Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan

pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis

desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai

posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat

istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan

tingkat keragaman yang tinggi.

Sejalan dengan perkembangan zaman telah memberikan nuansa baru dalam sistem

kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai

berkurang kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa

melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu

itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli,

UndangUndang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin

dalam hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa.

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun

1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 dalam Bab XI pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintah

Universitas Sumatera Utara


desa, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab

XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan

mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah.

Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri

atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dimana pemerintahan desa terdiri atas

Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan

Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang dipilih

dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat, membuat

peraturan desa, dan mengawasi penyelenggaraan desa.dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan

Desa dan melaporkan kepada Bupati. Dengan demikian mekanisme yang diterapkan telah

mengalami perubahan yang sangat mendasar karena sebelumnya tidak diterapkan

demikian.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Tentang peraturan Daerah, Pasal 1

menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang

selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan

nasional dan berada di daerah kabupaten. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka

desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggung jawab yang penuh

mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki

kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga aparatur pemerintah

Universitas Sumatera Utara


desa dituntut untuk bisa mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk

menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran

serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan

daerahnya.

Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun konsep

tersebut adalah:1

1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.

2. Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang

pemerintahan kecuali enam kewenangan.

3. Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan

pengendalian.

4. Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran

masyarakat dan legislatif.

Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat masalah pemberdayaan

pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan konsep otonomi desa di Indonesia?

1 Kaloh, DRJ. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara


3. Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan

otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia

b. Untuk mengetahui upaya konsep otonomi desa di Indonesia

c. Untuk mengetahui upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya

mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli

Serdang

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata

Negara, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan

desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa

2. pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa

yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan

mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan

pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

Universitas Sumatera Utara


D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai

“Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”

belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari

skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran

ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara

ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Teori

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teori demokrasi, dengan

pendekatan transpolitika dan postrukturalisme. Dari analisis transformasi demokrasi

dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama

bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam

pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan

pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat

otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam

corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi

transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga

Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan

monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh

lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang.

Universitas Sumatera Utara


Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan

desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga.

Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah

pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi

lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya

jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.2

2. Konsepsi

Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga,

misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya

tahan, sudah tak ada dayanya lagi.3

Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah: 4

Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke

status yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu

pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan

adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan

rakyat yang mandiri dan sejahtera. Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu

membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima,

pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai

subyek dalam pembangunan.

2http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/04/05/transformasi-tata-pemerintahan-desa/.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.
3 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985.
4 http://sobirin-xyz.blogspot.com/2008/07/hakekat-pemberdayaan.html. diakses pada tanggal 20
Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara


Pemerintahan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur suatu

negara dengan cara dan sistem tertentu sesuai dengan tujuan didirikannya negara

tersebut.5

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah

Kabupaten.6

a. Otonomi daerah

Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan

beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam

UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang

dapat diamati adalah sebagai berikut:7

a. Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian

daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom.

Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk, tingkat

pendapatan/penghasilan daerah dan/atau budaya masyarakat. Begitu pula dengan daerah

kabupaten/kota.

5 http://pasuruan.go.id/pemerintahan/. Diakses tanggal 20 Mei 2010.


6 Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
7 Armida Alisyahbana, Identifikasi Permasalahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Seminar Nasional dalam rangka
Lustrum IV tahun 1999 Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 1999.

Universitas Sumatera Utara


b. Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas

prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan

pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosialbudaya, sosial politik,

jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.

c. Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi

tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi seperti ini akan

tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian

provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten/kota, dan seterusnya.

d. Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum memberikan

kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif

dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap

masalah-masalah daerah.

e. Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat

perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut

perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya (lama).

f. Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk

menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya.

g. Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara

Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah

Universitas Sumatera Utara


adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun

2004 ini adalah sebagai berikut:8

a. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-undang ini.

b. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi

pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

c. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud

dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud

pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan

nasional.

8 Ibid

Universitas Sumatera Utara


d. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi

yang tumbuh dalam masyarakat.

e. Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah

dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk

meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah.

f. Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah

dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan

wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan

negara.

Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang

No.32 Tahun 2004, yaitu:

a. digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;

b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di

daerah kabupaten dan daerah kota; dan

c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah

kabupaten, daerah kota, dan desa.

Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi

keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia

(aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial),

kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.9

9 Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya,
Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 94.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah

otonom, yaitu:10

a. variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan,

kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi,

kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;

b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan

c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta

penghayatan agama.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak

dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman

seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping itu

diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,

pemantauan dan evaluasi. Di samping itu, juga memberikan bantuan dan dorongan

kepada daerah agar otonomi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Otonomi berasal dari kata Yunani outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan

nomos berarti “perintah”. Sehingga otonomi bermakna “memerintah sendiri”, yang dalam

wacana administrasi publik otonomi sering disebut sebagai local self government.11
11

3. Pemerintahan Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

10 HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001,
hal. 39.
11http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html.
Diakses tanggal 20 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara


setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah

Kabupaten.12 Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999

adalah sebagai berikut:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat”.13

Pengaturan tentang desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa

bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian

tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206,

yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Kewenangan Desa mencakup: keberadaan lembaga perwakilan desa atau badan

Perwakilan Desa (BPD) sebagai bentuk miniatur DPRD di tingkat Kota maupun

Kabupaten. Kewenangan ini berdampak pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah

desa yang selama ini tidak memiliki “lawan” atau yang mengontrol jalannya Pemerintah

Desa. Selain itu keberadaan lembaga ini akan membawa perubahan suasana dalam proses

Pemerintahan di desa.

Keberadaan BPD secera otomatis akan mempengaruhi kinerja dari Pemerintahan

Desa, begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam hal ini

kepala Desa juga akan berbeda dari sebelumnya. Namun yang tidak kalah pentingnya

adalah masalah keuangan Desa (pasal 212) yang mengatur tentang sumber pendapatan

desa, yaitu berdasarkan pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil

12 Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
13 Undang-undang Otonomi Daerah, 1999, hal 47.

Universitas Sumatera Utara


swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang

sah), kemudian bantuan dari Pemerintah Kabupaten berupa bagian yang diperoleh dari

pajak dan retribusi serta bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang

diterima oleh Pemerintah Kabupaten, selain itu bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah

Propinsi, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa.

Beberapa hal yang dimuat dalam keuangan desa ini merupakan hal yang baru bagi

Pemerintah Desa karena selama ini mereka belum terbiasa untuk berkreasi mencari

pendapatan asli desa. Untuk mengetahui, sekaligus membandingkan konsep

Pemerintahan Desa yang terbaik dan sesuai untuk masyarakat desa di Indonesia maka

perlu mempelajari perkembangan pemerintaan Desa sejak awal. Di bawah ini merupakan

uraikan perkembangan pemerintahan desa di Indonesia sejak masa kolonial hingga

berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor

mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diambil.1415

Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan

gambaran mengenai kinerja BPD dengan didukung data-data tertulis maupun data-data

hasil wawancara.

14 Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002, hal.


15 .

Universitas Sumatera Utara


2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan. Dengan ditetapkan

lokasi dalam penelitian akan dapat lebih mudah untuk mengetahui tempat dimana suatu

penelitian dilakukan. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Desa

Sigaragara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 16

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara

langsung dari sebenarnya, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan

masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari Badan Permusyawaratan

Daerah (BPD), pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat

desa. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara

dan observasi.

b. Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder penulis

menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari

dan mengumpulkan data melalui informan secara tertulis ataupun

gambargambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.

4. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih

alat dan teknik pengumpulan data yang relevan. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan:

16 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,
2002, hal. 107.

Universitas Sumatera Utara


a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban

atas pertanyaan itu.17

b. Pengamatan (observasi)

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik

terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan

pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau

berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang

diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung

adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu yang

akan diselidiki.18

c. Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,

seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil

atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah

penelitian.19

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan

menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan

17 Moeloeng, Op.cit, hal. 133.


18 Maman Rachman, Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IIKIP Semarang
Press, 1999, hal. 77.
19 Ibid, hal. 96

Universitas Sumatera Utara


membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan

dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini,

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang tindak Sejarah

Perkembangan Pemerintahan Desa Di Indonesia, yang mengulas

Pemerintahan Desa Masa Kolonial, Pemerintahan Desa Awal

Kemerdekaan, Pemerintahan Desa Masa Orde Baru, dan Pemerintahan

Desa Masa Reformasi (1999-sekarang)


BAB III : Bab ini akan membahas tentang upaya pemberdayaan pemerintahan

desa dalam kerangka otonomi daerah, yang memuat

Permasalahanpermasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa, Kemitraan

sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa, dan Pemberdayaan

pemerintahan desa melalui implementasi kemitraan dalam tata

pemerintahan desa

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pemberdayaan pemerintahan desa dalam

Universitas Sumatera Utara


upaya mewujudkan otonomi desa di desa sigara-gara kec. patumbak kab.

deli serdang, yang mengulas tentang Gambaran Umum Desa Sigara-gara

Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, dan Pemberdayaan Pemerintahan Desa

dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak

Kab. Deli serdang

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi

kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai