Anda di halaman 1dari 4

Hubungan Antara Pemerintah Daerah dengan Desa

Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Konsep


negara kesatuan tidak hanya berdampak pada desentralisasi kewenangan kepada
daerah, tetapi lebih dari itu, yaitu pengakuan dan perlindungan otonomi desa.
Otonomi desa harus menjadi inti dari konsep Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dengan catatan bahwa otonomi desa bukanlah cabang dari otonomi
daerah karena itulah yang mengilhami adanya otonomi daerah yang khas pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi desa harus menjadi dasar dalam
pembagian struktur ketatanegaraan Indonesia dari pusat ke daerah yang kemudian
bermuara pada peraturan otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum.
Antara undang-undang pemerintahan desa dan undang-undang otonomi
desa sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Bagir
Manan bahwa pemerintahan desa harus menjadi bagian integral dari pemerintahan
daerah, sebuah pemisahan yang dipengaruhi oleh gagasan “mengimprovisasi
keaslian desa”. merupakan pendekatan yang salah. Karena pengaturan tentang
pemerintahan desa sebelumnya diatur dalam UU Pemerintahan Daerah yaitu UU
22 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebelum sampai saat ini maka pemerintahan Desa memiliki payung hukum sendiri
yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. yang secara hukum terpisah dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebelum disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengaturan tentang


desa dari berbagai rezim dapat dilihat sebagai berikut:
a. Rezim UU Nomor 5 tahun 1979
Tahun 1979 ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerinatahan
Desa sebagai pengganti Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) dan Inlandse
Gementee Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB) yang secara substansial UU
itu sepenuhny mencerminkan stelsel pendekatan IGO dan IGOB yang
memisahkan pmerintahan desa dari pemerintahan daerah. Masalah prinsipil lain
yang terdapat dalam UU ini adalah penyeragaman (uniformitas) nama, susunan,
bentuk, dan kedudukan pemerintahan desa Kebijakan mengenai desa dalam UU
ini diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan
corak nasional
b. Rezim UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Sebagai contoh, sebelum berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999, di desa
dibentuk Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) yang seragam di seluruh Indonesia. LMD selain
sebagai bagian dari organisasi pemerintahan desa, ia juga diharapkan menjadi
wadah penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, wadah permusyawaratan
/permufakatan dari pemuka masyarakat yang ada di desa, dan di dalam
mengambil keputusan ditetapkan berdasarkan musyawarah mufakat dengan
memperhatikan secara sungguhsungguh kenyataan hidup yang ada dan
berkembang dalam masyarakat. Dari segi keanggotaan, semua anggota LMD
ditunjuk oleh Kepala Desa (selanjutnya disebut Kades), sedangkan Kades dan
Sekretarisnya ex-officio menjadi Ketua dan Sekretaris lembaga tersebut Selain
LMD, di desa juga dibentuk LKMD yang diharapkan berfungsi menjadi wadah
penggerak partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, pendorong kegotongroyongan masyarakat, sarana komunikasi
antara pemerintah dan masyarakat, dan membantu Kades dalam
mengkoordinasikan pembangunan. Dari segi keanggotaan, meskipun secara
formal dikatakan tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat, dan secara organisasi
berdiri sendiri, akan tetapi Kades dan Sekretaris Desa (selanjutnya disebut
Sekdes) karena jabatannya, maka secara otomatis (ex-officio) juga mengetuai dan
menjadi Sekretaris lembaga tersebut. Dalam posisi dimana Kades dan Sekdes
secara hierarkhis garis pembinaannya berada dibawah Camat, Bupati sampai
Gubernur, maka keberadaan kedua lembaga tersebut yang semula diharapkan
sebagai saluran pembawa suara desa ke negara (bottom-up), keadaannya
kemudian berubah menjadi jaringan pengendalian birokrasi atas proses
pembangunan sampai ketingkat Desa, sekaligus menjadi saluran perintah dari
negara ke warga desa. Mas’oed menamakan hal ini sebagai penetrasi negara ke
desa (Mas’oed 1994:125)
Salah satu politik hukum dalam UU ini kaitannya dengan pemerinatahan
desa adalah kembali memasukkan pengaturan tentang pemerintahan desa sebagai
satu kesatuan integral dalam UU Pemerintahan Daerah. Desa dalam rezim UU ini
juga diperkenankan mengggunakan nama-nama lains esuai dengan adat yang
berkembang di desa tersebut seperti nagari, marga, gampong, negorij, dusun, dsb.
c. Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Desa berada di bawah kecamatan (di mana kecamatan di bawah kabupaten
secara langsung). Pemerintah desa dapat secara langsung berhubungan dengan
pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di berbagai
provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti
diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat
kecamatan. UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Camat berperan sebagai
Pembina Pemerintahan Desa. Bupati di beberapa daerah di Indonesia berperan
menguatkan hubungan dengan camat, untuk menguatkan posisi para camatnya.
Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kemampuan pemerintahan desa masih
perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan Camat sebagai Pembina
Pemerintahan Desa. Selanjutnya, menurut UU 32 Tahun 2004: Camat juga
berperan sebagai Pembina Pemerintahan Desa. Pasal 126 menegaskan
kewenangan camat selain sebagai koordinator pemerintahan juga merupakan
Pembina Desa.
Pengalaman selama kurang lebih tiga dekade menunjukkan bahwa,
aktivitas pemerintah melalui tangan Kepala Desa dan Perangkatnya juga
mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat desa. Ruang yang
memadai bagi masyarakat desa untuk mengembangkan kreativitas dan melakukan
suatu kegiatan tanpa campur tangan Pemerintah Desa juga sangat terbatas.

Dalam UU No. 32 / 2004 fungsi dan kewenangan BPD berkurang. Kades


pada dasarnya memang bertanggungjawab terhadap rakyat desa, akan tetapi tata
cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota
melalui Camat, sedangkan kepada BPD, Kades hanya memberikan keterangan
laporan pertanggungjawaban, dan kepada rakyat disampaikan informasi pokok-
pokok pertanggungjawaban. Artinya, walaupun berkaitan dengan
pertanggungjawaban Kades, BPD berfungsi (menampung dan menyalurkan
aspirasi) apabila ada masyarakat yang menanyakan dan/atau meminta keterangan
lebih lanjut tentang pertanggungjawaban dimaksud, akan tetapi hubungan antara
Kades dengan BPD sifatnya hanya sebatas hubungan konsultatif. Demikian pula
dalam penetapan anggota BPD dan berbagai kebijakan desa ditekankan agar
dilakukan secara musyawarah mufakat.

Dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa


kewenangan desa meliputi :
a.) Kewenangan berdasarkan hak asal usul
b.) Kewenangan lokal berskala desa
c.) Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemreintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
d.) Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
Dengan suatu catatan bahwa penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada Desa meliputi:
1. Penyelenggaraan pemerintahan desa
2. Pelaksanaan pembangunan desa
3. Pembinaan masyarakat desa
4. Pemberdayaan masyarakat desa
Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
tugas dan wewenang yang diberikan kepada desa dari daerah baik pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota harus dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Gubernur (jika pemberian wewenang dari pemerintah provinsi) dan berdasarkan
Peraturan Bupati/Walikota (jika pemberian tugas/wewenang dari pemerintah
kabupaten/kota).Namun pemberian tugas tersebut bukan merupakan penerapan
asas tugas pembantuan sehingga tugas yang diserahkan kepada desa tidak menjadi
kewenangan yang dikelola sendiri oleh pemerintah desa. Dalam hal ini, desa
melakukan pertanggungjawaban kepada Gubernur (jika tugas/wewenang berasal
dari pemerintah Provinsi) serta melakukan pertanggungjawaban kepada
Bupati/Walikota melalui camat (jika tugas dan wewenang berasal dari pemerintah
kabupaten/kota) terhadap tugas yang diserahkan kepadanya.
Menyangkut pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa secara normatif dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota, akan tetapi
pembinaan dan pengawasan tersebut dapat dilimpahkan kepada Camat. Meskipun
dalam UU digunakan istilah dapat dilimpahkan, akan tetapi secara operasional
kewenangan tersebut selama ini juga lebih banyak dilaksanakan oleh Camat,
sekaligus mengurangi kerepotan Bupati/Walikota apabila harus melakukannya
sendiri, membina dan mengawasi penyelenggaraan desa yang jumlahnya cukup
banyak di setiap kabupaten/kota.

Anda mungkin juga menyukai