Pengertian Persekutuan hukum oleh J.F. Holleman dimaknai sebagai unit sosial
terorganisir dari masyarakat pribumi, yang mempunyai pengaturan khusus dan otonom atas
kehidupan masyarakatnya karena dua faktor, yaitu; pertama, adanya representasi otoritas lokal
(kepemimpinan adat) yang khusus, dan kedua, adanya kekayaan komunal, utamanya tanah, yang
memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya. Contoh dari persekutuan
masyarakat adat adalah nagari yang mempunyai hak ulayat, bukan pada wilayah lingkaran
hukum adat Minangkabau.1
3. Masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau dasar keturunan.
1
Savitri dan Uliyah, Mengenal Masyarakat Adat. GTMA Jayapura. 2022
2
jamanat Samosir, Hukum Adat; Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia,
Bandung, 2013, hlm. 78
penguasa dari masyarakat hukum adat dan juga unsur wilayah yang mempunyai batas-batas
tertentu tidak terdapat dalam rumusan ini, yang seharusnya unsur yang sangat penting sebagai
syarat yuridis terhadap eksistensi dari masyarakat hukum adat.3
Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang
dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat
yang tetap dan teratur, yang anggota – anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah
kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan
rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur Menurut R. van Dijk (1954)
“persekutuan hukum teritorial ini dibedakan kedalam tiga macam yaitu:
3
Ibid, hlm. 76
oleh penduduk desa-desa itu. Sebagai contoh: kuria di angkola dan mandeling, yang
mempunyai huta-huta di dalam daerah serta marga di sumatera selatan dengan dusun-
dusun yang terletak di dalamnya
c) Perserikatan dari beberapa Desa.
perserikatan dari beberapa kampung, ialah apabila beberapa badan persekutuan kampung
yang terletak berdekatan yang satu dengan yang lain, mengadakan persetujuan untuk
memelihara kepentingan-kepentingan bersama misalnya: akan mengadakan pengairan,
mengurus perkara atau perikatan, oleh karna para pembuka dari kampung-kampung itu
berketurunan dari satu nenek moyang.4
Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan
yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau
pertalian adat. Dalam hal ini adalah tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu:
a) Pertalian darah menurut garis bapak atau (patrilineal) misalnya pada orang-orang
batak, nias, sumba;
b) Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) misalnya family minangkabau, dan
c) Pertalian daerah menurut garis ibu dan bapak (atau susunan parental), misalnya: orang-
orang jawa, sunda, aceh, bali, Kalimantan. Untuk menentukan hak-hak dan kewajiban
seseorang, maka family dari pihak bapak adalah sama artinya dengan family dari pihak
ibu.5
4
Soerjono Soeknato. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2011
5
Henry Arianto S.H., M.H. Mengenal Masyarakat Adat di Indonesia.Universitas Esa Unggul. 2020
dengan “Tiyuh-tiyuh” di Lampung, dalam bentuk yang lama, dimana para anggota kesatuan
masyarakat itu terikat pada suatu daerah Kuria/Marga dan terikat pula pada suatu marga
Keturunan (Batak) atau “Buway” di LampungDalam bentuknya yang baru (campuran antar
suku), seperti mereka yang tinggal di kecamatan Lampung atau pedesaan setelah
kedatangan para pendatang, terutama setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pemukiman
Jawa, Sunda, dan Bali secara alami teritorial.6
Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut aspek teoritis dan aspek yuridis.
1. Aspek Teoritis
Hazairin (dalam Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat
adalah seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria
diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasar hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahanya. Semua anggotanya sama
dalam hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat) dimana
mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya secara teratur
dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat. 7
6
Ridwan dan Isma.. Masyarakat Hukum Adat dan Datuk Sinaro Putih: Pasang Surut Kekuasaan Adat di Tengah
Hegemoni Negara. Jurnal Niara. Vol. 12 No. 1. 2019
7
Ter Haar, Bzn , Poesponyoto Soebakti, 1981, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta.
1981
2. Aspek Yuridis
Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya di
Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sangat beragam
dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah juga berbeda-beda.
Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang
menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui
salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal
3: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat , sepanjang kenyataanya masih ada harus
sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
yang lebih tinggi”.8
8
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960