DISUSUN OLEH:
NAMA: LALU MUHAMMAD KHAIRUL
NIM: D1A022455
KELAS-SEMESTER: G1-3
1
Murtir Jeddawi dkk, “Studi Kemungkinan Perubahan Status Desa Teluk Kapuas Menjadi Kelurahan di Kabupaten
Kubu Raya”, Ilmu Pemerintahan Suara Khatulistiwa. Vol. 3 No. 1, Juli 2018, Hal. 31-32.
2. Uraikan Sejarah Pengaturan Desa dan Kelurahan Dalam Tata Hukum
Indonesia
5
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm.
256.
Di masa Orde Baru setidaknya ada dua produk hukum yang mengatur
pemerintahan desa, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Sejak kelahirannya pada awal pemerintahan Orde Baru, UU Nomor 5 Tahun 1974
telah mendelegasikan pengaturan tentang pemerintahan desa dengan Undang-
Undang. Untuk itu, setelah lima tahun berjalannya UU Nomor 5 Tahun 1974,
dibentuklah UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
menggantikan UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Ditinjau dari segi waktu, dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 ini dipandang
terlambat, karena jauh sebelumnya telah disadari bahwa undang-undang tentang
Pemerintahan Desa yang ada menghambat lancarnya pembangunan dan tidak sesuai
lagi dengan keadaan. Padahal seperti diketahui, Desa termasuk salah satu sarana yang
penting dalam menunjang pembangunan, karena itu perlu diatur secara baik. 6
6
Rochmat Soemitro, Peraturan Perundang-Undangan...hlm. 20
7
Putra Fadilah, Devolusi:Politik Desentralisasi Sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Antara Negara-Rakyat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Dikutip kembali oleh Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa,
(Malang: Setara Press dan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan, 2010), hlm. 110.
3. Uraikan Kedudukan dan Kewenangan Desa
A. Lingkup Kedudukan Desa
Pembahasan tentang Desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi yang bergulir
sejak 1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik,
pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong
terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih
luas untuk menjalankan urusannya sendiri, alih-alih hanya sebagai perpanjangan
tangan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan melalui terbitnya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Selain mengatur tentang desentralisasi
pemerintahan daerah, UU No. 22/1999 ini juga memberikan porsi cukup banyak
terhadap tata kelola pemerintahan Desa, yaitu Desa diberi keleluasaan untuk
mengatur pemerintahannya sendiri dan mengembangkan proses demokratisasi.8
Pengaruh Kedudukan Desa terhadap Kewenangan, Kedudukan Desa dalam rumusan
Pasal 5 UU No. 6/2014 merupakan bagian dari kompromi atas perdebatan mengenai
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. UU No. 6/2014 telah
menempatkan desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Kompromi tentang
landasan konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang asas rekognisi
dan subsidiaritas. Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman
kultural, sedangkan subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara dengan
desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi
harus memosisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri.
Kedudukan Desa sebagai Subyek Pembangunan Pengaturan tentang kedudukan Desa,
menjadikan Desa tidak ditempatkan sepenuhnya sebagai subordinasi pemerintahan
kabupaten/kota. Perubahan kedudukan Desa dari UU No. 22/1999, UU No. 32/2004
dan UU No 6/2014 bertujuan agar Desa bukan lagi obyek pembangunan tetapi
menjadi subyek pembangunan. Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU
Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan secara
tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan
local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini
merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa
adat”. 41 Ringkasnya, asas rekognisi dan subsidiaritas telah mengubah pendekatan. 9
B. Kewenangan Desa
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama (UU No. 32/2004) pada Pasal 206
hanyalah membagi kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa titik berat UU No. 32/2004 tidak
secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi lebih
memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja. Sedangkan
pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan
8
anif Nurkholis, “Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2016 tentang Desa,” makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Administrasi Negara di FISIP Universitas Negeri Padang, 13 November 2014, hal. 1.
9
HAW Widjaja. Op.cit., hal.17
kewenangan desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyatakan bahwa urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut,
urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah urusan yang
hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; urusan konkuren adalah urusan
pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah; dan urusan
pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden.
Dalam semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang
dijalankan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan gubernur jika yang
memberikan tugas adalah pemerintah provinsi dan peraturan bupati/walikota jika
yang memberikan tugas adalah pemerintah kabupaten/ kota.
10
Bito Wikantosa, Narasumber Expert Meeting Anotasi UU Desa, 7 Mei 2015 di Kantor PATTIRO, Jakarta
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Dalam konsepsi UU No. 32 Tahun 2004,
khususnya Pasal 200, pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Namun UU itu dan UU No. 5/1979, tak memberikan penjelasan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan Desa. Hal berbeda terlihat dari UU
Desa yang sudah memberikan definisi tentang pemerintahan Desa. Pemerintah Desa
pada dasarnya lebih merujuk pada organ, sedangkan pemerintahan desa lebih
merujuk pada fungsi. 50 Pemerintahan Desa mencakup fungsi regulasi/kebijakan,
fungsi pelayanan dan fungsi pemberdayaan. Undang-Undang Desa memperjelas asas
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang menjadi prinsip/nilai dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa. Asas itu dijelaskan dalam pasal berbeda
yang terdapat dalam Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Banyaknya
pasal yang mengatur tentang pemerintah Desa dapat dipahami karena pemerintah
Desa menjadi representasi penyelenggara urusan pemerintahan.11