Anda di halaman 1dari 9

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN


DOSEN PENGAMPU:
SARKAWI SH, MH.

DISUSUN OLEH:
NAMA: LALU MUHAMMAD KHAIRUL
NIM: D1A022455
KELAS-SEMESTER: G1-3

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
SOAL & JAWABAN

1. Uraikan Pengertian Hukum Desa dan Kelurahan


Desa dan kelurahan adalah dua satuan pemerintahan terendah dengan status
berbeda. Desa adalah satuan pemerintahan yang diberi hak otonomi adat sehingga
merupakan badan hukum. Sedangkan kelurahan adalah satuan pemerintahan
administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah
kabupaten/kota. Dengan demikian, kelurahan bukan badan hukum melainkan hanya
sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari pemerintah
kabupaten/kota di wilayah kelurahan setempat. Sedangkan desa adalah wilayah
dengan batasbatas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak
mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkaan asal usulnya
(Nurcholis, 2011:1).
Pemerintahan pada tingkat desa dan kelurahan yang secara entitas berbeda,
memerlukan model manajemen pemerintahan dengan berbagai pendekatan yang
berbeda pula. Pendekatan tersebut harus sesuai dengan kondisi sosial budaya
termasuk di dalamnya adat setempat yang diakui pemerintah. Entitas desa dan
kelurahan sepanjang peradaban masih ada, maka akan terus berkembang secara
dinamis, rasional dan realistis, sehingga munculah fenomena perubahan status desa
menjadi kelurahan.
Organisasi desa dan kelurahan memiliki misi yang sama yaitu mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, bahkan lebih mendasar adalah untuk memperkokoh
bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mencapainya bangsa
Indonesia harus memulai paradigma pembangunan dari bawah (desa dan kelurahan)
sebagai unit satuan pemerintahan terdepan, maka semua sistem yang ada pada
organisasi tersebut untuk mencapai tujuan termasuk transformasi organisasi
perubahan status desa menjadi kelurahan dan sebaliknya.
Perkembangan organisasi desa menjadi organisasi kelurahan ini dimungkinkan
terjadi sejauh persyaratan-persyaratan secara teknis dan administratife terpenuhi
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 6/2014 tentang Desa.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut, Pemerintah Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa dapat memprakarsai perubahan status desa
menjadi kelurahan dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat desa
melalui Musyawarah Desa. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa dan mencegah terjadinya konflik. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita
ciptakan, tanpa mempertimbangkan kehendak masyarakat berpotensi menimbulkan
konflik, dan tujuan untuk mencapai kesejahteraan tidak dapat terwujud. 1

1
Murtir Jeddawi dkk, “Studi Kemungkinan Perubahan Status Desa Teluk Kapuas Menjadi Kelurahan di Kabupaten
Kubu Raya”, Ilmu Pemerintahan Suara Khatulistiwa. Vol. 3 No. 1, Juli 2018, Hal. 31-32.
2. Uraikan Sejarah Pengaturan Desa dan Kelurahan Dalam Tata Hukum
Indonesia

a. Desa Pada Masa VOC dan Masa Pendudukan Jepang


Pada masa kekuasaan VOC, perhatian terhadap pemerintahan desa boleh
dikatakan tidak ada sama sekali. Pemerintah kolonial lebih suka berhubungan dengan
raja-raja atau bupati-bupati pribumi. Sosok raja atau bupati pribumi merupakan
pimpinan yang sangat dihormati oleh masyarakat termasuk kepala desa dan perangkat
pemerintah desa lainnya. Bagi VOC, lebih mudah dan menguntungkan apabila hanya
berhubungan dengan para raja dan para bupati, karena disamping jumlahnya lebih
sedikit, mereka secara efektif bisa mengendalikan para kepala desa. Dengan begitu,
VOC tidak memerlukan pegawai yang banyak untuk bertugas mengelilingi dan
mengawasi begitu banyak desa, yang tentu saja biayanya mahal. Eksploitasi
kekuasaan desa yang dilakukan VOC dengan cara penyerahan wajib sebagian hasil
pertanian rakyat dan kerja rodi, dilakukan secara efektif melalui pimpinan pribumi
tersebut, yang di tingkat paling bawah adalah kepala desa.2
Meskipun penguasa VOC sangat tidak peduli dengan pemerintahan desa yang
beragam, namun ada beberapa catatan penting yang dapat ditelusuri dari beberapa
ketentuan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh VOC. Pertama, diterbitkannya
Indische Staatsregeling pada 2 September 1854 (Staatblaad 1854 No. 2. Jo 1) Pada
Pasal 128 Undang-Undang Ketatanegaraan Hindia-Belanda ini ditentukan adanya
wilayah-wilayah administrasi, yaitu wilayah desa yang sayangnya, tidak mempunyai
otonomi. Pada ketentuan ayat (6) dimaksudkan untuk wilayah kota terutama yang
mempunyai banyak penduduk kulit putih (dalam perkembangannya setelah terbitnya
Descentralisatie Wet 1903 dan Descentralisatie Besluit 1905 adalah kota atau daerah
yang telah memiliki ‘locale raad’, suatu dewan pemerintah yang diberi wewenang
untuk mengatur sendiri penggunaan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat).
Bagi wilayah kota yang sudah memiliki dewan tersebut maka hak-hak desa
bumiputera tidak diberlakukan, karena di kota-kota seperti itu banyak terdapat
penduduk Eropa atau bangsa lain yang tidak dapat dikenai ketentuan yang
diberlakukan kepada penduduk pribumi.3
Kedua, seiring dengan timbulnya “politik etis” adalah diterbitkannya Inlandsche
Gemeente Ordonantie pada 1 Mei 1906 (Staatblaad1906 No.83) yang hanya berlaku
untuk desa-desa di Jawa dan Madura. Dalam ordonantie tersebut salah satu ketentuan
yang sangat menonjol adalah mengenai kuatnya kedudukan hukum adat dan
kolektivitas pemerintahan desa.4

b. Pemerintahan Desa Dari Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama


2
Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa..., hlm. 26.
3
Ibid., hlm. 49-50.
4
Ibid., hlm. 54.
Harus diakui, setelah merdeka Pemerintah Republik Indonesia belum banyak
melakukan tindakan untuk mengatur pemerintahan desa. Hanya beberapa peraturan
yang ada diubah seperlunya untuk menyesuaikannya dengan keadaan dan asas
kerakyatan. Demikian pula oleh beberapa penguasa setempat ditetapkan
peraturanperaturan yang bermaksud memberi kesempatan kepada rakyat untuk lebih
banyak ikut serta dalam pemerintahan desa.5 Dalam sejarah pengaturan desa,
kemudian lahir berbagai peraturan perundang-undangan yang strategis dalam
pengaturan pemerintahan desa.
1. UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 1 ayat (1) ditetapkan “Daerah Negara Republik Indonesia
tersusun dalam tiga tingkatan: Propinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota
Kecil, negeri, marga dan sebagainya), yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.” Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan: “Daerah-daerah yang
mempunyai hak asal-usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia mempunyai
pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan undang-undang pembentukan
termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa setingkat
Propinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.”

2. UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah


Menurut UU Nomor 1 Tahun 1957, wilayah Republik Indonesia dibagi dalam
daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang
merupakan sebanyak-banyaknya tiga tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah
adalah sebagai berikut: a. Daerah Tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
b. Daerah Tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan c. Daerah Tingkat ke III.

3. UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah


UU Nomor 18 Tahun 1965 (LN No. 83 TLN 2788) adalah hasil dari Panitia
Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, yang diketuai oleh R, Pandji
Soeroso yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 514 Tahun 1961.
Setelah bekerja selama dua tahun, Panitia Soeroso berhasil menyelesaikan dua
rancangan undang-undang, yakni RUU tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dan RUU tentang Desapraja.

4. UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja


Menurut Pasal 1 UU Nomor 19 Tahun 1965 yang dimaksud Desapraja ialah
kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak
mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta
benda sendiri.

c. Pemerintahan Desa Di Era Orde Baru

5
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm.
256.
Di masa Orde Baru setidaknya ada dua produk hukum yang mengatur
pemerintahan desa, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Sejak kelahirannya pada awal pemerintahan Orde Baru, UU Nomor 5 Tahun 1974
telah mendelegasikan pengaturan tentang pemerintahan desa dengan Undang-
Undang. Untuk itu, setelah lima tahun berjalannya UU Nomor 5 Tahun 1974,
dibentuklah UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
menggantikan UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.
Ditinjau dari segi waktu, dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 ini dipandang
terlambat, karena jauh sebelumnya telah disadari bahwa undang-undang tentang
Pemerintahan Desa yang ada menghambat lancarnya pembangunan dan tidak sesuai
lagi dengan keadaan. Padahal seperti diketahui, Desa termasuk salah satu sarana yang
penting dalam menunjang pembangunan, karena itu perlu diatur secara baik. 6

d. Pemerintahan Desa Di Era Reformasi


Ketika reformasi menemukan momentum untuk melakukan perubahan di tahun
1998, Orde Baru jatuh digantikan Orde Reformasi. Eksistensi desa dan kesatuan
masyarakat hukum adat kembali mendapatkan pengakuan. Sayangnya, eksistensi
desa dan kesatuan masyarakat hukum adat direduksi menjadi bagian dari wilayah
atau daerah kabupaten/kota yang pengaturannya disatukan dalam UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Yando Zakaria melihat berbagai
kelemahan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, antara lain: (1) tidak ada kejelasan
tentang apa yang dimaksud dengan konsep, isi, dan bentuk urusan rumah tangga
sendiri; (2) desa tidak ditetapkan sebagai daerah otonom; (3) masih menempatkan
desa sebagai kepanjangan birokrasi pemerintahan; (4) lebih menekankan hubungan
pemerintah pusat dan daerah, bukan hubungan pemerintah dan rakyat; (5) tidak
secara tegas menunjukkan komitmen pada desentralisasi pengelolaan sumber daya
alam; (6) tidak sensitif terhadap kepentingan ekonomi, politik dan budaya masyarakat
daerah; (7) tidak menyelesaikan masalah property right; (8) dalam kaitan
perimbangan pusat dan daerah belum menunjukkan nilai dan kriteria yang
berorientasi pada pemerataan, keadilan, kepastian, kemudahan, kesederhanaan dan
local accountability.7

6
Rochmat Soemitro, Peraturan Perundang-Undangan...hlm. 20
7
Putra Fadilah, Devolusi:Politik Desentralisasi Sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Antara Negara-Rakyat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Dikutip kembali oleh Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa,
(Malang: Setara Press dan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan, 2010), hlm. 110.
3. Uraikan Kedudukan dan Kewenangan Desa
A. Lingkup Kedudukan Desa
Pembahasan tentang Desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi yang bergulir
sejak 1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik,
pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong
terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih
luas untuk menjalankan urusannya sendiri, alih-alih hanya sebagai perpanjangan
tangan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan melalui terbitnya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Selain mengatur tentang desentralisasi
pemerintahan daerah, UU No. 22/1999 ini juga memberikan porsi cukup banyak
terhadap tata kelola pemerintahan Desa, yaitu Desa diberi keleluasaan untuk
mengatur pemerintahannya sendiri dan mengembangkan proses demokratisasi.8
Pengaruh Kedudukan Desa terhadap Kewenangan, Kedudukan Desa dalam rumusan
Pasal 5 UU No. 6/2014 merupakan bagian dari kompromi atas perdebatan mengenai
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. UU No. 6/2014 telah
menempatkan desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Kompromi tentang
landasan konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang asas rekognisi
dan subsidiaritas. Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman
kultural, sedangkan subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara dengan
desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi
harus memosisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri.
Kedudukan Desa sebagai Subyek Pembangunan Pengaturan tentang kedudukan Desa,
menjadikan Desa tidak ditempatkan sepenuhnya sebagai subordinasi pemerintahan
kabupaten/kota. Perubahan kedudukan Desa dari UU No. 22/1999, UU No. 32/2004
dan UU No 6/2014 bertujuan agar Desa bukan lagi obyek pembangunan tetapi
menjadi subyek pembangunan. Konstruksi pemerintahan desa yang dianut dalam UU
Desa adalah konstruksi gabungan. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan secara
tegas: “Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan
local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini
merupakan bagian dari wilayah desa ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa
adat”. 41 Ringkasnya, asas rekognisi dan subsidiaritas telah mengubah pendekatan. 9
B. Kewenangan Desa
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama (UU No. 32/2004) pada Pasal 206
hanyalah membagi kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa titik berat UU No. 32/2004 tidak
secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi lebih
memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja. Sedangkan
pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan
8
anif Nurkholis, “Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2016 tentang Desa,” makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Administrasi Negara di FISIP Universitas Negeri Padang, 13 November 2014, hal. 1.
9
HAW Widjaja. Op.cit., hal.17
kewenangan desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menyatakan bahwa urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut,
urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut adalah urusan yang
hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; urusan konkuren adalah urusan
pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah; dan urusan
pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden.
Dalam semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang
dijalankan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan gubernur jika yang
memberikan tugas adalah pemerintah provinsi dan peraturan bupati/walikota jika
yang memberikan tugas adalah pemerintah kabupaten/ kota.

4. Uraikan Tentang Penataan Dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa


Penataan Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa (UU No. 6/2014) merupakan
proses-proses pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan
penetapan Desa. Meskipun secara substansi hal ini pernah diatur dalam UU yang
mengatur tentang desa yang berlaku sebelumnya, namun penggunaan istilah
“penataan” baru muncul pada UU Desa ini.10
UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menyatakan bahwa ketentuan tentang
pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa diatur dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri. Sedangkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
bagian khusus yang mengatur tentang desa juga mencantumkan ketentuan tentang
pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. Menurut UU No.
22/1999ini, ketiga hal tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Demikian juga
pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tentang
pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. UU No. 32/2004 ini
menambahkan pengaturan tentang perubahan status kelurahan menjadi desa, sehingga
substansi tentang penataan desa bukan hal yang baru diatur dalam tata hukum kita.
Dalam Undang-Undang Desa, jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, penataan
Desa dirumuskan dalam klausul yang lebih rinci. Pemerintah, sebagai pengusul
rancangan UU Desa ini menyatakan bahwa perubahan mendasar yang diatur dalam
regulasi ini adalah persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam rapat kerja dengan Pansus
RUU Desa pada tanggal 4 April 2012. Lebih lanjut Menteri menyatakan, pengetatan
ini dilakukan untuk mengantisipasi pemekaran desa yang semakin hari semakin tidak
terkontrol.
Penataan Desa dalam UU Desa ini dicantumkan pada Bab III. Dari 11 pasal yang ada,
penataan Desa dapat diuraikan menjadi beberapa sub tema yang terdiri dari: (1)
Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa; (2) Evaluasi sebagai Basis Penataan
Desa; (3) Tujuan Penataan Desa; (4) Ruang Lingkup Penataan Desa; (5) Prasyarat
dalam Penataan Desa; dan (6) Mekanisme Penataan Desa.

10
Bito Wikantosa, Narasumber Expert Meeting Anotasi UU Desa, 7 Mei 2015 di Kantor PATTIRO, Jakarta
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Dalam konsepsi UU No. 32 Tahun 2004,
khususnya Pasal 200, pemerintahan Desa adalah bagian dari pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Namun UU itu dan UU No. 5/1979, tak memberikan penjelasan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan Desa. Hal berbeda terlihat dari UU
Desa yang sudah memberikan definisi tentang pemerintahan Desa. Pemerintah Desa
pada dasarnya lebih merujuk pada organ, sedangkan pemerintahan desa lebih
merujuk pada fungsi. 50 Pemerintahan Desa mencakup fungsi regulasi/kebijakan,
fungsi pelayanan dan fungsi pemberdayaan. Undang-Undang Desa memperjelas asas
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang menjadi prinsip/nilai dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa. Asas itu dijelaskan dalam pasal berbeda
yang terdapat dalam Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Banyaknya
pasal yang mengatur tentang pemerintah Desa dapat dipahami karena pemerintah
Desa menjadi representasi penyelenggara urusan pemerintahan.11

5. Uraikan Tentang Peraturan Desa


Peraturan desa adalah seperangkat aturan dan regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah desa untuk mengatur kehidupan dan aktivitas di wilayah desa tersebut.
Peraturan desa ini merupakan bagian dari hukum pemerintahan setempat dan
biasanya mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat desa. Berikut adalah
beberapa komponen umum yang mungkin diatur dalam peraturan desa:
1. Organisasi Pemerintahan Desa: Peraturan desa biasanya akan merinci struktur
pemerintahan desa, termasuk tugas, wewenang, dan tanggung jawab pejabat desa,
seperti kepala desa dan anggota badan perwakilan desa.
2. Tata Cara Pemilihan Kepala Desa: Peraturan desa akan mengatur prosedur
pemilihan kepala desa, seperti mekanisme pemilihan, persyaratan calon, jadwal
pemilihan, dan proses penghitungan suara.
3. Anggaran dan Keuangan Desa: Hal ini mencakup perencanaan anggaran,
pengelolaan keuangan desa, serta penyusunan dan pelaporan laporan keuangan secara
berkala.
4. Pelayanan Publik: Peraturan desa dapat mengatur berbagai layanan publik yang
disediakan oleh pemerintah desa, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan
sosial. Ini juga dapat mencakup tata cara pengajuan permohonan izin atau bantuan.
5. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Jika desa memiliki sumber daya alam seperti
lahan pertanian, hutan, atau sumber air, peraturan desa akan mengatur pengelolaan,
perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya ini.
6. Penegakan Hukum: Peraturan desa akan merinci bagaimana penegakan hukum
dilakukan di tingkat desa, termasuk sanksi dan prosedur hukum yang diterapkan
dalam kasus pelanggaran.
11
Coristya Berlian Ramadana dkk, Jurnal Administrasi Publik Vol.1 No.6, Keberadaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDesa) Sebagai Penguatan Ekonomi Desa, (Malang: Fakultas Ilmu Administrasi Fakultas Brawijaya, tth), hal
1074-1075
7. Perencanaan dan Pembangunan: Ini mencakup rencana pengembangan desa, tata
ruang, izin pembangunan, dan peraturan terkait dengan tata ruang dan pembangunan.
8. Pajak dan Retribusi: Peraturan desa juga dapat mengatur perpajakan dan retribusi
yang dikenakan kepada penduduk atau pengusaha di desa
Peraturan desa biasanya disusun dengan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik
unik dari setiap desa. Mereka dapat diubah atau diperbarui sesuai dengan
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat desa. Proses penyusunan peraturan
desa melibatkan partisipasi masyarakat dan sering kali melalui musyawarah desa atau
forum lainnya untuk memastikan kesepakatan bersama.

Anda mungkin juga menyukai