Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL

METODE PENELITIHAN DAN PENULISAN HUKUM

Disusun oleh:

Nama : ROOSYE E.N.KORWA

Nim : 2020021014334

Kelas : A (Reguler)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS CENDRAWASIH
JAYAPURA – PAPUA
Angkatan 2020
DAFTAR ISI
BAB I           PENDAHULUAN
A.. Latar Belakang Masalah
B.. Rumusan Masalah
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
3. Studi Pustaka
4. Metode Penelitian
5. Sistematika Penulisan Tesis

DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan ketatanegaraan di negara Republik Indonesia antara lain ditandai dengan
keinginan untuk melakukan pembatasan kekuasaan, baik kekuasaan pemerintah pusat
maupun kekuasaan pemerintah desa. Penulisan hukum ini akan difokuskan kepada sebuah
lembaga perwakilan rakyat desa yang baru, yaitu BPD. Studi tentang BPD masih sangat
langka mengingat BPD sebagai lembaga yang baru sehingga belum banyak penelitian
mengenal lembaga tersebut.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan
pengganti dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Landasan
pemikiran dalam pengaturan pemerintahan desa menurut Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan
masyarakat. Dalam era reformasi setiap peraturan perundang-undangan hendaknya senantiasa
dijiwai dan disemangati nilai-nilai demokrasi dan akomodasi terhadap keanekaragaman yang
ada dalam masyarakat di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang?undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok?pokok Pemerintahan di Daerah dan
Undang?Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sebagai dasar
penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama berlakunya dirasakan tidak mampu untuk
menampung dinamika perkembangan masyarakat dan tidak sesuai dengan prinsip
penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis. Selain itu kedua undang?undang tersebut
tidak mampu mengakomodasi keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
Berdasarkan produk-produk hukum di atas terdapat perbedaan mendasar dalam hal
struktur pemerintahan. di desa. Dalam Undang?undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai oleh
skema yang lebih otonom antara lain desa tidak lagi menjadi bawahan langsung kecamatan,
struktur pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa yakni kepala desa beserta
perangkatnya dan Badan Perwakilan Desa yang merupakan parlemen tingkat desa, dan
adanya pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif.
Badan Perwakilan Desa (BPD) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan
desa di samping pemerintah desa. BPD dan pemerintah desa mempunyai kedudukan yang
sejajar. Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa harus ada pembagian tugas yang jelas
antara BPD dengan pemerintah desa, pemerintah desa sebagai lembaga eksekutif sedangkan
BPD berkedudukan sebagai lembaga legislatif.
BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat di desa merupakan wahana untuk melaksanakan
demokrasi berdasarkan Pancasila. Sebagai badan legislatif desa, keanggotaan BPD harus
senantiasa representatif sehingga setiap kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi
rakyat.
Keberadaan BPD merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi
penyelenggaraan pemerintahan desa, jika. dihubungkan dengan kehendak untuk menegakkan
demokrasi, otonomi dan kedaulatan rakyat desa. BPD merupakan wakil masyarakat desa
yang diharapkan menjadi sarana guna melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan desa.
Dalam Pasal 94 Undang?undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
ditentukan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang
merupakan Pemerintahan Desa”. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 3
ayat (1) Undang?undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. yang menyatakan
bahwa Pemerintahan Desa terdiri dari:
1. Kepala Desa
2. Lembaga Musyawarah Desa.
Undang?undang Nomor 5 Tahun 1979 menegaskan bahwa Lembaga Musyawarah
Desa (LMD) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pemerintahan desa. Hal ini
dimaksudkan agar pemerintahan, desa mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta menyelenggarakan administrasi desa yang
makin meluas dan efektif.
Namun dalam kenyataannya kesatuan antara LMD dan kepala desa tersebut dinilai
melemahkan fungsi LMD, terutama dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap
pemerintahan desa. Hal int disebabkan karena kepala desa dan sekretaris desa, karena
jabatannya menjadi ketua dan sekretaris LMD. Dalam ketentuan Undang?undang Nomor 22
Tahun 1999, ditegaskan bahwa BPD kedudukannya sejajar dan menjadi mitra pemerintah
desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Gagasan otonomi daerah yang semerbak sejak runtuhnya rezim orde baru harus sampai
pada tingkat masyarakat yang paling bawah yaitu masyarakat desa. Otonomi Desa sebagai
kawasan lokal semestinya juga mendapat jaminan dari tersebut. Otonomi desa merupakan
sebuah harapan untuk desa di masa depan, gagasan ini merupakan bentuk koreksi dan
rancangan masa depan dan mencakup dua dimensi penting yaitu pengakuan dan pemulihan
atas apa yang telah dirusak sepanjang kekuasaan orde baru.
Permasalahan mengenai otonomi dan demokratisasi sangat erat dengan kebijaksanaan politik
negara sehingga pelaksanaannya masih didasarkan pada kepentingan negara yang
mengikutinya. Pada saat pergantian sistem ketatanegaraan Republik Indonesia khususnya
mengenai otonomi daerah banyak yang mengkritisi sistem otonomi daerah dan karena hal
tersebut kembali kepada kepentingan penguasa/pemerintah pusat. Mengenai hal ini Laksono
berpendapat bahwa UU No.5 Tahun 1979 memiliki rasionalitas sendiri, UU tersebut tidak
bisa lepas dari konteksnya karena UU tersebut sangat kontekstual pada zamannya (Balairung,
Edisl 33/TH. XVI/2001, hlm 34).
Undang?undang tersebut berusaha untuk mengadakan penyeragaman terhadap desa?
desa yang ada di wilayah Republik Indonesia padahal masing-masing desa, memiliki ciri
khas tersendiri yang mungkin sangat berbeda dengan desa lain. Sjafri Sairin mengatakan
bahwa UU No. 5 Tahun 1979 telah menjadi aparatus terciptanya keseragaman bahkan sampai
unit terkecil darl birokrasi desa dan telah memporak?porandakan struktur desa yang asli
karena struktur lokal dihilangkan, padahal masyarakat memiliki sistemnya sendiri?
sendiri. Sedangkan pengertian dari kata aparatus menurut kamus besar Bahasa Indonesia
bermakna sebagai alat.
Dengan demikian, hak otonom desa sebagal suatu kesatuan budaya yang kompleks
dimatikan secara politis. Heterogenitas dimatikan dengan cara penyeragaman bentuk,
susunan, tugas serta cara kerja desa. Hal ini masih ditambah dengan besarnya peran dari
partai pemerintah lewat birokrasinya dan upaya pemandulan lembaga?lembaga perwakilan
desa serta sistem pemerintahan yang sentralistik.
Pendapat yang hampir sama dilontarkan oleh Selo Sumarjan yang menyatakan bahwa
UU No. 5 Tahun 1979 menghilangkan keseragaman Pemerintah Desa, seragam dalam hal
bentuk, susunan dan cara kerja dan dalam hal ini pemerintah telah menyalah artikan kata
kesatuan yang dipungut dari kata “Tunggal” dalam Bhineka Tunggal Ika sebagai uniformity
(penyeragaman) bukan unity (persatuan).
Selo Sumarjan menambahkan bahwa:
UU No. 5 Tahun 1979 telah menganeksasi desa dan menjadikannya tidak otonom dan
menganggap bahwa desa hanya merupakan seonggok kawasan lokal yang mengalami
pembekuan partisipasi. Beliau mengutip falsafah Jawa, Manunggaling Kawula Gusti Kawula
dalam. hal ini adalah masyarakat, sementara Gusti adalah pemerintah desa yang berkuasa.
Darl sirulah dapat ditegaskan irrelevansi UU No. 5 Tahun 1979 dengan realitas masyarakat.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Lapera (Lembaga Pemberdayaan Rakyat) dapat
disimpulkan bahwa skema yang dilembagakan pemerintah tidak memberi kesempatan desa
untuk berdialog. Pada prakteknya, proses peningkatan kualitas kehidupan masyarakat desa
menjadi berlangsung searah.
Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 membawa angin segar bagi masyarakat khususnya
masyarakat desa karena memberi kesempatan bagi hadimya partisipasi masyarakat desa
dalam menata pemerintahannya sendiri. Hal ini berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1979 yang
menekankan pada filosofi keseragaman, sementara UU No. 22 Tahun 1999 lebih
menekankan pada filosofi keanekaragaman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Lapera dapat disimpulkan bahwa ada 2
(dua) hal yang menjadi penghambat demokratisasi dan otonomi desa yaitu:
 Yaitu karakter sentralisasi. Skema ini dimanifestasikan dengan rumusan jabatan
Kepala Desa sebagai, “penguasa tunggal, kendati terdapat unsur lain di luar
pemerintah desa seperti LMD (Lembaga Musyawarah Desa, Pasal 3), akan tetapi
keberadaan lembaga ini hanya menjadi formalitas belaka, sebab dalam politik ril,
keberadaan lembaga ini sangat tergantung figur Kepala Desa Sesuai dengan Pasal 17
ayat (2) dan (3) yang menyebutkan bahwa Kepala Desa dan Sekretarls Desa karena
jabatannya menjadi, Ketua dan Sekretaris LMD. Tujuan dibentuk lembaga int untuk
melayani dinamika kepentingan “atas” daripada menjadi sarana aspirasi masyarakat
setempat.
 Yaitu skema atas?bawah (top down). Skema ini menunjukkan bahwa pusat kekuasaan
dan menempatkan diri bukan saja menjadi pusat pengambil keputusan, melainkan
juga memposisikan diri sebagai pusat gagasan?gagasan, aspirasi, bahkan nilai?nilai,
dan desa hanya sebagai pelaksana semata tidak lebih dari itu. Dan dalam menjalankan
hak, kewajiban dan kewenangannya pemerintah desa bertanggungy jawab kepada
pejabat yang berkenan mengangkat melalul Camat, dan memberikan pertanggung
jawaban kepada LMD (Pasal 10). Hal ini membuktikan bahwa pengikut utama
pemerintah desa adalah “atasan”bukan rakyat yang dipimpinnya.
Seperti halnya pemerintahan kabupaten yang, dijabat oleh bupati dan DPRD, maka
pemerintahan desa terdiri dan pemerintah desa dan BPD.  Kehadiran BPD selaras dengan
tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya kontrol terhadap jalannya pemerintahan desa
karena kehadiran LMD dirasa belum mewakili aspirasl masyarakat desa.
Tugas utama BPD diharapkan bisa mengakomodasikan kepentingan masyarakat desa
karena keanggotaan BPD dipilih langsung oleh masyarakat desa dan pimpinannya dipilih
oleh anggota BPD itu sendiri (Pasal 105 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.). Fungsi pengawasan BPD meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan keputusan desa. Selain itu dalam UU No.
22 Tahun 1999 nuansa demokrasi lebih terasa khususnya pertanggungjawaban kepala desa
karena kepala desa memberikan pertanggungjawaban kepada BPD.
Untuk menjaga keterwakilan anggota BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat agar
sesuai dengan keadaan rakyat yang sesungguhnya maka diperlukan pemilihan secara
periodik, hal ini mengingat sifat dinamika masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan
masa ke masa. Tujuan diadakannya pemilihan yaitu untuk memilih wakil?wakil rakyat yang
duduk dalam lembaga legislatif BPD sebagai lembaga legislatif diharapkan harus
representatif sehingga tiap kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi dan
kemauan rakyat.
Mekanisme pengisian keanggotan BPD sebagai parlemen desa dilaksanakan melalui
proses pemilihan. Anggota BPD dipilih langsung oleh warga masyarakat desa yang
bersangkutan. Anggota BPD harus memenuhi syarat?syarat yang ditentukan oleh peraturan
perundang?undangan yang berlaku, demikian juga mengenai pemilihan, pengesahan, serta
pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan alasan tersebut
di atas, maka penulis tertarik untuk menulis penulisan hukum dengan Judul: ASPEK
YURIDIS PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PERWAKILAN DESA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN KLATEN.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diuraikan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek yuridis pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di
Kabupaten Klaten?
2. Apakah ada faktor?faktor penghambat pelaksanaan pemilihan anggota Badan Perwakilan
Desa (BPD) pada beberapa desa di lingkungan Kabupaten Klaten?
3. Bagaimanakah implikasi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) terhadap
pemerintahan desa di Kabupaten Klaten?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aspek yuridis pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di
Kabupaten Klaten.
2. Untuk mengetahui faktor?faktor penghambat pelaksanaan pemilihan anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD) pada beberapa desa di lingkungan Kabupaten Klaten.
3. Untuk mengetahui implikasi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD)  terhadap
pemerintahan desa di Kabupaten Klaten.

 
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum di
Indonesia pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya.
2. Memberikan kontribusi terhadap peneliti lain yang melakukan penelitian hukum tata
negara.
2. Manfaat Praktis
1. Memberikan masukan tentang implikasi pemilihan anggota BPD terhadap
pemerintahan desa.
2. Memberikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan pemilihan
anggota BPD dan pemerintahan desa.

E. Studi  Pustaka
Perubahan sistem kenegaraan dari masa orde baru ke era reformasi membawa perubahan
ke arah yang lebih baik dalam hal pendidikan politik dan demokratisasi bagi masyarakat desa.
Salah satunya adalah adanya tuntutan warga masyarakat desa akan terwakilinya aspirasi
masyarakat dalain struktur pemerintahan desa. Hal ini ditandai dalam UU No. 22 tahun 1999
yang mengakui adanya lembaga perwakilan masyarakat desa yang disebut dengan Badan
Perwakilan Desa (BPD) dan masih dimungkinkan adanya lembaga lain yang diakui yang
ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Dalam teori kedaulatan rakyat yaitu sistem dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, hal
ini menunjukkan bahwa rakyat memegang peranan penting dalam setiap kebijakan yang akan
dikeluarkan oleh aparat pemerintah. Rakyat dalam hal ini menjadi subyek bukan menjadi
objek semata yang hanya patuh dan pasrah terhadap pemegang pemerintahan, Dalam hal ini
kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat sehingga dalam pelaksanaan
tugasnya pemerintah harus berpihak pada keinginan rakyat.
Dalam pelaksanaan ketatanegaraan baik dan pemerintahan suatu negara sampai pada
pemerintahan terendah yaitu pemerintahan desa terdapat 2 (dua) unsur subjek yang harus ada
yaitu unsur aparatur pemerintahan dan unsur rakyat. Kedua unsur ini mutlak harus ada karena
tidak mungkin pemerintah tanpa rakyat dan rakyat tanpa pemerintah.
Ditinjau dari sistem pelaksanaan demokrasi dibedakan sistem demokrasi langsung dan
sistem demokrasi tidak langsung. Sistem demokrasi Indonesia langsung dan sistem
demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau yang biasa disebut dengan sistem
perwakilan. Demokrasi perwakilan adalah suatu bentuk demokrasi dimana pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga
perwakilan rakyat. Adanya BPD merupakan langkah yang sangat tepat demi tersalurriya dan
terwakilinya rakyat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Hal tersebut berarti bahwa demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung adalah suatu
sistem politik dengan memberikan hak kepada rakyatnya secara tidak langsung atau melalui
wakilnya untuk ikut serta melaksanakan kegiatan ketatanegaraan dalam bidang politik.
Kedaulatan rakyat negara Republik Indonesia dilaksanakan melalut wakil?wakil rakyat yang
telah dipilih dan mereka bertanggung jawab kepada rakyat melalui proses pemilihan umum
yang bebas.
Sistem demokrasi perwakilan mengakui adanya representative government yaitu suatu
pemerintahan yang berdasarkan suatu perwakilan, sehingga pemerintahan tersebut
seharusnya mengayomi, melindungi, dan mementingkan aspirasi dan kepentingan rakyat
yang dipimpinnya serta bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya terhadap,
pelaksanaan kinerja pemerintahan yang dilaksanakan melalui wakil?wakil rakyat. Hal ini
berlaku dan tingkat pusat hingga tingkat desa, sebab di desa pemerintah desajuga
bertanggung jawab kepada BPD sebagai wakil masyarakat desa yang ada di tingkat desa.
Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 1 Tahun 2001,
disebutkan bahwa BPD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan
Pancasila dan BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dan pemerintah desa. Sedangkan
fungsi dan BPD yaitu :
1. Mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa
yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.
2. Legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa, bersama?sama dengan
pemerintah desa.
3. Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, serta Keputusan Kepala Desa.
4. Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang
diterima dan masyarakat kepada, pejabat atau instansi yang berwenang (Pasal 36 ayat (4)
Peraturan Daerah Kabupaten Klaten No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan Desa.
Jika dihubungkan dengan prinsip perwakilan maka prinsip dasar dari sistem perwakilan BPD
adalah:
1. Anggota BPD bukanah jabatan fungsional, melainkan Jabatan politis, karena itu
persyaratan paling utama sebagai BPD adalah betul?betul dipercaya oleh pemilihnya.
2. Anggota BPD harus jelas mewakili kepentingan siapa. Prinsip ini dapat dijadikan
sebagai pegangan agar dalam pelaksanaan teknisnya memiliki dasar arahan.
Dalam suatu peneitian dari Lembaga Pemberdayaan Rakyat (Lapera) di beberapa desa, ada
berbagai respon dan pemerintah desa maupun dari masyarakat desa terhadap pembentukan
BPD. Pandangan tersebut adalah :
Pertama menganggap sangat membutuhkan (berkepentingan). Hat ini disebabkan karena
tekanan pemerintah di atasnya dan khususnya demi kelancaran APBDes.
Kedua yaitu bersikap pasif dan menempatkan BPD sebagai beban baru yang harus dipikul,
dan ini justru menimbulkan kekhawatiran:  (a) BPD akan menjadi “musuh dalam selimut”
bagi Kepala Desa dan perangkatnya, (b) mengurangi jatah pendapatan pemerintah desa,
karena akan dibagi dengan BPD, (c) penyelenggaraan pemilihan anggota BPD dianggap
cukup merepotkan, karena mensyaratkan partisipasi masyarakat (d) tidak cukup banyak orang
atau institusi yang secara terbuka menginginkan dirmya dikontrol dan dibatasi
kewenangannya, apalagi mereka dikontrol dan wajib bertanggung jawab kepada sebuah
institusi baru yang dibentuk dan tidak berpengalaman.
Perbedaan mendasar antara UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya mengenai pemerintahan desa
adalah:
1. Proses pembentukan.
2. Skema kerja parlemen desa.
Keberadaan BPD merupakan usaha yang cukup positif dalam hal demokratisasi masyarakat
desa sebab anggota BPD dipilih langsung oleh warga masyarakat desa yang bersangkutan.
Anggota BPD harus memenuhi syarat?syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang?
undangan yang berlaku, demikian juga mengenai pemilihan, pengesahan, serta
pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 3 sampai Pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun
2001 tentang Badan Perwakilan Desa disebutkan bahwa mekanisme pemilihan anggota BPD
meliputi :
1. Pembentukan panitia pemilihan
2. Pengumuman dan pendaftaran bakal calon
3. Penyaringan bakal calon
4. Penetapan calon yang berhak diplilh
5. Pelaksanaan kampanye
6. Pendaftaran pemilih
7. Pelaksanaan pemungutan suara.
8. Pelaksanaan penghitungan suara.
        Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2001 yang
dapat dipilih menjadi anggota BPD adalah penduduk warga negara RI dengan syarat?syarat :
1. Terdaftar sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di Desa yang bersangkutan
sekurang?kurangnya 2 (dua) tahun terakhir dengan tidak terputus?putus.
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berpendidikan serendah-rendahnya SLTP;
4. tidak terlibat dorganisasi terlarang G.30. S/PKI atau organisasi terlarang lainnya
5. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang?undang Dasar 1945,
6. Sehat jasmani dan rohani;
7. Berkelakuan baik, jujur, dan adil,
8. Berumur sekurang?kurangnya 23 tahun;
9. Tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Untuk keberhasilan pemilihan anggota BPD tersebut sangat tergantung pada peraturan yang
berlaku serta para pihak yang melaksanakan pemilihan anggota BPD (parlemen desa) baik
dari panitia pemilihan, bakal calon anggota BPD, warga masyarakat serta instansi pemerintah
di atasnya dalam membantu pelaksanaan pemilihan anggota BPD.

F. Metode Penelitian Tesis


1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum empiris, dengan bentuk penelitian
evaluatif yang bertujuan untuk menilai pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dan
dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan serta penelitian lapangan.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di daerah Kabupaten Klaten.

3. Sumber / Jenis Data


a. Data Primer
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan cara mengajukan pertanyaan
secara lisan (wawancara) maupun dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari penelitian bahan pustaka dengan cara mengumpulkan data yang
terdapat dalam peraturan perundangan, buku-buku, dan artikel yang ada hubungannya dengan
masalah yang akan diteliti, antara lain:
1. Bahan hukum primer, meliputi :
 UUD 1945;
 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan dan penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
dan Kelurahan.
 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Pengaturan mengenai Desa;
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 1 Tahun 2001 tentang Susunan
Organisasi dan tata Kerja Pemerintahan Desa;
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 2 Tahun 2001 tentang Badan Perwakilan
Desa;
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2001 tentang Peraturan Desa;
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 4 Tahun 2001 tentang Sumber
Pendapatan dan kekayaan Desa serta Pengelolaannya.
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 6 Tahun 2001 tentang Anggaran
Pendapatan dan belanja Desa;
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penghasilan
Kepala Desa dan Pamong Desa,
 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 8 Tahun 2001 tentang Tata Cara
Pemilihan, pelantikan dan Pemberhentian kepala desa.
2. Bahan?bahan sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yang terdiri dan buku?buku; jurnal, makalah, tulisan yang terkait.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder; terdiri dari kamus hukum,
kamus besar Bahasa indonesia, jurnal, surat kabar dan lain sebagainya.

4. Tehnik Pengumpulan Data

 Data primer diperoleh dengan cara :


Wawancara tak berstruktur atau wawancara mendalam (in-depth interviewing) yaitu, cara
untuk memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan yang jawabannya
diserahkan kepada responden. Wawancara tak berstruktur sering juga disebut sebagai tehnik
wawancara mendalam, karena peneliti merasa tidak tahu apa yang belum diketahuinya.
Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat open-ended, dan
mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal
berstruktur guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih jauh dan
mendalam. Oleh karena itu dalam hal ini subjek yang diteliti posisinya lebih berperan sebagai
informan daripada sebagai responden.
Pedoman wawancara yaitu cara untuk mendukung wawancara yang dilakukan agar tetap
terfokus pada subjek yang diteliti dengan mengajukan pertanyaan tertulis secara terbuka
(tidak ada jawaban pilihan).
 Data sekunder diperoleh dengan studi dokumen atau kepustakaan yaitu cara untuk
memperoleh data dengan mempelajari dan menganalisa bahan pustaka yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
5. Analisis Data
Tehnik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, adapun
yang dimaksud dengan analisa kualitatif adalah : Suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analisa, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau
lisan dan juga perilaku nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.
Sedangkan analisis kualitatif yang digunakan model interaktif, yaitu komponen reduksi data,
sajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, dan setelah data terkumpul, maka
tiga komponen tersebut berinteraksi, apabila kesimpulan dilaksanakan kurang kuat, maka
perlu ada verifikasi dan peneliti kembali mengumpulkan data di lapangan.
Keterangan:
Proposal ini di buat dan diambil contohnya agar memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen,
karena proposal tidak dapat di karang atau melalui imajinasi dan pikiran sendiri, maka itu
dibuatlah, Contoh judul yang di bawah dalam bimbingan tugas pembuatan proposal metode
penelitian dan penulisan hukum yaitu:
“ASPEK YURIDIS PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PERWAKILAN
DESA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMERINTAHAN DESA DI
KABUPATEN KLATEN”
DAFTAR PUSTAKA

_________, 1982, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Ctk. Keenam,


Jakarta
_________, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Bani, Jakarta
_________, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Ctk. Pertama,
Yogyakarta
_________, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Liberty, Ctk. Pertama, Yogyakarta
_________, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Ctk. Pertama,
Yogyakarta
_________, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Kedua, Rineka Cipta, Jakarta
_________, 2001, Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa, Lapera Pustaka Utama,
Yogyakarta
_________, 2002, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Ctk. Ketiga,
Yogyakarta
_________, Demokrasi Kita, tnp penerbit, tnp tmpt dan tahun
_________, t. tahun, Pengantar Perkembangan Antar Hukum Tata Negara, Cetakan 2, CV. Rajawali,
Jakarta
Afan Gaffar, 2000, Otonomi Daerah dan Good Governance, Makalah Seminar Fisipol UGM,
Yogyakarta
Amin, 1981, Demokrasi Selayang Pandang, Pradnya Paramita, Jakarta
Arief Budiman, 1991, Negara dan Pembangunan; Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Ctk.
Pertama, Yayasan Padi dan Kapas, Tnp nama Kota
Bernhard Dahm, 1987, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, Ctk. Pertama, Jakarta
Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media
Pratama,  Ctk. Pertama, Jakarta
Dahlan Thaib, 1994, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, AMP YKPN, Ctk. Pertama, Yogyakarta
Darji Darmo Diharjo dan Nyoman Dekker, 1979, Pokok-pokok Demokrasi Pancasila, Lembaga
Penerbit, Universitas Brawijaya, Malang
H. AS. Hikam, Konsolidasi Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil, Media Indonesia, 12
September 2001
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002.
Ismail Suny, 1965, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Calindra, Ctk Kedua, Jakarta
Lapera, 2000, Otonomi Pemberian Negara, cetakan kedua, Lapera Pustaka Utamia, Yogyakarta
M. Dawan Raharjo, 2000, “Sejarah Agama dan Masyarakat Madani”, dalam Buku Kumpulan Tulisan,
Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Ctk. Pertama, Yogyakarta
M. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstribusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta
M.C. Ricklefs, 1998, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Ctk, Keenam,
Yogyakarta
Marsilan Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik; Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam
Persiapan UUD 1945, Grafiti, Ctk. Pertama, Jakarta
MH. Nurul Huda, Tantangan Civil Society; Dominasi Negara dan Kapitalisme Global, Kompas, 16 Juli
2002
Miftah Thoha, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang
Baik, Makalah Pembentukan Program Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta
Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Ctk. Kedua belas, Jakarta
Moh. Hatta, 1954, Kumpulan Karangan III, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta-Amsterdam-
Surabaya
Muh. Yamin, 1959, Naskah persiapan UUD 1945, Djilid pertama, Yayasan Prapantja, Jakarta
Muhadjir Darwin, 2000, Demokratisasi dan Good Governance, Makalah Seminar Pusat Penelitian
Kependudukan, UGM, Yogyakarta
Mustari Pide, 2000, “Partisipasi Masyarakat Sipil Dalam Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999”, artikel pada Jurnal Hukum, Edisi No. 14 Vol. 7
Pratikno, 2000, Good Governance dan Implementasi OTODA, Makalah Seminar Politik Lokal, UGM,
Yogyakarta
Purwo Santoso (ed), 2003, Perubahan Desa Secara Partisipatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ramadhan Naning, 1983, Gatra Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
Robert Adahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Soekarno, 1983, Indonesia Menggugat, Yayasan Pendidikan Soekarno-Inti  Idayu Pers, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai