Anda di halaman 1dari 15

MASYARAKAT HUKUM ADAT

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN


5
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu Masyarakat Hukum Adat menurut
Ter Haar adalah:
- harus hidup teratur;
- ada wilayah;
- ada penguasa; dan
- memiliki harta kekayaan (terlihat maupun tidak).

Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu Masyarakat Hukum Adat menurut
Hazairin adalah:
- adanya suatu kesatuan hukum;
- hukum tersebut harus lahir, hidup dan berkembang dari masyarakat itu sendiri;
- adanya kesatuan penguasa;
- adanya kelompok orang yang berasal dari masyarakat itu sendiri, yang hidupB
dalam masyarakat dan menjalankan kekuasaan.
Cara Menghubungkan Darah
1. Bilateral: masyarakat menghubungkan darah serentak melalui
ayah dan ibu. Contoh: Masyarakat Jawa;
2. Patrilineal: masyarakat menghubungkan darah hanya melalui
ayah saja. Oleh karena hanya menarik garis keturunan melalui
satu sisi, maka dalam masyarakat ada klan. Contoh: Masyarakat
Batak;
3. Matrilineal: masyarakat menghubungkan darah hanya melalui
ibu saja. Contoh: Masyarakat Minangkabau.
Sistem Masyarakat Hukum Adat

Dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu:


1. Susunan:
Soerjono Soekanto berpendapat jika ditinjau dari sudut susunan, maka kita melihat
sistem Masyarakat Hukum Adat sebagai organisasi di dalam (bagaimana organisasi itu
disusun)
a. Masyarakat territorial
Faktor pengikatnya adalah wilayahnya. Contoh: Masyarakat Jawa.
b. Masyarakat genealogis
Faktor pengikatnya adalah hubungan darah. Contoh: Masyarakat Minangkabau dan
Batak.
c. Masyarakat territorial-genealogis
Faktor pengikatnya adalah wilayah dan hubungan darah. Contoh: Masyarakat
Minangkabau dan Batak.
2. Bentuk:
Hazairin berpendapat jika ditinjau dari sudut bentuk, maka kita melihat sistem
Masyarakat Hukum Adat dari luar masyarakat.
a. Masyarakat Hukum Adat Tunggal
Hanya ada satu wilayah dan satu penguasa. Contoh: Desa di Jawa
b. Masyarakat Hukum Adat Bertingkat
Dalam satu wilayah ada 2 (dua) Masyarakat Hukum Adat yang berbeda
kedudukannya, yaitu Masyarakat Atasan dan Masyarakat Bawahan, yang dipimpin
oleh Kepala Adat Atasan dan Kepala Adat Bawahan. Contoh: di Minangkabau.
Masyarakat Atasannya adalah Nagari dan Masyarakat Bawahannya adalah
Kampuang.
c. Masyarakat Hukum Adat Berangkai
Bentuk kerjasama dari beberapa masyarakat yang setingkat untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama. Kerjasama ini tidak membentuk
masyarakat atau kepala adat baru, dan akan berakhir bila tujuan yang hendak
dicapai telah terlaksana. Contoh: Subak di Bali.
Aspek-Aspek Dalam Masyarakat Hukum Adat
Sedikitnya istilah Masyarakat Hukum Adat mempunyai 3 (tiga) aspek
dalam pengertian yang masing-masing berbeda. Aspek-aspek itu adalah:

1. Masyarakat Hukum Adat sebagai suatu Totalitas.


Totalitas artinya adalah penghitungan/penjumlahan seluruh anggota
masyarakat tanpa membeda-bedakan kedudukannya dari segala segi.
Misalnya: Jumlah masyarakat ada 1.000 orang, maka secara totalitas
dihitung 1.000 orang pula.
Apabila dihubungkan dengan hak dan kewajiban, maka berarti
seluruh anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama, baik sebagai kepala adat maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Masyarakat Hukum Adat sebagai Kesatuan Penguasa (publik).
Berarti bahwa Masyarakat Hukum Adat itu berhak untuk melakukan tindakan-
tindakan di bidang hukum publik (penguasaan).
Misalnya: Jual beli tanah yang harus dilakukan di hadapan kepala adat.
Kedudukan kepala adat adalah sebagai Masyarakat Hukum Adat dalam arti
kesatuan publik. Jadi sebenarnya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan
masyarakat hukum adat, tetapi pelaksanaannya dilakukan di hadapan kepala adat.
3. Masyarakat Hukum Adat dalam arti Badan Hukum.
Sebagai badan hukum, Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan tindakan-
tindakan hukum sebagaimana dilakukan oleh badan hukum. Istilah badan hukum
dipinjam dari hukum barat karena hukum adat tidak mengenal istilah tersebut.
Misalnya: Apabila ada seorang anggota masyarakat hukum adat meninggal dunia
tanpa meninggalkan ahli waris, maka dalam hukum adat yang menjadi ahli waris
adalah Masyarakat Hukum Adat tersebut.
Perbedaan dari ketiga aspek tersebut adalah:
• Totalitas
Kewenangan dilakukan oleh individu-individu.
• Kesatuan Publik
Kewenangan dilakukan oleh kepala adat sebagai penguasa.
• Badan Hukum
Kewenangan dilakukan oleh kepala adat sebagai wakil dari
Masyarakat Hukum Adat.
Peranan Masyarakat Hukum Adat

A. Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda


Pemerintah Hindia Belanda tetap membiarkan Masyarakat Hukum Adat seperti apa
adanya termasuk sistem pemerintahannya. Sehingga keberadaan Masyarakat Hukum
Adat tidak terganggu. Akan tetapi pada pusat-pusat pemerintahan, Masyarakat Hukum
Adat dipengaruhi oleh Hukum Barat. Sementara di luar daerah, Masyarakat Hukum
adat tetap berjalan secara tradisional.
Ada 2 UU yang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat:
• Tentang pemerintahan Desa untuk Jawa dan Madura (IGO)/Inlands Gemente
Ordonantie
• Tentang pemerintahan desa untuk luar Jawa dan Madura (IGOB)/Inland Gemente
Ordonantie Buitengewesten.
Kedua peraturan ini membiarkan hukum adat itu tetap hidup sebagaimana adanya.
Dengan demikian pada saat itu sistem pemerintahan berbeda-beda antara masyarakat
satu dan yang lainnya.
B. Pada Masa Kemerdekaan

Pasal 18 UUD 1945 mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adat, dijelaskan


bahwa pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan
bantuan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang
dan mengamati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Sampai tahun 1979, sistem pemerintahan adat sesuai dengan yang aslinya tetap
berlangsung. Tahun 1979 ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan desa
yaitu UU Nomor 5/1979 (UUPD).

Tujuan UU ini : menyeragamkan pemerintahan yang terbawah di bawah


camat. Maksudnya agar masing-masing kesatuan masyarakat itu dapat
menunjang pembangunan dan punya kekuatan yang sama disegala bidang.
Menurut Soerjono Soekanto
Pasal 18 UUD 1945 itu pembagiannya berdasarkan asal-usul, sifat-sifat
yang istimewa, adat istiadat dan sebagainya. Dalam UUPD semua yang
berada di bawah camat di dalam kotamadya disebut kelurahan dan yang
diluar kotamadya disebut desa.
Bagaimana penerapannya terhadap masyarakat di luar Jawa?
Dari tahun 1979 s/d 1983, mengenai pembentukan penyeragaman ini
tidak jalan karena masyarakat bingung mana yang harus menjadi desa,
Masyarakat Hukum Adat atasan atau Masyarakat Hukum Adat bawahan.
Pada 1983 Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa yang menjadi
Desa sesuai dengan UUPD adalah Masyarakat Hukum Adat bawahan
yaitu suku di Minang, Huta di Batak, dan lain-lain.
Kalau masyarakat atasan sebagai desa/kelurahan, maka jumlahnya akan
sedikit. Apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk akan kecil jika yang
masih desa itu adalah masyarakat bawahan, akibatnya adat istiadat akan
hilang.
Dengan ditetapkannya Masyarakat Hukum Adat bawahan yang menjadi
desa, maka dimana ada sistem pemerintahan adat sebab dalam kehidupan
sehari-hari mereka masih terikat oleh hukum adat, dimana pucuk pimpinan
ada pada atasan bukan pada bawahan. Kalau masyarakat atasan tidak
berfungsi maka adat istiadat lama kelamaan menjadi hilang. Inilah masalah
yang timbul dari UUPD.
Sebenarnya ada masalah lain dalam UUPD yang mengatakan bahwa tiap
desa ada wilayah tertentu, kalau yang menjadi desa adalah bawahan,
bagaimana menentukan wilayahnya, disinilah terjadi sengketa mengenai
batas wilayahnya. Hal itu bisa terjadi karena setiap masyarakat hukum adat
secara tradisional mempunyai suatu wilayah sendiri.
Didalam hukum adat, wilayah atau lingkungan tanah ada dua macam, yaitu :
1. Lingkungan tanah sendiri, yaitu suatu wilayah yang dipunyai oleh suatu masyarakat
hukum adat.
2. Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu wilayah yang dipunyai secara bersama-sama oleh
beberapa masyarakat hukum adat.
Contoh :
di Minangkabau, nagari lingkungan tanahnya adalah nagari itu saja. Suku (kampuang)
tidak punya lingkungan tanah sendiri, suku itu mempunyai lingkungan tanah bersama.
Kalau ada empat suku maka secara bersama mempunyai wilayah yang merupakan
lingkungan tanah sendiri bagi mereka.
Beda antara lingkungan tanah sendiri dengan lingkungan tanah bersama adalah:
Kalau lingkungan tanah sendiri, batas wilayah yang satu dengan yang lain ada (batasnya
bisa ditentukan), sedangkan lingkungan tanah bersama batas lingkungan tanah antara
satu dengan yang lain tidak bisa ditentukan. Contoh: di Minangkabau, antara nagari
dengan nagari yang lain bisa ditarik batasnya, tetapi antara suku yang satu dengan yang
lainnya tidak bisa ditentukan.
Apabila kalau di Minangkabau, tanah bukan milik pribadi tetapi
milik bersama jadi batasnya tidak bisa ditentukan oleh sebab itu,
maka masing-masing masyarakat adat mengadakan penyesuaian,
secara yuridis formal tidak ada nagari tetapi secara sosiologis masih
ada.

Jadi dalam satu wilayah ada kepala nagari dan kepala desa. Kepala
desa menangani urusan pemerintahan diluar kecamatan, sedangkan
urusan kedalam ditangani kepala nagari. Dari sistem pemerintahan
yang berkuasa adalah kepala desa, dari adat istiadat yang berkuasa
adalah kepala nagari. Penyelesaian masalah warisan, perkawinan,
dan tanah terletak pada kepala adat.
* Berbeda dengan ketentuan saat ini, dahulu menurut Mahkamah
Agung, jual beli tanah dengan cara adat pemindahan hak adalah
sah, sedangkan dengan akte hanya merupakan syarat administrasi.
Misalnya : di Minangkabau, yang berwenang tentang masalah agraria
adalah kepala adat, maka Masyarakat Hukum Adat secara yudiris
formal sudah tidak ada, tetapi secara sosiologis tetap berlaku. Desa
dan kelurahan tetap berperan dalam hal administrasi/pemerintahan.
Setelah reformasi, dengan adanya otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
fungsi dan batasan nagari dan kampuang dalam pemerintahan di
Propinsi Sumatera Barat dikembalikan lagi seperti semula.

Anda mungkin juga menyukai