Otonomi desa merupakan pemberian ruang gerak bagi desa dan mengembangkan
prakarsa desa termasuk sinergi berbagai aturan dengan potensi dan budaya lokal yang
dimiliki desa. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sutoro Eko (2005) mengemukakan bahwa konteks penting yang mendorong
1. Secara historis, desa telah lama eksis di Indonesia sebagai kesatuan masyarakat
3. Dari sisi ekonomi-politik, desa memiliki tanah dan penduduk selalu menjadi medan
otonomi.
diarahkan pada potensi-potensi yang dimiliki desa. Proses pertumbuhan dan perkembangan
harus terarah, termasuk aktualisasi nilai-nilai lokal yang tidak dimaksudkan untuk
mengembalikan desa ke zaman lama, tetapi hendak dijadikan sebagai koridor dalam proses
transformasi. Dengan demikian, jalan yang ditempuh tidak destruktif, tetapi tetap
partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dan lembaga sosial keagamaan termasuk fungsi-
demokratis, memberi pelayanan publik dan sipil yang cepat, dan membangun kepercayaan
masyarakat menuju kemandirian desa. Untuk itu, desa tidak dikelola secara teknokratis, tetapi
harus mampu memadukan realita kemajuan teknologi yang berbasis pada sistem nilai lokal
yang mengandung tata aturan, nilai, norma, kaidah, dan pranata sosial lainnya. Potensi desa
berupa hak tanah (tanah bengkok, titisari, dan tanah-tanah khas desa lainnya), potensi
penduduk, sentra ekonomi dan dinamika sosial-politik yang dinamis menuntut kearifan dan
dinamisasi pembangunan masyarakat desa. Sejalan dengan itu, Sutoro Eko (2005)
menjelaskan bahwa tujuan yang substansial dari desentralisasi dan otonomi desa adalah
sebagai berikut.
7. Membuka arena pembelajaran yang sangat bagi pemerintah desa, BPD, dan
masyarakat.
aktif, dan upaya membangun kepercayaan bersama yang dibingkai dengan sinergitas antara
pemerintah dengan yang diperintah. Upaya mengawal tujuan desentralisasi dan otonomi desa
memerlukan komitmen politik dan keberpihakan pada desa menuju kemandirian desa.
Tuntutan kemandirian desa pada hakikatnya adalah terbentuknya daerah otonomi tingkat tiga
Kewenangan desa merupakan hak yang dimiliki desa untuk mengatur secara penuh urusan
rumah tangga sendiri. Berdasarkan sejarahnya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa memosisikan desa berada di bawah kecamatan dan kedudukan desa
tumbuhnya kreativitas dan partisipasi masyarakat desa setempat karena mereka tidak dapat
mengelola desa sesuai dengan kondisi budaya dan adat dari desa tersebut.
yang memberikan keleluasaan kepada desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri
sesuai dengan kondisi adat dan budaya setempat. Undang-undang tersebut selanjutnya
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa memuat tentang
kewenangan desa.
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian
dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan
gambaran dalam pelaksanaan otonomi desa secara luas, nyata, bertanggung jawab, yang di
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah No.25 tahun 2000). Selain itu, keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
Menurut Hari Sabarno (2007) pengertian luas dalam penyelenggaraan otonomi daerah
bidang pemerintahan yang dikecualikan pada bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama, serta kewenangan bidang lain seperti
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya
alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standardisasi nasional.
Widjaja (2003) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan
utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah
berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat
melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki
kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Dengan
memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan development community, yaitu desa
tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah, tetapi sebaliknya sebagai
independent community yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan
masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri,
termasuk bidang sosial, politik, dan ekonomi. Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda
dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah provinsi ataupun daerah kabupaten dan daerah
kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa berdasarkan asal usul dan adat-istiadatnya, bukan
Otonomi desa merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-
usul dan nilainilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan desa tersebut. Sekalipun demikian dalam pelaksanaan hak dan
kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi, desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggung
jawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak,
wewenang, dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggung jawab untuk memelihara
integritas, persatuan, dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam
berikut.
1. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh
2. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau
Hari Sabarno. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar
Grafika.
H.A.W. Widjaja. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.