui Pasal 3 yang
bunyinya sebagai berikut:

4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan 2008), hlm 267.
5
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah,
(Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm 15.
7

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Penguasaan hak atas tanah oleh masyarakat adat merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat.
Hal ini diakui tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga secara internasional, seperti yang diatur
di dalam pasal Ketentuan internasional ini di Indonesia kemudian diadopsi ke dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perwujudan mengenai pengakuan hak
masyarakat adat atas tanahnya merupakan bagian dari hak asasi manusia terdapat di dalam pasal
6 ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras
dengan perkembangan zaman.

Ketentuan di dalam pasal 6 ini secara jelas telah menyebutkan mengenai hak ulayat, yang
mengamanahkan agar hak ulayat yang menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat hukum
adat harus dilindungi. Apabila menilik dari ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
keberadaan hak masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah tidak
hanya sekedar diakui, tetapi juga harus dilindungi, dan ini merupakan wujud tanggung jawab
negara, dalam hal ini pemerintah, kepada warga negaranya. Perlindungan terhadap hak ulayat ini
juga termasuk hak ulayat yang ada di wilayah hutan. Pengakuan mengenai keberadaan masyarakat
adat dalam kaitannya dengan wilayah hutan baru jelas diatur melalui Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.6

6
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 28.
8

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UUPA memuat istilah masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan hukum adat, namun tidak secara
jelas mendefinisikan pengertian dari masing-masing istilah tersebut. Demikian juga, jenis-jenis hak
atas tanah dan sumber daya alam lainnya menurut pasal 16 (1) dan (2) dalam UUPA tidak meliputi
hak ulayat maupun jenis hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya yang dimiliki masyarakat
hukum adat.

3.2 Saran
Banyak kelompok masyarakat hukum adat selama ini bermukim di kawasan hutan, jauh sebelum
penunjukan dan/atau pengukuhan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan berlanjut selama ditetapkannya rezim pengaturan kehutanan
nasional setelah disahkannya Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967.
9

DAFTAR PUSTAKA

Hendra Nurtjahyo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam
Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika, Jakarta, 2010.

Rikardo Simarmata, Pengakuan terhadap Masyarakat hukum adat di Indonesia, United Nations
Development Programme, 2006.

Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan di Indonesia, Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta, 2011.

Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia dalam

Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung.

Bambang Eko Supriyadi, 2013, Hukum Agraria Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai