Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung selalu berkaitan dengan berbagai


problematikanya antara lain : kemiskinan, akses bagi pemenuhan kebutuhan hidup
yang layak, ketimpangan sosial, kelembagaan yang belum berjalan efektif, dan
kemandirian masyarakat desa merupakan deskrispsi atas persoalan masyarakat di
tingkat perdesaan. Pada satu sisi masyarakat pedesaan memiliki kekuatan modal
sosial berupa tata kehidupan dengan basis gotong royong yang kuat. Untuk itu
pemberdayaan masyarakat desa seiring dengan pemberlakuan Otonomi Daerah
tahun 2000 merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Apalagi Otonomi daerah meniscayakan desentralisasi. Desentralisasi diartikan
sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasar prakarsa dan aspirasi dari
rakyatnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000, kebijakan
desentralisasi diikuti desentralisasi fiskal, dan anggarannya pun terus meningkat
signifikan. Oleh karena itu, penguatan otonomi kampung dengan manajemen
pemberdayaan dan penguatan masyarakat dan kampung melalui peningkatan
peran modal sosial dan partisipasi masyarakat di Provinsi Papua Barat sudah
seharusnya dilakukan. Dengan begitu diharapkan terjadi penguatan ekonomi
masyarakat pedesaan yang berdampak pada kemandirian masyarakat kampung.
Menurut Sulistiyani :
1Sulistyani (2004), Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
“Secara etimologis Pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka
pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau
kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari
pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.”

Hal ini sejalan dengan pendapat Shardlow (1998) sebagaimana dikutip oleh Adi
bahwa pengertian pemberdayaan, pada intinya membahas bagaimana individu,
kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri
dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan
mereka.
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah


Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung mencakup
empat pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat desa di
Provinsi Papua Barat, serta bagaimana permasalahan tersebut dapat di atasi.
2. Mengapa perlu dibentuk Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat
tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
3. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa.
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

C. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan :
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat
desa di Provinsi Papua Barat, serta cara-cara mengatasi permasalahan
tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai dasar pertimbangan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang
Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan terdiri dari metode :


1. Metode Analisis
2. Identifikasi Masalah

Dalam perspektif Bogdan dan Taylor, pendekatan kualitatif merupakan prosedur


penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sumber informasi tentang
permasalahan Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung diperoleh dari Focus
Group Discussion (FGD), seminar yang dihadiri oleh narasumber dan
stakeholders terkait termasuk di dalamnya Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Provinsi Papua Barat.

Pada pengumpulan data mengenai pemberdayaan masyarakat ini informasi dan


pendapat didapatkan dari para narasumber di Provinsi Papua Barat, baik dari
Pemerintah Daerah di tingkat propinsi maupun kabupaten/Kota, serta
instansiinstansi terkait seperti BPS, Biro Kesra, Dinas Sosial, Tim Koordinasi
lainnya yang berkonsentrasi pada peningkatan pemberdayan Masyarakat, serta
tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu juga dilakukan diskusi dengan pakar,
narasumber, dan praktisi yang bergerak dibidang pemberdayaan masyarakat
Kampung.

Analisis Yuridis Empiris dilakukan dengan menelaah data sekunder yang


diperoleh atau dikumpulkan dari instansi pemerintah daerah Provinsi Papua Barat,
buku, yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa.
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

Masyarakat dan Kampung adalah sasaran dari program-program pembangunan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada paradigma lama pembangunan
lebih berorientasi pada negara dan modal, kini berubah menjadi paradigma baru
yang mengedepankan pemberdayaan, dimana paradigma ini lebih terfokus pada
masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Pemberdayaan
merupakan pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan
partisipatoris. Masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan
menikmati pembangunan. Negara adalah fasilitator dan membuka ruang yang
kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa telah memberi ruang untuk dipraktikan pada paradigma baru
dalam pembangunan desa di Indonesia. Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa, “Pemberdayaan Masyarakat
Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat Desa.” Untuk mewujudkannya diperlukan upaya
agar desa mempunyai kemampuan sendiri dalam membangun desanya.
Membangun masyarakat Kampung sebagai program dalam membentuk manusia
seutuhnya dan menyeluruh, meliputi masyarakat dari yang belia sampai yang tua.

1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan tidak mempunyai pengertian model tunggal. Pemberdayaan


dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks
kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan
sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat
posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan
penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.
Berikut ini terdapat beberapa pengertian pemberdayaan masyarakat menurut
Sumodiningrat, sebagai berikut :8
8Sumodiningrat, Gunawan (1997), Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan
Masyarakat, Edisi II, PT. Bina Row Pariwara, Jakarta.
9Eko, Sutoro (2004), Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, APMD
Press, Jakarta
Jadi, pemberdayaan masyarakat desa dapat dipahami dengan beberapa cara
pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi
berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat
(beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti
pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang
bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti
lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan,
pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu
merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri
sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan
potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumber dayanya sendiri,
menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di
ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
pemerintahan.
Kedua, titik pijak pemberdayaan adalah kekuasaan (power) sebagai jawaban atas
ketidakberdayaan (powerless) masyarakat. Ilmu sosial tradisional menekankan
bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini
berasumsi bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat
diubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas.
Kekuasan tidak vakum dan terisolasi, kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks
relasi antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial.

Dasar pemikiran pemberdayaan masyarakat adalah memajukan kemampuan


masyarakat desa untuk mengelola secara mandiri urusan komunitasnya. Dalam
hal pemberdayaan masyarakat desa, UU Desa menempatkan kesepakatan bersama
seluruh warga desa sebagai pedoman bagi Pemerintah Desa dalam mengelola
kewenangannya untuk mengurus dan mengatur Desa.

Pemberdayaan masyarakat memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam proses


pengambilan keputusan sekaligus mengembangkan kontrol publik atas
implementasi dari keputusan-keputusan publik. Dengan demikian, dalam
pemberdayaan masyarakat ditekankan adanya keutamaan politik. Politik dalam
rangka pemberdayaan masyarakat ini merupakan transformasi politik ke dalam
tindakan nyata, khususnya demokrasi hadir dalam hidup sehari-hari.

2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Mardikanto mengemukakan, ada enam tujuan dari pemberdayaan masyarakat,


yakni :

a. Perbaikan Kelembagaan (Better Institution)


Dengan perbaikan aktivitas/perilaku yang dilakukan, diharapkan bisa
memperbaiki kelembagaan dan juga pengembangan jejaring kemitraan usaha.

b. Perbaikan Usaha (Better Business)

Perbaikan pendidikan (semangat dalam belajar), diperbaikinya aksesbisnislitas,


aktivitas dan perbaikan kelembagaan, diharapkan bisa memperbaiki bisnis yang
dijalankan.

c. Perbaikan Pendapatan (Better Income)

Dengan adanya perbaikan bisnis yang dijalankan, diharapkan akan ada perbaikan
penghasilan yang didapatnya, dan juga pendapatan keluarga dan masyarakat.

d. Perbaikan Lingkungan (Better Environment)

Perbaikan pendapatkan diharapkan bisa memperbaiki lingkungan (fisik dan


sosial) karena kerusakan lingkungan biasanya dikarenakan adanya kemiskinan
atau penghasilan yang terbatas.

e. Perbaikan Kehidupan (Better Living)

Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang membaik, diinginkan bisa


memperbaiki kondisi kehidupan masing-masing keluarga masyarakat

f. Perbaikan Masyarakat (Better Community)

Kehidupan yang lebih baik sangat terdukung jika lingkungan fisik dan sosial yang
ada juga lebih baik, hal ini diharapkan bisa terwujudnya kehidupan masyarakat
yang lebih baik juga. menurunnya konflik, kejahatan dan lain-lain.

3. Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan memang sebuah proses. Akan tetapi dari proses tersebut dapat
dilihat dengan indikator-indikator yang menyertai proses pemberdayaan menuju
sebuah keberhasilan. Untuk mengetahui pencapaian tujuan pemberdayaan secara
operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat
menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Dengan cara ini kita
dapat melihat ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap
upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan
(misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan.
Keberhasilan pemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan meraka
yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akses kesejahteraan, dan
kemampuan kultur serta politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat
dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan
untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (power
with).

4. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

Dalam upaya agar masyarakat berdaya maka memerlukan intervensi. Ada


beberapa tahapan intervensi yang direncanakan agar tercapai keberhasilan
pemberdayaan tersebut. Tahapan yang dilakukan lebih dekat sebagai upaya
pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat yang dilakukan
diharapkan berujung pada terealisasinya proses pemberdayaan masyarakat
(Zubaedi, 2007). Menurut (Adi, 2013) tahapan dalam proses pengembangan
masyarakat, yaitu :
Adi, Isbandi R (2013), Ilmu Kesejahteraan Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta

a. Tahap persiapan (engagement)

Tahap persiapan dalam kegiatan pengembangan masyarakat terdiri dua hal, yaitu
persiapan petugas dan persiapan lapangan. Persiapan petugas diperlukan untuk
menyamakan persepsi antar anggota tim sebagai pelaku perubahan mengenai
pendekatan apa yang akan dipilih dalam melakukan pengembangan masyarakat.
Sedangkan persiapan lapangan dilakukan melalui studi kelayakan terhadap daerah
yang akan dijadikan sasaran, baik dilakukan secara formal maupun informal.

b. Tahap pengkajian (assessment)

Proses pengkajian yang dilakukan dengan mengidentifikasi masalah atau


kebutuhan yang diekspresikan dan sumber daya yang dimiliki komunitas sasaran.
Masyarakat dilibatkan secara aktif agar permasalahan yang keluar adalah dari
pandangan mereka sendiri, dan petugas memfasilitasi warga untuk menyusun
prioritas dari permasalahan yang mereka sampaikan. Hasil pengkajian ini akan
ditindak lanjuti pada tahap berikutnya, yaitu tahap perencanaan.

c. Tahap perencanaan alternatif kegiatan (planning)

Pada tahap ini petugas secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk
berpikir tentang masalah yang mereka hadapi, bagaimana cara mengatasinya serta
memikirkan beberapa alternatif program dan kegiatan yang dapat dilakukan.

d. Tahap formulasi rencana aksi (formulation actionplan)


Pada tahap ini petugas membantu masing-masing kelompok untuk merumuskan
dan menentukan program dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan guna
mengadaptasi permasalahan yangada. Pada tahap ini diharapkan petugas dan
masyarakat sudah dapat membayangkan dan menuliskan tujuan jangka pendek
tentang apa yang akan dicapai dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.

e. Tahap implementasi kegiatan (implementation)

Tahap pelaksanaan ini merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam
proses pengembangan masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan
dengan baik dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada
kerjasama antara pelaku perubahan dan warga masyarakat, maupun kerjasama
antarwarga.

f. Tahap evaluasi (evaluation)

Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program
yang sedang berjalan. Pada tahap ini sebaiknya melibatkan warga untuk
melakukan pengawasan secara internal agar dalam jangka panjang diharapkan
membentuk suatu sistem dalam masyarakat yang lebih mandiri dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. Evaluasi dimaksudkan untuk memberikan
umpan balik bagi perbaikan kegiatan.

g. Tahap terminasi (termination)

Tahap ini merupakan tahap ‘perpisahan’ hubungan secara formal dengan


komunitas sasaran. Terminasi dilakukan seringkali bukan karena masyarakat
sudah dianggap mandiri, tetapi karena proyek sudah harus dihentikan karena
sudah melebihi jangka waktu yang ditetapkan sebelumnya, atau karena anggaran
sudah selesai dan tidak ada penyandang dana yang dapat dan mau meneruskan
program tersebut.

B. Kajian Terhadap Asas yang terkait dengan Penyusunan Norma


1. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya program


pemberdayaan yaitu prinsip kesetaraan, pasrtisipasi, keswadayaan atau
kemandirian dan berkelanjutan, adapun penjelasan terhadap prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat tersebut ialah sebagai berikut:
a. Prinsip Kesetaraan: prinsip utama yang harus dipegang dalam proses
pemberdayaan masyarakat ialah adanya kesetaraan atau kesejajaran
kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-
program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
b. Partisipasi: program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
masyarakat ialah program yang sifatnya partisipatif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun untuk sampai
pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses pendampingan yang melibatkan
pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.
c. Keswadayaan atau kemandirian: prinsip keswadayaan ialah menghargai dan
mengedepankan kemampuan masyarakat dari pada bantuan pihak lain.

d. Berkelanjutan : program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,


sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan
makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat sudah mampu
mengelola kegiatannya sendiri.

2. Prinsip dan Asas Pemberdayaan Masyarakat Desa

UU Desa membentuk tatanan desa sebagai penggabungan fungsi self-governing


community dan local self-government. Tatanan itu diharapkan mampu
mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum yang menjadi fondasi keragaman
NKRI. Lebih-lebih pengaturan desa dalam UU Desa berlandaskan pada asas yang
meliputi:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa


a. Rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
b. Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa;
c. Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
d. Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan
prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur
masyarakat Desa dalam membangun desa;
e. Kegotong-royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk
membangun desa;
f. Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat desa;
g. Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang
berkepentingan;
h. Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan
masyarakat serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
i. Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan
masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
j. Partisipasi, yaitu warga desa turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
k. Kesetaraan, yaitu kesamaan warga desa dalam kedudukan dan peran;
l. Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa; dan
m. Keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan desa.

3. Pemberdayaan Masyarakat dalam bingkai UU Desa

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 1


disebutkan Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2
dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut bahwa Desa merupakan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
Ketentuan di atas, menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan
Daerah.

C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan Pemberdayaan Masyarakat


Kampung

Pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 12


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU
Desa), didefinisikan sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya
melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Pada pasal 67
ayat (2) UU Desa juga menyebutkan bahwa desa berkewajiban untuk
mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa. Adapun masyarakat desa
berhak untuk meminta dan mendapatkan informasi, dan mengawasi serta
menyampaikan aspirasi mengenai program pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh pemerintah desa (Pasal 68 ayat 1 UU Desa). Dalam Undang-
undang disebutkan:

“Pemerintah desa di dalam program pembangunan diharuskan melakukan


pemberdayaan masyarakat. Apabila pemerintah desa tidak melakukan program
pemberdayaan, maka masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya untuk
mendorong terciptanya program pemberdayaan yang harus dilakukan oleh
pemerintah desa.”
Desa dapat mendayagunakan lembaga kemasyarakatan desa yang ada dalam
membantu pelaksanaan fungsi pemberdayaan masyarakat (pasal 94 ayat 1 UU
Desa). Contoh lembaga kemasyarakatan desa seperti PKK, Dasawisma, lembaga
keagamaan, lembaga budaya, atau lembaga ekonomi.

Pada tingkat kawasan perdesaan, program pemberdayaan desa dimaksudkan


untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi (Pasal 83
ayat 3 UU Desa). Program kerjasama antar desa pada tingkat kawasan dapat
diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan (Pasal 92 ayat 1 huruf b 24

Pemberdayaan masyarakat desa merupakan upaya meningkatkan taraf hidup dan


kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan
kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat
desa. Pemberdayaan ini menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
menjadi lebih berdaya. Pemberdayaan juga merupakan sebagai proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya.
Pelaksanaan program Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Papua
Barat didukung oleh kegiatan-kegiatan rutin maupun pembangunan sebagai
berikut:

1. Program Tata Kelola Pemerintahan

a. Penyusunan Laporan Kinerja Keuangan dan Neraca Aset;


b. Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan;
c. Pengadaan Sarana dan Prasarana Kantor;
d. Penyediaan Barang dan Jasa Perkantoran;
e. Peningkatan Kapasitas Aparatur;
f. Koordinasi dan Konsultasi ke dalam dan luar daerah;
g. Penyediaan Data dan Informasi Pembangunan

2. Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Kampung

a. Penataan dan Pengembangan Pelaku Ekonomi Kampung;


b. Pembinaan dan Pengembangan dalam Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna;
c. Penataan dan Pengembangan Potensi Pemberdayaan Masyarakat dan
Kampung;
d. Pendampingan Tenaga Profesional Terhadap Penyaluran dan Penggunaan
Dana Kampung;
e. Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat Kampung

3. Program Peningkatan Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan

a. Pembinaan dan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Hukum Adat;


b. Pembinaan, Fasilitasi dan Advokasi Lembaga Ketahanan Masyarakat
Kampung/Kelurahan;
c. Penataan dan Pembinaan Lembaga Adat Menuju Kampung Adat

4. Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Kampung

a. Pembinaan dan Pengembangan Partisipatif Pembangunan Kampung;


b. Penataan, Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Pemerintahan
Kampung /Kelurahan;
c. Pembinaan dan Penataan Badan Kerjasama Kampung
BAB III

ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Analisis Peraturan Perundang-undangan terkait Pemberdayaan


Masyarakat Kampung.

Instrumen penyelenggaraan Pemerintah Daerah, salah satunya adalah


pembentukan Perundang-undangan Daerah (Perda). Peraturan daerah merupakan
media bagi Pemerintah daerah untuk menuangkan berbagai, kebijakan, usualan
serta aspirasi masyarakat yang bertujuan agar pembangunan daerah akan menjadi
lebih baik. Peraturan daerah harus dibuat tepat sasaran sesuai dengan yang dicita-
citakan. Oleh karena itu dalam perancangannya harus dilakukan analisis peraturan
perundang-undangan untuk mengembangkan filterisasi terhadap regulasi-regulasi
yang terkait. Analisis dilakukan dengan melakukan inventarisasi regulasi, baik
pusat maupun daerah. Dalam hal ini analisis dan evaluasi peraturan perundang-
undangan yang terkait pemberdayaan masyarakat dan desa dilakukan agar
perancangan peraturan daerah ini disusun ke dalam bentuk peraturan daerah yang
dapat diterapkan secara efektif.
Tahap pertama yaitu inventarisasi regulasi baik pusat maupun daerah terkait
permberdayaan masyarakat desa atau berelasi dengan itu sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Terkait pembentukan raperda pemberdayaan masyarakat desa, tentu harus


merujuk pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai sumber dan dasar pembentukannya. Pasal 18 ayat (5) yang
berbunyi “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat”.
Dapat diartikan bahwa terdapat batasan bagi Pemerintah daerah dalam
melaksanakan kewenangannya untuk menjalankan otonomi daerah. Batasan itu
yaituketentuan undang-undang yang menentukan bahwa suatu urusan itu
merupakan urusan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, melalui Pasal 18 ayat (5)
UUD 1945 didapatkan sumber pembentukan bagi Rancangan Pearturan Daerah
pemerintahan daerah dalam satuannya yang terkecil daripada bagian wilayah
Kabupaten.
Oleh karena itu, untuk menjalankan sebagian otonomi daerah untuk mewujudkan
pemberdayaan masyarakat dan desa yang ada di Kabupatennya, Pemerintah
Daerah dapat membentuk Pearturan Daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan
daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Bunyi Pasal 18 ayat
(5) dan ayat (6) UUD 11945 menjadi argumentasi yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan daerah tentang pemberdayaan masyarakat dan kampung.

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Sesuai teori jenjang norma, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


menjadi sumber bagi peraturan yang lebih rendah, demikian sebaliknya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana disebutkan oleh Pasal 7 ayat (1)
yang menyatakan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Menurut Pasal 4 ayat (4) Permendagri Nomor 80 Tahun 2015, Perda Provinsi
memiliki hierarki lebih tinggi dari pada Perda kabupaten/kota. Selanjutnya ayat
(5) Permendagri tersebut mengatur bahwa Perda Provinsi memuat materi muatan
untuk mengatur:
a. Kewenangan provinsi;
b. Kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. Kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu
provinsi;
d. Kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau
e. Kewenangan yang pengunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan
oleh daerah provinsi.

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Desa berdasakan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menjadi subjek


pembangunan melalui asas rekognisi, subsidiaritas dan keberagaman. Asas
pengaturan dari Undang-undang ini adalah Rekognisi yaitu pengakuan terhadap
hak asal usul, subsidiaritas yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan nmasyarakat desa, dan
keberagaman yaitu nilai pegakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas rekognisi, subsidiaritas,
dan keberagaman yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa, menjamin tetap diakuinya keberagaman karakteristik dan jenis
desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 6 Tahun


2014 Tentang Desa menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah
upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat desa..

Berdasarkan Pasal 78 disebutkan bahwa tujuan dari pembangunan desa adalah


meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana desa, pengembangan ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh


pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NKRI. Urusan pemerintahan tersebut terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum. Dalam konteks, pemerintahan daerah maka yang penting adalah urusan
pemerintahan konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat, dan Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua


atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. (PP
Nomor 11 Tahun 2019 ini mengubah PP Nomor 43 Tahun 2014 dan PP
Nomor 47 Tahun 2015)

Pada tanggal 28 Februari 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani


Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. PP Nomor 11 Tahun 2019
ini mengubah PP Nomor 43 Tahun 2014 dan PP Nomor 47 Tahun 2015 dan
Peraturan Pemerintah (PP) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Februari 2019.
Dasar hukum PP 11 Tahun 2019 adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945; UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa; dan PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah
dengan PP Nomor 47 Tahun 2015.

Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Ini


didalamya mengatur tentang penataan desa, kewenangan, pemerintahan desa, tata
cara penyusunan peraturan desa, keuangan dan kekayaan desa, pembangunan desa
dan pembangunan kawasan pedesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa,
lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, pembinaan dan
pengawasan desa oleh camat atau sebutan lainnya.

B. Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemberdayaan


Masyarakat dan Kampung

Desa sebagai ujung tombak pemerintahan terbawah memiliki kewenangan dalam


mengatur pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat Desa (Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (12)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa).
Peran desa sebagai wilayah otonom dalam undang-undang tentang desa
menjadikan desa dapat menjalankan perannya sesuai dengan asal usul desa
(regognisi) dan adat istiadat sesuai dengan nenek moyangnya. Sasaran dalam
program pemberdayaan masyarakat ini mencakup semua bidang, mulai dari
pemerintahan, kelembagaan, kesehatan, ekonomi masyarakat, teknologi, dan
pendidikan.
Peraturan daerah yang hendak dibentuk yaitu pemberdayaan masyarakat dan desa
secara regulaif sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa beserta peraturan pelaksananya dalam bentuk peraturan pemerintah,
permendesa tentang pendampingan masyarakat desa.Oleh karena itu diperlukan
pengaturan dalam bentuk peraturan daerah Provinsi, karena desa berperan sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota
daerah yang diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya, hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengedepankan peran desa secara
otonom dengan keunikan hak-hak asal-usulnya (recognisi).
BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS

Landasan filosofis merupakan suatu dasar pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara, yakni Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam hukum
mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh
masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila terdapat di dalam pembukaan
(preambule), yang terdiri dari empat alinea.
Selain itu secara filosofis, dapat pula dilihat bahwa sebelum tata pemerintahan di
atasnya ada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus
menjadi landasan dan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa
yang memiliki tata pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung
tombak dalam setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Pasal 18 UUD 1945, mengatur keberadaan daerah besar dan kecil. Pasal 18 itu
berbunyi, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa
sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil.
Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah
Daerah berkewajiban mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat;

B. LANDASAN SOSIOLOGIS

Secara sosiologis, dinamika dan perkembangan pesat yang terjadi di masyarakat


mencerminkan adanya perubahan atau pergeseran situasi dan kondisi terkini yang
terjadi dimasyarakat, baik dinamika yang terjadi di sektor sosial, politik, ekonomi,
budaya, pemerintahan, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya
keinginan masyarakat untuk mengaktualisasikan dan menyesuaikan situasi dan
kondisi terkini ke dalam peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga
hukum merupakan suatu hal yang selalu dinamis, dan bukan suatu hal yang statis.
Dari aspek sosiologis, hukum bersifat responsif terhadap perkembangan yang
terjadi dimasyarakat.
Provinsi Papua Barat merupakan Provinsi dengan jumlah desa yang cukup
banyak. Sebagai Provinsi yang sedang berkembang secara ekonomi diharapkan
mampu mengembangkan desa-desa yang ada dan dapat mengelola serta
mengembangkannya menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah Provinsi Papua Barat harus bisa menjangkau kedepan untuk
merumuskan kebijakan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan
pemerintah daerah di bidang penyelenggaraan desa diharapkan mampu
memberikan manfaat bagi iklim usaha dan menciptakan perekonomian yang
menunjang pembangunan secara nasional.
Salah satu kendala yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam rangka percepatan
pembangunan adalah masalah kemiskinan dan keterbatasan akses masyarakat atas
sumber daya ekonomi, terutama di perdesaan.

C. LANDASAN YURIDIS

Pengertian rechtsstaat adalah negara menempatkan hukum sebagai dasar


kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala
bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam rechtsstaat maka ikatan
antara negara dan hukum tidaklah berlangsung dalam kaitan yang lepas atau pun
bersifat kebetulan, melainkan ikatan yang hakiki.
Secara yuridis, Undang-Undang adalah produk politik. Peraturan Daerah selalu
berisikan materi atau substansi yang diwarnai dengan berbagai kepentingan
politik di dalamnya. Situasi politik pada saat suatu Perda disetujui tentunya akan
berbeda dengan situasi sosial politik terkini, apa lagi kalau masih terdapat alasan
Yuridis lainnya. Oleh karena itu, perubahan suatu Perda merupakan suatu
keharusan yuridis karena hukum merupakan suatu hal yang dinamis. Dalam
dinamika yuridis tersebut, Perda merupakan hasil persetujuan bersama antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perda yang
merupakan hasil persetujuan bersama tersebut menjadi produk hukum yang
mengikat secara umum.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan

Pemerintahan Kampung merupakan unit terdepan pelayanan kepada masyarakat


serta menjadi tonggak utama untuk keberhasilan semua program. Karena itu,
memperkuat Desa merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dalam
upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan
otonomi daerah. Kemandirian Desa dalam rangka otonomi daerah memerlukan
kesiapan lembaga sosial, politik dan ekonomi Kampung itu sendiri. Oleh
karenanya peningkatan fungsi dan peran kelembagaan Desa memiliki arti yang
strategis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat dan Kampung. Pemberdayaan masyarakat Kampung perlu memiliki
dasar hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah.
Kebijakan pemberdayaan masyarakat dan Kampung ini perlu diatur dan ditata
sedemikian rupa sehingga memberikan kejelasan pengaturannya, antara lain :
ketentuan umum; asas, tujuan, sasaran dan ruang lingkup pengaturannya;
kebijakan pemberdayaan masyarakat dan Kampung; wewenang dan tanggung
jawab Pemerintah Daerah; perencanaan; pelaksanaan; peran serta masyarakat;
pembiayaan; pembinaan dan pengawasan; pelaporan; ketentuan peralihan;
ketentuan penutup; serta penjelasan-penjelasan dalam pengaturannya.

B. Judul

Judul peraturan daerah yang akan disusun adalah Peraturan Daerah Provinsi
Papua Barat Tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung.

C. Ruang Lingkup Materi Yang Akan Diatur


1. Asas

Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung dilaksanakan berdasarkan asas:


a. keadilan sosial
b. otonomi
c. partisipatif
d. gotong royong
e. swakelola
f. swadaya
g. keterpaduan
h. transparansi
i. akuntabilitas

2. Tujuan dan Sasaran

Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Tentang Pemberdayaan Masyarakat dan


Kampung perlu memuat ketentuan mengenai tujuan tujuan dan sasaran. Tujuan
Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung untuk mewujudkan masyarakat dan
desa yang berdaya dan mandiri melalui:
a. penetapan kebijakan, berupa sinkronisasi kebijakan dan program
pemberdayaan masyarakat dan Kampung;
b. program, berupa sinergitas berbagai potensi sumber daya yang dimiliki oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, swasta dan
masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan Kampung;
c. kegiatan, berupa koordinasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dan
Kampung antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan sektor swasta, serta peningkatan pelayanan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar, sosial ekonomi, kesempatan kerja dan
peningkatan kapasitas masyarakat secara individu maupun kelompok; dan
d. pendampingan, berupa optimalisasi partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan penanaman nilai-nilai sosial budaya dan
kegotongroyongan.

Sasaran Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung meliputi:


a. kebijakan strategis;
b. kebijakan operasional;
c. kebijakan praktis.
Sasaran strategis Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, meliputi:
a. demokratisasi proses pembangunan;
b. sinergitas hubungan kelompok masyarakat, lembaga kemasyarakatan dengan
pemerintahan Kampung;
c. penguatan otonomi;
d. penanggulangan kemiskinan; dan
e. penganggaran keuangan daerah yang berbasis kerakyatan.

Sasaran operasional dilaksanakan secara terintegrasi antara program dan kegiatan


pemberdayaan masyarakat dan Kampung mulai dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Kampung sampai masyarakat.
Sasaran praktis ialah terselenggaranya:
a. peningkatan kapasitas masyarakat secara individu, kelompok masyarakat dan
lembaga kemasyarakatan;
b. terwujudnya pembangunan yang partisipatif;
c. pengelolaan aset Kampung;
d. pemanfaatan teknologi dan sumberdaya alam;
e. peningkatan usaha bersama.

3. Ruang Lingkup

Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat dan


Kampung perlu memuat ketentuan mengenai ruang lingkup pengaturan
pemberdayaan masyarakat Kampung. Ruang lingkup pengaturan pemberdayaan
masyarakat dan desa meliputi:
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah;
b. Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
c. Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
d. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia;
e. Pengembangan Kapasitas Kelompok Masyarakat;
f. Pemberdayaan Usaha Ekonomi dan Peran Serta Masyarakat;
g. Peningkatan Sarana dan Prasarana;
h. Pemberdayaan Seni dan Budaya;
i. pendampingan;
j. Penghargaan;
k. Pembiayaan;
l. Pembinaan dan Pengawasan; dan
m. Pelaporan.

4. Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Peraturan Daerah Provinsi Banten Tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa


perlu memuat ketentuan mengenai wewenang dan tanggung jawab Pemerintah
Daerah dalam pemberdayaan masyarakat Kampung.

a. Bagian Kesatu - Umum


b. Bagian Kedua - Pemberdayaan masyarakat
c. Bagian Ketiga - Pemberdayaan Kampung
d. Bagian Keempat – Penataan Kampung
e. Bagian Kelima – Fasilitasi Kerjasama antar Kampung
f. Bagian Keenam – Pemberdayaan dan Pendayagunaan Lembaga
Kemasyarakatan

5. Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung


6. Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung
7. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
8. Pengembangan Kapasitas Kelompok Masyarakat
9. Pemberdayaan Usaha Ekonomi dan Peran Serta Masyarakat
10. Peningkatan Sarana dan Prasarana
11. Pemberdayaan Seni dan Budaya
12. Pendampingan
13. Penghargaan
14. Pembiayaan
15. Pembinaan dan Pengawasan
16. Pelaporan

E. Ketentuan Peralihan

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, produk hukum Daerah yang
mengatur mengenai pemberdayaan masyarakat dan Kampung tetap berlaku
sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.

F. Ketentuan Penutup

Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan


paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Papua Barat.
BAB VI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebagaimana telah dikemukakan di atas,


dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Rancangan peraturan daerah tentang pemberdayaan masyarakat dan
Kampung disusun berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintahan Provinsi Papua Barat untuk dicarikan solusinya melalui
pengaturan yang memadai agar dapat di atasi.
2. Perlu dibentuk perlu dibentuk Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat
tentang Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung untuk menjadi rujukan
daalam penyelenggaraan urusan pemberdyaan masyarakat dan Kampung di
Provnsi Papua Barat.
3. Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat
dan Kampung sesuai dengan kebutuhan Provinsi Papua Barat yaang
didasarkan pada landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat
dan Kampung
4. Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat
dan Kampung sesuai dengan sasaran yang akan diwujudkan terkait dengan
ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Peraturan
Daerah Provinsi Papua Barat tentang Pemberdayaan Masyarakat dan
Kampung.

B. Saran

Agar Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang


Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung dapat menjadi Perda yang efektif,
perlu dilakukan konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan, baik
tokoh masyarakat, akademisi, pemerintah kabupaten/kota dalam wilayah
Provinsi Papua Barat, dan terutama unsur-unsur SKPD Provinsi Papua Barat.
Tujuannya adalah agar rincian pemberdayaan massyarakat dan Kampung
dapat terinventarisasi secara tepat sehingga jalannya pemerintahan diharapkan
dapat berjalan lebih efektif dan efisien, tanpa menimbulkan tarik menarik
kepentingan antar susunan pemerintahan ataupun kekosongan pemerintahan
yang ujungnya merugikan kepentingan masyarakat.
Selain itu, setelah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat tentang
Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung ditetapkan menjadi Perda,
disarankan agar berbagai perda yang berkaitan dengan urusan pemberdayaan
masyarakaat dan Kampung, perlu ditinjau ulang. Bentuknya dapat berupa
revisi terbatas ataupun pembuatan perda baru menggantikan perda lama.
Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI

MAKALAH

DISAMPAIKAN DALAM
SELEKSI LELANG JABATAN PRATAMA
PADA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BARAT

DISAMPAIKAN OLEH

NIKOLAS SAIDUI

TAHUN
2023
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan
D. Metode Penulisan

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat


2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
3. Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
4. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

B. Kajian Terhadap Asas yang terkait dengan Penyusunan Norma


1. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
2. Prinsip dan Asas Pemberdayaan Masyarakat Desa
3. Pemberdayaan Masyarakat dalam bingkai UU Desa

C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan Pemberdayaan Masyarakat


Desa

BAB III

ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Analisis Peraturan Perundang-undangan terkait Pemberdayaan


Masyarakat Desa.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. (PP Nomor 11 Tahun 2019 ini mengubah PP Nomor
43 Tahun 2014 dan PP Nomor 47 Tahun 2015)

B. Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemberdayaan


Masyarakat dan Kampung

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
C. LANDASAN YURIDIS

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN


RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan


B. Judul
C. Ruang Lingkup Materi Yang Akan Diatur
C. Ruang Lingkup Materi Yang Akan Diatur
D. Ketentuan Peralihan
E. Ketentuan Penutup

BAB VI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
B.Saran

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai