Anda di halaman 1dari 5

Persekutuan Masyarakat Hukum Adat

Persekutuan hukum sendiri disebutkan sebagai “golongan-golongan yang mempunyai


tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu masing-masing mengalami
kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. “

Pengertian Persekutuan hukum oleh J.F. Holleman dimaknai sebagai unit sosial
terorganisir dari masyarakat pribumi, yang mempunyai pengaturan khusus dan otonom atas
kehidupan masyarakatnya karena dua faktor, yaitu; pertama, adanya representasi otoritas lokal
(kepemimpinan adat) yang khusus, dan kedua, adanya kekayaan komunal, utamanya tanah, yang
memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya. Contoh dari persekutuan
masyarakat adat adalah nagari yang mempunyai hak ulayat, bukan pada wilayah lingkaran
hukum adat Minangkabau.1

Menurut Soepomo, persekutuan-persekutuan hukum (masyarakat hukum adat) itu tidak


bersifat suatu badan kekuasaan (gezagemeenschap) seperti halnya dengan suatu kota-Praja di
negeri-negeri Barat dan Indonesia modern, melainkan kehidupan masyarakat di dalam badan-
badan persekutuan itu bersifat kekeluargaan, merupakan kesatuan hidup bersama (levens-
gemeenschap) dari suatu golongan manusia yang satu sama lain, kenal mengenal sejak waktu
kanak-kanak hingga menjadi orang tua, suatu golongan manusia yang sejak zaman dahulu
tinggal bersama di tengah kediaman mereka dan seluruhnya serta kebahagiaan perseorangan dari
teman-teman segolongan.2

Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut bahwa persekutuan masyarakat hukum


adat dapat dipahami dengan kriteria sebagai berikut:

1. Ada sekelompok orang yang terikat dalam tatanan hukum adatnya.

2. Ada warga masyarakat merupakan warga bersama masyarakat hukum adat.

3. Masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau dasar keturunan.

Berdasarkan unsur-unsur/ciri-ciri pembentuk masyarakat hukum adat dalam rumusan


tersebut bahwa eksistensinya itu hanya berdasarkan ketiga kriteria tersebut.Unsur pemimpin atau

1
Savitri dan Uliyah, Mengenal Masyarakat Adat. GTMA Jayapura. 2022
2
jamanat Samosir, Hukum Adat; Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia,
Bandung, 2013, hlm. 78
penguasa dari masyarakat hukum adat dan juga unsur wilayah yang mempunyai batas-batas
tertentu tidak terdapat dalam rumusan ini, yang seharusnya unsur yang sangat penting sebagai
syarat yuridis terhadap eksistensi dari masyarakat hukum adat.3

Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang
dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat
yang tetap dan teratur, yang anggota – anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah
kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan
rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur Menurut R. van Dijk (1954)
“persekutuan hukum teritorial ini dibedakan kedalam tiga macam yaitu:

a) Persekutuan Desa (dorp)


Golongan orang terikat pada satu tempat kediaman. Hal ini disebutkan juga, apabila
termasuk di dalam teratak-teratak atau dukuh-dukuh yang terpencil, yang tidak berdiri
sendiri, sedang para penjabat pemerintah desa boleh dikatakan semuanya bertempat
tinggal di dalam pusat kediaman itu. Sebagai contoh: desa di Jawa dan di Bali.
persekutuan desa mencakup desa-desa Jawa yang merupakan tempat tinggal bersama di
dalam wilayah mereka sendiri, termasuk beberapa Dukuh terdekat yang melapor kepada
pejabat desa yang tinggal di tengah desa. Perhimpunan daerah meliputi kesatuan
masyarakat Nagari Minangkabau, marga Sumatera Selatan dan Lampung, dan Negori
Minahasa dan Maluku. Ini adalah daerah pemukiman umum di masa lalu dan mengelola hak
tanah adat bersama yang terdiri dari beberapa pemukiman atau desa dengan pemerintah
pusat. Serikat desa, di sisi lain, peduli dengan beberapa desa atau klan yang berdekatan dan
mandiri yang menyelesaikan kepentingan bersama, misalnya untuk mencapai kesepakatan
kerja sama, kehidupan ekonomi, pertanian, pemasaran bersama
b) Persekutuan Daerah (streek)
Persekutuan daerah ialah apabila didalam suatu daerah yang tertentu terletak beberapa
desa (dorp) yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus yang sejenis
masing-masing boleh dikatakan hidup berdiri sendiri, akan tetapi semuanya merupakan
bagian bawahan dari daerah, mempunyai harta benda dan menguasai hutan dan rimba
diantara atau di sekeliling tanah-tanah yang ditanami dan tanah-tanah yang ditinggalkan

3
Ibid, hlm. 76
oleh penduduk desa-desa itu. Sebagai contoh: kuria di angkola dan mandeling, yang
mempunyai huta-huta di dalam daerah serta marga di sumatera selatan dengan dusun-
dusun yang terletak di dalamnya
c) Perserikatan dari beberapa Desa.
perserikatan dari beberapa kampung, ialah apabila beberapa badan persekutuan kampung
yang terletak berdekatan yang satu dengan yang lain, mengadakan persetujuan untuk
memelihara kepentingan-kepentingan bersama misalnya: akan mengadakan pengairan,
mengurus perkara atau perikatan, oleh karna para pembuka dari kampung-kampung itu
berketurunan dari satu nenek moyang.4

Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan
yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau
pertalian adat. Dalam hal ini adalah tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu:

a) Pertalian darah menurut garis bapak atau (patrilineal) misalnya pada orang-orang
batak, nias, sumba;

b) Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) misalnya family minangkabau, dan

c) Pertalian daerah menurut garis ibu dan bapak (atau susunan parental), misalnya: orang-
orang jawa, sunda, aceh, bali, Kalimantan. Untuk menentukan hak-hak dan kewajiban
seseorang, maka family dari pihak bapak adalah sama artinya dengan family dari pihak
ibu.5

Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial Selanjutnya mengenai afiliasi menurut Hukum


Silsilah dan Kadaster, kekuatan pengikat utama bagi anggota kelompok adalah tanah afiliasi
menurut Hukum Silsilah dan Kadaster. Dalam perkumpulan hukum ini, para anggotanya
tidak hanya terikat pada penduduk setempat tertentu, tetapi juga Hubungan genetik dalam ikatan
komunitas dan kekerabatan. masyarakat teritorial genealogis dapat dibedakan dari bentuk aslinya
(tradisional) seperti, “Kuria” dengan “Huta-huta”-nya dilingkungan masyarakat Tapanuli
(Angkola, Mandailing), “Marga” dengan “Dusun- dusun” di Sumatera Selatan, “Marga”

4
Soerjono Soeknato. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2011
5
Henry Arianto S.H., M.H. Mengenal Masyarakat Adat di Indonesia.Universitas Esa Unggul. 2020
dengan “Tiyuh-tiyuh” di Lampung, dalam bentuk yang lama, dimana para anggota kesatuan
masyarakat itu terikat pada suatu daerah Kuria/Marga dan terikat pula pada suatu marga
Keturunan (Batak) atau “Buway” di LampungDalam bentuknya yang baru (campuran antar
suku), seperti mereka yang tinggal di kecamatan Lampung atau pedesaan setelah
kedatangan para pendatang, terutama setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pemukiman
Jawa, Sunda, dan Bali secara alami teritorial.6

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut aspek teoritis dan aspek yuridis.

1. Aspek Teoritis

Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan hukum atau untuk mudahnya


disebut saja masyarakat hukum adat yaitu: “……gerombolan-gerombolan yang teratur,
bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan, yang
berwujud dan tidak berwujud..

Hazairin (dalam Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat
adalah seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria
diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuankesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasar hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahanya. Semua anggotanya sama
dalam hak dan kewajibannya.

Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat) dimana
mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya secara teratur
dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat. 7

6
Ridwan dan Isma.. Masyarakat Hukum Adat dan Datuk Sinaro Putih: Pasang Surut Kekuasaan Adat di Tengah
Hegemoni Negara. Jurnal Niara. Vol. 12 No. 1. 2019
7
Ter Haar, Bzn , Poesponyoto Soebakti, 1981, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta.
1981
2. Aspek Yuridis

Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya di
Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sangat beragam
dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah juga berbeda-beda.

Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang
menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui
salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal
3: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat , sepanjang kenyataanya masih ada harus
sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
yang lebih tinggi”.8

8
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

Anda mungkin juga menyukai