Anda di halaman 1dari 536

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARIWISATA

KAWASAN DANAU TOBA

DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:
SITI HAJAR
NIM. 167030101111012

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI


MINAT ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARIWISATA
KAWASAN DANAU TOBA

DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:
SITI HAJAR
NIM. 167030101111012

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI


MINAT ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
IDENTITAS TIM PENGUJI

Judul Disertasi : PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARIWISATA


KAWASAN DANAU TOBA

Nama Mahasiswa : SITI HAJAR


NIM : 167030101111012
Program : Doktor Ilmu Administrasi
Minat : Ilmu Administrasi Publik

KOMISI PROMOTOR

Promotor : Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS


Ko-Promotor 1 : Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si.
Ko-Promotor 2 : Dr. Abdullah Said, M.Si.

TIM DOSEN PENGUJI

Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Soesilo Zauhar, MS.


Dosen Penguji 2 : Dr. Lely Indah Mindarti, M.Si.
Dosen Penguji 3 : Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D.
Dosen Penguji 4 : Dr. Hermawan, SIP., M.Si.
Dosen Penguji 5 : Dr. Azizizul Kholis, SE., M.Si., CMA, CSRS
Dosen Penguji 6 : Dr. Hardi Warsono, M.T.P.

Tanggal Ujian : 10 Maret 2020

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini kupersembahkan kepada:


Orang tuaku yang tercinta dan tersayang

Ayahanda H. Sulaeman Husain & Ibunda Nurmala Ridwan

Suamiku tercinta dan tersayang Kholilul Kholik

Anak-anakku tersayang dan tercinta

Ananda Eka Rizky, Syarifatul Husna, Nur Aqylah,

Shafa Glese Kholik dan Marwah Athaya Kholik

v
RIWAYAT HIDUP

Siti Hajar, lahir di Hamparan Perak 23 September 1980, anak Keempat


dari Ayahanda H. Sulaeman Husain dan Ibunda Nurmala Ridwan. Menyelesaikan
pendidikan Sekolah dasar di SDN 101742 Desa Hamparan Perak Kabupaten
Deli Serdang selesai Tahun 1992, menyelesaikan pendidikan di SLTPN 18
Medan pada tahun 1995 dan MAN 2 Medan pada Tahun 1998. Menyelesaikan
pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada
tahun 2002 dengan predikat Dengan Pujian.

Pada tahun 2003 melanjutkan studi S2 di Universitas Sumatera Utara dan


memperoleh ijazah Magister Studi Pembangunan pada Tahun 2006. Pada Tahun
2007 saya diangkat menjadi dosen tetap hingga saat ini di Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Malang , Maret 2020

Penulis,

Siti Hajar
NIM. 167030101111012

vi
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur yang tak terhingga kehadirat Allah SWT karena atas berkah
rahmat serta hidayah-NYA penulis mampu menyelesaikan disertasi sebagai
bagian dari pendidikan doktor Ilmu administrasi. Disertasi ini dapat dikerjakan
dan terselesaikan tentu tidak hanya karena penulis telah berusaha maksimal
akan tetapi karena bantuan serta dukungan dari beberapa pihak. Sehingga
penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., MS atas
kesempatan untuk menuntut ilmu pada program Doktor Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu administrasi.
2. Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya dan sebagai Promotor yag telah sabar dan meluangkan
waktu dalam membimbing penulis dan juga selalu memberikan motivasi
dalam penyelesaian pendidikan doktor dan terselesaikannya disertasi ini.
3. Prof. Dr. Sumartono, MS selaku Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Terima kasih karena
telah membantu dan memberikan kemudahan penulis dalam meyelesaikan
pendidikan doktor dan terselesaikannya disertasi.
4. Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si, (Ko-Promotor), dan Dr. Abdullah Said, M.Si (Ko-
Promotor) yang telah sabar dan meluangkan waktu dalam membimbing
penulis dalam menyelesaikan disertasi. Karena tanpa bantuan serta
bimbingan tim promotor penulis tak akan mampu menyelesaikan disertasi.
Hanya dengan Doa yang penulis panjatkan kepada Allah SWT agar tim
promotor selalu dalam lindungan dan berkah-NYA. Sebagai ungkapan rasa
terima kasih atas bimbingan serta motivasi yang telah diberikan kepada
penulis.
5. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr. Drs. Agussani, M.AP,
beserta civitas akademika yang telah memberikan kesempatan penulis untuk
melakukan tugas belajar pendidikan doktor di Universitas Brawijaya.
6. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara Dr. Arifin Saleh, S. Sos., MSP, beserta rekan sejawat penulis
yang telah mendoakan serta memberikan motivasi kepada penulis selama
melaksanakan tugas belajar hingga penulisan disertasi.
7. Direktur Badan Pelaksana Otorita Danau Toba beserta jajarannya yang telah
mempermudah dan memberikan dukungan dalam penelitian serta penulisan
disertasi.
8. Kepala Dinas Pariwisata di daerah sekitar Kawasan Danau Toba beserta
jajarannya yang telah mempermudah dan memberikan dukungan dalam
penelitian serta penulisan disertasi
9. Kepada semua teman angkatan 2016 Program Ilmu Administrasi Publik
Universitas Brawijaya atas kekompakan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis dari awal kuliah hingga penulisan disertasi. Tanpa adanya
hubungan baik serta proses saling mengisi dan membantu maka penulis tentu
tidak akan mampu menyelesaikan disertasi ini.

Malang, Maret 2020


Penulis,

Siti Hajar
vii
RINGKASAN

Siti Hajar, Program Doktor Ilmu Administrasi, 2020. Perencanaan Pembangunan


Pariwisata Kawasan Danau Toba. Promotor: Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS,
Ko-Promotor 1: Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si dan Ko-Promotor 2: Dr. Abdullah
Said, M.Si

Pariwisata di Indonesia adalah salah satu sektor unggulan dalam program


membangun daerah dan menjadi kunci pembangunan, kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi masyarakat. Di Indonesia, terdapat 10 (sepuluh) lokasi
destinasi wisata yang diprioritaskan sebagai kunci pembangunan nasional, yaitu:
a) Danau Toba (Sumatera Utara); b) Tanjung Kelayang (Bangka Belitung); c)
Mandalika (Nusa Tenggara Barat); d) Wakatobi (Sulawesi Tenggara); e) Pulau
Marotai (Maluku Utara); f) Kepulauan Seribu (DKI Jakarta); g) Tanjung Lesung
(Banten); h) Borobudur (Jawa Tengah); i) Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur);
j) Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur). Kemudian, 10 (sepuluh) destinasi wisata
ini dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu Tourism Authority Board (Danau Toba,
Kepulauan Seribu, dan Kota Tua Jakarta, Borobudur, Bromo Tengger Semeru,
Labuan Bajo dan Wakatobi) dan Special Economic Zone (Tanjung Kelayang,
Tanjung Lesung, Mandalika dan Marotai).

Pengelompokan destinasi wisata tersebut bertujuan untuk memudahkan


pengembangan pariwisata yang merujuk kepada kebijakan mekanisme
pembangunan pariwisata dan strategi dalam fenomena pasar sehingga dapat
menggabungkan semua organisasi atau lembaga dan individu yang terlibat
dalam kegiatan pariwisata. Kemudian, masing-masing destinasi wisata yang
diprioritaskan dapat mengembangkan potensi pariwisatanya dalam
meningkatkan nilai ketertarikan, persaingan, keberlanjutan dan lokalitas
berdasarkan ciri khas dan keunikannya sehingga menjadi keunggulan daerah.
Dengan demikian, pentingnya pengelolaan pariwisata kawasan Danau Toba
menjadi satu dan terpadu serta terintegrasi karena dengan adanya satu
pengelolaan pariwisata di kawasan Danau Toba diharapkan dapat lebih mudah
untuk mengembangkan dan mempromosikannya, sehingga potensi pariwisata
yang dimiliki oleh masing-masing daerah di kawasan Danau Toba dapat lebih
dikembangkan dan unggul serta mampu bersaing di tingkat nasional dan
internasional.

Upaya yang harus segera dilaksanakan dalam mendukung pembangunan


pariwisata kawasan Danau Toba adalah segera tersusunnya rencana induk
pembangunan kepariwisataan khusus kawasan Danau Toba, namun terdapat
beberapa permasalahan dalam mempersiapkan perencanaan pembangunan
pariwisata kawasan Danau Toba yang terstruktur, terpadu dan
berkesinambungan yaitu pemetaan potensi pariwisata, penyusunan regulasi
pengembangan pariwisata Danau Toba, membangun kemitraan dan keterlibatan
masyarakat serta pemangku kepentingan pariwisata. Perencanaan
pembangunan pariwisata ini juga terkait penyatuan visi dan misi dan persamaan
komitmen di setiap kabupaten yang mengelilingi Kawasan Danau Toba.

viii
Rumusan masalah dalam disertasi ini adalah: 1) Bagaimanakah perencanaan
pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba?; 2) Bagaimanakah
standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba?; 3)
Bagaimanakah proses interaksi antara lembaga yang terlibat dalam perencanaan
pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba? 4) Bagaimanakah model
perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba.

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, untuk memfokuskan sebuah


proses dalam perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba
Provinsi Sumatera Utara sehingga mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan
menghasilkan pariwisata yang ungggul dan berdaya saing. Analisis data yang
dilakukan menggunakan analisis SWOT dalam menginput data kemudian
hasilnya dianalisis dengan melakukan penyimpulan dan verifikasi melalui analisis
kualitatif.

Hasil penelitian yang ditemukan adalah pertama, pembangunan pariwisata


kawasan Danau Toba dalam perencanaannya tidak hanya harus dilihat dari 4
pilar namun juga harus dilihat bagaimana potensi ekonomi, potensi sosial budaya
dan potensi lingkungannya. Secara potensi ekonomi, pembangunan pariwisata di
kawasan Danau Toba telah membawa banyak perubahan bagi masyarakat lokal
dan daerah di 7 kabupaten yang ada di Danau Toba. Namun, apabila dikaitkan
dengan 4 pilar dalam pariwisata tersebut, maka masih banyak yang harus
dibenahi unruk mendukung perencanaan pengembangan potensi pariwisata.
Kawasan Danau Toba mempunyai daya tarik wisata yang dapat menjadi
keunggulan dan keunikan daerah dalam pengembangan pariwisata.

Kedua, perencanaan dalam pembangunan pariwisata adalah untuk menciptakan


pariwisata yang mampu berdaya saing baik nasional maupun internasional,
apalagi kalau daerah pariwisata tersebut telah menajdi unggulan dan prioritas.
Dengan adanya perencanaan yang baik maka dapat dikembangkan pariwisata
dengan efektif dan efisien sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.
Perencanaan yang tersusun dan dijadikan kerangka kerja dan pedoman untuk
melakukan tindakan di masa depan. Hambatan yang dihadapi dalam
perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba adalah minimnya
sinkronisasi dan koordinasi yang mengakibatkan minimnya kebajikan yang
mengarah kepada pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba sehingga
tidak ada standarisasi dalam pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba.
Sinkronisasi dan koordinasi yang baik dapat menciptakan penyatuan visi dan
misi dalam pembangunan pariwisata sehingga menghasilkan strategi
pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba yang terpadu dan terintegrasi.

Ketiga, sasaran dalam pembangunan pariwisata itu meliputi terkelolanya seluruh


potensi pariwisata secara profesional dengan melibatkan seluruh pihak
(pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha) yang sejalan dengan kepentingan
pengembangan pariwisata yaitu penataan ruang, peningkatan pendapatan asli
daerah, pengembangan seni dan budaya serta pelestarian lingkungan. Hal ini
juga menjadi salah satu alasan untuk menyusun rencana induk pembangunan
pariwisata kawasan Danau Toba yaitu membangun kemitraan dan keterlibatan
masyarakat serta pemangku kepentingan pariwisata. Membangun kerjasama
antar pihak pemangku kepentingan dan saling berinteraksi dengan baik dapat

ix
menghasilkan visi dan misi yang sama dalam membangun dan mengembangkan
pariwisata kawasan Danau Toba. Lembaga yang menjadi perpanjangan tangan
pemerintah pusat dan bertugas mengkoordinir pelaksanaan pariwisata kawasan
Danau Toba adalah BPODT yang harus mampu membawa perubahan pada
pariwisata kawasan Danau Toba. BPODT juga harus dapat membangun
kemitraan yang baik pada semua pemerintah daerah, masyarakat dan pihak
swasta untuk menyusun perencanaan yang komprehensif, terpadu, dan
terintegrasi. Kemudian dengan adanya perencanaan ini mampu menghasilkan
merancang standarisasi dalam sistem kerjasama pariwisata dan program
pariwisata yang mengarah komitmen bersama antar daerah di kawasan Danau
Toba.

Keempat, penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau


Toba harus melihat dinamika perkembangan potensi pariwisata di masing-
masing daerah kawasan Danau Toba dan menjadi keunggulan daerahnya.
Upaya yang dilakukan untuk pembangunan pariwisata adalah meningkatkan
fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan pariwisata yang terpadu,
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pemerintah daerah kawasan Danau
Toba kemudian merancang regulasi yang mengarah kepada pengembangan dan
potensi pariwisata yang unggul dan berdaya saing. Namun, perencanaan
pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba masih mengalami hambatan
dikarenakan oleh belum optimalnya interaksi dan koordinasi antar lembaga/antar
daerah dalam pembangunan pariwisata sehingga pariwisata di kawasan Danau
Toba belum dapat terkelola dengan baik.

Kawasan Danau Toba sedikit berbeda dengan daerah-daerah wisata lainnya,


meliputi pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan pariwisata dan juga dalam
menyusun perencanaan dan kebijakan pariwisatanya. Maka, hasil penelitian ini
juga dapat memberikan rekomendasi sebuah konsep atau model dalam
perencanaan pembangunan pariwisata yaitu konsep perencanaan kawasan
pariwisata. Konsep ini dimaksudkan bahwa dalam pengembangan pariwisata
dilakukan melalui pengaturan kelembagaan, kekuatan dan nilai-nilai lokal, peran
kelompok pariwisata, memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber
daya alam dan masyarakat daerah dan menjadi keunggulan daerah dalam
menghasilkan tata kelola pariwisata yang unggul dan berdaya saing.

Kata Kunci: Perencanaan, pariwisata dan tata kelola

x
SUMMARY

Siti Hajar, Administration Doctoral Program, 2020. Tourism Planning


Development of Lake Toba Region. Promotor: Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS,
Ko-Promotor 1: Dr. M. R. Khairul Muluk, M.Si dan Ko-Promotor 2: Dr. Abdullah
Said, M.Si

Tourism in Indonesia is one of the leading sectors in the regional development


program and is the key to development, prosperity and happiness for the
community. In Indonesia, there are 10 (ten) tourist destination locations that are
prioritized as key to national development, namely: a) Lake Toba (North
Sumatra); b) Tanjung Kelayang (Bangka Belitung); c) Mandalika (West Nusa
Tenggara); d) Wakatobi (Southeast Sulawesi); e) Marotai Island (North Maluku);
f) Thousand Islands (DKI Jakarta); g) Tanjung Lesung (Banten); h) Borobudur
(Central Java); i) Bromo Tengger Semeru (East Java); j) Labuan Bajo (East Nusa
Tenggara). Then, 10 (ten) tourist destinations are grouped into 2 (two), namely
the Tourism Authority Board (Lake Toba, Thousand Islands, and the Old City of
Jakarta, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Labuan Bajo and Wakatobi) and
the Special Economic Zone (Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Mandalika and
Marotai).

The grouping of tourist destinations aims to facilitate the development of tourism


which refers to the policy of tourism development mechanisms and strategies in
the market phenomenon so that it can combine all organizations or institutions
and individuals involved in tourism activities. Then, each prioritized tourist
destination can develop its tourism potential in increasing the value of interest,
competition, sustainability and locality based on its characteristics and
uniqueness so that it becomes a regional advantage. Thus, the importance of
tourism management in the Lake Toba region becomes one and integrated and
integrated because with the existence of a tourism management in the Lake Toba
region it is expected to be easier to develop and promote it, so that the tourism
potential possessed by each region in the Lake Toba region can be more
developed and superior and able to compete at the national and international
level.

Efforts that must be carried out immediately in supporting the development of


tourism in the Lake Toba region are the immediate preparation of a master plan
for the development of tourism specifically in the Lake Toba region, but there are
some problems in preparing Lake Toba's tourism development planning in a
structured, integrated and sustainable manner that is mapping the potential of
tourism, drafting development regulations Lake Toba tourism, building
partnerships and community involvement and tourism stakeholders. This tourism
development planning is also related to the unification of vision and mission and
equality of commitment in each district surrounding the Lake Toba Region.

The formulation of the problems in this dissertation are: 1) What is the planning of
developing the tourism potential of the Lake Toba region ?; 2) What is the
standardization of Lake Toba region tourism development planning ?; 3) What is
the process of interaction between the institutions involved in Lake Toba's

xi
tourism development planning? 4) What is the Lake Toba region tourism
development planning model?

The method used is a qualitative method, to focus on a process in tourism


development planning in the Lake Toba region of North Sumatra Province so as
to realize good governance and produce competitive and competitive tourism.
Data analysis was performed using SWOT analysis in inputting data then the
results were analyzed by conducting inferences and verification through
qualitative analysis.

The results of the research found are, first, the development of Lake Toba
tourism in its planning must not only be seen from the 4 pillars but also how
economic potential, socio-cultural potential and environmental potential must be
seen. In terms of economic potential, tourism development in the Lake Toba
region has brought many changes to local communities and regions in 7 districts
in Lake Toba. However, if it is associated with the 4 pillars in tourism, there is still
much that needs to be addressed to support the development of tourism potential
planning. Lake Toba region has a tourist attraction that can be an advantage and
uniqueness of the region in the development of tourism.

Second, planning in tourism development is to create tourism that is able to


compete both nationally and internationally, especially if the tourism area has
become superior and priority. With good planning, tourism can be developed
effectively and efficiently in accordance with the goals and objectives to be
achieved. Planning that is structured and used as a framework and guidelines for
future action. The obstacle faced in the Lake Toba region's tourism development
planning is the lack of synchronization and coordination resulting in a lack of
virtue that leads to the development of Lake Toba tourism so that there is no
standardization in tourism development in the Lake Toba region. Good
synchronization and coordination can create a unified vision and mission in
tourism development so as to produce an integrated and integrated Lake Toba
tourism development strategy.

Third, the targets in tourism development include managing all tourism potentials
professionally by involving all parties (government, community and business
actors) that are in line with the interests of tourism development, namely spatial
planning, increasing local revenue, arts and cultural development and
environmental preservation. This is also one of the reasons for developing a
master plan for the development of Lake Toba tourism, namely building
partnerships and community involvement and tourism stakeholders. Building
cooperation between stakeholders and interacting with each other can produce
the same vision and mission in developing and developing Lake Toba tourism.
The institution which is an extension of the central government and in charge of
coordinating the implementation of tourism in the Lake Toba region is the BPODT
which must be able to bring changes to the Lake Toba region tourism. BPODT
must also be able to build good partnerships with all local governments,
communities and the private sector to develop comprehensive, integrated and
integrated planning. Then the existence of this plan is able to produce a
standardized design in the system of tourism cooperation and tourism programs
that lead to joint commitment between regions in the Lake Toba region.

xii
Fourth, the preparation of Lake Toba region tourism development planning must
look at the dynamics of the development of tourism potential in each region of
Lake Toba region and be a regional advantage. Efforts made for tourism
development are to improve facilities that support integrated tourism
development, increase the capacity and capability of the regional government of
the Lake Toba region and then design regulations that lead to the development
and potential of superior and competitive tourism. However, tourism development
planning in the Lake Toba region is still experiencing obstacles due to the lack of
optimal interaction and coordination between institutions / between regions in
tourism development so that tourism in the Lake Toba region has not been well
managed.

The Lake Toba region is slightly different from other tourist areas, including the
management and implementation of tourism development and also in preparing
tourism planning and policies. So, the results of this study can also provide
recommendations for a concept or model in tourism development planning,
namely the concept of tourism area planning. This concept is intended that in the
development of tourism is carried out through institutional arrangements,
strengths and local values, the role of tourism groups, empowering and
developing the potential of natural resources and regional communities and
becoming a regional advantage in producing superior and competitive tourism
management.

Key word: planning, tourism and governance

xiii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan


rahmat dan hidayahMu penulis menyajikan tulisan berjudul: Perencanaan
Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba.

Didalam tulisan, disajikan pokok-pokok bahasan meliputi: 1) perencanaan


pengembangan potensi pariwisata Kawasan Danau Toba, 2) Standarisasi
perencanaan pembangunan pariwisata Kawasan Danau Toba, 3) proses
interaksi antara Lembaga yang terlibat dalam perencanaan pembangunan
pariwisata Kawasan Danau Toba, 5) model perencanaan pembangunan
Kawasan Danau Toba. Sangat disadari bahwa kekurangan dan keterbatasan
yang dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk
lebih teliti, akan tetapi dirasakan masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengaharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat
bagi yang membutuhkan.

Malang, Maret 2020

Penulis,

Siti Hajar

xiv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
IDENTITAS TIM PENGUJI ....................................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .......................................... iv
PERSEMBAHAN ..................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... Vi
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vii
RINGKASAN ............................................................................................ viii
SUMMARY ............................................................................................... xi
KATA PENGANTAR ................................................................................ xiv
DAFTAR ISI ............................................................................................. xv
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xix
DAFTAR GRAFIK .................................................................................... xx
GLOSSARY ............................................................................................. xxi

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................


1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 27
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 28
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 30


2.1 Penelitian Terdahulu ........................................................... 30
2.2 Administrasi Publik ............................................................. 58
2.3 Administrasi Pembangunan ................................................ 64
2.4 Perencanaan ...................................................................... 72
2.4.1 Tahapan Perencanaan .............................................. 86
2.4.2 Perencanaan Strategis .............................................. 92
2.5 Perencanaan Pembangunan .............................................. 97
2.6 Pariwisata ........................................................................... 115
2.6.1 Komponen Pariwisata .............................................. 118
2.7 Perencanaan Pariwisata …................................................ 133
2.8 Good Tourism Governance …............................................ 150
2.9 Perencanaan Pembangunan Pariwisata …......................... 163
2.10 Kerangka Pikir Penelitian …............................................... 186

BAB III METODE PENELITIAN …............................................................ 189


3.1 Jenis Penelitian ….............................................................. 189
3.2 Fokus Penelitian ….............................................................. 190
3.3 Lokasi Penelitian …............................................................. 191
3.4 Jenis Data …....................................................................... 191
3.5 Teknik Pengumpulan Data ….............................................. 192

xv
3.6 Informan Penelitian …......................................................... 194
3.7 Analisis Data …................................................................... 196
3.7.1 Analisis SWOT …........................................................ 196
3.7.2 Analisis Data Kualitatif …............................................ 198
3.8 Keabsahan Data …............................................................. 200

BAB IV ANALISIS SOSIAL ….................................................................. 203


4.1 Sejarah Kawasan Danau Toba …....................................... 203
4.2 Keragaman Kawasan Danau Toba …................................. 207
4.2.1 Keragaman Geologi (Geodiversity) …....................... 210
4.2.2 Keragaman Biologi (Biodiversity) ….......................... 211
4.2.3 Keragaman Budaya (Culture Diversity) …................. 212
4.3 Profil Kawasan Danau Toba …........................................... 214
4.3.1 Kependudukan dan Sosial Budaya …....................... 217
4.3.2 Perekonomian dan Infrastruktur …............................. 218
4.4 Badan Otorita Pariwisata Danau Toba ................................ 220

BAB V HASIL PENELITIAN …................................................................. 227


5.1 Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata
Kawasan Danau Toba …..................................................... 227
5.1.1 Perencanaan Potensi Destinasi Wisata ..................... 237
5.1.2 Perencanaan Potensi Ekonomi ….............................. 261
5.1.3 Perencanaan Potensi Sosial Budaya …..................... 275
5.1.4 Perencanaan Potensi Lingkungan …......................... 282
5.2 Standarisasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata ….... 295
5.3 Proses Interaksi Lembaga yang Terlibat dalam
Perencanaan Pembangunan Pariwisata …......................... 317
5.4 Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata .................. 328
5.5 Model Empiris Perencanaan Pembangunan Pariwisata 337
Kawasan Danau Toba …....................................................

BAB VI PEMBAHASAN …..................................................................... 346


6.1 Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata
Kawasan Danau Toba …..................................................... 346
6.1.1 Perencanaan Potensi destinasi wisata …................... 361
6.1.2 Perencanaan Potensi ekonomi …............................... 369
6.1.3 Perencanaan Potensi Sosial budaya …...................... 377
6.1.4 Perencanaan Potensi lingkungan …........................... 383
6.2 Standarisasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata 388
6.3 Proses Interaksi Lembaga yang Terlibat dalam
Perencanaan Pembangunan Pariwisata …......................... 408
6.4 Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan
Danau Toba …..................................................................... 422
6.5 Model Rekomendasi Perencanaan Pembangunan
Pariwisata Kawasan Danau Toba …................................... 446
6.6 Hasil Analisis ....................................................................... 481

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ….................................................. 491


7.1 Kesimpulan …..................................................................... 491

xvi
7.2 Saran …............................................................................... 496
7.2.1 Saran Teoritis …......................................................... 496
7.2.2 Saran Praktis ….......................................................... 498

DAFTAR PUSTAKA …............................................................................. 501

xvii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

1.1 Peningkatan PAD Kabupaten Kawasan Danau Toba................... 14


2.1 Penelitian Terdahulu …................................................................. 40
2.2 Perbedaan Penelitian Terdahulu dari Sisi Teori …....................... 51
2.3 Perbandingan Old Public Administration (OPA), New Public
Management (NPM) dan New Public Service (NPS) …................ 63
2.4 Tipe ideal Sistem Tata Pemerintahan …....................................... 151
2.5 Kekuatan, Kelemahan, dan Peluang Pengembangan Pariwisata
Indonesia ...................................................................................... 183
3.1 Penentuan Informan dalam penelitian berdasarkan kriteria
keahliannya dan menjadi peserta Focus Grup Discussion (FGD 195
3.2 Matriks faktor internal dan fakttor eksternal ….............................. 197
4.1 Ruang Lingkup Kawasan Danau Toba …..................................... 215
4.2 PDRB Kabupaten Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2012-2013 (Rupiah) ….................................................................. 219
5.1 Grand Strategy Pengembangan KSPN Danau Toba dan
Sekitarnya …................................................................................. 237
5.2 Arahan Rencana Pengembangan Daya Tarik Wisata dalam
Struktur Ruang Kawasan di KSPN Toba dan Sekitarnya….......... 248
5.3 Produk Unggulan di Kawasan Danau Toba ….............................. 265
5.4 Arah Kebijakan, Strategi dan Indikasi Program Pengembangan
Industri Pariwisata …................................... 267
5.5 Jumlah PAD 7 Kabupaten Kawasan Danau Toba …............. 272
5.6 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Danau Toba 273
5.7 PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2016 – 2018 274
5.8 Matrik SWOT Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata
Kawasan Danau Toba ….............................................................. 295
5.9 Program Inkubasi Pengembangan Kawasan Danau Toba Melaui
Pembangunan Infrastruktur PUPR dan Non PUPR Tahun
2017 – 2020 .................................................................................. 303
5.10 Matrik SWOT Standarisasi Perencanaan Pembangunan
Pariwisata Kawasan Danau Toba …............................................. 316
5.11 Matrik SWOT Proses interaksi antar lembanga yang terlibat
dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau
Toba ….......................................................................................... 327
5.12 Matriks Arah dan Kedudukan Kawasan Danau Toba dari
Berbagai Dokumen Kebijakan ...................................................... 330
5.13 Matrik SWOT Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata …. 336
5.14 Matriks Hasil Penelitian dan Model Empiris yang Terbangun …... 341
6.1 Matriks Hasil Penelitian, Proposisi dan Implikasi Teori …...... 435

xviii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan ….................... 69


Gambar 2.2 Model Proses Perencanaan …............................................ 80
Gambar 2.3 Langkah-langkah Perencanaan …....................................... 87
Gambar 2.4 Proses Analisis …................................................................ 88
Gambar 2.5 Proses dan Rencana …....................................................... 90
Gambar 2.6 Proses dan Bagian Perencanaan Strategis …..................... 95
Gambar 2.7 Hubungan Tiga Domain dalam Governance ....................... 156
Gambar 2.8 The Decision Making Process Model .................................. 170
Gambar 2.9 Sistem Kepariwisataan ........................................................ 178
Gambar 2.10 Kerangka Pikir Penelitian .................................................... 188
Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif (Interactive Models) ............. 198
Gambar 4.1 Destinasi Pariwisata Prioritas .............................................. 207
Gambar 4.2 Geo Area Kaldera Porsea ................................................... 208
Gambar 4.3 Geo Area Kaldera Haranggaol ............................................ 209
Gambar 4.4 Geo Area Kaldera Sibandang ............................................. 209
Gambar 4.5 Geo Area Samosir ............................................................... 210
Gambar 5.1 Peta Kawasan Pariwisata Danau Toba ............................... 231
Gambar 5.2 Aktivitas di Bandara Sisingamangaraja/Silangit
di Kabupaten Tapanuli Utara .............................................. 233
Gambar 5.3 Kondisi Pelabuhan Ajibata ke Ambarita (Samosir) ............. 234
Gambar 5.4 Destinasi Wisata Kabupaten Simalungun ........................... 245
Gambar 5.5 Destinasi Wisata Kabupaten Toba Samosir ........................ 245
Gambar 5.6 Destinasi Wisata Kabupaten Tapanuli Utara ....................... 246
Gambar 5.7 Destinasi Wisata Kabupaten Humbang Hasundutan .......... 246
Gambar 5.8 Destinasi Wisata Kabupaten Samosir ................................. 246
Gambar 5.9 Destinasi Wisata Kabupaten Dairi ....................................... 247
Gambar 5.10 Destinasi Wisata Kabupaten Karo ....................................... 247
Gambar 5.11 Akses menuju objek wisata Bukit Holbung .......................... 257
Gambar 5.12 Akses Menuju Objek Wisata Air Terjun Situmurun ............. 257
Gambar 5.13 Hasil Kerajinan Tangan Masyarakat Lokal .......................... 267
Gambar 5.14 Aksara Batak Toba .............................................................. 279
Gambar 5.15 Kapal Wisata Samosir ......................................................... 282
Gambar 5.16 Satwa di Kawasan Danau Toba .......................................... 288
Gambar 5.17 Skenario Pengembangan Kawasan Danau Toba ............... 297
Gambar 5.18 Dokumen Kebijakan dan Perencanaan Terkait Danau
Toba .................................................................................... 329
Gambar 5.19 Model Empiris Perencanaan Pembangunan Pariwisata
Kawasan Danau Toba ........................................................ 345
Gambar 6.1 Model Rekomendasi Perencanaan Pembangunan
Pariwisata Kawasan Danau Toba ....................................... 480

xix
DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 4.1 Jumlah Penduduk di Kawasan Danau Toba .................. 217

Diagram 5.1 Jumlah wisatawan dan Tenaga Kerja ............................. 261

Diagram 6.1 Kunjungan Wisatawan Nusantara, Wisatawan


Mancanegara dan Tenaga Kerja ..................................... 355

Diagram 6.2 Perolehan Devisa dari Sektor Pariwisata ....................... 355

xx
GLOSSARIUM
Aksara Batak Toba : Salah satu budaya yang menjadi khasnya Danau Toba,
dan menjadi bukti nyata aliran kepercayaan dan
peninggalan bersejarah
Badan Otorita : Lembaga perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat
untuk mengkoordinir pengelolaan dan pengembangan
suatu kawasan
BOPDT : Badan otorita Pariwisata Danau Toba
BOPKPDT : Badan otorita pengelola kawasan pariwisata Danau Toba
Danau Toba : Salah satu destinasi wisata yang berada di Provinsi
Sumatera Utara yang termasuk dalam kawasan strategis
pariwisata nasional
Destinasi : Tempat tujuan atau daerah tujuan
Destinasi Pariwisata : Kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih
wilayah administrasi yang di dalamnya terdapat daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan
Destinasi Wisata : Suatu daerah spesifik yang dipilih oleh pengunjung atau
wisatawan untuk menetap atau dapat tinggal dalam
waktu tertentu
Industri Pariwisata : Kumpulan usaha pariwisata yang mempunyai keterkaitan
antara satu dengan yang lainnya dalam rangka
menghasilkan barang dan/atau jasa untuk pemenuhan
kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata
Good Governance : Suatu proses penyelenggaraan yang baik dan
diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun
pemerintah untuk pengambilan keputusan
Good Tourism : Proses pengelolaan pariwisata yang baik dan efektif yang
Governance/GTG berprinsip pada koordinasi dan sinkronisasi antar semua
pihak
Kabupaten : Pembagian wilayah administratif setelah provinsi yang
dipimpin oleh seorang Bupati.
Kawasan : Daerah yang memiliki ciri khas tertentu atau berdasarkan
pengelompokan fungsional kegiatan tertentu
Kawasan Pariwisata : Wilayah yang dikembangkan dan disediakan dengan
fasilitas dan pelayanan penunjang untuk memenuhi
kebutuhan kegiatan pariwisata dan kebutuhan wisatawan
itu sendiri
Kebijakan Pariwisata : Tindakan yang mempunyai metode atau cara dalam
menjalankan prosedur dan prinsip untuk pencapaian
tujuan sesuai dengan yang diharapkan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan.
Kerangka Kerja : Sistematika dalam perencanaan yang dimulai dari
diagnosa permasalahan, perumusan dan tujuan serta
sasaran, penentuan alternatif sampai dengan tindakan
implementasi
KSN : Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap

xxi
kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

KSPP : Kawasan strategis pariwisata provinsi yaitu kawasan


yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki
potensi untuk pengembangan pariwisata provinsi yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih
aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya,
pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
KSPN : Kawasan strategis pariwisata nasional adalah kawasan
yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki
potensi untuk pengembangan pariwisata provinsi yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih
aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya,
pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Masyarakat : Sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi
tertutup atau semi terbuka yang saling berinteraksi antara
individu dengan individu di dalam satu kelompok.
Misi : Komitmen dan panduan arah bagi pembangunan dan
pengelolaan wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk
mencapai visi pembangunan yang telah ditetapkan
Nawacita : Sembilan prioritas pembangunan lima tahun ke depan,
sembilan prioritas yang menjadi bagian dari visi Presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
kampanye Pilpres 2014, dan masuk menjadi bagian dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2015-2019
Pariwisata : Asset daerah yang mempunyai potensi yang besar dalam
peningkatan kualitas hubungan antar manusia dan antar
bangsa sehingga terjalin hubungan yang saling
pengertian, saling menghargai, persahabatan dan
perdamaian
Perencanaan : Proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan
pengkajian yang mendalam terhadap masalah sosial
yang dihadapi kemudian dilaksanakan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan
Pembangunan : Proses perubahan atau sebagai transformasi yang
mencakup seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,
infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi,
kelembagaan dan budaya untuk menuju ke arah yang
lebih baik.
Perencanaan Pembangunan : Proses dan mekanisme untuk merumuskan rencana
jangka panjang, menengah dan pendek di daerah yang
disesuaikan dengan kondisi, aspirasi dan potensi daerah
yang dimiliki oleh daerah tersebut, dan menjadi solusi
dalam penanganan masalah sosial yang terjadi di
lingkungan masyarakat

xxii
Perencanaan Pariwisata : Proses pengambilan keputusan di sektor pariwisata yang
dilaksanakan dalam berbagai tingkat, dari tingkat makro
sampai lokal atau lebih detil. Tiap level berfokus pada
pertimbangan yang kadang berbeda dan khusus
Pemerintah : Pelaksana dan fasilitator dalam perumusan kebijakan
dan pelaksanaan program pembangunan
Pihak Swasta : Pengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan
swasta yang aktif dalam interaksi sistem pasar yang
mendukung dalam pencapaian tujuan pembangunan
nasional
Provinsi : Suatu satuan teritorial, seringnya dijadikan nama sebuah
wilayah administratif pemerintahan di bawah wilayah
negara atau negara bagian
Renstra : Dokumen perencanaan yang berorientasi pada hasil
yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1-5 tahun,
sehubungan dengan tugas dan fungsi SKPD serta
disesuaikan dengan memperhitungkan perkembangan
lingkungan strategis.
RIPPARDA : Rencana induk pengembangan pariwisata daerah
merupakan dokumen perencanaan kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah daerah dalam hal mengatur
pembangunan pariwisata, dengan tujuan sebagai acuan
pedoman dalam perencanaan pembangunan pariwisata
di daerah sesuai dengan potensi-potensi wisata yang
ada, sehingga mampu menjadi daya tarik.
RIPPARNAS : Rencana induk pengembangan pariwisata nasional
adalah dokumen perencanaan pembangunan
kepariwisataan nasional untuk periode 15 (lima belas)
tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun
2025
RIPPARPROV : Rencana induk pengembangan kepariwisataan provinsi
adalah dokumen perencanaan pembangunan
kepariwisataan provinsi untuk periode 15-25 tahun.
RIRD : Rencana induk dan rencana detil adalah dokumen
perencanaan yang bertujuan untuk memperkuat posisi
strategis KSPN
RPJM – Nasional : Penjabaran dari visi, misi dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang
memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan
umum, program kementerian/lembaga dan lintas
kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang
berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
RPJM – Daerah : Rencana pembangunan jangka menengah daerah adalah
dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk
periode 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran

xxiii
dari visi, misi dan program kepala daerah dengan
berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan
RPJM Nasional
RTR : Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang
RTRW : Rencana tata ruang wilaayah adalah dokumen yang
mencakup arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang wilayah negara yang dijadikan acuan
untuk perencanaan jangka panjang
Stakeholders : Suatu masyarakat, kelompok, komunitas ataupun individu
manusia yang memiliki hubungan dan kepentingan
terhadap suatu organisasi atau perusahaan.
SWOT : Salah satu teknik yang digunakan untuk menganalisis
faktor-faktor internal, sehingga diketahui apa yang
menjadi kekuatan dan kelemahan. Tidak hanya
menganalisis faktor internal saja akan tetapi juga
melakukan analisis terhadap faktor-faktor eksternal yang
bertujuan untuk mengetahui peluang dan ancaman
Theory in Planning ( : Perencanaan dianggap sebagai serangkaian prosedur
Procedural planning) dan tahapan untuk pencapaian tujuan yang bergantung
kepada aspek administratif
Theory of Planning : Substansi yang harus diketahui dan dipahami oleh
(Substantive planning) seorang perencana yaitu metode dan konsep yang tepat
yang bertujuan untuk menemukan solusi-solusi dalam
pemecahan masalah
Visi : Suatu pandangan ke depan yang menggambarkan arah
dan tujuan yang ingin dicapai serta menyatukan
komitmen seluruh pihak yang terlibat dalam
pembangunan pada seluruh pihak yang terlibat dalam
pencapaian sasaran pembangunan
Wisata : Kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu
untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi
dalam jangka waktu sementara.
Wisatawan : Orang yang melakukan wisata

xxiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pergeseran paradigma otonomi daerah dari pembangunan di daerah

menjadi membangun daerah, merupakan salah satu alasan untuk mendukung

dan melaksanakan pengelolaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Membangun daerah dengan berbagai program yang dilaksanakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan penyelenggaraan

pemerintahan daerah harus dapat dikembangkan dan mengalami kemajuan

sesuai dengan perkembangan zaman serta tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan dan kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan

juga harus dilandasi dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan dan

memperkuat kemampuan masyarakat dalam pencapaian kemandirian,

pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial sehingga mampu berdaya saing

di berbagai sektor publik. Untuk mendukung pencapaian perkembangan dan

kemajuan tersebut, maka disusunlah 9 (Sembilan) program prioritas dalam

agenda pembangunan nasional yang disebut program Nawa Cita, yaitu

1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan


memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara;
2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis
dan terpercaya;
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan;
4. Memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.;
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar
Internasional;
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik;
8. Melakukan revolusi karakter bangsa;
9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

1
2

Penjabaran Nawa Cita tersebut dirumuskan dalam rencana

pembangunan jangka menengah nasional (RPJM) 2015 – 2019. Penjabaran ini

merupakan salah satu perencanaan yang dilakukan pemerintah untuk

mewujudkan pemerintahan yang berkualitas sehingga dapat memberikan

dukungan dalam pencapaian tujuan pembangunan dan peningkatan daya saing

nasional. Pembangunan daerah yang dimaksud dalam penjabaran tersebut

terkait kepada komponen yang dapat mendukung pencapaian tujuan

pembangunan, yaitu pengembangan potensi daerah, pengelolaan kelembagaan

yang terkait dengan kemampuan sumber daya baik sumber daya alam maupun

manusia. Komponen-komponen ini diharapkan dapat menghasilkan keunggulan

daerah melalui sumber daya yang dimiliki sehingga menjadi kekuatan pemerintah

daerah dalam mengembangkan dan memajukan daerah di berbagai sektor.

Keberhasilan tujuan pembangunan daerah tersebut, tak terlepas dari

optimalisasi pelaksanaan tugas-tugas pokok pemerintah yang menjadi fungsi

hakiki dalam penyelenggaraan pemerintahan. Adapun fungsi hakiki tersebut

seperti yang dijelaskan oleh Nurman (2015: 58), yaitu

1. Pelayanan (service), sebagai provider jasa publik yang bail


diprivatisasikan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Pemerintah
yang bertindak sebagaimana seorang pelayan yang harus dapat melayani
konsumennya yaitu masyarakat dengan tulus dan ikhlas.
2. Pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara program
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah dalam otonomi daerah sekarang
ini memiliki interaksi dengan masyarakat sudah harus lebih dekat,
sehingga pemerintah sekarang haruslah lebih aktif untuk melibatkan
masyarakat dalam sebuah manajemen, termasuk manajemen yang
melakukan pemberdayaan kepada masyarakat.
3. Pembangunan (development), sebagai penyelenggara pembangunan
untuk menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat. Pemerintah dalam
melakukan sebuah pembangunan, haruslah dapat mempertimbangkan
beberapa hal yang paling signifikan yang bertujuan untuk keberhasilan
pembangunan tersebut, benar-benar bermanfaat dan untuk kepentingan
orang banyak, maka pembangunan sangatlah perlu dalam sebuah
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
3

Pelaksanaan tugas-tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang dikemukakan di atas juga diatur di Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014,

butir b; bahwa pelaksanaan tugas-tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat

serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah tidak hanya harus melakukan tugas-

tugas pokok tersebut, namun dalam melakukan tugas umum untuk

merealisasikan program agenda pembangunan nasional, meliputi; 1) Membantu

mengelola potensi nasional dan global sebagai sumber pembangunan nasional;

2) Membantu merumuskan alokasi sumber daya untuk menyelenggarakan

pembangunan nasional; 3) Mendampingi rakyat dalam pelaksanaan nasional.

Tujuan utama yang dijelaskan di Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004

tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yaitu untuk meningkatkan

kembali koordinasi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan pembangunan.

Untuk mendukung pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional

maka terdapat dua jenis dokumen perencanaan pembangunan yaitu Rencana

Strategis (RENSTRA) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

yang mencakup satu kesatuan wilayah atau daerah baik secara nasional

maupun regional.

Berdasarkan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, maka prinsip

pembangunan daerah yaitu 1) merupakan satu kesatuan dalam sistem

perencanaan pembangunan nasional; 2) dilakukan pemerintah daerah bersama

para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-


4

masing; 3) mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan

daerah; 4) pelaksanaan pembangunan daerah disesuaikan dengan kondisi dan

potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dengan dinamika

perkembangan daerah dan nasional. Dengan demikian, dalam melaksanakan

penyusunan perencanaan pembangunan harus sesuai dengan prinsip

pembangunan daerah yang telah diatur dalam kebijakan tersebut. Namun, dalam

pelaksanaan prinsip pembangunan daerah sering kali terjadi hambatan dalam

pencapaian tujuannya sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal atau tidak

sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.

Hambatan terbesar yang ada dalam pelaksanaan pembangunan daerah

adalah minimnya regulasi yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan

pembangunan daerah. Arsyad (2002) bahwa hambatan yang dihadapi oleh

pemerintahan daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah berkaitan

dengan kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada ciri khas (endogeneous

development) dan kurang mendukung perekonomian daerah, sumber daya

manusia, kelembagaan, sumber daya fiskal, infrastruktur yang buruk, dan juga

terdapatnya perencanaan pembangunan yang lemah.

Kebijakan yang mengarah kepada pengembangan keunggulan daerah

melalui peningkatan kemampuan sumber daya yang dimiliki, maka hal ini dapat

menjadi salah satu penguatan daerah yang dapat dilakukan oleh pemerintah

melalui kolaborasi di berbagai sektor. Penguatan daerah merupakan ujung

tombak penyelenggaraan fungsi pelayanan umum, pemberdayaan dan

pembangunan, maka daerah diberi kewenangan yang luas untuk menjalankan

urusan-urusan pemerintahan, serta hak untuk menggali berbagai potensi dan

sumber pendapatan dalam membangun daerah yang telah diatur dalam


5

kebijakan otonomi daerah. Inilah menjadi salah satu faktor yang mendorong

adanya kompetisi antar daerah dalam membangun daerahnya.

Salah satu sektor dalam pembangunan daerah yang dapat mendorong

adanya kompetisi antar daerah dengan menonjolkan keunggulan dan keunikan

daerah adalah sektor pariwisata. Sejak 2 (dua) dekade terakhir ini, sektor

pariwisata menjadi sektor kehidupan dan mempunyai peran penting dalam

pembangunan perekonomian bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Pariwisata di Indonesia, menjadi sektor unggulan dalam program membangun

daerah dan menjadi kunci pembangunan, kesejahteraan dan kebahagian bagi

masyarakat.

Pembangunan pariwisata menjadi sektor unggulan dan memiliki

kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional yang berkaitan

dengan peningkatan perolehan devisa. Pembangunan pariwisata dalam

perspektif pembangunan sumber daya manusia, mempunyai potensi untuk

meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di

sekitar destinasi pariwisata. Pembangunan pariwisata tidak hanya meningkatkan

kesejahteraan material dan spiritual tetapi juga meningkatkan kesejahteraan

kultural dan intelektual. Pariwisata adalah potensi yang besar dalam peningkatan

kualitas hubungan antar manusia dan antar bangsa sehingga terjalin hubungan

yang saling pengertian, saling menghargai, persahabatan dan perdamaian, dan

sesuai dengan yang telah diatur dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan

kepariwisataan.

Teguh (2015:1), mengemukakan bahwa pembangunan kepariwisataan

ditujukan untuk mengelola sumber daya dan menciptakan nilai tumbuh secara

arif, terintegrasi, holistik, sistemik agar meningkatkan kualitas pengalaman


6

keberlangsungan nilai dan manfaat bagi masyarakat lokal. Mendukung

pernyataan tersebut, maka Valeriani (2010: 2) juga mengatakan bahwa

pembangunan yang dilakukan harus dapat menggali seluruh potensi yang ada

pada masing-masing daerah untuk diolah sehingga bermanfaat secara riil.

Potensi tersebut terdiri dari potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,

potensi cultural dan potensi lainnya yang harus diupayakan dan diberdayakan

secara optimal. Diantara potensi-potensi tersebut, kekayaan alam dan kultur

budaya dapat dioptimalkan perannya dalam pembangunan melalui pariwisata.

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa dalam pariwisata mempunyai

potensi sumber daya, kekayaan alam dan budaya dalam meningkatkan kualitas

hidup masyarakat, sekitar destinasi pariwisata. Potensi-potensi pariwisata yang

dimiliki oleh daerah merupakan keunggulan yang mempunyai peluang besar

untuk dapat dikembangkan dalam pembangunan pariwisata. Potensi-potensi

tersebut selain memiliki keunggulan yang khas dan juga dapat memberikan

manfaat sehingga membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat lokal.

Pembangunan pariwisata tidak hanya meningkatkan kesejahteraan material dan

spiritual tetapi juga meningkatkan kesejahteraan kultural dan intelektual, karena

potensi-potensi pariwisata mempunyai prospek yang besar dapat dikembangkan

oleh daerah baik yang berasal dari alam, budaya dan adat istiadat, serta salah

satu potensi pariwisata tersebut dapat menjadi keunggulan daerah dalam

membangun daerahnya.

Pariwisata juga dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia

dan antar bangsa sehingga terjalin hubungan yang saling pengertian, saling

menghargai, persahabatan dan perdamaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip

pembangunan kepariwisataan. Pariwisata menjadi kunci pembangunan seperti


7

yang dikemukakan oleh (Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, 2016)

mengemukakan bahwa pariwisata sebagai kunci pembangunan dilandaskan

pada; 1) Meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata, menjadikan pariwisata

sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja,

pengembangan usaha dan infrastruktur; 2) Pariwisata telah mengalami ekspansi

dan diversifikasi berkelanjutan dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang

terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia; 3) Meskipun krisis global terjadi

beberapa kali, jumlah perjalanan wisatawan internasional tetap menunjukkan

pertumbuhan yang positif yaitu 25 juta orang (1950), 278 juta orang (1980), 528

juta orang (1995) dan 1,1 milyar orang (2014).

Pernyataan di atas juga dibuktikan dengan data yang diperoleh dari

Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia Tahun 2016 (Laporan Capaian 2

Tahun Pencapaian Kinerja Pemerintahan Jokowi – JK). Sektor pariwisata di

Indonesia juga telah mampu meningkatkan kinerja pemerintahan melalui

program pembangunan daerah di tahun 2014 - 2015, yang dilihat dari 1)

kunjungan wisatawan nusantara di tahun 2014 yaitu 251 juta sedangkan di tahun

2015 yaitu 255 juta dan kunjungan wisatawan mancanegara di tahun 2014 yaitu

9,4 juta sedangkan di tahun 2015 yaitu 10,4 juta ; 2) perolehan devisa di sektor

pariwisata pada tahun 2014 yaitu 134 triliun (rupiah) sedangkan di tahun 2015

mengalami peningkatan yaitu 144 triliun (rupiah); dan 3) jumlah penyerapan

tenaga kerja juga mengalami peningkatan yaitu tahun 2014 tenaga kerja yang

terserap sebanyak 10,3 ribu orang dan tahun 2015 sebanyak 11,3 ribu orang.

Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia Desember 2017

naik 3,03 persen dibanding jumlah kunjungan pada Desember 2016, yaitu dari

1,11 juta kunjungan menjadi 1,15 juta kunjungan. Demikian juga, jika
8

dibandingkan dengan Desember 2017, jumlah kunjungan wisman pada

Desember 2017 mengalami kenaikan sebesar 8,00 persen. Selama tahun 2017,

jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 14,04 juta kunjungan atau naik

21,88 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada tahun 2016

yang berjumlah 11,52 juta kunjungan.

Berdasarkan data di atas, maka pariwisata telah menjadi sektor unggulan

dalam perkembangan ekonomi global. Elliot (1997: 4), bahwa pariwisata sangat

penting dalam kegiatan ekonomi, dan menjadi salah satu industri terbesar di

dunia. Elliot juga mengatakan bahwa pariwisata dapat mengakibatkan dampak

sosial pariwisata yang sangat besar bagi Negara-negara berkembang, komunitas

lokal dapat berubah menjadi baik dan buruk. Pariwisata juga dapat menjadi

sumber perdamaian dan pemahaman yang lebih baik antara masyarakat yang

berbeda dengan membawa mereka lebih erat bersama secara ekonomi dan

sosial dalam membangun persahabatan.

Penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Indonesia telah diatur

dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. bahwa

pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan

kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi

tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Kebijakan pariwisata

ini bertujuan untuk melakukan perubahan di sektor pariwisata. Perubahan ini

dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung

jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama,

budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan serta

kepentingan nasional.
9

.Tindak lanjut dari kebijakan pembangunan kepariwisataan tersebut,

maka disusunlah perencanaan pembangunan pariwisata baik di tingkat pusat,

provinsi maupun kabupaten. Pada tingkat pusat berdasarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS), selanjutnya diharapkan

kebijakan ini juga dapat ditindak lanjuti di tingkat provinsi maupun

kabupaten/kota, apalagi pembangunan pariwisata yang akan dikembangkan

adalah pariwisata kawasan, yaitu destinasi wisata yang didasarkan kepada

kewilayahan seperti Danau Toba, dan Bromo Tengger Semeru (dan termasuk

destinasi wisata yang diprioritaskan).

Di Indonesia, terdapat 10 (sepuluh) lokasi destinasi wisata yang

diprioritaskan sebagai kunci pembangunan nasional, yaitu: a) Danau Toba

(Sumatera Utara); b) Tanjung Kelayang (Bangka Belitung); c) Mandalika (Nusa

Tenggara Barat); d) Wakatobi (Sulawesi Tenggara); e) Pulau Marotai (Maluku

Utara); f) Kepulauan Seribu (DKI Jakarta); g) Tanjung Lesung (Banten); h)

Borobudur (Jawa Tengah); i) Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur); j) Labuan

Bajo (Nusa Tenggara Timur). Kemudian, 10 (sepuluh) destinasi wisata ini

dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu Tourism Authority Board (Danau Toba,

Kepulauan Seribu, dan Kota Tua Jakarta, Borobudur, Bromo Tengger Semeru,

Labuan Bajo dan Wakatobi) dan Special Economic Zone (Tanjung Kelayang,

Tanjung Lesung, Mandalika dan Marotai).

Pengelompokan destinasi wisata tersebut bertujuan untuk memudahkan

pengembangan pariwisata yang merujuk kepada kebijakan mekanisme

pembangunan pariwisata dan strategi dalam fenomena pasar sehingga dapat

menggabungkan semua organisasi atau lembaga dan individu yang terlibat


10

dalam kegiatan pariwisata. Kemudian, masing-masing destinasi wisata yang

diprioritaskan dapat mengembangkan potensi pariwisatanya dalam

meningkatkan nilai ketertarikan, persaingan, keberlanjutan dan lokalitas

berdasarkan ciri khas dan keunikannya sehingga menjadi keunggulan daerah.

Danau Toba menjadi salah satu destinasi wisata yang diprioritaskan yang

diatur dalam PP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS, maka Tindak lanjut

dalam pelaksanaan RIPPARNAS tersebut, pemerintah telah membentuk suatu

lembaga atau badan yang khusus mengelola dan mengkoordinir pembangunan

pariwisata di kawasan Danau Toba yaitu Badan Otorita Pengelola Kawasan

Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT). Badan ini dimaksudkan sebagai

perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat untuk mengkoordinir pengelolaan

dan pengembangan kawasan pariwisata Danau Toba dan BOPKPDT ini dilantik

oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 30 November

2016.

Dibentuknya BOPKPDT sebagai badan pelaksana dan pengelola menjadi

salah satu solusi yang dilakukan untuk menyatukan pelaksanaan kewenangan

pengelolaan kawasan Danau Toba dan juga untuk menindaklanjuti rencana

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba. Terbentuknya lembaga ini

diatur Peraturan Presiden (Perpres) No. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita

Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Kemudian pada tahun 2019 nama

BOPKPDT diganti menjadi Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT).

Kebijakan pembentukan badan otorita ini ditujukan untuk mendukung

terpilihnya kawasan Danau Toba sebagai salah kawasan strategis pariwisata

nasional (KSPN) yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional


11

(RIPPARNAS) Tahun 2010 – 2025, dan sesuai Arahan Presiden Republik

Indonesia mengenai Pariwisata dan Arahan Presiden pada Sidang Kabinet Awal

Tahun pada tanggal 4 Januari 2016, berdasarkan surat Sekretariat Kabinet

Nomor B 652/Seskab/Maritim/2015 tanggal 6 November 2015, maka Danau

Toba menjadi salah satu dari sepuluh KSPN yang diprioritaskan untuk

dikembangkan.

Pembentukan Badan Otorita Pariwisata Danau Toba ini juga merujuk

pada keberhasilan badan otorita Batam dalam membangun dan

mengembangkan Batam menjadi kawasan industri yang memiliki keunggulan

secara geografis yaitu berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia,

dan memiliki berbagai keunggulan secara ekonomi. Sesuai dengan fakta, bahwa

Batam merupakan salah satu daerah yang tidak pernah mengalami krisis

ekonomi di tahun 2000-an. Berdasarkan konsep pengembangan kawasan

khusus Batam ini dinilai sangat baik sehingga dapat mendukung perkembangan

investasi di Batam.

Tidak hanya alasan keberhasilan Batam di tahun 2000-an dalam

membangun dan mengembangkan kawasannya, namun juga karena telah

ditetapkannya pariwisata menjadi sektor unggulan untuk mendapatkan devisa.

Nugroho (2018: 313), Menteri Pariwisata mengajukan strategi Koordinator

Perekonomian dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk

memberikan dukungan secara penuh khususnya untuk Badan Otorita Danau

Toba. Danau Toba adalah salah satu destinasi wisata yang dikelompokkan pada

Tourism Authority Board yang dikelola oleh suatu lembaga yang diberi nama

Badan Otorita yang khusus mengelola dan melaksanakan program pariwisata

sesuai dengan kebijakan kepariwisataan. Tugas terkini Badan Otorita Pariwisata


12

di luar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sudah ada sebelumnya, adalah

memastikan kebijakan tersebut diselenggarakan dengan baik dan berhasil.

Tugas utama dari BOPDT adalah menyusun dokumen perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau meliputi prinsip-prinsip dasar seperti:

bagaimana wisata dikembangkan dalam ruang sosial budaya batak dan alam

kawasan Danau Toba agar tercapai perkembangan wisata yang berkelanjutan

dalam arti wisata berkembang tetapi sosial budaya dan alam kawasan Danau

Toba tidak rusak bahkan keunikan dan kekhasan alam serta budaya yang ada di

kawasan Danau toba dapat menjadi daya tarik dan sekaligus media

pengetahuan bagi wisatawan. Namun, Rencana Induk dan Rencana Detail

Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba tersebut

belum tersusun sampai dengan akhir tahun 2017, dan masih berbentuk

masterplan.

Pembentukan BOPDT ini bertujuan agar pengelolaan Danau Toba lebih

terkoordinasi sehingga lebih cepat berkembang. Salah satu permasalahan yang

harus segera diselesaikan oleh BOPDT adalah pengelolaan pariwisata kawasan

Danau Toba menjadi satu dan terpadu serta terintegrasi karena dengan adanya

satu pengelolaan pariwisata di kawasan Danau Toba diharapkan dapat lebih

mudah untuk mengembangkan dan mempromosikannya, sehingga potensi

pariwisata yang dimiliki oleh masing-masing daerah di kawasan Danau Toba

dapat lebih dikembangkan dan mempunyai keunggulan serta mampu bersaing

ditingkat nasional maupun internasional.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat tiga hal penting yang

harus dirumuskan dalam rencana induk pembangunan kepariwisataan terkait

pengembangan kawasan Danau Toba yaitu pemetaan potensi pariwisata,


13

penyusunan regulasi pengembangan pariwisata Danau Toba, membangun

kemitraan dan keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan pariwisata.

Namun, tiga hal penting tersebut juga menjadi permasalahan yang harus

dihadapi setiap daerah di kawasan Danau Toba. Dengan demikian, untuk

menghadapi permasalahan tersebut, maka dalam pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba harus didukung perencanaan pariwisata yang sistematis,

terstruktur, terpadu dan terintegrasi sehingga pencapaian tujuan dapat tercapai

dengan optimal. Perencanaan pembangunan pariwisata ini juga terkait

penyatuan visi dan misi dan persamaan komitmen di setiap kabupaten yang

mengelilingi Kawasan Danau Toba.

Perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba diharapkan

dapat menciptakan perubahan dan sekaligus memperkuat pengembangan

pariwisata yang mampu berdaya saing di tingkat nasional dan internasional.

Hong (2008), bahwa daya saing di sektor pariwisata sangat dibutuhkan dan

diukur melalui kemampuan kompetitif yang bertujuan untuk mendapatkan hasil

optimal dan pengembangan masa akan datang. Penjelasan dari Hong ini,

menunjukkan bahwa pentingnya suatu perencanaan di sektor pariwisata

sehingga mampu berdaya saing dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan daerah.

Kawasan Danau Toba ini dikelilingi oleh terletak di Provinsi Sumatera

Utara yang dikelilingi oleh 7 (tujuh) Kabupaten yaitu Simalungun, Toba Samosir,

Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo dan Samosir. Kawasan

Danau Toba merupakan danau vulkanik terbesar di dunia yang mempunyai

kedalaman sekitar 450 m, dengan panjang 87 km dan lebar 27 km. Danau Toba

juga dikenal sebagai danau terdalam sekaligus danau terbesar dunia ke-2
14

setelah Danau Victoria yang terletak di Afrika. Inilah salah satu alasan Danau

Toba menjadi destinasi pariwisata prioritas di Indonesia dan juga menjadi daerah

wisata utama yang ada di Provinsi Sumatera Utara.

Sesuai dengan data yang diberikan Kementerian Pariwisata Republik

Indonesia (2016) bahwa pertumbuhan kunjungan wisatawan ke kawasan Danau

Toba selama tahun 2012 – 2013 adalah ± 30.94% dengan kontribusi terhadap

devisa Negara hanya US $ 10,680 ribu. Badan pusat statistik (BPS) Provinsi

Sumatera Utara mencatat bahwa selama tahun 2009 – 2014 kontribusi sektor

pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dari 7 (tujuh) kabupaten di

sekitar kawasan Danau Toba rata-rata hanya 0.68%. PDRB perkapita di 7 (tujuh)

kabupaten di kawasan Danau Toba yang merefleksikan masyarakat lokal

sepanjang tahun 2011 – 2013 hanya rata-rata Rp. 8.534.492/tahun. Namun,

sejak kawasan Danau Toba menjadi kawasan strategis pariwisata nasional yang

diumumkan oleh Pemerintah, maka terjadi peningkatan jumlah wisatawan ke

kawasan Danau Toba di tahun 2017 yaitu 12,02%. Adapun data yang diperoleh

dari BPS Provinsi Sumatera Utara, jumlah wisatawan tahun 2016 sebanyak

233.643 kunjungan sedangkan tahun 2017 sebanyak 261.736 kunjungan.

Peningkatan kunjungan wisatawan ini juga berdampak pada pendapatan asli

daerah (PAD) sektor pariwisata di seluruh daerah kawasan Danau Toba.

Tabel 1.1 Peningkatan PAD Kabupaten Kawasan Danau Toba


Kabupaten 2016 (Rp) 2017 (Rp) Growth
Samosir 39.222.725.907 70.960.995.137 81 %
Simalungun 132.574.182.020 252.663.015.526 90 %
Tapanuli Utara 118.888.000 184.045.000 54 %
Toba Samosir 37.298.970.000 44.300.000.000 35 %
Karo 1.599.037.000 1.986.128.000 24 %
Dairi 66.344.330.338 123.494.508.015 51 %
Humbang Hasudutan 41.679.310.663 60.716.876.667 25 %
Sumber: BOPKPDT Tahun 2018
15

Tabel di atas menjelaskan bahwa kontribusi yang diberikan oleh sektor

pariwisata terhadap pendapatan asli daerah di masing-masing daerah kawasan

Danau Toba dapat dikatakan sangat baik. Terlebih lagi pada daerah yang

memang berada pada titik khususnya kawasan Danau Toba seperti Kabupaten

Samosir dan Kabupaten Simalungun. Kabupaten Tapanuli Utara sebagai pintu

masuk kawasan Danau Toba yang tercepat dari jalur udara dan darat juga

sehingga mengalami peningkatan pendapatan asli daerah melalui sektor

pariwisata.

Pendapatan asli daerah yang diperoleh oleh daerah yang berada di

kawasan Danau Toba tersebut, sangat dipengaruhi oleh sektor pariwisata,

seperti yang terlihat pada tabel 1.1. Kabupaten Samosir mengalami peningkatan

81% PAD, dihasilkan dari sektor pariwisata yang paling terbesar, meliputi dari

pajak hotel, restoran, hiburan dan reklame yaitu terjadi peningkatan sekitar 105%

dari tahun 2016 sebesar 6,94 M dan tahun 2017 14,2 M. Kabupaten Tapanuli

Utara yang mengalami peningkatan sekitar 9% yang berasal dari pajak hotel dan

retribusi daerah (jasa), yaitu pada tahun 2016 sebesar 2,94% dan tahun 2017

sebesar 3,21%. Maka, dengan adanya peningkatan tersebut perlunya

perumusan perencanaan pembangunan pariwisata Kawasan Danau Toba, yang

harus dipersiapkan secara terstruktur, terpadu dan berkesinambungan untuk

menciptakan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik.

Pengembangan pariwisata Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara telah

direncanakan oleh pemerintah pusat, dukungan yang diberikan terutama alokasi

anggaran yang cukup besar untuk pembangunan infrastruktur dan utilitas dasar

kawasan Danau Toba yaitu sebanyak Rp 4,04 triliun pada tahun 2020. Alokasi

anggaran ini terbagi atas alokasi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Rp


16

1,06 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp

2,5 triliun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rp 23 miliar,

Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

(Kemendes) Rp 17 miliar, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Rp 4,8 miliar,

Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rp 400 miliar dan lainnya. Anggaran dana

yang dialokasikan ini sebagai upaya untuk mewujudkan Danau Toba wisata

destinasi dunia yang akan disebut Bali baru di Indonesia. Kemudian, pemerintah

juga perlu dukungan dari masyarakat yang ada di Danau Toba untuk

mewujudkan tujuan tersebut, salah satunya masyarakat sekitar kawasan Danau

Toba harus dapat membuat atraksi yang berkelas internasional karena Danau

Toba akan menjadi destinasi yang berkelas dunia.

(https://traveling.bisnis.com/read/20191015/224/1159248/pembangunan-danau-toba-

pemerintah-pusat-gelontorkan-dana-rp404-triliun)

Alokasi anggaran dana juga dikucurkan oleh pemerintah melalui

Kementerian Pariwisata untuk sebagai dana tambahan pengembangan kawasan

Danau Toba sebesar Rp 2,2 triliun, destinasi wisata yang menerima dana

terbesar selain Borobudur, Mandalika dan Labuan Bajo. Kementerian Pariwisata

meminta kepada pemimpin daerah di kawasan Danau Toba dapat

memaksimalkan anggaran pengembangan tambahan tersebut, sehingga

kawasan Danau Toba menjadi semakin baik dan mampu meningkatkan jumlah

wisatawan mancanegara untuk menambah devisa bagi tanah air.

Tahun 2020, target kunjungan wisatawan mancanegara ke kawaasn

Danau Toba meningkat menjadi 300.000 ribu yang sebelumnya di tahun 2019

hanya sebanyak 250.000 ribu. Target yang dicanangkan ini merupakan

keyakinan pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas ke


17

kawasan Danau Toba yang sudah memadai dan bagus. Dengan adanya target

kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) atau wisatawan lokal, maka dapat

menjadi salah satu semangat dan motivasi pimpinan daerah untuk terus

melakukan pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba.

Penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba menjadi upaya tindak lanjut implementasi kebijakan kepariwisataan. Upaya

yang dilakukan adalah merumuskannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme

yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017

tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan

Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah, Serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan

Rencana Kerja Pemerintahan Daerah.

Upaya yang dilakukan pemerintah, untuk merealisasi sistem perencanaan

yang baik dan berkualitas adalah dengan merumuskan dan menyusun agenda

pembangunan nasional. Sistem perencanaan pembangunan nasional di

Indonesia terdapat dua jenis dokumen yaitu Rencana Strategis (RENSTRA) dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang mencakup satu

kesatuan wilayah atau daerah baik secara nasional maupun regional. Kedua

jenis dokumen tersebut merupakan salah satu bentuk kebijakan pembangunan

daerah. Penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah ini juga

dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu penyelidikan, perumusan masalah,

identifikasi daya dukung, rumusan tujuan, langkah-langkah dan penentuan

anggaran.
18

Perencanaan pembangunan pariwisata dapat dikaitkan dengan teori

perencanaan yang bersifat praktis dan empiris. Perencanaan bersifat praktis

berkaitan dengan pengetahuan tentang organisasi dan prosedur perencanaan

yang bisa meningkatkan kualitas perencanaan. Sedangkan perencanaan bersifat

empiris berkaitan dengan pernyataan umum yang secara realitas dapat

menjelaskan fenomena sehingga menghasilkan pemecahan terhadap fenomena

tersebut. Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat membutuhkan solusi

yang tepat dan terbukti secara nyata. Dengan demikian, fenomena tersebut

menjadi sangat penting dan dapat dibahas melalui perencanaan prosedural

(empiris) dan perencanaan substantif.

Pembahasan fenomena secara perencanaan prosedural (empiris) dan

perencanaan substantif merupakan aspek yang harus ada dalam teori

perencanaan. Perencanaan yang efektif, sangat membutuhkan adanya

kolaborasi antara perencanaan prosedural dan perencanaan substantif. Maka,

teori perencanaan itu tidak dapat berdiri sendiri untuk memecahkan masalah-

masalah yang terjadi sehingga membutuhkan kontribusi dari bidang ilmu lainnya.

Selain theory of planning (perencanaan prosedural) dan theory in

planning (perencanaan substantive), terdapat satu lagi teori perencanaan yang

dapat menjelaskan proses perencanaan dan manfaatnya yaitu theory for

planning. Ketiga teori ini merupakan tipologi dari keterkaitan teori dan

perencanaan dalam teori-teori perencanaan (planning theory).

Sejalan dengan teori perencanaan (theory of planning, theory in planning

dan theory for planning) bahwa perencanaan merupakan sebagai proses berpikir

dan praktek professional. Perencanaan itu berkaitan dengan gagasan atau ide
19

yang berkaitan dengan bagaimana melakukan perencanaan dan juga bagaimana

berpikir dan mewujudkan apa yang telah diputuskan dari hasil berpikir.

Terkait dengan perencanaan sebagai proses berpikir dan praktek

professional, maka perlunya kerangka kerja untuk berpikir dan sebagai pedoman

tindakan di masa depan. Kerangka kerja ini juga sebagai sistematika dalam

perencanaan yang dimulai dari diagnosa permasalahan, perumusan dan tujuan

sasaran, penentuan alternatif sampai dengan tindakan implementasi. Sistematika

perencanaan ini juga didukung berdasarkan analisis fakta, teori dan nilai-nilai

terkait. Faludi (1983: 18), menjelaskan bahwa perencanaan sebagai proses

berpikir merupakan aplikasi dari metode ilmiah untuk pembuatan kebijakan,

sedangkan perencanaan sebagai praktek professional yang berkaitan dengan

pedoman untuk melakukan atau bertindak di masa depan. Perencanaan atas

dasar informasi atau fakta dan data yang akurat yang serta didukung oleh nilai-

nilai kehidupan, maka dapat menciptakan sistem perencanaan yang baik dan

berkualitas.

Perencanaan yang baik dan berkualitas dapat mendorong

berkembangnya mekanisme pasar dan peran serta masyarakat, dengan

menentukan sasaran-sasaran dan target di seluruh bidang kehidupan, sehingga

dapat mewujudkan tujuan pembangunan nasional terutama di sektor pariwisata.

Perencanaan pembangunan pariwisata merupakan salah satu proses

perencanaan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ide-ide dan

tindakan-tindakan. Gunn (1993) bahwa pengambilan keputusan adalah bagian

dari perencanaan yang menggunakan ide-ide dan tindakan yang dapat

membedakan antara perencanaan strategis dan perencanaan konvensional.

Namun, penyusunan perencanaan juga bukan hanya proses pada apa yang
20

dikerjakan oleh pemerintah saja, namun juga terkait dengan pihak yang lain.

Seperti yang dikemukakan oleh Elliot (1997) bahwa perencanaan itu meliputi

perusahaan swasta maupun pemerintah dan perusahaan publik. Maka, dengan

adanya penyusunan perencanaan pembangunan daerah yang berkualitas dapat

menghasilkan output yang tepat sasaran di semua sektor publik.

Todaro (1997); Jhingan (2016); bahwa perencanaan pembangunan

pada dasarnya tindakan pemerintah untuk melakukan pengaturan dan koordinasi

terhadap keputusan ekonomi yang diambil dalam jangka tertentu. Sjafrizal (2014)

juga menjelaskan bahwa cara atau teknik untuk mencapai tujuan pembangunan

secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan kondisi negara atau daerah

bersangkutan disebut perencanaan pembangunan. Maka, sesuai dengan

penjelasan Elliot (1997) bahwa pariwisata tidak bisa dipisahkan dengan

beberapa aspek (sosial budaya, ekonomi dan lingkungan) karena dapat

menimbulkan hubungan yang sebab akibat. Ketiga aspek tersebut juga menjadi

faktor yang penting dalam perencanaan pembangunan pariwisata.

Hubungan ketiga aspek tersebut dalam perencanaan pembangunan

pariwisata tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan aspek ekonomi

dengan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil (equitable),

aspek ekonomi dengan lingkungan diharapkan dapat terus berjalan (viable).

Sedangkan hubungan aspek sosial dengan lingkungan bertujuan agar dapat

terus bertahan (bearable) sehingga dapat menciptakan kondisi yang kondusif

dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hubungan yang tak terpisahkan antara

ketiga aspek tersebut dalam perencanaan pembangunan pariwisata, maka inilah

salah satu peran penting pemerintah dalam pengembangan pariwisata ke depan.


21

Terkait dengan penjelasan di atas, maka perlunya kerja keras

pemerintahan daerah untuk menyatukan pemahaman dalam membangun

kawasan Danau Toba. Keberhasilan dalam membangun dan mengembangkan

kawasan Danau Toba menjadi kinerja yang baik juga bagi setiap pemerintahan

daerah yang berada di kawasan itu. Tidak hanya kerja keras tapi juga harus

memiliki akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Edgell, et.al

(2008:15) menjelaskan bahwa dalam pengembangan pariwisata, pemerintah

daerah baik regional maupun nasional harus dapat melihat kebijakan pariwisata

lintas instansi karena mempengaruhi berbagai komponen dalam perencanaan

pariwisata. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan

pariwisata, maka para organisasi sektor publik termasuk pemerintah memainkan

peran aktif dalam pembangunan, legislasi, pembiayaan, perencanaan, dan

kebijakan industri pariwisata. Dengan demikian, perlunya sikap yang dinamis dari

pemerintahan daerah untuk dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat

mendukung pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba sesuai dengan

tuntutan dan harapan sehingga menciptakan inovasi dalam pengembangan

pariwisata.

Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, sangat membutuhkan

perencanaan pembangunan pariwisata yang komprehensif, saling berkaitan

antar sektor, antar wilayah dan antar potensi yang berkaitan dengan pariwisata.

Dengan demikian, yang harus diupayakan dan dilakukan adalah disusunnya

perencanaan pembangunan pariwisata di Kawasan Danau Toba secara

terstruktur, terpadu dan memiliki wawasan yang berkesinambungan. Sesuai

dengan RIPPARNAS di pasal 2 ayat (1), ada empat unsur utama dalam
22

pembangunan kepariwisataan, yaitu destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata,

industri pariwisata dan kelembagaan pariwisata.

Rencana percepatan pengembangan kawasan Danau Toba juga harus

diperkuat dan didukung dengan kebijakan, program dan kegiatan yang

diperlukan serta dengan bentuk konkrit yaitu adanya sebuah dokumen

perencanaan yang berbentuk rencana aksi daerah terkait upaya percepatan

pariwisata kawasan Danau Toba. Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti

Balitbang Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017, telah disusun rencana aksi di

lingkungan pariwisata kawasan Danau Toba, yang dilakukan oleh masing-masing

kepala daerah kabupaten dan ditetapkan sebagai rencana aksi bersama di

tingkat Provinsi dan ditanda tangani para bupati dan Gubernur Sumatera Utara

pada tanggal 25 Juli 2016.

Rencana aksi yang terkait dalam pengembangan pariwisata kawasan

Danau Toba diantaranya penghentian budi daya Keramba Jarung Apung (KJA),

peningkatan kualitas air Danau Toba, penghentian penebangan hutan, kegiatan

rehabilitasi hutan, penataan tata batas hutan, peningkatan pariwisata, penataan

pelaku usaha, penataan sumber daya air, pembangunan sarana tranportasi dan

pengadaan sarana dan prasarana air limbah. Dengan adanya rencana aksi,

maka menjadi langkah besar dalam upaya percepatan pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba.

Conyers dan Hills (1984); Friedman (1987); Bhattacharya, et.al (2015);

Mahi dan Trigunarso (2017); bahwa perencanaan merupakan proses yang

berkesinambungan yang direncanakan dengan sebuah tindakan yang

berorientasi ke masa depan. Maka, kesepakatan yang dibangun dalam rencana

aksi tersebut, bukan hanya sebagai sebuah kebijakan namun menjadi solusi
23

penting dalam membangun koordinasi antar daerah yang selama ini menjadi

masalah besar dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba.

Rencana aksi bukan hanya sekedar sebuah kebijakan yang berupa lembaran

dokumen tapi kebijakan yang harus dapat dilaksanakan sehingga pencapaian

tujuan dapat berhasil.

Rencana aksi ini juga harus dapat menjadi Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Provinsi (RIPPARPROV), sebagai tindak lanjut

dari RIPPARNAS. Namun, RIPPARPROV ini belum terealisasi dengan baik,

dikarenakan masih membutuhkan arahan dari beberapa pihak-pihak. Untuk itu

harus dibangun koordinasi lintas sektor yang terlibat dalam perencanaan,

pengembangan dan pengelolaan dalam pengembangan pariwisata kawasan

Danau Toba. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan oleh tim peneliti

Balitbang Provinsi Sumatera Utara tahun 2017 bahwa pemerintah daerah

Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten di sekitar kawasan Danau Toba melalui

badan koordinasi lintas sektor menyusun rencana pengembangan pariwisata

berkelanjutan tahun jamak (jangka pendek, menengah, dan jangka panjang) di

kawasan Danau Toba.

Keberadaan RIPPARPROV merupakan suatu kebutuhan dan juga

sebagai landasan kebijakan pembangunan pariwisata di Provinsi Sumatera

Utara. Namun, RIPPARPROV Sumatera Utara hingga akhir tahun 2017 belum

tersusun menjadi sebuah landasan kebijakan dalam pembangunan pariwisata.

Belum tersusunnya RIPPARPROV Sumatera Utara ini juga menjadi

permasalahan dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba.

Pentingnya landasan kebijakan dalam pembangunan pariwisata,

sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Heslinga (2018:181), yang


24

menyimpulkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan perlu adanya

dokumen kebijakan dan dokumen perencanaan, sebagai alat untuk menunjukkan

perubahan yang telah dilakukan dari waktu ke waktu. Perencanaan

pembangunan pariwisata khususnya kawasan Danau Toba, sangat

membutuhkan landasan kebijakan yang kuat dalam pengembangan pariwisata.

Proses perencanaan yang optimal juga membutuhkan arahan dari pihak-

pihak diluar pemerintah yang menjadi mitra pemerintah dalam melaksanakan

pembangunan daeah. Pengembangan potensi pariwisata sangat penting

interaksi Stakeholders yang meliputi pemerintah, masyarakat, pengusaha

(swasta), akademisi dan media. Interaksi stakeholders ini berkaitan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, sehingga menghasilkan

keunggulan yang dapat mendukung pengembangan pariwisata di Kawasan

Danau Toba.

Perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba terkait

dengan pengelolaan atas sistem pengambilan keputusan yang mengarah

kepada sistem interaksi antara para stakeholder. Stakeholder yang dimaksud

adalah warga Negara sebagai individu, organisasi formal dan informal

masyarakat lokal, organisasi-organisasi nirlaba, dunia usaha, media, lembaga-

lembaga pemerintah dan para politisi-politisi terpilih.

Upaya mewujudkan perencanaan pembangunan di sektor pariwisata

dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dinamis dan efektif, dibutuhkan

fondasi yang kuat dalam melakukan perubahan sosial di lingkungan masyarakat.

Karena perencanaan pembangunan pariwisata yang dirancang di kawasan

Danau Toba harus didukung oleh semua pihak dalam penyelenggaran

pemerintahan yang efektif. Ruhanen et al (2010); Mariani et al (2014); Pechlaner


25

et al (2014), bahwa pentingnya hubungan dengan jejaring struktur organisasi

seperti pemerintah dengan pemerintah daerah yang bertujuan untuk menghadapi

tantangan luar biasa dalam mengembangkan sektor pariwisata. Pihak-pihak yang

terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamis dan efektif harus

mampu menerima setiap perubahan yang mengarah kepada pembangunan yang

lebih baik.

Proses perencanaan pembangunan pariwisata juga bertujuan untuk

meningkatkan sistem interaksi antara semua stakeholder sehingga seluruh

regulasi yang dirancang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat. Adanya

mekanisme atau prosedur yang baik dalam perencanaan pembangunan

pariwisata, maka dapat memudahkan dalam melaksanakan seluruh tuntutan dan

kebutuhan masyarakat sehingga pencapaian kesejahteraan sosial dapat optimal.

Tidak hanya itu, inovasi-inovasi dalam pembangunan pariwisata juga akan

tercipta dengan keunggulan-keunggulan yang berdaya saing baik di tingkat

nasional maupun internasional.

Perencanaan pembangunan pariwisata juga telah dilakukan beberapa

penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Borges, et al (2014) bahwa

penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dapat membantu untuk

memfasilitasi pembangunan sektor pariwisata secara terpadu melalui

pendekatan perencanaan sehingga dapat mengatasi tantangan dan hambatan

dalam pengembangan pariwisata. Costa, et al (2014) dalam hasil penelitiannya

juga menjelaskan bahwa dalam merancang sebuah kebijakan pariwisata secara

khusus, maka dibutuhkan perencanaan yang efektif yang tidak memisahkan

sektor pariwisata dengan sektor lainnya.


26

Selanjutnya hasil penelitian dari Susanto (2016) menjelaskan bahwa

perencanaan pembangunan pariwisata harus didukung oleh dokumen

perencanaan yang cukup baik sehingga implementasi program pariwisata dapat

lebih ditingkatkan kualitasnya. Penelitian Dredge dan Jamal (2015) juga

menjelaskan bahwa perencanaan di sektor pariwisata sangat penting disusun,

agar dapat dirancang kebijakan khusus pariwisata yang bermanfaat dalam

pengembangan pembangunan pariwisata di masa akan datang.

Tim Peneliti Balitbang Provinsi Sumatera Utara tahun 2017 juga

mengungkapkan permasalahan utama yang harus dihadapi oleh pemerintah

dalam mengembangkan kawasan Danau Toba, yaitu 1) keterlibatan masyarakat

yang terbatas di dalam perencanaan pembangunan pariwisata; 2) ketidak siapan

masyarakat lokal sebagai tuan rumah di sebuah destinasi wisata; 3) sikap

pesimistis masyarakat lokal dalam persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di

bidang kepariwisataan; 4) kondisi kebersihan lingkungan yang tidak baik; 5)

ancaman konflik lahan; 6) terbatasnya akses wisatawan muslim untuk menikmati

makanan halal; 7) kecilnya dampak ekonomi langsung kepariwisataan bagi

masyarakat lokal; 8) kecilnya kontribusi pariwisata terhadap perekonomian

daerah. Edgell, et.al (2008: 17) juga menjelaskan bahwa pengembangan

pariwisata harus selaras dengan tujuan, nilai dan aspirasi sosial budaya, ekologi

warisan dan komunitas tuan rumah, karena hal ini penting untuk merangsang

partisipasi yang lebih besar untuk berbagai kepentingan, misalnya partisipasi

dalam atraksi dan acara budaya dan sejarah, peningkatan industri pariwisata

melalui pengrajin lokal yang akhirnya dapat memunculkan potensi pariwisata

yang dapat dikembangkan.


27

Permasalahan yang disebut di atas, dapat menyebabkan perencanaan

pembangunan pariwisata dapat mengalami hambatan. Karena, perencanaan

pembangunan pariwisata merupakan proses pengembangan dan

pengkoordinasian secara menyeluruh agar dapat mencapai suatu tujuan yang

telah ditetapkan. Dengan kata lain, apabila pengembangan pariwisata kawasan

Danau Toba tidak direncanakan dengan baik maka akan menimbulkan masalah-

masalah sosial dan budaya yang juga akan berimbas kepada masalah ekonomi

dan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pariwisata

berkaitan erat dengan sektor-sektor lainnya seperti ekonomi, sosial, lingkungan

dan budaya yang ada dalam masyarakat.

Berkaitan dengan permasalahan di atas dan penelitian terdahulu yang

dikemukakan, maka termotivasi peneliti untuk merancang perencanaan

pembangunan pariwisata sehingga dapat memberikan nilai-nilai yang bermanfaat

dan unsur-unsur yang dapat mengoptimalkan penyusunan perencanaan

pembangunan khususnya pariwisata. Dengan demikian, maka judul penelitian

desertasi ini adalah Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau

Toba di Provinsi Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perencanaan pengembangan potensi pariwisata kawasan

Danau Toba?

2. Bagaimanakah standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba?


28

3. Bagaimanakah proses interaksi antara lembaga yang terlibat dalam

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba?

4. Bagaimanakah model perencanaan pembangunan pariwisata Kawasan

Danau Toba?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis perencanaan pengembangan potensi

pariwisata kawasan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis standarisasi perencanaan

pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis proses interaksi lembaga yang terlibat

dalam perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba.

4. Mendeskripsikan model perencanaan pembangunan pariwisata yang

cocok di Kawasan Danau Toba.

1.4 Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis maupun praktis terhadap kajian kebijakan pembangunan pariwisata

khususnya terkait perencanaan pembangunan pariwisata di Indonesia. Adapun

manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

a. Dapat memberikan implikasi dan kontribusi bagi pengembangan

pembangunan pariwisata khususnya kajian perencanaan

pembangunan pariwisata berdasarkan kaidah dan prinsip administrasi

publik.
29

b. Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya

tentang telaah kritis perencanaan pembangunan pariwisata

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan kontribusi kepada lembaga terkait perencanaan

pembangunan pariwisata dan diharapkan dapat meningkatkan

kinerjanya.

b. Meningkatkan pemahaman stakeholder tentang pentingnya

perencanaan pembangunan pariwisata.

c. Memberikan saran bagi pemerintahan daerah terkait perencanaan

pembangunan daerah di sektor pariwisata.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang diuraikan dalam bab ini, dimaksudkan sebagai

bahan perbandingan dengan masalah yang diteliti serta digunakan sebagai

bahan referensi dalam perencanaan pembangunan pariwisata di Kawasan

Danau Toba. Adapun penelitian terdahulu ini berasal dari hasil penerlitian yang

telah dipublikasikan dalam bentuk jurnal, sebagai berikut:

1. Joana Almeida, et.al (2017) yang berjudul A Framework for Conflict Analysis

in Spatial Planning for Tourism

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Perencanaan pariwisata yang menghasilkan dua kontribusi dalam

pengembangan pariwisata yaitu pertama, pengembangan analisis terpadu

dan komprehensif dari sumber-sumber konflik antara pengembangan

pariwisata dan penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam

sedangkan yang kedua, pengembangan dan implementasi kerangka sumber

konflik berdasarkan kerangka teoritis model Moore. Perencanaan pariwisata

dalam wilayah konflik dilakukan dengan analisi kekhawatiran pemangku

kepentingan sehingga tercipta harmonisasi dalam proses perencanaan.

2. Pilving T, Kull T, Suskevics M, Viira A. H (2019) yang berjudul The tourism

partnership life cycle in Estonia: Striving towards sustainable multisectoral

rural tourism collaboration

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

30
31

Keberlanjutan kemitraan pariwisata pedesaan Estonia dianalisis sesuai

dengan siklus hidup kemitraan pariwisata model, yang menggunakan

metodologi kualitatif. Kepemimpinan, tujuan yang membingungkan,

mengurangi komunikasi, waktu ketersediaan, pendanaan tidak pasti,

perubahan kelembagaan dan kurangnya kolaborasi dengan pusat kota -

memicu perlambatan kemitraan dan karena itu mempengaruhi keberlanjutan

kemitraan. Aspek sosial memainkan peran utama dalam mempengaruhi

kemitraan dan termasuk pengaruh internal dan eksternal. Sementara setiap

fase kemitraan penting untuk keberlanjutannya, kemitraan dapat secara

simultan mengikuti perbedaan jalur waktu yang memiliki siklus kehidupan

formal dan informal. Jika kemitraan ada dalam berbagai jadwal, masa

berlaku siklus mengikuti bentuk yang lebih melingkar daripada siklus.

Kemitraan yang diprakarsai masyarakat berkembang dan beradaptasi

platform di mana bentuk kemitraan baru muncul, menciptakan manfaat sosial

dan ekonomi bagi para pemangku kepentingan. Kapan kolaborasi

diprakarsai oleh komunitas lokal, kemitraan dapat mengubah dan mengubah

bentuk mereka lebih berkelanjutan dibandingkan dengan situasi di mana

mereka memiliki karakter yang lebih terpusat.

3. Burcin Hatipoglu, Maria D. Alvarez, Bengi Ertuna (2014) yang berjudul

Barriers To Stakeholder Involvement In The Planning of Sustainable

Tourism: The Case of The Thrace Region in Turkey

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan keterlibatan

pemangku kepentingan selama proses perencanaan pengembangan

pariwisata berkelanjutan di kawasan thrace di Turki. Dimensi yang dianalisis


32

untuk menilai hambatan ini termasuk kesadaran pemangku kepentingan

terhadap isu-isu kritis dan kondisi pariwisata saat ini, pengetahuan mereka

tentang prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, dan visi mereka tentang

proses perencanaan dan model tata kelola yang efektif untuk wilayah

mereka. Penelitian ini didasarkan pada data kuantitatif dan kualitatif yang

diperoleh dari para pemangku kepentingan terkemuka melalui lokakarya.

Integrasi pendapat individu responden dan hasil konsensus kelompok

menunjukkan bahwa kurangnya struktur kelembagaan untuk kolaborasi dan

kepemimpinan yang efektif menghambat partisipasi pemangku kepentingan

dalam proses perencanaan. selain itu, visi yang sempit dari para pemangku

kepentingan, kurangnya orientasi strategis dan fokus keuangan berdasarkan

kepentingan pribadi dapat menghambat realisasi pariwisata berkelanjutan

meskipun keterlibatan masyarakat setempat dalam proses perencanaan.

4. Beiley Ashton Adie, Alberto Amore (2020) yang berjudul Transnational World

Heritage, (meta) governance and implication for tourism: An Italian Case.

Hasil Penelitiannya menyimpulkan:

Situs Warisan Dunia Transnasional memupuk kerja sama internasional,

dengan implikasi untuk sistem pariwisata di dalam dan di seluruh Pihak

Negara. Karya ini menganalisis metagovernance dari bagian Italia dari Pile

Prehistoric Dwellings, sebuah situs lintas batas serial. Hasilnya menunjukkan

bahwa ada kegagalan tata kelola dan metagelola yang spesifik karena

masalah di Italia sistem, terutama struktur yang terlalu hierarkis untuk

kebijakan warisan. Bentrokan antara tata kelola mode menghasilkan struktur

pengambilan keputusan yang tidak efektif, di tingkat nasional, sarat dengan

tape pita merah. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk lebih banyak mode
33

metagelola yang berjaringan meningkatkan efisiensi manajemen situs Italia

serta proses yang rumit dari metagovernance Warisan Dunia transnasional

dan penerapannya pada pemerintahan nasional struktur.

5. Erwin A. Blackstone, et.al (2017) yang berjudul A regional, market oriented

governance for disaster management: A new planning approach

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Pemerintahan daerah yang kompetitif harus mampu dalam pengelolaan

respon dan pemulihan dari bencana. Namun, hal ini banyak mengalami

kegagalan karena terkait dengan perilaku birokrasi yang menyebabkan

respon pemerintah tidak efektif. Terdapat beberapa faktor yang dapat

mengatasi kegagalan tersebut yaitu menciptakan model organisasi yang

mengandalkan kekuatan pasar. Model ini dilaksanakan dengan proses

perencanaan yang dimulai denga identifikasi masalah, pernyataan tujuan

dan sasaran, pengembangan rencana alternatif, evaluasi rencana dan

pemilihan alternatif pilihan. Melalui perencanaan model organisasi ini

sehingga dapat menciptakan manajemen penanggulangan bencana

sehingga mewujudkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

6. Dan Lin and David Simmons, (2017) yang berjudul Structured inter-network

collaboration: Publik participation in tourism planning in Southern China.

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Partisipasi publik dianggap sebagai landasan perencanaan pariwisata

berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pariwisata di

Cina Selatan tidak bisa dalam perumusan dan pelaksanaan rencana tujuan

wisata. Proses menciptakan rencana yang terlibat pemangku kepentingan

Negara dan non-negara, terletak pada skala geografis yang berbeda dari
34

pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini memperlihatkan ada tiga

kontribusi utama dalam konteks ini yaitu pertama, adanya pola baru

perencanaan kolaboratif di bidang pariwisata. Kedua, adanya peran para

pemangku kepentingan utama (yang memiliki modal sosial dan modal

institusional) dalam perencanaan pariwisata. Ketiga, sebagai koordinator

untuk mempromosikan kolaborasi yang efektif yang dapat berkontribusi

untuk hasil pariwisata yang berkelanjutan.

7. Roberto Sisto, Antonio, Mathijs van Vliet (2018) yang berjudul Stakeholder

Participation in Planning Rural Development Strategies: Using Backcasting

To Support Local Action Groups in Compying With CLLD Requirements

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Pembangunan pedesaan yang dilakukan dengan pendekatan fleksibel dan

dipengaruhi oleh faktor sosial, politik dan sejarah. Dalam pembuatan

perencanaan untuk pembangunan pedesaan juga dipengaruhi oleh

teknologi, dinamika pasar dan kendala ekonomi dimana sejumlah aktor

kepentingan mengalami perbedaan terkait proses, dan prosedur yang

berbeda untuk dikelola dalam perencanaan. Sebagai akibatnya, sering

terjadi ketidaksesuaian dalam praktik untuk pencapaian tujuan dan prioritas

pembangunan pedesaan Maka, penelitian ini berfokus pada strategi

perencanaan pembangunan pedesaan berbasis daerah terpadu, dan

langkah-langkah kebijakan dan kebutuhan masyarakat. Strategi ini

menghasilkan pengetahuan pemangku kepentingan yang dapat

berkontribusi pada rancangan kebijakan yang lebih sesuai dengan

kebutuhan kelompok aksi lokal dan masyarakat sebagai persyaratan utama

dalam pembangunan pedesaan. Pendekatan yang dilakukan dalam


35

pembuatan rancangan kebijakan dan perencanaan ini dilakukan dengan

pendekatan partisipatif.

8. Francesco Mazzed Rinaldi (2016) yang berjudul From Local Development

Policies to Strategic Planning-Assessing Continuity in Institutional Coalitions.

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Penyusunan perencanaan yang strategis dalam pembangunan daerah

berkaitan dengan integrasi, kerjasama, kemitraan dalam peningkatan

sumber daya lokal. Tahapan perencanaan strategis ini dilakukan untuk

kelangsungan koalisi kelembagaan dalam pembangunan daerah melalui

penataan komposisi koalisi dari berbagai instrumen yang terlibat dalam

pengambilan keputusan. Penelitian ini berfokus pada pelembagaan

kemitraan dalam sistem kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan

melalui pembangunan dua indeks sintetik (tingkat perencanaan lokal, dan

indeks perencanaan lokal). Namun, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini

adanya perbedaan substansial antara pemerintah dengan dewan daerah

yang mengadopsi prinsip kemitraan. Salah satunya terkait dengan keraguan

untuk berpartisipasi sedangkan yang lain tidak aktif terlibat. Implikasi dari

hasil penelitian ini ada 2 (dua), yaitu menekankan faktor-faktor politik atau

sosial lokal dan tidak hanya kapasitas administrative, adanya perspektif yang

berbeda peran yang di tingkat pembangunan daerah sesuai dengan

kapasitas dan kemampuan yang terlibat dalam program yang dilaksanakan.

9. Zhanfeng Guo, dan Li Sun, (2016) yang berjudul The Planning, Development

and Management of Tourism: The case of Dangjia, an Ancient Village in

China.
36

Hasil penelitian menyimpulkan:

Pengembangan pariwisata desa kuno di Cina dengan pendekatan sejarah

produksi dan melibatkan proses ganda dengan intervensi pemerintah.

Proses ganda yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pergantian

proses yang dilakukan dalam pengembangan pariwisata yang awalnya

dilakukan oleh masyarakat desa itu sendiri dengan mengembangkan industri

pariwisata sendiri, namun pemerintah mengambil alih karena pariwisata

sudah memberikan pendapatan efektif bagi pemerintah daerah, namun

akhirnya masyarakat desa menjadi terpinggir. Alasan pemerintah daerah

mengambil alih adalah untuk melakukan perubahan karena terdapat

ketidakefisienan dalam sosial lokal dan modal keuangan. Maka, pemerintah

daerah mengevaluasi perencanaan pariwisata pedesaan di Cina dan

menjadi sebuah fenomena yang baru dan harus dikembangkan.

10. Dianne Dredge and Tazim Jamal, (2015) yang berjudul Progress in Tourism

Planning and Policy: A Post-Structural Perspective on Knowledge

Production.

Hasil penelitian menyimpulkan:

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasikan kemajuan dari

perencanaan dan kebijakan khususnya pariwisata. Kebijakan dan

perencanaan pariwisata diharapkan dapat melakukan pergeseran

problematisasi pariwisata yang dapat memberikan kemajuan dan

memberikan informasi. Perencanaan pariwisata dimaksudkan dapat

memberikan pemetaan ruang yang inovatif sehingga terbentuk pengetahuan

dan pengembangan metodologi yang lebih kuat untuk pengembangan

pariwisata ke depan.
37

11. Sam Cole, (2015) yang berjudul Space Tourism: Prospects, Positioning and

Planning.

Hasil Penelitiannya menyimpulkan:

Penilaian pariwisata yang dilakukan dengan peramalan, perencanaan dan

menyusun strategi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di masa

depan. Metode yang digunakan adalah praktek perencanaan pariwisata

yang dapat menunjukkan kekuatan dan imajinasi dengan ekstensi berjangka.

Metode perencanaan relative pragmatis dan heuristik kecuali terhadap

beberapa kebijakan yang dapat meragukan investasi yang akan maju.

Metode ini menghasilkan sistem strategi pengembangan pariwisata yang

berlandaskan kepada aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi yang

disesuaikan dengan keadaan pasar. Melalui metode perencanaan ini

memberi ruang dalam pengembangan pariwisata untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi secara global.

12. Eva Parga Dans, and Pablo Alonso Gonzalez, (2018) yang berjudul The

Altamira controversy: Assessing the economic impact of a world heritage site

for planning and tourism management

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Adanya manfaat ekonomi yang akan dihasilkan dari program konservasi

dalam melestarikan situs warisan budaya Altamira di Cantabria, dan

implikasi kebijakan terkait. Destinasi ini dapat menarik sejumlah besar

pengunjung dan merupakan faktor utama dalam memutuskan tujuan

kunjungan wisata. Namun, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan utama

adanya dampak ekonomi di bidang budaya sehingga penelitian in fokus


38

kepada analisis dampak ekonomi langsung dan tidak langsung dari

pengunjung Altamira pada ekonomi daerah Cantabria.

13. Jasper Heslinga and Vanclay Peter Groote, Peter and Vanclay, (2018) yang

berjudul Understanding the historical institutional context by using content

analysis of local policy and planning document: Assessing the interactions

between tourism and landscape on the island of Terschelling in the Wadden

Sea Region.

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Analisis isi dari kebijakan lokal dan dokumen perencanaan merupakan alat

yang berharga untuk memahami konteks kelembagaan historis dan untuk

menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu. Analisis ini mengungkapkan

adanya penekanan yang sangat berubah dalam dokumen kebijakan antara

perlindungan alam dan pembangunan sosio ekonomi. Dengan

menggunakan kebijakan lokal dan dokumen perencanaan sebagai proses

untuk konteks kelembagaan, penggunaan analisis konten ini untuk

mengungkapkan perubahan dalam interaksi lanskap pariwisata dari waktu ke

waktu. Terdapat tiga saran dalam penelitian ini yaitu pertama memahami

konteks historis dan institusional dapat membantu dalam mengembangkan

kebijakan yang lebih baik. Kedua, analisis isi dari dokumen-dokumen masa

lalu dapat menjadi alat yang membantu dan efektif untuk secara sistematis

mengungkapkan pola-pola masa lalu yang telah membentuk situasi saat ini.

Ketiga, ada potensi besar bagi sinergi antara pariwisata dan lanskap dan

juga harus ada fokus yang lebih besar dalam merancang kebijakan dan

perencanaan.
39

14. Michael Heiner, et.al (2019) Moving From Reactive to Proactive

Development Planning to Conserve Indigenous Community and Biodiversity

Values.

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Secara proaktif mengkompilasi nilai-nilai sosial dan budaya adalah mungkin

dan praktis yang dapat memperkuat sistem pemerintahan adat tradisional,

memperkuat peran masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan

dan meningkatkan posisi mereka untuk bernegosiasi dengan pihak lain, baik

itu otoritas lokal atau nasional, sektor swasta atau lembaga pembangunan

internasional.

15. Z.H.Fu, et.al (2017) Integrated Planning For Regional Development Planning

and Water Resources Management Under Uncertainty: A Case Study of

Xining, China

Hasil penelitiannya menyimpulkan:

Restrukturisasi ekonomi, pengelolaan sumber daya air, perencanaan

kependudukan dan perlindungan lingkungan merupakan subyek

ketidakpastian dalam sistem majemuk dengan tujuan yang merupakan

alternatif kompetitif. Penelitian ini mencerminkan kompleksitas sistem

perencanaan dan manajemen regional dalam tahapan perencanaan. Para

pembuat kebijakan pemerintah dapat membangun struktur industri yang

efektif, pola pemanfaatan sumber daya air dan perencanaan populasi, dan

untuk lebih memahami tradeoffs antara ekonomi, sumber daya air, populasi

dan tujuan lingkungan.

16. Nese Yilmaz Bakir, et.al (2018) Planned Development Versus Unplanned

Change: The Effects on Urban Planning in Turkey.


40

Hasil penelitiaannya menyimpulkan:

Adanya amandemen mikro tertentu memburuk keputusan perencanaan

holistik yang dibuat pada awal, dan bahwa kerusakan ini terutama

difokuskan pada ruang publik. Pembangunan kota yang dibentuk dengan

fokus pada sewa dan sejajar dengan berbagai kepentingan ini bertentangan

dengan pengelolaan lahan perkotaan yang berkelanjutan, dan akhirnya

pemerintahdaerah harus memainkan peran aktif dalam menetapkan

instrumen perencanaan, yang akan memberikan ruang perkotaan dengan

karakter, dan menetapkan kondisi yang memungkinkan partisipasi aktor

dalam proses persiapan perencanaan pembangunan perkotaan.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu yang mendukung Tema Desertasi


No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan
Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
1. Joana Almeida, Fokus dalam Studi - Perencanaan Metode penelitian
Carlos Costa and penelitian ini Kasus pariwisata yang yang digunakan
Fernando Nunes adalah wilayah dengan menghasilkan dua sama dengan
da Silva konflik dan analisis kontribusi dalam penelitian
pengembangan isi pengembagan sebelumnya hanya
A framework for pariwisata pariwisata yaitu yang
conflict analysis melalui pertama, membedakannya
in spatial perencanaan pengembangan adalah penggunaan
planning for tata ruang yang analisis terpadu dan analisisnya.
tourism dilihat dari komprehensif dari Penelitian
organisasi sumber-sumber sebelumnya
2017 kelembagaan, konflik antara menggunakan
kebijakan publik pengembangan analisis isi
dan perundang- pariwisata dan sedangkan
undangan, daya, penggunaan lahan penelitian ini
kendala dan pengelolaan menggunakan
struktural dan sumber daya alam analisis SWOT.
kepentingan, sedangkan yang Dari segi fokus yang
stakeholder, kedua, membedakannya
nilai-nilai dan pengembangan dan adalah penelitian
informasi. implementasi sebelumnya
kerangka sumber berfokus pada
konflik berdasarkan perencanaan
kerangka teoritis pariwisata di wilayah
model Moore. konflik sedangkan
Perencanaan penelitian ini
pariwisata dalam berfokus pada
wilayah konflik perencanaan
dilakukan dengan pembangunan
analisi kekhawatiran pariwisata pada
pemangku kawasan strategis.
kepentingan
sehingga tercipta
harmonisasi dalam
proses
perencanaan.
41

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
2. Pilving T, Kull T, Fokus dalam Kualitatif - Aspek sosial Metode yang
Suskevics M, Viira penelitian ini memainkan peran digunakan dalam
A. H adalah utama dalam penelitian
kemitraan dalam mempengaruhi sebelumnya dan
The tourism pengembangan kemitraan dan penelitian ini adalah
partnership life pariwisata yang termasuk pengaruh sama. Akan tetapi
cycle in Estonia: dipengaruhi oleh internal dan penelitian ini
Striving towards pengaruh eksternal. menggunakan studi
sustainable internal dan Sementara setiap kasus dengan
multisectoral eksternal fase kemitraan analisis SWOT.
rural tourism penting untuk
collaboration keberlanjutannya,
kemitraan dapat
2019 secara simultan
mengikuti
perbedaan jalur
waktu yang memiliki
siklus kehidupan
formal dan informal.
Jika kemitraan ada
dalam berbagai
jadwal, masa
berlaku siklus
mengikuti bentuk
yang lebih melingkar
daripada siklus.
Kemitraan yang
diprakarsai
masyarakat
berkembang dan
beradaptasi platform
di mana bentuk
kemitraan baru
muncul,
menciptakan
manfaat sosial dan
ekonomi bagi para
pemangku
kepentingan. Kapan
kolaborasi
diprakarsai oleh
komunitas lokal,
kemitraan dapat
mengubah dan
mengubah bentuk
mereka lebih
berkelanjutan
dibandingkan
dengan situasi di
mana mereka
memiliki karakter
yang lebih terpusat.
3. Burcin Hatipoglu, Fokus dalam Kualitatif Kuantitatif Dimensi yang Metode yang
Maria D. Alvarez, penelitian ini dianalisis untuk digunakan dalam
Bengi Ertuna adalah menilai hambatan ini penelitian ini dan
keterlibatan termasuk kesadaran penelitian
Barriers to pemangku pemangku sebelumnya adalah
stakeholder kepentingan kepentingan sama yang
involvement in dalam proses terhadap isu-isu membedakannya
the planning of perencanaan kritis dan kondisi adalah dalam
sustainable pembangunan pariwisata saat ini, analisis datanya.
tourism: the case pariwisata pengetahuan Penelitian ini
of the Thrace berkelanjutan mereka tentang menggunakan
region in Turkey. prinsip-prinsip analisis SWOT.
pariwisata
2014 berkelanjutan, dan
visi mereka tentang
42

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
proses perencanaan
dan model tata
kelola yang efektif
untuk wilayah
mereka. penelitian
ini didasarkan pada
data kuantitatif dan
kualitatif yang
diperoleh dari para
pemangku
kepentingan
terkemuka melalui
lokakarya. Integrasi
pendapat individu
responden dan hasil
konsensus
kelompok
menunjukkan bahwa
kurangnya struktur
kelembagaan untuk
kolaborasi dan
kepemimpinan yang
efektif menghambat
partisipasi
pemangku
kepentingan dalam
proses
perencanaan. selain
itu, visi yang sempit
dari para pemangku
kepentingan,
kurangnya orientasi
strategis dan fokus
keuangan
berdasarkan
kepentingan pribadi
dapat menghambat
realisasi pariwisata
berkelanjutan
meskipun
keterlibatan
masyarakat
setempat dalam
proses perencanaan
4 Bailey Ashton Fokus dalam Kualitatif - Ada kegagalan tata Metode yang
Adie, Alberto penelitian ini kelola dan digunakan dalam
Amore adalah metagelola yang penelitian ini dan
menganalisis spesifik karena penelitian
Transnational meta- masalah di Italia sebelumnya adalah
World Heritage, governance dari sistem, terutama sama yang
(meta) bagian Italia struktur yang terlalu membedakannya
governance and melalui situs hierarkis untuk adalah dalam
implication for warisan dengan kebijakan warisan. analisis datanya.
tourism: An implikasi untuk Bentrokan antara Penelitian ini
Italian Case sistem tata kelola mode menggunakan
pariwisata menghasilkan analisis SWOT.
2020 struktur
pengambilan
keputusan yang
tidak efektif, di
tingkat nasional,
sarat dengan tape
pita merah. Dengan
demikian, ada
kebutuhan untuk
lebih banyak mode
metagelola yang
43

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
berjaringan
meningkatkan
efisiensi manajemen
situs Italia serta
proses yang rumit
dari
metagovernance
Warisan Dunia
transnasional dan
penerapannya pada
struktur
pemerintahan
nasional.

5. Erwin A. Fokus dalam Kualitatif - Pemerintahan Metode yang


Blackstone, Simon penelitian ini dengan daerah yang digunakan dalam
Hakim and Brian adalah analisis kompetitif harus penelitian ini adalah
Meehan penanggulangan faktor mampu dalam sama dengan
bencana dan pengelolaan respon penelitian
A regional, pendekatan dan pemulihan dari sebelumnya, hanya
market oriented perencanaan bencana. Namun, saja yang berbeda
governance for berdasarkan hal ini banyak adalah analisisnya.
disaster respon dan mengalami Penelitian
management: A tindakan kegagalan karena sebelumnya dengan
new planning pemerintah, terkait dengan analisis faktor
approach birokrasi perilaku birokrasi sedangkan
pemerintah, yang menyebabkan penelitian ini dengan
2017 eksternal respon pemerintah analisis SWOT.
bencana, tidak efektif. Sedangkan dari segi
visibilitas dan Terdapat beberapa fokusnya juga
kepentingan faktor yang dapat sangat berbeda
politik dan mengatasi karena penelitian ini
sumber daya kegagalan tersebut adalah perencanaan
yaitu menciptakan pembangunan
model organisasi kawasan pariwisata
yang mengandalkan sedangkan
kekuatan pasar. penelitian
Model ini sebelumnya adalah
dilaksanakan penanggulangan
dengan proses bencana dengan
perencanaan yang pendekatan
dimulai denga perencanaan baru.
identifikasi masalah,
pernyataan tujuan
dan sasaran,
pengembangan
rencana alternative,
evaluasi rencana
dan pemilihan
alternatif pilihan.
Melalui
perencanaan model
organisasi ini
sehingga dapat
menciptakan
manajemen
penanggulangan
bencana sehingga
mewujudkan
keamanan dan
kesejahteraan
masyarakat.
6. Dan Lin, and Fokus dalam Studi - Partisipasi publik Metode penelitian
David Simmons penelitian ini kasus dianggap sebagai yang digunakan
adalah tunggal landasan dalam penelitian
Structured inter- partisipasi melalui perencanaan sebelumnya adalah
network masyarakat data pariwisata sama dengan
44

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
collaboration: dalam kualitatif berkelanjutan. penelitian ini, yang
Public perencanaan Keterlibatan membedakannya
participation in pariwisata masyarakat dalam adalah analisis
tourism planning dengan sistem perencanaan datanya. Sedangkan
in Southern kolaborasi. pariwisata di Cina dari segi fokusnya
China Selatan tidak bisa penelitian ini
dalam perumusan mempunyai
2017 dan pelaksanaan kemiripan dengan
rencana tujuan penelitian
wisata. Proses sebelumnya yaitu
menciptakan perencanaan
rencana yang pariwisata yang
terlibat pemangku berkaitan dengan
kepentingan Negara keterlibatan
dan non-negara, stakeholders namun
terletak pada skala yang
geografis yang membedakannya
berbeda dari adalah sistem
pengambilan perencanaan yang
keputusan. Dalam digunakannya.
penelitian ini
memperlihatkan ada
tiga kontribusi utama
dalam konteks ini
yaitu pertama,
adanya pola baru
perencanaan
kolaboratif di bidang
pariwisata. Kedua,
adanya peran para
pemangku
kepentingan utama
(yang memiliki
modal sosial dan
modal institusional)
dalam perencanaan
pariwisata. Ketiga,
sebagai coordinator
untuk
mempromosikan
kolaborasi yang
efektif yang dapat
berkontribusi untuk
hasil pariwisata
yang berkelanjutan.
7. Roberto Sisto, Fokus penelitian Studi - Pembangunan Metode penelitian
Antonio, Mathijs ini adalah Kasus pedesaan yang yang digunakan
van Vliet perancangan dengan dilakukan dengan sama dengan
perencanaan Analisis pendekatan fleksibel penelitian
Stakeholder strategi dalam SWOT dan dipengaruhi sebelumnya dan
Participation in pembangunan oleh faktor sosial, tidak ada
Planning Rural pedesaan yang politik dan sejarah. perbedaaan juga
Development berbasis terpadu Dalam pembuatan dalam analisisnya.
Strategies: Using melalui perencanaan untuk Yang membedakan
Backcasting To keterlibatan pembangunan penelitian ini adalah
Support Local pemangku pedesaan juga terletak pada fokus
Action Groups in kepentingan dipengaruhi oleh penelitiannya,
Compying With teknologi, dinamika dimana penelitian
CLLD pasar dan kendala sebelumnya
Requirements ekonomi dimana menganalisis
sejumlah aktor perencanaan
2018 kepentingan strategi dalam
mengalami pembangunan
perbedaan terkait pedesaan yang
proses, dan berbasis terpadu
prosedur yang melalui keterlibatan
berbeda untuk pemangku
45

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
dikelola dalam kepentingan
perencanaan. sedangkan
Sebagai akibatnya, penelitian ini terkait
sering terjadi perencanaan
ketidaksesuaian pembangunan
dalam praktik untuk pariwisata secara
pencapaian tujuan khusus.
dan prioritas
pembangunan
pedesaan Maka,
penelitian ini
berfokus pada
strategi
perencanaan
pembangunan
pedesaan berbasis
daerah terpadu, dan
langkah-langkah
kebijakan dan
kebutuhan
masyarakat. Strategi
ini menghasilkan
pengetahuan
pemangku
kepentingan yang
dapat berkontribusi
pada rancangan
kebijakan yang lebih
sesuai dengan
kebutuhan kelompok
aksi lokal dan
masyarakat sebagai
persyaratan utama
dalam
pembangunan
pedesaan.
Pendekatan yang
dilakukan dalam
pembuatan
rancangan kebijakan
dan perencanaan ini
dilakukan dengan
pendekatan
partisipatif
8. Francesco Fokus penelitian Eksplora - Adanya penekanan Metode penelitian
Mazzed Rinaldi ini adalah si pada stakeholders yang digunakan
program yang dipengaruhi dalam penelitian
From Local pembangunan oleh faktor-faktor tidaklah sama
Development daerah yang politik, sosial dan walaupun jenis
Policies to menitik beratkan juga kapasitas penelitiannya adalah
Strategic kepada administratif. kualitatif. Fokus
Planning- kebijakan dalam Perencanaan penelitiannya juga
Assessing membuat strategis disusun berbeda, penelitian
Continuity in perencanaan dengan prinsip sebelumnya
Institutional strategis dengan kemitraan, namun membahas tentang
Coalitions model kemitraan konsep ini dilakukan kebijakan dalam
pada daerah yang penyusunan
2016 telah hilang perencanaan
pengaruh budaya strategis yang
politik sehingga menitik beratkan
lebih mengarah pembangunan
kepada kapasitas daerah secara
administratif yang umum dengan
bertujuan untuk model kemitraan
menjelaskan sedangkan
keberhasilan dan penelitian proses
kegagalan dari perencanaan
46

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
program pembangunan yang
pembangunan dilakukan
daerah. pemerintah
khususnya di sektor
pariwisata.
9. Zhanfeng Guo, Fokus penelitian Kualitatif Kuantitatif Pengembangan Metode yang
dan Li Sun, ini adalah pariwisata desa digunakan dalam
perencanaan kuno di Cina dengan penelitian adalah
The Planning, pariwisata dalam pendekatan sejarah kualitatif, namun
Development and pengembangan produksi dan analisisnya
Management of dan melibatkan proses memakai analisis
Tourism: The pengelolaan ganda dengan SWOT dan berbeda
case of Dangjia, wisata desa intervensi dengan penelitian
an Ancient kuno pemerintah. Proses sebelumnya yang
Village in China ganda yang menggabungkan
dimaksudkan dalam kedua metode
2016 penelitian ini adalah penelitian untuk
pergantian proses dapat menganalisis
yang dilakukan perencanaan
dalam pariwisata dalam
pengembangan pengembangan dan
pariwisata yang pengelolaan wisata
awalnya dilakukan desa kuno.
oleh masyarakat Sedangkan
desa itu sendiri penelitian ini
dengan menganalisis
mengembangkan perencanaan
industri pariwisata pembangunan
sendiri, namun pariwisata yang
pemerintah dilihat dari potensi
mengambil alih yang ada di
karena pariwisata kawasan wisata
sudah memberikan Danau Toba.
pendapatan efektif
bagi pemerintah
daerah, namun
akhirnya masyarakat
desa menjadi
terpinggir. Alasan
pemerintah daerah
mengambil alih
adalah untuk
melakukan
perubahan karena
terdapat
ketidakefisienan
dalam sosial lokal
dan modal
keuangan. Maka,
pemerintah daerah
mengevaluasi
perencanaan
pariwisata pedesaan
di Cina dan menjadi
sebuah fenomena
yang baru dan harus
dikembangkan
10 Dianne Dredge Fokus penelitian Explanat - Perencanaan Metode yang
. and Tazim Jamal, ini adalah oris pariwisata dapat digunakan dalam
kemajuan dan memberikan penelitian
Progress in problematika pemetaan ruang sebelumnya tidak
Tourism kebijakan dan yang inovatif sama dengan
Planning and perencanaan sehingga terbentuk penelitian ini
Policy: A Post- pariwisata pengetahuan dan walaupun jenis
Structural pengembangan penelitiannya sama
Perspective on metodologi yang yaitu kualitatif.
Knowledge lebih kuat untuk Fokus penelitian
47

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
Production pengembangan sebelumnya dengan
pariwisata ke depan. penelitian ini hamper
2015 sama yaitu tentang
perencanaan
pariwisata.
11 Sam Cole Fokus dalam - Kuantitatif Adanya progresif Metode yang
penelitian ini dengan dalam digunakan dalam
Space Tourism: adalah masa metode pengembangan, penelitian ini tidak
Prospects, depan survey yang dimulai dengan sama dengan
Positioning and pariwisata yang tahapan-tahapan. penelitian
Planning dilihat dari Fase ini bertujuan sebelumnya.
unsur-unsur untuk menentukan Sedangkan fokus
2015 kebijakan jenis layanan dalam penelitian
pariwisata sektor pariwisata, sebelumnya
(sejarah, volume wisatawan mempunyai
struktur, dan penciptaan kesamaan yaitu
ekonomi, sosial, produk pariwisata perencanaan
dan teknologi) Metode yang pariwisata yang
dan proses digunakan adalah melihat masa depan
perencanaan praktek dan menghasilkan
dalam perencanaan keunggulan yang
pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan
pariwisata ke dapat menunjukkan jumlah wisatawan.
depan kekuatan dan
imajinasi dengan
ekstensi berjangka.
Metode
perencanaan
relative pragmatis
dan heuristik kecuali
terhadap beberapa
kebijakan yang
dapat meragukan
investasi yang akan
maju.
12 Eva Parga Dans Fokus dalam - Penelitian Adanya manfaat Metode yang
and Pablo Alonso penelitian ini survey ekonomi yang akan digunakan dalam
Gonzalez adalah dengan dihasilkan dari penelitian ini
konservasi metode program konservasi berbeda dengan
The Altamira pencegahan dan input dalam melestarikan penelitian
controversy: manajemen output situs warisan sebelumnya. Dan
Assessing the pariwisata Situs budaya Altamira di dari segi fokus
economic impact Warisan Dunia Cantabria, dan penelitian ini
of a world Altamira implikasi kebijakan mempunyai
heritage site for berdasarkan terkait. Destinasi ini kesamaan dan
planning and manfaat dapat menarik perbedaan.
tourism ekonomi sejumlah besar Persamaannya
management potensial. pengunjung dan adalah berkaitan
Penelitian ini merupakan faktor dengan
2018 bertujuan untuk utama dalam perencanaan
mengembangka memutuskan tujuan pariwisata dan
n program kunjungan wisata. perbedaannya yaitu
manajemen Namun, dalam penelitian
pariwisata yang penelitian ini sebelumnya tentang
efektif dan terdapat konservasi
menganalisis keterbatasan utama sedangkan
dampak dari adanya dampak penelitian ini
akses kebijakan. ekonomi di bidang berkaitan dengan
budaya sehingga rancangan program.
penelitian in fokus
kepada analisis
dampak ekonomi
langsung dan tidak
langsung dari
pengunjung Altamira
pada ekonomi
daerah Cantabria
48

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
13 Jasper Heslinga, Fokus dalam Kualitatif - Analisis isi dari Metode yang
Peter Groote and penelitian ini dengan kebijakan lokal dan digunakan dalam
Frank Vanclay adalah menggu dokumen penelitian ini dengan
pembuatan nakan perencanaan penelitian
Understanding kebijakan dan analisis merupakan alat sebelumnya adalah
the historical perencanaan konten yang berharga untuk sama hanya
institutional berdasarkan (isi) memahami konteks berbeda di cara
context by using dokumen kelembagaan analisisnya. Dari
content analysis historis. historis dan untuk segi fokusnya
of local policy menunjukkan terdapat persamaan
and planning perubahan dari dan perbedaan.
documents: waktu ke waktu. Persamaannya
Assessing the Analisis ini adalah bahwa
interactions mengungkapkan pengembangan
between tourism adanya penekanan pariwisata yang
and landscape yang sangat berkaitan dokumen
on the Island of berubah dalam perencanaan dan
Terschelling in dokumen kebijakan kebijakan.
The Wadden Sea antara perlindungan Sedangkan
Region alam dan perbedaannya
pembangunan sosio adalah terkait
2018 ekonomi. Dengan dokumen yang
menggunakan digunakan,
kebijakan lokal dan penelitian
dokumen sebelumnya
perencanaan menggunakan
sebagai proses dokumen historis
untuk konteks sedangkan
kelembagaan, penelitian ini
penggunaan analisis menggunakan
konten ini untuk dokumen
mengungkapkan pendukung untuk
perubahan dalam penyusunan
interaksi lanskap perencanaan
pariwisata dari pembangunan
waktu ke waktu. pariwisata.
Terdapat tiga saran
dalam penelitian ini
yaitu pertama
memahami konteks
historis dan
institusional dapat
membantu dalam
mengembangkan
kebijakan yang lebih
baik. Kedua, analisis
isi dari dokumen-
dokumen masa lalu
dapat menjadi alat
yang membantu dan
efektif untuk secara
sistematis
mengungkapkan
pola-pola masa lalu
yang telah
membentuk situasi
saat ini. Ketiga, ada
potensi besar bagi
sinergi antara
pariwisata dan
lanskap dan juga
harus ada fokus
yang lebih besar
dalam merancang
kebijakan dan
perencanaan
14 Michael Heiner, Fokus dalam Studi - Secara proaktif Metode yang
49

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
et.al penelitian ini Kasus mengkompilasi nilai- digunakan dalam
adalah nilai-nilai nilai sosial dan penelitian
Moving From sosial dan budaya adalah sebelumnya dan
Reactive to budaya dapat mungkin dan praktis penelitian ini adalah
Proactive diatur dan yang dapat sama. Akan tetapi
Development dianalisis secara memperkuat sistem yang
Planning to spasial untuk pemerintahan adat membedakannya
Conserve mendukung tradisional, adalah dalam
Indigenous perencanaan memperkuat peran analisis datanya,
Community and mitigasi dan masyarakat adat dan juga dibedakan
Biodiversity memperkuat dalam proses dengan fokus
Values satu sama lain pengambilan penelitian.
untuk keputusan dan
2019 memberikan meningkatkan posisi
hasil konservasi mereka untuk
yang lebih baik bernegosiasi
dan menimalkan dengan pihak lain,
konflik. baik itu otoritas lokal
atau nasional, sektor
swasta atau
lembaga
pembangunan
internasional.
15 Z.H.Fu, et.al Fokus dalam Studi Kuantitatif Restrukturisasi Penelitian
peneitian ini Kasus ekonomi, sebelumnya dan
Integrated adalah pengelolaan sumber penelitian ini sama2
Planning for mengkombinasik daya air, meggunakan studi
Regional an model perencanaan kasus namun
Development kualitas air kependudukan dan penelitian
Planning and melalui perlindungan sebelumnya
Water Resources manajemen lingkungan merupakan
Management perencanaan merupakan subyek penelitian kombinasi
Under daerah. ketidakpastian mixed kualitatif dan
Uncertainty: A dalam sistem kuantitatif yang
Case Study of majemuk dengan menghasilkan
Xining, China tujuan yang metodologi terbaru
merupakan alternatif dalam melakukan
2017 kompetitif. Penelitian manajemen
ini mencerminkan perencanaan daerah
kompleksitas sistem
perencanaan dan
manajemen regional
dalam tahapan
perencanaan. Para
pembuat kebijakan
pemerintah dapat
membangun struktur
industri yang efektif,
pola pemanfaatan
sumber daya air dan
perencanaan
populasi, dan untuk
lebih memahami
tradeoffs antara
ekonomi, sumber
daya air, populasi
dan tujuan
lingkungan. Dan
menghasilkan model
metodologi dalam
manajemen
perencanaan daerah
yaitu metodologi
hibrida
pemrograman
parameter interval
(IPP), fuzzy
50

No Nama/Judul Fokus Penelitian Metode Hasil/Temuan Perbedaan dengan


Penelitian/Tahun Kualitatif Kuantitatif Penelitian ini
programming (FP)
dan model kualitas
air umum satu
dimensi.
16 Nese Yilmaz Fokus dalam Kualitatif - Adanya amandemen Metode yang
Bakir, et.al penelitian ini mikro tertentu digunakan dalam
adalah memburuk penelitian
Planned membandingkan keputusan sebelumnya dan
Development pendekatan perencanaan holistik penelitian ini adalah
Versus tradisional yang dibuat pada sama. Akan tetapi
Unplanned dengan awal, dan bahwa yang
Change: The pendekatan kerusakan ini membedakannya
Effects on Urban fleksibel dan terutama difokuskan adalah dalam
Planning in partisipatif pada ruang publik. analisis datanya,
Turkey. dalam membuat Pembangunan kota dan juga dibedakan
perencanaan yang dibentuk dengan fokus
2018 kota yang baru dengan fokus pada penelitian.
sewa dan sejajar
dengan berbagai
kepentingan ini
bertentangan
dengan pengelolaan
lahan perkotaan
yang berkelanjutan,
dan akhirnya
pemerintahdaerah
harus memainkan
peran aktif dalam
menetapkan
instrumen
perencanaan, yang
akan memberikan
ruang perkotaan
dengan karakter,
dan menetapkan
kondisi yang
memungkinkan
partisipasi aktor
dalam proses
persiapan
perencanaan
pembangunan
perkotaan.

Tabel 2.1 di atas menjelaskan dan mempetakan penelitian terdahulu yang

berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dapat mendukung penelitian ini. Secara

umum penelitian terdahulu di atas berkaitan dengan proses perencanaan yang

melibatkan semua pihak dalam pembangunan pariwisata yang berdampak

kepada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan.

Pemanfaatan sumber daya yang dianggap mampu untuk mengembangkan

pariwisata melalui perencanaan yang efektif sehingga dapat berkontribusi


51

kepada pembangunan pariwisata dengan melibatkan berbagai pihak untuk

mengetahui permasalahan utama.

Perencanaan pembangunan pada sektor pariwisata yang dilakukan juga

berorientasi terhadap pengelolaan kebijakan yang dapat mendukung

pembangunan ekonomi. Pencapaian tujuan yang telah dirumuskan dalam

perencanaan pembangunan yang optimal tergantung kepada kepemimpinan

dalam melakukan identifikasi pengembangan pariwisata. Fokus utama penelitian

ini adalah mengidentifikasi potensi yang dimiliki oleh daerah yang mengelilingi

kawasan Danau Toba yang bertujuan untuk mendukung pembangunan

pariwisata serta mendalami proses interaksi antara pemangku kepentingan atau

stakeholders dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba sesuai dengan isu-isu strategis yang ada.

Tabel 2.2 Perbedaan penelitian terdahulu dari sisi teori perencanaan


No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for
Penelitian Planning
1. Joana Almeida, Perencanaan tata Perencanaan Didukung oleh
Carlos Costa and ruang dalam pariwisata yang teori psikologis
Fernando Nunes penggunaan lahan menggunakan berdasarkan faktor
da Silva untuk metode analisis nilai-nilai, ideolog,
pengembangan konflik motivasi,
A framework for pariwisata keyakinan dan
conflict analysis pengalaman.
in spatial Bidang ini
planning for dimaksudkan
tourism untuk menganalisis
interaksi antara
pemangku
kepentingan dalam
pengembangan
pariwisata
2. Pilving T, Kull T, Tidak Tidak menggunakan Didukung oleh
Suskevics M, menggunakan teori perencanaan teori kemitraan
Viira A. H teori perencanaan dalam
pembangunan
The tourism pariwisata
partnership life
cycle in
Estonia:
52

No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for


Penelitian Planning
Striving towards
sustainable
multisectoral
rural tourism
collaboration

3. Burcin Hatipoglu, Perencanaan Perencanaan Perencanaan


Maria D. Alvarez, pengembangan pariwisata melalui tata kelola
Bengi Ertuna pariwisata berkelanjutan pariwisata dengan
keterlibatan
Barries to pemangku
stakeholder kepentingan
involvement in
the planning of
sustainable
tourism: the
case of the
thrace region in
Turkey
4. Beiley Ashton Tidak Proses Tata kelola
Adie, Alberto menggunakan pembangunan pariwisata
Amore teori perencanaan pariwisata yang
berorientasi kepada
Transnational tata kelola
world heritage,
(meta)
governance and
implication for
tourism: An
Italian case
4. Erwin A. Proses Perencanaan daerah Proses
Blackstone, perencanaan yang yang berorientasi perencanaan yang
Simon Hakim dimulai dengan kepada pasar yang dilakukan dalam
and Brian identifikasi dihasilkan dari model penelitian ini juga
Meehan masalah, statistik konseptual didukung oleh teori
pernyataan tujuan dengan analisis lain yaitu
A regional, dan sasaran, faktor sebagai solusi manajemen
market oriented pengembangan untuk mengatasi bencana. Teori ini
governance for rencana alternatif masalah yang ada dibutuhkan untuk
disaster dan evaluasi dalam menghasilkan
management: A rencana yang penanggulangan tindakan yang
new planning dilakukan untuk bencana bertujuan untuk
approach menghasilkan menghindari resiko
analisis dan solusi atau menghindari
yang dibutuhkan kesalahan yang
pemerintah lebih besar dalam
terhadap penanggulangan
penanggulangan bencana.
53

No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for


Penelitian Planning
bencana
5. Dan Lin, and Perencanaan Perencanaan Proses
David Simmons partisipatif dan pariwisata yang perencanaan ini
perencanaan dilakukan dengan juga didukung oleh
Structured inter- kolaboratif yang metode JTDP teori pemerintahan
network digunakan untuk (Breakfast Tourism untuk mendukung
collaboration: meningkatkan Destination Plan) perencanaan
Public partisipasi yang dilaksanakan kolaboratif
participation in masyarakat dalam melalui kolaborasi sehingga dapat
tourism pengembangan antar organisasi mendukung
planning in pariwisata dengan yang terstruktur, perancangan atau
Southern China pola kolaboratif sehingga dapat juga pembuatan
antar jaringan mengembangkan kebijakan
teori partisipasi. pariwisata dan
implementasinya.
6. Roberto Sisto, Perencanaan Perencanaan Teori lain yang
Antonio, Mathijs strategi yang pembangunan mendukung dalam
van Vliet digunakan untuk daerah yang proses perencaan
pembangunan berfokus pada yang dilakukan
Stakeholder pedesaan yang strategi berbasis dalam penelitian ini
Participation in bertujuan untuk daerah terpadu teori kemitraan.
Planning Rural mendorong melalui pendekatan Teori ini bertujuan
Development partisipasi konteks CLLD yaitu untuk dapat
Strategies: pemangku adanya perwakilan menunjukkan
Using kepentingan dalam setiap kelompok aksi tingkat interaksi
Backcasting To setiap tahapan lokal baik aktor dan keterlibatan
Support Local perencanaan publik maupun para pemangku
Action Groups sehinggan dapat swasta dalam kepentingan dalam
in Compying menunjukkan merancang strategi memberikan
With CLLD kesesuaian pengembangan informasi dan
Requirements pendekatan perencanaan jangka pengetahuan
partisipatif dalam menengah dan terkait
pembangunan panjang di daerah pembangunan
pedesaan. pedesaan. Konteks pedesaan
CLLD ini juga berdasarkan
disebut metodologi jangka panjang
partisipatif. dan jangka
menengah dalam
perumusan
rencana.
7. Francesco Tahapan Perencanaan Proses
Mazzed Rinaldi perencanaan pembangunan lokal perencanaan yang
strategis sebagai yang laksanakan ada didukung oleh
From Local kelangsungan berdasarkan prinsip teori kemitraan
Development koalisi kemitraan yang bertujuan
Policies to kelembagaan dipromosikan melalui untuk
Strategic dalam sistem kebijakan kohesi mengeksplorasi
Planning- pengelolaan koalisi
54

No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for


Penelitian Planning
Assessing program kelembagaan pada
Continuity in pembangunan program
Institutional daerah yang pembangunan
Coalitions berbeda dan daerah
berkaitan dengan
proses dan
prosedur
perencanaan
8. Zhanfeng Guo, Perencanaan Perencanaan Manajemen
dan Li Sun, daerah yang pariwisata desa kuno pariwisata
maksudkan untuk yang menggunakan dilibatkan dalam
The Planning, pengembangan perspektif pengelolaan dan
Development sistematis dan penawaran dan pengembangan
and terencana permintaan sehingga pariwisata
Management of terhadap menciptakan sistem pedesaan yang
Tourism: The pengelolaan intervensi dapat
case of Dangjia, pariwisata pemerintah melalui menghasilkan
an Ancient pedesaan proses ganda perencanaan
Village in China wisata desa kuno.
9. Dianne Dredge Proses kebijakan Perencanaan Teori kelembagaan
and Tazim dan perencanaan pariwisata yang menjadi sangat
Jamal, yang berfokus dikembangkan penting dalam
pada kemajuan melalui perspektif meningkatkan
Progress in berdasarkan pasca strukturalis peran dan
Tourism struktur ekonomi yang disajikan dalam tanggung jawab
Planning and dan politik. dua gerakan analitis pemerintah dan
Policy: A Post- yaitu studi bibliografi berbagai
Structural kebijakan pariwisata pemangku
Perspective on dan perencanaan kepentingan untuk
Knowledge publikasi dan meningkatkan
Production menggunakan penyerapan
analisis tematik. epistemologi
postmodern dalam
perencanaan dan
kebijakan
pariwisata.
10. Sam Cole Program dan Perencanaan Konsep terpenting
praktek pariwisata yang yang ada dalam
Space Tourism: perencanaan yang ditujukan untuk perencanaan
Prospects, dikembangkan pelaksanaan pariwisata ini
Positioning and secara relatif, kebijakan pariwisata adalah konsep
Planning pragmatis dan berdasarkan unsur pembangunan
heuristic sehingga sejarah, struktur, ekonomi yang
dapat merancang ekonomi, sosial, dan berkaitan dengan
strategi pariwisata teknologi dengan pendapatan,
berdasarkan aspek menggunakan pekerjaan,
ekonomi, budaya, analisis ruang sehingga dapat
sosial dan ekologi. pariwisata meningkatkan
55

No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for


Penelitian Planning
perekonomian
masyarakat lokal.
Tujuannya ruang
pariwisata yang
dimaksud
berkaitan dengan
memaksimalkan
jumlah turis.
11. Eva Parga Dans Proses Perencanaan wisata Pencegahan
and Pablo perencanaan situs warisan ini konservasi
Alonso Gonzalez melalui rencana dilaksanakan Altamira juga
konservasi berdasarkan mengembangkan
The Altamira preventif yang Altamira Complex teori manajemen
controversy: bertujuan untuk (AC) dengan pariwisata yang
Assessing the dapat melihat pengumpulan data dapat
economic dampak ekonomi informasi yang menganalisis
impact of a secara langsung dimaksudkan untuk dampak akses
world heritage dan tidak langsung memfasilitasi ekonomi dan
site for planning terhadap ekonomi pengembangan merekomendasi
and tourism daerah Cantabria pedoman kebijakan kebijakan pada
management melalui wisata dan menghasilkan dampak ekonomi
Situs warisan yang rekomendasi dalam regional yang lebih
akan penyelesaian luas.
dikembangkan. kontroversi Altamira
dan juga
menghadapi para
pemangku
kepentingan.
12 Jasper Heslinga, Pembuatan Perencanaan Teori kelembagaan
Peter Groote and rencana dan pariwisata yang dalam studi
Frank Vanclay kebijakan disinergikan dengan pariwisata dapat
berdasarkan interaksi mempermudah
Understanding dokumen historis. pemandangan interaksi hubungan
the historical Perencanaan dan (alam) pariwisata pariwisata dengan
institutional kebijakan yang dengan pemandangan
context by dibuat berkaitan menggunakan alam.
using content dengan analisis konten, dan
analysis of local pembangunan dokumen lokal yang
policy and sosio ekonomi dan digunakan sebagai
planning perlindungan mandat dalam
documents: lingkungan yang konteks
Assessing the mempunyai jangka kelembagaan
interactions waktu. (institusional).
between Proses pengambilan
tourism and keputusan juga
landscape on harus
the Island of mengeksplorasi
Terschelling in hubungan dokumen
56

No Nama/Judul Theory of Planning Theory in Planning Theory for


Penelitian Planning
The Wadden historis antara
Sea Region masyarakat dan
lingkungan untuk
memahami konteks
kelembagaan.
13 Michael Heiner, Proses Perencanaan yang Berkaitan dengan
et.al perencanaan terintegrasi khusus perencanaan
pembangunan dengan mitigasi, konsep
Moving From dalam keanekaragaman nilai-nilai sosial
Reactive to penggunaan lahan hayati dan nilai-nilai dan budaya dalam
Proactive budaya yang terkait meminimalkan
Development erat dengan nilai- konflik
Planning to nilai alam untuk
Conserve memfasilitasi
Indigenous penggunaan proses
Community and AMDAL.
Biodiversity
Values
14 Z.H.Fu, et.al Perencanaan Perencanaan dan Perencanaan
kependudukan manajemen daerah populasi yang
Integrated sebagai sebuah yang dikembangkan berkaitan denga
Planning for alternatif kompetitif melalui solusi restrukturisasi
Regional dalam manajemen metodologi hibrida ekonomi dan
Development perencanaan pemrograman pengelolaan
Planning and daerah parameter interval sumber daya air
Water (IPP), fuzzy yang berkaitan
Resources programming (FP), dengan
Management dan model kualitas perlindungan
Under air umum satu lingkungan dalam
Uncertainty: A dimensi. perencanaan
Case Study of kependudukan
Xining, China
15 Nese Yilmaz Perencanaan Pengembangan Berkaitan dengan
Bakir, et.al perkotaan dengan perencanaan kota peran pemerintah
membandingkan dengan yang dominan
Planned pendekatan menggunakan dalam praktik
Development fleksibel dan sistem informasi dalam membuat
Versus partisipatif dengan geografis amandemen
Unplanned pendekatan rencana induk
Change: The tradisional. untuk
Effects on mempersiapkan
Urban Planning perencanaan
in Turkey. pembangunan kota

Tabel 2.2 ini, menjelaskan perbedaan teori perencanaan yang ada dalam

penelitian sebelumnya. Teori perencanaan ini terbagi menjadi tiga teori yang
57

dijabarkan yaitu Theory of Planning (Procedural Planning), Theory in Planning

(Substantive Planning) dan Theory for Planning. Masing-masing penelitian

sebelumnya menggunakan proses perencanaan sesuai dengan fokus

penelitiannya. Perbedaan pada masing-masing penelitian tersebut dikaitkan

dengan penjabaran tiga teori perencanaan tersebut, yaitu:

1. Theory of Planning, yaitu berkaitan dengan proses, ruang lingkup,

perkembangan dan posisi perencanaan dalam kehidupan manusia.

2. Theory in Planning, yaitu berkaitan dengan alat pengumpulan data, analisis,

pengambilan keputusan dan teori lainnya yang dikembangkan untuk

perencanaan.

3. Theory for Planning, yaitu berkaitan dengan teori yang berasal dari bidang

ilmu yang lain untuk menjelaskan perencanaan maupun proses

perencanaan.

Sedangkan dalam penelitian ini penjabaran tiga teori perencanaan tersebut,

dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Theory of Planning

Proses dan tahapan perencanaan strategis yang dilaksanakan bertujuan

untuk mengembangkan pembangunan pariwisata Kawasan Danau Toba

berdasarkan aspek sosial budaya, ekonomi, politik dan lingkungan yang

dapat mendukung efektivitas penyusunan perencanaan dan pembuatan

kebijakan pariwisata yang mempunyai jangka waktu sesuai dengan tujuan

dan sasaran yang akan dicapai.

2. Theory in Planning
58

Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung dan menghasilkan

perencanaan pariwisata yang efektif dalam pengembangan kawasan Danau

Toba, meliputi analisis atau pendekatan yang digunakan dalam

mendapatkan informasi dan data terkait fokus penelitian. Perencanaan

pariwisata yang disusun dalam proses pengambilan keputusan dianalisis

SWOT, yang dapat melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

dari rancangan atau rencana aksi/tindakan dalam pengembangan pariwisata

kawasan Danau Toba. Hal ini juga terkait denga proses interaksi antara

pemangku kepentingan dan stakeholders, untuk mendapatkan pengarahan

terkait penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata. Melalui tahapan

perencanaan strategis ini diharapkan dapat menciptakan model

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba.

3. Theory for Planning

Teori yang diharapkan dapat memberikan manfaat dan dukungan dalam

perencanaan pembangunan pariwisata ini adalah teori pariwisata. Teori ini

bertujuan untuk lebih memperjelas makna dari proses perencanaan

pembangunan pariwisata untuk dimasa depan. Teori ini juga diharapkan

dapat mendukung untuk menciptakan model perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba.

2.2 Administrasi Publik

Perkembangan administrasi di era ini telah sampai kepada kehidupan

komunitas masyarakat dan menjadi kebutuhan dan memberikan manfaat untuk

usaha pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Akhirnya, perkembangan

pemikiran tentang administrasi meluas sampai ke seluruh aspek kehidupan.


59

Perkembangannya ini mengarah kepada kompleksitas dan keragaman, yang

mendukung aktivitas pencapaian tujuan sehingga memberikan manfaat kepada

pubik.

Makmur dan Thahier (2016: 52), bahwa apabila dilihat dari fokus dan

lokus arah materi yang terkandung dalam administrasi, maka dapat dibagi tiga

pasang pengertian administrasi, yaitu pertama, administrasi dalam arti luas dan

dalam arti sempit, kedua administrasi Negara atau publik dan administrasi bisnis,

dan ketiga administrasi sebagai imu dan administrasi sebagai profesi. Ketiga

pengertian administrasi tersebut, dimana perkembangan masing-masing

senantiasa saling menguatkan satu sama lain dan menciptakan kekuatan serta

saling mempengaruhi dalam kelemahannya. Administrasi dalam arti luas dapat

diartikan proses kerja sama manusia dalam satu wilayah tanpa ada batasan

dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan dan memberikan manfaat

kepada kehidupan manusia. Sedangkan administrasi dalam arti sempit yaitu

sebuah proses yang dilakukan oleh sekelompok orang, untuk pencapaian tujuan

bersama di dalam satu organisasi atau lembaga.

Sejalan dengan itu, Trecker (Keban, 2014: 2) juga menjelaskan bahwa

administrasi merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan dalam mencapai

tujuan yang telah ditetapkan dan memberikan manfaat melalui koordinasi dan

kerjasama. Kemudian Anggara (2012: 11) menjelaskan administrasi sebagai

suatu proses pengorganisasian sumber-sumber sehingga tugas pekerjaan dalam

organisasi tingkat apa pun dapat dilaksanakan dengan baik.

Pemahaman makna administrasi semakin meluas dan mengarah pada

perkembangan keilmuan administrasi publik. Keberadaan administrasi publik

merupakan sebuah proses pemikiran rasional dan penalaran yang matang dalam
60

jangka waktu yang panjang secara efisien dan efektif dalam mewujudkannya.

Ilmu administrasi publik mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang

menjadikan keberadaan administrasi publik semakin menjadi lebih baik.

Globalisasi dan revolusi teknologi telah membuat perubahan administrasi publik

mengalami perkembangan yang maju.

Makna administrasi publik sangatlah bervariasi, bahkan ada yang

mempersepsikan “administration of public”, ada yang mengatakan

administratioan for public” bahkan ada yang mengatakan “administration by

public”. Keban (2008: 4) menegaskan bahwa variasi makna administrasi publik

bisa dilihat dari persepsi orang memaknai administrasi publik.

Pernyataan di atas memperjelas perubahan-perubahan yang terjadi

dalam bidang administrasi publik. Dimulai dari administrasi sepenuhnya menjadi

kewenangan pemerintah dan berkembang ke arah yang paling demokratis

dimana publik diberikan kewenangan dalam proses administrasi publik.

Administration of public bermakna bahwa pemerintah merupakan agen tunggal

yang memiliki kewenangan penuh dalam proses-proses administrasi. Maksudnya

bahwa pemerintah mempunyai hak penuh untuk merumuskan,

mengimplementasikan semua kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan

masyarakat. Selanjutnya makna administration for public, adalah pemerintah

merupakan penyedia layanan, maksudnya bahwa pemerintah merupakan

pelayan bagi masyarakat. Sedangkan administration by public, bermakna bahwa

proses administrasi pemerintah lebih berorientasi pada bagaimana

memberdayakan masyarakat dalam setiap urusan yang berkaitan dengan

kepublikan, dan juga pemerintah bersifat fasilitator.


61

Terdapat juga beberapa variasi definisi administrasi publik yang sangat

sulit disepakati, seperti yang dikutip Stillman II (Keban, 2008: 5) sebagai berikut:

1. Menurut Dimock, Dimock dan Fox, administrasi publik merupakan

produksi barang dan jasa yang direncanakan untuk melayani kebutuhan

masyarakat konsumen. Definisi tersebut melihat administrasi publik

sebagai kegiatan ekonomi, atau serupa dengan bisnis tetapi khusus

dalam menghasilkan barang dan jasa.

2. Barton dan Chappel melihat administrasi publik sebagai the work of

government atau pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi ini

menekankan aspek keterlibatan personil dalam memberikan pelayanan

kepada publik.

3. Starling melihat administrasi publik sebagai semua yang dicapai

pemerintah, atau dilakukan sesuai dengan yang dijanjikan pada waktu

kampanye pemilihan. Dengan kata lain batasan tersebut menekankan

aspek the accomplishing side of government dan seleksi kebijakan publik.

4. Nigro dan Nigro mengemukakan bahwa administrasi publik adalah usaha

kerjasama kelompok dalam suatu lingkunngan publik yang mencakup

ketiga cabang yaitu yudikatif, legislatif, eksekutif; mempunyai suatu

peranan penting dalam memformulasikan kebijakan publik, sehingga

menjadi bagian dari proses politik yang sangat berbeda dengan cara-cara

yang ditempuh oleh administrasi swasta dan berkaitan erat dengan

beberapa kelompok swasta dan individu dalam pemberian pelayanan

kepada masyarakat. Definisi ini lebih menekankan proses institusional

yaitu bagaimana usaha kerja sama kelompok sebagai kegiatan publik

yang benar-benar berbeda dari kegiatan swasta.


62

5. Rosenbloom memberi batasan administrasi publik sebagai pemanfaatan

teori-teori dan proses-proses manajemen, politik dan hukum untuk

memenuhi mandate pemerintah di bidang legislative, eksekutif dan

judikatif dalam rangka menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan

terhadap masyarakat secara keseluruhan atau sebagian. Definisi ini

menekankan aspek proses institutional atau kombinasi ketiga jenis

kegiatan pemerintah yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif.

6. Nicholas Henry memberi batasan administrasi publik adalah suatu

kombinasi yang kompleks antara teori dan praktek dengan tujuan

mempromosi pemahaman tentang peran pemerintah dalam hubungannya

dengan masyarakat yang diperintah, dan juga yang mendorong kebijakan

publik agar lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Administrasi publik

berusaha melembagakan praktek-praktek manajemen agar sesuai

dengan efektivitas, efisiensi dan pemenuhan secara lebih baik kebutuhan

masyarakat. Dengan demikian, definisi ini melihat bahwa administrasi

publik merupakan kombinasi teori dan praktek yang mencampuri proses

manajemen dengan pencapaian nilai-nilai normatif dalam masyarakat.

Kemudian, Keban (2008: 7) menyebutkan beberapa makna penting yang harus

diingat berkaitan dengan hakekat administrasi publik, yaitu:

1. Bidang tersebut lebih berkaitan dengan dunia eksekutif, meskipun juga


berkaitan dengan dunia yudikatif dan legislatif.
2. Bidang tersebut berkenaan dengan formulasi dan implementasi kebijakan
publik.
3. Bidang tersebut juga berkaitan dengan berbagai masalah manusiawi dan
usaha kerjasama untuk mengemban tugas-tugas pemerintah.
4. Meskipun bidang tersebut berbeda dengan administrasi swasta tetapi ia
overlapping (tumpang tindih) dengan administrasi swasta.
63

Akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 telah terjadi transformasi sektor

publik di Negara maju, dimana perkembangan peradaban, pemikiran dan

dinamika masyarakat telah berdampak kepada ilmu pengetahuan termasuk juga

ilmu administrasi publik. Transformasi ini merubah bentuk administrasi publik

yang birokratis, hirarkis dan kaku berubah menjadi bentuk manajemen publik

yang fleksibel dan berbasis pasar. Denhardt and Dehardt (2003), membagi

perkembangan ilmu administrasi publik dalam tiga paradigma besar, yaitu: 1)

paradigma administrasi publik klasik (old public administration) sekitar tahun

1987 - 1997; 2) paradigma New Public Management (NPM) sekitar tahun 1990 -

2000; 3) paradigma New Public Service (NPS) sekitar tahun 2000 - sekarang.

Tabel 2.3 Perbandingan Old Public Administration (OPA), New Public


Management (NPM) dan New Public Service (NPS)
Paradigma OPA NPM NPS
Dasar Teoritis Ilmu Politik dan Rasional/Teori Teori Institusional
Kebijakan Publik Pilihan Publik dan dan jaringan kerja
Studi Manajemen
Sifat Keseragaman Pengaturan Jamak dan
Berbeda-beda
Fokus Sistem Politik Organisasi Organisasi dan
lingkungannya
Tekanan/Perhatian Pembuatan Manajemen Negosiasi nilai
Kebijakan dan Sumber Daya makna dan saling
Implementasi Organisasi dan keterkaitan (saling
Kebijakan Kinerja hubungannya)
Mekanisme Hierarki Pasar dan Neo Jaringan kerja dan
Alokasi Sumber Classical Kontrak kontrak hubungan
Daya relasional
Sifat Sistim Tertutup Rasional Terbuka Terbuka, Tertutup
Pelayanan
Nilai Dasar Budaya Sektor Keunggulan dan Memperjuangkan
Publik Pangsa Pasar
Sumber: Syafri, 2012: 199

Akhirnya, perkembangan pemikiran ilmu administrasi publik membawa

perubahan besar bagi peran pemerintah di masyarakat juga perubahan

hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Oleh karena itu administrasi


64

publik merupakan tempat dimana para aparat pemerintahan atau eksekutif

melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan sektor publik khususnya

penyediaan layanan, bagi kepentingan publik maka peran administrasi publik

sangat menentukan kestabilan, ketahanan, dan kesejahteraan suatu negara.

2.3 Administrasi Pembangunan

Administrasi pembangunan dikembangkan di Negara-negara berkembang

karena adanya kebutuhan untuk membangun dan mengembangkan tatanan

kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek

kehidupan (sosial, politik, ekonomi) agar pelaksanaan pembangunan dapat

berhasil. Administrasi pembangunan tercipta disaat terjadinya pasca perang

dunia ke-2. Munculnya konsep ini adalah hasil pemikiran yang lahir dari para

pakar administrasi Negara, yang cenderung kecewa melihat hasil dari pasca

perang dunia ke-2, yaitu banyaknya Negara-negara bekas jajahan menjadi hilang

kendali terutama masyarakatnya. Secara umum, masyarakat di Negara-negara

bekas jajahan tersebut mengalami trauma yang cukup berat untuk memulai

kehidupan karena tidak adanya lagi tanda-tanda kehidupan di Negara mereka.

Tjokroamidjojo (1995: 5) mengungkapkan alasan munculnya konsep

administrasi pembangunan yaitu pertama yang menjadi munculnya konsep

administrasi pembangunan adalah keinginan masyarakat bekas jajahan tersebut

untuk memulai kehidupan yang baru dengan penuh damai dan tenteram.

Keinginan menjadi suatu motivasi bagi pakar administrasi Negara untuk

melakukan perubahan di Negara-negara bekas jajahan yang akhirnya menjadi

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perubahan tersebut dilakukan

dengan tahapan modernisasi, yaitu tahapan perubahan yang dilakukan dengan


65

proses industrialisasi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang maju

(modern).

Kedua, terdapatnya masalah interrelasi antara administrasi sebagai ilmu

maupun sebagai praktek di bidang-bidang kehidupan yang lain. Kedua alasan

tersebut menjadi pikiran utama bagi para pakar ilmu administrasi Negara untuk

membentuk kelompok studi komparatif (Comparative Administration Group)

Kartasasmita (1997: 1) bahwa administrasi pembangunan adalah bidang

studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang

membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya sedangkan dalam

sudut praktiknya administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar

dalam satu pengertian yakni administrasi dan pembangunan. Administrasi

pembangunan secara umum juga menjelaskan tentang administrasi bagi

pembangunan dan pembangunan administrasi.

Indrawijaya dan Pranoto (2011:11), bahwa administrasi pembangunan

adalah suatu organisasi bagi usaha pembangunan sosial ekonomi yang bersifat

dinamis dan inovatif dengan mengupayakan perubahan berbagai aspek

kehidupan masyarakat melalui berbagai pengerahan dan alokasi sumber daya

untuk kegiatan pembangunan. Kemudian Hakim (2011: 40) menjelaskan bahwa

administrasi pembangunan adalah proses yang dilakukan oleh administrator

dalam upaya mendorong masyarakat ke arah modernisasi yang multi-

dimensional secara administrative.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka administrasi pembangunan

berfungsi untuk merumuskan kebijakan dan program-program pembangunan dan

melaksanakannya secara efektif dengan pendekatan multidisiplin. Administrasi

pembangunan, apabila dilihat dari asal terciptanya maka konsep ini bersumber
66

dari administrasi negara. Namun, walaupun mempunyai persamaan dalam

pencapaian tujuan akan tetapi mempunyai perbedaan dalam pelaksanaan.

Administrasi pembangunan sebagai bidang studi, dilihat dari

perkembangannya melalui studi administrasi perbandingan (comparative

administration), yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu administrasi, dan

mendukung pembangunan nasional di negara-negara berkembang. Dengan

demikian, administrasi pembangunan dapat bersifat dinamis dan inovatif dalam

menciptakan perubahan-perubahan sosial.

Administrasi pembangunan mempunyai peran penting di negara-negara

berkembang atau negara-negara yang sedang membangun untuk

mengembangkan lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, ekonomi

agar dapat mencapai tujuan pembangunan. Untuk memicu keberhasilan

pembangunan dibutuhkan administrasi pembangunan yang bersifat dinamis, dan

inovatif sebagai upaya mengandalkan perubahan-perubahan sosial.

Esman menjelaskan administrasi pembangunan dalam beberapa

pemikiran yang rasional (Bhattacharya, et.al, 2015: 25-26), yaitu:

1. Economic growth and modernization occurs through a


deterministic sequence of stages. All societies are destined to
participate in this beneficial evolution, but it can be accelerated
through wise policy. (Pertumbuhan ekonomi dan modernisasi terjadi
melalui urutan tahapan deterministik. Semua masyarakat ditakdirkan
untuk berpartisipasi dalam evolusi yang menguntungkan namun dapat
dipercepat melalui kebijakan)
2. Development can be facilitated through transfer of possessions
and technologies from advanced to underdeveloped countries.
Imparted capital speeds up growth, while technology increases
efficiency and facilitates modernization. (Pembangunan dapat
difasilitasi melalui pengiriman barang dan teknologi dari negara maju ke
negara terbelakang. Modal yang disempurnakan mempercepat
pertumbuhan, sementara teknologi meningkatkan efisiensi dan
memfasilitasi modernisasi).
3. State is a benevolent institution and the principal instrument of
development. The Roosevelt reforms and the Keynesian
prescription for economic management all required a proactive
67

state. (Negara adalah lembaga yang baik dan mempunyai instrument


utama dalam pembangunan. Roosevelt dan Keynesian bahwa pemikiran
reformasi untuk manajemen ekonomi mewajibkan negara yang proaktif)
4. Balanced development requires the mastery of modern science,
including the science of economics and control of the main levers
of public policy. Development decisions should be in the hands of
benevolent technocratic planners, protected through enlightened,
modernizing political leaders. (Perkembangan yang seimbang
membutuhkan penguasaan ilmu modern, termasuk ilmu ekonomi dan
pengendalian utama dalam kebijakan publik. Keputusan pembangunan
harus berada di tangan perencana teknokratis yang baik melalui
pencerahan, pemimpin politik yang modern) )
5. Bureaucracy is the main vehicle and exemplification of modern
administration. When its members are adequately trained and
equipped with appropriate technologies, it can be a reliable and
effective instrument of modernizing elites. (Birokrasi adalah
kenderaan dan contoh pemerintahan yang modern. Ketika anggotanya
dilatih secara memadai dan dilengkapi dengan teknologi yang tepat,
maka dapat menjadi instrument yang andal dan efektif untuk
modernisasi elit).
6. The attentive public, specially the leaders of the developing
countries eager for growth and modernization, will sacrifice other
values in order to achieve these goals, and welcome the material
contributions and intellectual tutelage of westerners. (Perhatian
publik, khususnya kepada para pemimpin negara-negara berkembang
yang menginginkan pertumbuhan dan modernisasi, akan mengorbankan
nilai-nilai dalam pencapaian tujuan dan menyambut baik kontribusi
material dan pembelaan intelektual orang barat).
7. The transformation from backwardness to progress will be rapid
and benefits will be widely shared. Since economic growth
produces full employment and increased labor productivity, there
is little need for explicit concern with distributive issues.
(Transformasi dan keterbelakangan menuju kemajuan akan tepat dan
masyarakat dibagi secara luas, karena pertumbuhan ekonomi
menghasilkan lapangan kerja yang penuh dan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja, hanya sedikit kebutuhan untuk perhatian
eksplisit terhadap masalah distributif).
8. Development will yield enhanced well-being as well as the
preconditions for political democracy, but these depend on the
maintenance of political stability. Since premature democratic
participation could overload and destabilize fragile political
institutions, it should not be emphasized throughout the transition
period. (Pembangunan akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan
dan juga prasyarat untuk demokrasi politik, namun ini bergantung pada
pemeliharaan stabilitas politik, karena partisipasi demokratis yang terlalu
dini dapat membebani dan mengacaukan institusi politik yang rapuh,
seharusnya tidak ditekankan selama masa transisi)
68

Berdasarkan pemikiran Esman tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pembaharuan yang dilakukan di suatu negara sangat berhubungan dengan

administrasi pembangunan secara teori dan praktek dalam mewujudkan good

governance. Maka, seorang administrator pembangunan membutuhkan keahlian

khusus, pendekatan khusus dan pengetahuan khusus yang mampu menghadapi

tantangan dan memberikan problem solving (pemecahan masalah).

Terdapat dua ruang lingkup dalam administrasi pembangunan yaitu

administrasi bagi pembangunan dan pembangunan administrasi. Ke duanya

mempunyai pendekatan yang berbeda, yaitu administrasi bagi pembangunan

menggunakan pendekatan manajemen sedangkan pembangunan administrasi

menggunakan pendekatan organisasi. Bhattacharya, et.al (2015: 53) bahwa

Development administration concentrates on the needs and desires of the


people, it is concerned with formulation of plans, programmes, policies
and projects and their implementation. It plays a central role in carrying
out planned change i.e. it is concerned with planning, co-ordination,
control, monitoring and evaluation of plans and programmes. (Konsentrasi
administrasi pembangunan pada kebutuhan dan keinginan masyarakat,
berkaitan dengan perumusan rencana, program, kebijakan dan proyek
dan implementasinya. Ini memainkan peran sentral dalam melakukan
perubahan yang direncanakan, yaitu berkaitan dengan perencanaan,
koordinasi, pengendalian, pemantauan dan evaluasi rencana dan
program)

Terkait masalah administrasi bagi pembangunan maka akan berkaitan

dengan masalah manajemen pembangunan. Tjokroamidjojo (1995:15),

menggambarkan secara sederhana ruang lingkup administrasi pembangunan

sebagai berikut:
Penyempurnaan Untuk Mendukung:
Administrasi Negara 1. Proses perumusan kebijaksanaa-
a. Kepemimpinanan, kebijaksanaan dan program-
Koordinasi, program pembangunan. Sering
Pengawasan tercermin dalam suatu rencana Perubahan-
b. Administrasi pembangunan atau suatu perubahan ke arah
fungsionil kerangka kebijaksanaan yang
kepegawaian, konsisten 1. Modernisasi
keuangan, sarana- (dalam proses administrasi 2. Pembangunan
sarana lain, dan maupun proses politik) Bangsa
perlembagaan 3. Pembangunan
ADMINISTRASI dalam arti sempit 2. Tata pelaksanaannya secara Sosial Ekonomi
PEMBANGUNAN (The Development of efektif (instrumen = administrasi
Administration) pembangunan)

Penyempurnaan
Administrasi
perencanaan dan Substansi Kebijaksanaan-
pelaksanaan kebijaksanaan dan program-program Partisipasi
pembangunan pembangunan dalam berbagai
Masyarakat
bidang: politik, ekonomi, sosial,
(The Administration budaya, hankam dan lain-lain
of Development)

Gambar 2.1 Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan (yang disederhanakan)


Sumber: Tjokroamidjojo (1995:15)

69
70

Berdasarkan gambar 2.1 di atas dapat diuraikan bahwa administrasi

pembangunan terdiri dari dua ciri yaitu pembangunan administrasi dan

administrasi bagi pembangunan. Pembangunan administrasi berorientasi kepada

kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada perubahan-perubahan yang dianggap

lebih baik terutama dalam penyempurnaan administrasi negara yang meliputi

kepemimpinan, koordinasi, pengawasan; administrasi fungsionil kepegawaian,

keuangan, sarana-sarana yang lain. Sedangkan administrasi bagi pembangunan

berorientasi kepada perbaikan dan penyempurnaan administrasi perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan.

Keduanya bertujuan untuk mendukung pembaharuan dalam melakukan

perbaikan-perbaikan di setiap bidang agar dapat mewujudkan pemerintahan

yang baik dan efektif. Proses keduanya juga didukung oleh kebijaksanaan dan

program di berbagai bidang (ekonomi, politik, sosial, budaya dan lainnya).

Perubahan yang dilakukan mengarah kepada modernisasi, pembangunan

bangsa dan pembangunan sosial ekonomi, namun dalam proses perumusan

kebijaksanaan dan program dibutuhkan keterlibatan semua pemangku

kepentingan (pemerintah, masyarakat, pengusaha/swasta, akademisi dan

media).

Ruang lingkup administrasi pembangunan pada sisi administrasi bagi

pembangunan (the administration of development) secara khusus berorientasi

tentang bagaimana penyempurnaan administrasi melalui perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan. Penyempurnaan yang dilakukan merupakan

pembaharuan yang dapat mendukung mewujudkan tata pemerintahan yang baik

dalam setiap sektor termasuk pada sektor pariwisata.


71

Penyempurnaan administrasi pada sektor pariwisata yang meliputi

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan juga berkaitan dengan perumusan

kebijakan dan program yang dapat mendukung tercapai tujuan penyelenggaraan

pemerintahan. Pada proses ini juga membutuhkan inovasi-inovasi yang dapat

membawa perubahan ke lebih baik dengan melihat dari semua sisi yaitu sumber

daya dan sektor lainnya. Pengembangan pada sektor pariwisata sangat

membutuhkan proses penyempurnaan ini sehingga dapat mewujudkan

pariwisata yang berdaya saing dan unggul. Namun, mewujudkannya juga

membutuhkan partisipasi masyarakat dalam mendukung segala perubahan yang

ada seperti modernisasi, pembangunan bangsa dan pembangunan sosial –

ekonomi sehingga pengembangan potensi pariwisata pada akhirnya dapat

terintegrasi dengan sektor lainnya melalui koordinasi yang baik dan efektif.

Pembangunan pariwisata tidak hanya membutuhkan administrasi bagi

pembangunan saja, tetapi juga membutuhkan pembangunan administrasi,

karena dalam pembangunan pariwisata yang terencana harus adanya koordinasi

efektif yang dilakukan oleh pemimpin yang andal dan mampu berkomunikasi

dengan semua pihak dalam membangun interaksi atau hubungan baik di semua

sektor, juga sekaligus mampu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

kebijakan yang mendukung pembangunan pariwisata.

Sektor pariwisata juga membutuhkan dukungan sarana dan prasarana

dalam efektifitas pembangunan yang dilakukan sehingga dapat mewujudkan

pariwisata yang mampu berdaya saing di tingkat nasional dan internasional dan

menjadi kekuatan daerah dalam menciptakan perubahan-perubahan yang

membawa dampak positif bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah

khususnya pada peningkatan pendapatan daerah dan meningkatkan


72

kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, administrasi pembangunan

sebagai suatu proses pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah untuk

melaksanakan pembangunan yang terencana dan terarah menuju kondisi yang

lebih baik dalam berbagai aspek.

2.4 Perencanaan

Manajemen pembangunan merupakan bagian dari manajemen publik

berdasarkan perspektif administrasi publik yang mempunyai ciri-ciri khas.

Sedangkan administrasi pembangunan pengembangan dari konsep administrasi

negara yang diaplikasikan ke dalam pengelolaan pembangunan yang dilakukan

oleh pemerintah. Melalui manajemen pembangunan, maka peran pemerintahan

semakin terlihat di titik sentralistik.

Kartasasmita (1997: 48), bahwa analisis manajemen pembangunan

terdapat beberapa fungsi nyata yang dilakukan di daerah, yaitu 1) perencanaan;

2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya; 3) pengerahan (menggerakkan)

partisipasi masyarakat; 4) penganggaran; 5) pelaksanaan pembangunan yang

ditangani langsung oleh pemerintah; 6) koordinasi; 7) pemantauan dan evaluasi;

8) pengawasan. Fungsi-fungsi ini sangat penting dalam pelaksanaan

pembangunan dan menjadi suatu pola untuk peningkatan pemanfaatan sumber

daya yang tersedia sehingga dapat mewujudkan good governance.

Perencanaan adalah bagian dari manajemen pembangunan, yang

merupakan proses administrasi dan proses politik dalam pengambilan keputusan

yang mempunyai jangka waktu. Sesuai dengan konsep manajemen

pembangunan yang dikemukakan oleh Nurman (2015: 130), yaitu tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatan pemanfaat sumber daya yang


73

dimiliki sebagai tata pola untuk pembaharuan dan pencapaian tujuan secara

efektif dan efisien yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan terkait

perencanaan dan penganggaran.

Secara hakikatnya, perencanaan dikembangkan berdasarkan teori

perencanaan, tetapi teori perencanaan berkembang sebagai lanjutan dari

pengalaman tentang usaha manusia untuk mengatasi keadaan lingkungan

kehidupannya. Maka, ilmu perencanaan sangat dibutuhkan dalam

merencanakan sebuah daerah yang disebabkan oleh perencanaan membahas

tentang pemahaman konteks praktek-praktek yang bertitik tolak dan berpikir

pada pencapaian tujuan (trend oriented planning) serta hasil perencanaannya

lebih bersifat komunikatif atau bottom up. Namun, Churchil (Elzafina, 2011:2)

berpendapat bahwa “If you fail to plan, you plan to fail” (Jika anda gagal

merencanakan sesuatu, anda berencana untuk gagal) yang dimaksusdnya

adalah bahwa apabila kegagalan dalam merencanakan sama halnya dengan kita

merencanakan kegagalan itu sendiri.

Pernyataan Churchil di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia itu harus

mempunyai keinginan untuk hidup lebih baik dan memiliki keinginan maju di

berbagai kebutuhannya baik secara spiritual maupun material yang tidak terukur

batas kualitas dan kuantitasnya. Namun, pada sisi yang berbeda, bahwa

manusia itu memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya yaitu dibatasi

ruang dan waktu). Maka, manusia itu harus bisa merencanakan sesuatu dalam

kehidupannya untuk mendukung dan mencapai keinginan yang dimilikinya, dan

juga harus bisa mengelola segala keterbatasannya untuk mewujudkan keinginan

tersebut.
74

Pengelolaan keterbatasan tersebut itulah gunanya perencanaan.

Wihatnolo dan Dwidjowijoto (2006: 6), terdapat dua asumsi dalam tindakan

perencanaan yang dibutuhkan, yaitu pertama, manusia membuat perencanaan

agar sumberdaya alam yang terbatas itu dapat bertahan lebih lama untuk

menyediakan kebutuhan manusia. Kedua, manusia membuat perencanaan agar

dapat menikmati kesejahteraan sebelum manusia dan alam itu habis.

Pada awal abad 20 terjadinya kebutuhan terhadap penataan lingkungan

terjadi kegagalan pembangunan sehingga muncullah teori perencanaan baru.

Pertengahan abad 20 teori baru yang muncul itu teori tentang perilaku,

lingkungan fisik mendasari teori sistem dan perilaku. Selanjutnya akhir abad 20,

muncul teori yang diharapkan dapat memecahkan masalah yaitu radical planning

(perencanaan yang mengharapkan dapat memberikan perubahan pada kondisi

yang ada secara radikal (keseluruhan) agar menjadi kondisi yang diinginkan dan

communicative planning (perencanaan yang merubah kondisi berdasarkan hasil

komunikasi dan atau kesepakatan bersama).

Tipologi keterkaitan teori dan perencanaan dalam teori-teori perencanaan

(planning theory) terkait 3 (tiga) teori, yaitu theory of planning (yang menekankan

pada proses perencanaan dan teori prosedural), theory in planning (yang

menggunakan teori-teori lain untuk perencanaan) dan theory for planning

(menjelaskan manfaat perencanaan).

Penjabaran tipologi perencanaan yang dimaksud di atas, tidaklah sama

dengan yang dijelaskan oleh Faludi (1973), yaitu ada 2 (dua) teori dalam

perencanaan yaitu theory of planning dan theory in planning. Faludi juga

menjabarkan perbedaan antara kedua teori ini, terkait dalam posisi keduanya

dalam ilmu perencanaan, namun kedua teori ini dibutuhkan untuk perencanaan
75

yang efektif. Maka, Faludi melakukan pemisahan terhadap theory of planning

dan theory in planning yaitu dengan memahami teori perencanaan yang sudah

ada sebelumnya dan digunakan untuk memetakan masalah. Hal ini terkait

dengan masalah-masalah yang terkait dengan teori perencanaan.

Pemisahan yang dilakukan oleh Faludi pada kedua teori tersebut (theory

of planning dan theory in planning), yaitu pertama, perencanaan dianggap

sebagai serangkaian prosedur untuk mencapai tujuan dalam perencanaan dan

terdapat serangkaian tahapan dalam perencanaan yang harus diikuti sehingga

menghasilkan rencana dan secara umum teori ini bergantung kepada aspek

administratif (theory of planning atau procedural planning). Sedangkan yang

kedua, bahwa terdapat substansi atau teori yang perlu diketahui dan dipahami

oleh perencana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, atau dengan kata lain

perencana mencari konsep dan metode yang tepat untuk menemukan solusi-

solusi dalam pemecahan masalah (theory in planning atau substantive planning).

Secara teori keduanya dapat dipisahkan, namun secara praktek procedural

planning dan substantive planning tidak dapat dibedakan atau dipisahkan. Faludi

(1973) dalam prakteknya kedua teori ini harus dapat berkolaborasi sehingga

menghasilkan perencanaan yang efektif. Ini juga terkait harus adanya kesetaraan

dan kesesuaian dengan bidang ilmu yang lainnya, maka seorang ahli perencana

juga membutuhkan para ahli di bidang ilmu yang lain dalam perancangan

perencanaan. Akhirnya, Faludi menggambarkan bahwa adanya hubungan yang

jelas antara procedural planning dan substantive planning, namun hubungan ini

juga dapat menyebabkan tidak jelasnya posisi perencanaan sebagai suatu

bidang ilmu, maka diperlukan adanya theory for planning.


76

Kemudian, Friedmann (1987), menyatakan bahwa perencanaan adalah

bentuk pendefenisian masalah ke dalam cara-cara yang dapat diterima untuk

melakukan tindakan atau mengintervensi suatu kebijakan. Selanjutnya, Conyers

dan Hills (1984), mendefenisikan perencanaan sebagai suatu proses

berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan

berbagai alternative penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu pada masa mendatang.

Para perencana juga harus dapat memahami dan menghadapi

permasalahan-permasalahan yang ada. Faludi (1973) membagi 3 (tiga) hal yang

harus dikuasai oleh perencana dalam memecahkan masalah, yaitu pemahaman

tentang perencanaan, perbandingan dan transfer pengalaman serta meta-

planning. Pemahaman perencana tentang perencanaan berbeda-beda terkait

kepada kemampuan dan pemikiran yang dimiliki, untuk menyajikan konsep

perencanaan sebagai kerangka kerja. Perbandingan dan transfer pengalaman,

bahwa seorang perencana harus berusaha membandingkan pengalaman yang

diperolehnya untuk mendapatkan informasi-informasi untuk membangun

kerangka kerja yang menghasilkan perencanaan yang efektif. Sedangkan

metaplanning, adalah permasalahan dalam memperbaiki lembaga perencanaan

dan prosedurnya secara sistematis untuk melaksanakan reformasi.

Secara umum, substantive planning dapat membantu para perencana

untuk memahami wilayah kerja mereka sedangkan procedural planning dapat

membantu para perencana untuk memahami dirinya sendiri sebagai cara

melakukan pekerjaannya. Pemisahan terhadap kedua teori ini dikarenakan

adanya suatu kritikan yaitu tidak adanya nilai politik serta adanya pengabaian

terhadap tingginya pengaruh politik dalam perencanaan.


77

Pentingnya perencanaan yang efektif bertujuan untuk memberikan

manfaat yang besar dan memperkecil permasalahan yang dihadapi dalam

melaksanakan perubahan-perubahan di bidang kehidupan. Hal ini dikarenakan

bahwa planning as a process of thinking (perencanaan sebagai proses berpikir)

dan planning as professional practice (perencanaan sebagai praktek

professional). Dengan demikian, perencanaan itu harus disusun dan dirumuskan

sehingga dapat diimplementasikan karena terkait proses pengambilan

keputusan.

Perencanaan sebagai proses berpikir, dimaksudkan karena pada

dasarnya proses perencanaan adalah proses pemikiran manusia dan bertindak

sesuai dengan hasil pemikiran tersebut. Faludi (1983: 18), menjelaskan bahwa

perencanaan sebagai proses berpikir merupakan aplikasi dari metode ilmiah

untuk pembuatan kebijakan. Sedangkan perencanaan sebagai praktek

professional yang berkaitan dengan pedoman untuk melakukan atau bertindak di

masa depan. Conyers dan Hills (1984: 3), bahwa perencanaan sebagai praktek

professional, merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan, atau

pilihan tentang cara-cara alternatif untuk menggunakan sumber daya yang

tersedia, dengan mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perencanaan merupakan proses

secara terus menerus melibatkan pilihan atau keputusan-keputusan yang

bersumber dari ide atau gagasan yang berkaitan dengan bagaimana melakukan

perencanaan dan berkaitan dengan cara-cara untuk mewujudkan apa yang telah

menjadi hasil pemikiran yang mempunyai tujuan di masa yang akan datang.

Perencanaan disusun dan diimplementasikan untuk mempermudah dalam


78

pencapaian tujuan pembangunan yang telah diagendakan. Kemudian,

Perencanaan juga dijelaskan oleh Bhattacharya, et.al (2015: 85), bahwa:

Planning means to determine what is to be done and how it is to be


done. In a very broad and general method, planning may be treated as a
systematic pre-thought out process of determining the objectives of
administrative effort and of devising the means calculated to achieve
them. (Perencanaan menentukan apa yang harus dilakukan dan
bagaimana hal itu harus dilakukan. Melalui metode yang sangat luas
dan umum, perencanaan dapat dianggap sebagai proses pra-pikir yang
sistematis untuk menentukan tujuan usaha administratif dan merancang
cara yang dihitung untuk mencapainya)

Sejalan dengan pernyataan di atas, Mahi dan Trigunarso (2017:1)

menjelaskan secara umum bahwa teori perencanaan terkait dalam 3 (tiga) hal,

meliputi defenisi perencanaan, substantive perencanaan (yaitu apa yang akan

direncanakan dan untuk siapa merencanakannya?) dan normative perencanaan

(yaitu bagaimana dan apa alasan perencanaan yang telah dikemukakan).

Dengan demikian, bahwa dalam perencanaan terkait kepada pemikiran dan

tindakan manusia yang mempunyai orientasi ke masa depan (dilihat dari sudut

kegiatan), apabila dilihat secara rasional, maka perencanaan terkait proses yang

menentukan tindakan yang akan dilakukan di masa depan sedangkan

perencanaan sebagai problem solving merupakan proses pemecahan masalah

yang berorientasi kepada jenis masalah yang akan ditindak lanjuti dan diberikan

solusinya.

Friedman (1987), juga menegaskan bahwa perencanaan tidak sekedar

normative (ought to be) atau bagaimana produk perencanannya (how planning

is), tapi harus interpretatif, aplikatif, adaptif dan pembelajaran. Hal ini juga

berdasarkan bahwa sebuah perencanaan adalah hasil dari sebuah pemikiran

yang dirancang oleh manusia.


79

Senada dengan pernyataan di atas, maka Branch (1998: 55-56),

menyatakan bahwa hasil daripada perencanaan dapat dijadikan sebuah sistem

secara komprehensif. Dalam perencanaan prosedural yang komprehensif bisa

disamakan sebagai dasar perencanaan rasional lainnya dengan melalui langkah-

langkah yang meliputi pengumpulan data serta informasi yang deskriptif, analistik

dan mengambil hasil keputusan yang paling baik selanjutnya melakukan revisi.

Faludi (1983: 193), juga menjelaskan bahwa teori perencanaan yang

komperehensif meliputi konsep dan analisis dari berbagai bagian organisasi yang

akan mempengaruhi hasil pembangunan. Pernyataan ini menegaskan bahwa

seorang perencana harus mempunyai pemikiran yang komperehensif sehingga

dapat mengerti kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mempunyai

pengetahuan dan pemahaman yang berhubungan dengan kepentingan

masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran Faludi, maka Friedman (1987: 24-25)

menyarankan pada para perencana untuk lebih memahami tentang teori

perencanaan yang menjadi dasar dalam mengambil kebijakan, karena teori

perencanaan selalu mengalami perkembangan baik dari segi teori dan praktek.

Maka, dalam penyusunan perencanaan pembangunan juga terdapat dua fungsi

yaitu perumusan kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaannya secara

efektif. Fungsi perencanaan pembangunan yang terkait perumusan

kebijaksanaan dilakukan dalam proses administrasi tetapi juga dalam proses

politik karena proses perumusan kebijaksanaan adalah termasuk dalam wilayah

administrasi. Tetapi mekanisme, tata kerja dan proses analisa dalam perumusan

kebijaksanaan berkaitan dengan bidang ilmu yang lainnya, seperti ekonomi,

sosial, budaya dan lain-lain.


80

Mahi dan Trigunarso (2017: 4), bahwa dalam proses penyusunan

perencanaan terdapat komponen-komponen dalam merumuskan kebijakan dan

program pembangunan. Adapun komponen-komponen tersebut, meliputi:

diagnosis masalah, perumusan tujuan, proyeksi dan perkiraan, pengembangan

alternatif, analisis kelayakan, evaluasi dan pelaksanaan (implementasi).

Diagnosis Masalah

Perumusan Tujuan

Proyeksi dan Perkiraan

Analisis Kelayakan

Evaluasi

Tidak ?
?
Ya

Implementasi

Gambar 2.2 Model Proses perencanaan


Sumber: Mahi dan Trigunarso (2017: 4)

Mahi dan Trigunarso (2017: 4-5), menjelaskan keterangan dari masing-masing

komponen adalah:

1. Diagnosis Masalah
81

Perencanaan dimulai dengan adanya ketidakpuasan terhadap keadaan

yang ada, berupa isu-isu yang berkembang dan dikembangkan. Bila tidak

ada isu dan masalah tentu tidak aka nada kebutuhan dan tindakan.

Diagnosis masalah tergantung pada gambaran keadaan yang diinginkan

yang berfungsi sebagai sasaran (goal) yang akan dituju.

2. Perumusan Tujuan

Perumusan tujuan berkaitan dengan defenisi masalah, oleh karena itu

pendefenisian masalah merupakan hal yang sangat penting. Apabila

defenisi masalah dapat dibuat dengan jelas, maka pendefenisian tujuan

dapat dilakukan dengan jelas. Tantangan yang tersulit dalam

perencanaan adalah menerjemahkan tujuan-tujuan yang kabur dan saling

tidak selaras dengan sasaran-sasaran operasional yang ingin dicapai.

Tujuan harus lebih dahulu dirumuskan sebelum rencana tindakan

dikembangkan dalam sasaran-sasaran jangka pendek ataupun jangka

panjang.

3. Proyeksi dan Perkiraan

Orientasi masa depan sangat ditekankan dalam defenisi perencanaan.

Prediksi merupakan aspek yang penting dalam mengevaluasi dan

menentukan alternative-alternatif yang mungkin dilakukan. Evaluasi tidak

dapat dilakukan tanpa memproyeksikan dampak berbagai alternative ke

dalam kondisi-kondisi yang mungkin terjadi di masa depan. Proyeksi dan

perkiraan sangat tergantung pada data, informasi yang kita miliki dan

kontinuitas fenomena yang dianalisis.

4. Pengembangan Alternatif
82

Suatu rencana yang baik tidak akn keluar dari serangkaian alternative.

Proses perencanaan seringkali mengabaikan pengembangan alternative,

padahal tahap ini mempunyai pengaruh yang mendalam pada kualitas

keputusan akhir, sebab keputusan tersebut berasal dari rangkaian pilihan

yang akan dipilih dlam rencana tersebut.

5. Analisis Kelayakan

Analisis kelayakan mengajukan pertanyaan tentang setiap pilihan yang

telah dikembangkan. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

sebenarnya mudah untuk dikenali bila hambatan tersebut telah

dipertimbangkan lebih dahulu, namun yang sering terjadi justru hal ini

diabaikan dalam perencanaan. Hambatan-hambatan yang kurang nyata

dapat berupa hambatan politis atau kelembagaan, dan hal-hal inipun

harus dipertimbangkan dalam suatu rencana yang realistis.

6. Evaluasi

Tahap evaluasi dimulai bila perencana telah mempunyai sejumlah

alternative yang diperkirakan akan dapat dilaksanakan. Bila hanya ada

satu alternative, maka harus ada keputusan ya atau tidak yaitu

melaksanakan rangkaian tindakan yang diusulkan atau tidak melakukan

apa-apa sama sekali. Suatu kriteria yang umum digunakan adalah

efisiensi. Alternative mana yang memberikan hasil terbanyak dengan

biaya yang sama.

7. Pelaksanaan (Implementasi)

Suatu komitmen politis yang kuat nampaknya merupakan suatu syarat

yang diperlukan, walaupun belum tentu mencukupi. Tujuan-tujuan yang


83

didefinisikan secara jelas yang dapat diterjemahkan ke dalam sasaran-

sasaran yang dapat dimonitor, merupakan hal yang penting.

Fungsi perencanaan dapat dirumuskan, yaitu sebagai pedoman

pelaksana, dapat mengadakan perkiraan dan pelaksanaan yang akan dilalui,

memilih alternative, alat standar untuk mengadakan pengawasan, menjawab

kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Penyusunan

perencanaan yang baik juga harus didukung oleh data dan informasi yang akurat

dan memadai, maka perencanaan pembangunan sangat erat kaitannya dengan

manajemen pembangunan. Hal ini disebabkan karena perencanaan

pembangunan mempunyai jangka waktu dalam merumuskan kebijakan dan

melaksanakan program pembangunan. Keterlibatan pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam perencanaan pembangunan merupakan salah satu upaya

untuk mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap terkait permasalahan

sosial yang dihadapi.

Perencanaan yang dirumuskan berkaitan dengan strategi, kebijakan,

program, proyek dan prosedur yang bertujuan untuk pencapaian tujuan yang

telah ditentukan. Penyusunan perencanaan adalah bagian awal dari proses

pengambilan keputusan yang dilakukan dengan pengkajian yang mendalam

terhadap masalah sosial yang dihadapi kemudian dilaksanakan sesuai dengan

tujuan yang telah ditetapkan.

Chowdhury dan Kirkpatrick (2005: 5), bahwa perencanaan identik dengan

interaksi berbagai pihak yang mempunyai nilai komunikasi sehingga perumusan

dan pelaksanaan kebijakan serta program di setiap aspek kehidupan dapat

berjalan dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Rinaldi (2016: 80), bahwa:
84

The degree of local planning developed has allowed us to analyze how


local institutions responded to the EU partnership principle over the last
three programming periods, as well as to represent the level of
dynamicity of individual councils and the local density of local
programming initiatives (Tingkat perencanaan daerah yang
dikembangkan memungkinkan untuk menganalisis bagaimana institusi
lokal menanggapi prinsip kemitraan UE selama tiga periode program
terakhir, serta untuk mewakili tingkat dinamika dewan individu dan
kepadatan lokal dari inisiatif program lokal)

Interaksi yang baik dalam perencanaan pembangunan merupakan salah

satu kemampuan pemerintah sebagai seorang perencana untuk berkomunikasi

dengan pemangku kepentingan yang lainnya (pihak-pihak yang terlibat dalam

proses perumusan kebijakan). Komunikasi yang baik dalam berinteraksi maka

akan memudahkan pemerintah untuk melaksanakan tugasnya sebagai agen

pembangunan.

Menciptakan perencanaan yang efektif juga mempunyai syarat utama.

Abe (2005: 9), terdapat syarat yang harus disiapkan daerah dalam penyusunan

perencanaan, yaitu:

1. Syarat Internal, terdiri dari:

a. Kesiapan masyarakat adalah kemauan masyarakat untuk keluar dari

tradisi lama yang serba sentralistik kepada tradisi baru yang

desentralistik sehingga masyarakat mampu untuk memulai

mengambil inisiatif atau masyarakat memiliki kesadaran untuk

mengaktualisasikan aspirasinya.

b. Kesiapan perangkat daerah, bukan saja masyarakat yang harus siap

tetapi juga perangkat daerah. Kesiapan ini terkait dengan sikap

mental dan cekatan mengambil inisiatif, berkemampuan kreatif dan

cepat respon dalam merumuskan aspirasi masyarakat.


85

c. Kesiapan mesin pembangunan, terkait dengan situasi dan kondisi

yang kondusif yang dapat mendukung kesiapan masyarakat dan

kesiapan perangkat daerah untuk lebih berproduktif.

d. Otonomi daerah, disini berkaitan dengan kewenangan daerah untuk

benar-benar merealisasikan aspirasi masyarakat.

2. Syarat Eksternal, terdiri dari

a. Pemerintah (an) Pusat, terkait dengan kesungguhan yang meliputi

adanya upaya policy reform pada segenap segi dan sektor yang di

dalamnya masih mencerminkan semangat sentralisasi, untuk

digantikan dengan kebijakan baru yang lebih menampilkan wajah

desentralisasi, serta perubahan sikap mental dari pemerintahan pusat

untuk tidak lagi berpikiran dan bertindak dalam koridor sentralisasi

melainkan mulai membangun iklim kepercayaan, dan suasana yang

membuat daerah bisa mengambil inisiatif dan tidak saling

mengganggu.

b. Daerah-daerah lainnya, yang terkait dengan harus adanya kerjasama

yang baik antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Kerjasama ini dibangun untuk saling menguatkan potensi daerah

yang satu dengan yang lain karena setiap daerah mempunyai potensi

yang berbeda.

Sejalan dengan syarat yang dijelaskan di atas, maka perencanaan juga terkait

dalam pengelolaan pembangunan, dalam pemanfaatan sumber-sumber daya

dan memobilisasi sumber daya yang mencakup semua bidang kehidupan.

Perencanaan yang disusun merupakan sebuah pilihan keputusan untuk menata


86

masa depan. Namun, Handayaningrat (1984: 126) menyatakan dalam

pencapaian perencanaan mempunyai dua kemungkinan yaitu bersifat pesimis

dan optimis. Bersifat pesimis berdasarkan atas kepercayaan bahwa apa yang

diinginkan tidak akan terjadi. Sedangkan yang bersifat optimis berdasarkan atas

kepercayaan bahwa sesuatu dapat dilakukan dengan harapan bahwa yang

diinginkan akan terlaksana.

2.4.1 Tahapan Perencanaan

Secara umum, pelaksanaan perencanaan membutuhkan tahapan-

tahapan dalam melaksanakan program kerja pembangunan. Tahapan

perencanaan merupakan instrumen yang dilaksanakan untuk merumuskan dan

melaksanakan program dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Conyers

dan Hills (1984: 74-75), bahwa dalam perencanaan terdapat beberapa tahapan,

yaitu

1. Decision to adobt planning. Tahapan awal yang harus dilakukan


adalah pembuatan keputusan untuk menyusun perencanaan
2. Establish organizational framework for planning. Pada tahapan ini
adalah penyusunan kerangka organisatoris untuk pembuatan
perencanaan.
3. Specify planning goals. Tahap ketiga ini adalah menetapkan tujuan
yang hendak dicapai dalam perencanaan.
4. Formulate objective. Setelah tahapan perumusan tujuan, maka pada
tahapan ini adalah merumuskan sasaran dari sesuatu perencanaan.
5. Collect and analizie data. Pada tahapan kelima adalah mengumpulkan
dan menganalisis data.
6. Identity alternative courses of section. Setelah data dikumpulkan dan
dianalisis, maka selanjutnya adalah menetapkan tindakan alternative
yang akan dilaksanakan.
7. Appraise alternative courses of actions. Setelah ditetapkan tindakan
alternative, maka pada tahapan ini adalah menilai tindakan alternative
tersebut.
8. Select preferred alternative. Pada tahapan ini, yang dilakukan adalah
membahas alternative yang terpilih.
9. Implement. Selanjutnya, alternative yang terpilih diimplementasikan.
10. Monitor and evaluate. Adalah melakukan monitoring dan evaluasi.
87

Tahapan-tahapan perencanaan yang dikemukan Conyers dan Hills

(1984:75) merupakan sebuah siklus. Proses dari tahapan tersebut berjalan terus

menerus. Jika perencanaan yang telah diimplementasikan, maka harus adanya

monitoring dan evaluasi. Hasil monitoring dan evaluasi dalam implementasi

kemudian menjadi feedback yang akhirnya menjadi masukan untuk perencanaan

selanjutnya.

Selanjutnya Abe (2005: 77-84), mengemukakan bahwa sebuah

perencanaan terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh yang merupakan

langkah untuk menyusun perencanaan dari bawah, dan bukan perencanaan

daerah atas inisiatif dari pemerintah daerah. Adapun tahapan yang dikemukakan

Abe adalah

Penentuan
Anggaran
Langkah-
langkah
Rumusan
Tujuan
Identifikasi
Daya Dukung
Perumusan
Masalah
Penyelidikan

Gambar 2.3 Langkah-langkah Perencanaan


Sumber: Abe (2005:77)

Kemudian, Abe (2005: 78-84) menjelaskan masing-masing tahapan

perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, penyelidikan adalah sebuah proses untuk

mengetahui, menggali dan mengumpulkan persoalan-persolan yang berkembang

di masyarakat. Dalam proses ini keterlibatan masyarakat menjadi faktor kunci

yang tidak bisa ditawar. Dengan demikian, proses penyelidikan tidak lain dari

proses mengajak masyarakat untuk mengenali tidak lain dari proses mengajak
88

masyarakat untuk mengenali secara seksama problem-problem yang mereka

hadapi.

Kedua, perumusan Masalah adalah tahap lanjut dari hasil penyelidikan.

Data atau informasi yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa sehingga

daripadanya diperoleh gambaran yang lebih lengkap, utuh dan mendalam. Untuk

mencapai perumusan, pada dasarnya dilakukan suatu proses analisis atas

informasi, data atau pengalaman hidup massa rakyat. Proses analisis sendiri

bermakna sebagai tindakan untuk menemukan kaitan antara satu fakta dengan

fakta yang lain.

Fakta -
Pengalaman

Mengurai
Kesimpulan Fakta

Analisis

Gambar 2.4 Proses Analisis


Sumber: Abe (2005:79)

Rumusan masalah yang dilakukan dalam proses analisis juga harus

mencerminkan kebutuhan dari komunitas (masyarakat). Pertama-tama agar

masukan, data yang dihimpun benar-benar merupakan apa yang dirasakan dan

apa yang menjadi keprihatinan dari masyarakat sesuai dengan fakta dan

pengalaman yang ada. Kemudian, mengurai fakta harus dapat memilah-milah

mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan.


89

Selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan subyektivitas yang tinggi dan

menyimpulkan untuk menghasilkan prioritas kebutuhan-kebutuhan dasar dari

masyarakat.

Ketiga, identifikasi daya dukung ini terkait melainkan keseluruhan aspek

yang bisa memungkinkan terselenggaranya aktivitas dalam mencapai tujuan dan

target yang telah ditetapkan. Daya dukung akan sangat tergantung pada: a)

Persoalan yang dihadapi; b) Tujuan yang hendak dicapai; serta c) aktivitas yang

akan dilakukan. Daya dukung yang dimaksudkan bisa bermakna ganda: a) Daya

dukung kongkrit, actual, ada tersedia; b) Daya dukung yang merupakan potensi

(aka nada, atau bisa diusahakan). Pemahaman mengenai daya dukung ini

diperlukan agar rencana kerja yang disusun tidak bersifat asal-asalan.

Empat, rumusan tujuan. Tujuan yang dirumuskan, berdasarkan kurun

waktu yaitu tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Berdasarkan sifatnya yaitu tujuan taktis dan tujuan strategis. Bagi masyarakat,

setiap usaha perubahan, tentu saja ditujukan untuk keperluan membangun,

dalam arti mentransformasikan kehidupan masyarakat, sehingga bisa dicapai

suatu kualitas kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna.

Lima, langkah-langkah yakni proses menyusun apa saja yang akan

dilakukan. Proses ini merupakan proses membuat rumusan yang lebih utuh

perencanaan, dalam sebuah rencana tindakan. Umumnya suatu rencana

tindakan akan memuat: a) Apa yang hendak dicapai; b) Kegiatan yang hendak

dilakukan; c) Pembagian tugas atau pembagian tanggung jawab (siapa

bertanggung jawab atas apa); d) Waktu (kapan dan berapa lama kegiatan akan

dilakukan). Maka, untuk menyusun langkah yang baik diperlukan; a) Kejelasan


90

rumusan, pernyataan harus tegas, dan tidak menimbulkan penapsiran yang

berbeda-beda.

Enam, penentuan anggaran. Perencanaan anggaran disini bukan berarti

menghitung uang, melainkan suatu usaha untuk menyusun alokasi anggaran

atau sumber daya yang tersedia. Penyusunan anggaran ini akan sangat

menentukan berhasil tidaknya sebuah perencanaan. Anggaran juga bisa

bermakna sebagai sarana kontrol.

Berdasarkan tahapan perencanaan yang dikemukakan oleh Abe tersebut,

sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Faludi (1973: 35), bahwa

perencanaan selalu berarti mengambil tindakan cerdas dan rasional, dan

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terbagi dalam dua cara:

pertama, mengidentifikasi cara terbaik untuk mencapai tujuan. Kedua,

memberikan kontribusi untuk belajar, dan karenanya untuk pertumbuhan di masa

depan.

Proses Perencanaan Rumusan Rencana

•Mengidentifikasi masalah Diskusi •Situasi, Kondisi dan Kebutuhan


•Menetapkan tujuan dan target Intensif yang •Perubahan yang diinginkan
Melibatkan
•Identifikasi sumber daya •Peluang dan sumber daya yang
pendukung
Masyarakat tersedia
•Merumuskan rencana tindakan •Rincian rencana kerja
•Menyusun anggaran •Anggaran

Gambar 2.5 Proses dan Rencana


Sumber: Abe (2005: 80)

Faludi dan Abe sependapat dalam sebuah proses perencanaan sangat

membutuhkan data dan informasi untuk mendukung perumusan rencana yang

dapat menghasilkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pelibatan

masyarakat dari berbagai kelompok dalam diskusi proses perencanaan


91

merupakan hal terpenting untuk menghasilkan perencanaan yang efektif.

Keterlibatan masyarakat ini dapat memberikan arahan dan informasi yang sesuai

dengan fakta sehingga dapat dianalisis dalam perumusan perencanaan yang

mampu menghasilkan hasil yang mampu berdaya saing secara global.

Proses perencanaan yang dilakukan maka seorang perencana harus

dapat memberikan argumen yang memiliki relevansi dalam pengambilan

keputusan sehingga perencanaan dapat menjadi sebagai penentu dalam

tindakan untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ini adalah tingkat

melatih perencana untuk dapat memberikan solusi tertentu dalam proses

perencanaan melalui pengambilan keputusan. Maka, untuk mendukung keahlian

perencana dalam pengambilan keputusan dalam proses perencanaan sangat

diperlukan strategi yang efektif untuk menentukan tujuan dan sasaran.

Seperti yang diungkapkan oleh Saul M. Katz (Tjokroamidjojo, 1995: 9),

bahwa perencanaan dilihat sebagai suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan,

maka ada beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya perencanaan, yaitu:

1. Dengan adanya perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan

kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang

ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan.

2. Dengan perencanaan maka dilakukan suatu perkiraan (forecastine)

terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilakukan.

Perkiraan dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek

perkembangan tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-

resiko yang mungkin dihadapi.

3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai

alternative tentang cara yang terbaik (the best alternative) atau


92

kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik (the best

combination)

4. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih

urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun

kegiatan usahanya.

5. Dengan adanya rencana maka akan adanya suatu alat pengukur atau

standar untuk mengadakan pengawasan/evaluasi (control/evaluation).

Berdasarkan pernyataan Saul M. Katz di atas, sebuah perencanaan

dapat dikatakan sebuah pilihan keputusan untuk menata masa depan, dengan

sebuah proses dan metodologi yang tepat serta mengeleminasi berbagai faktor

tertentu maka perencanaan bisa terwujud dengan baik. Maka, tahapan

perencanaan menjadi penting untuk mengukur perkiraan yang tepat dengan

metodologi yang tepat juga maka, dapat menciptakan keberhasilan suatu

perencanaan.

2.4.2 Perencanaan Strategis

Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan

pembangunan, secara otomatis akan menghasilkan kinerja yang menjadi tolak

ukur keberhasilan dari penyelenggaraan pemerintahan. Maka, dalam pencapaian

tujuan tersebut diperlukan suatu rencana strategis untuk mengoptimalkan kinerja

suatu organisasi. Awal dari untuk melakukan pencapaian tujuan pembangunan

adalah adanya perencanaan strategis organisasi yang dapat menentukan apa

yang harus dilakukan organisasi dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang

telah ditetapkan.
93

Perencanaan strategis merupakan sebuah alat penilaian dari

kepemimpinan yang berbentuk kinerja. Perencanaan strategis menjadi alat untuk

membuat sebuah pengambilan keputusan. Allison dan Kaye (2005:4) yang

menjelaskan bahwa perencanaan strategis sebuah alat untuk pengambilan

keputusan yang melibatkan asumsi-asumsi tentang masa depan namun

keputusan yang dibuat untuk masa sekarang. Perencanaan strategis ini

dipengaruhi oleh berbagai aspek yang dimungkinkan dapat mempengaruhi

keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi sehingga harus benar-benar

dipersiapkan secara matang, detil dan komprehensif sehingga kecenderungan

mencapai keberhasilan yang sangat tinggi.

Pada awal abad 20-an, kebutuhan terhadap perencanaan strategis

menjadi meningkat seiring dengan kompleksitas organisasi-organisasi dan

adanya hubungan antar Negara yang menjadi lebih kompleks dan global. Veal

(2002: 88), mengemukakan bahwa istilah perencanaan strategis dan manajemen

strategis telah digunakan pada pendekatan perencanaan dan manajemen yang

bertujuan untuk memastikan bahwa tujuan jangka menengah dan panjang

diberikan keunggulan, dan manajemen sehari-hari digunakan untuk pencapaian

tujuan tersebut.

Konsep perencanaan strategis ini diterapkan oleh Pemerintah Amerika

Serikat tat kala sedang mengalami krisis ekonomi di tahun 1970-an. Sejak saat

inilah konsep perencanaan strategis mulai diterapkan di sektor publik.

Perencanaan strategis merupakan bagian dari konsep perencanaan yang

dikembangkan. Faludi (1973) juga bahwa dalam pemahaman perencanaan untuk

menghadapi berbagai masalah dalam suatu kegiatan maka harus dapat

memperkirakan, mengarahkan pada identifikasi yang dapat menghasilkan hasil


94

yang terbaik. Terdapat 10 (sepuluh) langkah yang dilakukan dalam perencanaan

strategis seperti yang dikemukakan oleh Bryson (2011:46) yaitu: 1) Memulai dan

menyetujui proses perencanaan strategis; 2) Identifikasi mandat organisasi; 3)

Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi; 4) Menilai lingkungan eksternal dan

internal untuk mengindentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman; 5)

Identifikasi masalah strategis yang dihadapi organisasi; 6) Merumuskan strategi

untuk mengelola masalah; 7) Mengkaji dan mengadopsi rencana atau rencana

strategis; 8) Menetapkan visi organisasi yang efektif; 9) Kembangkan proses

implementasi yang efektif; 10) Menilai kembali strategi dan proses perencanaan

strategis.

Faludi juga mengatakan bahwa perencanaan berkaitan dengan cara

terbaik untuk menghasilkan hasil sehingga para perencana dapat berasumsi

dalam memahami pendekatan yang mengarah ke pengetahuan yang lebih besar

lagi. Terkait dengan hal itu, bahwa perencanaan juga merupakan suatu tindakan

yang tepat dalam melakukan perubahan. Dengan demikian, dapat diklaim bahwa

perencanaan strategis adalah bagian dari perencanaan.

Tindakan tepat yang dimaksud dalam perencanaan adalah proses yang

dilakukan secara sistematis, terstruktur dan mempunyai arah untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu rencana kerja. Maka, Wibowo

(2016:37), menjelaskan bahwa dalam perencanaan strategis adalah proses

memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan yang

dapat memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Selanjutnya, Bryant

(1997); Shapek (2000) mengemukakan bahwa perencanaan strategis

memberikan yang komprehensif dan terukur atau kapasitas suatu organisasi.

Karakteristik dari perencanaan strategis adalah analisis yang sistematis


95

berdasarkan data untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah serta

mengembangkan strategi-strategi untuk menyadari bahwa sebuah visi yang jelas

didasarkan pada defenisi misi.

Kemudian, Obsen dan Eadie (Riyadi dan Bratakusumah, 2005: 280),

bahwa perencanaan strategis adalah upaya yang didisiplinkan untuk membuat

keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana

menjadi organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas

lainnya) mengerjakan hal-hal seperti itu. Pernyataan ini, seiring dengan yang

dikemukakan oleh Djunaedi (2001) bahwa konteks administrasi publik terdapat

perencanaan strategis untuk sektor publik yang mempunyai karakteristik, yaitu:

1. Dipisahkan antara rencana strategis dengan rencana operasional.


Rencana strategis memuat antara lain: visi, misi dan strategis (arahan
kebijakan); sedangkan rencana operasional memuat program dan
rencana tindakan (aksi).
2. Penyusunan rencana strategis melibatkan secara aktif semua
stakeholders di masyarakat (dengan kata lain, Pemerintah bukan satu-
satunya pemeran dalam proses perencanaan strategis)
3. Tidak semua isu atau masalah yang dipilih untuk ditangani. Dalam
proses perencanaan strategis, ditetapkan isu-isu yang dianggap paling
strategis atau focus-fokus yang paling diprioritaskan untuk ditangani.
4. Kajian lingkungan internal dan eksternal secara kontinyu dilakukan
agar pemilihan strategi selalu up to date berkaitan dengan peluang dan
ancaman di lingkungan luar dan mempertimbangkan kekuatan dan
kelemahan yang ada di lingkungan internal.

RENCANA STRATEGIS: Antara lain memuat: Visi, Misi,


Isu-isu Strategis dan Strategi

RENCANA OPERASIONAL: Antara lain memuat:


Program dan Proyek/Rencana Tindakan

TINDAKAN/AKSI

Gambar 2.6 Proses dan Bagian Perencanaan Strategis


Sumber: Djunaedi (2001)
96

Gambar 2.6 di atas, mempetakan perencanaan strategis dalam tiga

tahapan perencanaan, yaitu Pertama, perumusan rencana strategis yang di

dalam terdapat rumusan visi, misi, isu-isu strategis dan strategi pelaksanaan.

Maksudnya bahwa setiap dalam suatu perencanaan harus memiliki visi dan misi

yang jelas, yang dirumuskan berdasarkan isu-isu strategis yang terjadi di dalam

organisasi. Selain rumusan visi dan misi diperlukan rumusan strategi

pelaksanaan yang harus dilakukan untuk mencapai visi dan misi tersebut.

Kedua, rencana operasional yang dikembangkan dari strategi

pelaksanaan yang merujuk kepada visi dan misi. Rencana operasional

didalamnya terdapat rumusan program dan proyek atau rencana tindakan.

Ketiga, tindakan aksi yang merupakan implementasi dari program atau proyek

yang telah direncanakan.

Perencanaan strategis di sektor publik cenderung lebih berorientasi

kepada pencapaian tujuan yang dilakukan dengan tahapan yang sistematis,

dimana setiap bidang atau sektor saling berkaitan dan saling mempengaruhi.

Pencapaian tujuan dalam perencanaan strategis menghasilkan hasil-hasil yang

dapat terukur, rencana-rencana tindakan yang mengarah kepada pengambilan

keputusan dengan consensus, komitmen dan tindakan.

Kemudian, Toft (Riyadi dan Bratakusuma, 2005: 288) berpendapat bahwa

perencanaan strategis sektor publik biasanya lebih berorientasi pada pencapaian

tujuan yang dilihat berdasarkan pengukuran terhadap hasil-hasil pelaksanaan

dari rencana tindakan. Perencanaan ini lebih menekankan pada perumusan

tujuan, hasil-hasil yang dapat terukur, dan rencana-rencana tindakan.

Sedangkan dokumen rencana tindakan mengarahkan pengambilan keputusan

dengan consensus, komitmen dan tindakan.


97

Perencanaan strategis juga dapat menjadi sebuah strategi dalam

pencapaian tujuan pembangunan yang merupakan bagian dari sistem

administrasi yang mencakup pengambilan keputusan yang dapat mewujudkan

keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi atau antar

daerah juga mewujudkan keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran.

Riggs (1986: 13), bahwa strategi pembangunan yang berdasarkan pada tuntutan

keseimbangan (keselarasan), tidak hanya dilihat dari segi ekonomi, namun juga

non ekonomi, yaitu politik, sosial, budaya, administrasi dan lembaga-lembaga

terkait. Proses ini juga dapat mendukung iklim pertumbuhan yang baik sehingga

terciptanya stabilitas sosial di masyarakat, maka dalam perencanaan

pembangunan harus jelas arah dan sasaran kebijakannya sehingga dapat

merumuskan rencana strategis dalam pelaksanaan pembangunan di setiap

bidang.

2.5 Perencanaan Pembangunan

Pembangunan dapat bersifat fisik dan non fisik, proses dan tujuan, dan

duniawi maupun rohaniah. Secara umum, konsep pembangunan diartikan

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapan dalam kehidupan

bermasyarakat. Pembangunan juga dilakukan mengikuti perkembangan zaman,

dan identik dengan tingkat laju pertumbuhan dan pemerataan pendapatan

masyarakat.

Konsep pembangunan juga banyak dikemukakan oleh para ahli seperti

Todaro (1997); Afifuddin (2010); Theresia et al (2014), bahwa pembangunan

merupakan proses multidimensi yang terkait dengan rangkaian kegiatan yang

melakukan perubahan dalam bidang struktur, sistem sosial ekonomi, sikap


98

masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Leftwich

(2000:17), mengemukakan konsep pembangunan adalah:

“Development as historical progress, development as the exploitation of


natural resources, development as the promotion of planned economic,
and (sometimes) social and political advancement, development as a
condition, development as a process, development as economic growth,
development as structural change, development as modernization,
development as an increase in the forces of production” (Pembangunan
dilihat sebagai kemajuan historis, pembangunan sebagai eksploitasi
sumber daya alam, pembangunan sebagai promosi kemajuan ekonomi,
dan (kadang kala) sosial, dan politik yang direncanakan, pembangunan
sebagai suatu kondisi, pembangunan sebagai suatu proses,
pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi, pembangunan sebagai
perubahan struktural, pembangunan sebagai modernisasi dan
pembangunan sebagai suatu peningkatan kekuatan produksi)

Sen (1999:3), development can be seen as a process of expanding the real

freedoms that people enjoy (pembangunan dapat dilihat sebagai perluasan

kemerdekaan nyata yang dinikmati oleh masyarakat). Hajar dan Tanjung (2016),

bahwa pembangunan merupakan pergeseran dari suatu kondisi nasional yang

satu menuju kondisi yang lain, dan dipandang lebih baik dan berharga. Demikian,

maka pembangunan dapat diartikan sebuah proses untuk melakukan perubahan

kehidupan agar lebih berkualitas baik bersifat duniawi maupun rohaniah.

Keberhasilan pembangunan yang diharapkan, tidak semudah yang

dibayangkan khususnya bagi Negara-negara berkembang. Kenyataan ini terkait

dengan masalah-masalah publik yang menjadi tantangan dan kendala dalam

pencapaian tujuan pembangunan, seperti masalah ekonomi, politik, sosial

budaya dan lainnya. Theresia et al (2014:3), bahwa:

Melaksanakan proses pembangunan harus dilakukan dengan sadar


dan terencana yang artinya pembangunan tersebut dilaksanakan
melalui suatu proses perencanaan terlebih dahulu, untuk menganalisis
masalah-masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi,
tujuan-tujuan yang ditetapkan atau yang hendak dicapai, alternative
pencapaian tujuan dan pengambilan keputusan tentang cara-cara
99

mencapai tujuan yang terpilih, dengan senantiasa mempertimbangkan;


kekuatan, kelemahan, peluang dan risiko yang harus dicapai.

Proses pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat dipisahkan dengan

pertumbuhan. Sebagai akibatnya, setiap program pembangunan mempunyai

kaitan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga sebaliknya

pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan pembangunan nasional. Di

Indonesia, salah satu sektor yang berkaitan dengan program pembangunan dan

peningkatan pertumbuhan ekonomi yaitu sektor pariwisata. Maka, pencapaian

tujuan pembangunan ini harus dapat terencana dengan baik.

Secara fundamental, pembangunan daerah terkait peningkatan laju

pertumbuhan ekonomi daerah, peningkatan pendapatan per kapita, pengurangan

angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan secara signifikan. Maka,

paradigma baru pembangunan daerah sangat mengunggulkan potensi daerah

yang ada di daerah bersangkutan dapat sesuai dengan kebutuhan

masyarakatnya dan juga kemajuan suatu daerah dapat diukur dari besarnya

angkatan kerja yang telah berhasil diserap melalui kegiatan pembangunan yang

telah direncanakan dan ditetapkan oleh daerah. Koncoro (2004) mengemukakan

bahwa paradigma baru pembangunan daerah, mencakup:

1. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah


bersangkutan, serta kebutuhan dan kemampuan daerah menjalankan
pembangunan
2. Pembangunan daerah tidak hanya terkait dengan sektor ekonomi
semata melainkan keberhasilannya juga terkait dengan faktor lainnya,
seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan lainnya.
3. Pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas
dan memiliki pengaruh untuk menggerakkan sektor lainnya secara
cepat.

Salah satu proses dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah

pengambilan keputusan untuk mewujudkan kondisi yang dapat mendorong dan


100

mendukung pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan

dalam perencanaan. Pengambilan keputusan yang dilakukan dalam pelaksanaan

pembangunan dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan semua aspek

penting seperti visi dan misi pembangunan, kondisi dan potensi daerah,

permasalahan pokok dan proyeksi pembangunan ke depan.

Proses pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pembangunan,

haruslah mempunyai prioritas yang paling diutamakan untuk pencapaian sasaran

pembangunan yang dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Sjafrizal

(2014:63), prioritas pembangunan yang dimaksud adalah:

1. Program dan sektor yang diprioritaskan sebaiknya berhubungan erat


dengan visi dan misi pembangunan daerah yang ditetapkan semula
sehingga pencapaian visi dan misi tersebut menjadi lebih terjamin.
2. Program dan sektor yang diprioritaskan sebaiknya mencakup sebagian
besar dari kehidupan sosial ekonomi pada negara dan daerah
bersangkutan, seperti sektor pertanian, sumber daya manusia, sektor
industry dan lainnya.
3. Kegiatan dan sektor tersebut merupakan sektor unggulan dan
mempunyai keuntungan komperatif tinggi sehingga dapat diharapkan
untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat pada negara dan daerah bersangkutang.
4. Program dan kegiatan tersebut dapat mendukung dan bersinergi dengan
kegiatan lainnya sehingga proses pembangunan secara keseluruhan
akan menajdi lebih maju dan berkembang.
5. Program dan kegiatan yang diprioritaskan haruslah layak dalam arti
manfaatnya yang dapat diberikan adalah lebih besar dari biaya yang
diperlukan untuk pelaksanaannya.
6. Program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
daerah bersangkutan sehingga membangun tidak mendapatkan reaksi
negative dari masyarakat setempat

Prioritas pembangunan daerah ditetapkan dengan memperhatikan

potensi dan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat sehingga menjadi

masalah utama yang harus diselesaikan. Rinaldi (2016) program pembangunan

daerah merupakan tingkat perencanaan lokal yang melibatkan semua

stakeholder termasuk dewan, sebagai proses pengambilan keputusan. Maka,


101

prioritas program pembangunan dapat dirinci dan lebih spesifik apabila semua

pemangku kepentingan dapat saling bekerjasama dan berinteraksi dengan baik

apalagi yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan.

Isu-isu yang dijadikan prioritas dalam penyusunan perencanaan

pembangunan hanya dapat diperoleh jika aspirasi dan tuntutan itu dijadikan

suatu informasi yang diterima oleh pemerintah dari para pemangku kepentingan.

Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan untuk memperoleh data dan informasi

terkait permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Keterlibatan pemangku kepentingan juga mengacu kepada sistem kerja.

Seperti yang diungkapkan oleh Rinaldi (2016) bahwa sistem kerja yang tercipta

berdasarkan hasil dari kerjasama dan integrasi yang baik antara pemerintah

dengan stakeholder, maka dapat mengidentifikasi daerah-daerah dengan

kekuatan khusus melalui tingkat perencanaan misalnya wilayah daerah yang

paling dinamis dalam membangun kebijakan pembangunan daerah.

Pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk

melaksanakan pembangunannya berdasarkan potensi dan kemampuan yang

dimilikinya serta yang berisi peluang dan kesempatan untuk berkembang dengan

cepat dan berkelanjutan adalah perencanaan pembangunan daerah. Namun,

tidak semua Negara menggunakan perencanaan untuk mendorong proses

pembangunan, seperti negara-negara maju (Amerika Serikat dan Erofa). Akan

tetapi di Negara berkembang, perencanaan pembangunan dijadikan sebagai alat

untuk mendorong dan mengendalikan proses pembangunan secara keseluruhan.

Rencana pembangunan daerah dihasilkan oleh perencanaan pembangunan

daerah dan menetapkan kegiatan-kegiatan pembangunan sosial ekonomi, fisik


102

(infrastruktur) yang dilaksanakan secara terpadu oleh sektoral, publik dan

swasta.

Perencanaan pembangunan, berdasarkan konsep admininistrasi

pembangunan yang dijelaskan sebelumnya, bahwa perencanaan pembangunan

menitikberatkan pada proses politik, khususnya pada proses perumusan

kebijakan dan penyusunan instrumen untuk mengarahkan dan melaksanakan

pembangunan. Maka, dalam penyusunan perencanaan pembangunan juga

terdapat dua fungsi yaitu perumusan kebijaksanaan pembangunan dan

pelaksanaannya secara efektif. Fungsi perencanaan pembangunan yang terkait

perumusan kebijaksanaan dilakukan dalam proses administrasi tetapi juga dalam

proses politik karena proses perumusan kebijaksanaan adalah termasuk dalam

wilayah administrasi. Tetapi mekanisme, tata kerja dan proses analisa dalam

perumusan kebijaksanaan berkaitan dengan bidang ilmu yang lainnya, seperti

ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Sedangkan perencanaan pembangunan

dalam konsep manajemen pembangunan, dipandang sebagai proses

meningkatkan anggaran untuk pembangunan.

Chowdhury and Kirkpatrick (2005: 18), perencanaan pembangunan

bertujuan untuk melakukan perubahan di semua sektor melalui peningkatan

sumber daya manusia, peningkatan produktivitas berbagai sektor dan

menciptakan lapangan pekerjaan. Jhingan (2016), memberikan pendapat yang

sama tentang perencanaan pembangunan seperti yang diungkapkan oleh

Chowdhury dan Kirkpatrick, namun beliau menambahkan bahwa perencanaan

pembangunan merupakan pengendalian dan pengaturan perekonomian yang

dilakukan dengan sengaja oleh pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan

tertentu di dalam jangka waktu.


103

Menanggapi penjelasan di atas maka, Todaro (1997), juga

menggambarkan perencanaan pembangunan di dalam konteks ekonomi, yaitu

suatu upaya pemerintah yang dilakukan dengan sengaja untuk melakukan

koordinasi pengambilan keputusan ekonomi dalam jangka panjang akan dapat

mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung bagi tingkat

pertumbuhan dalam perekonomian nasional. Dengan demikian, dari penjelasan

perencanaan pembangunan tersebut, maka terdapat komponen utama dari

perencanaan pembangunan, yaitu: 1) Perencanaan pembangunan sebagai

usaha pemerintah secara terencana dan sistematis untuk mengendalikan dan

mengatur proses pembangunan; 2) Perencanaan pembangunan mencakup

periode jangka panjang, menengah dan tahunan; 3) Perencanaan pembangunan

berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan secara keseluruhan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses dan mekanisme

untuk merumuskan rencana jangka panjang, menengah dan pendek di daerah

yang disesuaikan dengan kondisi, aspirasi dan potensi daerah yang dimiliki oleh

daerah tersebut dengan melibatkan semua pihak yang dianggap sebagai

pemangku kepentingan dalam rangka mendukung pembangunan nasional.

Proses penyusunan perencanaan pembangunan juga tidak terlepas dari

penyesuaian iklim daerah dalam melakukan perubahan terkait berbagai variabel

yaitu ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologis dan administrastif.

Secara administratif, perencanaan pembangunan disusun untuk

mencapai tujuan pembangunan nasional yang menjadi suatu lingkaran proses

dalam bidang kehidupan. Proses perencanaan ini tidak terpisahkan antara

kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Riggs (1964:19)


104

bahwa sistem administrasi dalam pembangunan dapat didefenisikan dalam

bentuk tujuan, sumber daya, dan tuntutan yang mengakibatkan adanya

serangkaian barang, layanan dan tindakan terkait.

Perencanaan pembangunan juga salah satu kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah melalui pendekatan manajemen karena terkait dengan pengelolaan

pembangunan. Seperti yang dikemukakan oleh Brayant and White (1997:307),

menyatakan perencanaan berarti penetapan tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas

serta serangkaian kegiatan untuk mencapainya. Dengan demikian, untuk

memaksimalkan proses perencanaan pembangunan nasional perlu adanya

keserasian dalam pengembangan bidang kehidupan melalui proses politik dan

administrasi.

Perencanaan pembangunan merupakan suatu solusi dalam penanganan

masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Russel Ackoff

(Bryant and White, 1997:307), mengatakan perencanaan pembangunan jika

dikontraskan dengan pemecahan masalah, perencanaan seharusnya berkaitan

dengan penanganan suatu sistem masalah secara holistik. Maka, kegiatan

pembangunan yang dilakukan melalui proses perencanaan diharapkan dapat

memberikan hasil yang optimal sehingga dapat melakukan perubahan-

perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat.

Menanggapi pernyataan di atas, Daryanto dan Hafizrianda (2010: 4)

menjelaskan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah terdapat suatu

pendekatan perencanaan yang menggabungkan semua kepentingan atas,

bawah, sektoral atau bidang yang diakomodir dan diselaraskan delam sebuah

perencanaa yang sistematis dan dinamis. Mangiri (2000), bahwa terdapat empat

aspek yang harus diperhatikan dalam melaksanakan perencanaan secara


105

terpadu dan terkoordinir dalam suatu wilayah pembangunan, yaitu keterkaitan,

kuantitas, optimasi dan resiko.

Bryant and White (1997: 315) mengemukakan tentang tugas-tugas

perencanaan pembangunan yang harus dilaksanakan, yaitu:

1. Mengumpulkan dan menaksir indikator-indikator agregat bagi


kondisi-kondisi sosial ekonomi suatu negara.
2. Mengumpulkan dan menaksir data tentang sektor-sektor penting
dalam perekonomian negara.
3. Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara sektor-sektor dalam
rangka menunjukkan secara jelas bidang-bidang kegiatan yang
esensial untuk persoalan-persoalan kunci.
4. Menunjukkan secara jelas pendekatan-pendekatan alternatif kea
rah pembenahan masalah-masalah yang mempengaruhi
perekonomian secara keseluruhan, dan masalah-masalah yang
mempengaruhi sektor-sektor tertentu.
5. Mengidentifikasi implikasi pendekatan-pendekatan alternative
terhadap alokasi.
6. Memberikan identifikasi alternative beserta penjelasannya yang
tegas dan rinci kepada pembuat keputusan tingkat tertinggi,
biasanya pada tataran cabinet. Memaparkan implikasi alternative-
alternatif itu berdasarkan kaitan-kaitan sektoral.
7. Menyusun tindak lanjut bagi keputusan-keputusan yang diambil
pada pembicaraan-pembicaraan perencanaan yang berlangsung
selamanya.
8. Terus menerus memantau indikator-indikator kesejahteraan
ekonomi dan sosial nasional dan memantau indikator hubungan-
hubungan sektoral.
9. Melaksanakan evaluasi dan memastikan bahwa hasil-hasil yang
telah dicapai tercakup dalam perencanaan-perencanaan dan
pembahasan-pembahasan kebijakan berikutnya.

Pembangunan yang tidak terencana dengan baik, maka dapat

menimbulkan permasalahan-permasalahan di setiap bidang kehidupan meliputi

ekonomi, sosial budaya, politik dan lain-lain. Perencanaan dalam pencapaian

tujuan pembangunan berkaitan diperlukan karena kebutuhan pembangunan lebih

besar daripada sumber daya atau potensi yang tersedia di daerah. Maka,

dengan adanya perumusan dan penyusunan perencanaan dalam pembangunan

daerah secara efektif dan efisien dapat memberikan hasil yang optimal melalui
106

pemanfaatan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi tersebut

sebagai alat pendukung program pembangunan.

Berdasarkan peran pemerintah sebagai pendorong, maka terdapat ciri-ciri

perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk pencapaian tujuan

pembangunan, seperti yang dikemukakan oleh Nurman (2015: 134), yaitu:

1. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai


perkembangan sosial ekonomi yang tetap. Hal ini dicerminkan dalam
usaha peningkatan produksi nasional, berupa tingkat laju pertumbuhan
ekonomi yang positif.
2. Usaha yang dicerminkan dalam rencana meningkatkan pendapatan
per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang positif, yang setelah
dikurangi laju pertumbuhan penduduk menunjukkan pula kenaikan
pendapatan per kapita.
3. Usaha yang mengadakan perubahan struktur ekonomi yang
mendorong peningkatan struktur ekonomi agraris menuju struktur
industri.
4. Adanya perluasan kesempatan kerja.
5. Adanya pemerataan pembangunan yang meliputi pemerataan
pendapatan dan pembangunan antar daerah.
6. Lebih menunjang kegiatan pembangunan.
7. Upaya membangun secara bertahap dengan berdasar kemampuan
sendiri atau nasional
8. Usaha terus menerus untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Campur tangan pemerintah dalam perencanaan pembangunan terkait

proses pengarahan adalah sangat penting. Perencanaan pembangunan yang

dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan kepada penggunaan sumber-

sumber pembangunan secara efektif dan efisien juga harus dapat memobilisasi

masyarakat ke arah perubahan baik dari segi ekonomi maupun sosial sehingga

dapat mewujudkan kepentingan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Berdasarkan secara fakta dan data yang ada bahwa peran pemerintah

yang dilakukan tidaklah seperti yang jabarkan di atas. Hal ini disebabkan karena

perencanaan pembangunan tidak dilakukan secara komprehensif, holistik dan


107

matang. Bahkan dalam penyusunan perencanaan, pemerintah cenderung

mengabaikan keterlibatan masyarakat baik secara individu maupun kelompok.

Pengabaian keterlibatan masyarakat ini akhirnya memicu ketidak puasan

masyarakat terhadap kegiatan perencanaan pembangunan khususnya

pariwisata. Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Sitorus, et.al (2016) yang

menyatakan bahwa tingkat partisipasi di kawasan Danau Toba masih pada

kategori tokenisme yaitu sekedar justifikasi dan partisipasi sering menjadi semu.

Ketidak terlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat

menyebabkan potensi daerah dapat tergusur dan hancur sebagai konsekuensi

dari sebuah proses pembangunan.

Perencanaan pembangunan memberikan manfaat dalam pengambilan

keputusan di semua aspek, terutama di negara-negara berkembang. Antara

aspek tersebut harus saling terkait dalam penyusunan perencanaan, sehingga

tercipta mata rantai interaksi dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Pencapaian tujuan yang telah ditentukan dalam perencanaan pembangunan juga

ditentukan dan diukur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan

jangka waktu, maka perencanaan pembangunan dapat dibagi menjadi 3 (tiga)

jenis. Seperti yang dikemukakan oleh Arsyad (2002) yaitu

1. Perencanaan jangka panjang, biasanya mempunyai rentang waktu


antara 10 sampai 25 tahun. Perencanaan jangka panjang adalah
cetak biru pembangunan yang harus dilaksanakan dalam jangka
waktu yang panjang.
2. Perencanaan jangka menengah, biasanya mempunyai rentang waktu
antara 4 sampai 6 tahun. Dalam perencanaan jangka menengah
walaupun masih umum, tetapi sasaran-sasaran dalam kelompok
besar (sasaran sektoral) sudah dapat diproyeksikan dengan jelas.
3. Perencanaan jangka pendek, mempunyai rentang waktu 1 tahun,
biasanya disebut juga rencana operasional tahunan. Jika
dibandingkan dengan rencana jangka panjang dan jangka
menengah, rencana jangka pendek biasanya lebih akurat.
108

Perencanaan pembangunan yang baik, selain harus mempunyai jangka

waktu, juga harus mempunyai sasaran dan target pembangunan secara jelas

untuk periode waktu tertentu. Sasaran perencanaan pembangunan merupakan

bentuk konkret dalam pencapaian tujuan yang telah direncanakan dan

ditetapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut juga perencanaan pembangunan

harus mempunyai target sehingga pelaksanaan kebijakan dan program

pembangunan lebih spesifik.

Penetapan sasaran dan target bertujuan untuk memudahkan pemerintah

daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan

perencanaan pembangunan. Sjafrizal (2014: 56), dalam penetapan sasaran dan

target pembangunan daerah terbagi 3 (tiga) sifat, yaitu

1. Bersifat Makro
Sasaran dan target ini bersifat menyeluruh, seperti pertumbuhan
ekonomi, kemakmuran masyarakat, kemiskinan dan distribusi
pendapatan, penyediaan lapangan kerja dan pengangguran,
kemampuan keuangan daerah dan kebutuhan investasi.
2. Bersifat Sektoral
Sasaran dan target ini berkaitan dengan kemajuan yang dicapai oleh
sektor yang bersangkutan, misalnya jumlah produksi, penciptaan
lapangan kerja, ekspor, impor, dan lainnya.
3. Bersifat Wilayah
Sasaran dan target ini berkaitan dengan pembangunan pada wilayah
tertentu untuk unsur-unsur makro dan sektoral tersebut.

Sasaran dan target dalam perencanaan adalah sebagai alat untuk

memudahkan pelaksanaan program pembangunan. Namun, dalam

pelaksanaannya sasaran dan target juga harus dilakukan dengan cara atau

stretegi untuk memudahkan dalam pencapaian tujuan pembagunan secara tepat

dan terarah.

Penetapan strategi yang tepat dalam melaksanakan pembangunan

daerah, harus mempunyai perencanaan yang baik. Strategi yang ditetapkan


109

harus melihat kondisi, potensi yang dimiliki oleh suatu daerah dan juga kualitas

serta pemanfaatan sumber daya harus mampu mendukung pencaaian tujuan

dan sasaran pembangunan daerah. Maka, strategi yang dilakukan juga harus

didukung dengan perencanaan yang baik.

Strategi yang berhasil dalam melaksanakan kebijakan dan program

pembangunan, maka dapat dijadikan sistem perencanaan yang berhasil.

Keberhasilan pembangunan dapat dibuktikan dengan sistem perencanaan yang

maju dan berhasil, karena melalui sistem ini dapat mendorong peran serta

masyarakat atau pemangku kepentingan dan berkembangnya mekanisme pasar.

Rakhmat (2013:18-19) bahwa sistem perencanaan di Indonesia, mengalami

banyak perkembangan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan

pendekatan dan model perencanaan. Sistem perencanaan pembangunan

nasional bertujuan untuk:

1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan


2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi, baik antar
daerah, antar ruang, antar fungsi pemerintah, maupun antar pusat dan
daerah.menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
3. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
4. Menjamin tercapainya pengguna sumber daya secara efisien dan
efektif serta berkeadilan dan berkelanjutan.

Perencanaan pembangunan harus ditekankan terhadap kebijakan-

kebijakan pembangunan yang didasarkan pada keunggulan atau kekhasan

daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia,

kelembagaan, sumber daya fisik secara lokal (daerah). Penekanan ini juga dapat

meminimalisir ketimpangan pembangunan antar daerah yang akhirnya

ketimpangan tersebut dapat menjadi faktor pendorong untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat, karena setiap daerah mempunyai perbedaan terkait


110

potensi daerah, kondisi geografis, penganggaran, tingkat pertumbuhan ekonomi

dan lain-lain.

Abipraja (2002:14), membagi perencanaan pembangunan bagi negara-

negara berkembang yang dilihat dari jenis dan sifat perencanaannya, yaitu:

1. Perencanaan regional

Dimaksudkan agar daerah dapat melaksanakan pembangunan secara

proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah.

2. Perencanaan sektoral

Perencanaan ini sering sekali disebut dengan perencanaan departemen

karena ada departemen tertentu yang terkait dan terdapat atau disusun

perencanaan sektoral yang dibinanya. Misalnya perencanaan kesehatan,

pertanian, dan sebagainya.

3. Perencanaan proyek

Sering kali disebut sebagai perencanaan APBN atau perencanaan APBD

karena pembangunan proyek yang bersangkutan dilakukan dalam waktu

sekitar setahun dan pembiayaannya dari dana anggaran tahunan yang

tertuang dalam APBN atau APBD

4. Perencanaan terpadu

Disebut juga perencanaan komprehensif maksudnya penyusunan

perencanaan ini ditujukan untuk menghindari adanya perencanaan yang

slaing bertabrakan atau tumpang tindih satu dengan yang lainnya.

Di Indonesia, pelaksanaan pembangunan telah diatur melalui sistem

perencanaan pembangunan nasional. Sistem ini merupakan satu kesatuan tata

cara perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk menghasilkan rencana-


111

rencana pembangunan yang mempunyai jangka waktu dan dilaksanakan oleh

penyelenggara pemerintahan. Sistem perencanaan pembangunan ini juga untuk

memperjelas dalam menentukan kewenangan setiap tingkatan pemerintahan

secara proporsional sehingga mewujudkan pemerintahan yang tertata dengan

baik dapat tercapai. Dengan demikian, perencanaan pembangunan sangat

diperlukan setiap daerah khususnya negara berkembang, karena dengan adanya

perencanaan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki daerah tersebut

dapat dikelola dengan baik sehingga dapat mendukung pelaksanaan

pembangunan. Tujuan dari perencanaan pembangunan ini sebenarnya untuk

menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman dan sejahtera bagi seluruh

masyarakat.

Prioritas perencanaan pembangunan daerah ditetapkan dengan

memperhatikan potensi dan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat

sehingga menjadi masalah utama yang harus diselesaikan. Maka, prioritas

program pembangunan dapat dirinci dan lebih spesifik apabila semua pemangku

kepentingan dapat saling bekerjasama dan berinteraksi dengan baik. Mahi dan

Trigunarso (2017: 45-48), bahwa proses perencanaan pembangunan telah yang

diatur dalam kebijakan tentang tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan

evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah dibagi menjadi empat

proses, yaitu:

1. Proses Teknokratik

Perencanaan yang dilakukan oleh perencana professional, atau oleh

lembaga/unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan.

Pendekatan teknokratis dalam perencanaan pembangunan daerah yaitu

dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai


112

tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metode dan kerangka berpikir

ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara

sistematis terkait perencanaan pembangunan yang berdasarkan bukti fisis,

data dan informasi yang akurat serta dapat dipertanggung jawabkan. Metode

dan kerangka berpikir ilmiah antara lain digunakan untuk:

a. Mereview menyeluruh kinerja pembangunan daerah periode yang lalu.

b. Merumuskan capaian kinerja penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan

pemerintahan daerah masa kini.

c. Merumuskan peluang dan tantangan yang mempengaruhi capaian

sasaran pembangunan daerah

d. Merumuskan tujuan, strategi dan kebijakan pembangunan daerah

e. Memproyeksikan kemampuan keuangan daerah dan sumber daya

lainnya berdasarkan perkembangan kondisi makro ekonomi.

f. Merumuskan prioritas program dan kegiatan SKPD berbasis kinerja

g. Menetapkan tolak ukur dan target kinerja keluaran dan hasil capaian,

lokasi serta kelompok sasaran program/kegiatan pembangunan daerah

dengan mempertimbangkan SPM

h. Memproyeksikan pagu indikatif program dan kegiatan pada tahun yang

direncanakan, serta prakiraan maju untuk satu tahun berikutnya.

i. Menetapkan SKPD penanggung jawab pelaksana, pengendali dan

evaluasi rencana pembangunan daerah.

2. Proses Partisipatif

Perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan pembangunan

(stakeholders) antara lain melalui pelaksanaan Musrenbang. Pendekatan


113

partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua kepentingan

(stakeholders) dengan mempertimbangkan:

a. Relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses

pengambilan keputusan, di setiap tahapan penyusunan dokumen

perencanaan pembangunan daerah.

b. Kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur

pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan keputusan.

c. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta

melibatkan media massa.

d. Keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok

masyarakat rentan termajinalkan dan pengarusutamaan gender.

e. Terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan

pembangunan daerah

f. Terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting

pengambilan keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan

permasalahan, perumusan tujuan, strategi, kebijakan dan prioritas

program.

3. Proses Politik

Pemilihan langsung dipandang sebagai proses perencanaan karena

menghasilkan rencana pembangunan dalam bentuk visi, misi dan program

yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah terpilih selama kampanye.

Pendekatan politis dimaksudkan bahwa program-program pembangunan

yang ditawarkan masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah terpilih pada saat kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD,

melalui:
114

a. Penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi dan program

kepala daerah dan wakil kepala daerah ke dalam tujuan, strategi,

kebijakan, dan program pembangunan selama masa jabatan.

b. Konsultasi pertimbangan dari landasan hukum, teknis penyusunan,

sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran pembangunan nasional

dan pembangunan daerah.

c. Pembahasan dengan DPRD dan konsultasi dengan pemerintah untuk

penetapan produk hukum yang mengikat semua pemangku

kepentingan.

4. Proses Bottom up dan Top down

Perencanaan yang aliran proses dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas

dalam hirarki pemerintahan. Pendekatan perencanaan pembangunan

daerah bawah atas (bottom up) dan atas bawah (top down), hasilnya

diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan mulai dari desa,

kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional sehingga tercipta

sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana pembangunan

nasional dan rencana pembangunan daerah.

Proses penyusunan perencanaan tidak terlepas dari kepentingan politik,

apalagi bertujuan untuk ditetapkan menjadi kebijakan. Maka, dalam perumusan

perencanaan yang dilakukan harus sesuai dengan tahapan dalam suatu proses

perencanaan sehingga pemahaman dan arahan dari pihak-pihak yang terkait

dapat dijadikan solusi untuk menghadapi permasalahan yang dapat menghambat

pembangunan khususnya pariwisata.


115

2.6 Pariwisata

Kajian tentang pariwisata telah dilakukan berbagai disipilin ilmu yang

menghubungkan objek studi dengan bidang kepariwisataan sehingga terjadi

komparasi dalam pengembangan ilmu pariwisata. Membahas kajian pariwisata

dapat dilakukan dengan pendekatan multidisiplin, melalui pendekatan ini dapat

melihat pariwisata sebagai realitas kehidupan manusia yang sangat kompleks

dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda. Terdapat banyak manfaat

dalam mengkaji pariwisata misalnya meningkatnya kegiatan ekonomi,

pemahaman terhadap budaya daerah yang dikunjungi serta pemanfaatan

potensi sumber daya alam dan manusia.

Reid (2003), memandang pariwisata sebagai kekuatan dinamis yang

menghomogenkan masyarakat dan mengkomodifikasi budaya di seluruh dunia,

namun secara historis pariwisata belum menjadi pengalaman positif bagi smeua

pihak yang terlibat dalam pembangunan, atau memperlakukan semua pemangku

kepentingan secara setara. Reid juga mengungkapkan bahwa pariwisata juga

terkait dengan kekuatan global yang dapat memberikan keuntungan dan

keadilan. Mendukung pernyataan reid, maka Elliott (1997: 20), menjelaskan

bahwa pariwisata dapat ditemukan dan dikolaborasi dengan bidang studi yang

lain, seperti sosiologi, geografi, psikologi atau ekonomi.

Pariwisata sebagai multidisiplin ilmu, maka defenisinya tidak dapat persis

sama pada setiap bidang ilmu yang lainnya. Pitana dan Diarta (2009:44),

mengemukakan bahwa pariwisata merupakan konsep yang sangat

multidimensional layaknya pengertian wisatawan karena mempunyai perspektif

yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan Yoeti (2016:

7) menjelaskan bahwa apabila pariwisata diartikan dengan perjalanan (travel),


116

tetapi tidak semua perjalanan dapat disebut sebagai perjalanan wisata (tourism),

maka terdapat beberapa kriteria atau syarat suatu perjalanan, sebagai berikut:

1. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain (from


one place to another place). Perjalanan dilakukan diluar tempat
kediaman dimana orang itu biasanya tinggal.
2. Perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih (more than 24
hours) kecuali bagi excursionist (kurang dari 24 jam)
3. Tujuan perjalanan semata-mata untuk bersenang-senang (to
pleasure) tanpa mencari nafkah di negara, kota atau DTW yang
dikunjungi.
4. Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara
asalnya, dimana ia biasanya tinggal atau berdiam dan bukan
diperoleh karena hasil usaha selama dalam perjalanan wisata yang
dilakukan.

Merujuk pada pandangan di atas, maka Sedarmayanti (2014:1)

menjelaskan bahwa secara pendekatan epistemologi, ontologi dan aksiologi,

pariwisata sama seperti cabang ilmu lain, sehingga dapat disebut sebagai ilmu

tersendiri. Pariwisata adalah institusi sosial yang penting dalam kehidupan

modern, yang dapat dipelajari, mempunyai struktur internal dengan prinsip

operasinya, dan sangat sensitif terhadap pengaruh eksternal, baik kejadian alam

maupun budaya, semua dapat dianalisis.

Pengembangan kajian tentang pariwisata juga semakin banyak semenjak

sektor pariwisata dinyatakan sektor unggulan dalam pembangunan nasional

untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional melalui perolehan devisa.

Tidak hanya di Indonesia, pariwisata juga mempunyai peranan penting dalam

pembangunan ekonomi di berbagai Negara. Demolingo (2015) berpendapat,

bahwa pariwisata juga memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan,

yang menjadi salah satu tujuan pembangunan. Kemudian, Ratman (2016:4)

mengemukakan bahwa pariwisata sebagai kunci pembangunan dilandaskan

pada;
117

1. Meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata, menjadikan


pariwisata sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor,
penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastruktur;
2. Pariwisata telah mengalami ekspansi dan diversifikasi berkelanjutan
dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang terbesar dan tercepat
pertumbuhannya di dunia;
3. Meskipun krisis global terjadi beberapa kali, jumlah perjalanan
wisatawan internasional tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif
yaitu 25 juta orang (1950), 278 juta orang (1980), 528 juta orang
(1995) dan 1,1 milyar orang (2014).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep pariwisata merupakan

konsep yang multidimensional, yang dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin

dicapai, seperti yang dikemukakan oleh Weaver dan Opperman (2000:3), bahwa:

Pariwisata adalah jumlah total fenomena dan hubungan yang timbul dari
interaksi antara wisatawan, pemasok bisnis, pemerintah, masyarakat,
kelompok akademisi, dan organisasi non pemerintah, dalam proses
menarik, mengangkut, dan pengelolaan dengan memberikan
kenyamanan bagi para wisatawan

Sedangkan Antariksa (2016:16), menjelaskan secara konsep kepariwisataan

dikembangkan di dunia Barat, dengan istilah tourism, maka perlu diketahui

bagaimana disana istilah tersebut didefenisikan. Richard R. Goeldner dan J.R.

Brent Ritchie (Antariksa, 2016:16), berpendapat dan mendefenisikan tourism

sebagai

…. The processes, activities and outcomers arising from the


relationships and the interactions among tourists, tourism suppliers, host
government, host communities, and surrounding environments that are
involved in the attracting and hosting of visitors. (Sebagai sebuah
proses, aktivitas dan segala hasil yang muncul dari hubungan antar
pemangku kepentingan di bidang tersebut, termasuk wisatawan itu
sendiri)

Kemudian Fennel (1999:4):

Tourism is defined as the interrelated system that includes tourist and


the associated services that are provided and utilised (facilities,
attaractions, transportation, and accommodation) to aid in their
movement. (Pariwisata didefinisikan sebagai sistem yang saling terkait
118

yang mencakup wisatawan dan layanan terkait yang disediakan dan


dimanfaatkan (fasilitas, atraksi, transportasi, dan akomodasi) yang
bertujuan untuk memudahkan kunjungan)

Selanjutnya, Maza (2016):

Tourism as an anthropological problem contributes to this discussion


when we incorporate the concept of indigenous tourism as part of a state
policy that participates in the construction of ethnicity. (Pariwisata
sebagai masalah antropologis yang berkontribusi sebagai bagian dari
kebijakan negara yang berpartisipasi dalam pembangunan etnisitas)

Berdasarkan konsep pariwisata yang dikemukakan di atas, bahwa bahwa

pariwisata adalah interaksi banyak orang yang meliputi, pemerintah, masyarakat,

wisatawan, kelompok organisasi dan kelompok bisnis yang menjadi sebuah

sistem dalam kegiatan pembangunan daerah dan memberikan kontribusi pada

bagian kebijakan. Pariwisata sebagai kekuatan utama dalam pengembangan

ekonomi masyarakat pedesaan, dan sebagai area penting untuk pertumbuhan

pendapatan dan lapangan kerja dan memberikan dampak kepada masyarakat

sebagai ramah lingkungan. Maka, sangat penting bahwa pada sektor pariwisata

itu membutuhkan kerjasama yang baik dan efektif di semua aspek yang dapat

mendukung pengembangan potensi pariwisata secara berkelanjutan. Pariwisata

dilihat sebagai suatu lembaga yang terkait banyak interaksi, kebudayaan dengan

sejarahnya, kumpulan pengetahun, dan jutaan orang yang merasa dirinya

sebagai bagian dari kelembagaan sehingga pariwisata dapat dipandang dari

berbagai perspektif yang berbeda.

2.6.1 Komponen Pariwisata

Kegiatan pariwisata dipengaruhi oleh beberapa komponen-komponen.

Gunn (1993) bahwa komponen-komponen yang mempengaruhi kegiatan


119

pariwisata terbagi atas dua faktor yaitu komponen sediaan atau supply dari

pariwisata dan komponen permintaan atau demand dari pariwisata.

1. Penawaran (supply) Pariwisata

Penawaran pariwisata mencakup segala sesuatu yang ditawarkan

kepada wisatawan baik wisatawan yang aktual maupun wisatawan yang

potensial. Kegiatan pariwisata yang berkaitan dengan penawaran berkaitan

dengan atraksi wisata alamiah dan buatan, jasa-jasa maupun barang-barang

yang diperkirakan akan menarik perhatian orang-orang untuk mengunjungi suatu

obyek wisata tertentu dalam suatu negara. Terdapat beberapa komponen

penawaran pariwisata yaitu:

a. Obyek Wisata

Obyek wisata harus dapat menarik kedatangan para wisatawan ke lokasi

wisata, meliputi:

1) Aktivitas, misalya kegiatan berburu, menembak, memancing,

berselancar, mendaki gunung, bersepeda, berperahu kano, ski air,

hiking, tea –walk dan sebagainya.

2) Struktur buatan manusia (man made structure), misalnya etnis dan

agama, bangunan-bangunan yang megah dan taman-taman yang

indah, arsitektur dan arkeologi, galeri dan museum dan sebagainya.

3) Berpesiar, misalnya berkeliling daerah selama berhari-hari dengan

keravan, motor, mobil, sepeda, perahu, kapal pesiar dan sebagainya.

4) Peristiwa atau acara khusus, seperti misalnya kontes olahraga,

pagelaran seni dan budaya, pameran, dapat dijadikan sebagai daya

tarik wisata untuk periode yang singkat.


120

5) Fisik alam, biasanya merupakan obyek wisata alam seperti gunung,

sungai, laut, hutan, flora dan fauna, danau, pantai, lembah, kawah dan

lain-lain.

b. Sarana Pariwisata

Sarana pariwisata yang memiliki hubungan cukup penting dengan studi ini

meliputi:

1) Tempat makan: pertimbangan yang perlu dilakukan dalam penyediaan

fasilitas makanan dan minuman antara lain adalah jenis dan variasi

makanan yang ditawarkan, tingkat kualitas makanan dan minuman,

pelayanan yang diberikan, tingkat harga, tingkat higienis, hal-hal lain

yang dapat menambah selera makan seseorang, serta lokasi tempat

makan, biasaya dikaitkan dengan lokasi akomodasi dan rute perjalanan

wisata. (Inskeep, 1991)

2) Tempat parkir; tempat parkir dapat berupa parkir terbuka atau parkir

tertutup dan berdasarkan letaknya, tempat parkir dapat berupa parkir

pinggir jalan dan parkir di luar jalan. Parkir di luar jalan dapat dibuat

bertingkat pada gedung parkir khusus, atau tidak bertingkat (sebidang)

pada lahan yang merupakan bagian dari lahan bangunan fasilitas

tertentu. Lokasi dan rancangan parkir di luar jalan harus dapat

menimbulkan perhatian khusus bagi pemarkir yang akan

menggunakannya.

3) Fasilitas belanja; berbelanja merupakan salah satu aktivitas kegiatan

wisata dan sebagian pengeluaran wisatawan didistribusikan untuk

berbelanja. Karenanya fasilitas terhadap aktivitas belanja perlu

dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata,


121

bukan hanya sebagai pelayanan wisata, namun juga sebagai obyek

wisata yang memiliki daya tarik. Fasilitas dan pelayanan belanja

disediakan bagi pengunjung yang ingin membeli barang-barang seni,

kerajinan tangan, souvenir, barang-barang khas seperti pakaian,

perhiasan dan lain-lain.

4) Sarana pergerakan; keterhubungan antara suatu lokasi dengan lokasi

lain merupakan komponen penting dalam sistem kepariwisataan.

Karenanya untuk menciptakan saling keterhubungan antar berbagai

tempat dalam satu kawasan wisata dan untuk memberi kemudahan

dalam pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain, perlu adanya

prasarana dan sarana pergerakan tersebut harus disesuaikan dengan

keberadaannya di suatu lokasi wisata. Artinya elemen-elemen

pergerakan tersebut harus memiliki nilai daya tarik dan berperan dalam

mendukung aktivitas wisata. (Gunn, 1988)

5) Fasilitas umum; selain sarana yang telah disebutkan di atas, juga

diperlukan fasilitas umum sebagai sarana pelengkap, seperti WC umum

dan tempat ibadah, puskesmas, kantor polisi, rumah makan, pasar,

kantor pos, dan pusat informasi pariwisata.

c. Jasa Pariwisata

Yoeti (2016) jasa pariwisata memiliki sifat khas, yaitu tidak biasa ditimbun

dan akan dikonsumsi pada saat jasa tersebut dihasilkan. Sifat ini dikatakan

bahwa jasa pariwisata adalah pelayanan wisata yang diberikan kepada

wisatawan. Analisis terhadap pelayanan wisata merupakan hal penting.

Komponen pelayanan jasa wisata yang dikaji dalam studi ini meliputi:
122

1) Pusat informasi; dalam pengelompokan komponen-komponen

pariwisata, informasi dan promosi merupakan pelayanan yang sejalan.

Dengan adanya informasi, orang dapat memberikan penilaia yang

berkaitan dengan pengalaman dari perjalanan wisata yang akan

mereka lakukan, dan penilaian ini akan mempengaruhi keputusan

pilihan tujuan wisata.

2) Pemandu wisata; untuk bentuk-bentuk tertentu dalam sistem

kepariwisataan mungkin memerlukan jenis-jenis fasilitas dan pelayanan

wisata khusus yang berkaitan dengan wilayah studi yang memiliki daya

tarik wisata berupa aktivitas jelajah cagar alam, diperlukan suatu jasa

pemandu wisata yang berperan sebagai penunjuk jalan bagi

pengunjung yang melakukan aktivitas penjelajahan tersebut.

d. Prasarana dan Sarana Lingkungan

Prasarana yang cukup merupakan suatu hal yang diperlukan bagi

keberhasilan pengembangan pariwisata, dan pada umumnya juga menjadi

faktor kritis di negara atau wilayah yang belum berkembang yang seringkali

memiliki keterbatasan infrastruktur. Prasarana dasar yang melayani

komunitas penduduk lokal di suatu area seringkali dapat pula melayani

kegiatan pariwisata hanya dengan sedikit menambah jumlah pelayanan.

Unsur dari fasilitas dan layanan pariwisata meliputi daya tarik wisata,

transportasi, akomodasi, fasilitas dan layanan lainnya, dan infrastruktur.

2. Permintaan (demand) Pariwisata

Permintaan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

wisatawan secara kuantitatif, juga terdapat beberapa komponen permintaam

meliputi wisatawan, dan masyarakat setempat. Permintaan potensial adalah


123

sejumlah orang yang secara potensial sanggup dan mampu akan melakukan

perjalanan wisata. Sedangkan permintaan sebenarnya adalah sejumlah orang

yang sebenarnya berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata, artinya sejumlah

wisatawan yang secara nyata sedang berkunjung pada suatu daerah tujuan

wisata. Yoeti (2016) terdapat beberapa karakteristik dari permintaan pariwisata,

yaitu

a. Elastisitas (elasticity)

Pada dasarnya, perjalanan wisata akan dilakukan jika kebutuhan rumah

tangga seseorang sudah terpenuhi sehingga pengeluaran yang dilakukan

untuk perjalanan wisata tersebut tidak akan mengganggu pengeluaran

rumah tangga. Artinya bahwa permintaan menunjukkan elastisitas

langsung dengan besarnya pendapatan (income) di satu pihak dan

perjalanan di pihak lain.

b. Kepekaan (sensitivity)

Permintaan terhadap perjalanan wisata sangat peka atau sensitif

terhadap keadaan sosial, politik dan keamanan negara/daerah yang akan

dikunjungi. Hal ini dilatar belakangi bahwa wisatawan merupakan orang-

orang yang melakukan perjalanan untuk mencari kesenangan.

c. Musim (seasonality)

Permintaan terhadap perjalanan wisata juga ditentukan oleh musim ramai

(peak season) dan musim sepi (off season). Biasanya musim ramai

terjadi pada hari-hari libur seperti libur sekolah, lebaran, Natal. Pada

musim ramai permintaan terhadap perjalanan wisata akan meningkat jika

dibandingkan dengan hari biasa. Permintaan juga dipengaruhi oleh

keadaan iklim yang sedang terjadi di lokasi wisata. Banyak obyek wisata
124

yang bahkan mengandalkan daya tarik wisatanya berdasarkan keadaan

iklim wisata tersebut seperti suhu udara yang dingin, sinar matahari yang

panas dan lain-lain.

d. Perluasan (expansion)

Permintaan terhadap perjalanan wisata cenderung mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun meskipun terjadi hambatan akibat

ketidak seimbangan antara penyediaan dan permintaan. Kecenderunga

ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Kemajuan teknologi transportasi khususnya teknologi penerbangan

2) Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi

3) Meningkatnya kegiatan ekonomi di negara-negara asal wisatawan

4) Bertambahnya waktu luang (leisure time) atau semakin singkatnya

waktu kerja (working hours)

5) Meningkatnya kesadaran masyarakat negara-negara industri

terhadap lingkungan

6) Semakin padatnya penduduk kota-kota metropolitan

7) Meningkatnya pemilikan kendaraan pribadi.

Kegiatan pariwisata dalam faktor-faktor penilaian daya tarik wisata,

menurut Inskeep (1991) terdapat komponen pembentuk pariwisata sebagai

berikut:

1. Atraksi dan kegiatan, dapat bersumber pada alam maupun budaya.

a. Alam: iklim, pemandangan indah, laut dan pantai, flora dan fauna, taman

dan kawasan lindung


125

b. Budaya: arkeologi, sejarah dan tempat-tempat budaya, pola budaya

yang khas, seni dan kerajinan tangan, daya tarik aktivitas ekonomi, daya

tarik perkotaan, museum dan fasilitas budaya lainnya, festival budaya,

ramah tamah kenegaraan.

c. Khusus: taman nasional, taman hiburan, sirkus, shoping, pertemuan,

konferensi dan konvensi, even-even khusus, gambling casino, tempat

hiburan, olah raga dan rekreasi.

2. Akomodasi

3. Fasilitas dan pusat pelayanan, dapat berupa pusat informasi dan pusat

kerajinan

4. Infrastruktur meliputi telepon, faksimili, teleks, listrik, air bersih, sistem

pembuangan air kotor dan sistem pembuangan sampah

5. Sarana dan prasarana transportasi meliputi jalan, pelabuhan, kereta api, dan

kenderaan roda empat

6. Kebijakan pemerintah atau badan hukum dan atau peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan pariwisata baik itu dari pemerintah maupun dari swasta.

Kemudian, Gunn (1993) juga mengemukakan komponen pariwisata yang

meliputi:

1. Sumber daya alam, meliputi air mancur, kolam, sungai, danau, air terjun,

laut, bukit, gunung dan lembah, vegetasi, margasatwa dan iklim.

2. Sumber daya budaya, meliputi arkeologi, sejarah, etnik, adat istiadat,

pendidikan, industri, perdagangan, hiburan, kesehatan, keagamaan dan olah

raga.
126

3. Fasilitas transportasi, meliputi pesawat udara, mobil, trem, kereta kuda

(untuk daerah-daerah yang memiliki fasilitas tersebut), jalan raya, jembatan,

bandara, rel kereta api, pelabuhan dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Pendit (1999), megemukakan bahwa komponen pembentuk

pariwisata meliputi:

1. Politik pemerintah, yaitu sikap pemerintah dalam menerima kunjungan

wisatawan ke negaranya. Unsur ini terdiri dari 2 bagian yaitu politik

pemerintah yang langsung yaitu politik yang langsung mempengaruhi

perkembangan pariwisata di Negara tersebut, dan politik pemerintah yang

tidak langsung, yaitu keadaan atau kondisi sosial, ekonomi dan politik

yang secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan pariwisata.

2. Perasaan ingin tahu. Dasar yang paling hakiki yang melahirkan pariwisata

adalah perasaan manusia yang selalu ingin mengathui segala sesuatu

selama hidupnya.

3. Sifat ramah tamah yang merupakan faktor potensial dalam

pengembangan pariwisata.

4. Jarak dan waktu (aksesibilitas). Ketepatan, kecepatan dan kelancaran

merupakan hal yang dapat mengurangi waktu tempuh yang

dipergunakan.

5. Daya tarik, merupakan segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk

dikunjungi dan dilihat. Daya tarik ini meliputi panorama keindahan alam,

gunung, lembah, ngarai, gua, danau, air terjun, pantai, iklim dan lain

sebagainya.

6. Akomodasi, merupakan unsur yang dengan sendirinya dibutuhkan dan

merupakan rumah sementara bagi wisatawan. Akomodasi ini meliputi


127

hotel, penginapan melati, mess, griyawisata, losmen, pondok remaja dan

perkemahan.

7. Pengangkutan. Syarat-syarat tertentu dalam pengangkutan meliputi jalan

yang baik lalu lintas yang lancar, alat yang cepat.

8. Harga-harga. Dalam menentukan harga-harga, baik itu ongkos

transportasi, akomodasi, souvenir dan lain-lain tidak melebihi harga

standar.

9. Publisitas dan promosi, berupa kampanye atau propaganda yang

didasarkan atas rencana atau program yang kontininyu.

10. Kesempatan berbelanja, yaitu kesempatan untuk membeli barang-barang

atau oleh-oleh untuk dibawa ke tempat asalnya.

Perkembangan pariwisata yang pesat secara bersamaan juga dapat

menimbulkan perubahan yang tidak diinginkan pada sumber daya alam,

lingkungan dan masyarakat lokal misalnya pembukaan kawasan yang tidak

efisien, pembangunan jalur transportasi yang tidak efisien, perubahan sosial

budaya masyarakat dan lain-lain. Dampak negatif tersebut sering muncul

sebagai dampak lanjutan dari pengembangan pariwisata yang tidak

direncanakan secara tepat dan benar.

Pengembangan suatu daerah di sektor pariwisata akan memberikan

dampak positif maupun negatif terhadap kondisi fisik dan kehidupan sosial

ekonomi penduduk setempat. Inskeep (1991), bahwa terdapat beberapa dampak

pengembangan terhadap pariwisata yang dilihat dari berbagai posisi, yaitu:

1. Segi ekonomi, pariwisata merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah

daerah melalui pajak dan retribusi, menciptakan lapangan kerja bagi


128

penduduk lokal dan menjadi sumber pendapatan utama bagi penduduk lokal,

menarik investor dari luar. Pendapatan yang diperoleh dari pengeluaran

wisatawan tidak semuanya masuk ke daerah tetapi ada sebagian yang

dibelanjakan ke luar. Misalnya dalam bentuk pembelian barang (makanan

dan minuman) impor untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.

2. Dampak sosial-budaya pariwisata, perubahan sistem nilai, tingkah laku

perorangan, hubungan keluarga, gaya hidup, moral, ucapan tradisional dan

organisasi kemasyarakatan. Dampak tersebut timbul sebagai akibat kontak

antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah.

3. Dampak lingkungan merupakan sumber daya utama bagi kegiatan

pariwisata baik alami maupun budaya. Pembangunan pariwisata dapat

menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Secara umum dampak

positif terhadap pembangunan pariwisata adalah perlindungan sumber daya

alam seperti flora dan fauna, konservasi kawasan lindung dan sebagainya.

Sedangkan dampak negatif pembangunan pariwisata dapat berbentuk polusi

tanah, air, udara serta rusaknya ekologi lingkungan di sekitar objek, serta

polusi arsitektur/visual yaitu kegagalan memadukan prasarana kawasan

dengan estetika lingkungan alam.

Berdasarkan dampak pengembangan pariwisata tersebut, maka dalam

pengembangan pariwisata tidak dapat dilakukan tanpa strategi yang jelas, tidak

hanya menyangkut strategi pemasaran dan pendanaan, melainkan juga strategi

ke tata ruangan, yang sejalan dengan konsep tata ruang yang mendasari

kebijaksanaan sektoral lainnya. Dengan demikian, pembangunan pada sektor

pariwisata yang diharapkan dapat memberikan dorongan maupun efek pelipat


129

gandaan (multiplier-effect) sebesar-besarnya bagi perkembangan wilayah

(khususnya kegiatan pariwisata), sehingga dapat memberikan dampak positif

sebesar-besarnya. Hal tersebut disebabkan karena pembangunan masing-

masing kawasan akan memberikan dampak yang berbeda-beda berdasarkan

pada karakteristik, kedudukan geografis maupun keunggulan masing-masing

kawasan, yang ditelaah menurut kaidah tata ruangnya.

Tindak lanjut dalam kegiatan pariwisata dalam mengembangkan

kawasan-kawasan wisata secara bertahap melalui urutan prioritas

pengembangan berdasarkan potensi yang dimiliki setiap kawasan, agar tercapai

suatu keterpaduan pengembangan yang menyeluruh. Dengan demikian, WTO

(2001) membagi beberapa jenis pariwisata, yaitu

1. Cultural Tourism, merupakan jenis pariwisata yang memiliki daya tarik utama

pada kebudayaan masyarakat setempat dan ditandai oleh adanya rangkaian

motivasi, seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset,

untuk mempelajari adat istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat negara

lain, untuk mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan peradaban masa

lalu dan sebaliknya penemuan-penemuan besar masa kini, pusat-pusat

kesenian, pusat-pusat keagamaan, atau juga ikut serta dalam festival-festival

seni musik, teater, tarian rakyat dan lain-lain.

2. Rural Tourism, merupakan jenis pariwisata yang menjual suasana pedesaan

dan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya yang biasanya memiliki

keunikan tersendiri.

3. Sun-beach Tourism, merupakan jenis pariwisata yang menjual keindahan

pantai sebagai daya tarik utama.


130

4. Business Travel, tempat yang menjadi daerah tujuan pariwisata, jenis ini

biasanya memiliki fasilitas perdagangan yang lengkap, dengan para

pengunjungnya biasanya terkait dengan motif business tourism.

5. Sport Tourism, jenis ini dapat dibagi dalam beberapa kategori:

a. Big Sports Events, yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti

olimpiade, kejuaran olahraga dunia yang menarik perhatian tidak hanya

pada olahragawannya sendiri, tetapi juga ribuan penontonnya.

b. Sporting Tourism of the Practitioners, yaitu pariwisata olahraga bagi

mereka yang ingin berlatih, seperti pendakian gunung, berkuda,

berburu, memancing. Negara yang memiliki banyak fasilitas olahraga

seperti ini tentu dapat menarik sejumlah besar penggemar wisata seperti

ini.

c. Fitness-wellness and Health Tourism, daya tarik utama yang dicari oleh

para pengunjung jenis pariwisata ini adalah berbagai fasilitas yang

mendukung kegiatan olahraga maupun pemeliharaan kesehatan,

contohnya fitness center dan health spa.

6. Nature Tourism, merupakan pariwisata yang memiliki sumber daya alam dan

keanekaragaman hayati yang sangat beragam dan unik sebagai faktor daya

tarik utama bagi pengunjungnya. Nature Tourism terbagi atas 2 jenis

pariwisata, yaitu:

a. Adventure Tourism, merupakan pariwisata yang memiliki sumberdaya

alam yang relatif belum tersentuh/rusak oleh manusia dengan

menawarkan berbagai kegiatan pariwisata yang bersifat tantangan

ataupun petualangan.
131

b. Ecotourism, merupakan pariwisata yang memiliki interaksi dengan alam

yang juga digabungkan dengan keinginan untuk meminimalkan dampak

negatif pariwisata.

Menanggapi jenis-jenis pariwisata yang dijelaskan di atas, maka Inskeep

(1991) bahwa pengembangan pariwisata yang efektif dapat dicapai dengan

menggunakan konsep-konsep pengembangan secara umum tetapi disesuaikan

dengan karakteristik kepariwisataan. Dengan demikian, pariwisata juga dalam

pengembangan daya tarik wisatanya juga dapat dikelompokkan berdasarkan

wilayahnya bertujuan: 1) memunculkan kekayaan/keragaman produk wisata yang

dimiliki agar dapat ditawarkan kepada segmen pasar wisatawan yang lebih

beragam; 2) secara kolektif membentuk atau memunculkan ciri khas yang

mengedepankan atau mengangkat jati diri wilayah tersebut; 3) meningkatkan

daya saing produk wisata lokal, baik secara nasional atau bahkan internasional;

4) menciptakan keterpaduan pengembangan pariwisata antar kawasan; 5)

efisiensi pelaksanaan program pembangunan pariwisata, baik perencanaan,

pengelolaan, maupun pemasaran dan promosi. Sedangkan, faktor-faktor yang

dipertimbangkan dalam menentukan pengelompokan wilayah tersebut adalah:

1. Faktor geografis, kedekatan geografis merupakan faktor penting yang

harus dipertimbangkan dalam menentukan pengelompokan kawasan

pariwisata. Perencanaan dan pengembangan pariwisata akan lebih mudah

dilakukan jika jarak fisik antar kawasan dekat. Kedekatan geografis juga

akan mempermudah koordinasi pihak yang terkait dalam pengembangan

kawasan.
132

2. Faktor aksesibilitas, faktor kedekatan geografis harus ditunjang dengan

aksesibilitas yang baik. Walaupun letak objek dan daya tarik wisata

berdekatan, bila tidak ditunjang oleh aksesibilitas yang mudah, maka

pengelompokannya akan dilakukan dengan kawasan wisata lain yang

aksesibilitasnya lebih baik. Faktor kemudahan aksesibilitas ini diperlukan

agar perkembangan pariwisata di suatu daerah tujuan wisata dapat

mempengaruhi perkembangan pariwisata di daerah tujuan wisata lainnya

yang berada dalam satu kawasan pengembangan pariwisata.

3. Faktor pengikat, merupakan tanda fisik atau non fisik yang berfungsi

sebagai pengikat beberapa daerah tujuan wisata. Tanda fisik dapat berupa

bentang alam, jalur jalan atau batas wilayah, sedangkan nonfisik dapat

berupa pengaruh suatu budaya tertentu. Daerah tujuan wisata yang berada

dalam satu faktor pengikat yang sama memiliki kecenderungan karakteristik

fisik dan nonfisik wilayah yang sama sehingga mempermudah perumusan

rencana dan program yang akan dilakukan pada kawasan pengembangan

pariwisata tersebut.

4. Karakteristik produk wisata unggulan, yang sama dan atau saling

melengkapi. Suatu kawasan pariwisata seharusnya memiliki produk wisata

unggulan yang dapat dijadikan tema pengembangan sehingga dapat

memunculkan identitas kawasan.

5. Keragaman produk wisata unggulan antar kawasan, kawasan pariwisata

yang terbentuk harus dapat menunjukkan keragaman dan keunikan satu

sama lain sehingga kekayaan pariwisata lokal dapat dimanfaatkan secara

optimal sebagai daya tarik wisata utama secara regional.


133

2.7 Perencanaan Pariwisata

Perencanaan pariwisata dilaksanakan dalam berbagai tingkat, baik dari

tingkat nasional sampai kepada tingkat lokal. Perencanaan pariwisata perlu

dilakukan disebabkan banyaknya terjadi perubahan di dalam pengembangan

pariwisata terkait perkembangan globalisasi dan teknologi. Pariwisata dalam

pengembangannya melibatkan banyak pihak, maka dibutuhkan strategi tertentu

dalam perencanaan kegiatan pariwisata sehingga dapat berlangsung dengan

baik. Inskeep (1991) mengemukakan bahwa perencanaan pariwisata adalah

penting untuk perkembangan dan keberhasilan pariwisata serta dapat

meminimalisasi dampak negatif atau problem yang akan muncul.

Pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan akan mengakibatkan

timbulnya masalah-masalah sosial dan budaya, terutama di daerah atau tempat

dimana terdapat perbedaan tingkat sosial antara pendatang dan penduduk

setempat. Masalah ini timbul karena diakibatkan oleh tingkah laku penduduk

yang suka meniru seperti apa yang dilakukan wisatawan asing tanpa mengetahui

latar belakang kebudayaan wisatawan asing yang ditirunya. Masalah ini

merupakan salah satu dampak negatif yang dapat dihasilkan dari

pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan secara tepat dan benar.

Apalagi pariwisata sebagai industri harus benar-benar mempunyai perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi yang baik sehingga dampak negatif dapat ditoleransi.

Pariwisata sebagai penunjang keberhasilan pembangunan nasional,

maka pariwisata berfungsi meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti devisa

negara, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah,

pencipta lapangan kerja, sebagai katalis untuk pengembangan sektor-sektor

ekonomi lain seperti perikanan, pertanian, kehutanan dan manufacturing serta


134

dapat meningkatkan upaya menjaga dan memperbaiki lingkungan. Pertumbuhan

kepariwisataan dapat tidak terkendali diakibatkan oleh perencanaan yang tidak

baik dan tidak berkualitas.

Pengembangan pariwisata juga dapat menimbulkan perubahan yang

tidak diinginkan pada sumberdaya alam, lingkungan dan masyarakat lokal

misalnya pembukaan kawasan yang tidak efisien, pembangunan jalur

transportasi yang tidak efisien, perubahan sosial budaya masyarakat dan lain-

lain. Dengan demikian, perencanaan pariwisata juga berhubungan dengan

koordinasi, karena koordinasi merupakan alat untuk mencapai tujuan.

Perencanaan pariwisata secara menyeluruh mencakup berbagai aspek seperti

yang dikemukakan oleh Judisseno (2017: 81), yaitu

1. Aspek pengembangan destinasi tujuan wisata lokal, regional,


nasional dan internasional;
2. Aspek soft infrastructure, yaitu berbagai aspek yang terkait dengan
human capital dan semua kelembagaan yang bertanggungjawab
pada keberlangsungan ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan
standar sosial yang meliputi adanya the financial system, the
education system, the health care system, the government system,
the law enforcement and the safety and security system;
3. Aspek hard infrastructure yaitu semua jenis kontruksi fisik, seperti
jalan, jembatan, terowongan, instalasi listrik, telepon, perbankan, air
bersih dan lain-lain;
4. Berbagai program promosi dan pemasaran baik di dalam maupun di
luar negeri;
5. Kelembagaan yang mengatur pariwisata baik di pusat maupun di
daerah.

Senada dengan pernyataan di atas, maka Mason (2003: 71);

Tourism planning, as part of an integrated plan involving other human


activities, gives tourism a political significance and hence provides
legitimacy to an activity, which has not always been accorded this status.
(Perencanaan pariwisata, sebagai bagian dari rencana terpadu yang
melibatkan kegiatan manusia lainnya, memberikan pariwisata yang
signifikansi politik dan karenanya memberikan legitimasi untuk suatu
kegiatan).

Seiring dengan penjelasan ini, maka Reid (2003: 123), menjelaskan bahwa
135

Tourism planning relies on many theories constructed for purposes other


than tourism development (perencanaan pariwisata berkaitan dengan
banyak teori dari bidang yang lain untuk pengembangan pariwisata).

Reid memberikan gambaran bahwa teori perencanaan pariwisata tidak

hanya bergantung kepada satu teori aja tapi melibatkan banyak teori. Pernyataan

Reid ini didukung oleh Dredge dan Jamal (2017: 288), bahwa perencanaan

pariwisata dapat memberikan pemetaan ruang yang inovatif sehingga terbentuk

pengetahuan dan pengembangan metodologi yang lebih kuat untuk

pengembangan pariwisata ke masa depan. Dengan kata lain, bahwa

pembangunan pariwisata tidak direncanakan dengan baik maka akan

menimbulkan masalah-masalah yang berdampak kepada sosial budaya pada

tempat atau daerah yang akan dikembangkan sektor pariwisata. Apabila

pengembangan pariwisata tidak terarah dan tidak terencana dengan baik, maka

bukan manfaat yang akan diperoleh namun terjadinya konflik atau perbenturan

sosial di lingkungan masyarakat.

Memahami dan menanggapi penjelasan di atas maka, Yoeti (2016: 47)

menjelaskan pertumbuhan kepariwisataan yang tidak terkendali sebagai akibat

dari perencanaan yang tidak baik, dan pasti akan menimbulkan dampak yang

tidak baik dan tentunya akan tidak menguntungkan semua pihak. Untuk

menghindari ini maka perlunya perencanaan pariwisata yang terpadu dan sejalan

dengan sektor lainnya secara keseluruhan. Maka, Veal (2002: 92)

mengungkapkan bahwa diperlukan beberapa langkah dalam perencanaan

pariwisata sebagai suatu proses dan dijadikan sebagai suatu standar dalam

kegiatan pengambilan keputusan, sebagai berikut:

1. Tetapkan kerangka acuan/penjelasan singkat


136

Setiap kegiatan harus mempunyai kerangka acuan atau ringkasan yang


jelas dan dapat menghasilkan perencanaan pariwisata yang strategis
tidak terkecuali, yang dimulai dengan pengarahan untuk menentukan
kebutuhan rekreasi masyarakat dan menyiapkan strategi yang layak;
untuk menentukan skala yang diinginkan dan sifat pengembangan
pariwisata dan kegiatan pemasaran di masa depan.
2. Penilaian lingkungan
Penilaian lingkungan melibatkan menyatukan semua informasi yang
tersedia dan relevan dengan ringkasannya. Penilaian ini diharapkan untuk
memperoleh sejumlah jenis informasi tentang pariwisata yang berbeda,
seperti pengumpulan data. Sehingga penilaian perlu dibuat untuk
mendapatkan keseimbangan antara kebutuhan informasi yang berkaitan
dengan waktu serta biaya.
3. Menetapkan misi/tujuan
Dalam pengembangan pariwisata harus dapat menetapkan dan
membedakan misi, tujuan, dan sasaran. Langkah ini dapat memberi
perhatian yang lebih terhadap pengembangan pariwisata, maka
diperlukan langkah ini untuk penyusunan perencanaan khususnya
pariwisata.
4. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan
Konsultasi dengan pemangku kepentingan yang meliputi masyarakat,
pemerintah dan pihak yang dianggap klien dalam pembangunan
pariwisata. Langkah ini merupakan komponen penting dalam proses
perencanaan dan pembuatan kebijakan, sehingga dapat mengintervensi
antara input teknis dan pengembangan rencana dan strategi.
5. Pengembangan pilihan
Tujuan dalam tahapan ini adalah untuk mengembangkan berbagai
kemungkinan program aksi. Beberapa kebijakan yang harus menjadi
perhatian dalam perencanaan pariwisata dan tetap harus dilaksanakan,
meliputi masalah hukum (terkait masalah keselamatan), penilaian
fasilitas, survei pengguna (untuk mendapatkan kebutuhan dan fasilitas
atau layanan yang jelas), perubahan demografi. Penggunaan langkah ini
dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT.
6. Penentuan strategi
Proses ini melibatkan evaluasi dan pemilihan berbagai program yang
membentuk rencana strategis. Proses ini dikaitkan dengan berbagai cara,
meliputi sifat organisasi, ruang lingkup dan kompleksitas tugas
perencanaan serta isu-isu pendekatan perencanaan.
7. Pelaksanaan
Keberhasilan pelaksanaan rencana strategis merupakan hasil keterlibatan
semua pihak untuk pencapaian tujuan dan target yang telah ditentukan.
Dalam proses pencapaian tujuan dalam tahapan ini dilakukan proses
pemantauan, evaluasi dan umpan balik di langkah selanjutnya.
8. Pemantauan, evaluasi dan umpan balik
Pencapaian tujuan rencana strategis dengan memantau kemajuan dan
mengevaluasi kinerja akan dapat memberikan kemudahan dalam
penerapan rencana strategis. Sedangkan umpan balik dimaksudkan
bahwa informasi yang dihasilkan oleh proses pemantauan dan evaluasi
dapat menjadi strategi secara keseluruhan.
137

Senada dengan penjelasan di atas, Butler dan Suntikul (2010) juga

menjelaskan tentang bagaimana melakukan perencanaan pariwisata melalui

pengembangan destinasi wisata, yang diberi nama teori siklus hidup destinasi

wisata. Siklus hidup destinasi wisata ini dikemukakan oleh Butler pada tahun

1980 yang dikenal dengan nama Tourism Area Life Cycle (TALC) dan siklus ini

bertujuan untuk mengoptimalkan perencanaan pariwisata dengan membagi

dalam 7 (tujuh) tahap, yaitu:

1. Tahap Exploration yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu tempat

sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku

pariwisata, maupun pemerintah, biasanya jumlah pengunjung sedikit,

wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya

sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru

menjadi minat karena belum ramai dikunjungi.

2. Tahap involvement disebut dengan tahap keterlibatan. Pada fase ini,

peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mengakibatkan sebagian

masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang

khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan

masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat mulai mengubah pola-pola

sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi.

Disinilah mulai suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang ditandai

oleh mulai adanya promosi.

3. Tahap development disebut dengan tahap pembangunan. Pada fase ini

investasi dari luar mulai masuk serta mulai munculnya pasar pariwisata

secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik, advertensi

(promosi) semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan


138

oleh fasilitas yang benar-benar touristic dengan standar internasional, dan

atraksi buatan sudah mulai dikembangkan untuk menambahkan atraksi

yang asli alami. Berbagai barang dan jasa impor menjadi keharusan

termasuk tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan pariwisata

yang pesat.

4. Tahap consolidation (konsolidasi). Pada fase ini, peristiwa sudah dominan

dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh

jaringan internasional atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan

wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran

semakin gencar dan diperluas untuk mengisi berbagai fasilitas yang

sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.

5. Tahap stagnation (stagnasi). Pada fase ini, kapasitas berbagai faktor

sudah terlampaui di atas daya dukung sehingga menimbulkan masalah

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja

berat untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki khususnya

dengan mengharapkan repeater guests atau wisata konvensi/bisnis.

Selain itu, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik

budaya maupun alam), citra awal sudah mulai meluntur, dan destinasi

sudah tidak lagi populer.

6. Tahap decline (penurunan). Pada fase ini, wisatawan sudah beralih ke

destinasi wisata baru dan yang tinggal hanya sia-sia, khususnya

wisatawan yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah

berlatih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga

destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal

mungkin meningkat lagi terkait dengan harga yang merosot turun dengan
139

melemahnya pasar. Destinasi dapat berkembang menjadi destinasi kelas

rendah (a tourism slum) atau sama sekali secara total kehilangan diri

sebagai destinasi wisata.

7. Tahap rejuvenation (peremajaan). Pada fase ini, perubahan secara

dramatis dapat terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai

pihak) menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini dapat terjadi

karena adanya inovasi dalam pengembangan produk baru dan menggali

atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya

belum dimanfaatkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam perencanaan pariwisata

harus selalu memperhatikan keterkaitan antara komponen kepariwisataan

dengan karakteristik komponen lingkungan dalam menentukan kerangka kerja,

sehingga dapat menetapkan kriteria standar dalam perencanaan pariwisata

dalam tingkat penyediaan fasilitas atau layanan. Perencanaan pariwisata

cenderung memberikan perubahan dalam pencapaian tujuannya. Mason (2003),

mengemukakan pencapaian tujuan utama dari perencanaan pariwisata adalah 1)

memastikan tersedianya peluang wisatawan untuk mendapatkan pengalaman

yang menyenangkan dan memuaskan pada saat berwisata; 2) menyediakan

sarana untuk memperbaiki cara hidup penduduk dan daerah tujuan wisata.

Kemudian, Williams (1998) menyarankan bahwa perencanaan pariwisata

memiliki sejumlah tujuan utama, yaitu:

1. Pembuatan mekanisme untuk penyediaan fasilitas wisata yang

terstruktur di wilayah geografis yang cukup besar.


140

2. Koordinasi sifat pariwisata yang terfragmentasi (terutama dalam

kaitannya dengan akomodasi, transportasi, pemasaran dan sumber

daya manusia).

3. Intervensi tertentu untuk menghemat sumber daya dan

memaksimalkan manfaat bagi masyarakat setempat dalam upaya

untuk mencapai keberlanjutan (biasanya melalui pengembangan

pariwisata atau rencana pengelolaan

4. Redistribusi manfaat pariwisata (pengembangan situs wisata baru atau

penataan kembali ekonomi tempat-tempat yang mulai ditinggalkan

wisatawan)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam

proses perencanaan pariwisata sangat penting memperhatikan kenyaman

wisatawan atau pengunjung yang datang ke suatu destinasi wisata. Kenyamanan

wisatawan menjadi tujuan utama dalam mengembangkan pariwisata karena

dapat memberikan rasa betah yang lebih lama untuk menetap di destinasi wisata

tersebut. Menciptakan kenyamanan tersebut juga tidak terlepas dari berbagai

aspek yang harus terus dikembangkan pada sektor pariwisata yaitu terkait dalam

prinsip kepariwisataan yaitu attraction, amenities, aksesibilitas dan ancillary

(yang dikenal dengan 4 A). Menurut Cooper, et. al (1995) mengemukakan bahwa

terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki oleh sebuah objek wisata, yaitu

1. Attraction

Merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan. Suatu

daerah dapat menjadi tujuan wisata jika kondisinya mendukung untuk

dikembangkan menjadi sebuah atraksi wisata. Apa yang dikembangkan 5


141

(lima) menjadi atraksi wisata itulah yang disebut modal atau sumber

kepariwisataan. Untuk menemukan potensi kepariwisataan di suatu

daerah orang harus berpedoman kepada apa yang dicari oleh wisatawan.

Modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan itu ada tiga, yaitu 1)

natural resources/alami, 2) atraksi wisata budaya, dan 3) atraksi buatan

manusia itu sendiri. Modal kepariwisataan itu dapat dikembangkan

menjadi atraksi wisata ditempat dimana modal tersebut ditemukan. Ada

modal kepariwisataan yang dapat dikembangkan sehingga dapat

menahan wisatawan selama berhari-hari dan dapat berkali-kali dinikmati,

atau bahkan pada kesempatan lain wisatawan bisa berkunjung ketempat

yang sama. Keberadaan atraksi menjadi alasan serta motivasi wisatawan

untuk mengunjungi suatu daya tarik wisata (DTW).

2. Amenity

Adalah segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh

wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Sarana dan prasarana

yang dimaksud seperti: penginapan, rumah makan, transportasi dan agen

perjalanan. Dengan menggunakan prasarana yang cocok dibangunlah

sarana-sarana pariwisata seperti hotel, atraksi wisata, marina, gedung

pertunjukan dan sebagainya. Adapun prasarana yang banyak diperlukan

untuk pembangunan sarana-sarana pariwisata ialah jalan raya,

persediaan air, tenaga listrik, tempat pembuangan sampah, bandara,

pelabuhan, telepon dan lain-lain. Mengingat hubungan antar sarana dan

prasarana, sudah jelas bahwa pembangunan prasarana pada umumnya

harus mendahului sarana. Ada saatnya prasarana dibangun bersama-

sama dalam rangka pembangunan sarana wisata. Suatu tempat atau


142

daerah dapat berkembang sebagai daerah tujuan wisata apabila

aksesibilitasnya baik, dan sebaliknya sarana dapat menyebabkan

perbaikan prasarana.

3. Accessibility

Merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan pariwisata. Segala

macam transportasi ataupun jasa transportasi menjadi akses penting

dalam pariwisata. Di sisi lain akses ini diidentikkan dengan

transferabilitas, yaitu kemudahan untuk bergerak dari daerah yang satu

ke daerah yang lain. Jika suatu daerah tidak tersedia aksesibilitas yang

baik seperti bandara, pelabuhan dan jalan raya, maka tidak akan ada

wisatawan yang mempengaruhi perkembangan aksesibilitas di daerah

tersebut. Jika suatu daerah memiliki potensi pariwisata, maka harus

disediakan aksesibilitas yang memadai sehingga daerah tersebut dapat

dikunjungi.

4. Ancilliary (pelayanan tambahan)

Pelayanan tambahan harus disediakan oleh pemerintah daerah dari suatu

daerah tujuan wisata baik untuk wisatawan maupun untuk pelaku

pariwisata. Pelayanan yang disediakan termasuk pemasaran,

pembangunan fisik (jalan raya, rel kereta, air minum, listrik, telepon dan

lain-lain) serta mengkoordinir segala macam aktivitas dan dengan segala

peraturan perundang-undangan baik di jalan raya maupun di objek

wisata. Ancillary juga merupakan hal-hal yang mendukung sebuah

kepariwisataan, seperti lembaga pengelolaan, tourist information, travel

agent dan stakeholder yang berperan dalam kepariwisataan.


143

Mendukung penjelasan di atas, Hall (2008), mengemukakan bahwa dalam

perencanaan pariwisata terdapat 5 (lima) pendekatan yang dapat diidentifikasi,

yaitu

1. Boosterism adalah suatu sikap sederhana bahwa pengembangan

pariwisata pada dasarnya baik dan secara otomatis bermanfaat bagi tuan

rumah. Pendekatan ini memberikan pertimbangan tentang dampak dari

potensi ekonomi, sosial dan lingkungan negatif dari pariwisata serta

sumber daya budaya dan alam yang dianggap sebagai objek yang akan

dieksploitasi untuk kepentingan pengembangan pariwisata. praktek

pendekatan ini dilakukan oleh dua kelompok yaitu politisi secara filosofis

atau pragmatis percaya bahwa pertumbuhan ekonomi selalu

dipromosikan, dan oleh orang lain yang akan memperoleh keuntungan

finansial dari pariwisata.

2. Pendekatan ekonomi, berorientasi industri. Di bawah tradisi ekonomi,

pariwisata dipandang sebagai industri yang dapat digunakan sebagai alat

oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dari pertumbuhan

ekonomi dan restrukturisasi, penciptaan lapangan kerja dan

pembangunan daerah melalui penyediaan insentif keuangan, penelitian,

pemasaran dan bantuan promotional. Meskipun model ekonomi tidak

mengklaim pariwisata sebagai obat mujarab untuk semua penyakit

ekonomi, dan pendekatan ini menekankan nilai potensial pariwisata

sebagai industri ekspor, kadang-kadang didefinisikan secara samar, yang

dapat memberikan kontribusi positif bagi ketidakseimbangan nasional dan

regional.
144

3. Pendekatan fisik/spasial. Perencana penggunaan lahan kota dan

regional, dan konservasionis yang menganjurkan pendekatan rasional

untuk perencanaan sumber daya alam. Perencanaan tata guna lahan

adalah salah satu bentuk perlindungan lingkungan tertua. Perencanaan

fisik atau spasial mengacu pada perencanaan dengan komponen spasial,

atau geografis dimana tujuan umum adalah menyediakan struktur

kegiatan ruang (atau penggunaan lahan) yang dalam beberapa hal lebih

baik daripada pola yang ada.

4. Pendekatan berorientasi masyarakat yang menekankan peran tua rumah

dalam pengalaman pariwisata. Pendekatan perencanaan berkembang

dalam kaitannya dengan tuntutan yang dibuat oleh mereka oleh berbagai

pemangku kepentingan, perubahan nilai-nilai komunitas dan masyarakat,

dan konteks sosial, ekonomi, lingkungan yang lebih luas dimana

perencanaan terjadi. Namun demikian, unsur-unsur pendekatan

masyarakat terhadap perencanaan akan muncul untuk memberikan dasar

bagi perumusan kebijakan pariwisata yang akan membantu penduduk

dan pengunjung dalam jangka panjang, memuaskan keinginan lokal

untuk mengendalikan laju perubahan. Perencanaan pariwisata juga harus

mampu mengakomodasi dimensi fisik dan ekonomi dari pariwisata, tidak

hanya untuk memastikan kelangsungan jangka panjang dari industri

pariwisata tetapi juga untuk membantu dalam menciptakan tempat-tempat

yang berkelanjutan.

5. Pendekatan pariwisata berkelanjutan. Dalam pendekatan yang terpenting

mekanisme koordinasi dan kontrol yang efektif dan sistem yang mampu

memberikan efek praktis dan berkelanjutan terhadap maksud kebijakan


145

dan perencanaan pembangunan berkelanjutan. Sifat kompleks dari

industri pariwisata dan hubungan antara komponen-komponennya yang

sering tidak didefinisikan dengan baik baik merupakan hambatan utama

bagi perencanaan strategis integratif yang merupakan prasyarat untuk

pengembangan berkelanjutan. Salah satu cara untuk mengembangkan

bentuk pariwisata yang lebih berkelanjutan terletak pada pemerintah yang

menyakinkan dan industri pariwisata tentang pentingnya memasukkan

prinsip pengembangan berkelanjutan ke dalam perencanaan dan operasi.

Menanggapi penjelasan di atas, Inskeep (1991) bahwa perencanaan

pengembangan kawasan pariwisata, harus memenuhi sejumlah kriteria yang

harus dipenuhi, adalah:

1. Berkesinambungan, inkremental dan fleksibel; antara tahapan (rencana

implementasi) satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Hasil yang

dicapai tahapan sebelumnya berfungsi sebagai landasan atau titik tolak bagi

rumusan rencana tahap berikutnya dan apa yang akan dicapai pada tahap

berikutnya harus lebih baik dan lebih banyak dibanding tahap sebelumnya.

2. Pendekatan sistem, pariwisata dipandang sebagai sistem yang paling

berhubungan dan harus direncanakan sesuai sistem tersebut.

3. Pendekatan pengembangan yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan, kegiatan pariwisata dikembangkan dan dikelola dengan suatu

cara yang tidak megakibatkan penurunan SDA/budaya tetapi tetap

dipertahankan supaya kondisi tetap baik pada basis yang permanen untuk

penggunaan terus menerus di masa yang akan datang.


146

4. Pendekatan komprehensif (menyeluruh) berhubungan dengan pendekatan

sistem, aspek pengembangan pariwisata termasuk elemen kelembagaan,

dampak lingkungan dan dampak sosial ekonomi dianalisis dan direncanakan

secara menyeluruh.

5. Pendekatan berintegrasi berkaitan dengan pendekatan komperehensif dan

sistem, dalam pendekatan ini kepariwisataan dikembangkan sebagai suatu

sistem yang terintegrasi baik dengan rencana itu sendiri maupun dengan

rencana pengembangan secara keseluruhan pada areal yang luas.

6. Pendekatan masyarakat dalam proses pengembangan dan pengambilan

keputusan tentang kepariwisataan masih layak dan diinginkan, akan terdapat

partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan

kepariwisataan dan keuntungan sosial ekonominya.

7. Pendekatan yang mudah diterapkan, pengembangan kebijaksanaan,

rencana dan rekomendasi kepariwisataan dirumuskan agar terealisir dan

dapat diterapkan teknik penerapannya di pertimbangkan selama pembuatan

rumusan rencana dan kebijaksanaan. Penerapan teknik-teknik tersebut

termasuk dalam pengembangan program-program yang akan dilakukan

berdasarkan langkah-langkah kegiatan berurutan.

Merujuk pada kedua pendapat tersebut, maka pengembangan pariwisata

dilakukan melalui beberapa pendekatan pengembangan pariwisata. Pendekatan

dasar pengembangan pariwisata bertujuan untuk mengaplikasikan formulasi

rencana dan kebijaksanaan pariwisata, proses dasar pengembangan bersifat

kontinyu (menerus) dan inkremental, berorientasi memfokuskan pada

pencapaian pengembangan yang berkelanjutan. Kemudian, MacLeod dan


147

Cooper (2005) mengemukakan bahwa dalam pengembangan pariwisata harus

didukung oleh beberapa kategori yaitu:

1. Daya dukung fisik; didasarkan pada batas spasial sebuah areal dengan

memperhatikan beberapa materi yang dapat ditampung dalam areal

tersebut.

2. Daya dukung ekologi; secara sederhana adalah berapa ukuran populasi

pada suatu sistem ekosistem agar ekosistem tersebut dapat

berkelanjutan, batas kepadatan populasi yang melebihi daya dukung dan

dapat menyebabkan laju tingkat kematian spesies menjadi lebih besar

dibandingkan angka kelahiran.

3. Daya dukung sosial; intinya adalah ukuran yang dapat ditoleransi pada

suatu tempat yang dikerumuni orang banyak.

4. Daya dukung ekonomi; dapat digambarkan sebagai tingkat dimana suatu

area dapat diubah sebelum aktivitas ekonomi menjadi terjadi sebelum

mendapat pengaruh yang merugikan.

Berdasarkan konsep daya dukung di atas, diharapkan dapat mengontrol

arah pengembangan perencanaan pariwisata sehingga aktivitas pariwisata yang

dibangun dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan menganalisis

daya dukung yang tersedia pada suatu objek wisata untuk memenuhi aktifitas

permintaan dan penawaran dalam kepariwisataan baik wisatawan maupun

sumber daya manusia dan alam. Dengan demikian, penawaran dan permintaan

dalam kepariwisataan sangat penting adanya perencanaan sehingga dapat

mencegah munculnya permasalahan dalam kegiatan pariwisata.


148

Menurut Inskeep (1991), bahwa secara khusus dalam suatu kegiatan

pariwisata adanya tujuan perencanaan wisata, dan alasannya adalah:

1. Aktivitas pariwisata modern secara relatif masih merupakan jenis baru di

banyak area, beberapa pemerintahan dan private sector atau kurang

berpengalaman dalam mengembangkan pariwisata. Perencanaan pariwisata

dan program pembangunan dapat memberikan petunjuk untuk

perkembangan pariwisata.

2. Pariwisata merupakan sektor yang kompleks, multisektoral dan fragmented

activity meliputi sektor lain seperti pertanian, perikanan dan manucpacturing,

sejarah, taman (park) dan rekreasi utama, fasilitas dan layanan masyrakat,

transportasi dan infrastruktur lainnya. Koordinasi perencanaan dan proyek

pembangunan adalah penting untuk menjamin/memastikan bahwa semua

elemen yang dikembang diintegrasikan untuk menyediakan kebutuhan

umum (general needs) pariwisata.

3. Pariwisata secara essensial harus menjual suatu produk pengalaman

khusus yang digunakan wisatawan terdiri dari fasilitas dan jasa, yang harus

disesuaikan antara pasar wisatawan dan produk meskipun tanpa proses

perencanaan namun harus disesuaikan/persetujuan antara tujuan

lingkungan dan sosiocultural pada permintaan.

4. Pariwisata dapat memberikan ekonomic benefits baik secara langsung dan

tidak langsung yang dapat dioptimalkan melalui perencanaan yang hati-hati

dan terintegrasi.

5. Pariwisata dapat menimbulkan berbagai sociocultural benefits dan problems.

Pariwisata dapat digunakan sebagai proses untuk mengoptimalkan

keuntungan dan mencegah atau memperkecil/mengurangi masalah dan


149

khususnya menentukan kebijakan pengembangan pariwisata yang baik

untuk menghindari sociocultural problem dan pemanfaatan atau penggunaan

pariwisata sebagai pencapaian tujuan konservasi budaya.

6. Pembangunan atraksi, fasilitas dan infrastruktur dan perpindahan wisatawan,

umumnya memberikan dampak positif dan negatif pada lingkungan fisik.

Perencanaan yang hati-hati diperlukan untuk menentukan tipe optimun dan

level pariwisata yang tidak akan menghasilkan degradasi lingkungan dan

pemanfaatan atau penggunaan pariwisata sebagai pencapaian tujuan

konservasi lingkungan.

7. Tipe pembangunan harus dipertanggungjawabkan, termasuk keberlanjutan

pariwisata. Tipe perencanaan yang benar dapat menjamin atau memastikan

bahwa sumberdaya alam dan budaya pariwisata untuk jangka waktu yang

tidak terbatas dan tidak mengalami kerusakan atau degradasi dalam proses

pembangunan.

8. Beberapa tipe pembangunan modern, bentuk-bentuk perubahan pariwisata

melalui waktu, perubahan trend pasar dan keadaan lain. Perencanaan dapat

digunakan untuk menatar dan merevitalisasi keadaan yang tertinggal atau

pengembangan pariwisata di area yang kurang baik dan melalui proses

perencanaan pariwisata baru dapat direncanakan mengikuti fleksibilitas

pembangunan di masa yang akan datang.

9. Perkembangan pariwisata memerlukan tenaga kerja yang mempunyai

kemampuan dan kapabilitas pendidikan dan pelatihan yang harus disiapkan

seperti fasilitas pelatihan.

10. Diperlukan struktur organisasi khusus untuk mengontrol pencapaian

pembangunan pariwisata, strategi pemasaran dan program promosi,


150

peraturan dan perundang-undangan dan fiskal yang komprehensif dan

diintegrasikan dalam proses perencanan yang berhubungan kebijakan

pariwisata dan pembangunan.

11. Perencanaan memberikan dasar rasional untuk tahapan pembangunan dan

proyek pemmograman yang penting publik dan private sektor untuk

perencanaan investasinya.

2.8 Good Tourism Governance

Berbicara perencanaan pembangunan, juga menjadi hal yang penting

apabila dikaitkan dengan tata pemerintahan yang baik (good governace).

Perencanaan pembangunan yang baik maka dapat mewujudkan good

governance. Sejak tahun 1990-an, konsep good governance menjadi wacana

penting di Indonesia, baru pada tahun 1998 pasca reformasi dilakukan promosi

good governance dengan akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas dalam

sistem pemerintahan daerah.

Secara umum, terselenggaranya pemerintahan yang baik, bersih

merupakan konsep governance dalam melibatkan bukan hanya pemerintah

tetapi juga berbagai aktor di luar pemerintahan yang disebut juga pemangku

kepentingan. Nurman (2015: 50), terdapat empat syarat utama yang ditekankan

dalam pemerintahan yang baik, yaitu yang kuat legitimasinya, akuntabel,

kompeten, respek terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia.

Alasan utama pentingnya good governance ini dikarenakan tingginya

tuntutan masyarakat terhadap pemerintah dalam melaksanakan

penyelenggaraan pemerintahan. Tidak hanya itu pengaruh globalisasi juga turut

mempengaruhi sikap dan tatanan masyarakat, sehingga pemerintah harus cepat


151

tanggap terhdap tuntutan masyarakat tersebut dengan melakukan perubahan

yang terarah dan mewujudkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Sedarmayanti (2003: 4), bahwa kepemerintahan yang baik (good governance)

merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi

publik di masa ini.

Good governance juga menjadi pengendali dalam proses pembangunan

sehingga pelaksanaan kebijakan dan program dapat tercapai dengan optimal.

Rosyadi (2010: 4), bahwa tata pemerintahan menunjukkan pola interaksi antara

pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam

menyelesaikan berbagai masalah publik. Jika interaksi yang dibangun secara

baik maka dapat disebut tata pemerintahan yang baik (good governance), namun

jika terjadi sebaliknya maka disebut tata pemerintahan yang buruk.

Tata pemerintahan yang baik merupakan instrumen yang paling penting

dalam pelaksanaan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

maupun pengentasan kemiskinan dan meningkatkan lapangan pekerjaan.

Secara praktek, tata pemerintahan yang baik ini diharapkan dapat berkembang

dengan rasa saling percaya antara pemerintah dan pemangku kepentingan

sehingga dapat mewujudkan pembangunan yang efektif dan efisien. Brinkerhooff

dan Goldsmith (2005: 203 – 204) merinci praktek baik dan buruknya tentang

good governance, yang digambarkan dalam table 2.1

Tabel 2.4 Tipe ideal Sistem Tata Pemerintahan


Tata Pemerintahan yang Baik Tata Pemerintahan yang Buruk
Kewenangan bersifat kelembagaan, Kewenangan bersifat pribadi,
melekat dengan peran resmi melekat pada individu birokrat
Para pemimpin politik berbagi Para pemimpin politik memonopoli
kekuasaan dengan pihak lain dan kekuasaan dan tidak bertanggung
bertanggung gugat atas tindakan- gugat atas tindakan-tindakannya
tindakannya
Para pemimpin mempertahankan Para pemimpin politik
152

Tata Pemerintahan yang Baik Tata Pemerintahan yang Buruk


kekuasaannya dengan memberikan mempertahankan kekuasaannya
manfaat kolektif untuk menghasilkan dengan memberikan manfaat pribadi
dukungan dari masyarakat luas untuk menjamin loyalitas
pengikutnya
Berbagai keputusan kebijakan dibuat Berbagai keputusan kebijakan dibuat
secara terbuka setelah diskusi dan uji secaraa rahasia tanpa melibatkan
public public
Standar pembuatan keputusan jelas Standard pembuatan keputusan
dan prosedur yang dibuat transparan tidak jelas dan prosedur dibuat
berbelit-belit
Partai politik diorganisir dengan Partai politik diorgansir dengan
program-program negara yang kepentingan pribadi dan manfaat
mempengaruhi sejumlah besar warga didistribusikan kepada individu
yang diuntungkan dengan kategori
universal
Kampanye politik dibiayai oleh Kampanye politik dibiayai oleh
sebagian besar donasi kecil dan jelas beberapa donasi besar tetapi
dirahasiakan
Pemilu berlangsung bebas, jujur dan Pemilu ditandai dengan intimidasi,
terbuka pembelian suara dan kecurangan
Proyek-proyek infrastruktur sipil Proyek-proyek infrastruktur sipil
disediakan untuk melayani kepentingan dialokasikan secara geografis untuk
bagian terbesar dari warga negara melayani kepentingan sebagian kecil
warga negara
Administrator diangkat dan Administrator diangkat dan
dipromosikan dengan proses kompetitif dipromosikan sebagai hadiah atas
atas dasar kepakaran dan kompetensi hubungan personal dengan para
mereka pemimpin politik
Ada jenjang administrative teratur Jenjang administrative tidak jelas,
dengan pembagian kerja yang jelas, dengan sedikit spesialisasi atau
standard output yang jelas dan jalur spesifikasi output dan jalur laporan
laporan yang diatur secara jelas yang tidak jelas
Administrator hanya dapat dipecat Administrator dapat diberhentikan
dengan alasan yang jelas tanpa alasan yang jelas
Administrator dilarang mencari Administrator mencari penghasilan
tambahan penghasilan selain gaji yang tambahan dari suap dan pungutan
diterima liar
Tindakan administrator dapat Tindakan administrator sewenang-
diperkirakan, didasarkan pada metode wenang, didasarkan pada alasan
obyektif dan mengikuti prosedur yang subyektif, dan menggunakan
seragam prosedur sementara (ad hoc)
Aturan ditetapkan secara netral, dan Aturan diterapkan secara sepihak,
semua warga negara mendapatkan dan orangn-orang yang memiliki
perlakuan yang sama hubungan dekat dengan pemerintah
mendapatkan perlakuan khusus
Kontrak-kontrak yang mengikat secara Kesepakatan lisan digunakan dalam
hukum digunakan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa maupun
pengadaan barang/jasa serta penjualan asset milik pemerintah
153

Tata Pemerintahan yang Baik Tata Pemerintahan yang Buruk


penjualan aset
kontrol internal diterapkan secara kontrol internal lemah, dokumentasi
tegas, dokumen tertulis dan lengkap tidak terpelihara dengan baik dan
dipelihara dan secara rutin diaudit berbagai hal penting tidak tercatat
Warga negara disediakan saluran jika Masyarakat mendapatkan pelayanan
mendapatkan pelayanan yang buruk yang buruk karena ketersediaan
sumber daya yang buruk
Sumber: Brinkerhooff dan Goldsmith (2005: 203 – 204)

Tipe ideal dalam tata pemerintahan tersebut memperlihatkan bahwa

tidak selamanya dalam prakteknya dapat diterapkan yang baik, dan juga tidak

sepenuhnya dapat menghindari dalam prakteknya tata pemerintahan yang buruk.

Tipe tata pemerintahan ini juga dapat dijumpai pada pelaksanaan pembangunan

dalam pengelolaan sumber daya pembangunan, namun dalam prakteknya

sistem pemerintahan tidak sesuai dengan tuntutan dari masyarakat.

Sejalan dengan tipe ideal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi

(2006:10) mengungkapkan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan tata kelola

pemerintahan yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor sesuai dengan hasil

studi yang sudah dilakukan yaitu:

1. Komitmen Pimpinan. Adalah konsistensi pimpinan tertinggi di daerah


yang bersungguh-sungguh melaksanakan perbaikan tata kelola
pemerintahan di lingkungannya. Pimpinan berfungsi menjadi
penggerak segala bentuk perubahan dan menjadi pelopor dalam
pelaksanaannya.
2. Dasar hukum yang kuat. Setiap pelaksanaan kebijakan dalam rangka
perbaikan sistem tata kelola pemerintahan yang baik, harus memiliki
dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan atau
Keputusan. Dalam rangka keberlanjutan suatu kebijakan tata kelola
pemerintahan yang baik sebaiknya dasar hukum yang dipakai adalah
peratuaran daerah/peraturan desa sehingga walaupun terjadi
pergantian pimpinan daerah, kebijakan masih akan tetap berjalan.
3. Dukungan dari lingkungan internal dan masyarakat. Dukungan
tersebut atas kebijakan perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik
sangat diperlukan karena kebijakan tersebut diciptakan, dikelola dan
diperuntukkan bagi mereka.
4. Inisiatif internal. Dorongan bagi timbulnya gagasan/inisiatif untuk
memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan yang baik idealnya
154

muncul dari gagasan-gagasan internal jajaran pegawai maupun


pimpinan yang berada di lingkungan pemerintah yang bersangkutan.
Perbaikan sistem yang didasarkan pada pendekatan persuasif dan
musyawarah para pengambil kebijakan daerah, yang kemudian
disosialisasikan ke seluruh jajarannya akan menghasilkan dukungan
dan komitmen yang tinggi bagi seluruh staf.

Konsep good governance, sangat cocok dalam proses pembangunan

baik dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan program, karena berkaitan

dengan tata kelola yang baik di dalam sebuah sistem pemerintahan yang

melibatkan banyak pelaku, jaringan dan institusi diluar pemerintahan sehingga

dapat mengelola masalah dan merespon kebutuhan publik.

Good governance, diartikan sebagai suatu proses tata kelola

pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders, terhadap berbagai

proses sistem pemerintahan baik kegiatan perkonomian, sosial politik dan

pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya, keuangan, yang bertujuan untuk

kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan dengan asas keadilan,

pemerataan, persamaan, efisiensi, transparasi dan akuntabilita. Pelaksanaan

asas ini dalam tata pemerintahan juga merupakan standarisasi yang harus

digunakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan.

Standarisasi dalam perencanaan pembangunan daerah merupakan salah

satu upaya untuk mewujudkan good governance. Maka, standarisasi tersebut

berkaitan dengan dua pengertian Good governance. Pertama, nilai yang

menunjangn tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai yang dapat

meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan (nasional)

kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek

fungsional atas pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan

tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Syafri (2014:178), mengemukakan


155

berdasarkan pengertian tersebut good governance berorientasi pada: orientasi

ideal negara yang diarahkan pada tujuan nsional dan pemerintahan yang

berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya

mencapai tujuan nasional.

Defenisi good governance yang dikemukakan oleh World Bank, adalah

the way state power is used in managing economic and social resources for

development and society (cara kekuasaan negara yang digunakan dalam

mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan dan

masyarakat), sedangkan United Nations Development Program (UNDP: 1997)

mendefenisikan good governance adalah the exercise of political, economic, and

administrative authority to manage a nations’s affair at all levels (pelaksanaan

kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola kerjasama di

semua negara). Maka, berdasarkan defenisi tersebut Sedarmayanti (2013:279)

mengemukakan bahwa good governance mempunyai tiga kaki, yaitu:

1. Economic governance, yang meliputi proses pembuatan keputusan


yang memfasilitasi aktivitas ekonomi dalam negeri dan interaksi di
antara penyelenggara ekonomi yaitu legislative sebagai pengambil
keputusan politik, pemerintah disamping sebagai pelaksana juga
sebagai fasilitator terhadap pihak swasta/masyarakat sebagai pelaku
ekonomi dan juga mempunyai implikasi terhadap keadilan (equity),
kemiskinan (Poverty), dan kualitas hidup (quality of live).
2. Political Governance, adalah proses keputusan untuk formulasi
kebijakan. Aktivitas ini merupakan fungsi legislative kebijakan tertentu
(peraturan perundang-undangan) yang dihasilkan badan legislatif
(penguji material) dari peraturan perundang-undangan.
3. Administrative Governance adalah sistem implementasi proses
kebijakan, yang meliputi proses tiga domain: state (negara atau
pemerintah), private sector (sektor swasta/dunia usaha) dan society
(masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan
lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan
pekerjaan dan pendapatan kemudian masyarakat berperan aktif dan
positif dalam interaksi sosial melalui lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi dan lain-lain.
156

Berkaitan dengan tiga kaki dari good governance tersebut, maka

Sedarmayanti (2013) mengemukakan tentang institusi dari good governance

meliputi tiga domain yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector

(sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat). kemudian hubungan

ketiga domain tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

STATE

PRIVAT
SOCIETY
SECTOR

Gambar 2.7 Hubungan Tiga Domain dalam Governance


Sumber: Sedarmayanti (2013: 280)

Berdasarkan gambar tersebut, maka hubungan tiga domain tersebut

sangatlah kuat dan menjadi salah satu ukuran dalam mewujudkan tata

pemerintahan yang baik. Adapun hubungan ketiganya tersebut dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. Negara atau pemerintahan adalah sebagai pelaksana dan fasilitator


dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan.
Negara sebagai lembaga yang berhak terhadap pengaturan di dalam
sektor publik dalam menjalan tugas pemerintahan, namun di dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dalam kegiatan pemerintahan atau
kenegaraan maka harus melibatkan sektor swasta dan masyarakat
yang bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
2. Sektor swasta merupakan pengelola pasar berdasarkan kesepakatan
bersama yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang
aktif dalam interaksi sistem pasar yang mendukung dalam pencapaian
tujuan pembangunan nasional.
3. Masyarakat merupakan kelompok masyarakat yang berada ditengah-
tengah antara pemerintah dan sektor swasta, yang berinteraksi secara
157

sosial, politik dan ekonomi sesuai dengan kesepakatan bersama yang


diatur dalam peraturan perundangan dan mendukung pencapaian
tujuan pembangunan nasional.

Pada dasarnya prinsip penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang

baik di sektor publik, intinya adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi program

antar pemangku kepentingan serta adanya partisipasi yang aktif yang sinergis

dan terpadu antar pihak pemerintah, swasta dan masyarakat terkait. Prinsip ini

dapat dilakukan di semua sektor publik khususnya sektor pariwisata karena

peran penting dari pemangku kepentingan dalam melakukan interaksi

merupakan salah satu instrumen yang dapat mewujudkan tata pemerintahan

yang baik di sektor pariwisata.

Terdapat tiga syarat utama yang dikemukakan oleh Kementerian

Perencanaan Pembangunan/BAPPENAS (2005) untuk dapat mendorong proses

keterlibatan dunia usaha swasta dan masyarakat yaitu adanya kesempatan,

adanya kemampuan, adanya keamanan. Ketiga syarat ini dapat dipenuhi apabila

ada kesepakatan bersama yang menciptakan kesetaraan.

Penerapan good governance di sektor publik, sangat berpengaruh

terhadap sistem pemerintahan dalam mendukung pencapaian tujuan

pembangunan nasional, terutama dalam penetapan prioritas perencanaan

pembangunan daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan, peran pemerintah

tidak dominan karena pemerintah sebagai regulator atau fasilitator yang

bertujuan untuk menciptakan iklim yang nyaman dan kondusif dalam

pelaksanaan proses pembangunan nasional. Dengan demikian, sejalan dengan

yang pemikiran UNDP (Sedarmayanti, 2013:281), terdapat lima karakteristik

dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, yaitu:


158

1. Interaksi melibatkan tiga mitra besar: pemerintah, sektor swasta dan


masyarakat madani untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya
ekonomi, sosial dan politik.
2. Komunikasi, terdiri dari sistem jejaring dalam proses pengelolaan dan
kontribusi terhadap kualitas hasil.
3. Proses penguatan sendiri. Sistem pengelolaan mandiri adalah kunci
keberadaan dan kelangsungan keteraturan dari berbagai situasi
kekacauan yang disebabkan dinamika dan perubahan lingkungan,
memberi kontribusi terhadap partisipasi dan menggalakkan
kemandirian masyarakat, dan memberikan kesempatan untuk
kreativitas dan stabilitas berbagai aspek kepemerintahan yang baik.
4. Dinamis, keseimbangan berbagai unsur kekuatan kompleks yang
menghasilkan persatuan, harmoni, dan kerjasama untuk
pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan, kedamaian dan
keadilan, dan kesempatan merata untuk semua sektor dalam
masyarakat madani.
5. Saling ketergantungan yang dinamis antara pemerintahan, kekuatan
pasar dan masyarakat madani.

Lima karakteristik tersebut dalam mewujudkan good governance dapat

mencerminkan proses pengambilan keputusan dalam perencanaan

pembangunan yaitu partisipasi, transparansi, berorientasi kesepakatan,

kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas serta visi misi. Karakteristik ini juga

dapat menjadi standar yang harus dipenuhi dalam penyusunan perencanaan

pembangunan untuk mewujudkan good governance.

Karakteristik ini juga merujuk kepada konsepsi penyelenggaraan

pemerintahan yang baik di sektor pariwisata, bahwa masing-masing pemangku

kepentingan harus memiliki paling tidak Sembilan butir sifat seperti yang

dikemukakan oleh Sunaryo (2013: 82), yaitu

1. Partisipatif
Semua warga negara/ masyarakat mampu memberikan suaranya
dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun tidak langsung
ataupun melalui lembaga perantara yang diakui mewakili
kepentingannya. Partisipasi yang luas dibangun atas kebebasan
berorganisasi dan penyampaian pendapat secara konstruktif.
2. Penegakan dan kepatuhan pada peraturan perundangan
Dalam arti hukum harus ditegakkan atas dasar keadilan tanpa
memandang golongan dan perbedaan apapun.
3. Transparansi
159

Adanya aliran informasi yang bebas, serta adanya kelembagaan dan


informasi yang langsung dapat siakses oleh berbagai pihak yang
berkepentingan. Disamping itu, informasi juga harus cukup tersedia
dan mengerti serta dapat dipantau oleh semua pihak yang
berkepentingan.
4. Daya Tanggap
Adannya kemampuan kelembagaan dari pemerintah untuk memproses
dan melayani keluhan dan pendapat semua anggota masyarakat.
5. Orientasi pada konsensus
Kepemerintahan yang baik dituntut harus dapat menjembatani
perbedaan kepentingan antar warga masyarakat untuk mencapai
konsensus yang luas dan mampu mengakomodasi kepentingan
kelompok serta mencari kemungkinan dalam penentuan kebijakan dan
prosedur yang dapat diterima.
6. Bersikap Adil
Diupayakan bahwa semua warga masyarakat mempunyai kesempatan
untuk memperbaiki dan memiliki kesejahteraan.
7. Efektivitas dan Efisien
Setiap kinerja kelembagaan yang ada dan prosesnya harus mampu
membuahkan hasil yang dapat untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
8. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban
Dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah,
sektor swasta dan organisasi masyarakat harus selalu dapat
diupayakan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik dan segenap
stakeholders.
9. Visi Strategik
Pemimpin dan publik harus sama-sama memiliki perspektif yang luas
dan jangkauan jauh ke depan tentang pemerintahan yang baik,
pengembangan manusia dan kebersamaan serta mempunyai
kepekaan atas apa yang diperlukan untuk pembangunan nasional.

Wujud nyata yang diharapkan dari penyelenggaraan good governance,

melalui karakteristik ini adalah terciptanya pemerintahan yang kokoh dan

bertanggungjawab, efektif dan efisien dengan menjaga kesinergian interaksi

yang kondusif terhadap semua stakehoders (pemangku kepentingan) atau

semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Penyelenggaraan good governance dalam sistem kepariwisataan disebut

dengan tata kelola kepariwisataan (good tourism governance/GTG).

Konsep GTG, secara teoritik merupakan prinsip yang digunakan untuk

pencapaian tujuan dan misi pembangunan kepariwisataan berlanjut dan


160

berwawasan lingkungan. Prinsip GTG, pada intinya adalah adanya koordinasi

dan sinkronisasi program antar pemangku kepentingan yang ada serta pelibatan

partisipatif aktif yang sinergis (terpadu dan saling menguatkan) antara pihak

pemerintah, swasta/industry pariwisata dan masyarakat setempat. Dengan

demikian, kebijakan dalam tata kelola kepariwisataan merupakan respon

terhadap adanya perubahan yang bersifat global dan menjadi kebutuhan yang

sangat mendesak dalam penataan ulang, mengubah dan menyempurnakan

serta memperbaiki sistem dalam pengelolaan pariwisata.

Mahathir dan Ishihara (Sunaryo, 2013: 82) berpendapat bahwa

mewujudkan tata kelola kepariwisataan yang baik, ternyata sangat memerlukan

terciptanya kondisi ideal dari ketiga pemangku kepentingan (stakeholders)

sebagai berikut:

1. Pihak pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk mewadahi


proses politik atau pengambilan keputusan mengenai norma dan
kebijakan yang selanjutnya bisa diimplementasikan dalam bentuk
regulasi melalui proses birokrasi pemerintahan.
2. Pihak industri atau usaha swasta harus mempunyai kemampuan
untuk selalu meningkatkan persediaan modal, membuka kegiatan
baru dan menawarkan kesempatan berusaha baru untuk masyarakat
luas.
3. Sedangkan pihak masyarakat madani (civil society) harus
mempunyai kemampuan mandiri untuk membangun norma positif,
merumuskan permasalahan, mengartikulasikan permasalahan dan
kepentingan masyarakat luas dan mampu melakukan pengawasan
terhadap kedua mitranya.

Selanjutnya, penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan sangat erat kaitannya

dengan pengembangan potensi pariwisata, yang mencakup kepada komponen-

komponen utama, seperti yang dikemukakan oleh Sunaryo (2013: 159), sebagai

berikut:

1. Objek dan daya tarik yang mencakup: daya tarik yang bisa berbasis
utama pada kekayaan alam, budaya maupun buatan/artificial seperti
event atau yang sering disebut sebagai minat khusus.
161

2. Aksesibilitas yang mencakup dukungan sistem transportasi yang


meliputi: rute atau jalur transportasi, fasilitas terminal, bandara,
pelabuhan dan moda transportasi yang lain.
3. Amenitas yang mencakup fasilitas penunjang dan pendukung wisata
yang meliputi akomodasi, rumah makan, retail, toko cenderamata,
fasilitas penukaran uang, biro perjalanan, pusat informasi wisata dan
fasilitas kenyamanan lainnya.
4. Fasilitas pendukung yaitu ketersediaan fasilitas pendukung yang
digunakan oleh wisatawan, seperti bank, telekomunikasi, pos, rumah
sakit dan sebagainya.
5. Kelembagaan yaitu terkait dnegan keberadaan dan peran masing-
masing unsur dalam mendukung terlaksananya kegiatan pariwisata
termasuk masyarakat setempat sebagai tuan rumah.

Berdasarkan penjelasan di atas, komponen-komponen tersebut dapat

menciptakan suatu karakter potensi yang memiliki keunggulan dan keunikan

sehingga menghasilkan pariwisata yang unggul dan berdaya saing. maka,

komponen-komponen tersebut harus terkoordinasi dengan baik dan terintegrasi

sehingga mewujudkan tata kelola kepariwisataan yang efektif. Cox berpendapat

(Pitana dan Diarta, 2009), bahwa terdapat beberapa prinsip pengelolaan

pariwisata yang baik, yaitu:

1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus didasarkan pada

kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan

peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.

2. Preservasi (pemeliharaan), proteksi (perlindungan) dan peningkatan

kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan

pariwisata.

3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada kekhasan

budaya lokal

4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan

lingkungan lokal
162

5. Pemberian dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan

pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif tetapi

sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas pariwisata

tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan

alam atau akseptabilitas sosial walaupun di sisi lain mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat.

Upaya mewujudkan tata kelola pariwisata yang baik, tergantung pada

manajemen yang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan dari

pemerintah, industri sampai kepada masyarakat lokal dikawasa wisata.

Hernanda (2018), dalam pencapaian tujuan dan misi pengembangan pariwisata

hanya akan tercapai jika proses dilakukan melalui prinsip tata kelola pariwisata

yang baik yaitu keterlibatan semua pemangku kepentingan, penggunaan sumber

daya berkelanjutan, dan advokasi nilai budaya lokal. Kemudian, Wood (2002)

juga mengatakan bahwa program pariwisata yang baik harus mencakup unsur-

unsur berikut: konservasi keanekaragaman hayati berkelanjutan, melibatkan

masyarakat lokal, memberikan interpretasi dan menambah pengalaman,

mendorong tindakan positif, mendorong pengembangan industri kecil, konservasi

sumber daya tidak terbarukan, berfokus pada partisipasi lokal dan peluang bisnis

untuk masyarakat pedesaan.

Berdasarkan pendapat Hernanda dan Wood, maka dapat disimpulkan

bahwa mewujudkan tata kelola pariwisata yang baik harus dilakukan dengan

proses perencanaan yang baik yang meliputi penggunaan sumber daya yang

tepat dan tidak berlebihan sehingga potensi pariwisata yang dimiliki dapat

dikembangkan dan dikelola dengan baik dan terpelihara. Tata kelola pariwisata
163

juga terkait dengan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki seperti sumber daya

alam, sumber daya budaya, sumber daya manusia dan sumber daya minat

khusus.

2.9 Perencanaan Pembangunan Pariwisata

Secara umum, defenisi pembangunan kepariwisataan berkaitan dengan

perencanaan pembangunan, pariwisata berkelanjutan, dan pengembangan

pariwisata. Memahami pembangunan kepariwisataan harus dikaitkan dengan

paradigma pembangunan yang mempunyai tujuan dan strategi. Secara dinamik,

pembangunan kepariwisataan ini harus dapat melihat fokus dan beradaptasi

pada kondisi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat

setempat.

Sunaryo (2013:129), mendefenisikan pembangunan pariwisata

merupakan suatu proses perubahan pokok yang dilakukan manusia secara

terencana pada suatu kondisi kepariwisataan tertentu yang dinilai kurang baik,

yang diarahkan menuju ke suatu kondisi kepariwisataan tertentu yang dianggap

lebih baik atau lebih diinginkan. Pembangunan kepariwisataan tidak terlepas dari

tujuan dan strategi dalam kepariwisataan.

Berdasarkan paradigma pembangunan maka konsep pembangunan

kepariwisataan didefenisikan sebagai perencanaan pembangunan

kepariwisataan. Inskeep (1991) mendefenisikan perencanaan pembangunan

kepariwisataan sebagai suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematis

dan rasional segenap kegiatan atau aktivitas kepariwisataan yang akan

dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan merupakan suatu cara untuk

mencapai tujuan tersebut secara optimal dengan mengalokasikan keseluruhan


164

sumber daya yang tersedia secara efektif dan efisien. Kemudian, Clare A Gunn

(Sunaryo, 2013: 132), juga menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan

kepariwisataan merupakan sebuah prediksi dan proyeksi ke depan melalui

proses yang menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang akan dicapai

melalui segenap pertimbangan terhadap analisis dan pengalaman yang ada

dalam menyatakan tujuan-tujuan kepariwisataan yang akan diwujudkan.

Secara konseptual dan teoritik, bahwa perencanaan pembangunan

parwisata tidak berbeda dengan perencanaan pembangunan di bidang lainnya.

Lusticky, et.al (2011: 51) bahwa yang membedakan perencanaan pembangunan

pariwisata dengan perencanaan pembangunan secara umumnya adalah

manajemen strategisnya. Seiring dengan penjelasan tersebut, menurut Yoeti

(2016:47), bahwa dalam pertumbuhan kepariwisataan yang tidak terkendali

sebagai akibat dari perencanaan yang tidak baik dan juga akan menimbulkan

dampak yang tidak baik. Dengan kata lain pembangunan pariwisata yang tidak

direncanakan akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan budaya

terutama di daerah atau tempat dimana terdapat perbedaan tingkat sosialnya

antara pendatang dan penduduk setempatnya.

Merujuk pada yang telah dikemukakan di atas, maka Teguh (2015:1),

mengemukakan bahwa pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk mengelola

sumber daya dan menciptakan nilai tumbuh secara arif, terintegrasi, holistik,

sistemik agar meningkatkan kualitas pengalaman keberlangsungan nilai dan

manfaat bagi masyarakat lokal. Pembangunan pariwisata menjadi sektor

unggulan dan memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi

nasional yang berkaitan dengan peningkatan perolehan devisa.


165

Pembangunan pariwisata dalam perspektif pembangunan sumber daya

manusia, mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,

khususnya masyarakat yang hidup di sekitar destinasi pariwisata. Pembangunan

pariwisata tidak hanya meningkatkan kesejahteraan material dan spiritual tetapi

juga meningkatkan kesejahteraan kultural dan intelektual. Dengan demikian,

sangat penting dalam pembangunan pariwisata mempunyai standar

perencanaan sebagai pedoman atau acuan dalam pelaksanaan program-

programnya.

Pelaksanaan pembangunan pariwisata ini juga harus didukung kebijakan

yang baik dan efektif, sehingga dapat mendukung pengembangan pariwisata.

Secara umum, kebijakan kepariwisataan sebagai bagian dari kebijakan negara

yang berpengaruh positif terhadap kondisi daerah dan pertumbuhan ekonomi.

Goeldner dan Ritchie (2009: 414) menjelaskan kebijakan kepariwisataan sebagai

berikut;

Tourism policy can be defined as a set of regulations, rules, guidelines,


directives, and development/promotion objectives and strategies that
provide a framework within which the collective and individual decisions
directly affecting long term tourism development and the daily activities
within a destination are taken. (Kebijakan pariwisata sebagai
seperangkat peraturan, pedoman, arahan, dan tujuan
pengembangan/promosi serta strategi yang menyediakan kerangka
kerja dimana keputusan kolektif dan individu secara langsung
mempengaruhi pengembangan pariwisata jangka panjang dalam
pencapaian tujuan)

Senada dengan pernyataan tersebut Paul S. Biederman berpendapat (Antariksa,

2016:8) bahwa:

Kebijakan pariwisata sebagai arah atau tindakan yang harus dilakukan


negara tertentu, wilayah, lokalitas, atau rencana tujuan individu saat
mengembangkan atau mempromosikan pariwisata. Prinsip utama
kebijakan pariwisata adalah memastikan bahwa negara (wilayah atau
wilayah) dapat memperoleh manfaat semaksimal mungkin dari
kontribusi ekonomi dan sosial pariwisata. Tujuan akhir dari kebijakan
166

pariwisata adalah untuk memperbaiki kemajuan bangsa (wilayah atau


wilayah) dan kehidupan warganya.

Sejalan dengan pendapat Paul S. Biederman, maka Kettler (2015), menjelaskan

bahwa:

Tourism policy is essentially the promotion of tourism related industries


which form the demand driven heterogeneous tourism sector. It is a
multifaceted promotional policy which has an industrial but also an
overall economic policy character. The rationale of tourism policy as part
of state policies is its resulting positive externalities on the economy.
Kebijakan pariwisata pada dasarnya adalah promosi industri yang
berkaitan dengan sektor pariwisata dan didorong oleh permintaan. Ini
adalah kebijakan promosi multifaset yang memiliki karakter kebijakan
ekonomi secara keseluruhan Dasar pemikirannya bahwa kebijakan
pariwisata sebagai bagian dari kebijakan negara yang eksternalitas
positifnya terhadap perkembangan perekonomian.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka kebijakan pariwisata itu terkait

dengan pemasaran, perencanaan dan berkelanjutan, dan juga berupa tindakan

yang mempunyai metode atau cara dalam menjalankan prosedur dan prinsip

untuk pencapaian tujuan sesuai dengan yang diharapkan dam jangka waktu

yang telah ditentukan. Secara umum tujuan dari kebijakan pariwisata adalah

untuk mengintegrasikan aspek ekonomi, politik, sosial budaya, secara terpadu

dan terkoordinir sehingga menghasilkan keuntungan dan kesejahteraan bagi

publik. Maka, kebijakan dalam pengembangan pariwisata sangatlah penting,

apalagi terkait dengan proses perencanaan sehingga tercipta kedamaian dan

kemakmuran dalam suatu Negara.

Sesuai dengan kebijakan pariwisata di atas dapat disimpulkan bahwa

terdapat dua aspek yang melatar belakangi standarisasi perencanaan

pembangunan pariwisata, yaitu aspek permintaan dan aspek penawaran. Terkait

aspek permintaan, meliputi 1) permintaan yang semakin tinggi karena laju

pertumbuhan ekonomi kawasan, transportasi, informasi dan komunikasi; 2)


167

peningkatan kebutuhan akan kualitas hidup, terutama pendidikan, kesehatan dan

ekonomi; 3) peningkatan aspek spiritual dan keinginan untuk mengunjungi

tempat-tempat wisata baik bersifat religi maupun non religi; 4) peningkatan

kebutuhan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan.

Sedangkan aspek penawaran, meliputi 1) kebutuhan untuk menyediakan

barang dan jasa yang berdaya saing untuk merebut pasar pariwisata; 2)

kebutuhan dasar untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa secara

berkelanjutan; 3) kebutuhan untuk menjamin bahwa industri pariwisata yang

berkembang tidak memberikan dampak negatif, baik secara sosial, budaya dan

lingkungan; 4) kebutuhan akan dukungan pendanaan, kebijakan dan bantuan-

bantuan teknis lainnya antara lain bantuan stakeholder, investor dan lembaga

lainnya. Aspek permintaan dan penawaran ini mencerminkan bahwa dalam

pembangunan pariwisata sangat dibutuhkan standarisasi perencanaan yang

berkualitas sehingga dapat mewujudkan pariwisata yang berdaya saing dan

berkelanjutan.

Sejalan dengan aspek permintaan dan aspek penawaran dalam

perencanaan pembangunan pariwisata, maka Sunaryo (2013: 137) menjelaskan

tentang upaya untuk mendorong pembangunan kepariwisataan yang efektif,

maka dalam pelaksanaan kebijakan pariwisata ini memadukan antara strategi

pertumbuhan dan strategi pemerataan, sebagai berikut:

1. Strategi pertumbuhan, pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai


strategi membangun pusat-pusat pertumbuhan pariwisata yang akan
menjadi generator atau pemicu pembangunan sektor pariwisata yang
ada di wilayah atau kawasan yang telah diidentifikasi memiliki potensi
kepariwisataan yang kuat dan memiliki skala jangkauan pasar yang luas
(nasional, regional, dan internasional), sehingga dapat memberikan
dampak perkembangan dan pengembangan wilayah serta ekonomi
kawasan sekitarnya melalui mata rantai kegiatan usaha dan tenaga
kerja yang terkait dalam sistem kepariwisataan. Strategi pertumbuhan
dapat disebut juga sebagai strategi akselerasi melalui peningkatan daya
168

saing produk atau destinasi pariwisata yang dilakukan dalam upaya


memperkuat dan meningkatkan kapasitas dan kualitas produk di
destinasi agar memiliki daya Tarik yang kompetitif maupun dalam
menarik pangsa pasar wisatawan strategis baik yang ada di ceruk pasar
utama maupun potensial.
2. Strategi Pemerataan, disebut juga sebagai strategi penyebaran
pertumbuhan kepariwisataan yang pada dasarnya merupakan strategi
yang dilaksanakan guna untuk memeratakan aktivitas pembangunan
kepariwisataan bagi wilayah yang memiliki sumber daya kepariwisataan
potensial namun tertinggal (potensi kepariwisataan yang dimiliki belum
mampu memberikan kontribusi/manfaat ekonomi secara signifikan bagi
wilayah terkait dan membantu mengurangi kemiskinan). Dalam
konstelasi kewilayahan kepariwisataan di Indonesia, strategi
pemerataan pembangunan kepariwisataan ini perlu lebih intensif
dilakukan di wilayah provinsi atau Kabupaten/Kota di kawasan timur
Indonesia yang cenderung tertinggal pertumbuhan sektor
kepariwisataannya. Program-program terobosan dalam pengembangan
produk, infrastruktur, industri, pemasaran serta sumber daya manusia,
maupun kelembagaan akan menjadi elemen programatis yang sangat
penting untuk menggerakkan aktivitas kepariwisataan ke wilayah-
wilayah yang tertinggal.

Kedua strategi tersebut juga harus didukung oleh standarisasi dalam

perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam kebijakan

kepariwisataan yaitu Pertama, nilai yang menunjang tinggi keinginan/kehendak

rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai

tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan

sosial. Kedua, aspek fungsional atas pemerintahan yang efektif dan efisien

dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Pendapat Sunaryo tersebut juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS pada pasal 2 ayat (1), ada empat

unsur utama dalam pembangunan kepariwisataan, yaitu destinasi pariwisata,

pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan kelembagaan pariwisata. Maka,

keempat unsur tersebut didefenisikan sebagai berikut:

Pertama, Destinasi pariwisata dalam sistem kepariwisataan


dimaksudkan sebagai kawasan geografis yang berada dalam satu atau
169

lebih wilayah administrasi yang didalamnya terdapat daya Tarik wisata,


fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang
saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
Kedua, Pemasaran Wisata dalam sistem kepariwisataan, merupakan
serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan,
menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan
untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh pemangku
kepentingannya.
Ketiga, Industri Pariwisata, merupakan kumpulan usaha pariwisata
yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.
Keempat, Kelembagaan Pariwisata sebagai keseluruhan institusi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya
manusia, regulasi serta mekanisme operasional yang terkait dengan
kepariwisataan

Pembangunan kepariwisataan juga terkait dengan proses pengambilan

keputusan yang membutuhkan perencanaan yang matang. Edgell, et.al (2008:

7) bahwa pembuat kebijakan harus memahami kebutuhan untuk

mengembangkan strategi luas, disesuaikan dengan kondisi berfluktuasi atau

matang. Pembuat kebijakan dalam cakrawala pariwisata harus dapat mencakup

sepenuhnya pengetahuan tentang tren pasar pariwisata dan mekanisme

pelaksanaannya sehingga dapat disesuaikan dengan penyusunan rencana

strategis untuk menghadapi globalisasi dan persaingan.

Merujuk pada pendapat Edgell, maka Judisseno (2017: 72)

menyimpulkan pentingnya proses pengambilan keputusan dalam menyusun

sebuah perencanaan pembangunan pariwisata, yaitu


170

Situational Analysis 2. Process: Government policies


The settlements among and programs
the political system and
parties concerned

1. Input:
Group demands toward 3. Output:
environmental, economic,
Public policies for tourism
social, national security and
political conditions

4. Outcomes:
may have modifying effect on the
sector such as incremental
Evaluation and Legacy modification, elite preference, rational
model, and other model of decision
making process

Gambar 2.8 The Decision Making Process Model


Sumber: Judisseno, 2017: 72

Gambar 2.8 di atas menggambarkan proses pengambilan keputusan

dalam pengembangan pariwisata. Proses ini tidaklah mudah dan butuh proses

yang panjang, untuk dapat mengakomodasi berbagai tekanan dari berbagai

kepentingan. Judisseno (2017: 73), di satu sisi, pada suatu kondisi dan situasi

tertentu, masyarakat dapat saja menuntut perbaikan kebijakan agar lebih

kondusif, dan disisi lainnya pemerintah atas dasar desakan masyarakat dapat

melakukan evaluasi kinerjanya untuk mengetahui apakah program-program

tersebut tidak tercapai sesuai dengan tuntutan publik maka pemerintah harus

membuat kebijakan yang baru.

Pembangunan pariwisata yang diatur dalam undang-undang

kepariwisataan bukan hanya sekedar sebagai bentuk interaksi antara wisatawan

dan obyek wisata saja tetapi juga sebagai sebuah kesatuan sistem yang saling

berkaitan. Pariwisata sebagai sektor unggulan dalam pembangunan nasional

untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui peningkatan pendapatan


171

daerah. Dengan demikian, untuk mewujudkannya maka pemerintah harus dapat

membuat perencanaan dan strategi yang matang dalam mendorong

pembangunan pariwisata berkelanjutan khususnya di kawasan Danau Toba

sehingga tujuan pengembangan pariwisata di daerah ini dapat terlaksana sesuai

dengan yang diharapkan.

Perencanaan pembangunan pariwisata harus mempunyai prinsip-prinsip

dalam perumusannya. Yoeti (2016: 58), adapun prinsip-prinsip perumusan

perencanaan pembangunan pariwisata, sebagai berikut:

1. Perencanaan pengembangan kepariwisataan haruslah mempunyai satu


kesatuan dengan pembangunan regional, atau nasional dari
pembangunan perekonomian negara. Karena itu, perencanaan
pengembangan kepariwisataan hendaknya termasuk di dalam kerangka
kerja dari pembangunan ekonomi dan sosial budaya yang hidup di
negara tersebut.
2. Seperti halnya perencanaan sektor perekonomian lainnya, perencanaan
pengembangan kepariwisataan menghendaki pendekatan terpadu
dengan sektor-sektor lainnya yang banyak berkaitan dengan bidang
kepariwisataan.
3. Perencanaan pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah
haruslah di bawah koordinasi perencanaan fisik daerah secara
keseluruhan.
4. Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus pula
berdasarkan suatu studi yang khusus dibuat untuk itu dengan
memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan, alam dan budaya di
daerah tersebut.
5. Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus
didasarkan atas penelitian yang sesuai dengan lingkungan alam sekitar
dengan memperhatikan faktor geografi yang luas dan tidak meninjau
dari segi administrasi saja.
6. Rencana dan penelitian yang berhubungan dengan pengembangan
kepariwisataan pada suatu daerah harus memperhatikan faktor ekologi
daerah yang bersangkutan.
7. Perencanaan pengembangan kepariwisataan tidak hanya
memperhatikan masalah dari segi ekonomi saja, tetapi tidak kalah
pentingnya memperhatikan masalah sosial yang mungkin
ditimbulkannya.
8. Pada masa-masa yang akan datang jam kerja para buruh dan karyawan
akan semakin singkat dan waktu senggang akan semakin panjang,
karena itu dalam perencanaan pariwisata, khususnya di daerah yang
dekat dengan industry perlu diperhatikan pengadaan fasilitas rekreasi
dan hiburan di sekitar daerah yang disebut sebagai pre urban.
172

9. Pariwisata, walau bagaimana bentuknya, tujuan pengembangannya


tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak tanpa
membedakan ras, agama, dan bangsa. Karena itu pengembangan
pariwisata perlu pula memperhatikan kemungkinan peningkatan
kerjasama dengan bangsa-bangsa lain yang saling menguntungkan.

Prinsip ini harus dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata dan diperlukan keputusan

politik yang bersifat strategis. Dengan adanya prinsip tersebut, maka dalam

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata dapat disesuaikan dengan

tuntutan kebutuhan, dan dinamika perkembangan sektor pariwisata berdasarkan

isu-isu strategis. Melalui prinsip perencanaan pembangunan pariwisata tersebut

juga diharapkan dapat menciptakan standarisasi dalam perumusan perencanaan

pembangunan pariwisata sehingga menghasilkan perencanaan yang berkualitas

dan bermutu.

Standarisasi sektor pariwisata yang berkaitan dengan perencanaan

merupakan suatu proses pembuatan aturan yang bersifat wajib yang dijadikan

acuan atau cara uji yang menghasilkan kualitas, kuantitas, nilai dan hasil karya

yang nyata. Maka, standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata berkaitan

dengan prinsip-prinsip dalam perencanaan, oleh Sunaryo (2013: 133-134) bahwa

perencanaan pembangunan pariwisata dapat dilaksanakan secara baik, dengan

beberapa prinsip yang harus digunakan, yaitu

1. Allocative.
Dalam perencanaan pembangunan kepariwisataan diperlukan
sinkronisasi dan koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
proses penyusunan rencana tersebut. Singkronisasi dan koordinasi
diperlukan dalam kerangka untuk menghindari konflik, baik pada saat
proses penyusunan rencana dan implementasi.
2. Innovative.
Perencanaan pembangunan kepariwisataan bertujuan untuk
menjadikan pariwisata bernilai dan manfaat. Untuk itu, dalam
perencanaan pembangunan kepariwisataan diperlukan kreasi dan
inovasi untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
173

3. Single and Multiobjective.


Dalam perencanaan pembangunan kepariwisataan harus bersifat
fleksibel sehingga dapat mencapai satu atau beberapa sasaran dalam
waktu yang bersamaan.
4. Indicative.
Dalam perencanaan pembangunan kepariwisataan melahirkan
konsep-konsep yang dapat dijadikan sebagai penunjuk dalam
pelaksanaan pembangunan pariwisata.
5. Imperative.
Dalam konsep perencanaan pembangunan kepariwisataan yang
disusun harus bersifat implementabel dan dapat dilaksanakan oleh
berbagai stakeholders kepariwisataan.

Dengan adanya standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata,

maka suatu kelompok atau lembaga dapat dengan mudah saling berkomunikasi

dengan satu sama lain apalagi terkait dalam proses pengambilan keputusan

sehingga dapat tetap menjaga fokus dan peranan penting masing-masing.

Standar perencanaan pariwisata ini dikembangkan menjadi suatu acuan atau

panduan yang cenderung kepada pengembangan organisasi di sektor

pariwisata. Veal (2002: 118), terdapat berbagai keuntungan dalam penerapan

standar perencanaan pariwisata, yaitu 1) kesederhanaan (mudah dimengerti

menjadi hal penting untuk berkomunikasi); 2) efisiensi; 3) otoritas; 4)

measurability (mudah dinilai untuk pencapaian kemajuan); 5) komparatif; 6)

ekuitas. Kemudian Yoeti (2016: 48) terdapat beberapa aspek yang perlu

diketahui dalam menentukan standar perencanaan pariwisata, yaitu

Pertama: Wisatawan

Harus mengetahui karakteristik wisatawan yang berkunjung ke

objek wisata. Karakteristik ini meliputi dari Negara mana

wisatawan datang, anak muda atau orang tua, pengusaha atau

pegawai biasa dan beberapa kesukaan para wisatawan dalam

melakukan perjalanannya.
174

Kedua: Pengangkutan

Bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia atau yang akan

dapat digunakan baik membawa wisatawan dari dalam Negara

maupun di luar Negara. Bagaimana transportasi lokal dalam

melakukan perjalanan wisata yang dikunjungi (layak atau tidak

layak).

Ketiga: Atraksi/Objek Wisata

Bagaimana objek atraksi yang akan dijual, apakah memenuhi tiga

syarat seperti di bawah ini:

- Apa yang dapat dilihat

- Apa yang dapat dilakukan

- Apa yang dapat dibeli di destinasi wisata yang dikunjungi

Keempat: Fasilitas Pelayanan

Fasilitas apa saja yang tersedia di destinasi tempat wisata,

bagaimana akomodasi perhotelan yang ada, restoran, pelayanan

umum seperti bank/money changers, kantor pos, telepon di

destinasi tempat wisata yang dikunjungi.

Kelima: Informasi dan Promosi

Calon wisatawan perlu memperoleh informasi tentang destinasi

tempat wisata yang dikunjungi. Untuk itu perlu dipikirkan cara-cara

publikasi atau promosi yang akan dilakukan. Kapan iklan harus

dipasang, kemana leaflets/brochures harus disebarkan, sehingga

calon wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang kita jumlah

semuanya ini perlu agar calon wisatawan mudah cepat mengambil


175

keputusan, berangkat atau tidak ke destinasi tempat wisata yang

ditawarkan.

Berdasarkan standar perencanaan pariwisata di atas, maka pariwisata

mempunyai potensi yang besar dalam peningkatan kualitas hubungan antar

manusia dan antar bangsa sehingga terjalin hubungan yang saling pengertian,

saling menghargai, persahabatan dan perdamaian, dan sesuai dengan yang

telah diatur dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan. Terdapat

beberapa komponen untuk mendukung optimalisasi perencanaan pembangunan

pariwisata, seperti yang dikemukakan oleh Reid (2003: 145), yaitu

1. The creation of a vision to establish an overall framework for tourism


development. (Penciptaan visi untuk membangun kerangka kerja
keseluruhan untuk pengembangan pariwisata)
2. The setting of goals and objectives to bring that vision about
(Pengaturan tujuan dan sasaran untuk mewujudkan visi tersebut)
3. The development of programs designed to accomplish the relevant
objectives (Pengembangan program yang dirancang untuk mencapai
tujuan yang relevan)
4. An evaluation of the feasibility, usually financial, of the proposed
project, and if necessary its adaptation or refinement (Evaluasi
kelayakan, biasanya keuangan, proyek yang diusulkan, dan jika perlu
adaptasi atau penyempurnaan
5. The implementation and on going monitoring of the project established
as a result of the planning and decision making process. (Pelaksanaan
dan pemantauan yang berjalan dari proyek yang ditetapkan sebagai
hasil dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan).

Komponen ini juga membutuhkan citizen input, yang disebut Reid sebagai

stakeholders (individual and community). Komponen ini diperlukan untuk dapat

terus melaksanakan dinamika perkembangan pembangunan pariwisata karena

motivasi, minat, tuntutan dan kebutuhan serta perilaku manusia (wisatawan)

terus akan mengalami perubahan terkait dengan tujuan berwisatanya. Kemudian,

Kemp (1993: 19) bahwa stakeholder adalah setiap kelompok atau individu yang
176

dipengaruhi oleh atau yang dapat mempengaruhi masa depan organisasi kita,

dengan kata lain mereka memiliki peran penting dengan apa yang kita lakukan.

Kemudian, Schmerr dalam (Murdiastuti, 2014), mengatakan bahwa stakeholder

merupakan pemain baik dalam bentuk perorangan maupun organisasi yang

memiliki kepentingan pada peningkatan kebijakan. Secara umum stakeholder

selalu dikaitkan dengan kepentingan dan pengaruh.

Kepentingan sangat berkaitan dengan kebutuhan individu ataupun

organisasi, dan besarnya kepentinngan individu ataupun organisasi dinilai

melalui keterlibatan, manfaat yang diperoleh, persentase program kerja yang

berkaitan dengan objek wisata dan jenis wisata, tingkat ketergantungan dan

peran individu/organisasi dalam pengelolaan pariwisata. Damanik dan Weber

(2006), mengatakan stakeholder di sektor pariwisata yang terlibat dalam pasar

pariwisata, yaitu:

1. Wisatawan

Merupakan konsumen atau pengguna produk dan layanan pariwisata.

wisatawan memliki beragam motif, minat, ekspektasi, karakteristik sosial,

ekonomi dan budaya yang berdampak langsung terhadap kebutuhan wisata

atau permintaan wisata.

2. Industri Pariwisata

Industri pariwisata dikelompokkan ke dalam pelaku langsung dan pelaku

tidak langsung. Pelaku langsung adalah usaha-usaha yang menawarkan

jasa langsung kepada wisatawan, seperti hotel, restoran, pusat informasi

dan biro perjalanan. Sedangkan pelaku tidak langsung adalah usaha yang

mengkhususkan diri pada produk-produk yang secara tidak langsung

mendukung pariwisata seperti usaha kerajinan tangan, penerbit buku,


177

penjual roti. Industri pariwisata dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara

berkembang. Hal itu karena industri pariwisata memiliki empat unsur untuk

mewujudkan kekuatan pasar yang dinamis di masa depan, yaitu

meningkatkan kapasitas eksport, menarik para investor untuk menanamkan

modal, meningkatkan pendapatan ekonomi daerah dan menciptakan

lapangan pekerjaan.

3. Pendukung Jasa Pariwisata

Usaha yang tidak secara khusus menawarkan produk dan jasa wisata tetapi

seringkali bergantung pada wisatawan sebagai pengguna jasa dan produk

yang dimiliki, seperti jasa fotografi, jasa kecantikan, olah raga, penjualan

BBM.

4. Pemerintah

Pelaku pariwisata yang memiliki otoritas dalam pengaturan, penyediaan dan

peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata

serta bertanggungjawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan

pariwisata.

5. Masyarakat Lokal

Penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata. Masyarakat lokal

merupakan pemilik langsung atraksi wisata yang dikunjungi sekaligus

dikonsumsi wisatawan baik berupa air, tanah, hutan, landskap maupun

kesenian.

Stakeholder yang dijelaskan di atas, berperan sebagai elemen

pendukung pariwisata yang kemudian berinteraksi membentuk suatu sistem yang

disebut sistem pariwisata. Murdiastuti (2014), mengatakan bahwa sistem


178

pariwisata memiliki 4 (empat) unsur pokok yang saling terkait yaitu permintaan

atau kebutuhan, penawaran atau pemenuhan kebutuhan, pasar dan

kelembagaan yang berperan untuk fasilitas keduanya, dan pelaku atau aktor

yang menggerakkan ketiga elemen sebelumnya. Hubungan diantara unsur-unsur

pokok pariwisata dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

Kebijakan Pariwisata
c c
a b

d e
Penawaran Produk Permintaan

Pasar/Pelaku Pariwisata

Keterangan:
a) Mendorong; b) Mengendalikan; c) Mempengaruhi; d)
Mengembangkan dan Memasarkan; e) Membeli
Sumber: Damanik dan Weber 2006

Gambar 2.9 Sistem Kepariwisataan

Berdasarkan gambar 2.9 ini, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah

pemerintah harus selalu berupaya mengoptimalkan perencanaan pembangunan

pariwisata yang sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan dinamika perkembangan

dan menghasilkan perubahan yang dinamis dan memberikan manfaat bagi

masyarakat. Dengan demikian, setiap pemerintah daerah harus segera

menindak lanjuti kebijakan kepariwisataan berupa penyusunan rencana induk

pembangunan kepariwisataan yang terdiri dari rencana induk pembangunan


179

kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi

dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Collarbone

(2009), mengemukakan bahwa pada proses perubahan yang dinamis, organisasi

harus fokus pada:

1. Perencanaan jangka panjang: rencana untuk perbaikan yang


berkelanjutan harus menyeimbangkan kemenangan cepat dan perubahan
jangka panjang. Sebagai contoh, perubahan perlu dilakukan secara
bertahap untuk terus menuju tujuan akhir, sementara juga memberikan
perbaikan segera yang berdampak positif pada hasil.
2. Mengatasi ketegangan: mereka yang terlibat dalam perubahan perlu
memahami kapan dan dimana ada ketegangan antara tujuan mereka,
dan mengembangkan solusi dengan cara yang tetap fokus pada solusi
yang berhasil dan dibagi. Ini melibatkan mengomunikasikan kasus untuk
perubahan dan memastikan keterlibatan semua staf dalam pengambilan
keputusan.
3. Menggunakan bukti untuk merencanakan perubahan: jika memungkinkan,
solusi harus didasarkan pada bukti dari model dan intervensi pengiriman
yang sukses baik internal maupun eksternal
4. Peningkatan berkelanjutan; organisasi perlu mengembangkan
manajemen kinerja yang memastikan fokus pada hasil dan meninjau
praktik secara berkelanjutan. Pemikiran baru dan cara kerja perlu
diperiksa terhadap standar kualitas dan dimasukkan ke dalam rencana
baru.

Terkait perencanaan pembangunan daerah di sektor pariwisata, terdapat

dua dokumen yang harus dilakukan dalam perencanaan pembangunan daerah,

seperti yang dikemukakan oleh Mahi dan Trigunarso (2017: 53) yaitu

1. Dokumen yang disusun oleh BAPPEDA


Meliputi, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
2. Dokumen yang disusun oleh SKPD
Meliputi: Rencana Strategis (RENSTRA) SKPD dan Rencana Kerja
SKPD

Sedangkan Sjafrizal (2014:91-93), mengemukakan bahwa dokumen

perencanaan pembangunan terdapat lima dokumen, yaitu

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)


180

Merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang


untuk periode selama 20 tahun yang berisikan jabaran dari tujuan
dibentuknya negara Indonesia dan berisikan hal-hal yang bersifat
umum dan menyeluruh seperti visi dan misi serta arah
pembangunan.
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Merupakan dokumen perencanaan jangka menengah untuk periode
lima tahun ke depan, yang berisikan jabaran konkrit visi dan misi
yang selanjutnya dijabarkan menjadi kebijakan dan program
pembangunan dengan memperhatikan kondisi keuangan yang ada.
3. Rencana Strategi Institusi (RENSTRA SKPD)
Merupakan perencanaan untuk suatu institusi tertentu seperti di dinas
dan instansi atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang
berisikan mencakup hanya bidang tertentu saja dan jangka waktu
lima tahun.
4. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Merupakan rencana tahunan yang bersifat lebih operasional
dibandingkan dengan RPJM. RKPD merupakan jabaran dari RPJMD
yang berisikan kebijakan, program, dan kegiatan untuk 1 tahun
sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
5. Rencana Kerja Institusi (RENJA SKPD)
Merupakan rencana tahunan yang bersifat operasional yang isinya
mirip dengan RKPD, dan merupakan penjabaran dari renstra yang
dibuat oleh masing-masing SKPD terkait sesuai dengan tupoksinya
masing-masing.

Keterkaitan antar dokumen perencanaan pembangunan pariwisata

sangatlah penting, karena terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan

nasional yang telah dirumuskan terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat

dijelaskan bahwa perencanaan pembangunan yang dirumuskan tingkat pusat

akan mempengaruhi agenda pembangunan daerah yang disusun dan

dirumuskan oleh daerah yang bersangkutan. Misalnya; visi dan misi yang

dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah pusat maka juga akan

mempengaruhi pemerintahan di tingkat daerah.

Visi dan misi harus mencerminkan keunggulan daerah yang dapat

mendukung pembangunan daerah, misalnya sektor pariwisata. Visi yang dibuat

oleh pemerintah ini disusun untuk menjawab tantangan yang harus dihadapi,
181

sesuai dengan kebijakan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Visi dan

misi yang dirumuskan secara umum dan menyeluruh harus menjabarkan sektor

yang paling diunggulkan dalam pembangunan daerah. Maka, tujuan dan sasaran

yang akan ditargetkan oleh pemerintah daerah dalam membangun daerahnya

yaitu sektor yang diunggulkan yaitu pariwisata. Maka, dalam pelaksanaan

perencanaan pembangunan pariwisata harus memiliki nilai yang mendasari

suatu model dan strategi perencanaan pembangunan kepariwisataan, seperti

yang dikemukakan oleh Sunaryo (2013: 131) yaitu

1. Keberpihakan terhadap visi, misi, tujuan dan sasaran prioritas


tertentu dari proses pembangunan kepariwisataan yang akan
diselenggarakan. Keseluruhan dokumen visi, misi, tujuan dan
sasaran ini biasanya dirumuskan oleh kehendak politik dari pihak
otoritas yang berwenang.
2. Fleksibilitas yang adaptif dari pertumbuhan pembangunan
kepariwisataan yang sesuai dengan dinamika perkembangan sosial,
ekonomi, budaya dan politik di kawasan nasional maupun
internasional
3. Terjaganya keberlanjutan pembangunan kepariwisataan yang telah
mencakup antisipasi untuk tuntutan kebutuhan bagi generasi yang
akan datang.
4. Antisipatif dan responsif yang di dalam ini perencanaan
pembangunan kepariwisataan harus selalu memperhatikan,
memperhitungkan, dan mempertimbangkan keseluruhan dinamika
situasi dan realitas kenyataan kepariwisataan di seluruh wilayah yang
terkait.

Demikian halnya, maka dalam penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata harus dilakukan dengan hati-hati, mendalam, menyeluruh dan tepat

untuk mengantisipasi keseluruh keadaan yang akan terjadi di masa datang.

Untuk mendukung penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata tersebut,

maka dibutuhkan pentingnya sebuah model atau strategi yang dapat mengatur

dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan pariwisata.

Menurut Elliot (1997: 6) pariwisata adalah industri dinamis yang selalu

berubah dan selalu ada tantangan dan masalah baru. Melalui perencanaan yang
182

matang dan peran pemerintah dalam pengembangan pariwisata, maka

diharapkan dapat menciptakan solusi bagi permasalahan pariwisata. Namun,

secara faktanya terlalu banyaknya intervensi, terlalu banyaknya peraturan dan

kontrol, akhirnya menjadi bertambahnya masalah dan bukan solusi. Kemudian,

Reid (2003) menjelaskan pariwisata adalah kekuatan dinamis yang

menghomogenkan masyarakat dan mengkomodifikasi budaya di seluruh dunia.

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pariwisata tidak hanya

berdampak ekonomi tetapi juga dapat mempengaruhi alam dan budaya lokal.

Secara umum, pariwisata dikendalikan sektor swasta dan sektor publik berperan

penting dalam menyediakan pedoman kebijakan yang diperlukan, dan

lingkungan, infrastruktur dan manajemen yang dibutuhkan baik di bidang

ekonomi maupun di bidang lainnya. Dengan demikian, pembangunan pariwisata

perlu direncanakan dengan baik karena terkait dengan fenomena pariwisata

yang kompleks karena meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, pariwisata

dapat mengakibatkan dampak positif dan negative bagi kehidupan manusia dan

juga pariwisata mempengaruhi semua orang dalam komunitas tertentu dan

semua terlibat dalam proses perencanaan pariwisata.

Perencanaan pariwisata secara menyeluruh mencakup berbagai aspek

seperti yang dikemukakan oleh Judisseno (2017: 81), yaitu

1. Aspek pengembangan destinasi tujuan wisata lokal, regional, nasional


dan internasional;
2. Aspek soft infrastructure, yaitu berbagai aspek yang terkait dengan
human capital dan semua kelembagaan yang bertanggungjawab pada
keberlangsungan ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan standar sosial
yang meliputi adanya the financial system, the education system, the
health care system, the government system, the law enforcement and
the safety and security system;
3. Aspek hard infrastructure yaitu semua jenis kontruksi fisik, seperti
jalan, jembatan, terowongan, instalasi listrik, telepon, perbankan, air
bersih dan lain-lain;
183

4. Berbagai program promosi dan pemasaran baik di dalam maupun di


luar negeri;
5. Kelembagaan yang mengatur pariwisata baik di pusat maupun di
daerah.

Menanggapi penjelasan yang dikemukakan oleh Judiseno, apabila

pembangunan kawasan pariwisata yang dilakukan tanpa perencanaan, maka

dapat memberikan dampak negatif, yaitu dampak fisik kawasan tidak tertata

dengan baik sehingga mengurangi daya tarik wisata. Dampak sosial budaya juga

akan mengakibatkan hilangnya ciri khas keaslian budaya masyarakat lokal akibat

kulturalisasi yang berlebihan. Dampak pemasaran yang berlebihan disebabkan

terjadinya ketidak efisienan pemasaran yang dilakukan oleh berbagai pihak

karena tidak terkoordinasi dengan baik. Selanjutnya, berdampak pada

pengorganisasian di lingkungan masyarakat maupun pemerintah.

Perencanaan pembangunan pariwisata, harus bersifat komprehensif

dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Maka,

sangat dibutuhkan peran pemerintah untuk dapat menjadi perencana yang baik

dan dapat berinteraksi dengan semua pihak. Pemerintah memiliki tanggung

jawab penuh terhadap pengembangan potensi pariwisata di daerahnya karena

pemerintah adalah pemegang kekuasaan. Seperti yang dikemukakan oleh

Sumadi (2008: 80-81), yaitu

Tabel 2.5 Kekuatan, Kelemahan, dam Peluang


Pengembangan Pariwisata Indonesia
Kekuatan Kelemahan Peluang
1. Kekayaan Budaya 1. Pengemasan daya 1. Keramahtamahan
2. Kekayaan daya tarik tarik wisata penduduk
wisata alam 2. Terbatasnya 2. Kemajemukan
3. Keragaman aktivitas diversifikasi produk masyarakat
wisata yang dapat 3. Masih lemahnya 3. Jumlah penduduk
dilakukan pengelolaan destinasi yang dapat berperan
4. Lokasi wisata bahari pariwisata serta dalam
terbaik di dunia 4. Kualitas pelayanan kepariwisataan
wisata
184

Kekuatan Kelemahan Peluang

5. Kekayaan dan jenis 5. Disparitas


ragam kuliner pembangunan
6. Kehidupan kawasan pariwisata
masyarakat (living 6. Interpretasi, promosi
culture) yang khas dan komunikasi
pemasaran
7. Kualitas SDM
8. Kondisi keamanan

Sumber: Sumadi (2008: 80-81)

Berdasarkan tabel tersebut, Sumadi menjelaskan bahwa dengan adanya

kekuatan, kelemahan dan peluang dalam pengembangan pariwisata, maka

terdapat beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata, yaitu:

1. Munculnya persaingan antar daerah


Persaingan antardaerah dan persaingan pariwisata bukan mengarah
pada peningkatan komplementaritas dan pengayaan alternative
berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lemahnya
pemahaman tentang pariwisata dan tidak adanya pedoman dari
pemerintah maupun provinsi. Akibatnya, pengembangan pariwisata
daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya, banyak
daerah yang mengembangkan pariwisata tanpa melihat, menghubungkan
dan menggabungkan daerah dengan daerah tetangganya maupun
provinsi/kabupaten/kota terdekat. Daerah-daerah tersebut, bahkan
cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah yang pada akhirnya
akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan.
2. Kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada
daerah tujuan wisata tertentu saja
Adanya pemusatan kegiatan pariwisata pada destinasi utama
menyebabkan terlampauinya daya dukung daerah tersebut, sementara
daerah yang lain tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu,
kekhasan dan keunikan atraksi dan kegiatan wisata yang ditawarkan
masih belum menjadi sebagai sebuah daya tarik bagi kedatangan
wisatawan mancanegara karena produk yang ditawarkan tidak dikemas
dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh Negara-negara
pesaing.
3. Situasi dan kondisi daerah yang berbeda
Situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda, baik dari potensi wisata
alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, maupun kependudukan
akan menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi
cara atau metode, prioritas maupun penyiapannya. Proses penentuan
pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak agar
sifatnya integrative, komprehensif, dan sinergis.
185

4. Banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial


Indonesia memiliki banyak daerah tujuan wisata yang potensial, namun
sayangnya belum dapat dijual atau mampu bersaing dengan daerah-
daerah tujuan wisata, baik di kawasan regional maupun internasional. Hal
tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas
secara professional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, atau
karna belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik
untuk datang mengunjungi daerah tujuan wisata.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat beberapa langkah-

langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam berinteraksi dalam

mengembangkan potensi pariwisata, jika pemerintah sebagai seorang

perencana, yaitu terkait 1) perbaikan akses, infrastruktur dan fasilitas; 2)

bekerjasama dengan investor; 3) promosi pariwisata melalui duta wisata; 4)

pemanfaatan media sosial; 5) membuat aplikasi mobile official kota sebagai

pengelola informasi pariwisata. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sunaryo

(2013: 92), juga mengemukakan bahwa kegiatan kerjasama (interaksi) antara

stakeholder dalam pengelolaan pembangunan kepariwisataan, terdapat

beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami misi, fungsi, tugas,
hak dan kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan
kepariwisataan.
2. Melakukan penyatuan persepsi dalam negosiasi kegiatan kemitraan
yang sangat memerlukan keterbukaan dan komitmen dari para pelaku
pembangunan kepariwisataan agar dicapai hasil yang saling
menguntungkan.
3. Perlunya keterlibatan langsung di seluruh pihak, terutama Pemerintah
Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dll
4. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah benar dan konsisten
5. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik tingkat
Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota
6. Kriteria persyaratan lelang/negosiasi yang jelas, transparan dan
konsisten dari setiap proyek pembangunan kepariwisataan.
7. Struktur dan Tugas Tim Negosiasi yang jelas dan kemampuan dalam
penguasaan materi bidang hukum, teknis dan keuangan dalam setiap
proyek pembangunan kepariwisataan.
186

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menciptakan hasil yang sesuai

dengan prinsip pembangunan daerah yang telah diatur dalam Permendagri

Nomor 86 Tahun 2017. Membangun kerjasama antara instansi pemerintah harus

dapat dilakukan secara optimal, apalagi untuk menyelesaikan permasalahan

publik yang tidak hanya dilihat dari satu faktor saja namun banyak faktor.

Kerjasama antar daerah atau antar pemerintahan dimaksudkan dapat

saling berkoordinasi dan saling mengetahui kebutuhan untuk mengatasi

permasalahan publik yang sedang dialami, misalnya permasalahan kawasan. Hal

ini juga terkait dengan terdapat beberapa pelaksanaan urusan pemerintahan

yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait

sehingga dapat menciptakan efisiensi daerah dalam mengelola pemerintahan

yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat.

2.10 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian ini digunakan untuk menggambarkan tentang

rancangan penelitian tentang perencanaan pembangunan pariwisata. Penelitian

ini menggunakan teori perencanaan dengan memperhatikan instrumen-

instrumen sebagai indikator dalam pencapaian tujuan penelitian. Melalui konsep

perencanaan dilakukan identifikasi terhadap potensi pariwisata (potensi destinasi

wisata, potensi ekonomi, potensi sosial budaya dan potensi lingkungan) yang

dimiliki oleh kawasan Danau Toba. Potensi pariwisata ini di analisis SWOT yang

dilihat dari aspek pariwisata yaitu 4 A (Attraction, Amenities, Aksesibilitas dan

Ancillary) sehingga dapat dilihat kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang

sehingga dapat menganalisis kriteria dalam menentukan menentukan standar

perencanaan pembangunan pariwisata yang sesuai dengan tuntutan dan


187

kebutuhan dalam pengembangan pariwisata ke depan. Proses penentuan

standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba ini

juga membutuhkan interaksi yang efektif dari lembaga pemerintah yang ada di

kawasan Danau Toba yaitu pemerintah daerah kabupaten dan provinsi serta

Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT). Proses ini diharapkan dapat

menghasilkan penyelenggaraan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

yang efektif dan optimal sehingga dapat mewujudkan pariwisata yang unggul dan

berdaya saing sesuai dengan tujuan RIPPARNAS.

Hasil dari analisis SWOT dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara

kualitatif untuk menghasilkan model perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba. Melalui model tersebut juga diharapkan dapat tewujudnya

tata kelola kepariwisataan yang baik (good tourism governance).


Kebijakan Pariwisata
(Edgell, 2008),
(Judisseno, 2017) Pengembangan Potensi Potensi Destinasi Wisata
Pariwista (Inskeep, 1991), (Gunn, 1993)
(Inskeep, 1991), (Elliot, 1997) (Sunaryo, 2013), (Yoeti, 2016)
(Buttler & Suntikul, 2010)
(Yoeti, 2016)
Perencanaan Potensi Ekonomi
(Faludi, 1973) (Hall, 2008), (Edgell, et.al, 2008)
(Friedman, 1987) (Collarbone, 2009)
(Abe, 2005)
(Mahi & Trigunarso,
2017) Potensi Sosial Budaya
(Hall, 2008), (Edgell, et.al, 2008)

Potensi Lingkungan
(Hall, 2008), (Edgell, et.al, 2008)

Standarisasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata


(Veal, 2002), (Reid, 2003), (Sunaryo, 2013), (Yoeti, 2016), (Judisseno, 2017)

Proses Interaksi Antar Lembaga


(Reid, 2003), (Sunaryo, 2013), (Sedarmayanti, 2013), (Borges, 2014)

Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata Terwujudnya Good Tourism


(Inskeep, 1991), (Sunaryo, 2013), (Yoeti, 2016) Governance

188
Gambar 2.10 Kerangka Pikir Penelitian
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu jenis

penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai

dengan apa adanya dengan tujuan menggambarkan secara sistematika fakta

dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat dan memahami setiap konteks

fenomena secara keseluruhan. Creswell (2014), bahwa metode kualitatif oleh

sejumlah individu dan kelompok orang adalah metode-metode untuk

mengeksploritasi dan memahami makna masalah sosial atau kemanusiaan.

Penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Indrawan dan Yaniawati

(2014:72-73), studi kasus adalah sebuah eksplorasi mendalam mengenai

sebuah sistem yang terikat dan kajian yang memberikan batasan yang tegas

terhadap suatu objek dan subjek penelitian. Sedangkan Yin (2015:18)

menjelaskan studi kasus adalah suatu strategi yang lebih cocok apabila

pertanyaan utamanya tentang suatu penelitian yang berkenaan dengan how atau

why, dimana studi kasus ini juga dianggap suatu inkuiri empiris untuk menyelidiki

fenomena yang terjadi di dalam lingkungan kehidupan nyata, dan mempunyai

batas-batas antara fenomena dan lingkungan serta memanfaatkan multisumber.

Alasan dalam melakukan penelitian studi kasus dengan metode kualitatif,

untuk memfokuskan sebuah proses dalam perencanaan pembangunan

pariwisata di kawasan Danau Toba Provinsi Sumatera Utara sehingga

mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan efektif. Penelitian ini,

menghasilkan perencanaan pengembangan potensi pariwisata, standarisasi

189
190

perencanaan pembangunan dan proses interaksi antar stakeholder di kawasan

Danau Toba Provinsi Sumatera Utara dengan bantuan kuesioner, wawancara

dan hasil dari Focus Grup Discussion (FGD). Input data yang diperoleh juga akan

dianalisis SWOT, kemudian hasil analisisnya dilakukan penyimpulan atau

verifikasi melalui analisis kualitatif.

3.2 Fokus Penelitian

Upaya mengkaji dan membahas serta menganalisis untuk menjawab

pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian maka perlu penentuan fokus

peneltian untuk membatasi studi dan menjadi pengarah dalam melakukan proses

penelitian dan penyusunan laporan penerlitian sehingga terarah, dan tidak keluar

dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

1. Perencanaan pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba

yang meliputi:

a. Perencanaan potensi destinasi wisata, meliputi attraction (daya tarik),

amenities (fasilitas), aksesibiltas (transportasi), dan ancillary

(kelembagaan)

b. Perencanaan potensi ekonomi meliputi penciptaan peluang kerja dan

peningkatan mutu hidup masyarakat lokal

c. Perencanaan potensi sosial budaya meliputi sikap dan perilaku

masyarakat terhadap nilai budaya dan gaya hidup

d. Perencanaan potensi lingkungan meliputi eksternal dan internal

2. Standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba yang meliputi sinkronisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak yang


191

terlibat dalam proses penyusunan perencanaan yang mengarah kepada

nilai, manfaat, kebijakan dan program sehingga dapat mencapai sasaran.

3. Proses interaksi lembaga yang terlibat dalam perencanaan pembangunan

pariwisata, yang meliputi: adanya pemahaman yang sama tentang visi,

misi fungsi dan tujuan, adanya saling komitmen dan keterbukaan (akses,

data dan konsisten), dan semua pihak terlibat langsung (Pemerintah,

Pelaku Usaha Pariwisata, dan Masyarakat serta Stakeholder).

4. Menemukan model perencanaan pembangunan pariwisata, yang meliputi:

fleksibelitas yang adaptif, antisipasi terhadap tuntutan masa depan, dan

responsiv terhadap dinamika perkembangan pariwisata.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Danau Toba yang terletak di

Provinsi Sumatera Utara. Kawasan Danau Toba dikelilingi oleh 7 (tujuh)

Kabupaten yaitu Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang

Hasundutan, Dairi, Karo dan Samosir.

3.4 Jenis Data

1. Data Primer, sebagai data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti

melalui wawancara mendalam (in-depth and semi structured), pengamatan,

foto, dan dokumen dengan narasumber kunci. Untuk memperoleh data ini

dengan menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara.

2. Data Sekunder, sebagai data yang diperoleh di sejumlah tempat penelitian

antara lain berupa dokumentasi (foto, laporan, data statistik, arsip, artikel,

gambar dan peta) mengenai perencanaan pembangunan pariwisata di


192

Kawasan Danau Toba. Dokumen yang dimaksud yaitu Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2013 - 2018, Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013-2018, RENSTRA 7

Kabupaten yang mengelilingi Kawasan Danau Toba yaitu (Simalungun, Toba

Samosir, Tapanuli Utara, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi dan Karo),

masterplan rencana induk dan rencana detil pengembangan kawasan Danau

Toba, RTRW Provinsi Sumatera Utara, masterplan KSPN Danau Toba,

Integrated Tourism Master Plan for Lake Toba Tahun 2016.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah

a. Observasi

Basrowi dan Suwandi (2008) menjelaskan observasi adalah suatu cara

yang sistematis untuk menganalisis dan mengadakan pencatatan mengenai

tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara

langsung. Observasi ini bertujuan untuk mengamati secara langsung kondisi di

lapangan sehingga memperoleh gambaran yang lebih luas tentang

permasalahan yang diteliti. Hal ini terkait dengan peristiwa dan aktivitas terhadap

fenomena dalam perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau

Toba serta kegiatan budaya dan seni dan keindahan alam pada objek wisata

yang langsung dikunjungi oleh peneliti.

b. Wawancara mendalam (in-dept interview)

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan informasi

yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab
193

langsung dengan informan disebut wawancara. Data informan yang diperoleh

dari hasil wawancara mendalam ini biasanya tidak terdapat pada dokumen atau

data sekunder lainnya. Kegiatan wawancara ini dilakukan dengan menggunakan

media perekam yang bertujuan untuk merekam wawancara yang dilakukan

penulis dengan para informan. Hasil wawancara tersebut kemudian dianalisis,

dikelompokkan, dipilah dan melakukan kondensasi yang selanjutnya disajikan

dalam pembahasan. Creswell (2014:272) bahwa dalam melakukan kegiatan

wawancara terdapat beberapa hal penting, yaitu 1) Melaksanakan wawancara

tidak terstruktur dan terbuka, sambil mencatat hal-hal penting; 2) Melaksanakan

wawancara tidak terstruktur dan terbuka, sambil merekamnya dengan audiotape

lalu mentranskripnya; 3) Melaksanakan wawancara semi struktur sambil

merekamnya dengan audiotape, lalu mentranskripnya; 4) Melaksanakan

wawancara focus group, sambil merekamnya dengan audiotape lalu

mentranskripnya; 5) Melaksanakan jenis wawancara yang berbeda sekaligus:

melalui email, dengan berhadap-hadapan langsung, wawancara focus group,

wawancara focus group online, dan wawancara telepon.

c. Focus Group Discussion (FGD)

Adalah diskusi kelompok yang terarah dan merupakan proses

pengumpulan informasi mengenai suatu masalah tertentu yang sangat spesifik,

yang dipimpin seorang narasumber atau moderator yang mendorong peserta

untuk berbicara terbuka dan spontan tentang hal yang dianggap penting dan

berkaitan dengan topik penelitian.

d. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data yang berasal dari buku-buku tulisan ilmiah

yang mempunyai relevansi langsung dengan tema penelitian, dan didukung oleh
194

literature (dokumen) seperti RPJPD, RIPPARDA, RENSTRA, serta data-data

yang bersumber dari BOPDT dan BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara serta

Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara juga dokumentasi gambar.

3.6 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive)

berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap permasalahan yang diteliti serta

tingkat pengetahuan dan pengalamannya mengenai permasalahan yang diteliti.

Miles and Huberman (2007) bahwa informan adalah orang yang dapat

membantu peneliti memberikan data dan infromasi yang diperlukan tentang

penelitian ini yaitu perencanaan pembangunan pariwisata. Dalam penentuan

informan ini pada tahap awal dilakukan dengan mempertimbangkan latar,

perilaku, peristiwa dan proses sesuai dengan kerangka dan perumusan masalah.

Maka informan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang, yang terdiri dari:

1. Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir sebanyak 2 orang yaitu Drs. Ombang

Simboro, M.Si (Kepala Dinas) dan Shanty Harianja (Kepala Bagian Kerja

Sama dan Program)

2. Dinas Pariwisata Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 1 orang yaitu Drs.

Benny Simanjuntak, M.Si (Sekretaris Dinas)

3. Dinas Pariwisata Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 1 orang yaitu

Nelson Lumbantoruan, SS,. M.Hum (Sekretaris Dinas)

4. Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba sebanyak 1

orang yaitu Arie Prasetyo

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sumatera Utara

sebanyak 1 orang yaitu Ir. H. Irman M.Si (Kepala Balitbang Sumut)


195

6. Dewan Riset Daerah Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1 orang yaitu Dr.

Azizul Kholis, SE, M.Si, CMA, CSRS

7. Pakar pengembangan kawasan Danau Toba dari unsur akademik sebanyak

1 orang yaitu Ricardo Situmeang dari DELL Institute

8. Media pariwisata sebanyak 2 orang yaitu Parayugo dan Bagus

9. Pemuka atau Tokoh Masyarakat sebanyak 3 orang yaitu Corry Panjaitan

(Tokoh Budaya dan Kesenian), Wilmar Elyascher Simanjorang (Tokoh

Masyarakat dan Mantan Bupati Samosir) dan Alusman Sitio (Tokoh

Pariwisata)

Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat langsung

dalam pengembangan kawasan Danau Toba dan menjadi informan utama di

penelitian ini. Sedangkan penentuan informan dalam penelitian ini yang

dibutuhkan untuk memberikan masukan dan informasi terkait tema penelitian dan

hadir langsung dalam Focus Grup Discussion (FGD), maka terdapat beberapa

kriteria penentuan informan, yaitu:

Tabel 3.1 Penentuan informan dalam penelitian ini berdasarkan kriteria


keahliannya dan menjadi peserta Focus Grup Discussion (FGD)

No. Kelompok Kriteria Jumlah


Narasumber (orang)
1. Badan Masa pengabdian minimal 4 tahun, 2 orang
Perencanaan pernah terlibat dalam penyusunan
Pembangunan perencanaan pembangunan daerah
Provinsi Sumatera di Provinsi Sumatera Utara
Utara
2. Dinas Pariwisata Masa pengabdian minimal 4 tahun, 2 orang
Kabupaten pernah terlibat dalam penyusunan
Samosir perencanaan pembangunan daerah
sektor pariwisata di Provinsi
Sumatera Utara
3. Akademisi/Badan Berpengalaman minimal 4 tahun di 2 orang
Pembinaan bidang perencanaan pembangunan
Sumber Daya khususnya di 195sektor pariwisata
196

No. Kelompok Kriteria Jumlah


Narasumber (orang)
Manusia
Sumatera Utara
4. Masyarakat Menetap dan beraktivitas di kawasan 2 orang
(Tokoh Danau Toba sering terlibat langsung
Masyarakat) dalam perumusan dan penyusunan
perencanaan pembangunan daerah
khususnya sektor pariwisata
5. Media Beraktivitas di bidang pariwisata 2 orang
6. Badan Pengelola Berpengalaman minimal 2 tahun di 2 orang
Otorita Danau bidang perencanaan pariwisata
Toba
Total jumlah informan dalam penelitian ini 12 orang

3.7 Analisis Data

Analisis data sebagai proses penyederhanaan data dalam penyajian ke

dalam bentuk yang mudah dipahami dan diinterpretasi. Peneliitian ini

menggunakan analisis data kualitatif yang terdiri dari sejumlah komponen, akan

tetapi dalam proses analisis datanya secara keseluruhan melibatkan usaha

memaknai data yang berupa teks atau gambar.

Selanjutnya, data yang diperoleh dalam penelitian ini juga dianalisis

dengan analisis SWOT. Analisis ini merupakan salah satu teknik yang digunakan

dalam penelitian perencanaan pembangunan daerah. Analisis ini digunakan

untuk pengkajian lebih tajam dan terarah tentang perencanaan pembangunan

pariwisata menyangkut Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan),

Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman) yang berkaitan khusus dengan

perencanaan pengembangan potensi pariwisata di kawasan Danau Toba.

3.7.1 Analisis SWOT

Analisis SWOT digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis faktor-

faktor internal untuk perencanaan pengembangan potensi pariwisata pada

kawasan Danau Toba sehingga diketahui apa yang menjadi kekuatan dan
197

kelemahan. Tidak hanya menganalisis faktor internal saja akan tetapi juga

melakukan analisis terhadap faktor-faktor eksternal yang bertujuan untuk

mengetahui peluang dan ancaman yang harus dihadapi dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Danau Toba melalui sektor

pariwisata.

Setelah dilakukan analisis SWOT, maka diperoleh alternatif-alternatif

kebijakan yang terpilih dan kemudian dilanjutkan dengan analisisnya untuk

menentukan pemilihan prioritas perencanaan pembangunan pariwisata dengan

menggunakan analisis kualitatif. Hal ini dilakukan karena untuk mendukung hasil

analisis SWOT sehingga mendapatkan hasil yang optimal.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dibagi dalam 2 bagian yaitu faktor

internal dan faktor eksternal.. Identifikasi Analisis ini didasarkan pada logika yang

dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, dan secara bersamaan dapat

meminimalkan kelemahan dan ancaman yang diharapkan dan mampu

menyeimbangkan antara kondisi internal yaitu kekuatan dan kelemahan dengan

kondisi eksternal yaitu peluang dan ancaman yang ada, kemudian

diimplementasikan dalam matriks SWOT sehingga mendapatkan perencanaan

yang terbaik dalam pembangunan pariwisata.

Tabel 3.2 Matriks faktor internal dan faktor eksternal


INTERNAL STRENGTH/KEKUATAN WEAKNESSES/KELEMAHAN

EKSTERNAL

OPPORTUNITIES/PELUANG STRATEGI SO STRATEGI WO


Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan untuk memanfaatkan
peluang peluang
THREATS/ANCAMAN STRATEGI ST STRATEGI WT
Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
untuk mengatasi ancaman dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2000: 31)
198

3.7.2 Analisis Data Kualitatif

Miles dan Huberman (2007), menjelaskan bahwa kegiatan analisis data

kualitatif dapat dilakukan secara model interaktif serta dapat berlangsung secara

terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Selanjutnya Miles,

Huberman dan Saldana (2014) menjelaskan bahwa analisis data model interaktif

terdapat tiga aktivitas yaitu kondensasi kata (data condensation), penyajian data

(display data) dan kesimpulan/verifikasi (drawing/verifying) yang harus dilakukan

secara terus menerus dan berulang-ulang oleh peneliti, seperti yang tertuang

dalam gambar di bawah ini:

Data Data
Collection Display

Data Conclusions:
Condensation drawing/verifying

Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif (Interactive Models)


Sumber: Miles, Huberman and Saldana (2014)

Tahapan-tahapan dalam analisis data kualitatif model interaktif ini seperti

yang tertuang digambar 3.1, yaitu

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Tahapan ini meliputi keseluruhan kegiatan analisis data, yaitu wawancara,

studi dokumentasi, dan observasi.

2. Kondensasi Data (Data Condensation)


199

Kondensasi data mengacu pada proses pemilihan, menyederhanakan atau

mengubah data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan, transkrip

wawancara, dokumen dan bahan-bahan empiris lainnya yang dilakukan

secara fokus. Kondensasi data membuat data yang lebih kuat yang dimulai

dengan membuat abstraksi, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-

gugus dan sebagainya, dan bertujuan untuk menyingkirkan data atau

informasi yang tidak relevan juga tidak sesuai dengan fokus penelitian yang

telah dirumuskan. Proses kondensasi ini dilakukan dengan teknik

pengumpulan data (data primer dan data sekunder) yang diperoleh dalam

bentuk hasil wawancara, hasil FGD, hasil observasi dan dokumen. Data-data

tersebut dihimpun kemudian diverifikasi dan kemudian dipilah untuk dapat

memahami makna setiap data, kemudian data yang tidak sesuai dan tidak

relevan dengan fokus penelitian harus disisihkan.

3. Penyajian Data (Data Display)

Tahapan ini adalah tahapan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan melalui pendeskripsian data dan informasi yang tersusun.

Penyajian dalam tahapan ini disajikan dalam bentuk teks naratif, dan juga

berbentuk matriks, diagram, tabel dan bagan berdasarkan sub-sub fokus

penelitian yang telah dirumuskan. Data-data yang disajikan bersumber dari

hasil wawancara, dokumen terarah dan dokumen lainnya, serta menyajikan

data dalam bentuk tabel kuantitatif dan gambar-gambar hasil observasi di

lapangan.

4. Kesimpulan/Verifikasi (Conclution: Drawing/Verifying)

Kegiatan akhir dari analisis data ini adalah membuat kesimpulan/verifikasi.

Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi yaitu adanya penemuan


200

makna pada data yang telah disajikan. Antara display data dan penarikan

kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang berulang terus menerus,

sehingga dalam proses ini dapat menjadi gambaran keberhasilan secara

berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling terkait, kemudian

data yang telah dianalisis dan dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-

kata untuk mendeskripsikan fakta yang ada di lapangan sehingga terjawab

pertanyaan penelitian untuk mencapai tujuan dari penelitian.

3.8 Keabsahan Data

Keabsahan data sangat penting dilakukan dalam sebuah penelitian, karna

data yang baik khususnya penelitian ilmiah adalah data yang objektif, valid dan

reliabel. Maleong (2017: 325), terdapat empat kriteria untuk menguji keabsahan

data yaitu standar kepercayaan (credibility), standar ketergantungan

(dependability), standar keteralihan (transfirmability) dan standar kepastian

(confirmability). Keempat kriteria tersebut dapat dijelaskan, sebagai berikut:

1. Standar Kepercayaan (Credibility)

Kriteria kepercayaan digunakan untuk medapatkan tingkat kepercayaan

terhadap hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan dan untuk

membuktikan standar kepercayaan terhadap hasil penelitian

sesungguhnya. Maka, untuk memenuhi standar kepercayaan tersebut

dalam penelitian ini, digunakan teknik triangulasi, peer debriefing

(Membicarakan/berdiskusi) dan member check (meminta)

a. Triangulasi, dilakukan pada setiap data yang dikumpulkan, dan teknik

dilakukan untuk membandingkan antara data hasil pengamatan

dengan data hasil wawancara, kemudian membandingkan hasil


201

wawancara dengan isi dokumen, dan membandingkan perspektif

informan yang berbeda profesi/latar belakang berkaitan dengan fokus

penelitian, sehingga setiap data yang tersaji memiliki tingkat

kepercayaan yang tinggi.

b. Peer debriefing merupakan teknik dengan cara

membicarakan/berdiskusi dengan orang lain yang dianggap

memahami tentang objek dan fokus penelitian yang bertujuan untuk

mempertajam dan memperkuat hasil penelitian. Temuan atau hasil

yang ditemukan di dalam penelitian didiskusikan dengan berbagai

pihak yang dianggap peneliti mempunyai kompetensi dan

kemampuan dalam rangka untuk mendapatkan hasil yang objektif,

jujur dan bertanggungjawab, teknik ini dilakukan dalam bentuk diskusi

informal, seminar hasil penelitian dan bimbingan disertasi.

c. Teknik member check, menggunakan bahan referensi dan dokumen

yang berbeda sumber dengan cara meminta partisipan penelitian

untuk mereview data, penafsiran dan kesimpulan yang berguna untuk

memperkuat hasil penelitian.

2. Standar Keteralihan (Transfirmability)

Artinya, hasil peneltian dapat diterapkan pada semua konteks yang

memiliki kesamaan masalah yang diteliti. Untuk melaksanakan

keteralihan tersebut maka peneliti mengumpulkan data kejadian empiris

sehingga mempunyai nilai dan manfaat yang tidak hanya pada subjek

penelitian yang diteliti tetapi dapat digunakan oleh subjek yang lain

sebagai referensi.
202

3. Standar Ketergantungan (Dependability)

Merupakan suatu proses untuk memeriksa akurasi pengumpulan dan

analisis data dengan cara membandingkan hasil penelitian dengan hasil

penelitian yang lain dengan objek dan subjek yang sama, meminta

tanggapan dan diskusi dengan orang-orang mempunyai keahlian dan

memahami tentang permasalahan yang diteliti. Maka, agar tingkat

reliabilitas dapat tercapai maka peneliti melakukan pemeriksaan yang

cermat dan teliti terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta

hasil penelitiannya.

4. Standar Kepastian (Confirmability)

Kepastian juga objektivitas, bahwa data yang diambil harus sangat

objektif karena tidak tergantung pada persetujuan beberapa orang

terhadap pandangan, pendapat dan penemuan peneliti. secara kuantitatif,

objektif adalah kesepakatan atau kesepapahaman antarsubjek.

Sedangkan, secara kualitatif, objektif adalah dapat dipercaya, faktual, dan

dapat dipastikan, maka kepastian hasil penelitian dapat memberikan

kepastian terhadap suatu proposisi.


BAB IV

ANALISIS SOSIAL

4.1 Sejarah Kawasan Danau Toba

Danau Toba berada di Provinsi Sumatera, yang mempunyai batas

perairan Danau Toba meliputi 7 Kabupaten yaitu Toba Samosir, Tapanuli Utara,

Simalungun, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan dan Samosir. Terdapat pulau

yang berada di bagian tengah Danau Toba yaitu pulau Samosir. Pulau ini adalah

pulau terbesar ke-5 di dunia dengan kategori pulau di tengah danau dan memiliki

luas 630 kilometer persegi. Sedangkan di tahun 2018, Kawasan Danau Toba

dikelilingi oleh 8 kabupaten yaitu Kabupaten Pakpak Barat.

Pardosi (2017:7) bahwa Danau Toba merupakan danau terbesar atau

terluas di Indonesia dan Asia Tenggara. Luasnya 1.265 kilometer persegi yang

meliputi 100 kilometer (panjang) dan 30 kilometer (lebar). Ketinggian Danau

Toba di atas permukaan laut adalah 905 meter dan kedalaman maksimal

mencapai 529 meter.

Salah satu Danau vulkanik di dunia adalah Danau Toba, yaitu danau

yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme atau gunung berapi. Terdapat tekanan

pada magma yang berada di kantong bawah gunung sehingga melepaskan

energinya secara tiba-tiba dan menghasilkan letusan. Hasil letusan gunung

berapi yaitu gempa bumi, gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas,

lahar, tanah longsor, abu letusan dan awan panas.

Letusan gunung berapi bisa menelan korban jiwa dan menimbulkan

kerugian harta benda yang sangat besar. Kawah yang tersisa kemudian terisi

oleh air hujan dan terbentuklah danau. Kawah Danau Toba memiliki luas yang

203
204

sangat besar, luar biasa besar, sehingga disebut kaldera. Kawah ukurannya

hanya beberapa ratus meter atau beberapa kilometer. Contohnya kawah Gunung

Merapi di Jawa Tengah, Kawah Gunung Bromo di Jawa Timur, kawah Gunung

Tangkuban Perahu di Jawa Barat, kawah Gunung Tambora di Pulau Sumbawa

NTB, dan kawah Gunung Kelimutu, Pulau Flores, NTT. Danau Toba merupakan

danau vulkanik terbesar di dunia. Luasnya 1.265 km persegi, bandingkan dengan

Danau Taupo di Selandia Baru seluas 616 km persegi, Kaldera Coatepeque di El

Salvador. Seluas 26 km persegi, Danau Batur di Bali seluas 13,8 km persegi,

Heaven Lake di perbatasan China – Korea Utara seluas 9,82 kilometer persegi,

dan Danau Ijen di Jawa Timur seluas 1 km persegi.

Terdapat 7 lempeng utama yang bergerak ada yang menjauh,

menyamping dan bertumbukan, yaitu lempeng Afrika, lempeng antarktika,

lempeng Australia (yang tergabung dengan lempeng India dan disebut juga

lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia (Asia dan Erofa), lempeng Amerika

Utara (Amerika Utara dan Siberia Timur Laut), lempeng Amerika Selatan dan

lempeng Pasifik (Samudera Pasifik). Sedangkan posisi Indonesia terletak di

pertemuan tiga lempeng, yaitu Eurasia, Indo-Australia dan lPasifik, sehingga

80% wilayah Indonesia terletak di lempeng Eurasia yaitu Sumatera, Jawa,

Kalimantan, Sulawesi dan Banda.

Terjadinya pengangkatan di sebagian Sumatera Utara juga adanya

pembentukan gunung berapi dan kawah yang menjadi cikal bakal Danau Toba

karena disebabkan oleh adanya pergerakan lempeng yang dinamis. dengan

demikian, Danau Toba tidak jauh dari sesar Sumatera yang membentang

sepanjang Pulau Sumatera. Sesar ini adalah patahan atau rekahan di kerak bumi

yang memperlihatkan pergeseran akibat aksi gaya lempeng.


205

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Knight pada tahun

1986 serta Chesner dan Rose pada tahun 1991, letusan gunung Toba

berlangsung tiga kali. Letusan pertama membentuk Kaldera Porsea, letusan

kedua membentuk Kaldera Haranggaol sedangkan letusan ketiga membentuk

Kaldera Sibandang.

Letusan Gunung Toba pertama kali terjadi ± 800 – 900 ribu tahun yang

lalu dan disebut erupsi kaldera generasi pertama atau Old Toba Tuff (OTT).

Letusan ini menghasilkan kaldera di tenggara Danau Toba yang meliputi Parapat

dan Porsea (Kaldera Porsea) yang mencakup kawasan seluas 1.220 km², dan

merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tobasa, Tapanuli Utara dan

Simalungun. Letusan ini memuntahkan 500 km³ material piroklastika bersusunan

andesitan hingga riolit, dengan ketebalan mencapai 300 meter.

Kekuatan letusan Gunung Toba yang kedua lebih kecil terjadi 450 tahun

yang lalu dan disebut erupsi kaldera generasi kedua atau Midle Toba Tuff (MTT).

Letusan ini menghasilkan kaldera di utara Danau Toba, meliputi daerah antara

Silalahi dan Haranggaol, akhirnya disebut Kaldera Haranggaol. Kaldera ini

mencakup kawasan seluas 585,6 km², yang merupakan bagian dari wilayah

Kabupaten Simalungun, Karo dan Dairi. Letusan ini memuntahkan 60km³

material piroklastik bersusunan riolit dengan tebal mencapai 140 meter.

Letusan ketiga terjadi 74 ribu tahun lalu yang disebut erupsi kaldera

generasi ketiga atau Youngest Toba Tuff (YTT) yang menghasilkan kaldera di

bagian barat daya dan barat Danau Toba, mencakup kawasan 497 km² yang

merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli

Utara dan disebut Kaldera Sibandang. Letusan ketiga ini merupakan letusan

gunung berapi yang paling dahsyat sepanjang sejarah. Diperkirakan 2.800 km³
206

material dimuntahkan ke atmosfir, terdiri dari 800 km³ batuan ignimbrite dan

2.000 km³ abu vulkanik beracun dengan tebal mencapai 400 meter. Lontaran

abunya mencapai ketinggian lebih dari 50 km, menyebar ke separuh bumi dari

Daratan China sampai Afrika Selatan. Letusan ketiga ini berlangsung sekitar 1

minggu dan lava yang dihasilkan menyebar hingga mencakup sebagian besar

wilayah Sumatera Utara. Magma pada letusan ketiga ini tidak semuanya keluar

yang akhirnya perlahan-lahan mendesak menjadi daratan ke atas dan

membentuk Pulau Samosir.

Menurut Pardosi (2017:23), bahwa penelitian mengenai Danau Toba

telah dilakukan pada tahun 1939 oleh seorang ahli geologi berkebangsaan

Belanda bernama Reinout Willem Van Bemmelem. Adanya lapisan Ignimbrite di

sekitar Danau Toba dilaporkan pertama kali oleh Reinout Willem Van

Bemmelem. Beliau menjelaskan bahwa terbentuknya lapisan ini dari debu

vulkanis dan material lain yang dikeluarkan akibat letusan gunung berapa yang

mengandung senyawa feldspar-kuarsa. Lapisan ini juga merupakan lapisan

batuan vulkanik sangat asam. Van Bemmelen menguraikan hasil observasi yang

telah dilakukan dalam bukunya yang terkenal “Geology of Indonesia” pada tahun

1949.

Letusan gunung berapi di Danau Toba menjadi sejarah untuk

perkembangan kawasan Danau Toba khususnya sektor pariwisata. Danau Toba

menjadi salah satu aset pariwisata di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera

Utara. Pada tahun 2015, Kementerian Pariwisata telah memasukkan Danau

Toba dalam 10 besar destinasi prioritas sebagai Kawasan Strategis Pariwisata

Nasional (KSPN) bersama dengan destinasi lainnya yaitu Tanjung Lesung,


207

Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo, Bromo Tengger, Kepulauan Seribu,

Wakatobi dan Morotai, seperti yang terlihat di gambar bawah ini:

Gambar 4.1 Destinasi Pariwisata Prioritas


Sumber: Ratman (2016)

4.2 Keragaman Kawasan Danau Toba

Kawasan Danau Toba juga dikenal dengan nama Geopark Kaldera Toba.

Secara harfiah geopark adalah taman bumi, atau suatu kawasan warisan bumi,

dan secara geologi bahwa Danau Toba terbentuk akibat letusan gunung berapi

terdahsyat dan meninggalkan jejak sejarah yang mempengaruhi kehidupan dan

lapisan bumi, serta memiliki kekayaan biologi dan budaya yang bernilai tinggi,

yang khas, unik dan langka.

Pardosi (2017:33) bahwa Danau Toba mempunyai 3 (tiga) keragaman,

yaitu keragaman geologi (geodiversity), keragaman biologi (biodiversity) dan

keragaman budaya (culture diversity). Keragaman ini merupakan keragaman

yang menjadi akses pariwisata yang dikembangkan di kawasan Danau Toba


208

yang meliputi 7 Kabupaten yaitu Samosir, Tapanuli Utara, Toba Samosir,

Simalungun, Humbang Hasundutan Karo, dan Dairi. Apabila dikaitkan dengan

erupsi Gunung Toba, maka kawasan Danau Toba yang disebut sebagai Geopark

Kaldera Toba dibagi dalam 4 (empat) Geoarea seperti yang dikemukakan oleh

Pardosi (2017:33-39), yaitu:

1. Geo Area Kaldera Porsea meliputi geosite di Tiga Ras, Geosite Parapat,

Geosite Taman Eden dan Geosite Balige) yang didasarkan pada erupsi Old

Toba Tuff (OTT) 840.000 tahun yang lalu.

Gambar 4.2: Geo Area Kaldera Porsea

2. Geo Area Kaldera Haranggaol (Geosite di Haranggaol, Tongging dan

Silalahi) yang didasarkan pada erupsi Midle Toba Tuff (MTT) 450.000

tahun yang lalu.


209

Gambar 4.3: Geo Area Kaldera Haranggaol

3. Geo Area Kaldera Sibandang (Geosite di Bakkara, Tipang, Paranginan,

Muara dan Silangit) yang didasarkan pada erupsi Young Toba Tuff (YTT)

74.000 tahun yang lalu.

Gambar 4.4: Geo Area Kaldera Sibandang

4. Geo Area Samosir (Geosite di Tele, Pusuk Buhit dan Pulau Samosir) yang

didasarkan pada updoming atau pengangkatan. Sebagian besar


210

terbentuknya Pulau Samosir disebabkan oleh tersusunnya endapan danau,

setelah terjadinya erupsi Gunung Toba 74.000 tahun yang lalu.

Gambar 4.5: Geo Area Samosir

4.2.1 Keragaman Geologi (Geodiversity)

Keragaman ini tersebar di keempat geo area yang ada di kawasan Danau

Toba. Pertama, yang sangat menarik adalah bentang alamnya yang indah, bisa

dinikmati dari berbagai sudut atau penjuru. Telah ditemukan 45 situs geologi atau

geosite di Kawasan Danau Toba dan menjadi destinasi wisata. Satuan batuan

ignimbrite tersingkap di kawasan pertamina Cottage Parapat dan sekitar

semenanjung Uluan dan pada lereng-lereng terjal pada tepi Danau Toba, dan

akhirnya endapan ignimbrite ditemukan di Haranggaol Simalungun dan di Desa

Siregar Aaek Nalas, Tobasa.

Tidak hanya di daerah tersebut, Taman Eden Lumbanjulu juga terdapat

batuan dasar Danau Toba yang berumur Paleozoikum (524 sampai 251 juta
211

tahun lalu), batuan ini juga terdapat di daerah Tele (Samosir). Sedangkan di

Sigabanding Parapat, terdapat batu gamping Mesozoikum (251 hingga 65 juta

tahun) yang terletak pada ruas jalan Parapat-Medan yang membentuk Batu

Gantung pada dinding Kaldera. Batu gamping ini juga ditemukan di daerah

Balige yaitu Gua Liang Sipege yang berupa batuan andesit dan diperkirakan

berumur jauh sebelum meletusnya Gunung Toba.

Geosite lainnya adalah dinding Kaldera Porsea pada air terjun Situmurun

hasil letusan Gunung Toba 800 ribu tahun yang lalu, bongkah batu apung di

Tigarunggu Simalungun serta Aek Sipangolu, batu gamping dan batuan dasar

Danau Toba di Tombak Sulu-sulu Bakkara. Ditambah lagi dengan sumbat lava

dasite dome di Pardepur dan Siallagan, Lava aundsit di Sipiso-piso, dacite

Haranggaol, batuan dasar schits Paropo serta kerucut vulkanik seperti Gunung

Sipiso-piso (Gunung Tanduk Banua), Gunung Singgalang, dan Gunung Pusuk

Buhit.

4.2.2 Keragaman Biologi (Biodiversity)

Kawasan Danau Toba mempunyai berbagai jenis flora atau tumbuhan

yang tumbuh dan berkembang di sekitar Danau Toba dan bertahan serta

menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, seperti di Kebun Raya Samosir

Tomok, Botanical Garden Taman Eden di Lumbanjulu, dan Monkey Forest

Sigabanding. Daerah Taman Eden dapat ditemukan berbagai jenis anggrek toba

yang sangat langka dan merupakan flora endemik yang artinya hanya tumbuh

pada kondisi tanah tertentu, tumbuh pada ketinggian antara 1.000 sampai

dengan 2.000 m di atas permukaan laut.


212

Tanaman endemik lainnya adalah andaliman yang menjadi bumbu

(rempah) khas di Indonesia khususnya di daerah kawasan Danau Toba.

Andaliman ini menjadi rempah yang khas untuk membuat masakan khas

Tapanuli yang berada di Kawasan Danau Toba yaitu makanan Naniarsik dan

Naniura sebagai makanan untuk raja-raja. Andaliman juga sebagai merica Batak

dan tumbuh sepanjang kaki jajaran Gunung Sihabuhabu di Kecamatan Borbor.

Tumbuhan yang lain yaitu Pohin Haminjon Toba (kemenyan toba)

merupakan salah satu jenis pohon kemenyan yang tumbuh sumbur di sekitar

kawasan Danau Toba terutama di Kabupaten Tobasa, Tapanuli Utara, dan

Humbang Hasundutan. Sedangkan hewan yang menjadi khas di daerah

kawasan Danau Toba adalah Ikan Ihan Batak. Ikan ini merupakan ikan khas

Batak yang disebut dengan Dekke Jurung-jurung, dan ikan ini juga sebagai

makanan raja-raja dan merupakan sesembahan dalam kekerabatan Batak

Dalihan Na Tolu (sebagai sebuah prosesi adat untuk simbol kesuburan).

4.2.3 Keragaman Budaya (Culture Diversity)

Kawasan Danau Toba tidak hanya memiliki keragaman keindahan alam

dan lingkungan biota (flora dan fauna) yang menarik, suhu udara dan lingkungan

yang menyegarkan serta lahan yang subur tapi juga memiliki keragaman budaya

yang khas sehingga menjadikan kawasan Danau Toba menjadi tempat yang

ideal untuk tempat tinggal dan berwisata.

Budaya di kawasan Danau Toba merupakan warisan nenek moyang

Suku Batak, dan menjadi tempat berkembangnya 5 (suku) etnis Batak yaitu

Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing dan Batak Pakpak

Dairi. Ada 4 (empat) etnis Batak yang berdiam di sekitar kawasan Danau Toba
213

yaitu Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, dan Batak Pakpak Dairi

sedangkan Batak Mandailing berdiam di bagian selatan Tapanuli yang bersisian

dengan perairan laut Pantai Barat Sumatera. Pulau Samosir dan tepi Danau

Toba menjadi lokasi perkembangan budaya Batak asli, yang mengandung

budaya yang tinggi dan nilai sejarah dan peninggalannya.

Kawasan Danau Toba ini memiliki keunikan budaya yang tidak ada di

tempat lain yaitu adanya marga, silsilah dan sistem kekerabatan Dalihan Na

Tolu, dan suku Batak sangat menghargai adat leluhur dan tetap

mempertahankannya sampai sekarang. Terdapatnya kegiatan adat yang tetap

dilestarikan seperti Tarian (tortor) dan musik tradisional (gondang sabangunan

dan uning-uningan) bersama dengan perlengkapan budaya lainnya yaitu kain

tradisional yang diberi nama Ulos.

Keragaman budaya yang juga dapat ditemukan di kawasan Danau Toba

adalah rumah tradisional Batak yang berbentuk khas. Rumah Batak ini terdiri

atas dua jenis, yaitu ruma dan sopo, dan rumah yang dihiasi ornamen disebut

gorga (seni ukir dan pahat Batak). Gorga ini biasanya terdapat pada bagian luar

atau eksterior rumah adat, alat kesenian dan benda budaya lainnya, yang terdiri

dari tiga warna yaitu putih, merah dan hitam. Ketiga warna disebut sebagai

simbol religi Batak Kuno, dimana putih sebagai perlambang kesucian,

kebenaran, kejujuran dan ketulusan. Merah sebagai perlambang kekuatan dan

keberanian sedangkan hitam sebagai perlambang kerahasiaan, kewibawaan dan

kepemimpinan.

Kawasan Danau Toba ini sangatlah kaya akan budaya dan sangat kuat

terhadap tradisi sejak zaman leluhur dan sudah memperlihatkan peradaban

tinggi, karna memiliki aksara yaitu Aksara Batak. Tidak hanya peninggalan
214

aksara batak yang mengandung peradaban tinggi, dan ini dapat dilihat dari

benda-benda peninggalan leluhur seperti tongkat Tunggal Panaluan dan boneka

kayu yang dimainkan dapat menari namanya sigalegale.

Masih banyak lagi peninggalan budaya yang dilestarikan masyarakat di

kawasan Danau Toba dan akhirnya menjadi destinasi wisata yang banyak

dikunjungi masyarakat sekitar dan di luar kawasan Danau Toba baik nasional

maupun internasional. Peninggalan sejarah juga menjadi wisata budaya yang

bisa dikunjungi di beberapa kawasan Danau Toba seperti asal usul terbentuknya

Gunung Pusuk Buhit di Samosir, Museum Batak TB Silalahi di Balige Toba

Samosir, dan lain-lain.

4.3 Profil Kawasan Danau Toba

Danau kaldera volkano tektonik terbesar di dunia terletak di wilayah

Indonesia Provinsi Sumatera Utara yaitu Danau Toba yang berjarak berjarak 176

km ke arah Barat Kota Medan, mempunyai kedalaman danau yaitu 505 meter

(terdalam) dan 87 km (panjang) berarah Barat laut – Tenggara dengan 27 km

(lebar) serta memiliki ketinggian 904 meter dpl. Secara geografis terletak di

antara koordinat 2º10’3º00’ pada Lintang Utara dan koordinat 98º24’ pada Bujur

Timur.

Berdasarkan wilayah administrasi, kawasan Danau Toba dikelilingi 7

(tujuh) kabupaten yaitu Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir,

Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

Humbang Hasundutan dan Kabupaten Simalungun. Namun, sejak tahun 2018

Kabupaten Pak Pak Barat termasuk dalam kawasan Danau Toba ini, akan tetapi

lokasi penelitian ini hanya terkait pada tujuh kabupaten. Secara fisik, deliniasi
215

batas kawasan di sekitar Danau Toba didasarkan atas deliniasi daerah

tangkapan air (catchment area) dan CAT.

Tabel 4.1 Ruang Lingkup Kawasan Danau Toba


Lingkup Kawasan Cakupan Wilayah

Badan Danau

Kabupaten Karo 1. Kecamatan Merek

Kabupaten Toba Samosir 1. Kecamatan Ajibata


2. Kecamatan Lumban Julu
3. Kecamatan Uluan
4. Kecamatan Porsea
5. Kecamatan Siantar Narumonda
6. Kecamatan Sigumpar
7. Kecamatan Balige
8. Kecamatan Tampahan

Kabupaten Simalungun 1. Kecamatan Pematang Silimakuta


2. Kecamatan Silimakuta
3. Kecamatan Haranggaol Horison
4. Kecamatan Dolok Pardamean
5. Kecamatan Pematang Sidamanik
6. Kecamatan Girsang Sipangan Bolon

Kabupaten Tapanuli Utara 1. Kecamatan Muara


2. Kecamatan Siborong-borong
3. Kecamatan Tamparan
4. Kecamatan Tarutung
5. Kecamatan Sipahutan
6. Kecamatan Sipaholon

Kabupaten Humbang Hasundutan 1. Kecamatan Lintong Nihuta


2. Kecamatan Baktiraja

Kabupaten Samosir 1. Kecamatan Sitio-tio


2. Kecamatan Harian
3. Kecamatan Pangururan
4. Kecamatan Sianjur Mula-mula
5. Kecamatan Simanindo
6. Kecamatan Onan Runggu
7. Kecamatan Nainggolan
8. Kecamatan Palipi

Kabupaten Dairi 1. Kecamatan Silahisabungan


2. Kecamatan Sidikalang
216

Lingkup Kawasan Cakupan Wilayah

Daerah Tangkapan Air (DAT) 1. 3 (tiga) Sub DAS di Kabupaten Karo


2. 4 (empat) Sub DAS di Kabupaten
Simalungun
3. 8 (delapan) Sub DAS di Kabupaten
Toba Samosir
4. 4 (empat) Sub DAS di Kabupaten
Tapanuli Utara
5. 2 (dua) Sub DAS di Kabupaten
Humbang Hasundutan
6. 13 (tiga belas) Sub DAS di Kabupaten
Samosir
7. 2 (dua) Sub DAS di Kabupaten Dairi

Cekungan Air Tanah (CAT) 1. CAT Sidikalang


2. CAT Tarutung
3. CAT Porsea Parapat
4. CAT Samosir
Sumber: http://bpiw.pu.go.id

Kondisi topografi kawasan Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan

pegunungan, dengan kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan

(0 – 8%), landai (8 – 15%), agak curam (15 – 25%), curam (25 – 45%), sangat

curam dengan terjal (> 45%). Kondisi kelerengan Kawasan Danau Toba sebagai

berikut (http://bpiw.pu.go.id): :

1. Pada bagian utara Kawasan Danau Toba yakni wilayah yang merupakan
bagian dari Tanah Karo, DTA relatif sempit dan memiliki relief bergabung
dengan lereng terjal. Sedangkan arah tepi danau memiliki relief berombak
hingga berbukit yang sebagian digunakan untuk budidaya pertanian.
Pada wilayah yang terjal, kemiringannya mencapai > 75%. Sedangkan
pada daratan yang sempit, kemiringannya < 3%.
2. Ke arah Timur dan Tenggara di daerah Parapat – Porsea – Balige
memiliki relief datar hingga bergunung. Di sisi Timur dan Tenggara ke
arah batas DTA terdapat dataran yang relatif luas yang digarap oleh
masyarakat setempat sebagai lahan sawah. Tepi batas DTA merupakan
wilayah berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lahan mencapai >
75%.
3. Bagian Selatan Kawasan Danau Toba merupakan dataran hingga wilayah
berbukit ke arah batas DTA. Pada daerah yang datar dengan kemiringan
lahan < 3%, diusahakan oleh masyarakat setempat sebagai lahan
pertanian, sedangkan ke arah batas DTA memiliki kontur relief berbukit
hingga bergunung.
217

4. Di bagian Barat hingga Utara merupakan dataran dan perbukitan hingga


bergunung, dengan lereng terjal ke arah tepi danau, seperti di sekitar
Tele, Silalahi dan Tongging. Lereng terjal di wilayah ini mencapai
kelerengan.
5. Pulau Samosir memiliki dataran yang relatif luas di sekeliling tepian
Danau Toba dengan kemiringan < 3%. Ke arah tengah pulau reliefnya
bergunung dan berlereng terjal dengan kemiringan lahan antara 30,5
hingga > 75%. Dataran yang terdapat dibagian Barat dan Selatan pulau
ini relatif lebih luas dibanding di sisi Utara dan Timur.
(http://bpiw.pu.go.id)

4.3.1 Kependudukan dan Sosial Budaya

Berdasarkan data yang diperoleh dari http://bpiw.pu.go.id bahwa jumlah

penduduk di Kawasan Danau Toba tahun 2013 lebih kurang 951.711 jiwa yang

tersebar di 7 Kabupaten dan 61 Kecamatan. Jumlah penduduk tertinggi berada

di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dengan jumlah 47.272 jiwa dan

terendah berada di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara dengan jumlah

1.355 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk di kawasan Danau Toba tahun 2013

adalah 110 jiwa/km². Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Sidikalang,

Kabupaten Dairi yaitu 669 jiwa/km², sedangkan kepadatan penduduk terendah

berada di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara yaitu 17 jiwa/km².

150000

100000 150000
50000 100000
50000
0

Diagram 4.1 Jumlah Penduduk di Kawasan Danau Toba


218

Danau Toba di dominasi oleh suku Batak Toba, suku Batak Karo, suku

Batak Simalungun, suku Batak Pak-pak. Danau Toba merupakan salah satu

kebanggaan suku Batak Toba, karena danau toba dianggap dapat memberikan

sumber kehidupan dan memberikan manfaat yang berasal dari dalam danau,

baik bersumber pada air danau, ikan-ikan dan lain sebagainya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari http://bpiw.pu.go.id kawasan Danau

Toba dinilai sebagai asal muasal dari semua etnis Batak se-dunia yang memiliki

kearifan lokal dengan falsafah Dalihan Natolu Paopat Sihalsihal, serta

situs/artefak sejarah etnis Batak yang cukup banyak yaitu 148 situs/objek wisata

yang tersebar di 9 kecamatan antara lain adalah di kawasan sakralisasi gunung

Pusuk Buhit Kecamatan Sianjur Mulamula sebanyak 49 situs, di Kecamatan

Harian, dan Sitiotio sebanyak 16 situs dan di Pulau Samosir (6 Kecamatan)

sebanyak 83 situs, merupakan potensi dalam pengembangan Kabupaten

Samosir sebagai pusat budaya Batak, dalam mewujudkan Kabupaten Pariwisata.

Disamping berbagai situs tersebut, juga kaya dengan potensi seni dan budaya

seperti: Tortor Batak, Silat (Mossak Batak), Tortor Sigalegale, Pentas Opera

Batak, Sanggar Tari, Paduan Suara, Alat Musik (Uning-uningan), Menggali

Kerangka Manusia (Manggukal holi), kegiatan Mangasetaon, Mangalahat Horbo,

Mandudu dan lain-lain.

4.3.2 Perekonomian dan Infrastruktur

Tahun 2013, PDRB daerah yang mengelilingi Danau Toba atas harga

konstan rata-rata sebesar 2,75 triliun rupiah dan sebesar 5,89% untuk rata-rata

laju pertumbuhan. Sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan,

perdagangan, hotel, restoran (pariwisata) dan angkutan serta komunikasi


219

memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian daerah di kawasan Danau

Toba. Berdasarkan data yang diperoleh dari http://bpiw.pu.go.id, PDRB atas

harga konstan di semua daerah pada kawasan Danau Toba mengalami

pertumbuhan yang signifikan seperti di tabel di bawah ini:

Tabel 4.2 PDRB Kabupaten Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2012-2013 (Rupiah)
No Kabupaten Tahun
2011 2012 2013
1 Dairi 7.919.187,00 8.301.057,00 8.697.133,00

2 Samosir 9.283.833,00 9.782.598,00 10.343.564,00

3 Tapanuli Utara 6.020.912,00 6.315.774,00 6.637.434,00

4 Toba Samosir 10.601.507,00 11.110.985,00 11.596.094,00

5 Karo 9.959.126,00 10.374.784,00 10.646.492,00

6 Humbang 6.106.829,00 6.394.041,00 6.695.767,00


Hasundutan
7 Simalungun 7.133.594,00 4.341.417,00 4.499.022,00

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014

Perjalanan menuju kawasan Danau Toba, harus dilalui melalui; 1) jalan

nasional yang panjangnya 542,98 km; 2) jalan provinsi yang panjangnya 172,74

km; 3) jalan kabupaten yang panjangnya 4.170,59 km dan; 4) jalan lingkar dalam

kawasan Danau Toba yang panjangnya 277,08 km. Sejak tahun 2018, jaringan

jalan yang ada di kawasan Danau Toba dimulai dengan melakukan pembenahan

sehingga cukup bagus, terutama pada jalan yang menghubungkan antar ibu kota

kabupaten. Namun, masih ada beberapa kerusakan jalan pada ruas jalan

kolektor lokal di sepanjang pesisir pulau Samosir, dimana ruas jalan ini

menghubungkan antara kecamatan yang ada di Pulau Samosir.


220

Infrastruktur sebagai akses utama yang perlu perhatian khusus dalam

mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba. Sesuai dengan harapan

yang ingin dicapai bahwa akhir tahun 2035, diharapkan meningkatnya jumlah

kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke kawasan Danau Toba dan

meningkatnya perekonomian daerah, meningkatnya kualitas lingkungan serta

meningkatnya kualitas infrastruktur sehingga dapat mendorong pariwisata

Danau Toba semakin berkembang.

4.4 Badan Otorita Pariwisata Danau Toba

Danau Toba merupakan salah satu kawasan strategik pariwisata nasional

yang memerlukan langkah-langkah yang terkoordinasi, sistematis, terarah dan

terpadu. Upaya mempercepat pengembangan dan pembangunan Kawasan

Pariwisata Danau Toba, diperlukan pengaturan secara khusus, guna

menyatukan pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan tersebut melalui

pembentukan Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

Pembentukan badan otorita ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan

Pariwisata Danau Toba, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 01 Juni 2016.

Badan otorita ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,

Badan pelaksana otorita danau toba merupakan kesatuan kerja dibawah

kementerian pariwisata yang dipimpin oleh seorang Kepala yang disebut Direktur

Utama. Badan Pelaksana mempunyai tugas:

1. Melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan,

pengembangan, pembangunan dan pengendalian di Kawasan

Pariwisata Danau Toba


221

2. Melakukan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian di zona otorita Pariwisata Danau

Toba

Sedangkan fungsi Badan Pelaksana adalah

1. Penyusunan Rencana Induk di Kawasan Pariwisata Danau Toba;

2. Penyusunan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan di

Kawasan Pariwisata Danau Toba;

3. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan,

pengembangan, pembangunan, dan pengendalian di Kawasan

Pariwisata Danau Toba;

4. Penyusunan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian di Kawasan Pariwisata Danau Toba;

5. Perumusan strategi operasional pengembangan Kawasan Pariwisata

Danau Toba;

6. Penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan pusat dan

daerah di Kawasan Pariwisata Danau Toba;

7. Penetapan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam

pelaksanaan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian Kawasan Pariwisata Danau Toba;

8. Pelaksanaan tugas lain terkait pengembangan Kawasan Pariwisata

Danau Toba yang ditetapkan oleh Dewan Pengarah.

Susunan organsasi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba di atur dalam

Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang


222

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, yang terdiri

dari:

1. Direktur Utama sebagai Kepala badan pelaksana

2. Direktur Keuangan, Umum dan Komunikasi Publik

Mempunyai tugas melaksanakan urusan keuangan, sumber daya manusia, tata

usaha, rumah tangga dan perlengkapan, advokasi hukum, serta komunikasi

publik. Sedangkan fungsinya:

a. Pelaksanaan urusan keuangan;

b. Pelaksanaan urusan sumber daya manusia;

c. Pelaksanaan urusan tata usaha;

d. Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perlengkapan;

e. Pelaksanaan urusan advokasi hukum;

f. Pelaksanaan urusan komunikasi publik; dan

g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.

Direktur Keuangan, Umum dan Komunikasi Publik terdiri atas:

a. Divisi Keuangan mempunyai tugas melakukan perencanaan anggaran dan

pengelolaan keuangan, serta penyusunan sistem dan manual akuntansi,

laporan keuangan dan kinerja, serta akuntansi atas setiap transaksi.

b. Divisi Umum mempunyai tugas melakukan perencanaan, pengembangan,

dan pengelolaan sumber daya manusia, tata usaha, rumah tangga dan

perlengkapan, advokasi hukum serta pengelolaan resiko dan kepatuhan

organisasi.

c. Divisi Komunikasi Publik mempunyai tugas melakukan pengelolaan

informasi dan dokumentasi serta penyajian pelayanan informasi publik, dan

pengelolaan pelayanan pengaduan masyarakat.


223

3. Direktur Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan

Direktur Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan mempunyai tugas

melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan, pengembangan,

pembangunan, pengendalian di Kawasan Pariwisata Danau Toba dan

perumusan strategi operasional pengembangan Kawasan Pariwisata Danau

Toba di bidang Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan.

Sedangkan fungsinya:

a. Penyusunan rencana induk di kawasan;

b. Penyusunan rencana detail pengembangan dan pembangunan di

kawasan;

c. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan,

pengembangan, pembangunan, dan pengendalian di kawasan;

d. Penyusunan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian di kawasan;

e. Perumusan strategi operasional pengembangan kawasan;

f. Penyelenggaraan promosi investasi di zona otorita, pengembangan

manajemen, dan pelayanan usaha pariwisata; dan

g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.

Direktur Industri Pariwisata dan Kelembagaan Kepariwisataan, terdiri dari:

a. Divisi Pengembangan Bisnis Pariwisata mempunyai tugas merencanakan

pengembangan dan pembangunan di Kawasan Pariwisata Danau Toba

melalui koordinasi, perencanaan, merumuskan strategi operasional

pengembangan di Kawasan Pariwisata Danau Toba serta menyusun

rencana induk dan rencana detail pengembangan dan pembangunan di zona

otorita.
224

b. Divisi Investasi Pariwisata mempunyai tugas melakukan penyelenggaraan

promosi investasi di zona otorita, pengembangan manajemen, dan

pelayanan usaha pariwisata.

4. Direktur Destinasi Pariwisata

Direktur Destinasi Pariwisata mempunyai tugas melaksanakan koordinasi,

sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengendalian di Kawasan Pariwisata Danau Toba dan perumusan strategi

operasional pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba di bidang

Destinasi Pariwisata.

Sedangkan fungsinya:

a. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan,

pengembangan, pembangunan, dan pengendalian di kawasan;

b. Penyusunan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan, dan pengendalian di kawasan;

c. Perumusan strategi operasional pengembangan kawasan;

d. Pelaksanaan pengembangan aksesibilitas pariwisata;

e. Pelaksanaan pengembangan infrastruktur pariwisata

f. Pelaksanaan pengembangan amenitas pariwisata;

g. Pelaksanaan pengembangan daya tarik wisata; dan

h. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.

Direktur Destinasi Pariwisata terdiri atas:

a. Divisi Aksesibilitas dan Infrastruktur mempunyai tugas meningkatkan

aksesibilitas di Kawasan Pariwisata Danau Toba melalui koordinasi

pembangunan infrastruktur transportasi, dan membangun dan

mengembangkan infrastruktur transportasi di zona otorita.


225

b. Divisi Amenitas dan Daya Tarik Wisata mempunyai tugas

mengembangkan atraksi dan diversifikasi daya tarik wisata melalui

koordinasi pembangunan daya tarik wisata di Kawasan Pariwisata Danau

Toba, membangun dan mengembangkan inovasi produk dan kapasitas

daya tarik wisata di zona otorita, mengembangkan amenitas melalui

koordinasi pembangunan prasarana umum, fasilitas umum, dan fasilitas

pariwisata di Kawasan Pariwisata Danau Toba, membangun dan

mengembangkan prasarana umum, fasilitas umum serta fasilitas

pariwisata di zona otorita.

5. Direktur Pemasaran Pariwisata

Direktur Pemasaran Pariwisata mempunyai tugas melakukan perumusan

strategi, koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi pengembangan Kawasan

Pariwisata Danau Toba di bidang Pemasaran Pariwisata.

Sedangkan fungsinya:

a. Perumusan strategi pengembangan pemasaran kawasan;

b. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi pemasaran pariwisata;

c. Pelaksanaan pemasaran pariwisata dalam negeri; dan

d. Pelaksanaan pemasaran pariwisata luar negeri.

Direktur Pemasaran Pariwisata terdiri atas:

a. Divisi Pemasaran Pariwisata Nusantara mempunyai tugas merumuskan

strategi pengembangan pemasaran kawasan, koordinasi, sinkronisasi,

dan fasilitasi pemasaran pariwisata, melakukan analisis data

pasarwisatawan dalam negeri, merencanakan dan melaksanakan

promosi dalam negeri, meningkatkan kerja sama promosi dalam negeri,


226

dan peningkatan citra pariwisata Danau Toba di dalam negeri melalui

diplomasi dan komunikasi.

b. Divisi Pemasaran Pariwisata Mancanegara mempunyai tugas

merumuskan strategi pengembangan pemasaran kawasan, koordinasi,

sinkronisasi, dan fasilitasi pemasaran pariwisata, melakukan analisis data

pasar wisatawan luar negeri, merencanakan dan melaksanakan promosi

luar negeri, meningkatkan kerja sama promosi luar negeri, dan

peningkatan citra pariwisata Danau Toba di luar negeri melalui diplomasi

dan komunikasi.

6. Satuan Pemeriksaan Intern

Satuan Pemeriksaan Intern adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas dan

fungsi Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Direktur Utama. Selanjutnya Satuan Pemeriksaan Intern yang selanjutnya

disingkat SPI merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah dan

bertanggung jawab kepada Direktur Utama, dan SPI mempunyai tugas

melaksanakan pemeriksaan intern.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Perencanaan pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba

Pembangunan sektor pariwisata sebagai pendorong pertumbuhan

daerah, peningkatan kesejahteraan melalui penciptaan lapangan usaha dan

kerja, peningkatan pendapatan asli daerah, penciptaan nilai tambah terhadap

sumber daya alam maupun budaya. Namun, pembangunan sektor pariwisata

dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang optimal untuk mendukung

perencanaan pengembangan sektor pariwisata.

Pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba, sangat

membutuhkan perencanaan yang matang, karena terkait potensi yang dimiliki

oleh masing-masing kabupaten yang mengelilingi kawasan Danau Toba. Potensi

yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten yang berada di kawasan Danau

Toba tidaklah sama sehingga inilah yang menjadi keunikan seperti budaya,

walaupun daerah di kawasan Danau Toba ini masih satu leluhur. Potensi wisata

di kawasan Danau Toba harus dapat dikembangkan menjadi pariwisata yang

unggul.

Sesuai dengan RIPPARNAS, bahwa dalam pengembangan potensi

wisata di daerah, terdapat beberapa hal yang harus tetap terjaga dan terencana

dengan baik, yaitu 1) menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; 2)

menjaga pelestarian dan pemanfaatan aset budaya, termasuk di dalamnya aspek

sejarah dan kepurbakalaan dan 3) memiliki sumber daya pariwisata potensial

untuk menjadi daya tarik wisata unggulan dan memiliki citra yang sudah dikenal

secara luas. Merujuk pada RIPPARNAS tersebut, maka RTRW Provinsi

227
228

Sumatera Utara menetapkan kawasan Danau Toba sebagai kawasan strategi

pariwisata dari sudut kepentingan lingkungan hidup, sosial budaya dan ekonomi.

Di dalam RTRW Provinsi Sumatera Utara ini juga dijelaskan bahwa dalam

pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba, harus memperhatikan

beberapa hal, yaitu: 1) menjaga kelestarian lingkungan dan mengembalikan

keseimbangan ekosistem dengan mempertahankan luasan dan meningkatkan

kualitas kawasan lindung serta mengembalikan ekosistem kawasan lindung; 2)

mengembangkan sektor ekonomi unggulan melalui peningkatan daya saing dan

diversifikasi produk dengan, mengembangkan kawasan yang berpotensi

memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta

mendorong pemerataan perkembangan wilayah.

Berdasarkan penjelasan RIPPARNAS dan RTRW Provinsi Sumatera

Utara tersebut, maka visi pengembangan Kawasan Strategi Pariwisata Nasional

Danau Toba dan sekitarnya yang dijelaskan dalam Rencana Induk dan Rencana

Detail KSPN Danau Toba adalah “Mewujudkan Kawasan Strategis Pariwisata

Nasional Danau Toba dskt sebagai destinasi pariwisata TERKEMUKA,

BERKELAS DUNIA, BERDAYA SAING, DALAM LINGKUNGAN

MASYARAKAT YANG MAJU, MANDIRI DAN SEJAHTERA”. Dengan demikian

untuk mendukung visi tersebut maka misinya adalah:

1. Mewujudkan KSPN Danau Toba dan sekitarnya sebagai destinasi yang

aman, nyaman, menarik, berdaya saing dan berwawasan lingkungan serta

mampu menajdi generator pengembangan wilayah dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.
229

2. Mengembangkan pemasaran destinasi Toba yang efektif dalam rangka

meningkatkan jumlah kunjungan, lama tinggal dan pembelanjaan wisatawan

serta dampak ekonomi multi ganda bagi masyarakat.

3. Mengembangkan industri pariwisata destinasi Toba yang mampu

menggerakkan kemitraan usaha dan bertanggung jawabatas kelestarian dan

keseimbangan lingkungan alam dan sosial budaya.

4. Mengembangkan otoritas pengelola kawasan destinasi Toba dan

meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang efektif dan efisien dalam

rangka mendorong terwujudnya kepariwisataan yang berkelanjutan.

Pengembangan pariwisata Danau Toba menjadi kawasan strategis

pariwisata nasional sebagai salah satu strategi untuk memberdayakan

masyarakat melalui pengembangan potensi, partisipasi dan kapasitas sumber

daya komunitas lokal serta mengoptimalkan pembangunan pariwisata di seluruh

daerah. Maka, sangat dibutuhkan perencanaan yang efektif dan efisien dalam

mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba dan sekitarnya.

Sesuai dengan RIRD KSPN Danau Toba dan sekitarnya, bahwa terdapat

berbagai potensi yang harus dikembangkan untuk mendukung pariwisata Danau

Toba yaitu:

1. Tomok, Tuktuk (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi

Budaya Pedesaan dan Perairan Danau/Desa Wisata)

2. Simanindo (Pengembangan Pelabuhan Wisata dan Daya Tarik Wisata

Berbasis Potensi Budaya Pedesaan/Desa Wisata)

3. Nainggolan (Pengembangan Pelabuhan Wisata dan Daya Tarik Wisata

Berbasis Potensi Budaya Pedesaan dan Perairan Danau Toba/Desa Wisata)


230

4. Perairan Danau (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi

Perairan Danau/Olah Raga dan Berkreasi Air, Restaurat Terapung, Toba

Cruise)

5. Sipiso-piso (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Ekologi

Hutan dan Pegunungan)

6. Tigaras (Pengembangan Pelabuhan Wisata dan Daya Tarik Wisata Berbasis

Ekologi Berdaya Pedesaan dan Perairan Danau)

7. Parapat (Pengembangan Daya Tarik Wisata Khusus/Mice, Lake Resort

Serta Gerbang Cruise Danau Toba)

8. Pusuk Buhit (Pengembangan Daya Tarik Wisata Sumber Daya Geologi dan

Mineral/ Geopark, dan Pusat Riset.

9. Balige (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Ekologi dan

Budaya Etnik/Pedesaan Batak)

10. Simalem (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Ekologi

Pegunungan dan Perkebunan/Agro Wisata)

11. Berastagi (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Agro/

Tourism Agro Park, Ecoresindential/Hotel Resort, Villa Lodge dan Outbound

Activities)

12. Sidikalang (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Agro Kopi

Sidikalang)

13. Pematang Siantar (Pengembangan Area Sebagai Transportasi dan Daya

Tarik Wisata Berbasis Potensi Agro Wisata)

14. Tebing Tinggi (Pengembangan Area Sebagai Transit Point dan Daya Tarik

Wisata/ Berbasis Potensi Agro)


231

15. Medan (Pengembangan Gerbang Wisata dan Daya Tarik Wisata Budaya

Perkotaan)

16. Tanjung Balai (Pengembangan Gerbang Wisata Pendukung dan Daya Tarik

Wisata Berbasi Budaya Kota Pantai)

17. Asahan (Pengembangan Daya Tarik Wisata Alam Berbasis Sungai/Arung

Jeram)

18. Bakti Raja/Sipinsur Paranginan (Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis

Sejarah Budaya dan Panorama Alam)

19. Silangit (Pengembangan Silangit Sebagai Gerbang Wisata Pendukung dan

Daya Tarik Wisata Berbasis Potensi Budaya Religi)

Adapun akses pintu masuk ke kawasan Danau Toba dapat dilihat pada gambar

di bawah ini:

Gambar 5.1: Peta Kawasan Pariwisata Danau Toba


https://betatutoba.files.wordpress.com/2016/08/peta-kawasan-wisata-danau-toba.jpg

Berdasarkan gambar 5.1 tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa pintu masuk ke

kawasan pariwisata Danau Toba terdapat 5 pintu masuk di tahun 2016 yaitu
232

1. Pintu Gerbang Parapat – Ajibata (Kabupaten Simalungun)

2. Pintu Gerbang Pariwisata – Pangururan (Kabupaten Samosir)

3. Pintu Gerbang Pariwisata - Balige (Kabupaten Toba Samosir)

4. Pintu Gerbang Tiga Ras (Kabupaten Simalungun)

5. Pintu Gerbang Pariwisata – Merek (Kabupaten Karo)

Maka, sesuai dengan hasil rapat koordinasi pengembangan pariwisata Danau

Toba yang diselenggarakan di Jakarta, 02 Agustus 2019, terdapat beberapa

dukungan infrastruktur PUPR yaitu

1. Jalan Tol Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat

2. Jalan Lingkar Samosir

3. Penataan Kawasan Tomok

4. Pelebaran Alur, Jembatan Tano Ponggol dan Waterfront City Pangururan

5. Wisata Tele Geopark

6. Rencana penataan Kawasan Huta Ginjang

7. Rencana Kawasan Wisata Lumban Pea

8. Rencana Rest Area Lumban Julu

9. Penataan Kawasan Dolok Siplak

10. Ruang Terbuka Publik Parapat (Seberang Hotel Atsari)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Badan Otorita Pariwisata

Danau Toba (BOPDT) Bapak Arie Prasetyo, pada tanggal 19 November 2018

yang menyatakan bahwa:

“salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan


pariwisata kawasan Danau Toba adalah dengan memperbaiki
aksesibilitas (jalan menuju Danau Toba), dan ini telah diprogram oleh
pemerintah pusat melalui kementerian pariwisata yang bertujuan untuk
menciptakan 10 Bali baru di Indonesia, dan salah satunya adalah Danau
Toba. Tahap pertama yang dilakukan adalah sektor infrastruktur yang
bekerja sama dengan instansi/kementerian terkait untuk melaksanakan
perbaikan infrastruktur di setiap pintu gerbang menuju Danau Toba dan
233

akses jalan yang menuju destinasi wisata Danau Toba, baik melalui darat,
laut dan udara. Saat ini yang sedang dilaksanakan dan hampir selesai
pembangunan jalan tol Medan – Siantar (yang dapat memudahkan
masyarakat dengan cepat untuk berada di kawasan Danau Toba yang
seharusnya dari Medan harus mengalami perjalanan selama ± 6 jam
namun dengan adanya jalan tol ini hanya ± 3 jam. Tidak hanya jalan tol,
tahun ini juga diusahakan beroperasinya kapal penumpang dan
kenderaan yang dapat membawa masyarakat dengan cepat untuk sampai
pada titik inti Danau Toba yaitu ke pulau Samosir”

Pernyataan Direktur BOPDT tersebut diperkuat dengan diresmikannya pintu

masuk ke kawasan pariwisata Danau Toba yaitu Bandara Silangit yang berada

diresmikan namun pada awal tahun 2019 nama bandara ini diganti dengan nama

Bandara Sisingamangaraja (sebagai ikonnya tanah batak Danau Toba).

Pembangunan Bandara ini membawa banyak perubahan bagi masyarakat

sekitar bandara yaitu meningkatnya aktivitas perekonomian dan menimalisikan

angka pengangguran di wilayah kawasan Danau Toba.

Gambar 5.2: Aktivitas di Bandara Sisingamangaraja/Silangit di Kabupaten


Tapanuli Utara
(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Tidak hanya bandara internasional yang diresmikan untuk mendukung aktivitas

pariwisata di Kawasan Danau Toba, pada akhir Desember tahun 2018 telah juga

diresmikan pelabuhan dari Ajibata ke Ambarita dengan kapal pengangkut


234

penumpang dan kenderaan yang langsung di kelola oleh dinas terkait, dan kapal

ferry ini bernama KMP. IHAN BATAK.

Gambar 5.3: Kondisi Pelabuhan Ajibata ke Ambarita (Samosir)


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Terdapat beberapa kawasan pariwisata di daerah Danau Toba, yaitu:

Kawasan Wisata Sipiso-piso (Merek – Kabupaten Karo), Kawasan Taman Wisata

Iman (Kabupaten Dairi), Kawasan Parapat (Kabupaten Simalungun), Kawasan

Taman Eden (Kabupaten Tapanuli Utara), Kawasan Lumban Julu (Kabupaten

Toba Samosir), Kabupaten Wisata Balige (Kabupaten Toba Samosir), Kawasan

Muara – Bakti Raja (Kabupaten Humbang Hasudutan), Kawasan Pangururan –

Sianjur Mula-mula (Kabupaten Samosir), Kawasan Tuktuk – Tomok (Kabupaten

Samosir), Kawasan Taman Bumi Nainggolan (Kabupaten Samosir), dan

Kawasan Onan Runggu (Kabupaten Samosir). Kawasan pariwisata mempunyai

ciri khas tersendiri dalam mendukung pengembangan pariwisata kawasan Danau

Toba.

Pelabuhan ferry tidak hanya dikelola oleh pemerintah daerah namun juga

oleh masyarakat , namun sebelum adanya pelabuhan ferry ini terlebih dahulu

tersedia pelabuhan ferry dan pelabuhan penumpang yang dikelola oleh


235

masyarakat lokal. Hasil wawancara dengan salah satu masyarakat (yang tidak

mau disebut namanya) pada tanggal 05 Februari 2019, bahwa :

“Terminal penumpang ini sudah ada sejak dulu, dan kapalnya yang
berlabuh di terminal ini adalah milik pribadi. Sebagian penduduk kawasan
Danau Toba menggunakan transportasi ini untuk menyebrangi Danau
Toba seperti dari Parapat - Samosir, Samosir – Parapat atau di setiap titik
kabupaten ada tempat terminal kapal penumpang, seperti di Parapat ini
terdapat 2 (dua) terminal kapal penumpang yang sering digunakan
masyarakat juga wisatawan, yaitu Pelabuhan Ajibata (Ajibata – Tomok),
pelabuhan Tiga Raja (Tiga Raja – Tuktuk). Namun, ada juga wisatawan
yang menggunakan jasa hotel untuk membawa mereka menyebrangi
Danau Toba”.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh wisatawan yang

menggunakan terminal penumpang ini, Nona Silvia Sinaga (wisatawan lokal)

pada tanggal 05 Februari 2019, bahwa:

“Selalu menggunakan fasilitas terminal penumpang ini setiap


mengunjungi parapat dan ke samosir, karena hanya ini jalan terdekat
menuju Samosir (Danau Toba) kalau jalan darat, saya harus melalui
tanah Karo kalau dari Medan dan itu membutuhkan perjalanan yang
lumayan jauh ± 6- 7 jam sedangkan dari Medan ke Parapat hanya 2,5
jam dan naik kapal penumpang ke Samosir ± 30 – 45 menit.”

Hal yang senada juga dikemukakan oleh wisatawan mancanegara yang berasal

dari Australia yaitu David, pada tanggal 05 Februari 2019. Beliau mengemukakan

bahwa:

“Alternatif yang paling dekat untuk ke Samosir sebagai tempat intinya


Danau Toba adalah jalur penyeberangan. Fasilitas yang ada di kapal
penumpang tergolong belum memadai, masih ada beberapa hal yang
harus dicari solusinya yaitu tentang kebersihan kapal (toilet) dan juga
sistem keamanan penumpang”.

Namun, dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba belum

tersusun perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba yang

menjadi salah satu hambatan terbesar dalam mengembangkan potensi wisata

yang ada di kawasan Danau Toba. Kebijakan pengembangan potensi wisata


236

yang ada masih bersifat individual kabupaten, dan bukan kebijakan yang

mengatur secara keseluruhan potensi wisata yang ada di kawasan Danau Toba.

Seperti yang dilakukan oleh Kabupaten Samosir yang telah mengeluarkan

kebijakan untuk pengembangan objek wisata yaitu Surat Keputusan Bupati

Samosir Provinsi Sumatera Utara Nomor 474 Tahun 2017 tentang penetapan

kriteria dan klasifikasi objek wisata di Kabupaten Samosir.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Ombang Simboro (Kepala

Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir) di tanggal 05 Oktober 2018, beliau

menjelaskan

“Potensi destinasi pariwisata yang ada di Kabupaten Samosir harus


digali, dikembangkan, dikelola dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat serta harus adanya pembangunan yang berkelanjutan
maka untuk mendukung upaya pengembangan potensi pariwisata ini
diterbitkanlah Surat Keputusan Bupati Samosir Provinsi Sumatera
Utara Nomor 474 Tahun 2017 tentang penetapan kriteria dan
klasifikasi objek wisata di Kabupaten Samosir, sehingga
pengembangan pariwisata Danau Toba khususnya di Kabupaten
Samosir dapat terus dikembangkan.”

Pada bagian KESATU dari Keputusan Bupati Samosir Provinsi Sumatera

Utara Nomor 474 Tahun 2017 tentang penetapan kriteria dan klasifikasi objek

wisata di Kabupaten Samosir, ini dijelaskan bahwa dalam mendukung upaya

pengelolaan dan pengembangan pariwisata Kabuaten Samosir, maka dilakukan

penetapan kriteria dan klasifikasi objek wisata di Kabupaten Samosir yang

didasarkan pada:

1. Ruang Fisik

2. Jumlah dan Jenis Daya Tarik

3. Jumlah dan Jenis Fasilitas Wisata

4. Jumlah dan Jenis Fasilitas Umum

5. Aksesibilitas
237

6. Kesiapan Masyarakat

7. Jumlah Wisatawan.

Penetapan kriteria dan klasifikasi objek wisata ini bertujuan untuk menarik

berbagai investor atau wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara untuk

berkunjung ke negeri kepingan surga (istilah Samosir sebagai ikonnya

pariwisata).

Objek wisata yang menjadi unggulan pada masing-masing kabupaten

yang mengelilingi kawasan Danau Toba, juga menjadi lokasi survey dalam

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi pariwisata yang dapat

dikembangkan di kawasan Danau Toba. Masing-masing destinasi wisata

tersebut mencerminkan keragaman yang ada di kawasan Danau Toba (Geologi,

biologi dan budaya) sehingga memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing

daerah di kawasan Danau Toba.

5.1.1 Perencanaan Potensi destinasi wisata, meliputi attraction (daya tarik),

amenities (fasilitas), aksesibiltas (transportasi), dan ancillary

(kelembagaan)

Strategi pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba yang dijelaskan

dalam masterplan KSPN Danau Toba dan sekitarnya adalah daya tarik wisata,

keruangan, amenitas, aksesibiltas, pasar dan pemasaran, pemberdayaan

masyarakat, investasi, sumber daya, kelembagaan dan industri pariwisata.

Tabel 5.1 Grand Strategy Pengembangan KSPN Danau Toba dan Sekitarnya.
Daya Tarik Wisata 1. Perintisan pengembangan diversifikasi daya
tarik wisata dalam rangka mendorong
pemerataan dan pertumbuhan kawasan
2. Pengembangan revitalisasi daya tarik wisata
untuk meningkatkan kualitas dan daya saing
produk dalam menarik minat dan loyalitas
segmen pasar yang ada
238

Keruangan 1. Pengembangan ruang-ruang pariwisata untuk


mendukung diversifikasi dan daya saing produk
serta pemerataan pertumbuhan kepariwisataan
kawasan Toba
2. Pengembangan jejaring manajemen kunjungan
terpadu antar ruang-ruang pariwisata
berkembang di KSPN Danau Toba dan
sekitarnya
Amenitas 1. Pembangunan prasarana umum, fasilitas umum
dan fasilitas pariwisata dalam mendukung
pembangunan kepariwisataan di KSPN Toba
dan sekitarnya.
2. Pengendalian pembangunan prasarana umum,
fasilitas umum, dan fasilitas pariwisata di KSPN
Toba dan sekitarnya yang sudah melampaui
ambang batas daya dukung
3. Peningkatan kualitas prasarana umum, fasilitas
umum dan fasilitas pariwisata yang mendorong
pertumbuhan, meningkatkan kualitas dan daya
saing serta daya tarik wisata di KSPN Toba.
Aksesibilitas 1. Pengembangan dan pemantapan jaringan dan
prasarana transportasi dalam mendukung
pengembangan pariwisata.
2. Pengembangan pemantapan sarana
transportasi dalam mendukung pergerakan
wisatawan dan pengembangan kepariwisataan
kawasan.
Pasar dan Pemasaran 1. Pemetaan, analisis peluang pasar dan
perintisan pemasaran ke pasar potensial
2. Pemantapan segmen pasar wisatawan massal
(mass market) dan pengembangan segmen
ceruk pasar (niche market) dalam
mengoptimalkan pengembangan destinasi
pariwisata dan dinamika pasar global
3. Pemantapan segmen pasar wisatawan massal
(mass market), dengan fokus:
a. Pengembangan segmen keluarga
b. Komunitas (hobbies)/tradisi budaya
Pengembangan segmen ceruk pasar (niche
market) dengan fokus:
a. Pengembangan segmen mice
b. Pengembangan segmen mahasiswa
4. Pengembangan dan pemantapan citra danau
toba sebagai destinasi pariwisata
5. Pengembangan kemitraan pemasaran yang
terpadu, sinergis, berkesinambungan dan
berkelanjutan
6. Pengembangan badan promosi pariwisata
daerah
239

Pemberdayaan 1. Pengembangan potensi, partisipasi, dan


Masyarakat kapasitas sumber daya komunitas lokal dalam
pengembangan usaha produktif kepariwisataan
2. Optimalisasi pengarusutamaan gender melalui
pembangunan kepariwisataan
3. Peningkatan potensi dan kapasitas sumber
daya lokal melalui pengembangan usaha
produktif di bidang pariwisata
4. Penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha di
bidang kepariwisataan
Investasi 1. Peningkatan insentif investasi bidang pariwisata
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2. Peningkatan kemudahan investasi di bidang
pariwisata
3. Peningkatan promosi investasi di bidang
pariwisata
4. Perbaikan iklim investasi di bidang pariwisata
Sumber Daya Manusia 1. Optimalisasi dan akselerasi kompetensi SDM
pariwisata
2. Akselerasi kualitas institusi pendidikan
kepariwisataan
3. Standarisasi dan sertifikasi tenaga pendidik
4. Peningkatan kualitas/kapasitas SDM pemerintah
dan industri pariwisata
Kelembagaan 1. Restrukturisasi dan reposisi organisasi
kepariwisataan di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota
2. Optimalisasi koordinasi antar dinas dan dengan
kabupaten/kota
3. Optimalisasi organisasi kepariwisataan swasta
dan masyarakat di tingkat
provinsi/kabupaten/kota
4. Optimalisasi kemitraan usaha pariwisata antara
pemerintah provinsi/kabupaten/kota, swasta dan
masyarakat
Industri Pariwisata 1. Peningkatan kualitas dan keragaman produk-
produk usaha pariwisata
2. Peningkatan fasilitasi, regulasi dan insentif
untuk pengembangan usaha pariwisata
3. Penguatan struktur usaha pariwisata
4. Penguatan kemitraan usaha pariwisata
Sumber: Masterplan KSPN Danau Toba dan sekitarnya, tahun 2013

Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5

Tahun 2018 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi

Sumatera Utara (RIPPAR PROVSU) Tahun 2017 – 2025 pada BAB II

menjelaskan pembangunan destinasi pariwisata di Provinsi Sumatera Utara di


240

pasal 8 bahwa perwilayahan pembangunan pariwisata Provinsi meliputi:

destinasi pariwisata provinsi (DPP) dan kawasan strategis pariwisata provinsi

(KSPP). Maka, untuk mendukung upaya pengembangan pariwisata Danau Toba,

pada pasal 16 di RIPPAR Prov. Sumatera Utara bahwa DPP Deli Serdang,

Serdang Bedagai, Simalungun dan sekitarnya terdiri dari: KSPP Deli Serdang,

KSPP Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan sekitarnya, KSPP Pematang Siantar

dan sekitarnya, KSPP Parapat dan sekitarnya, KSPP Toba dan sekitarnya dan

KSPP Raya, Bahjambi, Tigaras dan sekitarnya. Di dalam perwilayahan

pembanguan DPP terdapat beberapa KSPP. Dengan demikian, Danau Toba

telah menjadi kawasan strategis pariwisata provinsi (KSPP) dan di dukung oleh

Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya yang diatur dalam

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 bahwa cakupan

kawasan Danau Toba yang diatur pada Bagian Kedua pasal 5 yang menjelaskan

bahwa cakupan kawasan Danau Toba meliputi Badan Danau, DTA dan CAT

yang terkait dengan perairan Danau Toba, serta pusat kegiatan dan jaringan

prasarana yang tidak berada di Badan Danau, DTA dan CAT yang terkait dengan

perairan Danau Toba dan mendukung pengembangan perairan Danau Toba.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Balitbang Provinsi

Sumatera Utara yaitu Bapak Ir. H. Irman, M.Si pada tanggal 13 November 2019,

beliau mengutarakan:

“Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan strategi pariwisata


nasional yang diatur dalam RIPPARNAS yang kemudian ditindak lanjut di
tingkat Provinsi melalui RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara menjadi
kawasan unggulan dan pariwisata bertaraf internasional, kebijakan ini
diimplementasikan kepada seluruh satuan UPD untuk mendukung
program pengembangan kawasan Danau Toba. Salah satunya adalah
melalui program pengembangan agro wisata di setiap daerah kawasan
Danau Toba yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan makanan secara
langsung yang dapat memberikan kenyamanan bagi setiap wisatawan
atau pengunjung seperti oleh-oleh (buah-buahan) dan wisata kuliner yang
241

dapat menjamin rasa nyaman dan aman, kemudian agro wisata ini juga
dapat menjadi daya tarik tersendiri yang dapat menonjolkan keunggulan
pertanian dan hasil alam yang dimiliki oleh daerah wisata.
Pengembangan pariwisata juga harus didukung oleh infrastruktur yang
optimal, dan juga didukung oleh ameniti dan hospitality terkait kesiapan
daerah dan masyarakat dalam mendukung pengembangan pariwisata
Danau Toba menjadi kawasan unggulan”

Pengembangan potensi destinasi wisata pada kawasan Danau Toba tidak

terlepas dari dimensi pariwisata yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu

attraction (daya tarik), amenity (fasilitas), aksesibilitas (transportasi) dan ancillary

(fasilitas tambahan). Dimensi ini merupakan faktor-faktor yang dapat mendukung

pengembangan potensi pariwisata dan ini jugalah yang akan menjadi tolak ukur

untuk dapat menyusun perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan

Danau Toba.

Setiap kabupaten yang berada di kawasan Danau Toba, harus dapat

mengembangkan potensi setiap destinasi wisata dengan memaksimalkan

pelaksanaan 4A (attraction, amenities, aksesibilitas dan ancillary) .Sesuai

dengan hasil wawancara dengan Bapak Nelson Lumbantoruan (Sekretaris Dinas

Pariwisata Kabupaten Humbang Hasudutan) pada tanggal 06 Februari 2019,

beliau menjelaskan

“Setiap kabupaten yang mengelilingi Danau Toba, saat ini dituntut untuk
bisa mengembangkan objek wisata yang menjadi unggulan atau tidak
unggulan sehingga dapat menarik jumlah wisatawan untuk berkunjung,
khususnya di Kabupaten Humbang Hasudutan terdapat beberapa
destinasi wisata yang menjadi unggulan yang dapat diperkenalkan
kepada wisatawan yaitu salah satunya adalah wisata Sipinsur yang
merupakan pusat geopark di Humbahas. Saat ini wisata Sipinsur sedang
memenuhi dimensi pariwisata 4 A yaitu Attaraction, Amenitas,
Aksesibiltas dan Ancillary sebagai pendukung dalam pengembangan
wisata di kawasan Danau Toba”

Dinas Pariwisata di 7 kabupaten kawasan Danau Toba bersama

Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, selalu mengagendakan kunjungan


242

ke objek wisata untuk melihat secara langsung perkembangan pariwisata

kawasan Danau Toba, dimana kunjungan ini bertujuan untuk memonitoring

pelaksanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba. Salah satu

utusan Kementerian Pariwisata melalui Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera

Utara yaitu Bapak Wisnu pada tanggal 06 Februari 2019, dimana beliau

menjelaskan bahwa:

”Mengembangkan potensi objek wisata untuk kawasan Danau Toba


ini harus dilakukan dengan sebaik-baiknya terkait 4 A dan bagaimana
cara mempromosikan pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga
dapat menarik wisatawan mancanegara dan lokal untuk datang lebih
lama di setiap objek wisata masing-masing kabupaten, serta menarik
para investor untuk menanam saham dalam perindustrian pariwisata
kawasan Danau Toba, namun terdapat beberapa hal yang masih
menjadi hambatan dalam mengembangkan pariwisata kawasan
Danau Toba yaitu terkait regulasi dan masyarakatnya yang belum
bisa menyatu”

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, bahwa dalam mengembangkan

potensi destinasi wisata harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan

regulasi yang dapat mendukung pelaksanaan hasil perencanaan tersebut.

Pengembangan potensi destinasi wisata sangatlah penting untuk memastikan 4

A sudah dilakukan dengan benar karena untuk memberikan kenyaman kepada

wisatawan yang berkunjung amenitas harus dapat dijalankan seperti makanan

yang dibutuhkan mereka, penginapan yang nyaman dan beberapa fasilitas yang

aman dan nyaman dapat mereka rasakan. Tidak hanya itu, perlunya akses yang

bagus ke setiap objek wisata sehingga menimbulkan rasa kenyamanan tat kala

wisatawan malakukan perjalanan menuju objek wisata yang dituju juga harus

adanya atraksi yang dipertunjukkan di setiap objek wisata sehingga menambah

ketertarikan dan kekaguman pengunjung.


243

Pengembangan potensi destinasi wisata juga membutuhkan promosi dan

memberikan informasi ke luar tentang objek wisata yang ditawarkan. Maka, untuk

ini perlu adanya kerjasama yang efektif dengan para agen-agen jasa seperti

travel atau membuat beberapa langkah dalam mempromosikan objek wisata.

Upaya mempromosikan suatu destinasi wisata harus dapat bekerjasam dengan

berbagai pihak, antara lain wartawan (jurnalis), investor, agen travel (wisata) dan

lain sebagainya. Perlunya setiap pemerintah kabupaten untuk terus membangun

komunikasi dengan beberapa pihak dalam mempromosikan destinasi wisata baik

yang sudah dikenal maupun tidak dikenal oleh masyarakat umum lainnya. Dalam

hal ini diperlukan strategi kerjasama yang bagus dalam membangun kerjasama

sehingga pemasaran objek wisata dapat terlaksana dengan baik seperti

memakai jasa marketing tours and travel.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Kerjasama Dinas Pariwisata

Kabupaten Samosir yaitu Ibu Shanty Hariandja pada tanggal 05 Oktober 2018,

bahwa

“Dalam mengembangkan potensi objek wisata, selain pentingnya 3A


(attraction, amenitas dan aksesibilitas) juga dibutuhkan promosi dan
informasi yang akurat sehingga dapat mendatangkan wisatawan-
wisatawan sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di
sekitar objek dan mewujudkan Samosir menjadi Negeri Kepingan Surga.”

Melalui kerjasama yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat

maka dapat mewujudkan pengembangan potensi destinasi wisata menjadi lebih

baik. Kerjasama ini dapat dilaksanakan dengan baik, seperti yang dikemukakan

oleh Tim Jurnalis Pariwisata oleh Bapak Bagus, pada tanggal 12 Oktober 2018.

Beliau mengemukakan bahwa:

“Kerjasama yang selama ini kami bangun dengan pihak pemerintah


daerah yang ada di kawasan Danau Toba, hanya beberapa kabupaten
saja yang antusias untuk pengembangan kawasan pariwisata di Danau
244

Toba, salah satunya adalah Kabupaten Samosir. Maka, perkembangan


potensi objek wisata di Samosir melebihi kabupaten yang lain, karena ini
adalah kerjasama yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
kami sebagai jurnalis hanya bisa mempromosikan dan memasarkan apa
yang telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui
program-program pariwisata yang dijalankan”.

Pengelolaan objek wisata yang menjadi destinasi bagi pariwisata harus

diarahkan kepada peningkatan kualitas kunjungan wisatawan dalam bentuk

pemasaran dan promosi, pengembangan sarana dan prasarana, investasi,

pengembangan sumber daya manusia yang mencakup kepada penataan,

kualitas layanan, pengelolaan dan pengembangan nilai lokal dengan

kemampuan yang berdaya saing di sektor pariwisata. Keterlibatan pemerintah,

swasta dan masyarakat dengan secara bersamaan dapat meningkatkan kualitas

dan kapasitas masyarakat dalam mengelola potensi objek wisata dan

mengembangkan atraksi wisata di kawasan Danau Toba sehingga mampu

bersaing di tingkat nasional dan internasional.

Berdasarkan hasil Focus Grup Discussion (FGD), yang dilaksanakan

pada tanggal 12 Desember 2018, yang dikemukakan oleh Bapak Alusman Sitio

(tokoh masyarakat/pariwisata), bahwa:

“Alangkah baiknya kalau pemerintah daerah yang ada di kawasan Danau


Toba ini membuat pertemuan-pertemuan pariwisata sehingga pelaku-
pelaku wisata yang ada dapat memahami makna kerjasama yang
dibangun pemerintah dengan mereka, karena masih banyak pelaku
wisata tidak mengerti pola mengembangkan pariwisata dengan dimensi
4A tersebut sehingga menciptakan kenyamanan dalam berwisata”.

Kawasan Danau Toba juga didukung oleh banyaknya destinasi wisata

yang berada di tujuh kabupaten yang mengelilinginya. Destinasi wisata ini

menjadi potensi pariwisata yang mempunyai keunikan dan khas yang ditunjukkan
245

oleh masing-masing daerah. Berdasarkan hasil data penelitian, masing-masing

kabupaten mempunyai objek wisata yang menjadi andalannya untuk

menunjukkan keragaman yang berkaitan dengan kawasan Danau Toba, yaitu

1. Kabupaten Simalungun, meliputi Bukit Indah Simarjarunjung, Parapat, air

Terjun Binangan Bolon, Tanjung Unta dan Batu Gantung.

Gambar 5.4: Destinasi Wisata Kabupaten Simalungun


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

2. Kabupaten Toba Samosir, meliputi Pasir Putih Bul-Bul, Air Terjun Situmurun,

Wisata Iman, Pemandian Bukit Gibeon, dan Museum TB Silalahi

Gambar 5.5: Destinasi Wisata Kabupaten Toba Samosir


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

3. Kabupaten Tapanuli Utara, meliputi Penatapan Huta Ginjang, Bukit Doa


Muara Nauli dan Tugu Toga Aritonang
246

Gambar 5.6: Destinasi Wisata Kabupaten Tapanuli Utara


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

4. Kabupaten Humbang Hasundutan, meliputi Wisata Geosit Sipinsur, Wisata

Kuliner Tipang Mas, Istana Raja Sisingamangaraja, Air Terjun Janji dan

Lembah Bakkara

Gambar 5.7: Destinasi Wisata Kabupaten Humbang Hasundutan


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

5. Kabupaten Samosir, meliputi Wisata Tomok (Patung Sigale-gale, Pemakaman

Raja, Museum Batak), Tuk Tuk Siadong, Pantai Batu Hoda, Aek Sipitu Dai,

Bukit Holbung, Pusuk Buhit, Aek Rangat Pangururan dan Menara Tele.

Gambar 5.8: Destinasi Wisata Kabupaten Samosir


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Desember 2018 dan Februari 2019)
247

6. Kabupaten Dairi, meliputi Taman Iman, Puncak Sidiangkat dan Pantai

Paropo/Tao Silalahi

Gambar 5.9: Destinasi Wisata Kabupaten Dairi


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

7. Kabupaten Karo, meliputi Kebun Bunga Sapo Juma Tongging, Pantai

Tongging, Taman Simalem dan Air Terjun Sipiso-piso.

Gambar 5.10: Destinasi Wisata Kabupaten Karo


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

Berdasarkan arah rencana pengembangan daya tarik wisata dalam

struktur ruang kawasan di KSPN Toba dan Sekitarnya, seperti yang dijelaskan

tabel di bawah ini:


Tabel 5.2 Arahan Rencana Pengembangan Daya Tarik Wisata dalam Struktur Ruang Kawasan
di KSPN Toba dan Sekitarnya

Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
Zona 1
Tuktuk, Tomok a. Kompleks akomodasi dan Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Pengembangan desa
perhotelan potensi budaya pedesaan dan perairan wisata Tuktuk
b. Daya tarik wisata air Danau (Desa Wisata, Selusur Danau) b. Water Front dan Board
(perairan Danau Toba) Walk
c. Daya tarik wisata budaya c. Pusat Kerajinan/Pasar
Desa Tuktuk Seni
d. Community Center
e. Eco Resort/Eco Lodge
f. Pusat Kuliner
Simanindo a. Pelabuhan penyeberangan Pengembangan pelabuhan wisata dan a. Pengembangan desa
b. Daya tarik wisata budaya daya tarik wisata berbasis potensi budaya wisata budaya
c. Daya tarik wisata pantai pedesaan (desa wisata) b. Water front dan Board
danau Walk
c. Pelabuhan Wisata/lake
toba cruise port
d. Pusat Kuliner
e. Pusat Ulos Lumban Soi-
Soi
f. Community Center
Nainggolan a. Pelabuhan penyeberangan Pengembangan pelabuhan wisata dan a. Water Front dan Broad
b. Daya tarik wisata budaya daya tarik wisata berbasis potensi budaya Walk
c. Daya tarik pantai danau pedesaan dan perairan danau (Desa b. Pelabuhan Wisata/Lake
Wisata/Selusur Dabau) Toba Cruise Port
c. Pusat Kuliner

248
d. Pusat Ulos Lumban Soi-
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
soi
e. Community Center
Zona 2
Kawasan Perairan a. Daya tarik perairan danau Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Water Sport
Danau dan bentang alam danau potensi perairan Danau (olah raga dan b. Floating Restaurant
Toba rekreasi air, restauran terapung, Toba c. Water Front & Board
b. Tambak Ikan Cruise, Toba Mice) Walk
d. Toba Cruise, Toba Mice
e. Canoe Festival
f. Festival Perahu
Naga/Perahu Tradisional
Zona 3
Pusuk Buhit a. Daya tarik sumber air Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. IT park dan animation
panas sumber daya geologi dan mineral center
b. Daya tarik situs (geopark, geoscience, volcanic park, pusat b. Museum dan discovery
geologi/geological site riset) center
c. Super volcano theatre
d. Audio visual volcanic
park
e. Geo science center
f. Water front dan board
walk
g. Eco lodge
h. Fasilitas MICE
(seminars dan meeting)
i. Restaurant, Cafe & shop
complex
j. Visitor center dan

249
service area
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
k. Adventure and sporting
activities: trekking,
biking, hiking
Sipiso-piso a. Daya tarik wisata air terjun Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Water front dan board
b. Daya tarik wisata panorama potensi ekologi hutan dan pegunungan walk
danau dan bentang alam b. Lake toba stop for
cruising port
c. Funicular
d. Eco lodge
e. Fasilitas MICE
(Seminars dan meeting)
f. Retirement Village dan
Second Home Villas
g. Restaurant, Cafe dan
Shop Complex
h. Children Adventure Park
i. Spa dan Rejuvenation
Center
j. Visitor Center dan
Service Area
k. Golf Course dan Club
House
l. Paragliding
m. Agro Tourism dan
Ranch
n. Adventure & Sporting
activities: trekking,
biking, hiking

250
o. Helipad
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
Simalem a. Resort Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Fasilitas MICE
b. Potensi panorama danau potensi ekologi pegunungan dan b. Hotel and residental
Toba perkebunan (agro wisata) c. Agro wisata
c. Potensi kegiatan agro/parm d. Community center
Parapat dan a. Sentra akomodasi dan Pengembangan daya tarik wisata khusus a. Fasilitas MICE
sekitarnya perhotelan (MICE,Lake Resort) serta gerbang cruise (seminars & meeting)
b. Daya tarik wisata pantai Danau Toba b. Hotel resort/eco lodge
danau c. Lifestyle mall
c. Potensi tambak ikan d. Pelabuhan wisata/lake
Toba Cruise port
e. Water Front & Board
Walk
f. Floating Restaurant/Tes
House
g. Pusat Kuliner
h. Pusat kerajinan dan
oleh-oleh
i. Children adventure park
j. Community center
Balige a. Daya tarik wisata budaya Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Batak Culture Centre
Batak potensi ekologi dan budaya b. Batak Art & Craft Gallery
b. Potensi pelabuhan wisata etnik/pedesaan Batak c. Batak Museum
c. Daya tarik wisata panorama d. Community Center
alam
d. Hotel dan resort
Tigaras a. Pelabuhan wisata Pengembangan pelabuhan wisata dan a. Pengembangan
b. Potensi tambak ikan daya tarik wisata berbasis ekologi budaya pelabuhan wisata tigaras
pedesaan dan perairan danau b. Pengembangan transit

251
point simarjarunjung
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
c. Water front & board walk
d. Community center
(pusat informasi, plaza
pertunjukan seni)
e. Pusat kuliner/restaurant
& cafe/restaurant
ikan/makanan lokal
f. Pusat
cinderamata/bengkel
seni
Zona 4
Brastagi a. Sentra akomodasi dan Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Pengembangan
perhotelan potensi agro (agro tourism park, eco agrotourism park
b. Daya tarik wisata agro residential/hotel resort, villa lodge, b. Pengembangan eco
pertanian buah dan sayur outbound activities) residential (hotel
c. Daya tarik wisata resort/villa lodge)
hutan/pegunungan Sibayak c. Pengembangan
outbound activities
d. Agro restaurant, cafe &
shop/market complex
e. Agro transit/rest area &
trekking route
f. Amenity core
g. Community center
Sidikalang a. Perkebunan kopi Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Pengembangan agro
b. Daya tarik wisata agro kopi potensi agro kopi sidikalang (Sidikalang wisata kopi Sidikalang,
Coffee Plantation) Sidikalang Coffee Park
b. Pengembangan taman

252
rekreasi/ Taman Wisata
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
Iman
Pematang Siantar a. Ibu kota kabupaten Pengembangan area sebagai transit point a. Pengembangan agro
b. Transit area dan daya tarik wisata berbasis potensi wisata sawit
c. Pusat oleh-oleh agro sawit b. Pengembangan hotel
penginapan
c. Pengembangan
souvenir shop dan
transit point
Tebing Tinggi a. Ibu kota kabupaten Pengembangan area sebagai transit point a. Pengembangan transit
b. Transit area dan daya tarik wisata (berbasis potensi hotel
agro) b. Pengembangan
penginapan, souvenir
shop
c. Fasilitas rest area
d. Hotel, penginapan,
homestay
e. Pusat kuliner
f. Pusat cinderamata/oleh-
oleh
g. Agrowisata
Medan a. Pusat bisnis/perdagangan Pengembangan gerbang wisata dan daya a. Pusat layanan dan
b. Daya tarik wisata sejarah tarik wisata budaya perkotaan promosi terpadu
dan perkotaan (heritage pariwisata/visitor center
and urban tourism) shop front
c. Pintu gerbang regional b. Hotel, penginapan
(Bandara Internasional)
Asahan a. Fasilitas akomodasi Pengembangan daya tarik wisata alam a. Pengembangan wisata
b. Daya tarik wisata sungai berbasis sungai/arung jeram arung jeram asahan

253
(petualangan arung jeram) b. Pengembangan transit
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
point Tanjung Balai –
Danau Toba
c. Toko cinderamata
d. Fasilitas akomodasi dan
rumah makan
e. Fasilitas informasi dan
pelayanan pariwisata,
fasilitas pelayanan
keimigrasian, pusat
informasi pariwisata
(tourism information
center), dan e-tourism
kios.
Baktiraja, a. Fasilitas akomodasi Pengembangan daya tarik wisata berbasis a. Culture center
Humbang b. Daya tarik wisata sejarah sejarah budaya dan panorama alam serta b. Museum
Hasundutan budaya agro wisata c. Fasilitas wisata situs-
c. Daya tarik wisata panorama situs sisingamangaraja
alam d. Pusat kuliner crispy
d. Daya tarik wisata agro porapora dan daging
kuda, kopi lintong, kopi
luak
e. Fasilitas wisata air terjun
f. Fasilitas view point
Tanjung Balai a. Pelabuhan Pengembangan gerbang wisata a. Pengembangan Tanjung
internasional/pintu gerbang pendukung dan daya tarik wisata berbasis Balai sebagai kota
laut budaya Kota Medan pelabuhan (port city),
b. Daya tarik wisata sejarah gate utama kawasan,
dan perkotaan (heritage imigrasi.

254
and urban tourism) b. City & business
Sub Kawasan Potensi Daya Tarik Wisata Konsep Pengembangan Komponen Pengembangan
Pengembangan dan Fungsi Eksisting
lodge/Inn
c. Commercial facilitiies &
sho complex
d. Pusat kuliner
e. Pusat cinderamata
f. Sightseering tower
g. Pusat informasi
wisata/shop front
h. Fasilitas transfer
intermode
Silangit a. Pintu gerbang kawasan/ Pengembangan Silangit sebagai gerbang a. Pengembangan Silangit
Bandara Silangit wisata pendukung dan daya tarik wisata sebagai kota
b. Daya tarik wisata sejarah berbasis potensi budaya religi penghubung
dan perkotaan (heritage penerbangan (airport
and urban tourism) transit city) bandara
internasional hub. Asia.
b. Pengembangan Gate
KSPN Toba pintu
Selatan
c. Revitalisasi Bandara
Silangit
d. Pusat informasi
wisata/shop front
e. City kuliner
f. Pusat cinderamata
g. Fasilitas transfer
intermoda
Sumber: Masterplan Pengelolaan Terpadu Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, 2012

255
256

Terkait dengan perencanaan pengembangan potensi destinasi wisata

dapat dilihat bagaimana dimensi pariwisata sudah terlaksana dengan baik atau

tidak yaitu 4A (attraction, amenities, aksesbilitas dan ancillary). Berdasarkan hasil

yang diperoleh di lapangan tidak semua objek wisata sudah melaksanakan 4 A

dengan baik seperti akses menuju objek wisata (transportasi) belum ada, fasilitas

yang tidak memadai, daya tarik yang bersifat monoton dan belum terkelola

dengan baik.

Salah satu destinasi wisata yang belum memenuhi syarat dimensi

pariwisata tersebut, yaitu akses menuju Bukit Holbung. Wisatawan tidak dapat

mengunjungi lokasi Bukit Holbung karena transportasi yang tidak memadai,

akses jalan kalau hujan sering terjadi longsor. Ada 2 alternatif yang dapat sampai

ke objek wisata ini yaitu dari daerah Harian Kabupaten Samosir dengan jalan

yang terjal dan bebatuan selanjutnya dari Pangururan Kabupaten Samosir

namun harus menyeberang memakai jasa tongkang ke dermaga sihotang, itupun

jalannya masih belum beraspal.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola objek wisata Bukit

Holbung, yaitu Bapak Ramot Sihotang, pada tanggal 06 Februari 2019 beliau

mengemukakan bahwa:

“Bukit Holbung ini merupakan objek wisata yang baru dibuka oleh
pemerintah dan masyarakat sebagai pengelolanya. Kami membuka objek
wisata ini dengan anggaran dana desa, pertama kali dengan dana Rp.
10.000.000,- kemudian kami membuat tangga untuk sampai ke puncak
bukit. Objek wisata ini sebagai wisata selfie yang kemudian direncanakan
untuk wisata paralayang dan adventure trip namun masih wacana karena
terkait dana. Masalah akses memang belum memadai tapi sudah kami
usulkan ke pemerintah daerah untuk perbaikan infrastruktur. Tapi kalau
hujan, objek ini tidak dapat dinikmati karena kabut dan licinnya tangga
menuju ke puncak”.
257

Pernyataan Bapak Ramot Sihotang tersebut, diperkuat dengan gambar di bawah

ini. Gambar ini menunjukkan akses jalan menuju objek wisata Bukit Holbung

yang belum memadai apalagi kalau turun hujan yang dapat mengakibatkan jalan

licin dan terjadi longsor.

Gambar 5.11: Akses menuju objek wisata Bukit Holbung


(Sumber: Hasil dokumentasi penelitian, Februari 2019)

Tidak hanya menuju objek wisata Bukit Hobung Kabupaten Samosir saja

yang akses dan fasilitas lainnya belum memadai untuk pengembangan objek

wisata. Di Objek wisata Air Terjun Situmurun Kabupaten Simalungun juga

mengalami hal yang sama, kurangnya fasilitas dan akses untuk berkunjung ke

objek ini dikarenakan, infrastruktur yang tidak memadai dan fasilitas untuk

membawa penumpang juga belum maksimal dan memadai, seperti yang

diperlihatkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 5.12: Akses Menuju Objek Wisata Air Terjun Situmurun


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)
258

Hasil dokumentasi penelitian pada gambar 5.12 di atas juga diperkuat salah

seorang masyarakat yang menjari narasumber dalam penelitian ini yaitu Bapak

David Manurung (Tokoh Masyarakat) yang dikenal dengan Opung Joki

Manurung di wisata Air Terjun Situmurun Kabupaten Simalungun, bahwa:

“kami bangga mempunyai objek wisata air terjun situmurun karena


dapat menambah perekonomian bagi masyarakat desa. Hanya saja
jalan yang untuk ke desa kami ini belum memadai, padahal sudah kami
ajukan bu ke dinas PU Tarukim Kabupaten Simalungun sehingga
menjadi hambatan dalam pengembangan potensi objek wisata, namun
sampai sekarang belum terealisasi.. Saat ini kami mengelola objek ini
memakai dana desa yang saat ini ada sebesar Rp 50.000.000,- dengan
dana inilah kami memperbaiki beberapa fasilitas untuk mendukung
objek wisata air terjun situmurun, melalui dana ini kami membeli boat,
alat mandi dan alat pancing (disewakan) dan tempat parkir.”

Kemudian terkait dengan akses jalan menuju destinasi wisata, maka Kepala

Dinas Kabupaten Samosir Bapak Ombang Simboro pada tanggal 05 Oktober

2018, mengemukakan bahwa:

“Kabupaten Samosir sedang mencanangkan desa-desa yang


mempunyai potensi objek wisata sesuai dengan hasil Surat Keputusan
Bupati Samosir Nomor 474 tahun 2017 akan dikembangkan sesuai
kelompoknya. Bukit holbung adalah termasuk ke dalam kelompok objek
wisata rintisan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan. Makanya,
akses dan fasilitas ke objek wisata ini masih dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Samosir tahun
2016 dan kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan
Bupati Nomor 474 tahun 2017. Mungkin pengembangan potensi
pariwisata Kabupaten Samosir lebih maju ke depan dari pada daerah
kabupaten yang lainnya, karena kami sebagai pemerintah daerah sudah
menyusun program-program yang terkait pengembangan pariwisata
danau toba karna penghasilan terbesar masyarakat dan pendapatan
daerah adalah di sektor pariwisata.”

Pengembangan objek wisata ini memang harus adanya dukungan

pemerintah daerah secara optimal dalam meningkatkan fasilitas-fasilitas

pendukung pariwisata termasuk infrastruktur. Menuju objek wisata air terjun

situmurun, kami harus melalui jalan yang sangat terjal dan licin, juga tidak
259

adanya petunjuk jalan yang memadai menuju objek wisata ini sehingga bagi

pengunjung yang tidak mengenal daerah ini bisa kesasar seperti yang terjadi

pada saat penelitian di lapangan dan akhirnya saya tidak dapat menyebrangi

danau untuk melihat air terjun situmurun. Karena menurut kepercayaan

masyarakat lokal untuk berkunjung dan bermain di air terjun situmurun batasnya

adalah jam 5 sore selebihnya para pengunjung tidak boleh mendekat ke objek

wisata.

Pariwisata kawasan Danau Toba memiliki beraneka ragam objek wisata

yang tidak hanya memperlihatkan keindahan alam atau air danaunya, namun

ada beberapa yang sangat dekat spiritual atau budaya masyarakat lokal.

Sebenarnya melalaui budaya dan sprititual ini juga dapat menjadi daya tarik

tersendiri dalam mengembangkan objek wisata seperti objek wisata yang ada di

Kabupaten Samosir yaitu objek wisata Aek Sipitu Dai yang merupakan objek

yang menyimpan nilai-nilai spritual masyarakat lokal, juga terdapat di Kabupaten

Humbang Hasundutan yaitu objek wisata Situs Istana Sisingamangaraja, objek

wisata taman iman di Kabupaten Dairi juga terdapat di kabupaten yang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa wisatawan, bahwa

mereka mengenal Danau Toba yaitu Samosir dan Parapat tapi tidak dengan

daerah lain. Seperti yang dikemukakan salah seorang wisatawan mancanegara

yang berasal dari Ipoh, Malaysia yaitu Ibu Shamsuri pada tanggal 06 Februari

2019 bahwa:

“Saye berkunjung ke Medan melalui Bandara Kualanamu dengan


memakai jasa tours and travel agency. Saye dijemput dari Bandara
Kuala Namu kemudian langsung ke Parapat, saye berkongsi beberapa
teman dari Politeknik Ungku Omar mengadakan kegiatan travelling
selepas bekerja dan kami memilih Danau Toba tempat wisatanya. Saye
sudah 3x berwisata ke Danau Toba, tapi tahun ni kami bergerak dari
Parapat – Samosir – Berastagi. Indahnya Danau Toba menjadi
ketertarikan tersendiri bagi saye namun, sangat disayangkan
260

pengelolaan yang belum optimal untuk mengembangkan pariwisata di


sini. Mungkin harus lebih keras untuk mempromosikan ke kalangan
umum karene kami sebagai negare tetangge hanye tau saje Danau
Toba ya Samosir dan Parapat, ternyate banyak juge tempat wisate yang
dapat dikunjungi.”

Maka, berdasarkan hasil wawancara yang telah dikemukakan di atas

dapat disimpulkan bahwa pengembangan potensi objek wisata belum maksimal

dilaksanakan, hanya beberapa daerah yang menjadikan pariwisata sebagai

penghasil utama dalam meningkatkan pendapatan daerah terutama Kabupaten

Samosir. Untuk itu penting dilakukan roadshow dari pemerintah pusat dan

provinsi dalam melakukan penyusunan perencanaan pengembangan potensi

objek wisata, walaupun saat ini sudah adanya Badan Otorita PariwisataDanau

Toba (BOPDT) sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat melalui

Kementerian Pariwisata.

Pengembangan potensi objek wisata ini di setiap daerah masih memiliki

kekurangan tentang bagaimana wisatawan mancanegara maupun wisatawan

lokal mendapatkan informasi tentang objek wisata yang akan direncanakan jadi

kunjungan mereka. Setidaknya, harus ada tourist information center setiap

tempat objek wisata di daerah kawasan danau toba sehingga memudahkan

wisatawan atau pengunjung selanjutnya mereka akan berkunjung kemana.

Karena pusat informasi menjadi salah satu fasilitas terpenting untuk

mempromosikan keberadaan objek wisata. Dan pusat informasi turis ini juga

menjadi pelayanan tambahan yang harus didapatkan oleh wisatawan selain jasa

pemandu sehingga objek wisata dapat dikembangkan sesuai dengan dimensi

pariwista yaitu 4A.


261

5.1.2 Perencanaan Potensi Ekonomi meliputi penciptaan peluang kerja

dan peningkatan mutu hidup masyarakat lokal

Sasaran strategis pada rancangan awal RPJMN 2020-2024, terdapat nilai

tambah dari pariwisata dalam pencapaian devisa pariwisata (miliar USD) yaitu

tahun 2018 (19,2) sehingga pencapaian di tahun 2024 diharapkan dapat

mencapai 28 Miliar. Juga terdapat beberapa sasaran yang harus dicapai yaitu

jumlah wisatawan mancanegara (juta kunjungan), jumlah wisatawan nusantara

(juta perjalanan) dan jumlah tenaga kerja (juta orang).

400
400
350
303
300
250
200
150
26
100
15 Column1
50 15.8
0 12.8 2024

Wisatawan 2018
Mancanegara Wisatawan
Nusantara Tenaga Kerja

Diagram 5.1 Jumlah Wisatawan dan Tenaga Kerja

Sektor pariwisata mempunyai peran penting dalam perekonomian dengan

menunjukkan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal di kawasan

Danau Toba. Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba diharapkan dapat

menggali potensi ekonomi yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat

sekaligus pendapatan daerah di 8 Kabupaten yang ada di kawasan Danau Toba.

Pada tahun 2017, total PAD 8 kabupaten di sekitar Danau Toba mencapai Rp.

942,4 Milyar, angka ini naik sebesar 71,4% dari tahun 2016 yang memiliki angka
262

Rp 549,9 Milyar. Kabupaten yang merasakan sangat signifikan terhadap

peningkatan PAD adalah Kabupaten Humbang Hasundutan sebesar Rp 85,6

Milyar dan Kabupaten Toba Samosir sebesar 54,8 Milyar.

Peningkatan PAD melalui sektor pariwisata ini menunjukkan bahwa

potensi ekonomi di kawasan Danau Toba sangatlah besar. Sesuai dengan yang

dijelaskan dalam paragraf 2 pasal 9 di Peraturan Daerah Provinsi Sumatera

Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Propinsi Sumatera Utara tahun 2003 – 2018 bahwa kebijakan pengembangan

tata ruang Propinsi Sumatera Utara ditetapkan sebagai berikut: memperkuat

basis perekonomian rakyat. Maka melalui sektor pariwisata dengan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dapat meningkatkan

perekonomian dan kesejahtera masyarakat lokal. Seperti yang dikemukakan oleh

pakar ekonomi pembangunan di kegiatan FGD tanggal 12 Desember 2018 yaitu

Ibu Prawidya (Dosen UMSU), bahwa:

“Sejak dulu Danau Toba ini mempunyai potensi untuk dikembangkan


menjadi pariwisata yang mampu bersaing di nasional maupun
internasional. Namun, apabila dilihat dari kajian ekonominya maka yang
dilihat adalah pdrb yang berkaitan dengan pertumbuhan baru dilihat dari
segi sektoralnya. Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ini
tidak hanya melihat keindahan dan air danaunya saja tapi juga bisa dilihat
dari segi sektoral lainnya seperti sektoral pertanian juga bisa
mendatangkan potensi ekonomi bagi pariwisata kemudian dilihat peluang
dan kontribusinya, karena pertanian itu tidak hanya menghasilkan
produksi tapi ada edutainmentnya juga yang bisa menjadi objek wisata
(agrowisata, dan lainnya)”.

Potensi ekonomi dari sektor pariwisata di Kawasan Danau Toba ini juga

dapat dilakukan dengan pengembangan produksi-produksi lokal melalui

pendirian Lembaga Usaha Makro Kecil dan Menengah (UMKM). Kegiatan UMKM

menjadi salah satu yang dapat berkembang di dalam perekonomian nasional,


263

dan juga menjadi wadah yang baik bagi penciptaan lapangan pekerjaan yang

produktif karena UMKM tidak membutuhkan persyaratan tertentu seperti ijazah,

pengalaman kerja dan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang

utusan Bappeda yaitu Bapak Roni pada kegiatan FGD di tanggal 12 Desember

2018, bahwa:

“.....pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ini juga bisa


mengembangkan hasil-hasil produksi lokal yang dikelola oleh masyarakat
yang akhirnya bisa menjadi potensi ekonomi di sektor pariwisata. Namun,
dibutuhkan lembaga khusus untuk dapat mendukung hasil-hasil lokal dari
daerah kawasan Danau Toba seperti produksi kacang rondam dari
Kabupaten Samosir, ulos, budi daya tumbuhan dan lain sebagainya
sehingga memotivasi masyarakat lokal mengembangkan potensi yang
ada ini, maka solusi yang dapat dilaksanakan adalah membentuk UMKM
di kawasan Danau Toba sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri
masyarakat dalam memproduksi hasil yang lebih bagus dan berkualitas”.

Selanjutnya berkaitan dengan potensi ekonomi ini juga dapat menciptakan

lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, seperti yang dikemukakan oleh

Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Tapanuli Utara, Bapak Benny

Simanjuntak pada tanggal 13 November 2018, bahwa:

“Pengembangan pariwisata di Kabupaten Tapanuli Utara sudah


merasakan adanya peningkatan ekonomi masyarakat dengan dibukanya
bandara internasional Silangit, maka memotivasi masyarakat untuk
membuka usaha seperti rumah makan, cafe, hotel dan lainnya. Sehingga
dengan adanya pembukaan usaha-usaha ini memberikan kesempatan
yang besar bagi masyarakat yang belum bekerja untuk mendapatkan
pekerjaan sehingga melalui potensi pariwisata ini juga akhirnya
meminimalisirkan angka pengangguran di Kabupaten Tapanuli Utara”

Pendapat ini juga sesuai dengan yang diutarakan dalam RIPPARDA Kabupaten

Tapanuli Utara Tahun 2017, yaitu

1. Mendayagunakan pariwisata sebagai salah satu potensi ekonomi daerah.

2. Mengembangkan pariwisata melalui penataan objek wisata baik wisata

alam buatan maupun wisata budaya dengan memperhatikan pelestarian

lingkungan hidup.
264

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan rasa cinta alam dan

lingkungan hidup yang lebih kuat agar tersirat nilai karakter daerah

agamais, historis dan patriotis.

4. Memanfaatkan kawasan pariwisata terpadu dalam meningkatkan

pendapatan masyarakat sekitarnya dan

5. Meningkatkan publikasi dan pelayanan kepariwisataan baik kepada

wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara dengan tetap

memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, historis dan patriotis.

Sektor pariwisata juga memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan

sektor yang lain sehingga dapat memberikan dampak positif termasuk dalam hal

penyerapan tenaga kerja. Sektor ini juga menjadi berpotensi menjadi sumber

pertumbuhan baru, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Badan Pelaksana

Otorita Danau Toba (BOPDT) Bapak Arie Prasetyo pada tanggal 19 November

2018, bahwa:

“Saat ini untuk mendukung potensi ekonomi yang dimiliki pariwisata


kawasan Danau Toba, maka dicanangkan program kerjasama dengan
berbagai pihak yang dapat mendukung pengembangan destinasi
kawasan pariwisata Toba ke depan, seperti kerjasama dengan pihak
Bank Indonesia dan adanya program CSR. Salah satu program yang
dijalankan bersama perwakilan Bank Indonesia di Sibolga adalah
pengembangan ekonomi dalam hal komoditas pertaniaan yaitu budi daya
bawang merah yang bertujuan untuk menjadi desa wisata penghasil
bawang merah di Danau Toba atau dengan beberapa produksi tanaman
yang lain seperti beras dan kopi.”

Terdapat beberapa produk unggulan yang dapat menjadi potensi ekonomi

dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, yaitu:


265

Tabel 5.3: Produk Unggulan di Kawasan Danau Toba


No Sektor Komoditi Sebaran Lokasi
1 Tanaman Pangan Padi, Jagung, Ubi Kabupaten Dairi,
dan Holtikultura Jalar, Kentang, Kabupaten Simalungu
Andaliman, Jeruk (Kec. Haranggaol, Horison
dan Sekitarnya),
Kabupaten Samosir (Kec.
Pangururan, Kec. Palipi),
Kabupaten Toba Samosir
(Kec. Porsea, Kec.
Sigumpar, dan sekitarnya),
Kabupaten Humbas (Kec.
Dolok Sanggul)
2 Perkebunan Kopi, Kemenyan, Kabupaten Samosir,
Kulit Manis, Kabupaten Pakpak Barat,
Cengkeh, Kemiri Kabupaten Humbas,
Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Karo.
Karet, Kakao, Kabupaten Humbas,
Kelapa Sawit, Teh Kabupaten Simalungun
3 Perikanan Perikanan Perairan Danau Toba
Budidaya (Nila, dengan pengendalian yang
Emas, Mujahir) kuat untuk meghindari over
kapasitas daya dukung
4 Peternakan Ayam, Kerbau, Kabupaten Simalungun
Sapi dan Babi (Kec. Dolok Pardamean)
dan merata sesuai dengan
kesesuaian lahan.
Sumber: bpiw.pu.go.id

Data tabel 5.3 di atas juga dikuatkan dengan hasil wawancara dengan Bapak

Sekretari Dinas Pariwisata Kabupaten Humbang Hasundutan, pada tanggal 06

Februari 2019, bahwa:

“Kawasan Danau Toba memiliki potensi yang besar dari sektor produksi
pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dan beberapa daerah
seperti Kabupaten Humbang Hasundutan telah membuat desa wisata
pertanian karena melalui sektor produksi ini dapat mendukung potensi
ekonomi. Hanya saja saat ini masyarakat lokal kawasan Danau Toba
harus lebih banyak diberikan pelatihan dan penyuluhan tentang
pengelolaan sektor produksi berbasis wisata dan juga kami sebagai
pemerintah sedang merancang untuk masalah pembiayaan bagi
masyarakat dan juga membuka peluang dan kesempatan masyarakat
melalui UMKM.”
266

Sektor produksi juga tidak hanya dari pertanian, perkebunan, perikanan

dan peternakan namun juga dapat mengembangkan hasil kerajinan tangan yang

dibuat oleh masyarakat lokal, seperti pahatan patung, soevenir, selendang ulos

tenun dan sebagainya. Seperti hasil wawancara dengan masyarakat lokal dan

juga sebagai pelaku usaha di Tuktuk Siandong Kabupaten Samosir yaitu Bapak

Rony Simbolon, pada tanggal 07 Februari 2019 bahwa:

“Hasil ekonomi khususnya masyarakat lokal di tuktuk ini adalah wisata.


Kami memproduksi hasil kerajinan tangan seperti soevenir, tenunulos dan
pahatan patung. Apalagi memang hasil utama kami di sini adalah dari
sektor pariwisata jadi kami harus bisa memanfaatkan dan
mengoptimalkan hasil produksi ini menjadi ekonomi kami. Makanya,
dalam penentuan harga produksi juga kami ditentukan oleh pihak
pemerintah sehingga tidak terjadi permainan harga dan kami juga sesama
pelaku usaha saling bekerjasama untuk meningkatkan kualitas produksi
agar dapat bersaing dengan produksi luar.”
Produk-produk di kawasan Danau Toba yang sering dicari wisatawan

adalah kerajinan tangan dan tenun ulos. Kain tenun ulos dapat dijadikan

selendang, dan baju, namun ulos di masing-masing daerah di kawasan Danau

Toba berbeda-beda warnanya karena menunjukkan budaya masing-masing

daerah dari 7 kabupaten tersebut. Produk-produk hasil kerajinan tangan yang

berasal dari setiap daerah kawasan Danau Toba sangat membutuhkan

dukungan dari pemerintah daerah untuk mengembangkan usaha pariwisata yang

langsung dikelola oleh masyarakat. usaha-usaha pariwisata yang dikelola oleh

masyarakat ini harus diperkuat dengan regulasi, fasilitas dalam mempromosikan

dan memasarkan hasil produk mereka dengan kualitas yang terbaik. Terdapat

beraneka ragam produk yang dihasilkan oleh masyarakat lokal, seperti gambar di

bawah ini:
267

Gambar 5.13: Hasil Kerajinan Tangan Masyarakat Lokal


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Upaya untuk mendukung peningkatan kualitas produk-produk di kawasan

Danau Toba yang menjadi khas usaha pariwisata, maka dalam masterplan

pengelolaan terpadu kawasan Danau Toba dan sekitarnya tahun 2013 terdapat

arah kebijakan, strategi dan indikasi program pengembangan industri pariwisata,

yaitu

Tabel 5.4 Arah Kebijakan, Strategi dan Indikasi Program Pengembangan


Industri Pariwisata

No Arah Kebijakan Strategi Indikasi Program/Kegiatan


1 Peningkatan a. Meningkatkan - Peningkatan sertifikasi
kualitas dan daya saing usaha seluruh usaha pariwisata
keragaman pariwisata - Peningkatan standarisasi
produk-produk seluruh usaha pariwisata
usaha pariwisata dari level nasional ke
internasional
- Peningkatan kemampuan
managerial dalam
pengelolaan usaha
pariwisata berdaya saing
internasional
- Peningkatan kualitas hotel
di seluruh kawasan
- Peningkatan standard dan
kualitas hotel sebagai
sarana MICE bertaraf
internasional
- Pengembangan sistem
268

No Arah Kebijakan Strategi Indikasi Program/Kegiatan


informasi booking service
bebas biaya untuk semua
produk/jasa pariwisata
yang dijual (bekerjasama
dengan telkomsel)
b. Menciptakan - Penyediaan sistem
iklim usaha yang penjaminan transaksi
kondusif pembayaran lintas
negara (dengan letter of
credit dan bank
guarantee untuk
transaksi bisnis
pariwisata)
- Peningkatan
perlindungan usaha bagi
industri spa lokal
- Pengembangan sistem
pendaftaran usaha
pariwisata satu atap
- Pengembangan sistem
pendaftaran integratif
untuk jenis usaha
pariwisata yang meliputi
multi – aktivitas dan multi
– produk (contoh:
perhotelan)
2 Peningkatan a. Meningkatkan - Pengembangan insentif
fasilitasi, regulasi, sistem dan perizinan untuk
dan insentif untuk skema fasilitasi melindungi industri
pengembangan untuk usaha pariwisata lokal
usaha pariwisata pariwisata - Fasilitasi komunikasi
antara pemerintah,
usaha pariwisata dan
masyarakat dengan
menyelenggarakan
forum koordinasi dan
komunikasi secara
reguler
- Pemberian insentif
kepada industri
pariwisata yang
menggunakan produk
lokal dan produk UMKM
- Pengembangan sistem
delivery yang tepat
antara industri
kecil/pemasok dengan
industri pariwisata
- Pembinaan sistem anak
269

No Arah Kebijakan Strategi Indikasi Program/Kegiatan


angkat – bapak angkat
antara industri besar
dengan industri
kecil/masyarakat sekitar
- Pemberian
fasilitas/ruang display
bagi para pengusaha
kecil di bidang pariwisata
untuk memamerkan
produknya dan
cenderamata khas
daerah di hotel
b. Meningkatkan - Penjajakan dengan
sistem dan industri asuransi dan
skema regulasi perbankan untuk
untuk usaha penerbitan sistim
pariwisata asuransi pariwisata
- Peninjauan ulang
prosedur dan
persyaratan pemberian
izin pada perusahaan
asing agar tidak
merugikan usaha
pariwisata
c. Meningkatkan - Pengembangan pusat
penggunaan informasi digital di setiap
teknologi kawasan wisata berkelas
informasi dalam nasional dan
usaha-usaha di internasional
kawasan - Pengembangan jaringan
pariwisata kerjasama secara online
antar kawasan
pariwisata
- Pengembangan sistem
informasi manajemen
(SIM) di kawasan
pariwisata di Danau
Toba
3 Penguatan a. Memfasilitasi Memfasilitasi terbentuknya
struktur usaha pembentukan gabungan industri
pariwisata organisasi pariwisata Danau Toba
industri sebagai wadah dan
pariwisata koordinator kerjasama yang
sinergis antar usaha
pariwisata
b. Memperkuat - Intensifikasi dan efisiensi
mata rantai badan-badan promosi
penciptaan nilai yang telah ada untuk
kembali digunakan
270

No Arah Kebijakan Strategi Indikasi Program/Kegiatan


sebagai wahana promosi
bersama dengan sumber
dana yang ditanggung
bersama
- Pengembangan
dukungan promosi di
kawasan strategis
- Pengembangan
dukungan promosi di
kawasan tertinggal
- Peningkatan program
pengembangan kawasan
dalam menyalurkan dana
CSR dari usaha-usaha
pariwisata
- Pengembangan skema
kerjasama antarusaha
pariwisata dalam
menciptakan paket dan
menjual produk wisata
4 Penguatan a. Mengembangkan - Peningkatan penyerapan
kemitraan usaha pola-pola local content dalam
pariwisata kerjasama industri usaha akomodasi/hotel
lintas sektor yaitu harus
menggunakan sekurang-
kurangnya 30% bahan
lokal
- Penggunaan sumber
daya lokal (SDM dan
sumber daya lainnya)
dalam penyelenggaraan
usaha pariwisata, (misal:
hotel harus
menggunakan sekurang-
kurangnya 30% bahan
lokal)
- Penerapan penggunaan
minimal 30% bahan lokal
dalam seluruh rantai
industri pariwisata
- Penerapan penggunaan
minimal 30% SDM lokal
dalam penyelenggaraan
usaha pariwisata
b. Mengembangkan - Pembuatan pilot project
pola-pola pemulihan pasca
kerjasama untuk bencana berdasarkan
keadaan darurat tema-tema kawasan
- Pengembangan pola-
271

No Arah Kebijakan Strategi Indikasi Program/Kegiatan


pola pendampingan
dalam pemulihan
kepariwisataan pasca
krisis
- Pengembangan pola-
pola rintisan dengan
maskapai penerbangan
dan PT. Angkasa Pura
- Pengembangan pola-
pola kerjasama dengan
fasilitas akomodasi di
daerah bencana
- Penerapan early warning
system di kawasan
rawan bencana
c. Mengembangkan Penguatan dan
UMKM dalam penyejahteraan dengan
mendukung UMKM
usaha
kepariwisataan

Sumber: Masterplan pengelolaan terpadu kawasan Danau Toba dan sekitarnya


tahun 2013

Kawasan Danau Toba merupakan potensi kekuatan objek pariwisata

daerah di Provinsi Sumatera Utara, karena pariwisata sebagai lokomotif

pembangunan ekonomi, meningkatkan pendapatan asli daerah dalam rangka

mendukung peningkatan kemampuan dan kemandirian perekonomian daerah.

Kawasan Danau Toba ini memiliki beraneka ragam objek wisata yang menjadi

pariwisata unggulan di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Utara.

Adapun data yang diperoleh dari BPS Provinsi Sumatera Utara, jumlah

wisatawan tahun 2016 sebanyak 233.643 kunjungan sedangkan tahun 2017

sebanyak 261.736 kunjungan. Peningkatan kunjungan wisatawan ini juga

berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) sektor pariwisata di seluruh

daerah kawasan Danau Toba.


272

Tabel 5.5 Jumlah PAD 7 Kabupaten Kawasan Danau Toba


Kabupaten 2016 (Rp) 2017 (Rp) Growth
Samosir 39.222.725.907 70.960.995.137 81 %
Simalungun 132.574.182.020 252.663.015.526 90 %
Tapanuli Utara 118.888.000 184.045.000 54 %
Toba Samosir 37.298.970.000 44.300.000.000 35 %
Karo 1.599.037.000 1.986.128.000 24 %
Dairi 66.344.330.338 123.494.508.015 51 %
Humbang Hasudutan 41.679.310.663 60.716.876.667 25 %
Sumber: Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba Tahun 2018

Tabel 5.4 di atas menjelaskan bahwa kontribusi yang diberikan oleh

sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah di masing-masing daerah

kawasan Danau Toba. Pendapatan asli daerah yang diperoleh oleh daerah yang

berada di kawasan Danau Toba tersebut, sangat dipengaruhi oleh sektor

pariwisata, seperti yang terlihat pada tabel 5.4 Kabupaten Samosir mengalami

peningkatan 81% PAD, dihasilkan dari sektor pariwisata yang paling terbesar,

meliputi dari pajak hotel, restoran, hiburan dan reklame yaitu terjadi peningkatan

sekitar 105% dari tahun 2016 sebesar 6,94 M dan tahun 2017 14,2 M.

Kabupaten Tapanuli Utara yang mengalami peningkatan sekitar 9% yang berasal

dari pajak hotel dan retribusi daerah (jasa), yaitu pada tahun 2016 sebesar

2,94% dan tahun 2017 sebesar 3,21%.

Peningkatan PAD ini juga dirasakan oleh masyarakat lokal sekitar objek

wisata kawasan Danau Toba. Seperti hasil wawancara dengan Bapak David

Manurung (Tokoh Masyarakat) pada tanggal 05 Februari 2019 di objek wisata air

terjun situmurun Desa Lumban Julu, bahwa:

“Dengan adanya air terjun situmurun ini telah memberikan kami


penghasilan, dan kami sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa telah memberikan rejeki dengan banyaknya pengunjung ke air
terjun situmurun walaupun fasilitas yang ada belum memadai sehingga
pengunjung juga gak bisa berlama-lama di objek wisata. Pengunjung
bisa menikmati sepeda boat, memancing dan berenang di sekitar
objek wisata air terjun situmurun sambil menikmati keindahan alam
273

dan air terjunnya. Saat ini desa kami telah menjadi desa wisata untuk
mengembangkan objek wisata air tejun situmurun, yang banyak
membawa rejeki buat kami dan desa kami. Hanya saja, jalan desa
kami belum dapat diperbaiki jadi, masih menjadi hambatan untuk ke
desa dan objek wisata.”

Selanjutnya, hasil wawancara dengan salah seorang pelaku usaha di objek

wisata Pasir Putih Bul-Bul Balige Kabupaten Toba Samosir pada tanggal 05

Februari 2019, yaitu Bapak Dedi Coky Simangunsong, bahwa:

“sebagai pelaku usaha saya sangat memahami bahwa saat ini


ekonomi sulit, karna di sini hanya bisa mendapatkan banyak rejekinya
kalau hari libur saja jadi kalau hari biasa, terkadang minus dengan
pengunjung. Objek wisata ini mempunyai potensi ekonomi yang dapat
dilihat dari perubahan sekarang, kami di sini secara bersama menjaga
pengelolaannya, masing-masing wahana mempunyai orang yang
berbeda dalam pengelolaannya seperti saya hanya mengelola speed
boat dan kenderaan ini untuk outboand. Yah....kalau dilihat dari
penghasilan lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor

pariwisata sangat mempengaruhi tingkat perekonomian di daerah destinasi

wisata terutama pada penghasilan masyarakat lokal. Maka, sangat penting

adanya pengembangan potensi pariwisata di setiap destinasi wisata yang harus

didukung sarana dan prasarana yang memadai baik fisik maupun non fisik.

Penurunan hasil yang dirasakan oleh masyarakat lokal atau pengelola wisata ini

disebabkan oleh adanya penurunan tingkat kunjungan wisatawan baik

mancanegara maupun wisatawan nusantara pada tahun 2018, seperti yang

dijelaskan tabel berikut ini:

Tabel 5.6 Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Danau Toba


Tahun Wisatawan Nusantara Wisatawan Mancanegara
2015 9,7 Juta 229,288 Juta
2016 10,8 Juta 233,643 Juta
2017 14 Juta 270,292 Juta
2018 12,1 Juta 231,465 Juta
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019
274

Penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Danau Toba

membawa pengaruh yang besar dalam pengembangan potensi ekonomi di

daerah pariwisata Danau Toba. Dengan demikian, prinsip pariwisata yang terdiri

dari attraction, amenities, aksesibilitas dan ancillary yang disingkat menjadi 4A,

merupakan hal terpenting yang harus mendapat perencanaan yang optimal

dalam pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba. Prinsip 4 A ini juga

harus menjadi indikator dalam pengembangan potensi ekonomi pada sektor

pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga dapat menghasilkan penguatan

ekonomi di sektor pariwisata. Penguatan ekonomi pada sektor pariwisata juga

dapat mempengaruhi tingkat nilai kegiatan perekonomian melalui produk

domestik regional bruto (PDRB) di sebuah daerah termasuk pada kawasan

Danau Toba.

Tabel 5.7 PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah) Tahun 2016-
2018 pada Kabupaten di Kawasan Danau Toba

Kabupaten 2016 2017 2018


Tapanuli Utara 17 151 461, 02 17 731 975, 77 18 374 588, 91
Toba Samosir 26 393 269, 60 27 535 657, 44 28 741 532, 99
Simalungun 27 512 314, 33 28 764 975, 24 30 098 896, 98
Dairi 20 271 732, 74 21 175 176, 62 22 131 904, 16
Humbahas 19 348 073, 78 20 136 242, 78 20 936 543, 77
Samosir 21 171 504, 34 22 197 192, 88 23 301 473, 13
Karo 31 505 119, 61 32 603 230, 05 33 548 968, 75
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019

Pengembangan potensi ekonomi di 7 kabupaten Kawasan Danau Toba

harus dikelola dengan serius dan optimal karena apabila pariwisata di kawasan

ini maju, maka ekonominya juga maju dan tidak hanya sektor ekonomi saja

namun sektor yang lain juga akan ikut maju. Sesuai dengan yang dijelaskan

dalam RIPPARDA Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara, bahwa

pembangunan pariwisata ini harus bisa membawa dampak ekonomi yang pada

dasarnya untuk meningkatkan perekonomian daerah tersebut, sehingga


275

diharapkan dengan adanya pembangunan pariwisata di daerah tersebut dapat

meningkatkan pendapatan daerah serta meningkatkan kehidupan perekonomian

masyarakatnya. Penguatan ekonomi pada sektor pariwisata juga harus didukung

kebijakan yang dapat menciptakan strategi untuk penguatan pada industri

pariwisata dalam meningkatkan kualitas produk dan dapat mempromosikan dan

memasarkan hasil produksi masyarakat lokal.

5.1.3 Perencanaan Potensi Sosial Budaya meliputi sikap dan perilaku

masyarakat terhadap nilai budaya dan gaya hidup

Arah kebijakan upaya meningkatkan daya saing di sektor pariwisata yang

dituangkan dalam dokumen Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5

Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provnsi

Sumatera Utara Tahun 2017 – 2025 yaitu dengan memenuhi sttandar

internasional dan mengangkat unsur keunikan dan kekhasan lokal. Selain itu

juga dilakukan penguatan dalam pembangunan sumber daya manusia melalui

penguatan organisasi kepariwisataan.

Penguatan sumber daya manusia ini meliputi dunia usaha pariwisata dan

masyarakat lokal melalui program peningkatan kemampuan dan profesionalisme

pegawai serta masyarakat. sesuai dengan pasal 64 ayat 3 bahwa pembangunan

SDM pariwisata di dunia usaha pariwisata dan masyarakat dilakukan dengan

meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang memiliki sertifikasi kompetensi di

setiap DPP, meningkatkan kemampuan kewirausahaan di bidang kepariwisataan

dan meningkatkan kualitas dan kuantitas Lembaga Pendidikan Kepariwisataan

Daerah yang terakreditasi secara nasional. Upaya ini dilakukan untuk


276

memudahkan pengelompokan aneka ragam budaya yang dimiliki olah daerah

sekitar kawasan Danau Toba.

Kawasan Danau Toba, dilihat dari segi sosial dan budaya banyak

memancarkan pesona dengan keragaman adat istiadat dan tata cara hidup yang

berbeda dari 7 kabupaten yang mengelilingi kawasan ini. Namun, dimanapun

pengunjung berada akan mendapatkan sambutan sesuai dengan budaya yang

dimiliki 7 kabupaten di kawasan Danau Toba. Budaya masyarakat di 7 kabupaten

kawasan danau toba masih ada ritual, budaya kuno (bangunan kuno) cara hidup,

tarian dan musik tradisional yang juga menjadi daya tarik yang berbeda.

Potensi inilah yang harus dikembangkan dan menjadi daya tarik tersendiri

bagi masing-masing 7 kabupaten yang mengelilingi kawasan danau toba.

Dengan adanya potensi ini dapat menjadi keunggulan dan keunikan tersendiri

dalam pengembangan objek wisata di kawasan danau toba. Berdasarkan hasil

wawancara dengan pelaku usaha Ibu Erbina Sidabalan di Aek Sipitu Dai

Kabupaten Samosir pada tanggal 07 Februari 2019, bahwa:

“objek wisata yang dikelola ini menjadi wisata religi dan budaya karna
di sini, pengunjung dapat melihat ritual dan tata cara hidup orang toba
seperti ritual yang dilakukan oleh masyarakat kalau salah seorang
anaknya sakit dapat meminum air di aek sipitu dai ini sebagai obat,
atau ritual yang mau naik pangkat dan lainnya. Aek Sipitu Dai ini
adalah air suci yang diyakini dapat membawa perubahan hidup bagi
orang yang meminumnya.”

Kemudian, berdasarkan hasil diskusi di kegiatan FGD yang dilaksanakan pada

tanggal 12 Desember 2018, salah seorang peserta yaitu Ibu Corry Panjaitan

(Tokoh Masyarakat/Budaya dan Seni), mengatakan bahwa:

“Bicara budaya di kawasan Danau Toba banyak yang sudah hilang


dan tergores karena dianggap sudah bertentangan dengan alkitab.
Jadi hampir banyak ritual budaya yang sudah ditinggalkan karena
apabila ada satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak
sesuai dengan aturan gereja maka mereka akan dikeluarkan dari
gereja. Nah, jadi kalau kita bandingkan dengan potensi budaya di Bali
277

memang agak berbeda, Bali itu agamanya dan kepercayaannya


adalah adatnya tetapi kalau di Toba itu Batak itu beda, agamanya
kristen adatnya berbeda. Sekarang adat yang dijalankan itu adalah
adat yang sudah tidak asli karena sudah dipenggal-penggal. Namun,
setelah saya mengenal komunitas parmalin dan setelah saya
mengikuti ritualnya mereka seperti apa orang Batak itu disitu baru saya
bangga sebagai orang Batak. Jujur saya akui, ternyata orang Batak itu
bersih, rapi dan ternyata orang Batak itu bisa diatur dan ternyata
demokrasinya orang Batak itu sangat baik berjalannya dan mereka itu
figur-figur daripada pemimpinnya itu benar-benar diakui. Selanjutnya,
saya mengikuti ritual yang dilaksanakan oleh komunitas parmalin
seperti ritual sipahada yaitu puasa itu satu hari (puasa
maksipanganupait), baru ada buka puasanya satu hari lagi dan baru
hari ketiga itu ada ritualnya mereka sebagai ucapan syukur itulah
tahun baru Batak. Jadi sebenarnya orang Batak itu punya tahun baru,
yang memang kalendernya mereka seperti orang muslim, karena
kabisat mengikuti itu dan ada perhitungan juga 28 hari 29 hari.”

Senada dengan pernyataan dan penjelasan narasumber di atas, Bapak

Ombang Simboro pada kegiatan FGD yang dilaksanakan pada tanggal 12

Desember 2018 dan beliau adalah Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir,

menjelaskan stigma Batak yang menjadi keunikan dari budaya Batak, yaitu

“Batak itu dipersepsikan mereka yang kasar, saya bilang bukan kasar tapi
bicara keras, terbuka langsung to the point. Lalu ada stigma juga bahwa
batak ini kurang ramah dan tidak mungkin bisa bertamu. Saya katakan,
kami punya high values life style dan itu diajarkan kepada kami. Ada
konten lokal, kearifan lokal yang mungkin boleh nanti tidak terekam dalam
penelitian di sana. Punya kita dalam setiap darah batak mengalir darah
bertamu, martamue namanya. Orang batak disebut itu partataring sore
mertua. Artinya orang batak itu dapurnya apinya menyala terus. Karena
setiap tamu yang datang itu tidak boleh dikasi air yang tidak hangat,
harus air yang hangat. Itu simbol dari hati. itu minuman harus yang
dimasak, direbus, hangat dia. Kalau ada gula ada kopi sukur, tapi paling
tidak kalaupun dia air biasa dia kasi harus yang dimasak. Ada tiga
sebutan, yang kedua orang batak harus punya adalah Paramak
sibolungo. Tikar yang tidak pernah digulung, Setiap orang batak itu
tikarnya harus digelar setiap hari. Karena sewaktu-waktu tamu datang dia
harus duduk di tikar. Tidak pernah tergulung tikarnya karena setiap saat
harus menerima tamu. Kalau orang batak misalnya ada pesta hajat di
suatu tempat itu semua sepanjang kampung-kampung itu pintunya harus
terbuka. Karena hampir pesta ini yang punya rumah ini hanya sedikit saja
orang yang bisa berakomodasi ketempat yang pesta itu, yang lainnya
278

orang kampung itu semua yang tinggal disitu. Siapapun dia, tidak kenal
kalau ada hajatan di situ dia harus menerima tamu. Yang ketiga ialah
persakkalan somahea. Sakkalan itu orang batak dibuat dari kayu besar,
dipotong dibentuk menjadi tempat memotong daging. Sakkalan itu hanya
memotong daging. Daging itu simbol makanan yang terhormat diberikan
kepada tamu, tidak diberi ikan. Jadi simbol-simbol ornag batak kalau hula-
hula datang, keluarga dari pihak ibu, keluarga yang dihormati karena
turunan budaya itu gak ikan, harus daging. Di batak itu namanya
persakkalan somahea. Tempat dia memotong dagingnya itu gak pernah
kering, karena setiap saat kalau datang tamu harus potong daging.
Potong ayam, macam-macam peliharaannya. Kadang Cuma satu
kambingnya, betina. Datang hula-hulanya potong lagi. Yang penting hula-
hula senang, karena begitu hula-hula senang dia akan mendoakan luas
biasa kepada keluarga borunya. Itu prinsip yang luar biasa bagi orang
batak tentang bertamu. Saya ingat waktu kecil, ada satu lemari kami di
rumah, ibu saya almarhum dipakai untuk menyimpan bantal dan selimut
sepanjang tahun, dan tidak boleh kami pakai. Pakai khusus untuk tahun
baru atau paska tradisi pulang para perantau, para famili, itu baru dibuka.
Cuman cara ngasinya bukan seperti orang jawa. Langsung lempar nah
untuk mu. Tapi coba bayangkan dari bulan januari ke bulan desember itu
bantal di pelihara, disimpen dilemari hanya untuk tamu datang nanti suatu
saat. Jadi kalau bilang tidak mungkin orang batak ramahtamah, tidak bisa
bertamu, saya bilang NO. kami dalam setiap tetesan darah orang batak
ada DNA bertamu. Yang ketiga selalu ada stigma batak tadi ibu ini cerita
adalah kotor. Kotor itu seperti tidak ada kebersihan. Kami bilang ini
penyimpangan. Bukan itu habitat orang batak. Habitat orang batak itu ada
namanya the five great wisdom. Itu diturunkan. Kalau bapak mau lihat
nanti, semua hotel-hotel perdede grup itu ada pasti. Peyesroha =
bersihkan hati, peyesbedemu=bersihkan tubuh, peyes pakaian,
peyesjebu=rumah kita dan peyes halaman. Orang batak bilang bahwa
jalan menuju kampung itu pertanda apakah kampung itu bersih apa
enggak, jadi jalan pun harus dirawat. Nah kampung itu, halaman rumah
itu tanda bagaimana bersih di rumah. Kalau halamannya jorok rumah itu
pasti jorok. Kalau dihalamannya itu banyak sampah itu diruang tamunya
mungkin ada celana-celana anak-anak kecil disitu dan sebagainya. Itu
yang saya bilang stigma yang selama ini terus di sering di replikasi,
reproduksi, saya bilang tidak, tidak itu yang batak. Lalu stigma berikut
yang pengen saya klarifikasi juga ada teman-teman tadi saya lihat seperti
mungkin harus masuk lebih dalam tentang batak ini ialah orang batak
senang berbohong. Tidak. Orang batak itu berterus terang, bahkan di
Simalungun mereka punya prinsip kebenaran adalah awal semua
kehidupan. Siapa yang tidak benar hidupnya akan berakhir tidak benar.
Jadi sampai misalnya sampai sekarang kalau kita promosi travel
279

berdialog, berdiskusi banyak orang ke medan, jakarta, terutama di luar


danau toba, selalu diungkit itu........”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

budaya Batak dapat dijadikan daya tarik wisata yang juga sekaligus menjadi

pedoman hidup dalam kondisi sosial masyarakat di kawasan Danau Toba.

Setidaknya, budaya ini sangat berpengaruh pada tatanan hidup masyarakat lokal

dan menjadi sesuatu yang harus diikuti selain ajaran agama. Kawasan Danau

Toba juga masih memiliki sebagian masyarakatnya merupakan penganut agama

kepercayaan yang sejak dulu ada yaitu kepercayaan parmalin. Dimana

kepercayaan ini, konon adalah agama pertama atau aliran yang pertama sekali

datang di kawasan Danau Toba dan menjadi aliran nenek moyang masyarakat

Danau Toba. Salah satu yang dapat menjadi bukti nyata bahwa aliran itu adalah

peninggalan bersejarah yang ada di daerah kawasan Danau Toba seperti aksara

batak toba.

Gambar 5.14: Aksara Batak Toba


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Aksara Batak Toba ini menjadi salah satu budaya yang menjadi khasnya

Danau Toba, sehingga banyak wisatawan yang ingin mengetahui lebih tentang
280

sejarah aksara batak toba ini. Aksara Batak Toba ini menjadi bukti bahwa adanya

sejarah dan cerita tentang lahirnya keturunan Batak di daerah Danau Toba.

Kawasan Danau Toba ini identik dengan budaya Batak, dan kepercayaan

parmalin yang sejak adanya Danau Toba bahwa komunitas parmalin lah yang

terlebih dahulu ada. Salah satu objek wisata yang menjadi sejarah lahirnya

keturunan Batak adalah Pusuk Buhit. Ditempat inilah lahir keturunan Batak dan

menjadi legenda asal muasal si Raja Batak. Pusuk Buhit adalah gunung Toba

yang memiliki ketinggian 1500 meter dari permukaan laut dan 1077 meter dari

permukaan Danau Toba. Legenda ini berawal dari Siboru Deak Parujar yang

turun dari langit karena dipaksa menikah dengan Siraja Odap-odap tetapi namun

akhirnya dipertemukan di bumi dan mereka sepakat menikah untuk menjadi

suami istri. Kemudian mereka melahirkan sepasang manusia pertama dengan

nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, dari mereka akhirnya lahir 3

orang anak yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas.

Dari ketiga anak terssebut hanya Raja Miok-miok yang memiliki keturunan

yaitu Eng Banua, kemudian generasi berikutnya Eng Domia atau Raja Bonang

bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata, Si Aceh dan Si Jau dan hanya

Guru Tantan Debata yang memiliki keturunan yaitu si Raja Batak. Akhirnya inilah

permulaan tarombo dan silsilah generasi Batak yang dikenal dengan aksara atau

lazim disebut pustaka laklak, dan sebelum meninggak si Raja Batak sempat

mewariskan piagam wasiat kepada kedua anaknya yaitu Guru Tatea Bulan dan

Raja Isumbaon.

Guru Tatea Bulan mendapat surat agung yang berisi ilmu pedukunan atau

kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Sedangkan Raja Isumbaon mendapat

Tumbaga Holing yang berisi kerajaan, hukum atau peradilan, persawahan,


281

dagang dan seni mencipta. Kemudian Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak

yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong

Mulana, Si Boru Anting Sabungan (putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut

(putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo. Dan dari keturunan Guru Tatea Bulan

juga terjadi perkawinan antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme dan inilah

yang menurunkan Si Raja lontung yang kita kenal dengan marga Sinaga,

Nainggolan, Aritonang, Situmorang dan seterusnya.

Tidak hanya legenda asal muasal Raja Batak yang menjadi potensi

budaya di Danau Toba, masih banyak beberapa objek wisata yang

menggambarkan sosial budaya juga yang berkenaan dengan religi, antara lain

taman eden, kursi parsidangan, makam raja batak, museum batak, istana dan

makam sisingamangaraja dan lain sebagainya. Objek wisata ini ada yang

terkelola dengan baik dan masih ada yang masih tahap perbaikan seperti fasilitas

dan akses menuju daerah objek wisata.

Pengembangan potensi sosial budaya juga dapat dilihat dari Kapal wisata

yang dirancang dan telah diresmikan oleh Presiden RI Bapak Jokowi di

Kabupaten Samosir sehingga dapat membawa dampak positif dalam

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba. Kapal wisata ini memakai

konsep Adat Batak dan Patung Sigale-gale yang dapat membawa wisatawan

berlayar di Danau Toba yang disebut Kapal Wisata Samosir. Adapun tarif kapal

wisata samosir ini berkisar Rp 2.000.000,- selama 4 jam (paket wisata)/berlayar.

Kapal wisata ini menjadi salah satu promosi yang digunakan oleh pemerintah

kabupaten Samosir yang bertujuan untuk meningkatkan daya tarik di Danau

Toba, dan titik berlayar dari kapal wisata ini adalah di Kecamatan Simanindo di
282

Desa Tuktuk Siadong yang juga merupakan titik pusat wisata di Kabupaten

Samosir.

Gambar 5.15: Kapal Wisata Samosir


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Kapal wisata yang ada di Kabupaten Samosir merupakan salah satu

program yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengembangkan pariwisata

kawasan Danau Toba, dimana kapal pesiar ini menunjukkan ciri khas budaya

Toba yang dapat dilgambarkan pada bentuk dan penyampaian informasi yang

dapat diperoleh para wisatawan di saat berada di dalam kapal wisata pesiar ini.

5.1.4 Perencanaan Potensi Lingkungan meliputi eksternal dan internal

Sesuai dengan dokumen Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011

tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Nasional 2010-2015,

bahwa kawasan Danau Toba menjadi salah satu dari sepuluh Kawasan Strategis

Pariwisata Nasional (KSPN) yang diprioritaskan untuk dikembangkan. Danau

Toba juga menjadi pariwisata unggulan di Provinsi Sumatera Utara, yang

memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional dan mempunyai


283

pengaruh penting terhadap banyak aspek, yaitu pertumbuhan ekonomi, sosial,

budaya, pemberdayaan sumber daya alam, lingkungan hidup serta pertahanan

dan keamananan.

Seperti yang dijelaskan dalam dokumen RTRW Nasional bahwa kawasan

Danau Toba DSK sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan

lingkungan hidup yaitu 1) mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan

ekosistem; 2) melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan

meningkatkan fungsi perlindungan kawasan; 3) melestarikan keunikan bentang

alam; 4) melestarikan warisan budaya nasional. Kemudian, salah satu tujuan

yang dijelaskan dalam RTR KSN Danau Toba yaitu 1) pelestarian sumber air

kehidupan masyarakat, ekosistem dan kawasan kampung masyarakat adat

batak; 2) pengembangan kawasan pariwisata berskala dunia yang terintegrasi

dengan pengendalian kawasan budi daya sesuai dengan daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup serta adaptif terhadap bencana alam. Selanjutnya,

dalam pencapaian tujuan tersebut dilaksanakan dengan beberapa strategi

kebijakan yaitu

1. Pemertahanan kestabilan kuantitas dan pengendalian kualitas air Danau

Toba

2. Pelestarian ekosistem penting perairan danau dan sekitarnya

3. Pelestarian kawasan kampung dan budaya masyarakat adat Batak

4. Pengembangan dan rehabilitasi kawasan pariwisata high ends da

kawasan pariwisata massal yang berdaya tarik internasional, nasional dan

regional yang adaftif terhadap bencana alam

5. Pengendalian kawasan budi daya perikanan danau


284

6. Pemertahanan kawasan pertanian tanaman pangan untuk ketahanan

pangan

7. Pengendalian kawasan budi daya peternakan hortikultura dan

perkebunan berbasis masyarakat dan ramah lingkungan

8. Perwujudan kerjasama pengelolaan dan pemeliharaan kualitas

lingkungan hidup, pemasaran produksi kawasan budi daya dan

peningkatan pelayanan prasarana dan sarana antar wilayah.

Pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba juga harus dapat

mewujudkan tujuan penataan ruang kawasan Danau Toba yang dijelaskan dalam

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana

Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, yaitu pelestarian kawasan

Danau Toba sebagai air kehidupan masyarakat, ekosistem dan kawasan

kampung masyarakat adat Batak; pengembangan kawasan pariwisata berskala

dunia yang terintegrasi dengan pengendalian kawasan budi daya sesuai dengan

daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta adaptif terhadap

bencana alam.

Masalah lingkungan hidup menjadi masalah utama yang harus

diselesaikan oleh seluruh dunia termasuk Negara Indonesia. Dampak dari

lingkungan hidup ini dapat berakibat negatif dan positif bagi seluruh bidang

kehidupan masyarakat. Untuk menghasilkan yang baik dari lingkungan hidup,

maka diperlukan pengelolaan yang terpadu sehingga dapat melestarikan fungsi

lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,

pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian

lingkungan hidup.
285

Perkembangan potensi pariwisata khususnya Danau Toba harus juga

dikaitkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki,

tanpa harus mengesampingkan dampak lingkungan hidup terutama di pinggiran

Danau Toba. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi

dan hak konstitusional bagi setiap warga Negara Indonesia. Oleh karena itu,

Negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk

melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam

melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia

dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta

makhluk hidup lain.

Saat ini, masalah lingkungan hidup menjadi salah satu yang harus

dihadapi dan ditangani serius oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah di

kawasan Danau Toba. Terdapatnya isu dan masalah yang harus cepat dicarikan

solusinya yaitu permasalahan limbah dari beberapa perusahaan besar yang

dibuang di kawasan Danau Toba, yang tidak hanya merusak air danau juga

merusak tanah dan tumbuhan juga hewan yang ada.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur BOPDT Bapak Arie

Prasetyo pada tanggal 19 November 2018, bahwa:

“Pengelolaan pariwisata Danau Toba ini juga dipengaruhi oleh kondisi


alam dan lingkungan yang ada di sekitar kawasan. Saat ini kami sedang
menata kembali lingkungan dan kondisi hutan dengan beberapa pihak
yang terlibat, antara lain dari kemernterian lingkungan hidup dan
kehutanan. Pembenahan hutan juga sedang dilakukan dan kemudian
dijadikan objek wisata seperti yang dilakukan di Kabupaten Simalungun
yaitu Monkey Area, sehingga hewan yang ada di area ini dapat
dilestarikan kembali. Namun, memang masih banyak yang menjadi
kendala dalam pengembangan kawasan Danau Toba ini yaitu terkait
pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah perusahaan maupun
limbah rumah tangga. Maka, kami sedang berusaha menyatukan tujuan
286

dengan semua pihak dan pemerintah kabupaten dan provinsi dalam


menangani solusi lingkungan ini.”

Selanjutnya, masalah lingkungan menjadi masalah utama juga dalam

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ini. Seperti yang dikemukakan

oleh Ibu Corry Panjaitan (Tokoh Masyarakat/Budaya dan Seni) pada tanggal 04

Oktober 2018 di Parapat, bahwa:

“saya bingung, pemerintah menggaungkan tentang target sejuta


wisatawan tetapi hal-hal yang mendasar tidak dapat diselesaikan,
seperti masalah lingkungan terutama sampah yang belum terkelola.
Dan terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi yaitu
masalah air yang harus mati (PAM) sedangkan kita hidup di kawasan
yang banyak air yaitu Danau Toba. Nah, dengan menyedot air maka
dapat juga berpengaruh terhadap lingkungan. Karena ini disebabkan
tidak adanya nilai kebijakan yang dapat mengatur masalah lingkungan
ini seperti peraturan yang bisa mengatur beberapa perusahaan di
sekitar kawasan Danau Toba agar membuat penampungan limbah
yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan setidaknya
pemerintah mengecek ini. Belum lagi limbah peternakan babi yang
masuk ke Danau Toba, dan juga limbah hotel yang tidak punya aturan,
akhirnya terlihat joroklah kawasan Danau Toba ini.”

Sesuai dengan RIPPARDA Dinas Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 bahwa

dalam pembangunan pariwisata harus mengacu pada peningkatan kualitas dan

ramah lingkungan serta melibatkan peran serta masyarakat setempat dan

adanya penerapan ketentuan-ketentuan mengenai daya dukung lingkungan

dalam pengelolaan dan pembangunan sarana kepariwisataan. Berdasarkan

pendapat Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Bapak Ombang Simboro

yang disampaikan pada kegiatan FGD di tanggal 12 Desember 2018, bahwa:

“Pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir telah melaksanakan


program tuntas baik dari mulai toilet, informasi sampai kepada
masalah lingkungan harus ditangani secara tuntas. Mungkin tahun ini
kita hanya bisa tangani 2 tidak semua, tapi yang 2 itu tuntas.
Ketimbang selama ini kita jamah 14 tapi sekutil-sekutil, tidak nampak
hasilnya dan semua menjadi keluar. Sekarang kita mengikuti dengan
program dari kementerian pariwisata dengan koperindag kita
287

mengikuti sekarang kita tuntaskan 1 objek wisata mungkin tidak


semua dapat, tapi hanya 1,2 tahun itu kita konsen disitu, walaupun
kita memang dihajar kiri kanan oleh para anggota dewan kita. Karena
tentang pilihan-pilihan konsituen, seolah-olah pengembangan itu
sekarang hanya di satu daerah. Secara kewilayahan mereka bilang
tidak merata. tapi kita pilihannya itu, ada yang pait memang tapi dari
pengalaman kita bertahun-tahun, inilah pilihan kita sekarang.”

Selanjutnya, pendapat Bapak Syafril dari Badan Sumber Daya Manusia Provinsi

Sumatera Utara yang dikemukakan pada kegiatan FGD pada tanggal 12

Desember 2018, bahwa:

“.........Kemudian juga aspek lingkungan. Di sumut perda tentang


limbah yaitu Perda nomor 1 tentang pembuangan limbah di kawasan
Danau Toba telah tersusun, namun tidak terealisasi dengan baik
karena menerapkan kebijakan ini harus dilaksanakan sesuai dengan
kepentingan-kepentingan. Cuman wallahualam itu tidak pernah dilihat
jadi suka suka hati mereka membuang limbah ke Danau Toba.”

Kemudian, salah seorang akademisi dari IT Del yaitu Bapak Ricardo Situmorang

yang diwawancarai pada tanggal 06 Februari 2019, mengemukakan:

“saya dan teman-teman di IT Del sempat meneliti tentang lingkungan


kawasan Danau Toba, memang banyak persoalan yang harus
dihadapi oleh pemerintah terkait limbah baik limbah perusahaan
ataupun limbah yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Lingkungan
Danau Toba telah tercemar sehingga air danau tidaklah seperti dulu
lagi yang dapat digunakan sebagaimana mestinya. Banyak
perusahaan baik industri maupun hotel yang tidak mempunyai
pengelolaan limbah yang baik sehingga limbah mereka langsung
dibuang di air danau yang akhirnya mengakibatkan air danau
tercemar. Adalagi sampah yang berasal dari rumah tangga
masyarakat harus dibuang dipinggiran danau yang akhirnya menjadi
tumpukan sampah atau limbah peternakan yang dimiliki masyarakat
atau perusahaan. Kalau saya berpendapat pentingnya pengelolaan
lingkungan yang disinergikan dalam pengembangan pariwisata
kawasan Danau Toba sehingga dapat mendukung semua aspek
yang menjadi faktor dalam perencanaan pembangunan pariwisata.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, bahwa faktor lingkungan juga perlu

dikelola dengan baik di tempat-tempat wisata khususnya, antara lain kebersihan

tempat wisata, toilet dan wahana yang menjadi fasilitas dalam objek wisata
288

tersebut. Kalau di objek wisata harus adanya tertib lingkungan baik berasal dari

pengelola objek wisata maupun dari pengunjung itu sendiri. Kegiatan

pengembangan potensi pariwisata juga mengandung risiko terjadinya

pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini menjadi salah satu yang

dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan

hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Dengan demikian,

lingkungan hidup harus terus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan

asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas keadilan.

Pengelolaan lingkungan yang baik pada tempat pariwisata juga akan

dapat membantu satwa-satwa di sekitarnya dapat untuk hidup sesuai dengan

lingkungannya. Apalagi, BOPDT mempunyai program melestarikan lingkungan

dan satwa sebagai pendukung pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba.

Gambar 5.16: Satwa di Kawasan Danau Toba


(Sumber: Hasil Dokumentasi Penelitian, Februari 2019)

Walaupun percepatan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

harus segera dilaksanakan, namun perlu juga memperhatikan kondisi alam dan

lingkungan yang ada di sekitar kawasan Danau Toba. Hal ini sesuai dengan

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2018 tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Sumatera Utara Tahun

2017 – 2025 bahwa perlu adanya strategi untuk pengembangan manajemen


289

usaha pariwisata yang dapat mendorong tumbuhnya ekonomi hijau di sepanjang

mata rantai usaha pariwisata, dan adanya kepedulian terhadap pelestarian

lingkungan dan budaya.

Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba menjadi salah satu alat

untuk menyeimbangkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi antar daerah

sehingga mendorong pembangunan daerah yang tidak stagnan di satu daerah

saja. Pariwisata kawasan Danau Toba juga dikaitkan dengan sektor lain yang

berpotensial di daerah, maka penting adanya perencanaan yang kreatif, inovatif

dan pariwisata dapat dikembangkan dengan sektor lain tanpa mengurangi fungsi

sektor dan saling memperkuat.

Pariwisata yang tidak direncanakan dengan baik maka dapat

menimbulkan dampak bagi kawasan wisata juga masyarakatnya, seperti dampak

fisik pada kawasan Danau Toba dapat menjadi tidak tertata dan akhirnya banyak

objek yang terlantar sehingga mengurangi daya tarik terhadap objek wisata

tersebut. Tidak hanya dampak fisik, namun juga bisa kepada dampak sosial

budaya yang hilang keaslian budaya lokal akibat kulturalisasi yang berlebihan

dan tidak terkontrol. Selanjutnya dampak pemasaran, maka dapat terjadi

ketidakefisienan pemasaran yang dilakukan berbagai pihak tanpa koordinasi

yang baik, dan dampak kelembagaan yang kurang efektif.

Sesuai dengan kegiatan penyusunan masterplan pengelolaan terpadu

kawasan Danau Toba dan sekitarnya tahun 2013, bahwa dijelaskan konsep

pengembangan dalam strategi dan indikasi program pengembangan pariwisata

pada kawasan Danau Toba sesuai dengan program pengembangan yang telah

dijelaskan dalam arah kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan.

Terkait pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba yang harus


290

dapat direncanakan secara optimal adalah aspek/pilar pariwisata 4 A yaitu

attraction, accesability, amenities dan ancillary sebagai berikut:

1. Attraction (daya tarik)

Kawasan Danau Toba memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam dan

mempunyai daya tarik tersendiri di setiap daerah yang ada di kawasan Danau

Toba baik daya tarik berupa alam, budaya dan masyarakatnya serta hasil

daerahnya. Pariwisata di masing-masing daerah kawasan Danau Toba dapat

menunjukkan daya tarik luar biasa yang dapat menarik pengunjung dengan

keaslian alamnya seperti flora dan fauna, pemandangan alam, panorama

indah, hutan rimba, dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang-binatang

langka. Sedangkan dari segi hasil karya manusia antara lain museum,

peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro

(pertanian), wisata air danau, wisata petualangan, taman rekreasi serta daya

tarik wisata lainnya yang masih dapat dikunjungi di kawasan Danau Toba.

2. Accesability (aksesibilitas/transportasi)

Akses menuju kawasan Danau Toba sejak tahun 2018 sudah semakin

membaik karena untuk perencanaan pembangunan pariwisata di sektor

infrastruktur telah dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan di 7 daerah

kabupaten tersebut. Akses yang baik harus dapat mendukung akomodasi

ysng dibutuhkan oleh wisatawan seperti transportasi. Akses transportasi ini

menjadi akses penting dalam pariwisata seperti bandara, pelabuhan dan jalan

raya khususnya kawasan Danau Toba.

Kawasan Danau Toba telah memiliki akses transportasi yang memadai yang

dimulai dari bandara internasional, pelabuhan ferry dan penumpang baik yang

dikelola oleh pemerintah maupun masyarakat lokal, juga jalan raya yang telah
291

dilakukan pembangunan. Namun, yang masih minim dalam pelaksanaan

melalui akses transportasi ini adalah Standar Operasional Prosedur (SOP)

untuk keselamatan belum secara optimal dilaksanakan apalagi yang dikelola

oleh masyarakat lokal.

3. Amenities (fasilitas)

Aspek ini berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba seperti hotel, penginapan,

rumah makan, transportasi dan biro atau agen perjalanan. Aspek ini juga tidak

kalah penting dengan akses transportasi sehingga dapat menciptakan

kenyamanan wisatawan untuk lebih berlama lagi di kawasan Danau Toba.

Semakin lamanya wisatawan di kawasan Danau Toba maka semakin

meningkat pendapatan daerah dan masyarakat. Namun, sarana dan

prasarana di kawasan Danau Toba ini belum bisa dikatakan optimal tetapi

hampir mencapai memadai karena masih banyak keluhan yang dikatakan

oleh para wisatawan terkait kebersihan dan halal atau haramnya makanan

apalagi bagi wisatawan muslim. Dan juga masih minimnya hotel atau

penginapan yang ada di objek wisata menyediakan tempat beribadah

sehingga menjadi alasan utama bagi pengunjung muslim untuk tidak berlama

disitu, sedangkan hampir 70% wisatawan yang datang ke kawasan Danau

Toba adalah muslim.

4. Ancillary (tambahan/pelayanan/kelembagaan)

Setidaknya aspek ini menjadi pendukung untuk menarik perhatian wisatawan

untuk datang ke kawasan Danau Toba dengan program promosi dan

pemasaran. Adanya lembaga pariwsisata seperti pusat informasi pariwisata di

setiap tempat umum atau akses pintu masuk ke Danau Toba seperti bandara,
292

terminal dan pelabuhan disediakan tourism center information, sehingga

memudahkan wisatawan untuk dapat mengetahui objek wisata yang akan

dikunjungi. Dengan adanya lembaga ini maka wisatawan secara langsung

mendapatkan pelayanan tambahan dalam berwisata, namun pusat informasi

ini di kawasan Danau Toba hanya ada di bandara sedangkan di akses yang

lain belum ada.

Pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dalam perencanaannya

tidak hanya harus dilihat dari 4 pilar namun juga harus dilihat bagaimana potensi

ekonomi, potensi sosial budaya dan potensi lingkungannya. Secara potensi

ekonomi, pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba telah membawa

banyak perubahan bagi masyarakat lokal dan daerah di 7 kabupaten yang ada di

Danau Toba. Namun, apabila dikaitkan dengan 4 pilar dalam pariwisata tersebut,

maka masih banyak yang harus dibenahi unruk mendukung perencanaan

pengembangan potensi pariwisata.

Salah satu yang harus dihadapi dalam pengembangan potensi ekonomi

di kawasan Danau Toba adalah kemampuan masyarakat lokal untuk lebih giat

dan mendukung kegiatan pariwisata di kawasan Danau Toba. Demikian juga

dengan pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kemampuan sumber

daya manusia yang dimiliki daerah untuk dapat mendukung kegiatan pariwisata.

Setiap daerah yang ada di kawasan Danau Toba banyak memiliki kearifan lokal

yang dapat dikembangkan menjadi potensi ekonomi yang kuat dalam

mendukung gerakan ramah pariwisata yang sedang dicanangkan oleh

pemerintah pusat.

Adapun kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah yang ada di kawasan

Danau Toba ini antara lain, kacang rondam, kacang sihobuk, kerajinan tangan
293

berupa ulos tenun (dimasing-masing daerah mempunyai ciri khas tersendiri

warna ulos dan motifnya), pahatan patung, soevenir dan lainnya. Apabila ini

dikembangkan secara otomatis akan dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat juga pendapatan daerah.

Setelah potensi ekonomi dapat dikembangkan, maka secara bersamaan

juga potensi sosial dan budaya juga dapat dikembangkan karena secara unsur

potensi ekonomi yang mau dikembangkan juga merupakan bagian dari sosial

dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah kerajinan tangan

yang menjadi budaya masyarakat Toba dalam membuat tenunan ulos dan

menjadi faktor kehidupan sosial di lingkungan Danau Toba. Tenun ulos menjadi

simbol budaya yang harus dilestarikan dan memberikan dampak sosial bagi

masyarakat Toba sehingga hal ini juga menjadi daya tarik pengunjung/wisatawan

untuk memahami budaya toba melalui tenun ulos. Maka, pentingnya ada

pelatihan yang langsung mengkhususkan untuk peningkatan kemampuan

sumber daya manusia dalam mengembangkan kreativitas kearifan lokal.

Dilihat dari segi sosial budaya, banyak yang dapat dikembangkan

dikawasan Danau Toba dan menjadi daya tarik wisata. Budaya yang dimiliki oleh

daerah kawasan Danau Toba dapat menjadi atraksi wisata dan dijadikan ciri

khas dan keunggulan pariwisata di masing-masing daerah, sehingga wisatawan

tidak mengalami rasa bosan untuk selalu berwisata di Danau Toba. Namun,

secara sosial banyak hal yang harus diperbaiki yaitu bagaimana perilaku dan

sikap masyarakat dalam memahami makna pariwisata.

Memahami makna pariwisata di kalangan masyarakat inilah menjadi

susah dan mudah karena adanya stigma orang Batak yang sangat keras dalam

berbicara dan berperilaku. Namun, sebenarnya ini adalah sesuatu budaya yang
294

dapat dijadikan khasnya orang Batak. Tetapi, ini juga yang menjadi minimnya

keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan pariwisata Danau Toba

sehingga penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau

Toba menjadi terhambat dan belum terealisasi sampai sekarang. Hal ini lah yang

akhirnya menjadi salah salah satu yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang

harus diambil oleh pemerintah. Proses pengambilan keputusan dalam

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba juga harus memperhatikan hal-

hal yang terkait dengan budaya dan sejarah masyarakat Toba seperti kebiasan

ritual, penggunaan lahan dan sebagainya.

Minimnya pemahaman masyarakat juga untuk pariwisata ini juga dapat

dilihat dari potensi lingkungan yang ada di kawasan Danau Toba. Namun, tidak

hanya masyarakat saja yang tidak menjaga lingkungan Danau Toba terdapat

banyak perusahaan besar juga tidak menjaga dan melestarikan kebersihan

lingkungan di Danau Toba. Hal ini disebabkan lemahnya regulasi tentang

lingkungan hidup di kawasan Danau Toba terkait pembuangan limbah dan

sampah. Dengan demikian, ini juga yang menyebabkan pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba belum dilakukan secara optimal dan

menyeluruh.

Perencanaan pengembangan potensi pariwisata di kawasan Danau Toba

ini setelah dideskripsikan maka dapat dianalisis secara SWOT, sebagai berikut:
295

Tabel 5.8 Matrik SWOT Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata


Kawasan Danau Toba

Internal Kekuatan (Strenghts): Kelemahan (Weakness):


1. Mempunyai daya tarik 1. Minimnya fasilitas yang
yang dapat menjadi sesuai standar yang
keunggulan dan dibutuhkan oleh
prioritas wisatawan.
2. Memiliki potensi 2. Minimnya kemampuan
pariwisata yang khas masyarakat dalam
dan unik memahami pariwisata
3. Akses yang sudah 3. Lingkungan yang tidak
memadai terjaga dan minim
Eksternal pelestarian
Peluang (Opportunity): Alternatif Strategi (SO): Alternatif Strategi (WO):
1. Adanya dukungan 1. Dibentuknya Badan 1. Peningkatan fasilitas
dari pemerintah Pelaksana Otorita pelayanan pariwisata
untuk Danau Toba oleh 2. Peningkatan kualitas
pengembangan pemerintah pusat. dan kuantitas produk
kawasan Danau 2. Kawasan Danau Toba layanan
Toba sebagai pariwisata
2. Akses jalan dan prioritas di tingkat
transportasi yang nasional
sudah memadai 3. Terbangunnya
3. Besarnya potensi Bandara dan
pariwisata yang Pelabuhan yang
dimiliki masing- berstandar
masing daerah
Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):
1. Kemampuan 1. Melakukan promosi 1. Regulasi lingkungan
masyarakat yang dan pemasaran hidup kawasan Danau
minim dalam keragaman budaya Toba
mengelola lokal 2. Fasilitas pariwisata
pariwisata kawasan 2. Meningkatkan inovasi yang berstandar
Danau Toba dan kreativitas nasional dan
2. Pengembangan masyarakat lokal internasional
pariwisata yang melalui pelatihan 3. Inovasi produk lokal
berdampak negatif
pada integritas
keragaman budaya
lokal
Sumber: Pengolahan Data Tahun 2019

5.2 Standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba yang meliputi sinkronisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak

yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan yang mengarah


296

kepada nilai, manfaat, kebijakan dan program sehingga dapat

mencapai sasaran.

Sinkronisasi sektor-sektor pembangunan menjadi modal penting dalam

pencapaian tujuan pembangunan khususnya pariwisata baik di tingkat nasional

maupun internasional. Sinkronisasi ini menjadi penting dan modal dasar dalam

pembangunan pariwisata karena segala permasalahan yang terjadi dapat

bersumber dari kondisi hubungan yang tidak baik antara banyak pihak. Dengan

adanya sinkronisasi dan koordinasi yang baik dalam menjalankan pembangunan

pariwisata maka tujuan dapat tercapai dan pertumbuhan ekonomi menjadi kuat

dan mantap.

Maksud dari penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba sesuai dengan yang dijelaskan dalam Integrated Tourism

Masterplan for Lake Toba tahun 2016 adalah untuk mentransformasikan dan

meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia melalui sektor strategis salah

satunya sektor pariwisata di Danau Toba. Sedangkan tujuannya adalah 1)

sebagai paltform koordinasi di antara para pemangku kepentingan; 2) untuk

mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di kawasan strategis

pariwisata; 3) sebagai dokumen perencanaan pariwisata yang dapat mengatasi

masalah-masalah yang harus dipecahkan di kawasan Danau Toba (pariwisata

dan pembangunan wilayah). Adapun skenario pengembangan kawasan Danau

Toba adalah
297

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4


• Pemulihan • Pengembang •Pariwisata •Pariwiisata
an Pariwisata Berkelanjutan Berkelanjutan
Danau

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4


(Tahun 2016 – (Tahun 2019 – (Tahun 2022 – (Tahun 2023 –
2018) 2021) 2024) 2027)
REINFORCEMENT DEVELOPMENT INTEGRATION EXPANSION

Danau Toba mulai Kualitas Danau Kawasan Danau Kawasan Danau


dipulihkan dan Toba membaik Toba menjadi Toba menjadi
infrastruktur dan sentra destinasi destinasi wisata
kawasan mulai terintegrasi dengan skala dunia
produksi lokal
ditingkatkan baik sentra produksi terintegrasi dengan
kualitas maupun berkembang di lokal yang didukung produk lokal yang
kuantitas setiap kawasan dengan infrastruktur didukung dengan
yang handal infrastruktur yang
handal

Gambar 5.17 Skenario Pengembangan Kawasan Danau Toba


Sumber: Integrated Tourism Masterplan for Lake Toba, 2016

Berdasarkan gambar 5.17 di atas maka, standarisasi dalam perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba harus dapat disegera direalisasi

sesuai yang dijelaskan dalam Integrated Tourism Masterplan for Lake Toba

tahun 2016 yaitu 1) elemen-elemen produk pariwisata bervariasi umurnya dan

hampir semua yang dijumpai membutuhkan penyempurnaan yang bervariasi

tingkat permasalahannya; 2) standarisasi terkait fisik (bangunan, taman, ruangan

dan sebagainya), amenitas (misalnya perlengkapan kamar atau kamar mandi)

maupun pelayanan (yang diakibatkan oleh SDM yang belum terlatih); 3) adanya

standar kompetensi melalui pelatihan wajib bagi para pejabat di lingkungan

pemerintah daerah sekitar kawasan Danau Toba.

Pengembangan pariwisata dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah memiliki makna yang dapat menjadi unsur dalam

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata, yaitu


298

1. Makna politik, sebagai upaya untuk memupuk rasa cinta tanah air dan

bangsa guna menggalang persatuan dan kesatuan.

2. Makna ekonomis, sebagai upaya untuk memperkuat perekonomian

negara.

3. Makna sosial budaya, sebagai upaya untuk mempertinggi kesadaran dan

kesediaan untuk mempertahankan kebudayaan dan kepribadian bangsa.

Maka, berdasarkan kebijakan pengembangan kelembagaan yang dijelaskan

dalam RIPPARDA Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018,

bahwa:

1. Peningkatan koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan antar daerah

kabupaten/kota di Sumatera Utara, antara Provinsi Sumatera Utara

dengan daerah/provinsi lain/nasional/internasional melalui lembaga terkait

pariwisata dengan budaya termasuk komitmen dari para pengambil

keputusan yang terkait dengan pariwisata.

2. Pengembangan kelembagaan, sistem dan penyederhanaan prosedur

perijinan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif

3. Peningkatan kemitraan antara institusi/lembaga

4. Pengembangan kelembagaan dalam hal perpajakan dan retribusi

5. Pengembangan kelembagaan dalam pemasaran dan promosi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat dan juga

mantan Bupati Kabupaten Samosir pada tanggal 07 Februari 2019 yaitu Bapak

Wilmar Elyascher Simanjorang, yang mengatakan bahwa:

“Danau Toba ini ibarat rumah yang harus mempunyai pondasi kuat
karena memiliki banyak ragam masyarakat dan budaya. Seperti rumah
tangga, harus mempunyai perencanaan yang sepakat antara suami
dan istri dan Danau Toba ini tidak hanya milik satu daerah saja tapi
299

milik banyak daerah. Maka, untuk membangun Danau Toba ini dan
dapat dikenal banyak orang sampai ke internasional harus disatukan
dulu tujuan di banyak daerah ini. Kebijakan itu menyatukan tujuan ini
belum ada, walaupun sudah ada badan atau lembaga yang dikirim
pusat untuk Danau Toba ini. Tapi pusat salah mengirimkan orang yang
ada di lembaga ini, karena orang yang tidak tau akan asal dan muasal
Danau Toba, ....... contohnya, apakah ada orang lain tau tentang
keberadaan rumah tangga kita kecuali suami dan istri itu sendiri dan
untuk menyusun perencanaan nya ke depan bagaimana rumah tangga
itu juga hanya suami dan istri lah yang tau. Begitulah maksud saya,
menyusun perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau
Toba ini hanya orang yang berasal dari sini yang bisa tau harus
diapakan Danau Toba ini. Jadi, tidak ada tairk menarik antar daerah
Danau Toba ini punya siapa.....maka, harus ada pemimpin yang
mampu menyatukan perencanaan pariwisata kawasan Danau Toba
dan dapat mengambil keputusan untuk membuat satu perencanaan
tersebut ”

Selanjutnya senada dengan pendapat di atas, Bapak Ricardo Situmeang dari

Institut Teknologi DEL yang diwawancarai pada tanggal 06 Februari 2019

mengatakan bahwa:

“..........sangat sulit menyatakan bagaimana standarisasi perencanaan


pembangunan pariwisata itu sebenarnya, karena banyak hal yang
harus dihadapi dan diselesaikan terkait pengembangan pariwisata
kawasan Danau Toba ini. Kesulitan yang terbesar adalah masyarakat
yang belum sadar akan makna pariwisata, sedangkan dalam
penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kita harus
mengetahui tuntutan dan kebutuhan masyarakat. baru terjadi adanya
tarik menarik antar daerah sehingga belum adanya satu visi, namun
sebenarnya pemerintah pusat sudah memberikan jalan dengan
mengirimkan badan otorita yang bertujuan untuk mengkoordinir
pelaksanaan pengembangan pariwisata ke depan dengan
perencanaan yang matang.”

Kemudian, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Bapak Ombang

Simboro dalam kegiatan FGD pada tanggal 12 Desember 2019, mengatakan

bahwa:

“......dari sisi perencanaan pembangunan pariwisata yang mengalami


sekarang pemerintahan yang bertingkat, pusat, propinsi dan
kabupaten memang terus terang belum singkron. Terutama
pengalaman kami di danau toba ya antara pusat dengan kabupaten
sekarang langsung meluncur, kita sekarang seperti matching dengan
300

pusat. Di propinsi kita mengalami bottleneck. Bahkan kami merasa


bahwa propinsi bukan dari bagian katalisator atau pengungkit
mempercepat. Bahkan kami sering merasa ini menjadi burden (beban)
karena dalam beberapa kesempatan kami pernah berkata, saya bilang
bahwa pemerintah propinsi hanya berkata baik tentang danau toba tapi
tidak pernah bertindak baik. Sudah 3 tahun menteri pariwisata
menetapkan danau toba menjadi ikon pariwisata sumut, itu loh sudah
ada keputusannya kemenpar. Sudah 2 tahun menteri pariwisata
menargetkan 1 juta target wisatawan ke danau toba. Kita ga pernah
bunyi propinsi bilang apa menyanggupi itu. Apa programnya
membreak down yang untuk 1 juta wisatawan ke danau toba, propinsi
lakuin apa. Menetapkan bahwa danau toba menjadi ikon pariwisata
sumut, kita belum lihat itu mana program spesial treatment nya tentang
danau toba dari propinsi. BKP kita belum melihat kawasan Danau
Toba menjadi kabupaten yang tertinggi, contohnya dana bantuan
kalangan propinsi ke danau toba. Kita belum melihat itu, karena semua
rata-rata masih manajemen pukul rata.

Begitu juga dengan yang diungkapkan oleh Sekretaris Dinas Pariwisata

Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu Bapak Nelson Lumbantoruan, pada

tanggal 06 Februari 2019, mengatakan bahwa:

“......memang saat ini, sedang direncanakan koordinasi antar


kabupaten yang berada di kawasan Danau Toba untuk lebih kerja
keras dalam melaksanakan pembangunan pariwisata. Namun, kami
sebagai masyarakat Humbahas, saat ini sedang menata kembali
pengembangan potensi pariwisata yang kami miliki dan disesuaikan
dengan kebijakan yang telah ada. Humbahas adalah kabupaten baru
yang perlu banyak belajar untuk mengembangkan pembangunan
pariwisata khususnya pariwisata kawasan Danau Toba seperti geosite
sipinsur ini. Objek ini langsung bersentuhan dengan Danau Toba maka
kami sedang membenahi semua fasilitas dan akses juga informasi
untuk mempromosikan objek ini. Sebenarnya, perencanaan itu sangat
penting apalagi terkait menyatukan tujuan dalam mengembangkan
kawasan Danau Toba harus ada perencanaan yang terpadu dan
terintegrasi, sehingga perencanaan itu mempunyai nilai dan manfaat
ke depannya.”

Kemudian, bapak Syafril Harahap dari Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia

Provinsi Sumatera Utara di kegiatan FGD pada tanggal 12 Desember 2019 juga

menyampaikan:
301

“.......Apa bisa distandarisasi perencanaan danau toba dengan masing-


masing potensi, persoalan kemudian kondisi alamnya. Apakah bisa di
standarisasai sehingga bisa satu buat standar dan apakah ukurannya.
Kemudian ada juga lagi perkara di birokrasi. Kamis selalu
merencanakan itu kalau di swasta perencanaan itu masalah akan di
backup oleh biaya. Kalau kita enggak, Pagu yang diikuti rencana.
Dibalik teorinya. Itu juga mempersulit dalam konteks perencanaan
pembangunan. Karena pariwisatakan tidak berdiri sendiri banyak
variabel yang berpengaruh. Jadi kalau direncanakan itu semua ikut
sehingga sama-sama outputnya maksimal. Inikan kadang di sini satu
sektor yang lain ditinggal, nanti 4 tahun lagi baru diperbarui. Sama
seperti tadikan, itu itu aja tiap tahun. Ini rusak, ini bangun. Karena
memang kita selalu persoalan kita di pemerintah ini kita harus
mengikuti pagu. Pagunya berapa itu yang kita ikut dengan
perencanaan kita. Bukan anggaran megikuti masalah tapi dibalik pak.
Itu juga satu persoalan dalam perencanaan di birokrasi ini.”

Penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila program

pembangunan pariwisata yang terkoordinasi dengan baik, maka tidak akan

terjadi permasalahan dalam pengembangan potensi pariwisata di segala sektor.

Namun, pelaksanaan keterpaduan pembangunan pariwisata seperti aksesibilitas

(infrastruktur) mengalami berbagai permasalahan karena belum sinergisnya

program pembangunan infrastruktur di kawasan Danau Toba antar

kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah dan belum efektifnya dalam

sistem pembiayaan atau penganggaran pembangunan infrastruktur.

Pembangunan pariwisata yang terencana dengan baik, maka dapat

menghasilkan kebijakan yang mempunyai nilai dan manfaat bagi semua pihak.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Roni dari Bappeda Provinsi Sumatera

Utara di kegiatan FGD pada tanggal 12 Desember 2019, bahwa:

“Bappeda sekarang ini kita lagi menyusun dokumen RPJMD 2019-


2022. Di dalam penyusunan rancangan awal RPJMD ada beberapa
prioritas pembangunan salah satunya adalah mengenai pariwisata
danau toba. Yang pertama itu adalah kebijakan percepatan
infrastruktur karena tadi ibu sudah singgung mengenai infrastruktur
sarana dan prasarana, saya bolak-balik ke Samosir ke daerah
kawasan ke humbang itu mungkin sekarang ya agak mulai bagus
jalannya. Tapi kemaren dua minggu lalu masih ada juga masih
302

kesulitan juga sulit lewat dari tele. Itu merupakan salah satu pintu
akses. Kita kalau dari karo pintu masuk ke samosir itu melalui tele.
Saya gak habis fikir mulai dari tahun 2010 sampai sekarang masih
perbaikan terus kapan tuntasnya. Apakah pengerjaannya mungkin
multiyears yang jelas sampai sekarang masih dalam perbaikan. Ada
beberapa rencana aksi ya ini untuk 2019, nanti penanggungjawabnya
adalah dinas pariwisata, kemudian bappeda juga melakukan suatu
evaluasi ini terkait dengan dinas kehutanan, kemudian dinas penataan
ruang dan permukiman.”

Maka, diperlukan keterpaduan perencanaan terhadap pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba dan adanya sinkronisasi program antar

pemerintah daerah dan lembaga/kementerian terkait. Sinkronisasi dan

keterpaduan ini merupakan upaya penyesuaian antar program untuk

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ke depan. Salah satu program

yang terkait dengan keterpaduan dan sinkronisasi antar pemerintah daerah serta

lembaga/kementerian adalah program inkubasi pengembangan kawasan Danau

Toba melalui pembangunan infrastruktur PUPR dan Non PUPR tahun 2017 –

2020, sebagai berikut:


Tabel 5.9 program inkubasi pengembangan kawasan Danau Toba melalui pembangunan infrastruktur PUPR dan Non
PUPR tahun 2017 – 2020

a. Mengembangkan Layanan Infrastruktur

No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan


Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
1 Mengemba Peningkatan Ditjen Bina Meningkatnya a. Meningkatnya
ngkan status dan Marga aksesibilitas status jalan dari
layanan kapasitas (PUPR) dan keamanan jalan Strategis
infrastruktur jaringan jalan kenyamanan Nasional
inkubasi strategis berkendara menjadi Jalan
anjungan nasional di ruas Nasional
cerdas jalan: b. Berkurangnya
kawasan Haranggaol – waktu tempuh
Danau Seribu Dolok Karo- 1.200 m 2.000 2.000 2.000
Toba (Simalungun) – Simalungun dari
Merek (Karo). 2,5 jam menjadi
Sepanjang 1 jam
17.266,71 m c. Meningkatnya
lalu lintas harian
rata-rata di jalan
tersebut
2 Mengemba Peningkatan Ditjen Bina Meningkatnya a. Meningkatnya
ngkan status dan Marga aksesibilitas status jalan dari
layanan kapasitas (PUPR) dan keamanan jalan Strategis
infrastruktur jaringan jalan kenyamanan Nasional
inkubasi strategis berkendara menjadi Jalan
anjungan nasional di ruas Nasional
cerdas jalan: Tongging b. Berkurangnya
kawasan – Merek. waktu tempuh 1.000 m 1000 500 -
Danau Sepanjang Karo-
Toba 2.419,64 m Simalungun dari
2,5 jam menjadi
1 jam

303
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
c. Meningkatnya
lalu lintas harian
rata-rata di jalan
tersebut
3 Mengemba Peningkatan Provinsi Meningkatnya a. Meningkatnya
ngkan status dan Sumatera aksesibilitas status jalan
layanan kapasitas Utara, dan keamanan dari dari
infrastruktur jaringan jalan Kabupaten kenyamanan kolektor
inkubasi kolektor primer Karo, berkendara sekunder
anjungan di ruas jalan Kabupaten menjadi
cerdas merek – silalahi Dairi, kolektor primer
kawasan – sianjur mula- Kabupaten Berkurangnya 3.500 m 5.000 5.000 5.000 5.000
Danau mula – Samosir waktu tempuh meter
Toba pangururan. Karo – Dairi – terakhir di
Sepanjang Samosir dari tahun 2021
23.408,27 m 3,5 jam
menjadi 1,5
jam
b. Meningkatnya
lalu lintas
harian rata-
rata di jalan
tersebut
4 Mengemba Peningkatan Provinsi Meningkatnya a. Meningkatnya
ngkan status dan Sumatera aksesibilitas status jalan
layanan kapasitas Utara, dan keamanan dari kolektor
infrastruktur jaringan jalan Kabupaten kenyamanan sekunder
inkubasi kolektor primer Karo, berkendara menjadi
anjungan di ruas jalan: Kabupaten kolektor primer
cerdas pematang Simalungun b. Berkurangnya
kawasan siantar – tiga waktu tempuh 1.400 m 2.000 2.000 -
Danau ras – arah Karo –
Toba seribu Simalungun
dolok/merek. dari 2,5 jam
Sepanjang menjadi 1 jam

304
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
6.397,92 m c. Meningkatnya
lalu lintas
harian rata-
rata di jalan
tersebut
5 Mengemba Pembangunan Ditjen Bina Terciptanya
ngkan jaringan jalan Marga aksesibilitas
layanan akses anjungan (PUPR) menuju
infrastruktur cerdas di ruas anjungan Terbangunnya
inkubasi jalan: Kodon- cerdas jalan akses dari 800 m - - -
anjungan kodon – jalan nasional ke
cerdas anjungan anjungan cerdas
kawasan cerdas, arah:
Danau piso-piso.
Toba Sepanjang 800
meter
6 Mengemba Membangun Dinas Meningkatnya a. Melayani
ngkan terminal Perhubunga aksesibiltas transportasi
layanan transportasi tipe n Provinsi dan keamanan antar kota
infrastruktur B. Lokasi di Sumatera kenyamanan antar provinsi
inkubasi Situnggaling Utara, perjalanan (AKAP), antar 1 - - -
anjungan Kabupaten kota (AK), dan
cerdas Karo antar desa
kawasan (ADES)
Danau b. Meningkatnya
Toba wisatawan non
lokal

305
b. Mendorong Pertumbuhan Pariwisata
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
1 Membangu Membangun BPIW Terciptanya a. Jumlah
n anjungan anjungan (PUPR), sarana rest wisatawan
cerdas cerdas (rest Provinsi area di tepi yang
untuk area) pada Sumatera jalan nasional mengunjungi
mendorong lokasi 5 Ha Utara, kawasan kawasan
pertumbuha Kabupaten Danau Toba Danau Toba 1 - - -
n pariwisata Karo meningkat.
kawasan b. Peningkatan
Danau sektor jasa
Toba dan perhotelan
daerah
2 Membangu Membangun BPIW Terciptanya Jumlah kelompok
n anjungan gedung (PUPR), pentas seni seni dan budaya
cerdas serbaguna dan Provinsi dan budaya di yang terfasilitasi
untuk amphiteater Sumatera anjungan
mendorong untuk Utara, cerdas
pertumbuha pengembangan Kabupaten 10 5 5 5
n pariwisata kesenian dan Karo
kawasan kebudayaan
Danau Batak di
Toba anjungan
cerdas
3 Membangu Membangun BPIW Terkelolanya Jumlah ODTW
n anjungan jaringan (PUPR), informasi untuk yang teridentifikasi
cerdas pemasaran Provinsi pemasaran dan terkelola
untuk pariwisata Sumatera pariwisata di
mendorong kawasan Danau Utara, kawasan 20 20 20 20
pertumbuha Toba Kabupaten Danau Toba
n pariwisata Karo
kawasan
Danau
Toba
4 Membangu Mengembangka BPIW Pengembanga MoU antar

306
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
n anjungan n kerjasama (PUPR), n jaringan kabupaten dalam
cerdas promosi Kementerian kerjasama pengembangan
untuk pariwisata antar Pariwisata, promosi wisata di kawasan
mendorong kabupaten Provinsi pariwisata Danau Toba 1 - - -
pertumbuha Sumatera antar
n pariwisata Utara, 8 kabupaten di
kawasan Kabupaten kawasan
Danau kawasan Danau Toba
Toba Danau Toba
5 Membangu Pelatihan Provinsi Pelatihan Jumlah kelompok
n anjungan pemandu Sumatera masyarakat masyarakat sadar
cerdas wisata terpadu Utara lokal sebagai wisata
untuk di kawasan pemandu 5 5 5 5
mendorong anjungan wisata terpadu
pertumbuha cerdas di kawasan
n pariwisata anjungan
kawasan cerdas
Danau
Toba

c. Menguatkan Peran Budaya Batak dan Kelembagaan


No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
1 Menguatka Mengembangka Provinsi Menciptakan Peraturan
n peran n badan Sumatera Badan Pemerintah
budaya pengelola Utara Pengelola tentang Badan
batak dan kawasan Danau Kawasan Pengelola 1 - - -
kelembaga Toba Danau Toba Kawasan Danau
an Toba
pengelola
kawsan

307
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
Danau
Toba
2 Menguatka Pengembangan Provinsi Fasilitas Jumlah kelompok
n peran sumber daya Sumatera penciptaan seni yang
budaya manusia dan Utara kelompok- terbentuk
batak dan profesionalisme kelompok
kelembaga bidang budaya dalam 5 5 5 5
an pariwisata sanggar seni
pengelola
kawasan
Danau
Toba
3 Menguatka Identifikasi BPIW Menjaga Jumlah bangunan
n peran bangunan (PUPR), kelestarian adat dan cagar
budaya gedung cagar Perumahan bangunan- budaya, makam
batak dan budaya yang (PUPR), dan bangunan adat adat, dan lain 50 50 50 50
kelembaga dilestarikan Provinsi dancagar sebagainya yang
an Sumatera budaya, teridentifikasi dan
pengelola Utara makam adat terkelola
kawasan dan lain
Danau sebagainya,
Toba kemudian
memberikan
insentif dan
subsidi untuk
menjaga
kekhasannya

308
d. Menjaga Kelestarian Lingkungan

No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan


Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
1 Konservasi Pengembangan Pemerintah Membangun Jumlah prasarana
lingkungan prasarana Provinsi, prasana pemantauan
perairan pemantauan pemerintah pemantauan kualitas air
dan alam di kualitas air kabupaten kualitas air di
sekitar berkala di DAS dan swasta inlet masuk
Kawasan yang bermuara sungai ke
Danau di Danau Toba, danau dan
Toba yaitu Sungai juga di dekat
Sigubang, budidaya ikan
Sungai Bah 18 unit
Bolon, Sungai 5 5 4 4 pemantaua
Guloan, Sungai n kualitas
Arun, Sungai air
Tomok, Sungai
Sibandang,
Sungai Halian,
Sungai Simare,
Sungai Aek
Bolon, Sungai
Mongu, Sungai
Mandosi,
Sungai
Gopgopan,
Sungai Kijang,
Sungai
Sinabung,
Sungai Ringo,
Sungai
Prembakan,
Sungai
Sipultakhuda
dan Sungai

309
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
Silang
2 Konservasi Pembangunan Pemerintah Menyediakan Jumlah sarana
lingkungan dan revitalisasi Provinsi dan sarana pengelola air
perairan instalasi Pemerintah pengelolaan air limbah domestik
dan alam di pengolahan air Kabupaten limbah yang terbangun
sekitar limbah (IPAL) di domestik di
kawasan Kecamatan kawasan
Danau Merek, hunian padat
Toba Tongging, kawasan
Purba, Parapat Danau Toba
– Ajibata, 5 5 5 4 19 unit
Balige, IPAL
Tampahan,
Lumban Julu,
Laguboti,
Muara, Sianjur
mula-mula,
Siborong-
borong,
Tarutung, Dolok
Sanggul,
Sidikalang,
Harian,
Pangururan,
Onan Runggu,
Ronggur
Nihuta, dan
Tomok di
Simanindo
3 Konservasi Peningkatan/pe Pemerintah Menyediakan Jumlah TPS yang
lingkungan mbangunan/pe Provinsi dan TPS bagi terbangun
perairan ngelolaan Pemerintah masyarakat,
dan alam di prasarana Kabupaten terutama di
sekitar persampahan kawasan
kawasan yang berlokasi hunian padat

310
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
Danau dekat dari Kawasan
Toba badan perairan Danau Toba
dan sumber air,
yaitu di
Kecamatan
Merek (Kab.
Karo); Girsang
Sipangan Bolon
(Kab.
Simalungun); 3 3 3 3 12 TPS
Ajibata, Lumban
Julu, Balige,
dan Tampahan
(Kab. Toba
Samosir),
Muara (Kab.
Tapanuli Utara);
Sidikalang
(Kab. Dairi),
dan Sianjur
mula-mula,
Simanindo,
Onan Runggu
dan Pangururan
(Kab. Samosir)
4 Konservasi Mengendalikan Pemerintah Penerapan Peraturan daerah
lingkungan perkembangan Provinsi dan aturan tentang aturan
perairan kawasan Pemerintah bangunan bangunan dan
dan alam di budidaya Kabupaten (building code) gedung di sekitar
sekitar terbangun di di kawasan kawasan Danau
kawasan sepanjang inkubasi. Toba 8 - - -
Danau jaringan jalan Misalnya tidak
Toba yang mengarah boleh
ke danau mengubah
rumah yang

311
No Program Kegiatan Pelaksana Sasaran Usulan Indikator Target Keterangan
Rencana Prakiraan Maju
2017 2018 2019 2020
sudah memiliki
karakter lokal
(adat), jumlah
lantai, luas
lahan
terbangun dan
sebagainya.

312
313

Program infrastruktur di sektor pariwisata, selama kurun waktu 2 tahun ini

telah mengalami peningkatan. Akses jalan menuju kawasan Danau Toba telah

dapat dilalui dengan nyaman dan aman walaupun terdapat beberapa titik yang

masih harus dalam perbaikan. Standarisasi dalam menyusun sebuah

perencanaan khususnya pembangunan pariwisata harus mengandung nilai-nilai

dan manfaat dalam pencapaian tujuan dan sasarannya, terkait di semua bidang

yang mendukung pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba. Salah

satunya adalah terkait pengembangan potensi sumber daya yang harus merata

serta dilihat dari kondisi fisik, sosial, budaya maupun ekonomi dan disesuaikan

dengan daya dukung yang spesifik untuk masing-masing daerah 7 kabupaten

yang mengelilingi kawasan Danau Toba, sehingga tersusun perencanaan yang

terpadu

Pentingnya sebuah perencanaan dalam pembangunan pariwisata adalah

untuk menciptakan pariwisata yang mampu berdaya saing baik nasional maupun

internasional, apalagi kalau daerah pariwisata tersebut telah menjadi unggulan

dan prioritas. Dengan adanya perencanaan yang baik maka dapat

dikembangkan pariwisata dengan efektif dan efisien sesuai dengan tujuan dan

sasaran yang ingin dicapai.

Sasaran dalam pembangunan pariwisata itu meliputi, terkelolanya seluruh

potensi pariwisata secara profesional dengan melibatkan seluruh pihak

(pemerintah, masyarakat, pelaku usaha dan staeholder) yang sejalan dengan

kepentingan pengembangan pariwisata yaitu penataan ruang, peningkatan

pendapatan asli daerah, pengembangan seni dan budaya serta pelestarian

lingkungan. Maka ini sesuai dengan maknanya pariwisata yaitu keseluruhan


314

kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mengatur, mengurus

dan melayani kebutuhan wisatawan.

Perencanaan merupakan sebuah kerangka kerja yang mempunyai tujuan

dan sasaran yang mengarah ke masa depan. Maka, dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba, sangat membutuhkan sebuah perencanaan

yang tersusun dan dapat dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan di masa

depan. Namun, perencanaan untuk pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba belum dapat terealisasi dengan baik dan belum dapat dijadikan pedoman

karena sampai dengan pertengahan tahun 2019 ini belum dapat di realisasikan

ke publik. Namun, terdapat beberapa program pemerintah yang telah dapat

dilaksanakan dengan memadai walapun belum optimal yaitu perbaikan akses

jalan dan transportasi sehingga memudahkan pembangunan pariwisata di semua

daerah.

Hal inilah yang menjadi kendala untuk adanya beberapa tindakan yang

khusus menangani pariwisata di Danau Toba. Walaupun, telah dibentuknya

Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BOPDT) tidak menjadi percepatan

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

sehingga banyak regulasi yang tidak dapat dirumuskan dan dilaksanakan secara

optimal.

Setelah adanya BOPDT, maka pemerintah pusat telah meyerahkan

sepenuhnya untuk penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata telah

menajdi tanggung jawab lembaga ini. Namun, lembaga ini juga mengalami

kesulitan dalam menyusun naskah dan draf perencanaan di kawasan Danau

Toba ini. Hal ini terkait belum adanya satu pemahaman visi dan misi dalam

membangun dan mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba. Apalagi


315

terkait dengan masyarakat lokal yang harus mampu berkomunikasi dengan baik

sehingga dapat menemukan aspirasi dan kebutuhan yang mereka perlukan

terkait pariwisata kawasan Danau Toba. Karena sebagian pihak belum dapat

menerima adanya BOPDT ini sebagai pengelola pariwisata di kawasan Danau

Toba, karena ini terkait dengan bahwa Danau Toba adalah tanah Batak,

termasuk pemerintah daerah dan masyarakat. Tidak hanya pihak yang ada di

daerah Danau Toba, pemerintah provinsi juga merasa tidak dianggap dalam

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba ini.

Sejalan dengan tahapan penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba, BOPDT juga telah membuat kerangka kerja

yang berbentuk program dalam mendukung pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba walaupun banyak hambatan dan kendala yang harus

dihadapi, seperti pelepasan hak kepemilikan tanah yang harus dibangun untuk

meningkatkan fasilitas pariwisata yang berstandar di daerah Ajibata Kabupaten

Simalungun.

Menciptakan perencanaan yang berkualitas untuk pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba bukanlah hal yang mudah dan ini harus

dilakukan dengan serius oleh semua pihak yang terlibat terkhusus daerah

kabupaten yang ada di kawasan ini. Karena dengan adanya keterlibatan secara

langsung pihak-pihak pelaku pariwisata ini maka akan diperoleh nilai-nilai

kehidupan yang bermanfaat untuk disusun dalam perencanaan pembangunan

pariwisata, namun ini belum dapat terlaksana dengan baik. Minimnya

sinkronisasi dan koordinasi yang ada terhadap daerah kabupaten, akhirnya

mengakibatkan minimnya kebijakan yang mengarah khusus untuk pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba.


316

Sejak dibentuknya BOPDT, hal utama yang harus diselesaikan adalah

tersusunnya perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

sehingga dapat menghasilkan kebijakan dan program-program yang mempunyai

nilai dan manfaat bagi daerah Danau Toba dan masyarakat secara umumnya.

Dengan adanya perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

juga menjadi strategi untuk mengsinkronisasikan pemahaman antar daerah

kabupaten di kawasan Danau Toba sehingga dalam pengembangan pariwisata

ke depan dapat dilaksanakan dengan satu visi dan satu misi. Dengan demikian,

harus disusun standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata terpadu dan

terintegrasi bagi kawasan Danau Toba.

Secara umum, standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba dapat dideskripsikan melalui SWOT, sebagai berikut:

Tabel 5.10 Matrik SWOT Standarisasi Perencanaan Pembangunan


Pariwisata Kawasan Danau Toba

InternalKekuatan (Strenghts): Kelemahan (Weakness):


1. Terbentuknya BOPDT 1. Minimnya keterlibatan
di kawasan Danau pihak pelaku pariwisata
Toba (pemerintah daerah,
2. Adanya kerangka masyarakat, pelaku
kerja berupa program usaha/swasta) dalam
pembangunan mendukung
pariwisata kawasan penyusunan
Danau Toba perencanaan
pembangunan
pariwisata kawasan
Danau Toba
2. Minimnya koordinasi
antar daerah yang
akhirnya belum adanya
penyatuan visi dan misi
dalam pembangunan
Eksternal pariwisata
Peluang (Opportunity): Alternatif Strategi (SO): Alternatif Strategi (WO):
1. Adanya potensi 1. Membangun fasilitas 1. Menciptakan
pariwisata yang lain yang dapat komunikasi dan
akan dikembangkan mendukung koordinasi dengan
2. Pariwisata kawasan penyusunan seluruh pihak yang
317

Danau Toba perencanaan terlibat dalam


sebagai destinasi pembangunan pembangunan
prioritas di tingkat pariwisata di kawasan pariwisata.
nasional Danau Toba 2. Membangun kerjasama
3. Akses pariwisata 2. Merancang arah dengan semua pihak
yang sudah kebijakan dan pelaku pariwisata
memadai di seluruh program yang tepat
kawasan Danau untuk pembangunan
Toba pariwisata kawasan
Danau Toba
Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):
1. Belum tersusunnya 1. Melakukan 1. Terciptanya regulasi
perencanaan pendekatan kepada yang dapat jadi dasar
pembangunan semua pihak yang penyatuan visi dan misi
pariwisata kawasan terlibat dalam dalam
Danau Toba pembangunan mengembangkan
2. Tidak optimalnya pariwisata pariwisata kawasan
penerimaan daerah 2. Meningkatkan Danau Toba
terhadap pemahaman pihak- 2. Melakukan konsolidasi
keberadaan BOPDT pihak yang terlibat ke berbagai pihak
sebagai pengelola khususnya untuk mengoptimalkan
pariwisata kawasan masyarakat tentang penyusunan
Danau Toba pentingnya standarisasi
pembangunan perencanaan
pariwisata di kawasan pembangunan
Danau Toba pariwisata kawasan
Danau Toba
Sumber: Pengolahan Data Tahun 2019

5.3 Proses interaksi lembaga yang terlibat dalam perencanaan

pembangunan pariwisata, yang meliputi: adanya pemahaman yang

sama tentang visi, misi fungsi dan tujuan, adanya saling komitmen

dan keterbukaan (akses, data dan konsisten), dan semua pihak

terlibat langsung (Pemerintah, Pelaku Usaha Pariwisata, dan

Masyarakat serta Stakeholder).

Tantangan terbesar dalam perencanaan pembangunan pariwisata Danau

Toba sebagai kawasan strategis pariwisata nasional adalah pembangunan

kepariwisataan lintas sektor, karena dalam koordinasi lintas sektor ini dianggap

bahwa pariwisata bukan sektor tunggal. Selain tantangan tersebut juga adanya
318

beberapa permasalahan dalam pembangunan destinasi pariwisata kawasan

Danau Toba yaitu: 1) banyaknya masterplan (Kementerian/lembaga memiliki

masterplan sektoral dan wilayah. Pemerintah daerah juga memiliki masterplan);

2) infrastruktur dan daya dukung lingkungan (infrastruktur dasar dan konektivitas

terbatas, serta daya dukung lingkungan kurang berkelanjutan); 3) SDM

pariwisata, industri dan masyarakat (kecukupan jumlah dan kualitas SDM

pariwisata, kesiapan industri dan masyarakat); dan 4) investasi pariwisata rencah

(realisasi PMA dan PMDN di sektor pariwisata belum optimal)

Maka, dengan adanya permasalahan dalam pembangunan destinasi

pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga pentingnya penyusunan rencana

induk pariwisata terintegrasi, percepatan pembangunan infrastruktur dasar dan

aksesibilitas serta peningkatan daya dukung lingkungan, peningkatan SDM

pariwisata dan kesiapan industri serta masyarakat dan peningkatan investasi

pariwisata baik PMDN maupun PMA. Dengan demikian, perlunya membangun

kesamaan visi dan misi serta menggalang sinergi dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba sehingga dapat memastikan proses interaksi

dan keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan.

Arah kebijakan pembangunan pariwisata kemitraan di sektor pariwisata

yang dijelaskan dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataa Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2017 – 2025 bahwa dapat diwujudkan dalam bentuk

pengembangan skema kerjasama antara pemerintah, pemerintah daerah,

pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha dan masyarakat dengan

mengutamakan masyarakat lokal. Namun, sesuai dengan hasil wawancara

dengan Sekretaris Dewan Riset Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal

13 November 2019 yaitu Bapak Azizul Kholis, mengatakan:


319

“.....tidak adanya sinkronisasi antara daerah sekitar kawasan Danau Toba


disebabkan oleh ego sektoral dimana masing-masing daerah di kawasan
Danau Toba ingin mengunggulkan pariwisata Danau Toba berasal dari
daerah masing-masing, sedangkan kegiatan-kegiatan pariwisata yang
ada belum teregulasi di tingkat provinsi sehingga menjadi permasalahan
dalam penyatuan visi dan misi apalagi adanya otonomi daerah. Dan
perlunya sinkronisasi antar dokumen perencanaan baik di tingkat pusat,
provinsi kemudian daerah sehingga tindak lanjut dan aksi untuk
percepatan pembangunan pariwisata dapat terealisasi dengan baik.
Namun, sangat sulit untuk menyatukan konsep dalam membangun dan
mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba karena adanya ego
sektoral setidaknya yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat atau
provinsi adalah penguatan daerah di sekitar Danau Toba meliputi
pembiayaan dan regulasi-regulasi yang dapat mendukung pembangunan
pariwisata. Salah satunya adalah adanya regulasi yang secara khusus
untuk mengatur tentang standarisasi pariwisata baik nasional maupun
internasional juga menstandarisasikan produk-produk
pariwisata/makanan dan tata pelayanan yang halal. Hal ini berkaitan
dengan mayoritas wisatawan yang berkunjung ke kawasan Danau Toba
adalah muslim dari berbagai negara dan daerah seperti Malaysia, Brunei
Darussalam, Arab Saudi, dan lain-lain”.

Penyatuan komitmen antar daerah di kawasan Danau Toba baik

pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat juga stakeholder dibutuhkan seorang

pemimpin yang mampu membuat sebuah terobosan dalam pengembangan

pariwisata. Seperti yang dikemukakan oleh tokoh masyarakat Kabupaten

Samosir yaitu Bapak Wilmar Elyascher Simanjorang pada tanggal 07 Februari

2019, bahwa:

“.....pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba harus ada satu


perencanaan untuk 7 kabupaten sehingga menghasilkan kebijakan
yang mempunyai nilai dan manfaat. Kebijakan yang harus ada di
Danau Toba ini harus dirancang dengan hati dan milik semua suku,
yang terkait dengan visi yang benar sehingga misi juga bisa dilakukan
dengan benar dan dalam penyusunannya harus mendengarkan
aspirasi semua pihak termasuk masyarakat sehingga penyatuan visi
dan misi dapat terealisasi dengan baik. Dengan demikian, kita juga
mudah untuk mempromosikan pariwisata Danau Toba ke seluruh
penjuru dunia dan akhirnya investor juga datang dengan sendirinya.
Pemerintah itu sebuah organisasi apabila organisasi yang bagus itu
memiliki administrasi dan manajemen yang bagus juga harus punya
pemimpin yang dapat mengambil keputusan yang baik untuk orang
banyak akan tetapi dalam pembangunan pariwisata di kawasan Danau
Toba ini belum mempunyai manajemen pariwisata yang bagus....”
320

Selanjutnya tim jurnalis pariwisata (Prayugo) juga menyampaikan banyak hal

yang tidak dapat menyatukan komitmen di kawasan Danau Toba yang

disampaikan pada FGD tanggal 12 Desember 2019, bahwa:

Kalau kami dari kacamata jurnalis juga banyak mengamati soal


perkembangan danau toba khususnya dari sisi tadi ya. Kak hajar ada
bilang soal koordinasi di 8 kabupaten kota dan dengan pemerintah
provinsi. Nah ini kami juga memandang dari sisi kritikan kami dimana
ini sangat kurang sekali sehingga dalam satuan misalnya saja dalam
hal event dalam hal pembuatan event, inikan pariwisata juga berkaitan
dengan event yang digelar di setiap kabupaten kota. Ini apa ya, antar
kabupaten kota saja tidak bisa berkoordinasi dengan baik, terkesannya
juga bertubrukan antar kabupaten yang satu dengan kabupaten yang
lain. Setelah itu dari sisi event juga banyak event yang konsepnya itu
kalau kami lihat sama sekali tidak mencerminkan danau toba yang
sebenarnya. kayak kemaren kawan kawan bisnispar berangkat ke
festival danau toba dan kami banyak melontarkan kritik terhadap acara
itu. Kalau kami mengangkat acara Festival Danau Toba yang digelar
kemarin ini sangat kurang persiapan sehingga wisatawannya juga
sedikit, miss dari target yang dicanangkan pemerintah sendiri (dari
pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat/prov). Jadi acapkali
di 8 kabupaten/kota setiap membuat event itu sosialisasinya kurang
baik. Sehingga wisatawan bagaimana mau tau, ada event nih di
kawasan danau toba, bagaimana bisa tau gitu sedangkan seperti kami
saja kawan-kawan jurnalis pemkab tidak pernah, sangat jarang ya
untuk menginformasikan kepada kami bahwasannya ada event nih
tempat kami, tolong dong bantu sosialisasikan. Untuk begitu saja kami
pikir sangat kurang gitu, hanya mungkin di lokal daerah lah gitu,
namun kan targetannya kan selain wisatawan lokal kan butuh
wisatawan mancanegara. Bagaimana mereka tau ketika cara ini tidak
terealisasikan dengan baik gitu. Banyak acara juga yang kami lihat
hanya sekedar jadi aja gitu eventnya, tidak terkonsep dengan
matanglah baik dari dinas pariwisata SUMUT ataupun dinas pariwisata
kabupaten/kotanya masing-masing.”

Selanjutnya, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir di kegiatan FGD pada

tanggal 12 Desember 2019, Bapak Ombang Simboro juga mengatakan:

“Pertama tahun 2014 saya jadi kadis pariwisata, saya menemukan


cerita memang saya harus dua tahun menyikapinya. Pertama di
kabupaten samosir dulu menyebutkan oleh masyarakat umum bahwa
urusan pariwisata itu hanya urusan orang hotel dan restaurant, itu dulu
anggapan masyarakat dan guide. Di tingkat internal pemerintah daerah
321

urusan pariwisata itu oleh para SKPD lain bilang hanya urusan dinas
pariwisata. Lalu di dinas pariwisata sendiri saya temukan mereka tidak
bisa membedakan antara mereka sebagai staf di dinas pariwisata dan
bila mereka menjadi staf badan penanggulangan bencana. Itu sama
saja, pointnya dia pegawai administrasi, dia ASN dan sebagainya
datang pagi pulang sore kerja mengetik selesai atau tidak, visi tidak
terbangun, seperti itu. 2 tahun kita meng grow up itu pertama dari
dalam saya katakan bahwa semua staf dinas pariwisata adalah
penyuara sapta pesona. Tapi kalau daalam diri kita pun tidak bisa
mempesona, bagaiman kita bisa cerita ke orang lain. Sama dengan
para ulama, dan pendeta, pastor, mereka penyuara kenabian. Tapi
dalam diri mereka tidak muncul tanda-tanda sikap dan suara kenabian
bagaimana orang bisa menjadi followers. Sehingga itu terbangun mulai
di mark up pelan-pelan kita grow up. Yang kedua pemerintah mulai
menyatukan pendapat semua SKPD dan itu bisa di jalankan, tapi saya
katakan intinya proses sekarang itu masih proses, belum selengkap
yang kita harapkan dukungannya. Saya katakan bahwa kita sekarang
mengidentifikasi dari ada 66 urusan tentang kepariwisataan
membangun pariwisata samosir, itu ada sekitar hanya 8 itu berada di
halaman dinas pariwisata. 48 itu berada di halaman dinas terkait.
Kebersihan, transportasi, dermaga, kuliner, dan lain sebagainya. Dan
untuk mereka sadar bahwa ini urusan kami. Jadi kalaupun ada teman-
teman dari parapat bialang samosir bla bla bla, karena memang
pergerakannya seperti itu. Itu yang kita menguji tentang kesikapan.
Naha yang kedua yang kita lakukan sekarang adalah masyarakat
samosir kita didik sekarang untuk menjadi tourism minded. Tidak
semua jadi pelaku pariwisata, tetapi semua harus berpikir tentang
pariwisata. Caranya ialah membridging antara masyarakat di kampung
membangun jembatan baru, berfikir masyarakat di kampung dengan
para pelaku pariwisata. Misalnya yang kita lakukan di sisi bahwa telur
ayam yang dipelihara orang tua yang digunung sana di punggung
pulau samosir, kita edukasi itu adalah telur ayam yang menjadi
breakfast, makanan pagi di hotel-hotel. Bahwa tomat dan buah-buah
yang ditanam di kebunmu ini, ini ada menjadi sayur mayur, buah-
buahan, juz di hotel-hotel. Kita kasi data kepada mereka bahwa setiap
hari di tuk-tuk ada 130 kilo ayam harus dibutuhkan untuk kebutuhan
breakfast untuk kawasan itu saja. Nah bagaiman masyarakat samosir,
orang-orang kampung memelihara ayam di gunung sana menjadi
suplier di sini. Tidak harus dari luar dan juga buah dan lain sebagainya.
Sehingga kita mendapat hasilnya sekarang orang-orang sekarang di
gunung sana mau ketika bertemu dengan bule atau wisatawan mereka
kira, oh ini yang makan telur ayam saya itu, sehingga mereka paling
tidak menyapa. Ada kaitan sama dia. selama ini seolah-olah tidak ada
kaitan. Sekarang kita dorong mereka sangat terkait dengan
pengunjung. Mangga samosir sekarang boleh dipastikan habis selesai
di samosir. Karena setiap musim mangga itu semua berjejer di pinggir
jalan berjualan semua habis ditempat tidak ada lagi kirimkan ke pulau
sumatera, ke parapat dll.
322

Pentingnya sebuah komitmen dalam membangun daerah dari semua

pihak menjadi modal utama dalam penyusunan perencanaan pembangunan

khususnya di sektor pariwisata. Maka, dalam perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba ini harus memiliki kebijakan, visi dan misi, arah

dan tindakan sebagai upaya pengembangan potensi wisata yang ada. Pariwisata

harus dapat direncanakan dengan baik agar mampu menghasilkan manfaat bagi

semua pihak yang terlibat langsung dalam perkembangan kawasan Danau Toba.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Bandara Sisingamangaraja

(Silangit) Bapak Jufri, A. H pada tanggal 06 Februari 2019, bahwa:

“......pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba ini sangat


membawa manfaat yang luar biasa bagi masyarakat sekitar kawasan,
seperti dengan adanya Bandara ini sehingga banyak membawa
peluang dan kesempatan bagi semua pihak....pelaku usaha yang ada
juga bisa memanfaatkan keberadaan pariwisata ini menjadi ajang
peningkatan income begitu juga masyarakat, hanya saja yang menjadi
kendala adalah belum optimalnya komunikasi masyarakat lokal
dengan pelaku usaha dan pemerintah, setidaknya karna yang saya tau
bahwa menyusun sebuah kebijakan itu ada rancangan perencanaan
terlebih dahulu, sedangkan dalam penyusunan perencanaan ini
dibutuhkan dukungan dari semua pihak sehingga tersusun
perencanaan yang benar. Pariwisata kawasan Danau Toba sudah
banyak memberi perubahan yang besar bagi kehidupan masyarakat
lokal, kalau saya melihat di aktivitas bandara ini telah mempermudah
wisatawan dan masyarakat untuk saling berinteraksi, apalagi saat ini
badan otorita danau toba membuat sebuah pusat informasi di bandara
sehingga mempermudah pengunjung ataupun masyarakat untuk
mendapatkan informasi dan data yang dibutuhkan. Kalau mau melihat
interaksi antara masyarakat dan pengunjung atau yang lainnya dapat
dilihat dari bandara, bagaiman agen travel memberikan informasi
tentang destinasi wisata atau pun pihak bandara yang bekerjasama
dengan badan otorita dalam mempromosikan daerah-daerah wisata di
kawasan Danau Toba.”

Beberapa penjelasan di atas, menggambarkan bahwa pengembangan

daerah di sektor pariwisata menjadi hal yang sangat penting di era ini, karena

sektor ini menjadi salah satu sektor unggulan yang dapat meningkatkan
323

perekonomian daerah dan nasional. Pariwisata merupakan multisektoral yang

tidak dapat maju dan berkembang dengan sendirinya tanpa dukungan dengan

sektor lain. Pariwisata dapat bersinergi secara positif dengan sektor lain dan

saling mendukung dan menguntungkan melalui kreativitas, dan inovasi

perencanaan, sehingga pariwisata dapat dikembangkan tanpa harus

memunculkan konflik.

Pariwisata menjadi sektor unggulan di Provinsi Sumatera Utara juga di 7

kabupaten yang berada di kawasan Danau Toba. Maka, sangat penting

dilakukan peningkatan pemahaman, pengetahuan, kesadaran seluruh pelaku

pariwisata (termasuk masyarakat) terhadap pengembangan pariwisata dan juga

peningkatan kemitraan antara institusi/lembaga. Kawasan Danau Toba ini

dikelilingi oleh 7 kabupaten yang mempunyai keunikan dan ciri khas sendiri

dalam mengembangkan pariwisata Danau Toba, maka dibutuhkan koordinasi

tingkat tinggi dalam penyatuan visi dan misi. Maka, harus adanya peningkatan

koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan antar daerah kabupaten di

kawasan Danau Toba, provinsi dengan daerah kabupaten di kawasan Danau

Toba melalui lembaga terkait dan termasuk para pengambil keputusan dalam

sektor pariwisata.

Perlu adanya perencanaan yang baik di sektor pariwisata karena sektor ini

adalah multisektoral pada kehidupan bermasyarakat, melalui pariwisata dapat

merubah pola pikir masyarakat baik berdampak positif maupun negatif. Maka,

dalam menyusun perencanaan pembangunan pariwisata harus ada komunikasi

dan interaksi yang baik di semua pihak sehingga dapat menyatukan komitmen,

visi dan misi sehingga tujuan dapat tercapai sesuai sasarannya. Salah satu

upaya yang harus dilakukan untuk menyatukan konsep dalam pembangunan


324

pariwisata di kawasan Danau Toba adalah dengan adanya perjanjian kerjasama

atau memorendum antara pemerintah daerah sekitar kawasan Danau Toba.

namun, sampai saat ini belum ada MoU yang menjadi acuan untuk membangun

interaksi kemitraan yang terencana.

Penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba ini sangat dipengaruhi oleh proses interaksi antara lembaga yang terlibat.

Karena salah satu alasan pentingnya menyusun rencana induk pembangunan

kepariwisataan adalah membangun kemitraan dan keterlibatan masyarakat serta

pemangku kepentingan pariwisata.

Membangun kerjasama dengan semua pihak pemangku kepentingan

pariwisata termasuk antar daerah kabupaten yang ada di kawasan Danau Toba

sangatlah penting untuk dilakukan sehingga dapat menyatukan visi dan misi

serta bersama-sama mewujudkan tujuan dalam pembangunan pariwisata.

Kerjasama ini juga merupakan interaksi yang dapat membuka akses data dan

segala informasi yang dapat mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba.

Maka, melalui perencanaan pembangunan pariwisata yang disusun oleh BOPDT

dapat menjadi pedoman bagi setiap daerah kabupaten untuk saling mendukung

dan berinteraksi dengan baik.

Pengembangan pariwisata Danau Toba sangat membutuhkan

perencanaan yang komprehensif dan profesional yang dapat

mengsinkronisasikan antar sektor, dan antar daerah. Maka, harus disusun

perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba secara

terstruktur, terpadu dan berkelanjutan. Perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba apabila dapat tersusun dengan optimal maka merupakan
325

hasil tindak lanjut dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang RIPPARNAS.

Pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba tidak dapat maju dan

berkembang, apabila tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak dan berbagai

sektor yang dapat bersinergi secara positif dengan kegiatan pariwisata. Terdapat

beberapa isu yang strategis dalam penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba ini yaitu tidak adanya interaksi yang baik antar

daerah kabupaten yang mengelilingi Danau Toba, karena besar keegoan daerah

di masing-masing pemerintahan daerah sehingga mengakibatkan ketidak

kompakan antar kepala daerah. Maka, dengan dibentuknya BOPDT dapat

menjadi katalisator dalam membangun interaksi yang baik antara kepala daerah

dalam membangun pariwisata Danau Toba.

Tidak hanya interaksi dengan pemerintah daerah yang harus dibangun

sebaik mungkin, tetapi dengan para pelaku usaha dan masyarakat juga sehingga

dapat memberikan data dan informasi yang konsisten dan benar sebagai bahan

untuk menyusun perencanaan yang terstruktur dan terpadu dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba. Semakin bagusnya interaksi dan hubungan

antar pemerintah daerah dengan pelaku usaha juga dengan masyarakat maka

dapat menarik investor untuk dapat memberikan dukungan dalam hal perbaikan

fasilitas sarana dan prasarana. Dengan demikian, tercipta MoU untuk

melaksanakan dan mendukung pembangunan pariwisata secara bersama

dengan melihat potensi destinasi wisata, potensi ekonomi, potensi sosial budaya

dan potensi lingkungan.

BOPDT telah membangun dan mengembangkan jejaring ke seluruh pihak

untuk ikut terlibat mendukung pembangunan pariwisata di Danau Toba termasuk


326

juga beberapa daerah di kawasan Dana Toba juga telah melaksanakan program

dan membuat kebijakan yang mengarah kepada pariwisata. Seperti halnya yang

dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Samosir yang telah mampu

mengembangkan pariwisata Danau Toba dalam bentuk program event yang

bertujuan untuk mempromosikan pariwisata Danau Toba. Selain itu juga telah

membuat sebuah kebijakan yang mendukung pengembangan potensi objek

wisata di Kabupaten Samosir sehingga dapat menjadi destinasi unggulan.

Program yang dilaksanakan oleh Kabupaten Samosir juga didukung oleh

berbagai pihak seperti tim jurnalis yang setiap saat ikut terlibat dalam

mempromosikan event pariwisata yang dirancang oleh Dinas Pariwisata

Kabupaten Samosir. Event-event ini juga menghasilkan kerjasama dengan

berbagai pihak sehingga potensi pariwisata di Kabupaten Samosir telah

mengalami peningkatan yang luar biasa dan mengakibatkan pertumbuhan

perekonomian masyarakat dan pendapatan daerah meningkat drastis yaitu 81%

di tahun 2018.

Kebijakan yang lain juga telah muali dirumuskan yaitu kerjasama dengan

berbagai pihak dalam menangani persoalan lingkungan hidup dan memberikan

fasilitas yang nyaman bagi para wisatawan. Salah satunya yang dirancang oleh

Kabupaten Samosir adalah bahwa disetiap objek wisata harus menyediakan

fasilitas yang nyaman bagi pengunjung/wisatawan seperti musholla, makanan

yang halal dan bersih.

Tidak hanya di Kabupaten Samosir, daerah kabupaten yang lain juga

sudah mulai memikirkan untuk melakukan tindakan yang sama sehingga dapat

menarik wisatawan untuk tinggal lebih lama di kawasan Danau Toba. Seperti

yang dilakukan oleh Kabupaten Tapanuli Utara, yaitu merancang kebijakan untuk
327

peternakan babi agar dapat menjaga lingkungan dan kenyamana wisatawan

dalam berwisata.

Terkait, penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata khususnya

kawasan Danau Toba ini membutuhkan banyak akses data dan informasi yang

benar serta konsisten sehingga dapat dengan cepat melaksanakan dan

menyiapkan penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata. Namun,

karena terkendala dengan banyak hal maka BOPDT harus lebih giat dalam

mengelola pariwisata Danau Toba.

Dengan demikian, proses interaksi antar lembaga yang terlibat dalam

perencanaan pembangunan pariwisata setelah dideskripsikan dapat di SWOT

kan sebagai berikut:

Tabel 5.11 Matrik SWOT Proses interaksi antar lembanga yang terlibat
dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

Internal Kekuatan (Strenghts): Kelemahan (Weakness):


1. Terbentuknya BOPDT 1. Belum optimalnya
sebagai pelaksana interaksi antara
pariwisata Danau lembaga dan pihak
Toba yang menjadi
2. Program-program pemangku kepentingan
yang telah pariwisata
dilaksanakan oleh 2. Belum adanya regulasi
beberapa daerah yang mengarah
dalam membangun kepada sistem
Eksternal jejaring kerjasama kerjasama
Peluang (Opportunity): Alternatif Strategi (SO): Alternatif Strategi (WO):
1. Potensi pariwisata Merancang program Merancang regulasi yang
Danau Toba pariwisata yang mengarah kepada
sebagai destinasi mengarah kepada pelaksanaan sistem
prioritas membangun komitmen kerjasama dalam
2. Adanya kemauan bersama pembangunan pariwisata
pemerintah daerah kawasan Danau Toba
untuk berinteraksi
dengan baik
328

Sambungan
Tabel 5.11 Matrik SWOT Proses interaksi antar lembanga yang terlibat
dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):


1. Belum tersusunnya Meningkatkan volume Merancang standarisasi
perencanaan merealisasikan sistem kerjasama
pembangunan perencanaan pariwisata dengan
pariwisata kawasan pembangunan pariwisata berbagai pihak
Danau Toba kawasan Danau Toba
2. Persaingan pariwisata
yang semakin
meningkat
Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):
3. Belum tersusunnya Meningkatkan volume Merancang standarisasi
perencanaan merealisasikan sistem kerjasama
pembangunan perencanaan pariwisata dengan
pariwisata kawasan pembangunan pariwisata berbagai pihak
Danau Toba kawasan Danau Toba
4. Persaingan pariwisata
yang semakin
meningkat
Sumber: Pengolahan Data Tahun 2019

5.4 Model perencanaan pembangunan pariwisata, yang meliputi:

fleksibelitas yang adaptif, antisipasi terhadap tuntutan masa depan,

dan responsive terhadap dinamika perkembangan pariwisata.

Pembangunan pariwisata pada kawasan Danau Toba bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan daerah, memperluas dan memeratakan kesempatan

berusaha dan lapangan kerja serta mendorong pembangunan daerah,

mengembangkan dan mendayagunakan destinasi wisata di daerah-daerah

kawasan Danau Toba. Pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba

dilaksanakan dengan pendekatan pemerataan ekonomi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal dan pembangunan yang berorientasi pada

pengembangan wilayah dan memberdayakan masyarakat yang mencakup

berbagai dimensi dan prinsip pariwisata yaitu attraction (daya tarik), amenity
329

(fasilitas), aksesibility (aksesibilitas/transportasi), dan ancilliary (pelayanan

tambahan).

Penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba bertujuan untuk menjadi acuan dan pedoman dalam pengembangan

pariwisata di daerah yang ada dalam kawasan Danau Toba. Terdapat beberapa

dokumen kebijakan dan perencanaan terkait Danau Toba yang harus

diintegrasikan untuk percepatan pembangunan pariwisata di kawasan Danau

Toba kemudian diintegrasikan dalam Integrated Tourism Master Plan For Lake

Toba, yaitu

Rencana Induk
dan Rencana
Detail KSPN
Danau Toba DSK

RTRW Nasional,
RTRW Provinsi
Rencana Struktur
Sumatera Utara,
Ruang (RTR)
RTRW Kabupaten Danau Toba DSK
Dokumen
sekitar Danau Kebijakan dan
Toba Perencanaan
Terkait Danau
Toba

Dokumen Master Plan dan


Kebijakan dan Development
Perencanaan Plan Lake Toba
lainnya DSK

Gambar 5.18 Dokumen Kebijakan dan Perencanaan Terkait Danau Toba


Sumber: BOPDT (Integrated Tourism Master Plan For Lake Toba), 2019

Dokumen-dokumen ini sangat penting untuk melaksanakan

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, namun dalam pelaksanaannya

harus disesuaikan dengan potensi-potensi wisata yang ada sehingga menjadi

daya tarik dan keunggulan masing-masing daerah. Dengan adanya dokumen-

dokumen tersebut maka, perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau


330

Toba dapat menggambarkan pengembangan potensi wisata yang dimiliki setiap

daerah dan memberikan arah kebijakan dalam membangun kepariwisataan serta

menajdi acuan dalam membangun kerjasama secara positif dengan para

stakeholder. Arah dan kedudukan dokumen kebijakan perencanaan terkait

kawasan Danau Toba dapat dilihat di tabel di bawah ini:

Tabel 5.12 Matriks Arah dan Kedudukan Kawasan Danau Toba dari
Berbagai Dokumen Kebijakan
Dokumen Kedudukan Peran
RTRW-Nasional PKW Sidikalang 1. Sebagai pusat kegiatan
industri dan jasa yang
melayani skala provinsi atau
beberapa kabupaten
2. Sebagai simpul kedua
kegiatan ekspor dan impor
yang mendukung PKN
3. Sebagai simpul transportasi
yang melayani skala provinsi
atau beberapa kabupaten
KSN dari sudut 1. Mempertahankan dan
kepentingan lingkungan meningkatkan keseimbangan
hidup ekosistem
2. Melestarikan
keanekaragaman hayati,
mempertahankan dan
meningkatkan fungsi
perlindungan kawasan
3. Melestarikan keunikan
bentang alam
4. Melestarikan warisan budaya
nasional
RTR KSN KSN dari sudut 1. Pelestarian kawasan Danau
kepentingan lingkungan Toba sebagai air kehidupan
hidup (aek natio) masyarakat,
ekosistem dan kawasan
kampung masyarakat adat
batak
2. Pengembangan kawasan
pariwisata berskala dunia
yang terintegrasi dengan
pengendalian kawasan budi
daya sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung
lingkungan hidup serta
adaptif terhadap bencana
alam
331

Dokumen Kedudukan Peran


MPDP Toba dan KSN dari sudut 1. Sumber air kehidupan
sekitarnya kepentingan lingkungan masyarakat
hidup 2. Pusat budaya Batak
3. Kawasan pariwisata berskala
dunia yang berkelanjutan
RIPPARNAS DPN Medan – Toba 1. Menjaga fungsi dan daya
sekitarnya dukung lingkungan hidup
KPPN Toba dan 2. Menjaga kelestarian dan
sekitarnya pemanfaatan aset budaya,
KSPN Toba dan termasuk di dalamnya aspek
sekitarnya sejarh dan kepurbakalaan
3. Memiliki sumber daya
pariwisata potensial untuk
menjadi daya tarik wisata
unggulan dan prioritas
Kawasan Danau Toba sebagai kawasan strategis nasional dan provinsi dari
sudut kepentingan lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi
Rencana Rinci KSPN Toba dan Destinasi pariwisata
dan Rencana sekitarnya terkemuka, berkelas dunia,
Detail KSPN berdaya saing, dalam
Toba dan lingkungan masyarakat yang
sekitarnya maju, mandiri dan sejahtera.
RTRW Provinsi PKW Promosi Tarutung 1. Melayani kegiatan skala
Sumatera Utara PKL Dolok Sanggul kabupaten/kota atau
PKL Pangururan beberapa kecamatan di
PKL Siborong-borong Provinsi Sumatera Utara
PKL Merek 2. Pusat pelayanan tersier
dikembangkan untuk
menciptakan satuan ruang
wilayah yang lebih efisien
sebagai sentra pelayanan
kegiatan
KSP dari sudut 1. Menjaga kelestarian
kepentingan lingkungan lingkungan dan
hidup, sosial budaya dan mengembalikan
ekonomi kesimbangan ekosistem,
dengan:
a. Mempertahankan luasan
dan meningkatkan
kualitas kawasan lindung
b. Mengembalikan
ekosistem kawasan
lindung
2. Mengembangkan sektor
ekonomi unggulan melalui
peningkatan daya saing dan
diversifikasi produk, dengan:
a. Mengembangkan
kawasan yang berpotensi
332

Dokumen Kedudukan Peran


memacu pertumbuhan
ekonomi kawasan dan
wilayah di sekitarnya
serta mendorong
pemerataan
perkembangan wilayah
Dokumen perencanaan yang ada memiliki lingkup wilayah perencanaan
yang berbeda karena orientasi perencanaan yang berbeda
RTRW- Kawasan Danau Toba -
Nasional dan sekitarnya (tidak
diidentifikasi secara
khusus)
RTR KSN Mencakup badan danau, Memiliki kekuatan hukum
daerah tangkapan air (Perpres No. 81 Tahun 2014
(DTA), cekungan air Tentang RTR Kawasan Danau
(mencakup 8 kabupaten) Toba)
MPDP Toba dan KSN dari sudut 1. Cakupan wilayahnya luas
sekitarnya kepentingan lingkungan (tidak terbatas pada
hidup kabupaten yang berbatas
langsung)
2. Berorientasi pada pelestarian
lingkungan hidup
RIPPARNAS Mencakup kabupaten 1. Belum memiliki kekuatan
yang berbatasan secara khusus
langsung dengan badan 2. Cakupannya pada
danau (mencakup 7 kabupaten yang memiliki
kabupaten) interaksi secara langsung
dengan danau
3. Berorientasi pada
pengembangan pariwisata

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Dinas Pariwisata

Kabupaten Tapanuli Utara pada tanggal 13 November 2018, Bapak Benny

Simanjuntak yang mengatakan bahwa:

“.....semakin pentingnya sektor pariwisata bagi kami masyarakat


kawasan Danau Toba pemerintah daerah harus lebih dapat
mengembangkan produk dan atraksi wisata yang unik sehingga
mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Namun,
tanpa adanya ketersediaan produk seperti potensi obkek/daya tarik
wisata, aksesibilitas, fasilitas pendukung lainnya seperti listrik, air,
sarana komunikasi, sumber daya manusia (SDM), kelembagaan dan
lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang sesuai dengan pasar maka
aktivitas dan pembangunan pariwisata tidak dapat berjalan secara
optimal. Maka, untuk mewujudkan semuanya itu harus dapat tersusun
perencanaan yang matang dan optimal dalam pembangunan
333

pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga melahirkan kebijakan


yang terarah dan terpadu.”

Selanjutnya hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Wilmar Elyascher

Simanjorang (tokoh masyarakat) Kabupaten Samosir pada tanggal 07 Februari

2019, bahwa:

“......seharusnya pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ini


sudah mempunyai rancangan perencanaan secara terpadu yang dapat
menyatukan komitmen dan penyatuan visi dan misi yang dapat
menampung tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang memahami
arti pariwisata untuk seluruh daerah kawasan Danau Toba, namun
belum ada sampai sekarang. Akhirnya, siapa yang mau dipersalahkan
apakah lembaga atau badan yang dikirim ke bumi Danau Toba (Badan
Otorita) ini......?? Hanya satu jawabannya bahwa Danau Toba
membutuhkan pemimpin yang tegas dan dapat memecahkan masalah
Danau Toba ini sampai ke akar-akarnya, tidak ada gunanya promosi
yang besar kalau belum ada pembenahan internal di dalam Danau
Toba terkait semua aspek maksudnya bagus hulu dan hilirnya”

Kemudian, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Bapak Ombang

Simboro pada kegiatan FGD pada tanggal 12 Desember 2019, mengatakan

bahwa:

“.......sistim pemerintahan yang horizontal antar kawasan danau toba.


Misalnya, dari dulu cerita danau toba, cerita sedihnya ialah danau
toba tak maju-maju karena satu alasan yaitu para bupatinya tak
kompak. 7 naga, naga semua tapi tak kompak tentang pariwisata,
tentang yang lain mungkin kompak. Saya bilang ini kalimat yang
menyesatkan. Bupatinya bukan tidak kompak, buktinya kalau untuk
urusan lain mereka kompak. kenapa di tourism tidak kompak? ialah
karena memang tidak semua bupati menempatkan bahwa pariwisata
itu menjadi sketor utama, sektor penting. Tidak semua bupati
menempatkan bahwa pariwisata itu menjadi sektor unggulan, ada
bahkan bupati sampai sekarang kita sudah cerita tentang satu juta,
baru KSPN. Pak jokowi sudah datang, dan sebagainya, bandara
selangit diklaim habis, masih banyak itu ada bupati cerita mana setip
hari bercertia menanam jagung. Ada sekarang wartawan bisa cari itu
investigasi. Ialah karena tidaks emua bupati sepakat menentukan
pariwisata menjadi sektor unggulan. Itu indikasinya bisa muncul.
Pertama mari kita lihat, kita sibak RPJMD nya. Dimana diletakkan
pariwisata di RPJMD. Supaya nanti dia mengalir di dokumen
perencanaan. Mulai dari RPJMD nya, mualai Rencana Kerja tahunan
nya dan sebagainya sampai ke Renstra. Jangan-jangan pariwisata itu
334

ditempatkan dia hanya ada di misi. Di misi itu pun misi digabung,
membangun pengembangan pariwisata berbasis lingkungan yang
ramah ini dan home industri misalnya ini. Yang kedua nampak
indikasinya bagaimana kelembagaan pemerintahannya. Apakah dinas
pariwisata sudah langsung dipatok berdiri sendiri, atau masih gabung
misalnya pariwisata, pemuda olah raga. Parpora namanya. Adalagi
lembaga digabung dia dengan kehutanan dan juga dengan
lingkungan hidup. Ada macam-macam. Disana nampak itu seberapa
pentingnya tourism ini, sektor ini ditempatkan. Yang ketiga, baru kita
lihat lagi pak. Kalau ini lebih mikro, apakah bupatinya memilih SDM
terbaik untuk di pariwisata. Jangan-jangan dia pariwisata tapi mind
setnya satpol pp, hanya menertibkan. Kita cerita apa barang ini,
bahasa inggris pun tak tau dia. oleh sebab itu muncullah BODT.
BODT dianggap itu menjadi katalisator bisa menjadi bridging antara
bupati meyakini, memvokasi dan mengaccurate para bupati,
tempatkanlah pariwisata menjadi sektor penting. Mereka harus
mendampingi sebenarnya. Maka aneh bagi saya kalau sekarang
BODT pun ngomong lagi yang sama, kurang kompak para bupatinya.
Nah ini kapan lagi berakhirnya jalan ini. Lalu kita mau lembaga lain
apa lagi yang mau didirikan lagi di danau toba. Kalau masih di situ
juga kita berputar. Jadi jawaban kalau saya dari akademis saya
katakan mengapa bupati di kawasan danau toba tidak kompak
tentang tourism, karena para bupati tidak satu pandangan tentang
tourism. Kalau mereka letakkan itu barang-barang berharga, pasti
mereka akan berpikir ke situ. Sama artinya dengan pemda, tidak bisa
membangun puskesmas, sekolah tidak ada uang karena mereka tidak
menganggap penting. Tapi membeli mobil mewah untuk dinas bisa.
Karena menganggap itu penting. Jadi pak pratiknu dulu di UGM
mengajarkan kami menentukan ada tidaknya duit pemerintah daerah
untuk membeli sesuatu tidak ditentukan berapa aliran kas, tapi
seberapa penting sesuatu itu dibeli atau tidak. Kalau itu penting pasti
ada uangnya. Kalau itu penting beli mobil dinas baru ada uangnya. Itu
ukurannya. Nah itulah yang terjadi di kawasan danau toba tentang
perencanaan yang pemerintahan bertingkat dan juga perencanaan
pariwisata dengan pemerintah yang horizontal.”

Berbicara perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

ini tidaklah seperti membalikkan telapak tangan, karena banyak hal yang harus

diluruskan sehingga tidak menimbulkan konflik antar daerah. Maka, pemerintah

pusat memunculkan sebuah lembaga yang bertujuan untuk melakukan

koordinasi dan konsolidasi terhadap pengembangan pariwisata di kawasan

Danau Toba yaitu Badan Pelaksana Otorita Danau Toba. Badan otoritas ini

dimunculkan bertujuan untuk menangani pengelolaan pariwisata kawasan danau


335

Toba agar lebih efektif dan efisien dalam soal pembiayaan program, karena

dapat mencegah terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan program yang

sejenis.

Sesuai dengan hasil wawancara dengan Direktur Badan Pelaksana

Otorita Danau Toba (BOPDT) yaitu Bapak Arie Prasetyo pada tanggal 19

November 2018, bahwa:

“....terdapat beberapa isu yang menjadi kendala dalam


mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba ini termasuk
masalah lingkungan dan komunikasi dengan daerah dan masyarakat
dan ini juga menjadi hambatan dalam penyusunan perencanaan
pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba. Penyusunan
perencanaan yang dilakukan untuk kawasan Danau Toba ini haruslah
bernuansa pariwisata karena yang mau dikembangkan adalah
pariwisata. Pengembangan pariwisata kawasan ini juga bukan hanya
tugas BOPDT saja tapi juga tugas pihak yang lain termasuk
pemerintah kabupaten sekitarnya juga masyarakat dan pihak yang
terlibat. Perencanaan yang disusun juga harus bersinergi dengan
berbagai stakeholder, kalangan akademisi, kalangan bisnis juga
pemerintah pusat hingga ke daerah dan media. Jadi, dalam
pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba ini semua pihak
harus saling bekerjasama dan saling mendukung melakukan
pembangunan yang hard infrastructure dan soft infrastructure dalam
membangun dan mengelola Danau Toba, dan akhirnya harus
mempersiapkan sumber daya manusia dan memberikan keamanan
bagi semua elemen masyarakat supaya bisa menarik investor
sehingga mendorong perbaikan fasilitas sarana maupun prasarana
kebutuhan pariwisata.”

Maka, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa informan,

dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembangunan pariwisata untuk kawasan

Danau Toba harus disusun dan dirumuskan yang disesuaikan dengan kondisi

alam dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Badan otorita yang

dibentuk melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 49 Tahun 2016,

adalah sebagai manajemen terpadu dalam upaya percepatan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba. Sedangkan pemerintah daerah dibentuk

berdasarkan Undang-undang.
336

Badan otorita sebagai pengelola pariwisata Danau Toba diharapkan

dapat menjamin pelaksanaan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba secara terpadu dan berkelanjutan. Badan otorita ini harus dapat

menyusun perencanaan pembangunan pariwisata secara optimal dan menjadi

motor penggerak penyusunan rencana strategis pengelolaan pariwisata kawasan

Danau Toba yang dimulai dari proses implementasi, monitoring dan evaluasi

program sedangkan pemerintah sebagai fasilitator yang memberikan dukungan

dalam penyediaan lahan, pembebasan lahan dan dukungan dana melalui APBD

maupun APBN. Dengan demikian, harus tercipta model perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba yang dapat menyatukan

komitmen, visi dan misi dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang telah

ditetapkan serta dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Tabel 5.13 Matrik SWOT Model Perencanaan Pembangunan


Pariwisata

Internal
Kekuatan (Strenghts): Kelemahan (Weakness):
1. Destinasi wisata yang 1. Belum tersusunnya
potensial dan prioritas master plan
2. Sarana dan perencanaan
prasarana yang pembangunan
sudah memadai pariwisata
termasuk akses jalan 2. Belum optimalnya
dan lainnya. interaksi dan
koordinasi antar
lembaga/daerah dalam
pembangunan
Eksternal pariwisata
Peluang (Opportunity): Alternatif Strategi (SO): Alternatif Strategi (WO):
1. Meningkatnya Meningkatkan fasilitas- Merancang regulasi yang
wisatawan ke fasilitas yang mendukung mengarah kepada
Danau Toba pengembangan pelaksanaan penyusunan
2. Menyusun pariwisata yang terpadu perencanaan
Perencanaan pembangunan pariwisata
pembangunan yang terpadu
pariwisata terpadu
337

Lanjutan Tabel 5.13 Matrik SWOT Model Perencanaan Pembangunan


Pariwisata

Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):


1. Semakin Meningkatkan Merancang standarisasi
meningkatnya kapasitas/kapabilitas perencanaan
kebutuhan pemerintah daerah di pembangunan
pengembangan sekitar daerah pariwisata yang terpadu
pariwisata yang
berdaya saing
2. Standarisasi
perencanaan
pembangunan
pariwisata yang
belum terealisasi
Tantangan (Treaths): Alternatif Strategi (ST): Alternatif Strategi (WT):
3. Semakin Meningkatkan Merancang standarisasi
meningkatnya kapasitas/kapabilitas perencanaan
kebutuhan pemerintah daerah di pembangunan
pengembangan sekitar daerah pariwisata yang terpadu
pariwisata yang
berdaya saing
4. Standarisasi
perencanaan
pembangunan
pariwisata yang
belum terealisasi
Sumber: Rangkuti, Pengolahan Data Tahun 2019

5.5 Model Empiris Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau

Toba

Perencanaan pengembangan potensi pariwisata di kawasan DanauToba

merupakan langkah awal dalam menindaklanjuti Undang-undang Nomor 10

Tahun 2009 tentang kepariwisataan dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun

2010 – 2025, untuk mengkaji berbagai dasar yang dapat berfungsi dalam

pengembangan potensi pariwisata daerah dengan memperhatikan seksama

kebijakan pemerintah pusat dan daerah, ketersediaan potensi dan peluang yang
338

ada. Dalam pengembangan potensi pariwisata perlu adanya kesiapan

infrastruktur pendukung serta kesiapan masyarakatnya.

Kebijakan pembangunan pariwisata yang telah diluncurkan oleh

pemerintah pusat sejak tahun 2011 harus segera ditindak lanjuti oleh pelaksana

dan pengelola pariwisata Danau Toba yaitu BOPDT. Tugas ini menjadi tugas

utama yang harus segera terealisasi dengan baik sehingga dapat menciptakan

kebijakan-kebijakan yang khusus pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba secara menyeluruh dan terpadu. Otorita yang disebutkan hanya sebagai

manajemen/pengelolaan sehingga bersifat sinkronisasi, provinsi berfungsi

sebagai pengawasan dan kabupaten berfungsi sebagai penyelenggara sehingga

sebenarnya di daerah harus lebih diperkuat dengan meningkatkan kapasitas dan

kapabilitasnya dalam pembangunan pariwisata namun dalam manajemen

terpadu yang dikordinasi oleh Badan Otorita sehingga dapat menghasilkan

program/kegiatan yang tersinkronisasikan antara satu daerah dengan daerah

lainnya.

Perencanaan yang disusun untuk pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba sangat ditunggu oleh banyak pihak termasuk 7 kabupaten yang ada

di kawasan ini. Harapan yang besar melalui perencanaan pembangunan

pariwisata yang disusun oleh BOPDT karena sebagai pedoman dalam

mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba secara bersama-sama.

Proses penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba yang dirancang oleh BOPDT, dilaksanakan dengan beberapa

tahapan yang mengarah kepada tuntutan di masa depan dengan melihat

dinamika perkembangan pariwisata yang disesuaikan dengan dimensi potensi

pariwisata, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi lingkungan.


339

Namun, perencanaan yang dalam proses perancangan ini belum dapat

terealisasi dengan baik karena masih mengalami hambatan dalam

penyusunannya.

Perencanaan pembangunan pariwisata yang disusun oleh BOPDT

membutuhkan arahan dari pihak-pihak luar pemerintah yang menjadi mitra dalam

pembangunan daerah. Maka, penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba sangat penting adanya interaksi dengan

stakeholders (pemerintah, masyarakat, pengusaha) yang berkaitan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, dan interaksi dengan akademisi

dan media yang berkaitan dengan upaya pengembangan pariwisata ke masa

depan.

Penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba juga harus melihat dinamika perkembangan potensi pariwisata yang ada di

masing-masing daerah Danau Toba. Potensi pariwisata ini dlihat juga potensi

ekonomi, potensi sosial budaya dan potensi lingkungan yang dapat mendukung

pencapaian tujuan pembangunan pariwisata. Dengan demikian, pihak-pihak

pemangku kepentingan pariwisata harus mampu menerima setiap perubahan

yang mengarah kepada pembangunan yang lebih baik.

Pembangunan pariwisata merupakan bagian integrasi dari pembangunan

daerah secara keseluruhan karena berwisata sudah menjadi kebutuhan

masyarakat secara umum. Maka, sasaran dalam pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba ini adalah meningkatkan aksesibiltas menuju daerah

tujuan wisata, mengembangkan potensi wisata di daeah kawasan Danau Toba,

mengembangkan kerjasama baik nasional maupun internasional sebagai upaya

mempromosikan dan mendukung program pariwisata melalui event-event serta


340

mengembangkan sistem informasi pariwisata yang dapat memberikan data yang

benar dan konsisten.

Upaya pencapaian sasaran pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba tersebut, harus ada arah kebijakan yang jelas dalam perencanaanya,

antara lain meningkatkan sarana dan prasarana sebagai upaya menunjang

kelancaran menuju daerah wisata, mendorong terciptanya masyarakat sadar

wisata, menyeragamkan standar pelayanan atau perizinan dalam pembangunan

pariwisata di kawasan Danau Toba. BOPDT dan beberapa daerah di kawasan

Danau Toba sudah mulai memproritaskan sasaran-sasaran utama dalam

pembangunan pariwisata walaupun perencanaannya belum tersusun dan

terealisasi.

Mewujudkan pencapaian sejuta wisatawan untuk pariwisata Danau Toba

menjadi PR bagi seluruh kepala daerah kawasan Danau Toba, maka salah satu

yang harus dilakukan adalah meningkatkan kajian dan pengembangan

pariwisata Danau Toba adalah dengan menyusun master plan pariwisata khusus

kawasan Danau Toba. Dengan adanya terciptanya masterplan tersebut maka

dapat mendorong daerah yang di kawasan Danau Toba lebih giat

mengembangkan objek wisata yang potensial dan menyusun strategi pemasaran

pariwisata sekaligus pembenahan akses dan fasilitas yang ada. Dengan

demikian, pariwisata kawasan Danau Toba dapat terkelola dengan baik.

Perencanaan pembangunan pariwisata yang disusun harus segera

direalisasikan ke semua daerah sehingga menghasilkan perencanaan

pembangunan pariwisata terpadu di kawasan Danau Toba. Dengan adanya

perencanaan pembangunan pariwisata terpadu yang dimunculkan dapat

menepis semua isu tentang ketidak harmonisan antar daerah di kawasan Danau
341

Toba dan dapat mendorong pengembangan potensi pariwisata ke depan lebih

baik lagi dengan memperkuat kapasitas atau kapabilitas daerah sekitar kawasan

Danau Toba.

Tabel 5.14 Matriks Hasil Penelitian dan Model Empiris yang Terbangun

No Rumusan Masalah Fokus Penelitian Hasil Penelitian


1 Bagaimanakah Perencanaan
perencanaan pengembangan
pembangunan potensi potensi pariwisata
pariwisata kawasan kawasan Danau Toba
Danau Toba? 1. Potensi destinasi 1. Kawasan Danau Toba memiliki
wisata, meliputi beraneka ragam sumber daya
attraction (daya alam, adat budaya, keindahan
tarik), amenitas alam, sejarah dan spritual
(fasilitas), masyarakat yang dapat
aksesibilitas dikembangkan menjadi potensi
(transportasi) dan destinasi wisata. Pengembangan
ancillary potensi pariwisata kawasan Danau
(kelembagaan) Toba dirancang untuk disusun
menjadi perencanaan
pengembangan destinasi wisata
yang meliputi arah dan kebijakan
serta prinsip-prinsip pembangunan
kepariwisataan. Perencanaan
destinasi wisata meliputi 4 A
(attraction, amenitas, aksesibilitas
dan ancillary) yang menjadi
kekuatan dan peluang dalam
mengembangkan pariwisata
kawasan Danau Toba. Potensi
destinasi wisata yang dimiliki
kawasan Danau Toba menjadi
keunikan dan karakteristik
tersendiri di setiap daerah kawasan
Danau Toba, karena memiliki
perbedaan yang dapat menjadi
keunggulan di daerah masing-
masing sebagai upaya percepatan
pembangunan pariwisata kawasan
Danau Toba.

2. Potensi Ekonomi 2. Selain 4 A yang menjadi pilar


meliputi penciptaan utama dalam perencanaan
peluang kerja dan pengembangan potensi pariwisata
peningkatan mutu tetapi juga harus dilihat keterkaitan
hidup masyarakat 4A tersebut dengan potensi
lokal ekonomi yang dimiliki oleh setiap
daerah yang ada di kawasan
Danau Toba. Pengembangan
potensi ekonomi telah membawa
perubahan bagi kehidupan
masyarakat lokal, namun apabila
dikaitkan dengan perencanaan
pengembangan pariwisata maka
masih ada yang harus dibenahi dan
direvitalisasi yaitu kemampuan
masyarakat untuk lebih giat
342

No Rumusan Masalah Fokus Penelitian Hasil Penelitian


mendukung program pariwisata
kawasan Danau Toba, karena
potensi pariwisata setiap daerah
mempunyai karakteristik dan ciri
khas tersendiri yang harus
dikembangkan. Karakteristik dan
ciri khas tersebut menjadi kearifan
lokal daerah yang berbeda dalam
mengembangkannya menjadi lebih
berkualitas dan lebih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat juga
pendapatan daerah.

3. Potensi sosial 3. Perencanaan pengembangan


budaya meliputi potensi sosial budaya di kawasan
sikap dan perilaku Danau Toba menjadi sangat
masyarakat penting, karena potensi ini adalah
terhadap nilai daya tarik yang menjadi ciri khas
budaya dan gaya dari Danau Toba sekaligus dapat
hidup mendukung pengembangan
potensi ekonomi di sektor
pariwisata. Budaya Danau Toba
memiliki keunikan tersendiri baik
dari sejarah, religi maupun spiritual.
Maka, potensi ini yang harus
segera dikembangkan dan penting
adanya perencanaan yang optimal.
Potensi sosial budaya menjadi
daya tarik wisata yang dapat
memperlihatkan aneka ragam
atraksi sehingga menjadi
keunggulan dalam program
pariwisata seperti Tarian sigale-
gale, batu parsidangan, Taman
Eden dan lain-lain. Namun, untuk
perencanaan pengembangan
potensi ini, peningkatan
kemampuan sumber daya manusia
dalam mengembangkan atraksi
sehingga wisatawan tidak merasa
bosan dan jenuh melalui perpaduan
antara atraksi dan kearifan lokal
yang lain.

4. Potensi lingkungan 4. Potensi lingkungan adalah program


meliputi eksternal penting dan utama yang harus
dan internal diberikan solusinya melalui
perencanaan pembangunan
pariwisata. Lingkungan di kawasan
Danau Toba merupakan potensi
yang sangat mendukung untuk
pengembangan pariwisata yang
unggul dan berdaya saing, namun
terdapat hambatan terbesar yang
harus segera diberikan solusi yaitu
pencemaran lingkungan di air
Danau Toba sehingga
mengakibatkan kualitas nya
berkurang dan kebersihan danau
juga tidak baik. Revitalisasi di
potensi lingkungan ini yang sangat
343

No Rumusan Masalah Fokus Penelitian Hasil Penelitian


diharapkan adanya kerjasama yang
optimal di seluruh pemangku
kepentingan, baik pemerintah,
swasta dan masyarakat. Maka,
sangat penting adanya regulasi
khusus terkait pelestarian
lingkungan kawasan Danau Toba,
sehingga dapat mendukung
percepatan pembangunan
pariwisata Danau Toba.
2 Bagaimanakah Standarisasi Perencanaan dalam pembangunan
standarisasi perencanaan pariwisata adalah untuk menciptakan
perencanaan pembangunan pariwisata yang mampu berdaya saing
pembangunan pariwisata kawasan baik nasional maupun internasional,
pariwisata kawasan Danau Toba yang apalagi kalau daerah pariwisata
Danau Toba? meliputi sinkronisasi tersebut telah menajdi unggulan dan
dan koordinasi prioritas. Dengan adanya perencanaan
dengan pihak-pihak yang baik maka dapat dikembangkan
yang terlibat dalam pariwisata dengan efektif dan efisien
proses penyusunan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang
perencanaan yang ingin dicapai. Perencanaan yang
mengarah kepada tersusun dan dijadikan kerangka kerja
nilai, manfaat, dan pedoman untuk melakukan
kebijakan dan tindakan di masa depan. Hambatan
program sehingga yang dihadapi dalam perencanaan
dapat mencapai pembangunan pariwisata kawasan
sasaran. Danau Toba adalah minimnya
sinkronisasi dan koordinasi yang
mengakibatkan minimnya kebajikan
yang mengarah kepada pembangunan
pariwisata kawasan Danau Toba
sehingga tidak ada standarisasi dalam
pengembangan pariwisata di kawasan
Danau Toba. Sinkronisasi dan
koordinasi yang baik dapat menciptakan
penyatuan visi dan misi dalam
pembangunan pariwisata sehingga
menghasilkan strategi pengembangan
pariwisata kawasan Danau Toba yang
terpadu dan terintegrasi,
3 Bagaimanakah proses Proses interaksi Sasaran dalam pembangunan
interaksi antara antara lembaga yang pariwisata itu meliputi terkelolanya
lembaga yang terlibat terlibat dalam seluruh potensi pariwisata secara
dalam perencanaan perencanaan profesional dengan melibatkan seluruh
pembangunan pembangunan pihak (pemerintah, masyarakat, dan
pariwisata kawasan pariwisata kawasan pelaku usaha) yang sejalan dengan
Danau Toba? Danau Toba yang kepentingan pengembangan pariwisata
meliputi adanya yaitu penataan ruang, peningkatan
pemahaman yang pendapatan asli daerah,
sama tentang visi, pengembangan seni dan budaya serta
misi fungsi dan tujuan, pelestarian lingkungan. Hal ini juga
adanya saling menjadi salah satu alasan untuk
komitmen dan menyusun rencana induk pembangunan
keterbukaan (akses pariwisata kawasan Danau Toba yaitu
data dan konsisten) membangun kemitraan dan keterlibatan
dan semua pihak masyarakat serta pemangku
telibat langsung kepentingan pariwisata. Membangun
(pemerintah, pelaku kerjasama antar pihak pemangku
usaha pariwisata dan kepentingan dan saling berinteraksi
masyarakat serta dengan baik dapat menghasilkan visi
344

No Rumusan Masalah Fokus Penelitian Hasil Penelitian


stakeholder) dan misi yang sama dalam membangun
dan mengembangkan pariwisata
kawasan Danau Toba. Lembaga yang
menjadi perpanjangan tangan
pemerintah pusat dan bertugas
mengkoordinir pelaksanaan pariwisata
kawasan Danau Toba adalah BOPDT
yang harus mampu membawa
perubahan pada pariwisata kawasan
Danau Toba. BOPDT juga harus dapat
membangun kemitraan yang baik pada
semua pemerintah daerah, masyarakat
dan pihak swasta untuk menyusun
perencanaan yang komprehensif,
terpadu, dan terintegrasi. Kemudian
dengan adanya perencanaan ini
mampu menghasilkan merancang
standarisasi dalam sistem kerjasama
pariwistas dan program pariwisata yang
mengarah komitmen bersama antar
daerah di kawasan Danau Toba.
4 Bagaimanakah model Menemukan model Penyusunan perencanaan
perencanaan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan
pembangunan pembangunan Danau Toba harus melihat dinamika
pariwisata kawasan pariwisata kawasan perkembangan potensi pariwisata di
Danau Toba? Danau Toba yang masing-masing daerah kawasan Danau
meliputi fleksibilitas Toba dan menjadi keunggulan
yang adaptif, daerahnya. Upaya yang dilakukan untuk
antisipasi terhadap pembangunan pariwisata adalah
tuntutan masa depan meningkatkan fasilitas-fasilitas yang
dan responsiv mendukung pengembangan pariwisata
terhadap dinamika yang terpadu, meningkatkan kapasitas
perkembangan dan kapabilitas pemerintah daerah
pariwisata. kawasan Danau Toba kemudian
merancang regulasi yang mengarah
kepada pengembangan dan potensi
pariwisata yang unggul dan berdaya
saing. Namun, perencanaan
pembangunan pariwisata kawasan
Danau Toba masih mengalami
hambatan dikarenakan oleh belum
optimalnya interaksi dan koordinasi
antar lembaga/antar daerah dalam
pembangunan pariwisata sehingga
pariwisata di kawasan Danau Toba
belum dapat terkelola dengan baik.
Sumber: Data diolah oleh Penulis (2019)
345

Perencanaan
1. Terbentuknya lembaga perencana kawasan Danau Toba yaitu Badan Otorita Pariwisata Danau Toba
2. Adanya kerangka kerja untuk pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba
3. Belum tersusunnya rencana strategis khusus kawasan Danau Toba

Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata Kawasan Danau Toba


1. Adanya potensi pariwisata yang memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri di setiap daerah tetapi dalam pengembangannya belum maksimal berdasarkan
arah dan kebijakan pengembangan pariwisata meliputi 4A
2. Adanya perubahan bagi kehidupan masyarakat lokal namun ada beberapa hal yang harus dibenahi yaitu kemampuan masyarakat dan pembentukan lembaga
pemasaran produk pariwisata
3. Mempunyai aneka ragam budaya dan adat istiadat yang menjadi keunggulan dan keunikan sebagai ciri khas daerah namun potensi ini perlu peningkatan
kemampuan sumber daya sehingga dapat menciptakan daya tarik tersendiri
4. Harus adanya regulasi khusus pengembangan potensi pariwisata (pemetaan atau pengelompokan potensi pariwisata)

Standarisasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba


1. Adanya kerangka kerja namun belum tersusun secara maksimal
2. Minimnya sinkronisasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan
3. Minimnya kebijakan yang mengarah kepada pembangunan pariwisata sehingga perencanaan yang terintegrasi tidak dapat terwujud

Proses Interaksi antar lembaga


1. Adanya lembaga perpanjangan tangan pemerintah pusat dan bertugas mengkoordinir pelaksanaan pariwisata kawasan Danau Toba yaitu BOPDT
2. Belum maksimal kerjasama antar pemangku kepentingan dalam mengembangkan pariwisata kawasan Danau Toba
3. Belum maksimal komitmen bersama antar pemangku kepentingan dalam merumuskan standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau
Toba

Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba


1. Belum optimalnya penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata yang sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan semua pihak
2. Belum tersusun secara maksimal standar perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba
Belum Tewujudnya Good 3. Belum maksimalnya sistem interaksi antara lembaga dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau
Tourism Governance Toba
4. Adanya potensi pariwisata yang dapat dikembangkan dan diunggulkan
5. Adanya lembaga yang dapat menyatukan komitmen dalam pengembangan pariwisata terpadu dan
terintegrasi yaitu BOPDT sebagai lembaga perencana

Gambar 5.19 Model Empiris Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba

345
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata Kawasan Danau Toba

Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015 –

2019 telah menjabarkan tentang program Nawa Cita yaitu: 1) menghadirkan

kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman

kepada seluruh warga negara; 2) membangun tata kelola pemerintahan yang

bersih, efektif, demokratis dan terpercaya; 3) membangun Indonesia dari

pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara

Kesatuan; 4) memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; 5)

meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; 6) meningkatkan produktivitas

rakyat dan daya saing di pasar internasional; 7) mewujudkan kemandirian

ekonomi dengan menggerakka sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8)

melakukan revolusi karakter bangsa; dan 9) memperteguh kebhinnekaan dan

memperkuat restorasi sosial Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari agenda

pembangunan nasional di atas maka, harus ada rencana pembangunan jangka

menengah daerah baik di tingkat provinsi dan kabupaten. Berdasarkan Undang-

undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan

Rencana Pembangunan Daerah. RPJMD Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 –

2018 sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang disusun sebagai satu

kesatuan yang utuh dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang

346
347

dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat

dan daerah.

Perencanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Seperti

halnya SPPN, maka perencanaan pembangunan daerah juga menghasilkan

dokumen-dokumen rencana. LAN (2007), namun dalam proses perencanaan

pembangunan daerah berpegang pada prinsip-prinsip sistem perencanaan

pembangunan daerah yaitu

1. Memperkuat kooperasi/kemitraan antara politikus, masyarakat, pakar dan

aparat pemerintah pusat/daerah dalam satu rangkaian proses politik, proses

teknokratik, proses partisipatif dan proses bottom up dan top down. Tradisi

perencanaan ini dikenal sebagai tradisi analisis kebijakan.

2. Merangkai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP),

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) – Rencana Strategis

Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD) dalam hubungan kesinambungan antar dimensi

materi, ruang dan waktu yang nyata.

3. Memastikan bahwa perencanaan pembangunan terpadu ini searah dengan

kebutuhan masyarakat dan prioritas politik; bahwa pelaksanaan rencana

pembangunan (daerah) tidak bisa dipisahkan dengan

kekuasaan/kewenangan kepemimpinan penyelenggaraannya yang lahir dari

proses politik. Dalam konteks rencana pembangunan jangka menengah,

proses politik masuk sebagai bagian awal proses perencanaan.


348

4. Mengembangkan kesatuan antara proses-proses perencanaan, pengelolaan

kinerja dan penganggaran; prinsip dasarnya adalah membiayai keluaran

bukan membiayai kegiatan atau proyek.

5. Memastikan pengembangan program-program, proyek-proyek, aktivitas-

aktivitas dan target-target untuk mencapai strategi (rencana) pembangunan

daerah; prinsip hubungan structural dan organic batang-cabang-ranting.

6. Memperkuat keterkaitan dan keterpaduan penyediaan pelayanan ke seluruh

wilayah berdasarkan pendekatan sektor, kewilayahan dan kelembagaan.

7. Memberdayakan dan membudayakan pelaporan pertanggungjawaban

kinerja dan keberhasilan secara jelas dan terukur, menuju obyektivitas dan

meninggalkan subyektivitas yang sejalan dengan meningkatkan kredibilitas

komunikasi perencanaan.

8. Memastikan bahwa rencana pembangunan jangka menengah mewujudkan

basis dari sistem pengelolaan kinerja organisasi dan individu; rencana

jangka menengah memuat rancangan yang nyata, bukan lagi indikatif.

9. Membangun komitmen pada para pengelola organisasi (khususnya non

pemerintah) dengan rasa turut memiliki strategi (rencana) pembangunan

daerah dan pelaksanaannya; sebagian besar sumber daya untuk

pembangunan berada pada masyarakat dan organisasi non pemerintah.

Komitmen terbangun dengan komunikasi perencanaan yang eksplisit.

10. Memperkenalkan struktur dan konsistensi tentang proses perencanaan

kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan daerah;

modal dasar untuk mengembangkan rasa memiliki dan pemantapan

komitmen bersama.
349

Merujuk pada penjelasan di atas, maka BOPDT sebagai pengelola

pariwisata Danau Toba sejak tahun 2016, telah menyusun beberapa dokumen

yang terkait dengan pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, yaitu

Integrated Tourism Master Plan For Lake Toba yang didukung oleh dokumen-

dokumen kebijakan dan perencanaan terkait Danau Toba (Rencana Induk dan

Rencana Detail KSPN Danau Toba dan sekitarnya, Rencana Struktur Ruang

Danau Toba dan sekitarnya, RTRW Nasional, RTRW Provinsi Sumatera Utara,

RTRW Kabupaten sekitar Danau Toba, Master Plan dan Development Plan Lake

Toba dan sekitarnya serta Dokumen kebijakan dan perencanaan lainnya).

Semua dokumen ini menjadi pendukung dalam penyusunan perencanaan

pembangunan pariwisata Kawasan Danau Toba yang sampai pertengahan 2019

masih dalam proses penyempurnaan, dan juga dokumen rencana strategis di

BOPDT juga belum tersusun karena masih mengacu pada dokumen rencana

strategis nasional yaitu Rencana Strategis Kementerian Pariwisata Tahun 2015 –

2019 yang dijelaskan di Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor

29 Tahun 2015.

Kumar (2001: 1 - 2), menjelaskan bahwa dalam penyusunan perecanaan

pembangunan harus mencakup rencana nasional yang mencakup negara,

daerah dan sub daerah. Rencana negara dan daerah harus berpedoman pada

prioritas tujuan rencana nasional tetapi bervariasi di tingkat yang berbeda dan

tetap menjaga konsistensi. Maka, terdapat beberapa dokumen perencanaan

yang harus saling sinkron dan terkoordinasi dengan baik dalam pelaksanaan

pembangunan daerah. Tindaklanjut dari dokumen RPJMN adalah dokumen

RPJMD Provinsi yang menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis

Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), yang menjabarkan RPJMD


350

menjadi kebijakan, program strategis dan operasional dalam rangka menangani

isu strategis dan peningkatan pelayanan publik untuk jangka waktu 5 (lima)

tahun. Selain itu juga memperhatikan dokumen perencanaan lainnya seperti

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik RTRW nasional, maupun RTRW

Provinsi.

Pasal 2 di Bab II UU tentang SPPN, menjelaskan bahwa dalam

menyusun perencanaan pembangunan nasional dilakukan secara sistematis,

terarah, terpadu, menyeluruh dan tanggap terhadap perubahan. Salah satu

sektor yang termasuk dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional adalah

pariwisata khususnya penciptaan 10 Bali Baru di Indonesia antara lain Danau

Toba. Perencanaan pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba juga

merupakan sebuah tindakan dalam melakukan sebuah perubahan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Faludi (1973), menjelaskan

bahwa perencanaan adalah sebuah tindakan cerdas dan rasional dalam

melakukan sebuah perubahan atau perkembangan masa depan sebuah wilayah

dengan melalui beberapa pemikiran yang telah melalui proses penyajian sampai

kepada menarik kesimpulan. Pernyataan Faludi juga didukung Williams yang

mengemukakan (Mason, 2003:66) bahwa perencanaan adalah sebuah proses:

untuk mengantisipasi dan memesan perubahan: yang memandang ke depan:

yang mencari solusi optimal: yang dirancang untuk meningkatkan dan secara

ideal memaksimalkan manfaat pengembangan yang mungkin dan: yang akan

menghasilkan hasil yang dapat diprediksi. Kemudian, Shahraki (2017) juga

menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah harus dapat

membandingkan situasi sebelum dan sesudah kinerja program yang dijalankan


351

sehingga dapat berkontribusi dalam pengembangan daerah yang berkelanjutan

di masa depan.

Pernyataan di atas dapat dipahami bahwa perencanaan pengembangan

potensi pariwisata merupakan proses tindakan dalam pengambilan keputusan

yang berasal dari beberapa pemikiran rasional yang bertujuan untuk

menyelesaikan isu-isu strategis dalam melakukan perubahan dan perkembangan

masa depan suatu wilayah/daerah serta menghasilkan hasil yang dapat

menciptakan penguatan terhadap potensi daerah. Salah satu isu strategis yang

dijabarkan dalam RPJMD Provinsi Sumatera Utara adalah mewujudkan Danau

Toba menjadi kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) sesuai yang

dijelaskan dalam RIPPARNAS Tahun 2010 – 2025. Kawasan Danau Toba

mempunyai pariwisata yang potensial untuk dikembangkan. Pariwisata di

kawasan ini memiliki banyak ragam kebudayaan dan destinasi wisata yang

mempunyai daya tarik tersendiri apabila dikembangkan. Perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba, harus meliputi tentang proses

pengembangan dan pengkoordinasian yang menyangkut masa depan suatu

destinasi pariwisata dan juga menggambarkan pilar-pilar yang ada dalam unsur

pariwisata yaitu daya tarik, fasilitas, akaes/transportasi dan fasilitas tambahan

yang berkaitan dengan pelayanan dan kelembagaan. Proses pengembangan

pariwisata juga harus dilihat dari potensi ekonomi, potensi sosial budaya dan

potensi lingkungan sehingga dapat menggambarkan secara keseluruhan

potensial yang dapat dikembangkan.

Berdasarkan dokumen RTRW Provinsi Sumatera Utara 2003 – 2018,

pada paragraf 4 bahwa kawasan tertentu adalah kawasan secara nasional

ditetapkan mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan, dan


352

dalam arahan pengembangan rencana tata ruang wilayah Sumatera yaitu

kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Pengembangan kawasan tertentu ini

ditujukan untuk: 1) mendukung terciptanya struktur ruang propinsi Sumatera

yang dituju; 2) meningkatkan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya

yang terpadu dan serasi; 3) menciptakan kawasan unggulan yang potensial

dikembangkan secara nasional utnuk mendorong pertumbuhan ekonomi propinsi

Sumatera Utara dan wilayah Sumatera bagian Utara; 4) membangun pusat

pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan wilayah di

sekitarnya; 5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan

ekonomi yang mantap terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai

prinsip ekonomi kerakyatan.

Menurut Kuncoro (2018: 75) bahwa kawasan memerlukan berbagai

penggunaan lahan pendukung, seperti perlindungan lahan pertanian, kota, ruang

industri, pusat transportasi dan infrastruktur, pangkalan militer dan padang gurun,

maka perencanaan daerah adalah ilmu tentang penempatan infrastruktur yang

efisien dan zonasi bagi pertumbuhan berkelanjutan suatu daerah. Dengan

demikian, perencanaan daerah seperti kawasan Danau Toba harus dapat

disusun dan dirumuskan dengan melihat berbagai aspek atau pendekatan yang

dapat menangani masalah-masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi yang

mungkin memerlukan fokus regional.

Pariwisata di Kawasan Danau Toba, merupakan daerah yang sangat

menjanjikan dalam pengembangan destinasi wisata ke depan karena didukung

oleh kondisi alam dan budaya yang dapat dijadikan daya tarik tersendiri, namun

banyak hal juga yang menjadi hambatan dalam perencanaan pengembangan

pariwisata di kawasan Danau Toba ini. Persoalan yang paling sering dihadapi
353

adalah ketidak mampuan masyarakat dalam memahami makna pariwisata

sebenarnya, yang akhirnya tidak mendapatkan keterlibatan masyarakat dalam

proses perencanaan. Sedangkan dalam proses perencanaan harus adanya

asprirasi dan kebutuhan apa yang diperlukan masyarakat dalam pengembangan

potensi pariwisata ke depan walaupun masyarakat ini diwakilkan oleh para tokoh

masyarakat.

Beberapa akses untuk mendukung perencanaan pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba ini telah berjalan dengan baik, yaitu

pembangunan bandara internasional di Kabupaten Tapanuli Utara sebagai akses

pintu masuk ke kawasan Danau Toba selain dari bandara Internasional

Kualanamu di Medan, pembangunan jalan tol yang akses dari medan ke

kawasan Danau Toba yang seharusnya makan waktu selama 6 jam akhirnya

dengan 2,5 – 3 jam sudah sampai di Parapat Kabupaten Simalungun dan

pelabuhan ferry dan penumpang yang langsung dikelola oleh pemerintah juga

sudah berjalan sesuai standar perhubungan internasional di Ajibata Kabupaten

Simalungun untuk menuju Ambarita Kabupaten Samosir.

Usulan lain terkait perencanaan pengembangan potensi pariwisata

kawasan Danau Toba adalah pengembangan bandara Sibisa yang berada di

Kecamatan Ajibata dan daerah ini sudah ada di lokasi Danau Toba sehingga

apabila ini dibangun maka akan dapat menghemat waktu wisatawan dalam

waktu penerbangan 35 menit dari Bandara Kuala Namu sudah bisa tiba di Danau

Toba. Alasan utama pembangunan Bandara Sibisa ini dikarenakan bahwa

pentingnya pembangunan Bandara di jantung wisata Danau Toba, apalagi di

Kecamatan Ajibata juga akan dibangun beberapa fasilitas yang dapat


354

mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba seperti hotel dan wisata

kuliner.

Pembangunan pariwisata berdasarkan PP No. 50 Tahun 2011 pada pasal

2 ayat (1), bahwa pembangunan kepariwisataan nasional meliputi: 1) destinasi

pariwisata; 2) pemasaran pariwisata; 3) industri pariwisata; dan 4) kelembagaan

pariwisata. Pengelompokan dalam pembangunan kepariwisataan dimaksudkan

dapat memudahkan untuk pencapaian tujuan yang telah diatur dalam pasal 2

ayat (6) yaitu: 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata; 2)

mengkomunikasikan destinasi pariwisata Indonesia dengan menggunakan media

pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggungjawab; 3) mewujudkan industri

pariwisata yang mampu menggerakkan perekonomian nasional; 4)

mengembangkan kelembagaan kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang

mampu mensinergikan pembangunan destinasi pariwisata, pemasaran

pariwisata dan industri pariwisata secara professional, efektif dan efisien.

Menurut Edgell, et.al (2008: 1-2), bahwa kebijakan dan perencanaan

pariwisata cenderung dipadukan dengan pemikiran dan perubahan yang

melibatkan isu-isu pariwisata sebagai faktor yang mempengaruhi baik institusi

internasional dan praktik politik mengenai kualitas ekonomi, sosial budaya dan

kebijakan lingkungan dan perencanaan yang bertujuan untuk meningkatkan daya

saing dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Memahami pernyataan

tersebut, kebijakan pembangunan kepariwisataan di Indonesia juga telah mampu

meningkatkan kinerja sektor pariwisata di tahun 2014 - 2015, yang dilihat dari 1)

kunjungan wisatawan nusantara dan kunjungan wisatawan mancanegara, 2)

perolehan devisa, dan 3) jumlah penyerapan tenaga kerja.


355

300

250

200

2014
150
2015
100 Jul-16

50

0
Wisatawan Wisatawan Nusantara Tenaga Kerja
Mancanegara

Grafik 6.1 Kunjungan Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Mancanegara


(Dalam Juta Orang)

Sumber: Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, 2016

PEROLEHAN DEVISA (dalam TRILIUN RUPIAH)


146
144
142
140
138
136
134
132
130
128
2014 2015

Grafik 6.2 Perolehan Devisa dari Sektor Pariwisata

Sumber: Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, 2016

Berdasarkan data di atas, bahwa pembangunan pariwisata memiliki

kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui

peningkatan perolehan devisa. Djafar (2015); Gugushuili et al (2017), bahwa


356

sektor pariwisata membawa manfaat yang besar bagi pembangunan ekonomi

Negara, yaitu dalam peningkatan perolehan devisa yang bersumber dari

pengeluaran wisatawan nusantara maupun mancanegara yang dianggap

sebagai penanaman modal dalam usaha pariwisata. Usaha pariwisata ini juga

terkait dalam pengurangan pengangguran sehingga tenaga kerja lokal dapat

diserap dan diberdayakan melalui usaha wisata.

Terkait dengan penjelasan di atas, maka secara prinsip pembangunan

pariwisata yang berkelanjutan mengacu pada aspek lingkungan, ekonomi dan

sosial budaya serta diketiga aspek ini harus saling berkesesuaian. Seperti yang

dikemukakan oleh Edgell, et.al (2008: 195), bahwa tiga elemen pembangunan

pariwisata yang berkelanjutan yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial budaya

sebagai berikut: 1) Memanfaatkan sumber daya lingkungan secara optimal yang

merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, memelihara proses

ekologis yang penting dan membantu melestarikan warisan alam dan

keanekaragaman hayati; 2) Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat

tuan rumah, melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai tradisional yang

dibangun dan hidup, dan berkontribusi terhadap pemahaman dan toleransi antar

budaya; 3) Memastikan operasi ekonomi jangka panjang yang layak,

memberikan manfaat sosial ekonomi bagi semua pemangku kepentingan yang

terdistribusi secara adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan peluang

memperoleh penghasilan serta layanan sosial bagi masyarakat setempat, dan

berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Menanggapi pendapat Edgell, et.al tersebut, Inskeep (1991) dan Gunn

(1993) mengemukakan bahwa perencanaan kawasan wisata yang baik dan

berhasil secara optimal harus didasarkan pada 4 (empat) aspek, yaitu:


357

1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan wisata

3. Menjamin kepuasan pengunjung

4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar

kawasan dan zona pengembangannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perencanaan

pengembangan potensi pariwisata harus dapat memperkenalkan konsep

perencanaan yang dapat mendukung pengembangan semua potensi yang ada.

Sebuah proses melakukan perencanaan pada objek wisata, diperlukan fokus

yang lebih menyeluruh pada aspek lain selain sumber daya (atraksi) yang ada di

daerah wisata sehingga pengembangan pariwisata juga dapat menggerakkan

roda perekonomian, berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan wisata melalui keterlibatan

secara langsung maupun tidak langsung.

Konsep perencanaan pariwisata yang dimaksud harus terkait koneksitas

antara objek yang satu dengan objek yang lain. Hal ini dimaksudkan dapat

menciptakan atau menghasilkan sinkronisasi antara dokumen yang satu dengan

yang lain seperti RIPPARNAS, RIPPARDA Provinsi dan kemudian RIPPARDA

Kabupaten atau semua dokumen yang terkait dengan perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Tob, .sehingga dengan adanya

sinkronisasi antara dokumen perencanaan pengembangan potensi pariwisata di

kawasan Danau Toba dapat mewujudkan perencanaan terpadu dan terintegrasi.

Kuncoro (2018: 75-76) juga menjelaskan bahwa konektivitas dalam perencanaan

terkait kepada empat hal, yaitu:


358

1. Perencanaan tata guna lahan yang mencakup tiga ciri utama, yaitu area

pekerjaan, area pemanfaatan, dan area hubungan masyarakat.

2. Perencanaan transportasi yang erat hubungannya dengan perencanaan

tata guna lahan, yang bertujuan untuk menentukan penempatan jalan

untuk kenderaan cepat dan revitalisasi pemindahan lokasi pendukung

sebagai bagian dari suatu strategi transportasi yang menyeluruh dan

dapat melayani kota besar dan bagian pinggiran kota.

3. Perencanaan sosial, yang meliputi pergerakan perubahan sebagai

rencana pembangunan kota, rekreasi publik dan kesehatan masyarakat

dalam menyelesaikan isu-isu strategis.

4. Perencanaan ekonomi, yang meliputi indikator dan karakteristik output

ekonomi dari suatu negara/daerah dan sumber daya yang diharapkan

dapat digunakan dalam produksi, konsumsi dan distribusi.

Berdasarkan konsep perencanaan yang dikemukakan oleh Kuncoro

tersebut, maka dalam perencanaan pengembangan potensi pariwisata di

kawasan Danau Toba harus meliputi 4 (empat) hal yang dapat mengkonektivitas

perencanaan. Salah satu konektivitasnya juga terkait dengan isu-isu strategis

yang ada dalam proses pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba

seperti pembebasan lahan untuk pengembangan infrastruktur pendukung

pariwisata, kesiapan masyarakat yang minim terhadap potensi pariwisata baik

dari segi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan yang ada. Namun, dalam

merumuskan perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba

bukan hanya terkait dengan perencanaan pengembangan potensi saja akan

tetapi permasalahan yang dihadapi adalah belum sinkronnya dokumen

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba yang


359

mengakibatkan terdapat kendala dalam sistem administrasi untuk pengambilan

keputusan.

Pariwisata Danau Toba adalah sebuah kawasan yang dikelilingi oleh 7

(tujuh) daerah/kabupaten, maka perlu adanya penyatuan komitmen yang

tertuang dalam satu dokumen yang dapat menyatukan dan merincikan segala

aspirasi dan kebutuhan daerahnya. Konsep perencanaan yang cocok dalam

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba ini sesuai dengan tujuan

yang diharapkan adalah perencanaan yang terdesentralisasi, seperti yang

dijelaskan oleh Kumar (2001) bahwa perencanaan yang mengasumsikan bahwa

kabupaten adalah sub negara/unit untuk pengambilan keputusan dalam sistem

perencanaan multi level. Perencanaan terdesentralisasi dapat lebih mengetahui

kebutuhan daerah setempat, membuat lebih baik informasi memungkinkan

pengambilan keputusan kepada orang-orang untuk siapa pembangunan yang

dimaksud dan berfungsi untuk mencapai yang lebih baik dan berkoordinasi dan

integrasi antara program yang memungkinkan kebutuhan yang dirasakan oleh

orang-orang yang akan diperhitungkan.

Perencanaan desentralisasi ini diharapkan dapat memberikan solusi

terkait permasalahan dan isu-isu yang ada dalam pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba, antara lain menimalisir ego sektoral. Melalui perencanaan

desentralisasi ini juga dapat menyesuaikan prioritas nasional dan daerah

sehingga dapat memberikan kontribusi pada pendapatan yang lebih baik dan

memungkinkan harmonisasi dan integrasi dari satu tingkat dengan tingkat yang

lain dan membangun keterkaitan antar dan intra sektor dan integrasi antar

daerah di kawasan Danau Toba. Dengan demikian, perencanaan desentralisasi

ini juga dapat mengembangkan potensi pariwisata kawasan Danau Toba


360

berdasarkan keunggulan dan keunikan daerah masing-masing sehingga dapat

menciptakan inovasi pariwisata sesuai dengan khas daerahnya dan dapat

menjadi penguatan daerah itu sendiri dalam membangun pariwisata Danau Toba

di daerahnya sesuai dengan kebijakan dan program pariwisata yang telah

ditentukan.

Proses perencanaan desentralisasi ini juga senada dengan tujuan yang

harus dicapai dalam sistem perencanaan pembangunan nasional yang

dituangkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 di pasal 2 ayat 4, yaitu:1) Mendukung

koordinasi antar pelaku pembangunan; Menjamin terciptanya integrasi,

sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi

pemerintah maupun antar pusat dan daerah; 3) Menjamin keterkaitan dan

konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan;

4) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; 5) Menjamin tercapainya penggunaan

sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka salah satu hal yang terpenting

dalam pengembangan potensi pariwisata di kawasan Danau Toba melalui

penyelenggaraan pemerintahan daerah (otonomi daerah) adalah

penyelenggaraannya harus dapat menjamin keserasian hubungan antar daerah

dan mampu membangun kerjasama antar daerah yang dikelola dengan baik dan

membuahkan hasil yang bermanfaat untuk pihak-pihak yang berada di dalamnya

yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama terutama

masyarakat.

Pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba, harus dilaksanakan

dengan kerjasama yang saling mendukung antara satu dengan yang lain. Maka,

sesuai dengan PP No. 46 Tahun 2016 ditugaskan BOPDT sebagai pengelola


361

dan melakukan koordinasi dengan daerah dalam penyelenggaraan pariwisata di

Danau Toba, dengan demikian bahwa kabupaten yang ada di kawasan Danau

Toba adalah sebagai penyelenggara utamanya yang dikoordinasi oleh BOPDT

dan diawasi oleh Pemerintah Provinsi sebagai pengawas, sehingga dapat terjalin

sinkronisasi yang optimal dalam pembangunan pariwisata di kawasan Danau

Toba. Dengan demikian, melalui konsep perencanaan terdesentralisasi, maka

dapat menyeimbangkan dan menyesuaikan semua karakteristik daerah di

kawasan Danau Toba sehingga dapat mengelompokkan keunggulan dan ciri

khas daerah masing-masing yang bertujuan untuk menjadi penguatan daerah di

sektor pariwisata.

6.1.1 Perencanaan potensi destinasi wisata, meliputi attraction (daya

tarik), amenity (fasilitas), aksesibility (aksesibilitas/transportasi),

ancillary (tambahan)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 pada pasal 9 ayat (2)

menjelaskan bahwa rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi diatur

dengan Peraturan Daerah Provinsi. Penjelasan ini menjadi tindak lanjut dalam

pelaksanaan kebijakan RIPPARNAS. Seperti yang dijelaskan juga dalam PP No.

50 Tahun 2011 pada pasal 4 ayat (2) bahwa RIPPARNAS sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan di ayat (3) bahwa RIPPARNAS dan

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota. Kebijakan pembangunan

kepariwisataan (RIPPARNAS) juga harus dapat ditindak lanjuti di daerah


362

destinasi wisata yang menjadi prioritas kunci pembangunan nasional.

Pelaksanaan kebijakan PP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS, perlu kerja

keras untuk pencapaian tujuannya. Apalagi pelaksanaannya terkait dengan

empat hal yang meliputi pembangunan kepariwisataan yaitu destinasi pariwisata,

industri pariwisata, pemasaran pariwisata dan kelembagaan pariwisata. Melalui

kebijakan ini, diharapkan pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan

manfaat kepada masyarakat sekitar destinasi wisata.

Pengembangan potensi destinasi wisata kawasan pariwisata Danau Toba

telah dilaksanakan sejak adanya Danau Toba. Namun, destinasi wisata yang ada

di kawasan Danau Toba ini belum tertata dan tidak terkelola. Danau Toba juga

dikenal sebagai sebuah kaldera yang disebut Geopark Kaldera Toba dan juga

menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan asing dan

wisatawan lokal. Sejak tahun 2019, Geopark Kaldera Toba juga sudah

mempunyai lisensi internasional menjadi UNESCO Global Geopark.

Danau Toba memiliki keindahan alam yang luar biasa dan menjadi daya

tarik tersendiri untuk pariwisata di Provinsi Sumatera Utara, tidak hanya alam

yang dapat dijadikan daya tarik wisata namun juga keunikan budaya dan adat

istiadat menjadi potensi wisata yang dapat diunggulkan. Pariwisata di kawasan

Danau Toba ini harus dikembangkan yang disesuaikan dengan perkembangan

masa depan.

Beragam daya tarik wisata yang dapat ditemukan di kawasan Danau

Toba namun, belum dapat dipotensi secara maksimal oleh setiap daerah.

Kabupaten Samosir membuat terobosan dengan membuat sebuah regulasi

untuk mengatur penetapan kriteria dan klasifikasi objek wisata yaitu Keputusan

Bupati Samosir Nomor 474 Tahun 2017 tentang Penetapan Kriteria dan
363

Klasifikasi Objek Wisata di Kabupaten Samosir. Di dalam kebijakan ini telah

ditentukan pengelompokan objek wisata yang terbagi dalam 3 (tiga) klasifikasi

yaitu objek wisata unggulan, objek wisata prioritas, dan objek wisata rintisan.

Maka, strategi pembangunan dalam pengembangan objek wisata berdasarkan

klasifikasi ini dilaksanakan dengan mempedomani Bagian Ketujuh dari Surat

keputusan Bupati Samosir Nomor 474 Tahun 2017 yaitu:

1. Objek Wisata Unggulan

a. Menuntaskan pembangunan fasilitas umum dan aksesibilitas

b. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat

c. Mempromosikan objek wisata di dalam dan luar negeri

d. Evaluasi implementasi sapta pesona

2. Objek Wisata Prioritas

a. Membangun fasilitas umum secara bertahap dan berkelanjutan

b. Meningkatkan partisipasi masyarakat

c. Meningkatkan peran kelompok sadar wisata

d. Meningkatkan SDM pelaku pariwisata

e. Mempromosikan objek wisata

3. Objek Wisata Rintisan

a. Membentuk kelompok sadar wisata

b. Melaksanakan penyuluhan

c. Membangun fasilitas umum

d. Sosialisasi sapta pesona

Kebijakan yang dibuat ini sebagai upaya pengembangan potensi

destinasi wisata yang ada di Kabupaten Samosir, dimana potensi pariwisata

tersebut perlu digali, dikembangkan, dikelola, dimanfaatkan dan dilindungi secara


364

berdaya guna, terpadu, terencana dan berkelanjutan. Sedangkan pembiayaan

penataan dan pengembangan objek wisata di Kabupaten Samosir bersumber

dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak ketiga serta sumber

pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Surat keputusan Bupati Samosir tersebut juga merupakan salah satu

tindak lanjut yang dilaksanakan pemerintah kabupaten Samosir terhadap

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan sebagai

upaya pencapaian tujuan pembangunan pariwisata yaitu untuk melakukan

perubahan di sektor pariwisata yang dilakukan secara sistematis, terencana,

terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan

perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat,

kelestarian dan mutu lingkungan serta kepentingan nasional.

Terkait pengembangan potensi pariwisata, terdapat beberapa komponen

yang sangat penting harus diperhatikan dalam pengembangan destinasi wisata

seperti yang dikemukakan oleh Sunaryo (2013: 25 – 31), yaitu

1. Atraksi dan Daya Tarik Wisata

Secara sederhana atraksi dan daya tarik wisata yang dibagi menjadi tiga jenis

tema daya tarik wisata sebagai berikut: daya tarik wisata alam, daya tarik

wisata budaya dan daya tarik wisata minat khusus (seperti: pengamatan

satwa tertentu, memancing, berbelanja, kesehatan dan penyegaran badan,

arung jeram, golf, wisata agro, dan lain-lain

2. Amenitas atau Akomodasi

Terkait berbagai jenis fasilitas dan kelengkapannya yang dapat digunakan

oleh wisatawan untuk beristirahat dan bersantai dengan nyaman serta


365

menginap selama melakukan kunjungan ke suatu destinasi seperti restoran,

hotel (berbintang maupun non berbintang), home stay.

3. Aksesibilitas dan transportasi

Segenap fasilitas dan moda angkutan yang memungkinkan dan memudahkan

serta membuat nyaman wisatawan untuk mengunjungi suatu destinasi,

meliputi kereta api, angkutan penyeberangan dan lain sebagainya.

4. Infrastruktur Pendukung

Keseluruhan jenis fasilitas umum yang berupa prasarana fisik seperti

komponen pendukung perhubungan seperti pelabuhan, bandara, stasiun

kereta api dan jaringan telekomunikasi serta beberapa fasilitas fisik yang lain

seperti jaringan listrik, air minum, toilet dan sebagainya.

5. Fasilitas Pendukung Wisata Lainnya

Fasilitas pendukung wisata lainnya adalah berbagai jenis fasilitas pendukung

kepariwisataan yang berfungsi memberikan kemudahan dan kenyamanan

bagi wisatawan selama melakukan kunjungan di suatu destinasi, seperti:

keamanan, rumah makan, biro perjalanan, toko cinderamata, pusat informasi

wisata, rambu wisata, fasilitas perbelanjaan, hiburan malam, fasilitas

perbankan, dan beberapa skema kebijakan khusus yang diadakan untuk

mendukung kenyamanan bagi wisatawan dalam kunjungannya di destinasi.

6. Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Pariwisata

Keseluruhan unsur organisasi atau institusi pengelola kepariwisataan dan

termasuk sumber daya manusia pendukungnya, yang terkait dengan

manajemen pengelolaan kepariwisataan di suatu destinasi baik dari unsur

pemerintah, swasta/industri dan masyarakat.


366

Maka, komponen yang dijelaskan di atas apabila dikaitkan dengan

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, tidak semua komponen

tersebut sudah ada dan berjalan secara efektif. Salah satu yang sudah memadai

adalah aksesibilitas dan transportasi menuju destinasi wisata, sehingga

wisatawan merasa nyaman. Namun, mayoritas wisatawan yang datang ke

seluruh destinasi wisata yang ada di kawasan Danau Toba adalah wisatawan

muslim baik yang dari lokal maupun mancanegara. Dengan demikian, pentingnya

fasilitas kenyamanan dan keamanan untuk para wisatawan tersebut sehingga

mereka mau tinggal lebih lama lagi di Danau Toba.

Salah satu yang fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh wisatawan adalah

rumah makan yang nyaman dan aman untuk di makan. Namun, di kawasan

Danau Toba ini belum bisa secara keseluruhan menyediakan rumah makan yang

nyaman dan aman untuk di makan khususnya bagi wisatawan yang muslim.

Tidak hanya persoalan makanan, penginapan atau hotel juga belum

menyediakan atau mempersiapkan standar hotel yang bisa membuat nyaman

bagi wisatawan dalam melakukan ibadah, seperti musholla atau arah kiblat di

setiap kamar hotel. Kalaupun ada, itu adalah hotel yang sudah bintang lima atau

empat di setiap destinasi wisata. Akan tetapi kalau penginapan atau homestay

belum bisa menyiapkan suasana yang nyaman dan aman tersebut.

Maka, sangat lah penting sebuah regulasi yang dapat menjadi pedoman

atau acuan bagi masyarakat dan pelaku usaha, untuk lebih memperhatikan

fasilitas yang ada sebagai dukungan untuk pengembangan potensi pariwisata

kawasan Danau Toba ke depan. Adanya rasa nyaman dan aman juga dapat

meningkatkan aktivitas dan kegiatan pariwisata dalam mempromosikan dan

menjaring mitra dengan pihak yang lain. Selain itu juga dibutuhkan regulasi
367

dalam membuat standar produk yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga

mampu untuk berdaya saing baik di tingkat nasional maupun internasional.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun

2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya,

bahwa mewujudkan Danau Toba menjadi kawasan strategis pariwisata nasional,

maka harus ada strategi pengembangan dan rehabilitasi kawasan pariwisata

berkelas (high-end) dan kawasan pariwisata massal yang berdaya tarik

internasional, nasional dan regional yang adaptif terhadap bencana

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf d meliputi:

1. Mengembangkan dan merevitalisasi kawasan peruntukan pariwisata

berbasis daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik

wisata buatan manusia.

2. Menata kembali kawasan peruntukan pariwisata yang berada pada

daerah Sempadan Danau, di ketinggian perbukitan dan di daerah

kemiringan lereng lebih besar dari 40%.

3. Mengembangkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas prasarana

pariwisata (akomodasi, perbankan, jasa biro perjalanan dan pendidikan

pariwisata) untuk kawasan peruntukan pariwisata berkelas tinggi (high-

end) dan pariwisata massal yang berbasis budaya dan panorama danau

serta adaptif terhadap bencana.

4. Mengembangkan akses jaringan transportasi (jalan, penyeberangan, laut

dan udara) yang handal, ramah lingkungan dan adaptif terhadap bencana

ke/dari pusat kegiatan nasional, dan/atau ke/dari pintu keluar

internasional, regional, nasional dan antar kawasan peruntukan

pariwisata.
368

5. Mengembangkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas prasarana

umum yang mendukung kawasan peruntukan pariwisata (sistem

penyediaan air minum, pengolahan air limbah, persampahan, drainase

dan RTH yang handal)

6. Memantapkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas sistem jaringan

telekomunikasi (jaringan terestrial dan jaringan satelit) dan jaringan energi

listrik (tenaga air, angin, panas bumi dan mikro hidro).

Pariwisata mempunyai potensi yang besar dalam peningkatan kualitas

hubungan antar ,manusia dan antar bangsa sehingga terjalin hubungan yang

saling pengertian, saling menghargai, persahabatan dan perdamaian dan sesuai

dengan yang telah diatur dalam prinsip-prinsip kepariwisataan. Teguh (2015: 1),

mengemukakan bahwa pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk mengelola

sumber daya dan menciptakan nilai tumbuh secara arif, terintegrasi, holistik,

sistemik agar meningkatkan kualitas pengalaman keberlangsungan nilai dan

manfaat bagi masyarakat lokal.

Pengembangan potensi destinasi wisata yang dapat dikembangkan

sangat berkaitan dengan daya tarik wisata, seperti yang diungkapkan oleh Yoeti

(2016) bahwa pembangunan kepariwisataan pada hakekatnya merupakan upaya

untuk mengembangkan obyek dan daya tarik wisata. Kemudian, Suwantoro

(2004) menjelaskan bahwa pembangunan objek wisata yang diunggulkan harus

ada unsur pokok yang perlu mendapatkan perhatian untuk menunjang

pembangunan pariwisata di destinasi wisata yang berkaitan dengan

perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya yang meliputi

lima unsur dan salah satunya adalah objek dan daya tarik wisata. Berdasarkan
369

penjelasan tersebut, pengembangan potensi destinasi wisata di kawasan Danau

Toba harus dapat mengembangkan objek dan daya tarik wisatanya terkait 4A

sehingga menciptakan wisata unggulan.

Pentingnya perencanaan pengembangan destinasi wisata yang meliputi

4A sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisatan ke daerah wisata.

Perencanaan yang dirumuskan harus dapat menjadi sumber penguatan dalam

menciptakan objek-objek wisata unggulan sehingga menjadi destinasi prioritas

yaang akan dikunjungi oleh wisatawan. Dengan demikian, pengembangan

potensi destinasi wisata adalah upaya penguatan objek-objek wisata yang dapat

menjadi keunggulan daerah dalam memperkenalkan pariwisata ke setiap daerah

baik nasional maupun internasional.

6.1.2 Perencanaan potensi ekonomi meliputi penciptaan peluang kerja

dan peningkatan mutu hidup masyarakat lokal

Pembangunan pariwisata akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat apabila dilaksanakan dengan

perencanaan yang optimal. Namun, apabila pembangunan pariwisata tidak

melalui perencanaan yang baik maka akan berdampak negatif bagi kehidupan

masyarakat di sekitar daerah pariwisata.

Sesuai dengan hasil laporan capaian kinerja pemerintahan Jokowi dan JK

(2016) bahwa tahun ini adalah percepatan pembangunan nasional, dimana salah

satu topik yang khusus dikemukakan adalah sektor pariwisata (menciptakan 10

Bali baru, kinerja pariwisata nasional, dan mengangkat pasar yang lebih luas).

Antariksa (2016:35) terdapat beberapa alasan yang mendorong pemerintah

untuk membangun kepariwisataan yaitu:


370

1. Berbagai motivasi tersebut dapat menjadi peluang bagi negara untuk

membangun perekonomiannya melalui suatu pola kebijakan yang

terintegrasi.

2. Peluang tersebut mengandung pengertian terbukanya lapangan

pekerjaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi

pariwisata, meningkatkan nilai/citra suatu wilayah geografis, termasuk

yang miskin sumber daya ekonomi, dan mendorong revitalisasi suatu

wilayah geografis yang telah kehilangan daya tariknya.

3. Bagi negara berkembang, industri pariwisata dapat dikatakan merupakan

media pembangunan ekonomi yang tidak memerlukan investasi terlalu

besar dalam jangka panjang sebelum dapat memberikan keuntungan.

4. Dalam melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana pendukung, jika

hal tersebut bergantung kepada teknologi dari Negara lain, maka devisa

untuk pembangunan akan tersedot ke luar negeri karena keharusan

mengimpor barang, namun sektor pariwisata dapat mengurangi

ketergantungan impor karena barang-barang dapat diperoleh atau

disediakan oleh destinasi pariwisata yang berkaitan dengan kerajinan

tangan, dan lain-lain.

5. The United Nations World Tourism Organization (UNWTO), sektor

pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian dunia

antara lain sebagai berikut: jumlah kunjungan wisatawan internasional

adalah 1,035 milyar kali, nilai ekspor mencapai US $1,3 triliun, pencipta 1

dari 11 lapangan pekerjaan (selama tahun 2012), dan pada tahun 2030

jumlah perjalanan internasional diduga akan mencapai 1,8 milyar kali.

Pada tahun 2020 saja diperkirakan bahwa akan terjadi peningkatan


371

jumlah perjalanan jarak jauh (long-haul) dari 18 % menjadi 24 %. (World

Tourism Organization. Tourism Vision 2020: Europe)

6. Berkaitan langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan, sektor

pariwisata dianggap memiliki peran yang sangat penting. Industri

pariwisata dapat mengurangi tingkat kemiskinan karena karakteristiknya

yang khas sebagai berikut:

a. Konsumennya dating ke tempat tujuan sehingga membuka peluang

bagi penduduk lokal untuk memasarkan berbagai komoditi dan

pelayanan.

b. Membuka peluang bagi upaya diverifikasi ekonomi lokal yang dapat

menyentuh kawasan-kawasan marginal.

c. Membuka peluang bagi usaha-usaha ekonomi padat karya berskala

kecil dan menengah yang terjangkau oleh kaum miskin.

d. Tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung

pada modal budaya (cultural capital) dan modal alam (natural capital)

yang seringkali merupakan asset yang dimiliki oleh kaum miskin.

(Tjokrowinoto, 2005: 53)

Upaya pengembangan pariwisata dari segi potensi ekonomi dengan

meningkatkan keragaman dan daya saing produk masyarakat lokal dan

memfasilitasi dan membina usaha pariwisata masyarakat melalui program

pemasaran pariwisata. Pengembangan pariwisata juga membuka peluang

terbukanya lapangan pekerjaan dan dapat membangun perekonomian daerah

dan masyarakat lokal kawasan pariwisata seperti di Danau Toba.


372

Berbagai potensi ekonomi yang dapat dikembangkan di kawasan Danau

Toba, antara lain peningkatan kualitas kerajinan tangan masyarakat lokal seperti

pembuatan patung, soevenir dan-lain-lain. Kerajinan tenun ulos yang membawa

ciri khas daerah Danau Toba yang sebagian daerah telah melakukan pembinaan

terhadap penenun ulos. Dari sektor pertanian juga dapat mendukung potensi

ekonomi yang dijadikan sebagai agro wisata, terdapat beberapa hasil pertanian

menjadi makanan khas dari daerah Danau Toba, yaitu kacang. Di Daerah

Samosir terkenal dengan nama kacang rodam dan di Tapanuli Utara dan

sekitarnya dikenal dengan kacang sihobuk.

Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan di daerah kawasan Danau

Toba, dalam meningkatkan pendapatan daerah dan perekonomian masyarakat.

Sejak tahun 2016, sektor pariwisata di kawasan Danau Toba memberikan

kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah. Daerah

yang hampir 100% pendapatan asli daerah nya berasal dari sektor pariwisata

yaitu Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Tapanuli

Utara.

Perkembangan ekonomi di kawasan Danau Toba pada sektor pariwisata

dapat berdampak pada industri dan bisnis pariwisata. Seperti yang dikemukakan

Nugroho (2018: 184 -186) bahwa sektor pariwisata dapat menjadi penggerak

ekonomi yang mendorong globalisasi termasuk pergeseran pola produksi dan

konsumsi di seluruh dunia yang menantang asumsi ekonomi tradisional

perdagangan dan pasar dunia serta juga penggerak bisnis yang berkaitan

penciptaan masyarakat global berarti bisnis pariwisata memiliki kemampuan

untuk beroperasi secara global dan banyak yang memilih strategi kompetitif

internasionalisasi. Senada apa yang dikemukakan oleh Nugroho, Edgell. et.al


373

(2008: 2) mengatakan bahwa pariwisata juga dianggap sebagai industri yangi

mencakup pembelian, penjualan dan pengelolaan layanan dan produk (untuk

wisatawan) yang mungkin berkisar dari menginap di hotel hingga menjual suvenir

aatau mengelola maskapai penerbangan. Untuk mencapai kegiatan yang

kompleks ini, industri menuntut sumber daya manusia (manajer) yang paling

kreatif dan inovatif karena pariwisata merupakan salah satu produk yang paling

labil).

Merujuk pada pandangan Nugroho dan Edgell, et.al tersebut, maka

potensi ekonomi dalam sektor pariwisata sangat identik dengan kegiatan industri,

dan sangat membutuhkan peningkatan sumber daya manusia termasuk

masyarakat lokal sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan

mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional. Pengembangan potensi

ekonomi di kawasan pariwisata Danau Toba sangat diharapkan dapat

memperkuat perekonomian masyarakat lokal yang mampu berdaya saing di

tingkat nasional dan internasional. Hong (2008) bahwa daya saing di sektor

pariwisata sangat dibutuhkan dan diukur melalui kemampuan kompetitif yang

bertujuan untuk mendapatkan hasil optimal dan pengembangan masa akan

datang.

Sebagai upaya tindak lanjut dalam pengembangan potensi ekonomi di

sektor pariwisata, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara

memprioritaskan potensi pariwisata harus dibina dan dikembangkan

sebagaimana ditetapkan dalam pola dasar pembangunan Kabupaten Tapanuli

Utara di dala RIPPARDA Tahun 2015, yaitu:

1. Mendayagunakan pariwisata sebagai salah satu potensi ekonomi daerah


374

2. Mengembangkan pariwisata melalui penataan objek wisata baik wisata alam

buatan maupun wisata budaya dengan memperhatikan pelestarian

lingkungan hidup

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan rasa cinta alam dan lingkungan

hidup yang lebih kuat agar tersirat nilai karakter daerah agamais, historis dan

patriotis.

4. Memanfaatkan kawasan pariwisata terpadu dalam meningkatkan

pendapatan masyarakat sekitarnya

5. Meningkatkan publikasi dan pelayanan kepariwisataan baik kepada

wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara dengan tetap

memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, historis dan patriotis.

Potensi ekonomi pada pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba dapat

didukung dengan adanya dana untuk pengembangan komunitas pelaku usaha

masyarakat lokal dan terciptanya lapangan pekerjaan sehingga meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi wisata Danau

Toba.

Pengembangan potensi ekonomi pada sektor pariwisata tidak hanya

berkaitan dengan dana, namun harus dibarengi dengan kemampuan sumber

daya manusia dalam mengelola pariwisata menjadi potensi ekonomi yang dapat

dikembangkan. Salah satu program yang dilaksanakan oleh BOPDT yaitu

melaksanakan pengembangan potensi ekonomi dengan mengembangkan

pariwisata agro wisata (pembudidayaan bawang merah) yang bekerjasama

dengan Bank Indonesia sehingga para petani mendapatkan pelatihan dan

pembiayaan terkait pembudidayaan bawang merah. Pengembangan potensi


375

ekonomi juga membutuhkan berbagai lembaga mitra untuk mewujudkan tujuan

pembangunan pariwisata ke depan, dengan adanya komitmen untuk

mempekerjakan masyarakat lokal dan memberikan upah sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Sunaryo (2013: 154) mengatakan bahwa pembangunan pariwisata di

bidang ekonomi terkadang hanya berfokus pada peningkatan produksi dan

pendapatan tetapi jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek, karena

dalam pelaksanaannya sering dijumpai banyak dampak negatif yang berupa

martabat manusia telah merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai

tujuan ekonomi. Kemudian, Chindris-Vasioiu dan Tocan (2015) juga

menegaskkan bahwa selain peningkatan nilai sumber daya alam, pariwisata juga

berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi local serta mempunyai peran

penting lain dalam perekonomian nasional yaitu menghasilkan lapangan kerja

dan membantu mengurangi pengangguran. Kontribusi pariwisata di sektor sosial

manusia sama pentingnya dengan dalam hal ekonomi.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka pengembangan potensi ekonomi

di sektor pariwisata juga harus sinergi dengan potensi yang lain, karena dalam

perkembangan potensi ekonomi tidak dapat menjamin terwujudnya perbaikan

ekonomi secara merata. Secara keseluruhan dalam pengembangan potensi ini

juga terkait persepsi pasar dan pelaku industri pariwisata terhadap konstruksi

destinasi pariwisata meliputi pemasaran produk wisata.

Pembangunan pariwisata yang dapat direncanakan dengan baik maka

akan berdampak positif dan memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi

masyarakat dan daerah. Dampak positif dari potensi ekonomi yang ada pada

sektor pariwisata juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan


376

pendapatan daerah. Seperti yang diungkapkan oleh Pratt (2015) melalui hasil

penelitiannya yaitu industri pariwisata di Cina telah meningkat secara dramatis

dalam beberapa tahun terakhir. Karena efek pengganda yang besar, ekonomi

provinsi yang lebih berkembang secara ekonomi akan mengalami manfaat

ekonomi yang lebih besar sebagai hasil dari peningkatan pariwisata yang lebih

jauh. Namun, beberapa provinsi pedalaman juga siap untuk mengambil manfaat

dari peningkatan pariwisata. Peningkatan kedatangan pengunjung di provinsi-

provinsi ini memiliki potensi untuk menguntungkan baik sektor pariwisata maupun

sektor-sektor yang menuntut dan menyediakan layanan untuk industri-industri ini.

Ini adalah sumber pembangunan ekonomi yang menarik di provinsi-provinsi yang

kurang berkembang.

Pernyataan Pratt ini, apabila dikaitkan dengan hasil penelitian maka dapat

disimpulkan bahwa kegiatan pariwisata yang dimanajemen dengan baik dan

terencana dengan baik, akan memberikan manfaat yang positif terhadap

perekonomian daerah seperti penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan

pendapatan daerah. Potensi ekonomi yang ada pada sektor pariwisata harus

dapat menimalisirkan angka pengangguran daerah wisata, maka perlu adanya

terobosan atau inovasi baru yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas

produk-produk usaha pariwisata. Namun, tidak hanya produk usaha pariwisata

yang perlu ditingkatkan akan tetapi kemampuan dan kesiapan masyarakat dalam

menciptakan kreatifitas produk yang mempunyai nilai-nilai ekonomi dan inovatif

juga harus diperkuat. Dengan demikian, perencanaan pengembangan potensi

ekonomi adalah upaya penguatan sumber daya manusia dan sumber daya alam

yang menjadi keunggulan dan khas dari daerah pariwisata dan mempunyai nilai-
377

nilai ekonomi dan inovatif serta mampu berdaya saing di tingkat nasional dan

internasional.

6.1.3 Perencanaan potensi sosial budaya meliputi sikap dan perilaku

masyarakat terhadap nilai budaya dan gaya hidup

Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan dalam pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba melalui potensi sosial budaya yang dimiliki

setiap daerah adalah melestarikan adat dan tradisi serta budaya dengan penuh

kehormatan. Secara umum, kunjungan wisata yang dilakukan oleh orang-orang

ke objek wisata dikarenakan adanya daya tarik seni budaya di suatu daerah

wisata, karena budaya yang dihasilkan oleh leluhur masyarakat Batak sangatlah

mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam pengembangan pariwisata

di kawasan Danau Toba.

Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba juga harus

memperhatikan hal-hal yang terkait dengan budaya dan sejarah masyarakat

Toba seperti kebiasan ritual, penggunaan lahan dan sebagainya. Hal ini

dilakukan untuk tidak menghilangkan sejarah Batak Toba, akan tetapi dalam

budaya Batak ini juga terdapat beberapa nilai yang dapat menghambat

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, seperti pelepasan lahan yang

dianggap pemerintah adalah lokasi yang dapat meningkatkan pengembangan

pariwisata, namun karena lahan tersebut merupakan tempat leluhur maka tidak

dapat digunakan. Hal inilah, pemerintah harus dapat mengambil keputusan yang

bijak, yaitu mengembangkan pariwisata tanpa harus mengikis makna budaya

leluhur. Dengan demikian, leluhur budaya Toba dapat dikembangkan dan


378

menjadi daya tarik wisata dan juga dapat menjadi karakteristik tersendiri di

masing-masing daerah kawasan Danau Toba.

Memahami makna pariwisata di kalangan masyarakat inilah menjadi

susah dan mudah karena adanya stigma orang Batak yang sangat keras dalam

berbicara dan berperilaku. Namun, sebenarnya ini adalah sesuatu budaya yang

dapat dijadikan khasnya orang Batak. Tetapi, ini juga yang menjadi minimnya

keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan pariwisata Danau Toba

sehingga penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau

Toba menjadi terhambat dan belum terealisasi sampai sekarang. Hal ini lah yang

akhirnya menjadi salah salah satu yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang

harus diambil oleh pemerintah.

Daya tarik objek wisata yang dilihat dari potensi sosial budaya, menjadi

indikator dalam pengembangan potensi pariwisata. Potensi sosial budaya yang

dikembangkan dapat memunculkan keunikan dan keunggulan yang baru

sehingga tercipta atraksi budaya yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial

masyarakat lokal. Namun, dalam penyelenggaraan pariwisata juga dikenal

dengan konsep pariwisata sosial yang lebih mengarah kepada study tour, piknik

dan pariwisata yang banyak dilakukan oleh komunitas muda.

Kawasan pariwisata Danau Toba memiliki banyak pariwisata yang

berpotensi dari sosial budaya, antara lain wisata budaya, wisata sejarah, serta

wisata religi dan spiritual. Masing-masing daerah di kawasan Danau Toba

mempunyai daya tarik tersendiri dalam mengembangkan pariwisata sosial

budaya, seperti di Kabupaten Samosir (kursi parsidangan/wisata sejarah, aek

sipitudai/wisata budaya dan spiritual, pusuk buhit/wisata sejarah dan budaya,

museum batak/wisata sejarah, makam Raja Batak/wisata budaya, dan lain-lain),


379

di Kabupaten Tapanuli Utara (taman eden/wisata budaya dan religi), Kabupaten

Dairi (taman wisata iman/wisata religi dan sejarah), Kabupaten Toba Samosir

(museum TB.Silalahi/museum sejarah), Kabupaten Humbang Hasundutan

(Istana dan Makam Sisisngamangaraja/wisata sejarah dan budaya), dan

Kabupaten Simalungun (gedung Bung Karno/wisata sejarah).

Objek wisata yang berpotensi sosial budaya di masing-masing daerah

memperkenalkan keunikan masing-masing yang memiliki nilai-nilai dalam

kehidupan masyarakat di kawasan Danau Toba. Potensi sosial budaya ini

memiliki daya tarik yang juga dapat mendukung industri pariwisata di kawasan

Danau Toba, seperti makam raja batak yang ada di Kabupaten Samosir yang

selalu mempertunjukkan atraksi budaya dengan menceritakan sejarah dan

budaya Batak Toba yang datang di pulau Samosir dan setiap pengunjung yang

datang harus mempunyai etika dan penghormatan ketika masuk ke dalam lokasi

makam dengan memakai ulos yang telah disediakan di pintu masuk makam.

Keragaman budaya di setiap daerah kawasan Danau Toba, masing-

masing menpertunjukkan ciri khas daerahnya masing-masing. Dengan adanya

atraksi di setiap objek wisata dapat menarik perhatian setiap pengunjung, namun

masih banyak objek wisata yang ada di kawasan Danau Toba belum

memadukan pengembangan potensi pariwisata dengan atraksi yang dapat

menjadi daya tarik tersendiri sehingga pengunjung atau wisatawan tidak

bertahan lama di satu tempat objek wisata. Hal ini karena disebabkan oleh

minimnya kemampuan sumber daya manusia di daerah wisata dalam

memberikan atraksi dan pelayanan pariwisata.

Pengembangan pariwisata melalui potensi sosial budaya haruslah

dikelola dan ditata dengan baik sehingga menciptakan daya tarik yang unik dan
380

unggul. Karena berkembangnya potensi sosial budaya dengan baik maka akan

memberikan dampak positif yang baik bagi kehidupan masyarakat, begitu juga

sebaliknya maka pentingnya sebuah perencanaan dalam pengembangan potensi

pariwisata di kawasan Danau Toba. Edgell. et.al (2008: 2) mengemukakan

bahwa pariwisata memiliki hubungan kuat dengan kegiatan sosial budaya,

inisiatif kebijakan luar negeri, pembangunan ekonomi, tujuan lingkungan dan

perencanaan yang berkelanjutan. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian Heiner

(2019), bahwa secara proaktif mengkompilasi nilai-nilai sosial dan budaya adalah

mungkin dan praktis yang dapat memperkuat sistem pemerintahan adat

tradisional, memperkuat peran masyarakat adat dalam proses pengambilan

keputusan dan meningkatkan posisi mereka untuk bernegosiasi dengan pihak

lain baik itu otoritas lokal atau nasional, sektor swasta atau lembaga

pembangunan internasional. Selanjutnya Cole (2015), mengemukakan hasil

penelitiannya bahwa sistem strategi pengembangan pariwisata yang

berlandaskan kepada aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi harus

disesuaikan dengan keadaan pasar sehingga memberi peluang dan mendorong

pertumbuhan ekonomi secara global.

Merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kegiatan sosial budaya dalam pariwisata berkaitan dengan kemampuan

manusia, yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan melakukan

tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pengembangan potensi sosial budaya dalam pariwisata meliputi hasil karya

manusia yang disesuaikan dengan lingkungannya. Maka dalam sisi prosesnya,

pengembangan potensi sosial budaya juga merupakan cara memajukan

kepribadian, kecerdasan, kreativitas dan keterampilan masyarakat untuk dapat


381

menghasilkan hasil karya yang terbaik dan berkualitas sehingga menjadi produk

wisata yang mampu berdaya saing dalam industri pariwisata.

Menanggapi penjelasana di atas, Sedarmayanti (2014: 18-19),

mengemukakan sasaran yang harus dicapai dalam pengembangan sosial

budaya dalam sektor pariwisata yaitu:

1. Meningkatnya efektivitas kegiatan pariwisata sebagai wahana promosi seni,

budaya tradisional, dan alam secara global.

2. Terwujudnya kegiatan pariwisata yang mendukung pemahaman dan

penghargaan masyarakat terhadap seni dan budaya masyarakat lain.

3. Terwujudnya kegiatan pariwisata sebagai wahana pendukung upaya

berkreasi di bidang kesenia dan wahana yang mendukung pengembangan

serta pengkayaan budaya baru sesuai tantangan masa depan.

4. Meningkatnya sumbangan pariwisata dalam mendorong peningkatan devisa

dan kesejahteraan masyarakat lokal.

5. Meningkatnya peran aktif masyarakat dan usaha kecil menengah dalam

pengembangan pariwisata.

6. Meningkatnya kualitas manajerial pengembangan produk pariwisata dan

keterpaduannya dengan upaya pemasaran pariwisata.

Pernyataan Sedarmayanti tersebut, senada dengan yang dilakukan oleh

BOPDT untuk mengembangkan pariwisata di Kawasan Danau Toba yaitu

meresmikan Sopo Parguruan Desa Motung di Kabupaten Toba Samosir. Sopo

Parguruan ini dalam bahasa Batak berarti rumah belajar, bentuknya menyerupai

pendopo dengan berbagai ornamen Gorga khas Batak. Sopo dalam etnis Batak

merupakan tempat pertemuan atau musyawarah warga kampung, tempat


382

menerima tamu dan lainnya. Tujuan diresmikannya rumah belajar ini dapat

dimanfaatkan anak-anak dari masyarakat lokal untuk mendapatkan pengetahuan

tambahan selain dari sekolah seperti pengetahuan berbahasa asing khususnya

bahasa Inggris.

BOPDT meresmikan Sopo Parguruan ini juga didukung dan disepakati

oleh Raja Bius Siopat Marga (masyarakat adat yang mendiami Motung sejak

dahulu). Peresmiannya berlangsung sakral melalui proses kegiatan adat

setempat, dimana para Raja Bius Siopat Marga berkumpul dan bermusyawarah,

kemudian dilanjut dengan makan bersama serta diiringi dengan tarian tor tor.

Pembangunan Sopo Parguruan ini juga diharapkan dapat menjadi objek wisata

yang diunggulkan tanpa menghilangkan makna budaya leluhur. Adapun fasilitas

yang dibantu dan diberikan oleh BOPDT adalah buku, alat musik dan lain

sebagainya yang dapat mendukung dan memberikan manfaat kepada

masyarakat dan pengunjung di Sopo Parguruan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pengembangan pariwisata yang

juga dapat menimbulkan masalah-masalah sosial budaya yang mengakibatkan

tingkah laku penduduk dapat meniru apa yang dilakukan oleh wisatawan asing,

apabila tidak ada perencanaan pengembangan pariwisata yang baik, apalagi

terkait dengan potensi sosial budaya di kawasan Danau Toba. Dengan demikian,

agar masyarakat lokal harus diberikan penyuluhan yang berkaitan dengan

pemahaman pariwisata sebagai sosial budaya sehingga membawa efek yang

menguntungkan bagi industri pariwisata tanpa harus mengalami penurunan daya

tarik suatu atraksi wisata, dan juga dapat merusak lingkungan.

Potensi sosial budaya merupakan salah satu potensi penting yang harus

tetap dikembangkan pada kawasan Danau Toba karena berkaitan dengan


383

menciptakan keunggulan-keunggulan yang dapat menjadi kekuatan daerah

dalam mengembangkan pariwisata Danau Toba. Dengan demikian, perencanaan

pengembangan potensi sosial budaya adalah upaya mempertahankan keunikan

budaya lokal dan melestarikan serta menciptakan hal-hal yang diinginkan sesuai

dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat lokal. Penguatan potensi

sosial budaya bertujuan untuk menghilangkan dampak negatif bagi

pembangunan pariwisata ke depan yaitu hilangnya keaslian budaya lokal yang

dimiliki daerah kawasan Danau Toba akibat kulturalisasi yang berlebihan tanpa

ada kontrol dari pihak pemerintah daerah.

6.1.4 Perencanaan potensi lingkungan meliputi eksternal dan internal

Salah satu sektor yang wajib mendapatkan pelestarian lingkungan hidup

yaitu sektor pariwisata. Sektor ini menjadi sektor andalan yang dapat

meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di Indonesia melalui peningkatan

pendapatan asli daerah (PAD). Penataan dan pengelolaan lingkungan hidup di

sektor pariwisata harus dapat dikembangkan dalam suatu sistem terpadu melalui

kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus

dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Pemanfaatan lingkungan hidup dalam pengembangan potensi pariwisata

dapat memberikan kemanfaatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hal

ini terkait juga dengan kebijakan penataan fungsi lingkungan hidup yang diatur

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 Butir 3 menjelaskan bahwa

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya

sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber


384

daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Pengembangan pariwisata sangat perlu memperhatikan lingkungan di

sekitar destinasi wisata, seperti yang dikemukakan oleh Suwantoro (2004) bahwa

dalam pembangunan pariwisata lingkungan alam di sekitar objek wisata pun

perlu diperhatikan kelesatriannya agar tidak rusak dan tercemar. Kelestarian

lingkungan di sekitar Danau Toba menjadi branding topik dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba karena visi yang dijelaskan dalam RIRD KSPN

Danau Toba adalah “Mewujudkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau

Toba dan sekitarnya sebagai destinasi pariwisata yang TERKEMUKA,

BERKELAS DUNIA, BERDAYA SAING, DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT

YANG MAJU, MANDIRI DAN SEJAHTERA”. Perhatian terhadap lingkungan di

sektor pariwisata juga karena disebabkan bahwa pengembangan pariwisata juga

dapat menyebabkan dampak negatif yaitu adanya kerusakan lingkungan yang

disebabkan ulah manusia (baik masyarakat sekitar objek wisata maupun para

wisatawan). Seperti hasil penelitian yang diperoleh di lapangan bahwa masih

banyak di sekitar objek wisata Danau Toba yang tidak menjaga pemeliharaan

lingkungan akhirnya terjadi kerusakan seperti pembuangan sampah tidak pada

tempatnya, dan lain sebagainya.

Terkait dengan permasalahan pelestarian lingkungan di kawasan Danau

Toba, maka Mason (2003: 20) mengemukakan fokus geografis utama dari

perencanaan dan pengelolaan pariwisata adalah tujuan wisata. Di sinilah, di

tempat-tempat tujuan turis bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat

setempat dan lingkungan setempat. Interaksi ini mengarah pada dampak pada

populasi lokal, lingkungan dan juga pada para wisatawan itu sendiri. Dampak-
385

dampak ini dapat bermanfaat dalam kaitannya dengan, misalnya, ekonomi lokal.

Namun, pertemuan antara wisatawan dan tujuan yang mereka kunjungi juga

dapat menyebabkan, misalnya, kerusakan pada lingkungan setempat. Terkait

dengan dampak-dampak inilah maka banyak perencanaan dan pengelolaan

pariwisata yang ditargetkan. Maka, dalam pembangunan pariwisata diperlukan

upaya-upaya pelestarian lingkungan melalui tindakan-tindakan berupa regulasi

yang mengatur khusus tentang pelestarian lingkungan hidup objek wisata,

karena lingkungan yang harus dijaga kelestariannya tidak hanya lingkungan alam

namun juga lingkungan sosial budaya.

Lingkungan sosial budaya juga menjadi pilar penyangga kelangsungan

hidup masyarakat lokal di daerah pariwisata, karena lingkungan ini harus terus

dilestarikan dan tidak boleh dicemari atau terpengaruh oleh budaya asing.

Lingkungan sosial budaya juga harus diperkuat dan ditingkatkan kualitasnya

sehingga dapat memberikan kekuatan dalam pengembangan potensi pariwisata

yang unggul. Dengan adanya potensi pariwisata yang unggul maka akan dapat

menjadi salah satu penguatan daerah dalam pembangunan pariwisata. Dengan

demikian, secara konseptual pembangunan pariwisata memerlukan kebijakan

dan perencanaan yang sistematik dan holistik, maka pemerintah harus dapat

melibatkan semua pihak yang terkait dalam pengembangan pariwisata terlibat

langsung pada proses perencanaan.

Apabila, semua pihak dapat terlibat langsung dalam perencanaan

pembangunan pariwisata maka semua potensi yang ada dapat diarahkan

kepada penguatan daerah seperti pada kawasan Danau Toba. Penguatan

daerah sangat diperlukan dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

karena kawasan ini dikelilingi oleh 7 kabupaten yang memiliki keunggulan wisata
386

tersendiri. Dengan adanya perbedaan inilah, memicu ego sektoral pada

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba sehingga terjadi tidak ada

sinkronisasi antar dokumen perencanaan atau belum adanya kegiatan yang

dapat menyatukan dan saling koordinasi antara daerah di sekitar kawasan

Danau Toba.

Berdasarkan penejelasan tersebut, maka BOPDT sebagai pelaksana dan

pengelola pariwisata kawasan Danau Toba, melaksanakan koordinasi dengnan

daerah sekitar Danau Toba khsusunya dengan pelestarian lingkungan hidup di

daerah Danau Toba. Salah satu upaya yang menjadi tindak lanjut

mengembangkan potensi lingkungan hidup pada sektor pariwisata adalah

melestarikan hutan dan satwa yang ada di kawasan Danau Toba seperti

menciptakan Monkey Area Forest.

Pelestarian monkey area forest ini diciptakan oleh BOPDT bersama

beberapa pihak seperti dinas lingkungan hidup dan lembaga pariwisata. Monkey

Area Forest ini menjadi salah satu objek wisata yang ada di daerah Parapat

Kabupaten Simalungun. Objek wisata ini menampilkan daya tarik atraksi satwa,

dan hutan yang ada di pinggiran Danau Toba. Satwa yang ada di objek ini

adalah sejenis monyet dan orang utan yang selalu keluar mencari makan di

pinggiran jalan menuju Danau Toba. Objek wisata ini juga menjadi salah satu

program wisata yang dapat mewujudkan penguatan daerah wisata.

Pelestarian lingkungan di daerah wisata juga membutuhkan kesiapan

sumber daya manusia termasuk pemerintah dan masyarakat lokal. Lingkungan

yang harus dilestarikan tidak hanya yang berkaitan dengan fisik namun juga non

fisik, seperti kelestarian budaya tradisional, kualitas kesenian, pencemaran pada

monumen atau objek wisata yang lain, atau menurunnya moral kaum muda
387

(masyarakat lokal) dengan adanya kebebasan melakukan sesuatu tanpa dibatasi

norma dan etika agama dan suku. Dengan demikian, pembangunan pariwisata

harus sejalan dengan sasaran yang hendak dicapai.

Secara konseptual pembangunan pariwisata yang terencana dengan baik

dapat menciptakan penguatan daerah pada setiap potensi pariwisata yang ada,

namun dalam pelaksanaannya membutuhkan daya dukung yang memadai.

Dengan kata lain, bahwa pembangunan pariwisata tidak hanya berbicara tentang

pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana, tetapi juga pembangunan

manusia, sosial dan lingkungan. Namun, hasil penelitian yang diperoleh

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba belum dapat terlaksana dengan

baik, hanya berkisar pada pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana)

dan belum mengarah kepada pembangunan manusianya sehingga sektor

pariwisata belum secara optimal menjadi kekuatan dalam peningkatan

pendapatan daerah, hanya daerah tertentu saja yang pendapatan daerahnya

hanya dari sektor pariwisata sehingga dapat menghasilkan penguatan daerah

wisata.

Melalui pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat

dirumuskan sebuah proposisi minor 1 (satu) sebagai berikut: “Jika

pengembangan potensi pariwisata terencana dengan baik maka penguatan

daerah wisata juga akan terwujud dan mendorong peningkatan kunjungan

wisatawan serta menghasilkan produk lokal yang berdaya saing di tingkat

nasional dan internasional”.


388

6.2 Standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata Kawasan Danau

Toba yang meliputi sinkronisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak

yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan yang mengarah

kepada nilai dan manfaat, kebijakan dan program sehingga mencapai

sasaran.

Sistem perencanaan pembangunan Nasional (SPPN) disusun dengan

tujuan 1) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; 2) menjamin

terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang,

antar waktu, antar fungsi pemerintahan maupun antar pusat dan daerah; 3)

menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan; 4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; 5)

menjamin tercapainya penggunan sumber daya secara efisien, efektif,

berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang

SPPN, terdapat 4 (empat) proses perencanaan, yaitu:

1. Proses Politik: Pemilihan presiden/kepala daerah dipandang sebagai proses

penyusunan rencana karena rakyat pemilih menentukan pilihannya

berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan oleh masing-

masing calon presiden/kepala daerah.

2. Proses Teknokratik: Perencanaan yang dilakukan oleh perencana

profesional, atau oleh lembaga/unit organisasi yang secara fungsional

melakukan perencanaan. Dilaksanakan dengan menggunakan metode dan

kerangka berpikir ilmiah.

3. Perencanaan Partisipatif: Perencanaan yang melibatkan pihak yang

berkepentingan terhadap pembangunan (stakeholders), antara lain melalui

pelaksanaan Musrenbang.
389

4. Proses Bottom Up dan Top Down: Perencanaan yang aliran prosesnya dari

atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan (menurut

jenjang pemerintahan)

Penjelasan dari undang-undang tersebut juga senada dengan yang

diungkapkan Kumar (2001), menjelaskan bahwa langkah perencanaan yang

terdesentralisasi adalah terkait aspek prosedural dari perencanaan terpusat,

yaitu Pertama, Melaksanakan latihan teoritis dan terapan di level nasional oleh

Komisi Perencanaan yang memiliki tanggungjawab secara keseluruhan untuk

proses perencanaan termasuk penyusunan rencana nasional dan pembiayaan

rencana negara; Kedua, Menentukan pangsa publik di pusat dan pengeluaran

sektor swasta dalam kaitannya dengan tujuan yang sesuai dari pertumbuhan

negara; Ketiga, Prosedur diikuti untuk membahas strategi, prioritas, pengeluaran

baik dari rencana tengah dan negara termasuk pembiayaan dan pelaksanaan;

Empat, Persetujuan pengeluaran sektoral dari rencana negara oleh Komisi

Perencanaan sampai ke kepala bagian pembangunan; Lima, Pengenaan Sektor

Pusat dan skema yang disponsori pusat tanpa diskusi apa pun pada pertemuan

Kelompok Kerja dengan Tim Negara.

Penjelasan di atas, menggambarkan bahwa setiap pembangunan yang

dilakukan daerah harus melalui proses perencanaan yang disesuaikan dengan

kondisi atau potensi daerah tersebut. Secara umum, dalam proses perencanaan

harus mempunyai kriteria atau standar dalam penyusunan perencanaan

pembangunan khususnya di sektor pariwisata dan inilah yang disebut dengan

konsep perencanaan terdesentralisasi. Dengan demikian, upaya mewujudkan

perencanaan terdesentralisasi dalam pembangunan pariwisata di kawasan


390

Danau Toba harus disesuaikan dengan sasaran dan tujuan yang telah

ditentukan, dan pemerintah daerah/kabupaten perlu melakukan perencanaan

dan strategi yang matang sehingga menghasilkan kebijakan yang berorientasi

kepada kebutuhan untuk mengintegrasikan program pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba. Maka, perencanaan dan kebijakan dalam sektor

pariwisata merupakan istilah yang terkait erat, dimana perencanaaan sebagai

suatu tindakan sedangkan kebijakan sebuah implementasi dari suatu tindakan

yang direncanakan. Dengan demikian, sangat penting perencanaan yang baik

dan matang sehingga dapat menghasilkan kebijakan dan program yang baik dan

terkontrol.

Menurut Edgell, et.al (2008) bahwa dalam memahami permasalahan

kebijakan pariwisata dalam konteks yang besar, perlu adanya segmen atau

tahapan untuk menyelaraskan analisis kebijakan pariwisata dengan fase

pengembangan pariwisata, yaitu

1. Tahap formatif evaluasi kebijakan pariwisata;

Tahapan ini bertujuan mengatasi peningkatan kemacetan jalan dan polusi,

konsumsi air yang berlebihan, pengurangan sumber daya utilitas publik dan

eskalasi harga real estate yang mengakibatkan kelangkaan perumahan yang

terjangkau bagi warga lokal, hotel, agen penyewaan mobil dan bisnis terkait

perjalanan lainnya, sehingga pendapatan dalam pengembangan pariwisata

tidak terdistribusi secara merata. Kemudian, tujuan-tujuan asli menjadi

terdegradasi, sehingga mempertaruhkan nilai-nilai lingkungan, sosiokultural

dan warisan yang penting bagi pariwisata dan kualitas hidup masyarakat

lokal. Dengan demikian, tujuan wisata pada masa ini adalah merumuskan
391

kebijakan pariwisata mengenai keberlanjutan infrastrukturnya dan

penyediaan produk dan layanan pariwisata yang berkualitas.

2. Tahap pengembangan evaluasi kebijakan pariwisata;

Fase pengembangan analisis kebijakan pariwisata sangat penting dalam

mengevaluasi implementasi kebijakan di tengah jalan. Pada fase ini terkait

isu-isu strategis pengembangan pariwisata sehingga aturan dan peraturan

kebijakan pariwisata harus dikembangkan sebagai solusi untuk isu-isu

tersebut, dan juga setiap pelaku kepentingan dapat mematuhi kebijakan

pariwisata tersebut sehingga dapat mengembangkan pariwisata secara

berkelanjutan.

3. Tahap evaluasi kebijakan pariwisata fase sumatif.

Analisis kebijakan pariwisata fase sumatif ini terkait masalah pariwisata yang

berfungsi sebagai indikator peningkatan hubungan di antara negara-negara

tetangga dengan tujuan untuk menciptakan pariwisata internasional antara

kedua negara untuk mendapatkan saling pengertian yang lebih besar di

antara warga negara dan meningkatkan pertukaran mata uang. Fasilitas

pariwisata termasuk hak udara untuk membuat rute udara antara kedua

negara dan kebijakan lintas batas untuk mempercepat persetujuan visa.

Pernyataan edgell, et.al ini apabila dikaitkan dengan kebijakan pariwisata

kawasan Danau Toba terdapat beberapa kasus yang harus dihadapi oleh

pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi juga BOPDT. Tidak semua

tahapan kebijakan pariwisata yang dikemukakan di atas dapat diterapkan di

kawasan Danau Toba, seperti aspek lingkungan yang masih isu hangat dan

strategis dalam mendukung percepatan pembangunan pariwisata kawasan


392

Danau Toba, dimana masyarakat dan beberapa pihak belum optimal dalam

melaksanakan kebijakan pariwisata yang tertuang dalam dokumen integrated

tourism master plan for lake toba tahun 2016. Tidak hanya isu lingkungan, tetapi

juga terkait isu hubungan antar daerah yang belum otimal secara bersama untuk

membangun dan mengembangkan pariwisata di kawasan Danau Toba.

Isu-isu strategis dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba

menjadi alasan utama dalam melaksanakan kebijakan pariwisata melalui

perencanaan yang terdesentralisasi sehingga dapat memenuhi semua tuntutan

dan kebutuhan daerah dalam mendukung pembangunan nasional di sektor

pariwisata. Seperti yang dituangkan dalam naskah rencana induk

pengembangan pariwisata daerah (RIPPARDA) Provinsi Sumatera Utara, bahwa

dalam kebijakan pembangunan kepariwisataan terdapat tiga permasalahan

utama dan klasik yang tidak kunjung dapat terselesaikan, yaitu:

1. Sedikit objek atau kawasan wisata yang dapat dikembangkan melalui suatu

perencanaan yang komprehensif dan terpadu dengan sektor-sektor

pembangunan lain, dan sebagian besar lainnya tumbuh dan berkembang

secara alamiah mengikuti perkembangan dan keinginan pasar/pengunjung.

Kalaupun dilakukan pembenahan sifatnya hanya perbaikan seadanya,

dengan fokus pada pembenahan/perbaikan yang menjadi objek wisata itu

sendiri, sedangkan keterkaitannya dengan bidang atau sektor lain

seringkali diabaikan.

2. Sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang menjadi tulang punggung

pelaksanaan kegiatan ini dari sisi kualitas dan kuantitas masih kurang

memadai untuk menjadikan sektor ini tulang punggung perekonomian

nasional sebagai pesaing minyak dan gas bumi dalam penerimaan devisa
393

negara. Banyak aparat instansi pariwisata pemerintah daerah maupun

kalangan usaha pariwisata yang tidak memiliki latar belakang pariwisata

atau cukup memiliki pengalaman di dunia pariwisata.

3. Dana pemasaran yang selalu dikeluhkan kurang, baik di tingkat pusat

maupun daerah. Terkadang persoalan ini selalu dijadikan alasan apabila

target yang telah ditetapkan tidak tercapai.

Permasalahan yang dijelaskan dalam RIPPARDA Provinsi Sumatera

Utara tersebut juga menjadi ukuran dalam melaksanakan perencanaan yang

terdesentralisasi. Karena dalam perencanaan terdesentralisasi ini harus adanya

konsisten dalam menghasilkan standarisasi pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba, seperti yang dituangkan dalam integrated tourism masterplan for

lake toba (2016) yaitu 1) elemen-elemen produk pariwisata bervariasi umurnya

dan hampir semua yang dijumpai membutuhkan penyempurnaan yang bervariasi

tingkat permasalahannya; 2) standarisasi terkait fisik (bangunan, taman, ruangan

dan sebagainya), amenitas (misalnya perlengkapan kamar atau kamar mandi)

maupun pelayanan (yang diakibatkan oleh SDM yang belum terlatih); 3) adanya

standar kompetensi melalui pelatihan wajib bagi para pejabat di lingkungan

pemerintahan daerah sekitar kawasan Danau Toba. Edgell, et.al (2008) juga

menegaskan bahwa pariwisata menggabungkan masalah sosial, budaya dan

lingkungan di luar pembangunan fisik dan pemasaran yang mencakup

penawaran dan permintaan, lebih dari jumlah pemasaran dan pembangunan

ekonomi. Pariwisata memiliki hubungan kuat dengan kegiatan sosial dan budaya,

inisiatif kebijakan luar negeri, pembangunan ekonomi, tujuan lingkungan dan

perencanaan yang berkelanjutan.


394

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pengembangan pariwisata

mencakup banyak tindakan perubahan dan melibatkan banyak pihak, maka

dibutuhkan standar perencanaan yang mencakup isu-isu strategis dan juga

solusi yang dapat menghasilkan langkah-langkah dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba. Standarisasi sangat dibutuhkan dalam

pembangunan pariwisata khususnya kawasan Danau Toba, karena dengan

adanya standarisasi dalam industri pariwisata dapat menciptakan sinkronisasi

dan koordinasi antara daerah di kawasan pariwisata tersebut. Standarisasi ini

juga dapat mendukung pariwisata berkelanjutan dan melahirkan kebijakan

pariwisata di masa depan. Adanya standarisasi dalam perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dapat menjadi salah satu

tindakan atau upaya untuk memberikan solusi dalam permasalahan pariwisata

terkait masalah sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain.

Salah satu standar yang direncanakan oleh BOPDT dalam rangka

mendukung pengembangan amenitas pariwisata di kawasan Danau Toba yaitu

membuat program sistem pembayaran non tunai bagi wisatawan asing maupun

domestik di kawasan Danau Toba. Program ini kerjasama BOPDT dengan Bank

Indonesia, Fintech dan BUMN bidang transportasi yang telah menyusun

rancangan kerangka kerja model bisnis TOBA SMART CARD (alat pembayaran

non tunai yang bisa digunakan untuk pembayaran moda transportasi, merchant

dan lokasi pariwisata di Danau Toba karena layanan sistem ini juga sebagai

salah satu amenitas pariwisata.

Pariwisata merupakan aktivitas yang beragam karena dilakukan tidak

hanya terfokus pada satu kegiatan pariwisata saja tetapi dengan aktivitas-

aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan, bisnis dan


395

pemerintahan. Rencana pengembangan kepariwisataan yang disusun oleh

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mencakup 2 (dua) aspek, yaitu aspek

spasial dan aspek non spasial. Aspek spasial menyangkut hal-hal yang terkait

dengan perencanaan tata ruang daerah Provinsi Sumatera Utara, termasuk

diantaranya perencanaan kawasan wisata unggulan (KWU) daerah

(Kabupaten/Kota), serta keterkaitan antar kawasan dan keterhubungan atau

aksesibilitasnya. Langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi

Sumatera Utara adalah dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan

Pariwisata Daerah (RIPPARDA) Provinsi Sumatera Utara yang merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Induk Pengembangan Pariwisata

Nasional (RIPPARAS).

RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara juga membuat aspek non spasial,

khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya manusia dan

kelembagaan, mekanisme kerjasama antar lembaga dan hal-hal lainnya yang

non spasial, termasuk keterkaitan antar sektor dalam mendukung

pengembangan pariwisata ke depan di Provinsi Sumatera Utara. Dengan

disusunnya RIPPARDA dapat menjadi program kendali dalam pengembangan

kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara sehingga pemerintah mempunyai

acuan dalam pembangunan sektor pariwisata dan mengarahkan pembangunan

pariwisata yang sistematis, komprehensif, terintegrasi dan menjadi paduan bagi

stakeholders pariwisata Provinsi Sumatera Utara yang mengakomodasikan isu-

isu strategis sehingga sektor pariwisata dijadikan alat dalam mencapai

kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Disusunnya RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara ini, diharapkan dapat

teridentifikasinya kawasan wisata unggulan Provinsi Sumatera Utara dan objek


396

wisata unggulan kabupaten/kota sesuai dengan kriteria yang ditetapkan serta

tersusunnya arah kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan daerah

Provinsi Sumatera Utara serta indikasi program pengembangan kepariwisataan

di setiap kawasan wisata unggulan kabupaten/kota. Salah satu kawasan wisata

unggulan yang teridentifikasi dalam naskah RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara

adalah kawasan wisata unggulan Danau Toba (Kabupaten Samosir).

RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara ini masih mengatur pembangunan

pariwisata secara umum dan belum secara khusus menjadi acuan dalam

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba yang dikelilingi oleh 8 kabupaten

sejak tahun 2018. Terdapat beberapa arah kebijakan yang diatur dalam

RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara ini, yaitu

1. Kebijakan pengembangan perdaerahan pariwisata, adalah

a. Difokuskan pada pengembangan kawasan wisata unggulan Provinsi dan

kawasan wisata unggulan Kabupaten/Kota untuk memperkuat daya

saing pariwisata di Sumatera, Jawa dan Bali.

b. Pengembangan kawasan wisata unggulan Provinsi didasarkan pada

daya wisata unggulan yang membentuk suatu tema atau konsep yang

berbeda antar kawasan, dalam kerangka saling melengkapi dan

memperkuat daya tarik yang ditawarkan dengan tidak memandang batas

administratif daerah.

c. Pengembangan kawasan wisata unggulan Provinsi dan penyediaan

sarana prasarana penunjang pariwisata diprioritaskan di daerah yang

relatif belum berkembang dalam kerangka mengurangi ketimpangan

pembangunan antar daerah.


397

d. Pusat pengembangan pariwisata di setiap kawasan wisata unggulan

Provinsi berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata kawasan dan penyedia

fasilitas, serta sebagai pusat penyebaran pengembangan kegiatan

wisata ke daerah lain yang masih termasuk dalam satu kawasan wisata.

2. Kebijakan pengembangan produk wisata

a. Produk wisata Sumatera Utara dikembangkan dalam kerangka

memberikan manfaat bagi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat Sumatera Utara secara berkelanjutan dan bertanggung

jawab.

b. Produk wisata unggulan yang dikembangkan adalah produk wisata unik,

tradisi khas Sumatera Utara dan mencerminkan jati diri masyarakat

Sumatera Utara yang berakar pada alam dan budaya Sumatera Utara.

c. Produk wisata unggulan dikembangkan untuk menciptakan keragaman

daya tarik wisata Sumatera Utara sehingga berdaya saing dan

memperkuat daya tarik Provinsi khususnya dalam tingkat nasional.

d. Pengembangan produk wisata unggulan harus mendukung upaya

konservasi/preservasi dan bahkan rehabilitasi dan pemberdayaan

masyarakat dengan memperhatikan daya dukung spesifik setiap daerah.

e. Pengembangan produk wisata unggulan diarahkan pada produk wisata

berkualitas yang memenuhi standar nasional dan internasional, melalui

pengawasan yang menerus.

3. Kebijakan pengembangan pasar dan pemasaran

a. Mengembangkan segmen pasar wisatawan eksisting Sumatera Utara

sambil menumbuhkembangkan pasar wisatawan potensial lainnya.


398

b. Mengembangkan segmen pasar wisatawan Sumatera Utara berdasarkan

karakteristik kawasan wisata unggulan maupun produk wisata utama

yang ditawarkan

c. Mengembangkan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan

karakteristik pasar wisatawan yang menjadi sasaran di tiap kawasan

wisata unggulan

d. Mengembangkan pendekatan pemasaran pariwisata terpadu, dengan

tema yang jelas, secara terorganisir, efisien dan efektif.

4. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia

a. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, terutama di

daerah tertinggal baik profesional maupun tenaga terampil.

b. Peningkatan kualitas pelayanan pariwisata khususnya SDM yang

berhadapan langsung dengan wisatawan.

c. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di

daerahnya.

d. Peningkatan pemahaman, pengetahuan, kesadaran seluruh pelaku

pariwisata (termasuk masyarakat) terhadap pariwisata.

5. Kebijakan pengembangan kelembagaan

a. Peningkatan koordinasi dan konsolidasi antar lembaga dan antar daerah

Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, antara Provinsi Sumatera Utara

dengan daerah/Provinsi lain/nasional/internasional melalui lembaga

terkait pariwisata dan budaya termasuk komitmen dari para pengambil

keputusan yang terkait dengan pariwisata.

b. Pengembangan kelembagaan, sistem dan penyederhanaan prosedur

perijinan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.


399

c. Peningkatan kemitraan antara institusi/lembaga.

d. Pengembangan kelembagaan dalam hal perpajakan dan retribusi

e. Pengembangan kelembagaan dalam pemasaran dan promosi.

Berbagai kebijakan pengembangan kepariwisataan yang dijelaskan

dalam RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara, dapat menjadi standarisasi dalam

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

secara khusus. Standarisasi perencanaan dalam pembangunan pariwisata

sangat dibutuhkan untuk menghasilkan pengelolaan potensi pariwisata yang

profesional dan berkualitas. Namun, pembangunan pariwisata yang tidak terarah

dan tidak direncanakan dengan matang, maka bukan manfaat yang dapat

diperoleh namun melainkan perbenturan sosial, kebudayaan dan kepentingan

yang akan menyebabkan kualitas pelayanan pariwisata akan menjadi rendah

sehingga kegiatan pariwisata akan hilang dan musnah. Hal ini harus dihindari

dengan cara membuat perencanaan yang terpadu sesuai dengan aspirasi dan

kebutuhan pelaku pariwisata di destinasi wisata yang akan dikembangkan.

Seperti yang diungkapkan oleh (Shahraki, 2017) dalam hasil penelitiannya

bahwa pembangunan daerah yang tidak terencana secara otomatis tidak dapat

berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan dan di masa depan, maka

terdapat beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk melakukan

perencanaan yaitu melibatkan penilaian dan pemantauan terhadap hasil program

secara sistematis dan mengukur tingkat kegunaannya dalam pengembangan

daerah.

Senada dengan pernyataan di atas, (Almeida, Costa, & Nunes da Silva,

2017) juga menjelaskan bahwa dalam perencanaan pariwisata menghasilkan 2

(dua) kontribusi dalam pengembangan pariwisata yaitu 1) pengembangan


400

analisis terpadu dan komprehensif dari sumber-sumber konflik antara

pengembangan pariwisata dan penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya

alam, sedangkan 2) pengembangan dan implementasi kerangka sumber konflik

berdasarkan kerangka teoritis. Perencanaan pariwisata dalam wilayah konflik

dilakukan dengan analisis kekhawatiran pemangku kepentingan sehingga

tercipta harmonisasi dalam proses perencanaan.

Adanya harmonisasi dalam proses perencanaan dimaksudkan dapat

menyatukan komitmen dalam pembangunan daerah khususnya pada sektor

pariwisata, apalagi daerah tersebut memiliki banyak aneka ragam budaya dan

keunggulan yang harus disatukan dalam satu visi dan satu misi untuk

pencapaian tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan. Permasalahan

penyatuan komitmen, penyatuan pemahaman visi dan misi dan tujuan dalam

perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba menjadi sangat

sulit. Hal ini dikarenakan tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi dalam

pelaksanaan pembangunan pariwisata, yang akhirnya setiap daerah

mengimplementasikan secara sendiri-sendiri.

Perencanaan yang disusun untuk pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba, harus mempunyai kesepakatan di antara daerah kabupaten, tokoh

masyarakat setempat dan pelaku usaha/stakeholders yang lain sehingga

pengembangan pariwisata mendapat dukungan dari semua pihak. BOPDT telah

melaksanakan penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata namun,

proses penyusunannya mengalami kendala terkait belum adanya kesepakatan

dan komitmen yang sama dalam mengembangkan pariwisata di kawasan Danau

Toba.
401

Penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba menjadi polemik di antara daerah. Namun, BOPDT tetap menjalankan

kebijakan dan program yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat walaupun

dalam pelaksanaannya harus menghadapi beberapa persoalan yang sangat

krusial di tempat objek wisata. Dengan adanya permasalahan-permasalahan

yang harus dihadapi sehingga standarisasi dalam perencanaan pembangunan

pariwisata juga tidak dapat ditindak lanjuti sebagai pedoman atau acuan daerah

kawasan Danau Toba untuk mengembangkan pariwisatanya sesuai dengan

yang telah ditetapkan.

Disinilah, arti pentingnya pemerintah daerah untuk langsung terlibat dan

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata khususnya di kawasan

Danau Toba. Perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

harus mempunyai standarisasi untuk menyatukan persepsi tentang

pengembangan pariwisata Danau Toba yang disesuaikan dengan keunikan dan

keunggulan masing-masing daerah yang ada di kawasan Danau Toba. Elliot

(1997: 2), bahwa pemerintah adalah pemegang kekuasaan yang sah dalam

sistem politik baik pada tingkat daerah, pusat atau nasional dan bertanggung

jawab untuk membuat kebijakan dan menetapkan pedoman kebijakan, sebagai

bagian dari pengambilan keputusan di semua sektor publik termasuk pariwisata.

Permasalahan yang harus dihadapi oleh BOPDT adalah bagaimana

menyatukan persepsi tentang perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan

Danau Toba yang dikelilingi oleh 8 kabupaten yang berbeda budaya dan adat

istiadat serta melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi sehingga

perencanaan yang disusun dapat menjadi pedoman atau acuan untuk

pelaksanaan kebijakan dan program pariwisata di seluruh daerah Danau Toba.


402

Ini adalah tugas yang sangat berat, karena sampai sekarang inilah yang menjadi

hambatan terbesar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba.

BOPDT berfungsi sebagai motor penggerak penyusunan rencana

strategis terhadap pengelolaan pariwisata, proses implementasi, monitoring dan

evaluasi setiap program pariwisata di kawasan Danau Toba. Kemudian

pemerintah daerah sebagai fasilitator yang harus memberikan dukungan dalam

penyelenggaraan pembangunan pariwisata termasuk pendanaan. Badan otoritas

ini bertujuan untuk memfokuskan satu manajemen pengelolaan satu destinasi

wisata, sehingga tata kelola pariwisata di kawasan Danau Toba dapat berjalan

efektif dan efisien. BOPDT terbentuk di destinasi pariwisata yang termasuk

dalam Tourism Authority Board. Terdapat pengelompokan kawasan dalam 10

(sepuluh) destinasi pariwisata di Indonesia yaitu Tourism Authority Board (Danau

Toba, Kepulauan Seribu dan Kota Tua Jakarta, Borobudur, Bromo Tengger

Semeru, Labuan Bajo dan Wakatobi) dan Special Economic Zone (Tanjung

Kelayang, Tanjung Lesung, Mandalika, Marotal). Hermantoro (2011: 22), bahwa

pemerintah perlu turut serta mendorong terbentuknya badan pengelola destinasi

wisata di daerah-daerah. Badan ini akan bertugas untuk mengoptimalkan sumber

daya untuk mendorong terwujudnya harapan mendatangkan wisatawan,

penyediaan jasa, dan menciptakan lingkungan yang mampu mendukung

terwujudnya kegiatan dalam bentuk kebijakan, peraturan dan insentif.

Salah satu tindakan yang dilakukan BOPDT adalah mengadakan

pertemuan-pertemuan yang dapat mempertemukan seluruh kepala daerah yang

ada di kawasan Danau Toba sebagai upaya untuk mensinkronisasikan aspirasi

dan kebutuhan pariwisata yang dapat dirumuskan dalam perencanaan


403

pembangunan pariwisata, namun hasilnya tidak optimal karena tidak seluruh

kepala daerah hadir di pertemuan tersebut sehingga tidak dapat diambil

keputusan di saat itu. Tidak hanya pemerintahan daerah yang diperlukan untuk

keterlibatannya, sektor selain pariwisata juga dibutuhkan keterlibatannya dalam

proses penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba, antara lain sektor kehutanan, sektor maritim dan kelautan, sektor

pertanian, sektor lingkungan hidup, sektor perhubungan dan sektor lainnya.

Harapan terbesar pemerintah pusat bahwa setiap pemerintah daerah

harus memberikan dukungan penuh dalam proses kinerja BOPDT dengan

meninggalkan ego atau kepentingan setiap daerah yang sering berselubungkan

pada alasan peningkatan pendapatan asli daerah dan pertumbuhan

perekonomian daerah. (Yoeti, 2016: 72) mengemukakan bahwa untuk mengatasi

permasalahan di atas dapat diatasi dengan jalan pemecahan sebagai berikut:

1. Sebelum suatu rencana dibuat perlu diadakan konsultasi dengan semua

pihak/tingkat yang diberikan dengan rencana yang akan dibuat.

2. Jelaskan rencana yang akan dibuat pada segala pihak, apa keuntungan-

keuntungannya jika proyek tersebut sudah selesai nanti.

3. Organisasi kepariwisataan yang bersangkutan harus dapat dihubungkan dari

instansi yang lebih tinggi di daerah tersebut untuk merealisasikan rencana

tersebut.

4. Tentukan anggaran yang akan digunakan untuk rencana tersebut agar

rencana dapat selesai pada waktunya, dan anggaran ini hendaknya sama

sekali terpisah dari biaya-biaya perencanaan lainnya.


404

5. Bentuk suatu tim yang bertanggung jawab terhadap proyek perencanaan

yang mengkoordinir dan menghimpun segala potensi kepariwisataan untuk

dimanfaatkan guna aksesnya perencanaan tersebut.

Langkah-langkah dalam pengembangan potensi pariwisata, juga harus

memiliki kebijakan sebagai arah dan tindakan sebagai upaya pengembangan

potensi wisata yang dimiliki kawasan tersebut. Dengan demikian, pariwisata

dianggap perlu direncanakan dengan baik agar mampu menghasilkan manfaat

yang maksimal bagi kawasan tersebut juga daerahnya. Tomsett dan Show

(2015), menjelaskan bahwa kebijakan publik dapat meningkatkan pemahaman

stakeholder secara proaktif dengan memahami dampak dan adanya klasifikasi

pemangku kebijakan dari sudut pandang teoritis dan praktis melalui pendekatan

konsultasi dan proses dalam penentuan alternatif kebijakan industri pariwisata.

Senada dengan pernyataan di atas, Edgell, et. Al (2008), mengutarakan bahwa

kebijakan publik adaah suatu proses dan produk-produk pengambikan

keputusan. Kebijakan pariwisata harus menyajikan seperangkat pedoman, yang

ketika dikombinasikan dengan tujuan perencanaan, memetakan arah tindakan

untuk pengambilan keputusan yang baik.

Terkait dengan pernyataan di atas, maka langkah awal yang dilakukan

oleh BOPDT sebelum tersusunnya perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba adalah melakukan tindakan untuk solusi kebersihan

Danau Toba dari limbah sampah rumah tangga, limbah hotel, restoran,

pencemaran dari budidaya perikanan dan pertumbuhan eceng gondok. Dengan

demikian, sejak dibentuknya BOPDT tahun 2016 sampai dengan sekarang,

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba belum dapat


405

direalisasikan ke semua daerah yang ada di Danau Toba. Namun, ada beberapa

rancangan standarisasi yang telah dimunculkan yaitu aksesibilitas yang terkait

dengan transportasi kapal penumpang maupun kapal ferry. Pelaksanaan

kegiatan di setiap pelabuhan sejak pertengahan tahun 2018 telah dilaksanakan

sesuai dengan kebijakan dan standar operasional prosedur tentang keselamatan

penumpang. Kemudian, fasilitas yang lain yang sedang dirancang adalah

standar pelayanan pariwisata di hotel, pelabuhan, bandara dan objek wisata.

Maka, khusus pada penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba, lintas sektor dan lintas daerah harus mengacu pada

standar kualitas dan layanan yang berlaku dan disepakati bersama untuk

mendukung visi dan misi di tingkat nasional.

Standarisasi sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan

pariwisata sehingga dapat memberi pengelompokan kriteria dalam pengelolaan

destinasi wisata karena tidak semua destinasi wisata mempunyai konsep yang

sama dalam pengembangannya terkait jenisnya seperti wisata budaya, wisata

sejarah, wisata religi dan lain sebagainya. Standarisasi ini juga dapat menjadi

acuan dalam pengambilan keputusan di sektor pariwisata dan menjadi strategi

penguatan daerah dalam mengimplementasikan kebijakan pariwisata yang telah

dirumuskan oleh pemerintah. Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian, maka

standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata adalah acuan dalam

pelaksanaan pembangunan pariwisata yang dapat menjadi strategi penguatan

daerah dalam mengembangkan potensi pariwisata menjadi unggul dan

memberikan nilai juga manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, pengembangan pariwisata harus mempunyai

standarisasi sehingga dapat menghasilkan kompetensi pada sumber daya alam


406

dan sumber daya manusia. Standarisasi juga menjadi sebuah acuan dalam

pengembangan pariwisata khususnya kawasan Danau Toba karena dikelilingi

oleh banyak daerah sehingga dapat mewujudkan perencanaan yang terpadu dan

terintegrasi melalui penguatan daerah sekitar Danau Toba. Standar dalam

perencanaan pembangunan pariwisata bisa terkait dalam penyediaan fasilitas

atau layanan seperti yang ada pada prinsip pariwisata yaitu 4 A (attraction.

amenities, aksesibilitas dan ancillary). Tujuan harus adanya standar dalam

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba, seperti yang

dikemukakan oleh Veal (2002) yaitu kesederhanaan (mudah dimengerti menjadi

hal penting untuk berkomunikasi), efisiensi, otoritas, measurability (mudah dimiliki

untuk pencapaian tujuan), komparatif dan ekuitas. Pernyataan Veal ini menjadi

ukuran dalam mengembangkan prinsip 4 A sehingga pengembangan suatu daya

tarik objek wisata itu harus dimulai dengan adanya suatu perbandingan dengan

objek wisata yang lain sehingga memberikan makna atau konsep yang dapat

menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung, begitu juga dengan informasi

dan pelayanan yang ada harus dapat yang mudah dimengerti dan dipahami oleh

wisatawan sehingga terjalin komunikasi yang baik antara wisatawan dengan

masyarakat atau pengelola objek wisata.

Penjelasan di atas, juga ditegaskan oleh Yoeti (2016), bahwa terdapat

beberapa aspek yang dapat menentukan standar perencanaan yaitu wisatawan,

pengangkutan, atraksi/objek wisata dan fasilitas pelayanan. Wisatawan yang

berkunjung ke Danau Toba mayoritas adalah muslim, sehingga standar yang

diharapkan adalah disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan mancanegara

maupun wisatawan nusantara yang muslim, seperti sarana dan prasarana

(ibadah) di objek wisata, kuliner (yang sesuai dengan taraf dan standar agama
407

Islam) juga terkait dengan kebersihan. Pariwisata dalam Islam juga

diperbolehkan dan dianjurkan, seperti yang dikemukakan oleh (Hajar, Supriyono,

Muluk, & Said, 2019) yaitu pariwisata adalah sebuah perjalanan dan dalam Islam

diperbolehkan melakukan perjalanan tanpa melanggar nilai-nilai agama.

Pariwisata dalam konsep Islam tidak melarang orang bepergian atau berlibur

tetapi tidak dengan hiburan yang dilarang oleh hukum Islam. Jadi, sangat penting

perencanaan pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba dalam

perspektif Islam sehingga dapat membuat kebijakan pariwisata yang tidak

terpisahkan dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama Islam. Ini karena

mayoritas wisatawan yang datang untuk mengunjungi wilayah Danau Toba baik

lokal maupun internasional adalah Muslim.

Pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat pentingnya

standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba

sehingga dapat memberikan kenyaman dan kemudahan pengunjung untuk lebih

lama di daerah objek wisata. Wisatawan yang lebih lama menetap di suatu

destinasi wisata akan memberikan nilai tambah kepada perekonomian daerah,

namun hal ini juga didukung oleh kebijakan dan program yang berorientasi

kepada pariwisata yang berstandar internasional seperti yang ada di beberapa

negara berkembang wilayah Asia Tenggara, seperti Thailand, Singaprura,

Vietnam termasuk Malaysia. Terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan

dalam menentukan standarisasi perencanaan pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba adalah masalah koordinasi antar sektor karena pariwisata

adalah bidang yang memiliki karakteristik tidak berdiri sendiri dan memiliki sifat

komplementer dan bersinggungan dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.


408

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskan sebuah

proposisi minor 2 (dua) sebagai berikut: “Jika proses dan tindakan dalam

pariwisata dilakukan dengan benar untuk kepentingan publik yang mempunyai

nilai dan manfaat kemudian menjadi pedoman dalam melaksanakan tujuan

perencanaan maka dapat mewujudkan standarisasi pembangunan pariwisata

yang dapat berdampak adanya sinkronisasi dan koordinasi antar daerah”.

6.3 Proses interaksi lembaga yang terlibat dalam perencanaan

pembangunan pariwisata, yang meliputi: adanya pemahaman yang

sama tentang visi, misi fungsi dan tujuan, adanya saling komitmen dan

keterbukaan (akses, data dan konsisten) dan semua pihak terlibat

langsung (pemerintah, pelaku usaha pariwisata, masyarakat dan

stakeholder)

Program pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba yang

dicanangkan oleh pemerintah pusat dengan termasuknya Danau Toba sebagai

destinasi prioritas untuk dikembangkan. Maka, upaya mendukung rogram

tersebut pemerintah mengajak semua pihak dan semua sektor untuk ikut terlbat

dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba sehingga tujuan

pembangunan pariwisata dapat terwujud.

RIPPARDA Provinsi Sumatera Utara juga telah mengemukakan bahwa

sasaran pembangunan pariwisata adalah 1) terkelolanya seluruh potensi

pariwisata secara lebih profesional dengan melibatkan peran aktif masyarakat

dan pengusaha/swasta yang sejalan dengan kepentingan penataan ruang,

peningkatan pendapatan asli daerah, pengembangan seni dan budaya daerah

serta pelestarian lingkungan; 2) mewujudkan Provinsi Sumatera Utara menjadi


409

daerah tujuan wisata regional; 3) memperluas kesempatan berusaha dan

lapangan kerja, mendorong penggunaan produk lokal; 4) menjadikan kegiatan

pariwisata menjadi kegiatan masyarakat dan pemerintah, menjaga kelestarian

serta memupuk rasa cinta alam dan budidaya serta memperhatikan nilai-nilai

agama. Sebagaimana point (1) bahwa peran aktif masyarakat dan

pengusaha/swasta sebagai stakeholders sangatlah penting untuk berkolaborasi

dengan pemerintah daerah dalam penyusunan perencanaan untuk mewujudkan

tujuan pembangunan pariwisata.

Sebagai tindak lanjut pemerintah dalam pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba adalah dibentuknya Badan Otorita Pariwisata Danau Toba

(BOPDT) yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49

Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba

yang bertugas melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi perencanaan,

pengembangan, pembangunan dan pengendalian di Kawasan Pariwisata Danau

Toba juga melakukan perencanaan, pengembangan, pembangunan,

pengelolaan dan pengendalian di kawasan Pariwisata Danau Toba. selain tugas,

BPODT ini juga berfungsi 1) penyusunan rencana induk di kawasan Pariwisata

Danau Toba; 2) penyusunan rencana detail pengembangan dan pembangunan

di kawasan pariwisata Danau Toba; 3) pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi dan

fasilitasi perencanaan, pengembangan, pembangunan dan pengendalian di

kawasan pariwisata Danau Toba; 4) penyusunan perencanaan, pengembangan,

pembangunan, pengelolaan dan pengendalian di kawasan pariwisata Danau

Toba; 5) perumusan strategi operasional pengembangan kawasan pariwisata

Danau Toba; 6) penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan pusat

dan daerah di kawasan pariwisata Danau Toba; 7) penetapan langkah strategis


410

penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan perencanaan, pengembangan,

pembangunan, pengelolaan dan pengendalian kawasan pariwisata Danau Toba;

8) pelaksanaan tugas lain terkait pengembangan kawasan pariwisata Danau

Toba yang ditetapkan dewan pengarah.

Tugas dan fungsi BOPDT tersebut diharapkan dapat berjalan

sebagaimana mestinya sehingga dapat mensinkronisasikan dan memperhatikan

segala aspirasi, budaya dan masukan dari masyarakat yang ada di kawasan

Danau Toba. Dengan adanya BOPDT ini juga diharapkan dapat memaksimalkan

kerja sama antar daerah, antar berbagai lembaga dan berbagai sektor sehingga

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dapat terealisasi

dengan baik.

Kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh BOPDT adalah

tersusunnya rencana induk pengembangan dan pembangunan kawasan

pariwisata Danau Toba serta rencana detail pengembangan dan pembangunan

5 (lima) tahunan kawasan Pariwisata Danau Toba, namun kewajiban ini belum

terlaksana sejak tahun 2016 hingga akhir 2018. Hambatan terbesar yang

dihadapi BOPDT adalah belum satu komitmennya daerah kabupaten yang di

kawasan Danau Toba sehingga penyatuan visi dan misi tidak dapat terealisasi.

Hambatan yang lain juga tidak terbukanya pihak-pihak yang terlibat dalam

pembangunan pariwisata dalam memberikan data dan informasi yang

sebenarnya dan belum konsistennya daerah dalam program pengembangan

pariwisata di kawasan Danau Toba termasuk pemerintah provinsi Sumatera

Utara.

BOPDT juga merupakan salah satu organisasi pemerintahan, Nugroho

(2018: 326) bahwa dalam administrasi negara sebagai organisasi pemerintahan


411

dapat dilihat dari jenjang politik dan jenjang manajerial, dimana kedua jenjang ini

berkaitan dengan keberadaan kelembagaan. Jenjang politik diberi nama Dewan

Pengarah yang mempunyai kemampuan untuk memberi dukungan

pembangunan infrastruktur fisik di kawasan dan pembebasan lahan di kawasan,

serta memberikan dukungan kemudahan dan percepatan perizinan di kawasan

dan di lingkungan kawasan yang mendukung pengembangan kawasan. Dewan

Pengarah ini berada di bawah otoritas Presiden.

Sedangkan, pada jenjang manjerial diberi nama Badan Pengelola yang

mempunyai kemampuan untuk 1) menyiapkan strategi pembangunan

infrastruktur, penyiapan lahan dan percepatan perizinan untuk diajukan kepada

Dewan Pengarah untuk dieksekusi oleh kementerian teknis; 2) menyiapkan

rencana usaha dengan muatan detail rencana pengembangan lokasi, promosi

dan penarikan investor untuk dieksekusi setelah disetujui Dewan Pengarah; 3)

mengelola kawasan sebagai sebuah kesatuan ekonomi/bisnis, sosial, kultural

dan lingkungan yang berbasiskan dan bertujuan kepada pariwisata. Apabila

dilihat dari segi politik dan manajerial, maka BOPDT merupakan lembaga

pelaksana untuk menjembatani komunikasi dengan daerah untuk

penyelenggaraan pembangunan pariwisata.

Dengan demikian, BOPDT diharapkan dapat membangun interaksi yang

baik dan tepat antar lembaga yang terlibat dalam perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba sehingga dapat menciptakan perencanaan

pariwisata yang terpadu khusus kawasan Danau Toba. Pembangunan pariwisata

merupakan kegiatan yang memiliki keterkaitan dan keterlibatan banyak sektor

tidak hanya kepada lembaga saja baik dari pemerintah maupun non pemerintah.
412

BOPDT harus melakukan interaksi baik dan tepat dan membangun

kerjasama yang baik dengan semua daerah di kawasan Danau Toba dan

berbagai lembaga dan sektor. Interaksi dan kerjasama ini juga berdasarkan

koordinasi terpadu yang dapat memberikan nilai dan manfaat dalam jangka

panjang dan berkelanjutan. Kerjasama antar daerah atau antar pemerintahan

dimaksudkan dapat saling berkoordinasi dan saling mengetahui kebutuhan untuk

mengatasi permasalahan publik yang sedang dialami, misalnya permasalahan

kawasan. Hal ini juga terkait dengan terdapat beberapa pelaksanaan urusan

pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh

daerah terkait sehingga dapat menciptakan efisiensi daerah dalam mengelola

pemerintahan yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat.

Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan aksi bersama yang harus

terjadi dalam perumusan kebijakan untuk kepentingan bersama apalagi terkait

dengan pembangunan kawasan seperti merumuskan perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba. Pola hubungan yang harus

dibangun dalam hal ini adalah proses relasi horizontal sehingga berimplikasi

pada pendekatan yang harus dipahami bersama oleh aktor yang terlibat. Faozan

(2008), mengidentifikasi beberapa faktor administratif penyebab belum

optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah, yaitu:

1. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah seringkali hanya merupakan

media formalitas, bukan karena keinginan untuk mengambil manfaat

sebesar-besarnya dalam kolaborasi yang dibangun.

2. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah kerapkali dibentuk hanya

dikarenakan oleh adanya tekanan dari suatu kebijakan yang biasanya


413

disusun oleh instansi pusat atau yang lebih tinggi, dan pada umumnya

validitas dan reliabilitasnya layak dipertanyakan.

3. Kolaborasi kerap diperkeruh oleh oknum-oknum pimpinan instansi

pemerintah perancang atau pengusul kebijakan tersebut sebagai lahan

added salary tanpa mempertimbangkan berbagai faktor sensitif yang

berkembang.

Pembangunan pariwisata sangat membutuhkan kerjasama yang

dilakukan secara optimal apalagi yang berkaitan dengan kawasan pariwisata

seperti Danau Toba. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Guo &

Sun, 2016), bahwa terdapat 4 (empat) masalah yang dihadapi negara Cina

dalam mengembangkan pariwisata pedesaan melalui sistem membangun

kerjasama negara, yaitu 1) negara-negara umumnya memerlukan industri

pariwisata harus secara lokal didorong dan dikembangkan; 2) kerjasama lintas

batas dan koordinasi antara negara-negara yang berdekatan dipandang

prasyarat untuk penguatan bersama industri pariwisata daerah; 3) pariwisata

dianggap menjadi pemicu penting untuk modernisasi kebijakan konservasi, dan

pembangunan pedesaan yang timbul dari konservasi; 4) literatur pariwisata

pedesaan menunjukkan bahwa pariwisata mendorong penciptaan lapangan kerja

lokal, pekerjaan ini cenderung menjadi menciptakan penjualan produk kerajinan,

kinerja budaya, keramah tamahan dan layanan akomodasi.

Pernyataan tersebut, juga dapat disandingkan dengan penjelasan yang

diungkapkan oleh Edgell, et.al (2008) yaitu partisipasi pemangku kepentingan

adalah penting ketika mengembangkan kebijakan pariwisata karena keragaman

organisasi dan kepentingan yang terlibat, baik dari sektor publik maupun swasta.

Pemangku kepentingan dapat mencakup warga lokal, pemilik bisnis, peraturan


414

publik dan departemen penggunaan lahan dan kantor, organisasi publik, swasta

dan nirlaba serta semua konstituen yang terlibat atau yang seharusnya terlibat

dalam pengambilan keputusan. Proses pengembangan pariwisata sangat

membutuhkan adanya pemberian dukungan tambahan untuk kerjasama yang

lebih besar dalam pembuatan keputusan pariwisata di semua tingkat. Banyak

organisasi yang terlibat dalam pempromosikan pariwisata dan tujuan yang

berbeda dalam membuat kebijakan pariwisata sehingga sulit untuk

dikoordinasikan dan diimplementasikan maka, penting adanya kebijakan yang

terintegrasi terutama pada pengembangan pariwisata yang berbentuk kawasan.

Terkait ungkapan Edgell, et.al inilah yang terjadi dalam perencanaan

pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba adalah tentang permasalahan

belum optimalnya kerjasama pemangku kepentingan. Kerjasama antar daerah di

kawasan Danau Toba inilah yang menjadi salah satu permasalahan yang harus

segera diselesaikan dan mendapatkan solusi yang dapat memecahkan masalah

ego sektoral yang sedang dihadapi dalam penyusunan perencanaan

pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba. Permasalahan ego sektoral

ini disebabkan oleh masing-masing daerah di kawasan Danau Toba mempunyai

keunggulan dan kreativitas sendiri dalam mengembangkan pariwisata Danau

Toba. Tidak optimalnya kerjasama antar pemerintahan daerah di kawasan

Danau Toba telah menjadi permasalahan publik, sehingga hal ini menjadi salah

satu alasan pemerintah pusat untuk segera mengatasi permasalahan tersebut,

sehingga membentuk lembaga BOPDT.

Hubungan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah provinsi juga

daerah kabupaten yang ada di Kawasan Danau Toba harus mengacu kepada

ketentuan Permendagri No. 90 Tahun 2019 Tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan


415

Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah sehingga

dalam melaksanakan program dan kegiatan dapat terlaksana dengan baik sesuai

dengan tugas dan fungsinya. Permasalahan yang dihadapi oleh BPODT dalam

mengntegrasikan kebijakan dengan daerah-daerah kawasan Danau Toba terkait

pada tdak jelasnya kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten

dalam melaksanakan kegiatan dan program yang telah direncanakan sehingga

diperlukannya pemilahan dalam pengaturan urusan di masing-masing daerah.

Sesuai dengan Permendagri No. 90 Tahun 2019 ini, maka terdapat

klasifikasi dan kodefikasi fungsi yang dapat menjadi solusi dalam membangun

kerjasama yang baik antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten melalui

BPODT, yaitu 1) pelayanan umum dengan kode 1; 2) ketertiban dan keamanan

dengan kode 2; 3) Ekonomi dengan kode 3; 4) Perlindungan lingkungan hidup

dengan kode 4; 5) perumahan dan fasilitasi umum dengan kode 5; 6) kesehatan

dengan kode 6; 7) pariwisata dengan kode 7; 8) pendidikan dengan kode 8 dan

9) perlindungan sosial dengan kode 9. Dengan adanya pengkodean fungsi ini

dapat memberikan kemudahan dalam membangun kerjasama yang baik antar

pemerintah karena penggolongan ini berdasarkan urusan wajib yang berkaitan

dengan pelayanan dasar juga urusan wajib yang tidak berkaitan dengan

pelayanan dasar, urusan pilihan, unsur pendukung, unsur penunjang, unsur

pengawas, unsur kewilayahan, unsur pemerintahan umum, dan unsur

kekhususan. Dimana, setiap fungsi dapat berjalan dengan baik misalnya di

sektor pariwisata.

Penggolongan fungsi juga termasuk pada klasifikasi dan kodefikasi

organisasi yang disusun berdasarkan urusan pemerintahan dan unsur yang

melaksanakan urusan pemerintahan. Sedangkan nomenklatur organisasi


416

menyesuaikan perumpunan, sehingga pemerintah daerah dapat melakukan

pemetaan (mapping) atas klasifikasi, kodefikasi dan nomenklatur organisasi.

Terkait dengan kawasan Danau Toba, maka dapat dilakukan pemetaan atas

klasifikasi unsur kewilayahan, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan

perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dengan melihat

dari potensi daerah yang dimiliki masing-masing daerah.

Klasifikasi dan pengkodean urusan pemerintahan terutama pada sektor

pariwisata kawasan Danau Toba dapat dilaksanakan berdasarkan pembagian

wilayah yang meliputi Inti, Tengah dan Pinggiran atau berdasarkan klasifikasi

potensi daerah kawasan Danau Toba yang meliputi karakteristik budaya, sejarah

dan keindahan alam. Dengan adanya pembagian klasifikasi ini maka

memudahkan kerjasama antar pemerintah daerah yang ada di kawasan Danau

Toba, dan BPODT sebagai manajemen pengelola, provinsi sebagai pengawas

dan kabupaten sebagai penyelenggara.

Solusi mengoptimalkan kerjasama daerah kawasan Danau Toba juga

dengan adanya kebijakan yang mengatur tentang kerjasama di kawasan Danau

Toba, seperti adanya MoU antar daerah baik kabupaten maupun provinsi, Mou

BOPDT dengan provinsi dan kabupaten, dan Mou dengan berbagai lembaga

pemerhati pariwisata. Namun, ini jugalah yang menjadi penyebab kerjasama

belum dapat optimal karena tidak adanya Mou yang jelas untuk mengikat

perjanjian kerjasama pada setiap stakeholder atau para pemangku kepentingan

sehingga pariwisata di kawasan Danau Toba dapat dinyatakan berjalan secara

sendiri-sendiri di daerah masing-masing tanpa ada yang menjadi pedoman. Ini

juga disebabkan tidak ada standar yang jelas dalam pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba sehingga sinkronisasi dan koordinasi di antar daerah juga
417

tidak dapat dilakukan dengan efektif. Namun, dengan adanya pengklasifikasian

unsur kewilayahan di kawasan Danau Toba memudahkan tersusunnya kebijakan

yang mengatur terjalinnya kerjasama antar pemerintah daerah di Kawasan

Danau Toba.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Mazzeo Rinaldi, 2016)

bahwa dalam perencanaan terdapat adanya penekanan pada stakeholders yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor politik, sosial dan juga kapasitas administratif

karena sebuah perencanaan yang strategis disusun dengan prinsip kemitraan,

namun konsep ini dilakukan pada daerah yang telah hilang pengaruh budaya

politik sehingga lebih mengarah kepada kapasitas administratif yang bertujuan

untuk menjelaskan keberhasilan dan kegagalan dari program pembangunan

daerah. Kemudian Sunaryo (2013: 88), mengemukakan bahwa pariwisata

sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral maupun regional sangat tinggi,

maka pengembangan sektor pariwisata memerlukan koordinasi dan integrasi

kebijakan yang sangat insentif untuk mendukung pencapaian visi, misi dan

tujuan yang akan dicapai. Koordinasi dan sinergi pengembangan tidak saja

dalam kerangka kerjasama dan dukungan lintas sektor atau lintas kementerian

antar stakeholders dengan unsur swasta dan masyarakat sebagai pelaku-pelaku

penting di lapangan.

Terkait dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa konsep

kemitraan atau kerjasama dalam penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba belum sepenuhnya dapat dilaksanakan

sehingga penyatuan komitmen dan terciptanya pembangunan pariwisata yang

terpadu belum dapat diwujudkan. Sedangkan keterpaduan dan penyatuan

komitmen dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba antar lembaga


418

dan antar sektor menjadi unsur pendukung yang sangat penting dan dapat

memberikan sinergi bagi program pengembangan pariwisata secara lintas

daerah dan lintas sektor, maka proses ini harus dibangun secara efektif , holistik

dan komplementer.

Terdapatnya beberapa pelaksanaan urusan pemerintahan yang

mengakibatkan pada dampak lintas daerah yang harus mengelola bersama

untuk kepentingan publik, maka pentingnya adanya kerjasama antar pemerintah

daerah khususnya pada kawasan Danau Toba. Kerjasama ini untuk mendukung

tersusunnya perencanaan pembangunan pariwisata yang terpadu dan

terintegrasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan daerah masing-masing yang

ada pada kawasan Danau Toba. Maka, terdapat beberapa prinsip yang harus

dijaga dalam melakukan kerjasama antar daerah, yaitu: 1) perlunya inklusivitas

dalam kerjasama untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat dan

menerapkan kaidah-kaidah partisipatif; 2) mempertahankan komitmen dan

semangat kerjasama; 3) selalu mempelajari pilihan/alternatif, dan mengambil

pilihan yang paling realsitis; 4) memperhatikan detil teknis dalam kerjasama; 5)

evaluasi secara berkala dan menjaga koridor kerjasama agar tetap mengarah

pada tujuan awal kerjasama; 6) responsif terhadap permasalahan yang muncul.

Mahathir dan Ishihara (Sunaryo, 2013: 82) berpendapat bahwa

mewujudkan tata kelola kepariwisataan yang baik, ternyata sangat memerlukan

terciptanya kondisi ideal dari ketiga pemangku kepentingan (stakeholders)

sebagai berikut: Pertama, Pihak pemerintah harus mempunyai kemampuan

untuk mewadahi proses politik atau pengambilan keputusan mengenai norma

dan kebijakan yang selanjutnya bisa diimplementasikan dalam bentuk regulasi

dalam proses birokrasi pemerintahan; Kedua, Pihak industri atau usaha swasta
419

harus mempunyai kemampuan untuk selalu meningkatkan persediaan modal,

membuka kegiatan baru, dan menawarkan kesempatan berusaha baru untuk

masyarakat luas; sedangkan ketiga, pihak masyarakat madani (civil society)

harus mempunyai kemampuan mandiri untuk membangun norma positif,

merumuskan permasalahan, mengartikulasikan permasalahan dan kepentingan

masyarakat luas dan mampu melakukan pengawasan terhadap kedua mitranya.

Menanggapi pernyataan di atas, Mason (2003: 82), menjelaskan bahwa

terdapat (4) empat pemain kunci dalam perencanaan dan pengelolaan

pariwisata, yaitu wisatawan, masyarakat daerah, pelaku usaha pariwisata dan

pemerintah yang terdiri dari pemeritah daerah, regional, nasional dan bahkan

internasional. Dengan demikian, dalam proses pelaksanaan pembangunan

daerah melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta dan lembaga atau

masyarakat secara individual, maka dalam proses pelaksanaan pembangunan

daerah terutama pada sektor pariwisata tidak hanya menjadi tanggungjawab

pemerintah, tetapi diperlukan dukungan dan partisipasi swasta dan masyarakat,

baik secara individual maupun secara institusional. Namun, secara umum dalam

pelaksanaan pembangunan daerah, pemerintah mempunyai peran yang

signifikan terutama pada negara-negara yang menganut sistem desentralisasi.

Pemerintah mempunyai kewenangan dalam setiap tahapan dan proses

pembangunan yang dilaksanakan di daerahnya, dimana pemerintah diberikan

ruang oleh berbagai regulai untuk melaksanakan pembangunan di daerah

termasuk perencanaan pembangunan. Di dalam proses pelaksanaan

pembangunan inilah, pentingnya ada penguatan daerah.

Pentingnya proses interaksi antar lembaga/stakeholders dalam

mengoptimalkan penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan


420

Danau Toba diharapkan dapat menciptakan pengembangan potensi pariwisata

yang profesional dan berkualitas serta menjadi kawasan pariwisata terpadu dan

terintegrasi. Merujuk kepada konteks otonomi daerah, maka daerah diberikan

ruang untukl melaksanakan perencanaan pembangunan yang dikoordinasikan,

disinergikan dan diharmonisasikan oleh perangkat daerah yang membidangi

perencanaan pembangunan daerah, dengan menggunakan pendekatan

partisipatif dan melibatkan peran serta masyarakat dan sektor swasta. Seperti

yang dikemukakan oleh Kumar (2001), bahwa perencanaan yang

terdesentralisasi dapat mewujudkan integrasi dalam kerangka rencana yang

konsisten sehingga menyebabkan perkembangan masa depan secara

berkelanjutan. Kerangka rencana pusat/negara harus terintegrasi dengan

rencana daerah/provinsi/kabupaten, maka diperlukan penataan pada tingkat

yang berbeda.

Kemudian, UN-WTO (Pitana dan Diarta, 2009: 113) menjelaskan bahwa

peran pemerintah dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan

pariwisata sangat strategis dan bertanggungjawab terhadap beberapa hal yang

berkaitan dengan kepariwisataan, sebagai berikut:

1. Membangun kerangka (framework) operasional dimana sektor publik dan

swasta terlibat dalam menggerakkan denyut pariwisata.

2. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi dan kontrol

yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan dan pelestarian

budaya serta warisan budaya.

3. Menyediakan dan membangun infrastruktur darat, laut dan udara dengan

kelengkapan sarana komunikasinya.


421

4. Membangun dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dengan

menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk menyuplai

kebutuhan tenaga kerja di sektor pariwisata

5. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusun ke dalam rencana konkrit

yang mungkin termasuk di dalamnya: a) evaluasi kekayaan aset pariwisata,

alam dan budaya serta mekanisme perlindungan dan pelestariannya; b)

identifikasi dan kategorisasi produk pariwisata yang mempunyai keunggulan

kompetitif dan komparatif; c) menentukan persyaratan dan ketentuan

penyediaan infrastruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan yang akan

berdampak pada keragaman pariwisata; d) mengelaborasi program untuk

pembiayaan dan aktivitas pariwisata, baik untuk sektor publik maupun

swasta.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka walaupun peran

pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan pariwisata sangat

penting akan tetapi juga harus mempertimbangkan pihak-pihak lain dalam

pengambilan keputusan dalam membuat sebuah kerangka rencana daerah.

Secara umum, pembangunan pariwisata menciptakan peluang bisnis dan

investasi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan sosial dan

ekonomi masyarakat serta meningkatkan dan memperkuat perekonomian

daerah. Maka, dalam konteks pembangunan pariwisata melalui perencanaan

yang terdesentralisasi dapat memperkuat kapasitas daerah dengan

menggunakan sumber daya yang dimiliki daerah juga melibatkan kerjasama

yang serasi dan berimbang antara pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan

pembangunan pariwisata.
422

Melalui pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dirumuskan

sebuah proposisi minor 3 (tiga) sebagai berikut: “Jika pembangunan pariwisata

melibatkan semua pihak (pemerintah, pelaku usaha pariwisata, masyarakat dan

sektor swasta) dan dimanajemen satu pola dan terpadu kemudian dilakukan

dengan baik dan benar maka akan memperkuat daerah dalam meningkatkan

kapasitas dan kapabilitasnya dalam mengembangkan pariwisata juga dapat

menyatukan pemahaman dan komitmen dalam percepatan pembangunan

pariwisata secara terpadu dan terintegrasi”.

6.4 Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba,

yang meliputi fleksibilitas yang adaptif, antisipasi terhadap tuntutan

masa depan, dan responsive terhadap dinamika perkembangan

pariwisata.

Perencanaan disusun untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan kebijakan

dan program yang telah ditentukan, juga dengan adanya perencanaan setiap

organisasi dapat memperoleh kemajuan secara sistematis dalam mencapai hasil

yang diinginkan termasuk dalam penyelenggaraan pembangunan pariwisata

khususnya kawasan Danau Toba. Namun, untuk membuat suatu perencanaan

diperlukan sebuah kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan sedangkan

dalam pengambilan keputusan diperlukan data dan analisa resiko yang

kemungkinan besar harus diambil.

Terkait data dan resiko yang harus diambil dalam pengambilan keputusan,

maka dalam konsep perencanaan pembangunan kepariwisataan menurut

Erickson (UNESCO, 2009: 10) bahwa tahap awal yang dilakukan adalah

identifikasi sumber daya dan penyelidikan terhadap potensi-potensi yang ada.


423

Identifikasi sumber daya dan penyelidikan terhadap potensi-potensi adalah

proses bagaimana organisasi melakukan identifikasi terhadap berbagai potensi

sumber daya yang dimilikinya kemudian menjadi model dalam pelaksanaan

pembangunan. Dengan demikian, kawasan Danau Toba dalam upaya

pengembangan pariwisata di semua sektor maka harus melakukan identifikasi

terhadap potensi-potensi pariwisata yang dimiliki setiap daerah di Danau Toba.

Valeriani (2010: 2) bahwa pembangunan yang dilakukan harus dapat menggali

seluruh potensi yang ada pada masing-masing daerah untuk diolah sehingga

bermanfaat secara riil. Potensi tersebut terdiri dari potensi sumber daya alam,

sumber daya manusia, potensi cultural dan potensi lainnya yang harus

diupayakan dan diberdayakan secara optimal. Diantara potensi-potensi tersebut,

kekayaan alam dan kultur budaya dapat dioptimalkan perannya dalam

pembangunan melalui pariwisata. Maka, terdapat beberapa alasan yang

mendorong pemerintah untuk membangun kepariwisataan, seperti yang

diungkapkan oleh Antariksa (2016: 35), sebagai berikut:

1. Berbagai motivasi tersebut dapat menjadi peluang bagi negara untuk

membangun perekonomiannya melalui suatu pola kebijakan yang terintegrasi.

2. Peluang tersebut mengandung pengertian terbukanya lapangan pekerjaan,

peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi pariwisata,

meningkatkan nilai/citra suatu wilayah geografis, termasuk yang miskin

sumber daya ekonomi, dan mendorong revitalisasi suatu wilayah geografis

yang telah kehilangan daya tariknya.

3. Bagi negara berkembang, industri pariwisata dapat dikatakan merupakan

media pembangunan ekonomi yang tidak memerlukan investasi terlalu besar

dalam jangka panjang sebelum dapat memberikan keuntungan.


424

4. Dalam melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana pendukung, jika hal

tersebut bergantung kepada teknologi dari Negara lain, maka devisa untuk

pembangunan akan tersedot ke luar negeri karena keharusan mengimpor

barang, namun sektor pariwisata dapat mengurangi ketergantungan impor

karena barang-barang dapat diperoleh atau disediakan oleh destinasi

pariwisata yang berkaitan dengan kerajinan tangan, dan lain-lain.

5. The United Nations World Tourism Organization (UNWTO), sektor pariwisata

telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian dunia antara lain

sebagai berikut: jumlah kunjungan wisatawan internasional adalah 1,035

milyar kali, nilai ekspor mencapai US $1,3 triliun, pencipta 1 dari 11 lapangan

pekerjaan (selama tahun 2012), dan pada tahun 2030 jumlah perjalanan

internasional diduga akan mencapai 1,8 milyar kali. Pada tahun 2020 saja

diperkirakan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah perjalanan jarak jauh

(long-haul) dari 18 % menjadi 24 %. (World Tourism Organization. Tourism

Vision 2020: Europe)

6. Berkaitan langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan, sektor pariwisata

dianggap memiliki peran yang sangat penting. Industri pariwisata dapat

mengurangi tingkat kemiskinan karena karakteristiknya yang khas sebagai

berikut: a) Konsumennya dating ke tempat tujuan sehingga membuka peluang

bagi penduduk lokal untuk memasarkan berbagai komoditi dan pelayanan.; b)

Membuka peluang bagi upaya diverifikasi ekonomi lokal yang dapat

menyentuh kawasan-kawasan marginal; c) Membuka peluang bagi usaha-

usaha ekonomi padat karya berskala kecil dan menengah yang terjangkau

oleh kaum miskin; d) Tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga
425

tergantung pada modal budaya (cultural capital) dan modal alam (natural

capital) yang seringkali merupakan asset yang dimiliki oleh kaum miskin.

Pentingnya pembangunan kepariwisataan sebagai pilar utama dalam

pembangunan ekonomi nasional, juga disampaikan oleh Yusuf (2016), bahwa

pariwisata sebagai core ekonomi Indonesia yang memiliki banyak keunggulan

kompetitif dan keunggulan komparatif, yaitu:

1. Pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar

Tahun 2019, industri pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa

terbesar di Indonesia sebesar US$24 Miliar, melampaui sektor migas,

batubara dan minyak kelapa sawit. Dampak devisa ini yang masuk langsung

dirasakan oleh sluruh lapisan masyarakat.

2. Terbaik di regional

Tahun 2019, pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi terbaik di kawasan

regional, bahkan melampaui ASEAN. Pesaing utama kita adalah Thailand

dengan devisa pariwisata lebih dari US$40 milyar, sedangkan Negara

lainnya relative mudah dikalahkan.

3. Country branding wonderful Indonesia

Country Branding Wonderful Indonesia yang semula tidak masuk ranking

branding di dunia, pada tahun 2015 melesat lebih dari 100 peringkat menjadi

ranking 47, mengalahkan Country Branding Truly Asia Malaysia (ranking 96)

dan Country Branding Amazing Thailand (ranking 83). Country Branding

Wonderful Indonesia mencerminkan positioning dan differentiating pariwisata

Indonesia.

4. Indonesia Incorporated
426

Negara ini hanya akan dapat memenangkan persaingan di tingkat regional

dan global apabila seluruh kementerian/lembaga yang ada bersatu padu

untuk fokus mendukung Care Business yang telah ditetapkan.

5. Indonesia sebagai Tourism Hub Country

Untuk menjadi Trade and Investment Hub akan terlalu sulit bagi Indonesia

untuk mengalahkan Negara lain, seperti Singapura. Di lain pihak, Indonesia

dapat dengan mudah menjadi destinasi utama pariwisata dunia sekaligus

Tourism Hub. Dengan menjadi Tourism Hub, yang pada prinsipnya

menciptakan people to people relationship, maka diyakini Trade and

Investment akan ikut tumbuh dengan pesat.

6. Alokasi sumber daya

Setelah ditetapkan sebagai Care Business Negara, maka alokasi sumber

daya terutama anggaran harus diprioritaskan.

Pembangunan kepariwisataan dalam pelaksanaannya terbagi dalam 2

(dua) aspek yaitu secara administratif dan secara destinatif. Secara administratif,

tindak lanjut RIPPARNAS adalah RIPPARDA, namun RIPPARDA Provinsi

Sumatera Utara ini belum disahkan masih berupa rancangan. Setiap daerah

mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif ini berkaitan

dengan kebijakan yang harus dilaksanakan dalam mendukung pembangunan

kepariwisataan. Sedangkan secara destinatif diaksanakan sebagai suatu solusi

yang dilakukan pemerintah untuk melaksanakan pengembangan sektor

pariwisata yang bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik kebijakan dan


427

juga untuk tetap melaksanakan pengembangan destinasi yang baru atau yang

diprioritaskan.

Secara destinatif, bahwa sektor pariwisata tidak bekerja sendiri tetapi

bermitra dengan sektor yang lain dalam melaksanakan pembangunan

kepariwisataan. Sesuai dengan arahan Presiden mengenai pariwisata melalui

Surat Setkab No. B-652/Seskab/Maritim/11/2015, pada tanggal 06 November

2015, seperti kementerian pekerjaan umum berkaitan dengan pembangunan

infrastruktur di wilayah destinasi wisata (akses), kementerian keuangan terkait

pembiayaan, kementerian maritim terkait penyelesaian hal-hal yang menjadi

kendala perbaikan destinasi pariwisata dan lainnya. Tindakan destinatif dilakukan

dengan adanya intervensi langsung pemerintah kepada destinasi wisata yang

dituju, melalui jejaring lembaga-lembaga/kementerian yang terkait dengan

arahan yang diberikan Presiden untuk pelaksanaan kebijakan pembangunan

kepariwisataan.

Pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba dalam proses

penyusunan perencanaannya harus dilakukan pengumpulan informasi, data dan

pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Pengumpulan

informasi dan data untuk proses penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba, terdapat isu-isu strategis yang harus segera

diberikan solusi dan tindakan, agar tidak menjadi hambatan dalam

pengembangan pariwisata Danau Toba ke depan. Namun, pariwisata yang

dikembangkan juga harus berpatokan terhadap isu-isu strategis yang dapat

mempengaruhi peluang dan tantangan dalam pengembangannya. Elliot (1997:

68), mengemukakan salah satu masalah utama yang dihadapi sektor pariwisata

adalah koordinasi dari berbagai pemerintah dan publik dan swasta lembaga
428

untuk mencapai kesepakatan tentang cara mengatasi masalah dan mengambil

keputusan.

Pernyataan Elliot ini juga yang menjadi permasalahan dan isu strategis

yang harus dihadapi pemerintah dalam mengembangkan pariwisata di kawasan

Danau Toba. Tindak lanjut yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi

isu strategis dalam pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba, maka

dibentuklah BOPDT sebagai badan pelaksana sekaligus pengelola pariwisata di

kawasan Danau Toba. BOPDT merupakan salah satu organisasi pemerintah

yang ditempatkan di kawasan Danau Toba sebagai perpanjangan tangan dari

Kementerian Pariwisata dalam melaksanakan program pengembangan

pariwisata menuju Danau Toba berkelas dunia setara Monaco Asia.

BOPDT ini diharapkan dapat menjamin pelaksanaan program pariwisata

secara terpadu dan berkelanjutan, namun dalam pelaksanaannya pun BOPDT

harus bekerjasama dengan pemerintah daerah (Kabupaten), pemerintah

provinsi, pelaku usaha dan masyarakat untuk memajukan pariwisata Danau

Toba. BOPDT ini dalam mengelola pariwisata Danau Toba dengan memakai

model manajemen tunggal yang langsung melaporkan pertanggungjawaban

kepada Dewan Pengarah dan Presiden. Namun, bukan berarti pemerintah

daerah dan pemerintah provinsi hanya berpangku tangan tetapi harus

mendukung dan bersama-sama memberikan dampak positif terhadap kemajuan

ekonomi setiap daerah di kawasan Danau Toba. Badan otorita juga berfungsi

sebagai manajemen dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba,

sedangkan provinsi sebagai pengawas dan penyelenggaranya adalah

kabupaten. Ketiga unsur pemerintah ini harus secara bersama-sama


429

melaksanakan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba melalui

perencanaan yang baik dan mempunyai nilai serta manfaat ke masa depan.

Terdapat berbagai permasalah yang harus diselesaikan secara bersama-

sama yaitu tentang pencemaran lingkungan yang ada di seluruh kawasan Danau

Toba. Masalah ini menjadi masalah yang paling penting harus diselesaikan karna

terkait dengan berbagai sektor lainnya termasuk sektor pariwisata. Masalah

lingkungan yang ada di Danau Toba adalah pencemaran air Danau Toba akibat

berbagai aktivitas manusia seperti keramba jaring apung milik perusahaan

maupun milik perorangan atau kelompok masyarakat, limbah hotel, restoran dan

limbah ternak yang masuk ke pengairan Danau Toba. Maka, adanya komitmen

Kementerian Pariwisata dengan Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber

Daya untuk menjadikan Danau Toba menjadi kawasan wisata berkelas dunia

maka seluruh kegiatan budidaya ikan di Danau Toba harus dibersihkan termasuk

tumbuhan air encek gondok yang sudah semakin meluas penyebarannya.

Tidak hanya faktor lingkungan yang harus diselesaikan dalam

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba, faktor yang tidak kalah

pentingnya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pariwisata. Sarana

pariwisata adalah fasilitas yang sangat mendasar dalam memenuhi kebutuhan di

daerah wisata, dan juga merupakan faktor pendukung dalam pembangunan

pariwisata. Sarana pariwisata ini harus dapat memberikan kenyamanan bagi

wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya, antara lain hotel, biro

perjalanan, alat transportasi, restoran atau rumah makan serta sarana yang

lainnya sebagai pendukung dalam pengembangan pariwisata.

Prasarana dalam pariwisata juga diperlukan seperti rumah sakit, sekolah,

bank/atm yang dapat mendukung penyelenggaraan pembangunan pariwisata.


430

Pelayanan pariwisata juga harus ditingkatkan seperti pemberian informasi

kepada setiap wisatawan dalam melakukan kunjungan ke daerah wisata, maka

perlunya pusat informasi pariwisata di setiap objek wisata yang ada di kawasan

Danau Toba.

Berdasarkan hasil penelitian Dredge dan Jamal (2017) bahwa

perencanaan pariwisata dapat memberikan pemetaan ruang yang inovatif

sehingga terbentuk pengetahuan dan pengembangan metodologi yang lebih kuat

untuk pengembangan pariwisata tidak direncanakan dengan baik maka akan

menimbulkan masalah-masalah yang berdampak kepada sosial budaya pada

tempat atau daerah yang akan dikembangkan sektor pariwisata. Sedangkan

Inskeep (1991) bahwa perencanaan pembangunan kepariwisataan sebagai

suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematos dan rasional segenap

kegiatan atau aktivitas kepariwisataan yang akan dilakukan untuk mencapai

suatu tujuan tertentu dan merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut

secara optimal dengan mengalokasikan keseluruhan sumber daya yang tersedia

secara efektif dan efisien.

Kemudian, Clare A Gunn (Sunaryo, 2013:132) juga menjelaskan bahwa

perencanaan pembangunan kepariwisataan merupakan sebuah prediksi dan

proyeksi ke depan melalui proses yang menggambarkan keinginan dan

kebutuhan yang akan dicapai melalui segenap pertimbangan terhadap analisis

dan pengalaman yang ada dalam menyatakan tujuan-tujuan kepariwisataan yang

akan diwujudkan. Namun secara konseptual dan teoritik, berdasarkan hasil

penelitian Lusticky, et.al (2011) bahwa yang membedakan perencanaan

pembangunan pariwisata dengan perencanaan pembangunan secara umumnya

adalah manajemen strategisnya. Maka, dalam pelaksanaan perencanaan


431

pembangunan pariwisata harus memiliki nilai yang mendasari suatu model dan

strategi perencanaan pembangunan kepariwisataan.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba harus dilakukan dengan hati-hati, mendalam,

menyeluruh dan tepat untuk mengantisipasi keseluruh keadaan yang akan terjadi

di masa mendatang. Perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba diperlukan untuk mewujudkan pariwisata yang unggul dan memiliki

kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui penguatan daerah dengan

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas daerah dalam pelaksanaan

pembangunan daerah di sektor pariwisata.

Pentingnya perencanaan dalam pembangunan pariwisata yang

dikemukakan oleh Saul M. Katz dalam Tjokroamidjojo (1995: 9), menyebutkan

bahwa perencanaan dilihat sebagai suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan,

maka terdapat beberapa alasan pentingnya perencanaan, yaitu: 1) Dengan

adanya perencanaan diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan,

adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada

pencapaian tujuan pembangunan; 2) Dengan perencanaan maka dilakukan

suatu perkiraan terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilakukan.

Perkiraan dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek

perkembangan tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko

yang mungkin dihadapi; 3) Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih

berbagai alternatif tentang cara yang terbaik (the best alternative) atau

kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik (the best combination);

4) Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-

urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya; 5)
432

Dengan adanya rencana maka akan adanya suatu alat pengukur atau standar

untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi (control/evaluation).

Pembangunan pariwisata tidak hanya berbicara tentang peningkatan

sarana dan prasarana, tetapi juga tentang pembangunan sumber daya

manusianya, sosial dan lingkungan. Ada beberapa hal yang memang dialami

dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba yaitu minimnya

kemampuan sumber daya manusia untuk dapat mengembangkan pariwisata ke

depan yang mengikuti tuntutan zaman sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan

yang diperlukan dalam pariwisata.

Rencana pengembangan pariwisata Danau Toba adalah program kerja

yang harus terlaksana dan menjadi wujud nyata kinerja pemerintah di sektor

pariwisata. Namun, perencanaan yang direncanakan dapat tersusun dalam

kurun waktu yang telah ditentukan tidak dapat terealisasi dengan baik oleh

pemerintah dalam hal ini BOPDT. Pariwisata Danau Toba menjadi kawasan

wisata prioritas yang harus dikembangkan, maka sebagai kawasan yang

dikelilingi oleh beberapa kabupaten seharusnya perencanaan yang terintegrasi

dan terpadu dapat tercipta dan menjadi pedoman atau acuan bagi setiap daerah

untuk melaksanakannya.

Sejalan dengan pernyataan di atas, hasil penelitian yang dilakukan oleh

Heiner, et.al (2019) bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah harus

dapat memperkuat sistem pemerintahan daerah dalam proses pengambilan

keputusan dan meningkatkan perannya dalam membangun kerjasama dengan

pihak lain baik secara lokal atau nasional, sektor swasta atau lembaga

pembangunan internasional. Namun, upaya mempercepat pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba, dilakukan sebuah proses dan tindakan yang
433

dilakukan oleh pemerintah pusat yaitu memfokuskan satu manajemen dalam

pengelolaan pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga dapat mewujudkan

pembangunan pariwisata yang profesional dan berkualitas melalui perencanaan

terintegrasi dan terpadu.

Pelaksanaan satu manajemen dalam pengelolaan perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba bertujuan untuk

mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan yang dilakukan oleh

daerah, karena penyelenggaraan pembangunan pariwisata harus tetap daerah

yang melaksanakannya sedangkan pihak provinsi hanya sebagai pengawas dan

BOPDT sebagai pengelola manajemen sehingga menghasilkan pariwisata yang

unggul dan berdaya saing sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik.

Pelaksanaan satu manajemen ini juga dapat menghasilkan perencanaan

terintegrasi dan terpadu. Seperti yang dikemukakan oleh (Lin & Simmons, 2017)

bahwa terdapat 3 (tiga) kontribusi yang dapat dihasilkan dari perencanaan yang

terintegrasi yaitu

1. Adanya pola baru perencanaan kolaboratif di bidang pariwisata

2. Adanya peran pemangku kepentingan utama (yang memiliki modal sosial

dan modal institusional) dalam perencanaan pariwisata.

3. Sebagai koordinator untuk mempromosikan kolaborasi yang efektif dan

dapat berkontribusi untuk hasil pariwisata yang berkelanjutan.

Berdasarkan pernyataan di atas maka perencanaan terintegrasi dimaknai

oleh adanya sistem kolaborasi atau perpaduan nilai-nilai yang berbeda yang

saling menyesuaikan sehingga tercipta pola pembauran yang utuh dalam

kehidupan. Pentingnya perencanaan yang terintegrasi dalam pembangunan


434

pariwisata sehingga sektor pariwisata benar-benar dapat mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya secara terintegrasi, perencanaan

pembangunan pariwisata juga perlu dilakukan secara terpadu sehingga segala

tindakan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan adalah satu

komitmen, visi, misi dan tujuan. Perencanaan terintegrasi dan terpadu ini harus

dilakukan dengan secara administratif dan secara destinatif sehingga penyatuan

komitmen, visi dan misi serta tujuan dapat tersinkronisasi secara efektif sehingga

koordinasi dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dapat berjalan

sebagaimana mestinya.

Seluruh pemangku kepentingan (BOPDT, Pemerintah

Provinsi/Kabupaten, pengusaha/swasta dan masyarakat) yang terlibat dalam

penyelenggaraan pembangunan pariwisata harus dapat melaksanakan

pendekatan administratif dan pendekatan destinatif sehingga dapat mewujudkan

hubungan jejaring organisasi yang dapat menghadapi tantangan dalam

mengembangkan sektor pariwisata. Dimana secara administratif dapat

mengidentifikasi potensi pariwisata yang diprioritaskan dan diunggulkan melalui

potensi yang dimiliki daerah kemudian secara destinatif dilakukan solusi yang

dapat menyatukan pemahaman visi, misi dan tujuan dalam pembangunan

pariwisata sehingga menghasilkan komitmen bersama untuk melakukan

koordinasi dan sinkronisasi dalam mewujudkan tujuan pembangunan pariwisata

melalui perencanaan yang terintegrasi dan terpadu pada kawasan Danau Toba.

Berdasarkan penjelasan analisis dan pembahasan hasil penelitian di atas,

maka dapat disusun matriks temuan penelitian, proposisi dan implikasi teori

sebagai berikut:
435

Tabel 6.1 Matriks Hasil Penelitian, Proposisi dan Implikasi Teori


No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori
1 Perencanaan Konsep perencanaan yang proposisi Belum maksimal dalam
Pengembangan harus dilakukan dalam minor 1 (satu) pembangunan pariwisata kawasan
Potensi pengembangan potensi sebagai Danau Toba dan tidak seperti
Pariwisata pariwisata di kawasan Danau berikut: “Jika yang dikemukakan oleh Kumar
Kawasan Danau Toba. Hal ini terkait dengan isu- pengembanga (2001: 1 - 2), menjelaskan bahwa
Toba isu strategis yang ada dalam n potensi dalam penyusunan perecanaan
1. Potensi proses pengembangan pariwisata pembangunan harus mencakup
Destinasi pariwisata di kawasan Danau terencana rencana nasional yang mencakup
Toba seperti pembebasan lahan dengan baik negara, daerah dan sub daerah.
untuk pengembangan maka
infrastruktur pendukung penguatan Karena menurut Faludi (1973),
pariwisata, kesiapan masyarakat daerah wisata menjelaskan bahwa perencanaan
yang minim terhadap potensi juga akan adalah sebuah tindakan cerdas
pariwisata baik dari segi terwujud dan dan rasional dalam melakukan
ekonomi, sosial budaya dan mendorong sebuah perubahan atau
lingkungan yang ada peningkatan perkembangan masa depan
1. Destinasi wisata di Kawasan kunjungan sebuah wilayah dengan melalui
Danau Toba memiliki objek- wisatawan beberapa pemikiran yang telah
objek wisata yang beraneka serta melalui proses penyajian sampai
ragam wisata yang meliputi menghasilkan kepada menarik kesimpulan.
keindahan alam, sejarah, produk lokal
budaya, kuliner dan lain yang berdaya Kemudian (Mason, 2003:66)
sebagainya. Setiap daerah saing di menjelaskan bahwa perencanaan
destinasi wisata Danau Toba tingkat adalah sebuah proses: untuk
memiliki keunggulan dan ciri nasional dan mengantisipasi dan memesan
khas masing-masing daerah. internasional perubahan: yang memandang ke
Pengelompokan kawasan depan: yang mencari solusi
pariwisata Danau Toba juga optimal: yang dirancang untuk
telah di atur dalam dokumen meningkatkan dan secara ideal
RIRD kawasan Danau Toba memaksimalkan manfaat
dan masterplan pengelolaan pengembangan yang mungkin
terpadu kawasan Danau dan: yang akan menghasilkan
Toba yang menjadi tindak hasil yang dapat diprediksi.
lanjut dari dokumen
RIPPARNAS 2010-2025 Selanjutnya, Kuncoro (2018: 75-
kemudian RIPPARDA 76) juga menjelaskan bahwa
Provinsi dan RTRW Provinsi konektivitas dalam perencanaan
Sumatera Utara. terkait kepada empat hal, yaitu:1)
Pengembangan potensi Perencanaan tata guna lahan
destinasi ini disesuaikan yang mencakup tiga ciri utama,
dengan aturan yang telah yaitu area pekerjaan, area
ditentukan dalam dokumen pemanfaatan, dan area hubungan
perencanaan tersebut. masyarakat; 2) Perencanaan
transportasi yang erat
2. Potensi 2. Pengembangan potensi hubungannya dengan
Ekonomi ekonomi di sektor pariwisata perencanaan tata guna lahan,
harus didukung dengan yang bertujuan untuk menentukan
regulasi yang tepat sehingga penempatan jalan untuk
dapat meningkatkan kualitas kenderaan cepat dan revitalisasi
dan kuantitas produk usaha pemindahan lokasi pendukung
pariwisata yang merupakan sebagai bagian dari suatu strategi
produk lokal dari masyarakat. transportasi yang menyeluruh dan
Setiap daerah memiliki dapat melayani kota besar dan
produk lokal yang berbeda bagian pinggiran kota; 3)
dengan satu dengan yang Perencanaan sosial, yang meliputi
lainnya walaupun masih ada pergerakan perubahan sebagai
persamaan budaya, maka rencana pembangunan kota,
pemerintah harus dapat rekreasi publik dan kesehatan
mendukung produk lokal masyarakat dalam menyelesaikan
daerah sehingga mampu isu-isu strategis; 4) Perencanaan
berdaya saing di tingkat ekonomi, yang meliputi indikator
nasional dan internasional. dan karakteristik output ekonomi
Produk usaha pariwisata dari suatu negara/daerah dan
yang berkualitas dapat sumber daya yang diharapkan
menjadi salah satu unsur dapat digunakan dalam produksi,
penguatan daerah di sektor konsumsi dan distribusi.
436

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


pariwisata untuk
meningkatkan pendapatan Menguatkan penjelasan di atas
daerah dan kesejahteran Shahraki (2017) juga menjelaskan
masyarakat. bahwa perencanaan
pembangunan daerah harus dapat
3. Potensi 3. Secara sosial, masyarakat di membandingkan situasi sebelum
Sosial kawasan Danau Toba belum dan sesudah kinerja program yang
Budaya mampu untuk langsung dijalankan sehingga dapat
berinteraksi dengan berkontribusi dalam
wisatawan. Maka, dibutuhkan pengembangan daerah yang
peningkatan kemampuan berkelanjutan di masa depan.
masyarakat dalam
memahami pariwisata Dengan demikian Kuncoro (2018:
seutuhnya. Secara budaya, 75) mengemukakan bahwa
masyarakat kawasan Danau kawasan memerlukan berbagai
Toba masih menjunjung penggunaan lahan pendukung,
tradisi leluhur dan adat seperti perlindungan lahan
istiadat yang akhirnya pertanian, kota, ruang industri,
menjadi keunggulan dalam pusat transportasi dan
meningkatkan kualitas infrastruktur, pangkalan militer dan
pariwisata di Danau Toba. padang gurun, maka perencanaan
Budaya juga menjadi unsur daerah adalah ilmu tentang
penguatan daerah dalam penempatan infrastruktur yang
mengembangkan pariwisata efisien dan zonasi bagi
yang berkelanjutan. pertumbuhan berkelanjutan suatu
daerah
4. Potensi 4. Faktor lingkungan menjadi
Lingkungan isu strategis prioritas yang Belum ada perbandingan
harus diselesaikan dan pelaksanaan pembangunan
diberikan solusi terbaik dalam pariwisata seperti yang
pengembangan pariwisata diungkapkan oleh Shahraki (2017)
kawasan Danau Toba. bahwa pembangunan daerah
Sesuai dengan dokumen harus dapat membandingkan
RIRD kawasan Danau Toba situasi sebelum dan sesudah
maka terdapat zona kawasan kinerja program yang dijalankan
yang paling utam sehingga dapat berkontribusi
diselesaikan yaitu dalam pengembangan daerah
pencemaran air danau yang yang berkelanjutan di masa depan
menjadi salah satu unsur
menghambat pembangunan Jika Sektor pariwisata telah
pariwisata maka arah membawa perubahan maka
kebijakan dan sasaran seperti yang dikemukakan oleh di
pembangunan pariwisata Djafar (2015); Gugushuili et al
pada tahap I dilakukan (2017), bahwa sektor pariwisata
penyelesaian masalah membawa manfaat yang besar
lingkungan. bagi pembangunan ekonomi
Negara, yaitu dalam peningkatan
perolehan devisa yang bersumber
dari pengeluaran wisatawan
nusantara maupun mancanegara
yang dianggap sebagai
penanaman modal dalam usaha
pariwisata.

Sependapat dengan pendapat


tersebut, Nugroho (2018: 184 -
186) bahwa: sektor pariwisata
dapat menjadi penggerak ekonomi
yang mendorong globalisasi
termasuk pergeseran pola
produksi dan konsumsi di seluruh
dunia yang menantang asumsi
ekonomi tradisional perdagangan
dan pasar dunia serta juga
penggerak bisnis yang berkaitan
penciptaan masyarakat global
berarti bisnis pariwisata memiliki
kemampuan untuk beroperasi
437

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


secara global dan banyak yang
memilih strategi kompetitif
internasionalisasi.

Untuk mendukung sektor


pariwisata maka Edgell, et.al
(2008: 1-2), bahwa kebijakan dan
perencanaan pariwisata
cenderung dipadukan dengan
pemikiran dan perubahan yang
melibatkan isu-isu pariwisata
sebagai faktor yang
mempengaruhi baik institusi
internasional dan praktik politik
mengenai kualitas ekonomi, sosial
budaya dan kebijakan lingkungan
dan perencanaan yang bertujuan
untuk meningkatkan daya saing
dan pengelolaan sumber daya
yang berkelanjutan, dan sektor
pariwisata berkaitan dengan
Industri ini mencakup pembelian,
penjualan dan pengelolaan
layanan dan produk (untuk
wisatawan) yang mungkin berkisar
dari menginap di hotel hingga
menjual suvenir aatau mengelola
maskapai penerbangan. Untuk
mencapai kegiatan yang kompleks
ini, industri menuntut sumber daya
manusia (manajer) yang paling
kreatif dan inovatif karena
pariwisata merupakan salah satu
produk yang paling labil.

Apabila produk pariwisata dapat


menjadi unggul maka dapat
bersaing di dunia, seperti yang
dikemukakan oleh Hong (2008) ,
bahwa daya saing di sektor
pariwisata sangat dibutuhkan dan
diukur melalui kemampuan
kompetitif yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil optimal dan
pengembangan masa akan
datang.

Menanggapi pendapat tersebut,


Sunaryo (2013: 154)
mengemukakan bahwa:
sayangnya pembangunan
pariwisata di bidang ekonomi
terkadang hanya berfokus pada
peningkatan produksi dan
pendapatan tetapi jarang
memperhatikan faktor manusia
sebagai subyek, karena dalam
pelaksanaannya sering dijumpai
banyak dampak negatif yang
berupa martabat manusia telah
merosot hingga sekedar menjadi
alat untuk mencapai tujuan
ekonomi.

Kemudian, Chindris-Vasioiu dan


Tocan (2015) selain
memungkinkan peningkatan nilai
sumber daya alam, pariwisata
438

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


berkontribusi terhadap
pengembangan ekonomi lokal.
Peran penting lain yang dimiliki
pariwisata dalam perekonomian
nasional adalah menghasilkan
lapangan kerja dan membantu
mengurangi pengangguran.
Kontribusi pariwisata di sektor
sosial manusia sama pentingnya
dengan dalam hal ekonomi.

Akhirnya, ditegaskan oleh Pratt


(2015) Industri pariwisata di Cina
telah meningkat secara dramatis
dalam beberapa tahun terakhir.
Karena efek pengganda yang
besar, ekonomi provinsi yang lebih
berkembang secara ekonomi akan
mengalami manfaat ekonomi yang
lebih besar sebagai hasil dari
peningkatan pariwisata yang lebih
jauh. Namun, beberapa provinsi
pedalaman juga siap untuk
mengambil manfaat dari
peningkatan pariwisata.
Peningkatan kedatangan
pengunjung di provinsi-provinsi ini
memiliki potensi untuk
menguntungkan baik sektor
pariwisata maupun sektor-sektor
yang menuntut dan menyediakan
layanan untuk industri-industri ini.
Ini adalah sumber pembangunan
ekonomi yang menarik di provinsi-
provinsi yang kurang berkembang

Pariwisata mempunyai berbagai


potensi yang dapat dikembangkan
Edgell. et.al (2008: 2) pariwisata
memiliki hubungan kuat dengan
kegiatan sosial budaya, inisiatif
kebijakan luar negeri,
pembangunan ekonomi, tujuan
lingkungan dan perencanaan yang
berkelanjutan

Selanjutnya Heiner (2019), bahwa


secara proaktif mengkompilasi
nilai-nilai sosial dan budaya
adalah mungkin dan praktis yang
dapat memperkuat sistem
pemerintahan adat tradisional,
memperkuat peran masyarakat
adat dalam proses pengambilan
keputusan dan meningkatkan
posisi mereka untuk bernegosiasi
dengan pihak lain baik itu otoritas
lokal atau nasional, sektor swasta
atau lembaga pembangunan
internasional

Mendukungpendapat tersebut
Cole (2015), mengemukakan
bahwa sistem strategi
pengembangan pariwisata yang
berlandaskan kepada aspek
ekonomi, sosial budaya dan
ekologi harus disesuaikan dengan
439

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


keadaan pasar sehingga memberi
peluang dan mendorong
pertumbuhan ekonomi secara
global

Maka, Sunaryo (2013),


mengemukakan terdapat
beberapa komponen dalam
pengembangan pariwisata yaitu
atraksi dan daya tarik wisata,
amenitas atau akomodasi,
aksesibilitas dan transportasi,
infrastruktur pendukung dan
fasilitas pendukung wisata
lainnya, serta kelembagaan dari
sumber daya manusia pariwisata

Kemudian, Teguh (2015),


mengemukakan bahwa
pembangunan kepariwisataan
ditujukan untuk mengelola sumber
daya dan menciptakan nilai
tumbuh secara arif, terintegrasi,
holistik, sistemik agar
meningkatkan kualitas
pengalaman keberlangsungan
nilai dan manfaat bagi masyarakat
lokal.

Mendukung pendapat tersebut


Yoeti (2016) bahwa
pembangunan kepariwisataan
pada hakekatnya merupakan
upaya untuk mengembangkan
obyek dan daya tarik wisata

Kemudian Suwantoro (2004)


menjelaskan bahwa
pembangunan objek wisata yang
diunggulkan harus ada unsur
pokok yang perlu mendapatkan
perhatian untuk menunjang
pembangunan pariwisata di
destinasi wisata yang berkaitan
dengan perencanaan,
pelaksanaan pembangunan dan
pengembangannya yang meliputi
lima unsur dan salah satunya
adalah objek dan daya tarik
wisata

Upaya yang harus dilakukan


Sedarmayanti (2014: 18-19),
mengemukakan sasaran yang
harus dicapai dalam
pengembangan sosial budaya
dalam sektor pariwisata yaitu: 1)
Meningkatnya efektivitas kegiatan
pariwisata sebagai wahana
promosi seni, budaya tradisional,
dan alam secara global;2)
Terwujudnya kegiatan pariwisata
yang mendukung pemahaman dan
penghargaan masyarakat
terhadap seni dan budaya
masyarakat lain; 3) Terwujudnya
kegiatan pariwisata sebagai
wahana pendukung upaya
440

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


berkreasi di bidang kesenia dan
wahana yang mendukung
pengembangan serta pengkayaan
budaya baru sesuai tantangan
masa depan; 4) Meningkatnya
sumbangan pariwisata dalam
mendorong peningkatan devisa
dan kesejahteraan masyarakat
lokal; 5) Meningkatnya peran aktif
masyarakat dan usaha kecil
menengah dalam pengembangan
pariwisata 6) Meningkatnya
kualitas manajerial
pengembangan produk pariwisata
dan keterpaduannya dengan
upaya pemasaran pariwisata.

Maka, Mason (2003: 20) yaitu


Fokus geografis utama dari
perencanaan dan pengelolaan
pariwisata adalah tujuan wisata. Di
sinilah, di tempat-tempat tujuan
turis bertemu dan berinteraksi
dengan masyarakat setempat dan
lingkungan setempat. Interaksi ini
mengarah pada dampak pada
populasi lokal, lingkungan dan
juga pada para wisatawan itu
sendiri. Dampak-dampak ini dapat
bermanfaat dalam kaitannya
dengan, misalnya, ekonomi lokal.
Namun, pertemuan antara
wisatawan dan tujuan yang
mereka kunjungi juga dapat
menyebabkan, misalnya,
kerusakan pada lingkungan
setempat. Terkait dengan
dampak-dampak inilah maka
banyak perencanaan
2 Standarisasi Perencanaan yang baik dapat Proposisi Setiap perencanaan yang
Perencanaan menghasilkan kebijakan dan minor 2 (dua) dilakukan terkait dengan langkah
Pembangunan program yang baik dan sebagai yang harus dilakukan, maka
Pariwisata terkontrol. Sesuai dengan berikut: “Jika Kumar (2001), menjelaskan
Kawasan Danau dokumen RIPPARDA Provinsi proses dan bahwa langkah perencanaan yang
Toba menjadi salah satu dokumen tindakan terdesentralisasi adalah terkait
yang menjadi acuan dalam dalam aspek prosedural dari
pengelolaan pariwisata pariwisata perencanaan terpusat.
kemudian secara khusus di atur dilakukan
dalam masterplan KSPN Danau dengan benar Kemudian, Shahraki,
Toba dan sekitarnya untuk (2017)menjelaskan bahwa
kepentingan pembangunan daerah yang tidak
publik yang terencana secara otomatis tidak
mempunyai dapat berkontribusi untuk
nilai dan pembangunan berkelanjutan dan
manfaat di masa depan, maka terdapat
kemudian beberapa langkah-langkah yang
menjadi digunakan untuk melakukan
pedoman perencanaan yaitu melibatkan
dalam penilaian dan pemantauan
melaksanakan terhadap hasil program secara
tujuan sistematis dan mengukur tingkat
perencanaan kegunaannya dalam
maka dapat pengembangan daerah.
mewujudkan
standarisasi Selanjutnya, Almeida, Costa &
pembangunan Nunes da Silva (2017) bahwa
pariwisata dalam perencanaan pariwisata
yang dapat menghasilkan 2 (dua) kontribusi
441

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


berdampak dalam pengembangan pariwisata
adanya yaitu 1) pengembangan analisis
sinkronisasi terpadu dan komprehensif dari
dan koordinasi sumber-sumber konflik antara
antar daerah.” pengembangan pariwisata dan
penggunaan lahan dan
pengelolaan sumber daya alam,
sedangkan 2) pengembangan dan
implementasi kerangka sumber
konflik berdasarkan kerangka
teoritis. Perencanaan pariwisata
dalam wilayah konflik dilakukan
dengan analisis kekhawatiran
pemangku kepentingan sehingga
tercipta harmonisasi dalam proses
perencanaan.

Maka, Elliot (1997), bahwa


pemerintah adalah pemegang
kekuasaan yang sah dalam sistem
politik baik pada tingkat daerah,
pusat atau nasional dan
bertanggung jawab untuk
membuat kebijakan dan
menetapkan pedoman kebijakan,
sebagai bagian dari pengambilan
keputusan di semua sektor publik
termasuk pariwisata. Hal ini terkait
dengan tahapan dalam
menganalisis kebijakan pariwisata,
yaitu Tahap formatif evaluasi
kebijakan pariwisata; 1) Tahapan
ini bertujuan mengatasi
peningkatan kemacetan jalan dan
polusi, konsumsi air yang
berlebihan, pengurangan sumber
daya utilitas publik dan eskalasi
harga real estate yang
mengakibatkan kelangkaan
perumahan yang terjangkau bagi
warga lokal, hotel, agen
penyewaan mobil dan bisnis
terkait perjalanan lainnya,
sehingga pendapatan dalam
pengembangan pariwisata tidak
terdistribusi secara merata.
Kemudian, tujuan-tujuan asli
menjadi terdegradasi, sehingga
mempertaruhkan nilai-nilai
lingkungan, sosiokultural dan
warisan yang penting bagi
pariwisata dan kualitas hidup
masyarakat lokal. Dengan
demikian, tujuan wisata pada
masa ini adalah merumuskan
kebijakan pariwisata mengenai
keberlanjutan infrastrukturnya dan
penyediaan produk dan layanan
pariwisata yang berkualitas; 2)
Tahap pengembangan evaluasi
kebijakan pariwisata; Fase
pengembangan analisis kebijakan
pariwisata sangat penting dalam
mengevaluasi implementasi
kebijakan di tengah jalan. Pada
fase ini terkait isu-isu strategis
pengembangan pariwisata
sehingga aturan dan peraturan
442

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


kebijakan pariwisata harus
dikembangkan sebagai solusi
untuk isu-isu tersebut, dan juga
setiap pelaku kepentingan dapat
mematuhi kebijakan pariwisata
tersebut sehingga dapat
mengembangkan pariwisata
secara berkelanjutan. 3) Tahap
evaluasi kebijakan pariwisata fase
sumatif. Analisis kebijakan
pariwisata fase sumatif ini terkait
masalah pariwisata yang berfungsi
sebagai indikator peningkatan
hubungan di antara negara-negara
tetangga dengan tujuan untuk
menciptakan pariwisata
internasional antara kedua negara
untuk mendapatkan saling
pengertian yang lebih besar di
antara warga negara dan
meningkatkan pertukaran mata
uang. Fasilitas pariwisata
termasuk hak udara untuk
membuat rute udara antara kedua
negara dan kebijakan lintas batas
untuk mempercepat persetujuan
visa.

Menanggapi penjelasan tersebut


Hermantoro (2011)
mengemukakan pemerintah perlu
turut serta mendorong
terbentuknya badan pengelola
destinasi wisata di daerah-daerah.
Badan ini akan bertugas untuk
mengoptimalkan sumber daya
untuk mendorong terwujudnya
harapan mendatangkan
wisatawan, penyediaan jasa, dan
menciptakan lingkungan yang
mampu mendukung terwujudnya
kegiatan dalam bentuk kebijakan,
peraturan dan insentif.

Selanjutnya, Tomsett dan Show


(2015) bahwa kebijakan publik
dapat meningkatkan pemahaman
stakeholder secara proaktif
dengan memahami dampak dan
adanya klasifikasi pemangku
kebijakan dari sudut pandang
teoritis dan praktis melalui
pendekatan konsultasi dan proses
dalam penentuan alternatif
kebijakan industri pariwisata

Yoeti, (2014) bahwa untuk


mengatasi permasalahan di atas
dapat diatasi dengan jalan
pemecahan, yaitu Sebelum suatu
rencana dibuat perlu diadakan
konsultasi dengan semua
pihak/tingkat yang diberikan
dengan rencana yang akan dibuat;
Jelaskan rencana yang akan
dibuat pada segala pihak, apa
keuntungan-keuntungannya jika
proyek tersebut sudah selesai
443

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


nanti; Organisasi kepariwisataan
yang bersangkutan harus dapat
dihubungkan dari instansi yang
lebih tinggi di daerah tersebut
untuk merealisasikan rencana
tersebut; Tentukan anggaran yang
akan digunakan untuk rencana
tersebut agar rencana dapat
selesai pada waktunya, dan
anggaran ini hendaknya sama
sekali terpisah dari biaya-biaya
perencanaan lainnya; Bentuk
suatu tim yang bertanggung jawab
terhadap proyek perencanaan
yang mengkoordinir dan
menghimpun segala potensi
kepariwisataan untuk
dimanfaatkan guna aksesnya
perencanaan tersebut.

Kunci utamanya adalah Elliot


(1997: 2), bahwa pemerintah
adalah pemegang kekuasaan
yang sah dalam sistem politik baik
pada tingkat daerah, pusat atau
nasional dan bertanggung jawab
untuk membuat kebijakan dan
menetapkan pedoman kebijakan,
sebagai bagian dari pengambilan
keputusan di semua sektor publik
termasuk pariwisata.
3 Proses interaksi Belum terkondisinya kerjasama Proposisi Memahami posisi kelembagaan
lembaga yang yang optimal antar daerah di minor 3 (tiga) dalam sektor pariwisata, Nugroho
terlibat dalam kawasan Danau Toba dalam sebagai (2018: 326) bahwa dalam
perencanaan pembangunan pariwisata berikut: “Jika administrasi negara sebagai
pembangunan sehingga terdapat tidak pembangunan organisasi pemerintahan dapat
pariwisata terkoordinirnya program pariwisata dilihat dari jenjang politik dan
pariwisata yang dilaksanakan di melibatkan jenjang manajerial, dimana kedua
kawasan Danau Toba, karena semua pihak jenjang ini berkaitan dengan
masih adanya ego sektoral. (pemerintah, keberadaan kelembagaan.
Masing-masing daerah pelaku usaha
melaksanakan kebijakan pariwisata, Namun, terdapat beberapa
pariwisata sesuai dengan masyarakat persoalan yang dihadapi seperti
kebutuhan daerahnya. Maka, dan sektor yang dikemukakan oleh Faozan
untuk mensinkronisasikan swasta) dan (2008), mengidentifikasi beberapa
perencanaan pembangunan dimanajemen faktor administratif penyebab
pariwisata di kawasan Danau satu pola dan belum optimalnya kerjasama antar
Toba perlu dilakukan penguatan terpadu pemerintah daerah, yaitu: 1)
daerah terlebih dahulu yang kemudian Kolaborasi antar instansi
dimanajemen oleh Badan dilakukan pemerintah daerah seringkali
Otorita dan dilakukan dengan baik hanya merupakan media
pengawasan oleh pihak provinsi. dan benar formalitas, bukan karena
maka akan keinginan untuk mengambil
memperkuat manfaat sebesar-besarnya dalam
daerah dalam kolaborasi yang dibangun; 2)
meningkatkan Kolaborasi antar instansi
kapasitas dan pemerintah daerah kerapkali
kapabilitasnya dibentuk hanya dikarenakan oleh
dalam adanya tekanan dari suatu
mengembangk kebijakan yang biasanya disusun
an pariwisata oleh instansi pusat atau yang lebih
juga dapat tinggi, dan pada umumnya
menyatukan validitas dan reliabilitasnya layak
pemahaman dipertanyakan; 3) Kolaborasi
dan komitmen kerap diperkeruh oleh oknum-
dalam oknum pimpinan instansi
percepatan pemerintah perancang atau
pembangunan pengusul kebijakan tersebut
444

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


pariwisata sebagai lahan added salary tanpa
secara mempertimbangkan berbagai
terpadu dan faktor sensitif yang berkembang.
terintegrasi
Seperti yang dihadapi oleh Negara
Cina, yang diungkapkan oleh (Guo
& Sun, 2016), bahwa terdapat 4
(empat) masalah yang dihadapi
negara Cina dalam
mengembangkan pariwisata
pedesaan melalui sistem
membangun kerjasama negara,
yaitu 1) negara-negara umumnya
memerlukan industri pariwisata
harus secara lokal didorong dan
dikembangkan; 2) kerjasama lintas
batas dan koordinasi antara
negara-negara yang berdekatan
dipandang prasyarat untuk
penguatan bersama industri
pariwisata daerah; 3) pariwisata
dianggap menjadi pemicu penting
untuk modernisasi kebijakan
konservasi, dan pembangunan
pedesaan yang timbul dari
konservasi; 4) literatur pariwisata
pedesaan menunjukkan bahwa
pariwisata mendorong penciptaan
lapangan kerja lokal, pekerjaan ini
cenderung menjadi menciptakan
penjualan produk kerajinan,
kinerja budaya, keramah tamahan
dan layanan akomodasi.

Kemudian, menegaskan hal


tersebut Edgell, et.al (2008) yaitu
partisipasi pemangku kepentingan
adalah penting ketika
mengembangkan kebijakan
pariwisata karena keragaman
organisasi dan kepentingan yang
terlibat, baik dari sektor publik
maupun swasta.

Maka, Mazzeo Rinaldi (2016)


perencanaan terdapat adanya
penekanan pada stakeholders
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik, sosial dan juga kapasitas
administratif karena sebuah
perencanaan yang strategis
disusun dengan prinsip kemitraan,
namun konsep ini dilakukan pada
daerah yang telah hilang pengaruh
budaya politik sehingga lebih
mengarah kepada kapasitas
administratif yang bertujuan untuk
menjelaskan keberhasilan dan
kegagalan dari program
pembangunan daerah

Selanjutnya, Sunaryo (2013: 88),


mengemukakan bahwa pariwisata
sebagai sektor yang memiliki
keterkaitan sektoral maupun
regional sangat tinggi, maka
pengembangan sektor pariwisata
memerlukan koordinasi dan
445

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


integrasi kebijakan yang sangat
insentif untuk mendukung
pencapaian visi, misi dan tujuan
yang akan dicapai.

Senada dengan pendapat di atas,


maka Mason (2003: 82),
menjelaskan bahwa terdapat
empat pemain kunci dalam
perencanaan dan pengelolaan
pariwisata, yaitu wisatawan,
masyarakat daerah, pelaku usaha
pariwisata dan pemerintah yang
terdiri dari pemeritah daerah,
regional, nasional dan bahkan
internasional

Selanjutnya, Kumar (2001), bahwa


perencanaan yang
terdesentralisasi dapat
mewujudkan integrasi dalam
kerangka rencana yang konsisten
sehingga menyebabkan
perkembangan masa depan
secara berkelanjutan. Kerangka
rencana pusat/negara harus
terintegrasi dengan rencana
daerah/provinsi/kabupaten, maka
diperlukan penataan pada tingkat
yang berbeda.

Kemudian, UN-WTO (Pitana dan


Diarta, 2009: 113) menjelaskan
bahwa peran pemerintah dalam
pengambilan keputusan untuk
menentukan kebijakan pariwisata
sangat strategis dan
bertanggungjawab terhadap
beberapa hal yang berkaitan
dengan kepariwisataan, sebagai
berikut: Membangun kerangka
(framework) operasional dimana
sektor publik dan swasta terlibat
dalam menggerakkan denyut
pariwisata; Menyediakan dan
memfasilitasi kebutuhan legislasi,
regulasi dan kontrol yang
diterapkan dalam pariwisata,
perlindungan lingkungan dan
pelestarian budaya serta warisan
budaya; Menyediakan dan
membangun infrastruktur darat,
laut dan udara dengan
kelengkapan sarana
komunikasinya; Membangun dan
meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dengan
menjamin pendidikan dan
pelatihan yang profesional untuk
menyuplai kebutuhan tenaga kerja
di sektor pariwisata;
Menerjemahkan kebijakan
pariwisata yang disusun ke dalam
rencana konkrit yang mungkin
termasuk di dalamnya: a) evaluasi
kekayaan aset pariwisata, alam
dan budaya serta mekanisme
perlindungan dan pelestariannya;
446

No Fokus Penelitian Hasil Penelitian Proposisi Implikasi Teori


b) identifikasi dan kategorisasi
produk pariwisata yang
mempunyai keunggulan kompetitif
dan komparatif; c) menentukan
persyaratan dan ketentuan
penyediaan infrastruktur dan
suprastruktur yang dibutuhkan
yang akan berdampak pada
keragaman pariwisata; d)
mengelaborasi program untuk
pembiayaan dan aktivitas
pariwisata, baik untuk sektor
publik maupun swasta.
Proposisi Mayor
Jika perencanaan pembangunan pariwisata dilakukan melalui penguatan daerah kawasan pariwisata dapat
mewujudkan pemerintahan yang baik dengan menghasilkan pariwisata yang unggul dan berdaya saing

6.5 Model Rekomendasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan

Danau Toba

Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses dan mekanisme

untuk merumuskan rencana jangka panjang, menengah dan pendek di daerah

yang disesuaikan dengan kondisi, aspirasi dan potensi daerah yang dimiliki oleh

daerah tersebut dengan melibatkan semua pihak yang dianggap sebagai

pemangku kepentingan dalam rangka mendukung pembangunan nasional.

Proses penyusunan perencanaan pembangunan juga tidak terlepas dari

penyesuaian iklim daerah dalam melakukan perubahan terkait berbagai variabel

yaitu ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologis dan administrastif.

Penyusunan perencanaan pembangunan merupakan salah satu kegiatan

yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan permasalahan sosial,

dimana masing-masing variabel dalam pengukurannya mempunyai keterkaitan

atau hubungan antara satu sama lain. Seperti yang dikemukakan oleh Riggs

(1986: 9) bahwa secara substantive administrative bahwa pemerintah tidak dapat

melaksanakan tugas pokok dan umumnya dalam mengandalkan pasar di sektor

ekonomi tanpa adanya kebijakan dan birokrat.


447

Selanjutnya Chowdhury and Kirkpatrick (2005: 18), perencaaan

pembangunan bertujuan untuk melakukan perubahan di semua sektor melalui

peningkatan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas berbagai sektor

dan menciptakan lapangan pekerjaan. Maka, dalam penyusunan perencanaan

pembangunan juga terdapat dua fungsi yaitu perumusan kebijaksanaan

pembangunan dan pelaksanaannya secara efektif. Fungsi perencanaan

pembangunan yang terkait perumusan kebijaksanaan dilakukan dalam proses

administrasi tetapi juga dalam proses politik karena proses perumusan

kebijaksanaan adalah termasuk dalam wilayah administrasi. Tetapi mekanisme,

tata kerja dan proses analisa dalam perumusan kebijaksanaan berkaitan dengan

bidang ilmu yang lainnya, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Proses pelaksanaan dari kebijakan dan program yang dirumuskan

berkaitan dengan kepemimpinan, koordinasi, pengawasan dan pembiayaan

sebagai faktor dalam pencaian tujuan pembangunan yang efektif. Dengan

demikian, apabila dikaitkan dengan konsep administrasi bagi pembangunan

bahwa permasalahan dalam kajian pembangunan dapat dilakukan dengan

pendekatan manajemen khususnya manajemen pembangunan. Maka, melalui

pendekatan inilah peran pemerintah menjadi penting dalam perencanaan

pembangunan sebagai agen perubahan dalam negaranya.

Pemerintah melaksanakan perannya sebagai aktor agen perubahan

untuk mendukung proses perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan

program-program pembangunan sampai kepada tata pelaksanaan

pembangunan secara efektif. Dimana substansi dari kebijaksanaan dan program

pembangunan meliputi berbagai bidang yaitu politik, ekonomi, sosial, budaya

pertahanan dan keamanan dan lain-lain. Melalui substansi ini diharapkan dapat
448

menghasilkan output yang mengarah kepada perubahan-perubahan yang lebih

baik yang bertujuan kepada modernisasi, pembangunan bangsa dan

pembangunan sosial ekonomi.

Proses perubahan yang dilakukan dalam penyelenggaraan

pemerintahan juga disebut tahapan modernisasi. Namun, pencapaian arah ini

juga membutuhkan optimalisasi semua pemangku kepentingan termasuk

masyarakat. Tujuan dari pembangunan ini adalah melaksanakan pembaharuan

ke arah industrialisasi yang meliputi perluasan kesempatan kerja, pengelolaan

sumber-sumber daya, menciptakan masyarakat yang berdaya saing baik

nasional maupun internasional. Menurut Collarbone (2009), bahwa perubahan

yang dilakukan harus dapat mendukung tantangan-tantangan yang terjadi dan

berdampak pada perubahan tersebut baik di tingkat lokal maupun global, antara

lain mengubah cara organisasi beroperasi dalam segala macam cara baru,

seperti melakukan perubahan dalam pengembangan tenaga kerja.

Pernyataan Collarbone tersebut, apabila dikaitkan dengan hasil

penelitian ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah dapat dikembangkan

sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah harus dapat

berpikiran maju dan menangani permasalahan secara langsung terutama di

sektor pariwisata, sehingga langsung dapat menangani permasalahan yang

timbul. Pemerintah daerah dan berbagai lembaga pendukung serta organisasi

lainnya dapat menggunakan proses perubahan untuk mengarahkan, mengelola

dan beradaptasi dengan perubahan dengan cara yang sukses dan berkelanjutan.

Permasalahan perencanaan pembangunan pariwisata Kawasan Danau

Toba yang terus menerus menjadi masalah utama adalah perubahan yang

dilakukan oleh pihak otoritas seperti BOPDT, belum dapat diarahkan secara
449

optimal, juga terkait dengan pengelolaan sehingga perubahan yang dilakukan

pada pariwisata Danau Toba belum memberikan hasil yang maksimal.

Pembaharuan yang dilakukan oleh BPODT dengan berbagai lembaga termasuk

pemerintah daerah yang mengarah ke industrialisasi belum dapat secara

langsung diterima oleh masyarakat karena terkait dengan permasalahan sosial

budaya.

Secara aspek sosial budaya, pembangunan pariwisata berkaitan

dengan kehidupan masyarakat yang menjadi sebuah proses dalam

memandirikan masyarakat yang tidak tergantung kepada struktur sosialnya.

Maka, solusi yang dibutuhkan dalam permasalahan sosial budaya ini adalah

adanya pendekatan dari pemerintah kepada masyarakat dalam melakukan

pembaharuan pemikiran dan memberikan motivasi, sehingga dapat memberikan

kontribusi bagi perencanaan pembangunan daerah. Salah satu pendekatan yang

dapat dilakukan oleh BOPDT dengan pemerintah daerah dan pihak lainnya

adalah dengan program pengembangan tenaga kerja melalui perencanaan

potensi ekonomi kawasan Danau Toba, seperti yang dijelaskan oleh Collarbone

(2009), bahwa pentingnya pengembangan tenaga kerja dalam melakukan

perubahan dalam menjawab semua tantangan secara global dan lokal, yaitu: 1)

Modal intelektual (dan mereka yang memegangnya) telah menjadi salah satu

sumber daya organisasi yang paling berharga, jika bukan yang paling berharga.

Ini memberi karyawan jauh lebih banyak kekuatan, kepentingan, dan pengaruh

daripada yang pernah mereka miliki sebelumnya; 2) Meningkatnya mobilitas

semua tingkat pekerja, yang menambah pentingnya modal intelektual, secara

dramatis mengubah cara pandang dan perlakuan karyawan; 3) Sifat

kepemimpinan berubah, dari pemimpin lama menjadi model yang lebih


450

demokratis, inklusif dan kolaboratif; 4) Organisasi semakin mencari untuk

mengembangkan kemitraan kolaboratif baru (lokal, nasional dan internasional),

sering kali didukung oleh efisiensi dan kemampuan teknologi baru, untuk

meningkatkan pekerjaan mereka; 5) Kecepatan perubahan meningkat dan ini

menuntut organisasi yang fleksibel dengan staf yang fleksibel dan berbakat yang

mampu beradaptasi dan berubah dengan cepat; 6) Pelatihan berkelanjutan dan

pengembangan profesional berkelanjutan untuk staf, yaitu tingkat keahlian staf

yang tinggi, menjadi semakin penting bagi keberhasilan jangka panjang

organisasi.

Poin-poin yang dikemukakan di Collarbone tersebut, dalam penyusunan

perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba, sangat

diperlukan untuk melakukan perubahan-perubahan yang dapat mendukung

tantangan dalam pengembangan pariwisata di masa depan. Pengembangan

tenaga kerja ini, dimaksudkan juga adalah semua pihak yang terlibat dalam

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba, yaitu BOPDT, pemerintah

baik provinsi dan kabupaten, pihak swasta dan masyarakat. Namun, dalam

kenyataannya masih banyak hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau toba ini, terutama dalam hal mengembangkan

kemitraan kolaboratif (lokal, nasional dan internasional) sehingga dapat

memberikan saran dan dukungan dalam perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba lebih baik lagi. Pernyataan di atas juga senada dengan

yang dikemukakan oleh Edgell, et.al (2008), bahwa mata air pertumbuhan masa

depan untuk pariwisata di seluruh dunia adalah komitmen terhadap kebijakan

yang baik, dimana pemerintah, sektor swasta, dan lembaga nirlaba harus bekerja

secara terpadu untuk menjadi pemimpin dalam menciptakan kebijakan pariwisata


451

berkelanjutan dan melampaui manfaat ekonomi dan merangkul kepentingan

lingkungan dan budaya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tidak hanya pengembangan

kemitraan yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau

Toba. Perubahan juga harus dilakukan dalam peningkatan kemampuan dan

kapasitas potensi sumber daya organisasi termasuk pola kepemimpinan

sehingga dapat menghasilkan keberhasilan jangka panjang organisasi seperti

yang telah direncanakan dan menjadi kekuatan serta keunggulan dalam

mengembangkan pariwisata Danau Toba lebih mampu berdaya saing dan

terkelola dengan baik. Hal ini terkait dengan kemampuan dan kapasitas sumber

daya sebagai pembuat kebijakan atau perencana yang harus memahami

kebutuhan untuk mengembangkan strategi luas yang disesuaikan dengan

kondisi berfluktuasi atau matang, dan para pembuat kebijakan atau perencana

harus memiliki pengetahuan tentang tren pasar dan cukup fleksibel sehingga

dapat menyesuaikan dengan rencana strategis dalam menghadapi kekuatan

pasar yang berubah dengan cepat.

Penyesuaian perkembangan pariwisata dengan perubahan teknologi,

inovasi produk dan tren pasar baru menjadi tantangan dalam mengelola

pariwisata yang berkelanjutan dan menjadi dimensi penting bagi pertumbuhan

ekonomi daerah. Maka, Edgell, et.al (2008) melihat pariwisata dari perspektif

kebijakan ekonomi adalah alat pengembangan ekonomi penting bagi masyarakat

lokal dan pemerintah nasional, menghasilkan pendapatan, menciptakan

lapangan kerja, menciptakan bisnis baru, memacu pembangunan ekonomi,

mempromosikan diversifikasi ekonomi, mengembangkan produk baru dan

berkontribusi pada integrasi ekonomi. Jika pemerintah baik pusat dan daerah
452

berkomitmen untuk kebijakan pariwisata yang luas, pariwisata akan memberikan

warganya kualitas hidup yang lebih tinggi sambil menghasilkan manfaat ekonomi,

lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Namun, Cole (2015) menanggapi

pernyataan tersebut, bahwa terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam mendukung pengembangan pariwisata, yaitu 1) apa pertumbuhan industri

pariwisata dapat memberikan kontribusi kerja, pertumbuhan ekonomi,

perlindungan lingkungan, pendidikan budaya dan perdamaian dunia; 2)

permintaan pasar pariwisata dan infrastruktur transportasi; 3) umumnya

perjalanan ruang publik dan pariwisata; 4) gravitasi buatan dan arsitektur habitat

orbital; 5) prospek ruang pariwisata.

Memahami pernyataan di atas, maka pentingnya pengembangan

pariwisata yang unggul dan berdaya saing di kawasan Danau Toba juga harus

memperhatikan beberapa hal terkait perencanaan berbagai potensi yang dimiliki

oleh setiap daerah yang mengelilingi Danau Toba. Berdasarkan hasil penelitian

bahwa perencanaan potensi ekonomi di kawasan Danau Toba, telah membawa

perubahan yang lumayan bagus dalam menimalisir tingkat pengangguran di

setiap daerah kawasan Danau Toba. Maka, pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba diarahkan kepada pengembangan tenaga kerja melalui

perencanaan potensi ekonomi dapat diterapkan sehingga dapat memberikan

kontribusi yang bermanfaat pada kesejahteraan masyarakat dan pendapatan

daerah. BOPDT juga telah meresmikan kawasan Toba Caldera Resort yaitu

objek wisata yang akan dikembangkan seperti Nusadua di Bali.

Perkembangan perubahan yang secara dinamis juga membutuhkan

aspek psikologi bagi pemangku kepentingan, dalam pengambilan keputusan

pada proses pembangunan termasuk di sektor pariwisata. Hal ini terkait dengan
453

penekanan-penekanan yang terjadi akibat dari perbedaan dalam melaksanakan

pembinaan dan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tujuan-

tujuan pembangunan, yang harus dilakukan suatu lembaga secara fokus. Maka,

dalam proses perubahan yang direncanakan seperti pada sektor pariwisata,

pihak-pihak terkait atau lembaga-lembaga yang berada dalam satu wadah

proses tersebut harus dapat menilai, mengkaji dan menanamkan perubahan

yang berhasil.

Proses perubahan yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga baik

pemerintah maupun swasta harus bisa mewujudkan tujuan yang telah

ditetapkan. Maka, dalam melaksanakan suatu perubahan perlu adanya suatu

kerangka kerja yang telah disusun oleh pihak-pihak yang terlibat dalam

pengambilan keputusan sehingga perencanaan yang akan dirumuskan dapat

sesuai dengan visi misi dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai dalam

sebuah pembangunan termasuk pada sektor pariwisata. Dengan demikian,

lembaga di sektor pariwisata harus dapat meningkatkan standar, meningkatkan

fokus dan tujuan, membangun profesionalisme, memimpin dalam sektor dan

dapat secara proaktif dan kolaboratif dengan semua pihak yang terlibat. Apabila

dikaitkan dengan permasalahan yang ada di kawasan Danau Toba, maka

BOPDT sebagai organisasi yang mengelola dan mengkoordinir pelaksanaan

kebijakan dan program pariwisata harus mampu menyusun perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba sesuai dengan tuntutan dan

kebutuhan semua pihak.

Secara administrative, perencanaan pembangunan disusun untuk

mencapai tujuan pembangunan nasional yang menjadi suatu lingkaran proses

dalam bidang kehidupan. Proses perencanaan ini tidak terpisahkan antara


454

kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Perencanaan

dibutuhkan untuk melakukan pengelolaan sumber daya yang tersedia sehingga

kegiatan pembangunan dapat terlaksana dengan efektif dan efisien. Riggs

(1964:19) bahwa sistem administrasi dalam pembangunan dapat didefenisikan

dalam bentuk tujuan, sumber daya, dan tuntutan yang mengakibatkan adanya

serangkaian barang, layanan dan tindakan terkait.

Menegaskan pendapat di atas, maka Brayant and White (1997:307),

menyatakan perencanaan berarti penetapan tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas

serta serangkaian kegiatan untuk mencapainya. Kemudian Faludi (1973),

menjelaskan bahwa perencanaan adalah sebuah tindakan cerdas dan rasional

dalam melakukan sebuah perubahan atau perkembangan masa depan sebuah

wilayah dengan melalui beberapa pemikiran yang telah melalui proses penyajian

sampai kepada menarik kesimpulan. Dengan demikian, untuk memaksimalkan

proses perencanaan pembangunan nasional perlu adanya keserasian dalam

pengembangan bidang kehidupan melalui proses politik dan administrasi.

Perencanaan pembangunan juga salah satu kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah melalui pendekatan manajemen karena terkait dengan pengelolaan

pembangunan.

Perencanaan yang baik akan mengarah kepada kebijakan yang punyai

nilai dan manfaat, karena kebijakan tidak hanya untuk tuan rumah destinasi

wisata tapi juga untuk wisatawan yang berkunjung. Maka, Perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dibagi menjadi 2 (dua) tahapan

yang berkaitan dengan teori perencanaan yang dikemukakan oleh Faludi (1973)

yaitu theory of planning (procedural planning) dan theory in planning (substantive

planning). Theory of planning sebagai serangkaian tahapan dalam perencanaan


455

yang harus diikuti sehingga menghasilkan rencana dan secara umum teori ini

bergantung kepada administratif. Theory in planning adalah pencapaian tujuan

yang diinginkan melalui konsep dan metode yang tepat dalam pemecahan

masalah. Faludi juga mengutarakan bahwa dalam menyelesaikan masalah-

masalah terkait teori perencanaan, yaitu dengan beberapa cara 1) memahami

perencanaan, agensi dan prosedurnya; 2) membandingkan berbagai bentuk dan

mentransfer pengalaman dari satu ke yang lain; 3) merancang agen

perencanaan dan prosedurnya (meta- perencanaan).

Theory of planning di dalam perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba terkait bagaimana tahapan perencanaan dilaksanakan

yang meliputi pengalaman dan tindakan perencana. Secara teori perencanaan,

bahwa salah satu tujuan yang harus dicapai pada pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba ini adalah terbentuknya kebijakan atau undang-undang

yang dapat memberikan solusi terhadap fenomena perencanaan. Hal ini juga

tidak terlepas dari proses penyaringan informasi dan pemfokusan terhadap

aspek-aspek realitas tertentu sehingga menjadi bagian penting dari pemikiran

manusia secara keseluruhan sehingga terbentuk konseptual kerangka kerja yang

menjadi alat untuk pembentukan undang-undang atau kebijakan. Kemudian,

(Mason, 2003:66) bahwa perencanaan adalah sebuah proses: untuk

mengantisipasi dan memesan perubahan: yang memandang ke depan: yang

mencari solusi optimal: yang dirancang untuk meningkatkan dan secara ideal

memaksimalkan manfaat pengembangan yang mungkin dan: yang akan

menghasilkan hasil yang dapat diprediksi.

Pemasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pariwisata di kawasan

Danau Toba ini, apabila dikaitkan dengan teori perencanaan yang mana dapat
456

memberikan solusi atau membantu penyelesaiannya, adalah perencanaan yang

bersifat prosedur dan sistematis yang disebut Faludi adalah theory of planning

apalagi terkait masalah administratif. Salah satu permasalahan yang dihadapi

dalam percepatan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba adalah belum

sinkronnya dokumen perencanaan yang mengarah kepada pengembangan

pariwisata. Maka, solusinya adalah dibentuknya suatu lembaga perencanaan

yang dapat mengintegrasikan dan mensinkronisasikan antara daerah juga antar

lembaga baik swasta maupun pemerintah serta masyarakat. Senada dengan

yang dikemukakan oleh Faludi, Maka, Kumar (2001: 1 - 2), menjelaskan bahwa

dalam penyusunan perecanaan pembangunan harus mencakup rencana

nasional yang mencakup negara, daerah dan sub daerah.

Memahami teori perencanaan tersebut, maka apabila dilihat pada

permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba, perlunya suatu lembaga yang dapat menjadi penyatu komitmen dalam

mengembangkan potensi pariwisata yang ada di kawasan Danau Toba. Sebagai

tindak lanjut dalam memahami teori perencaan tersebut, maka pemerintaha

pusat melalui Kementerian Pariwisata membentuk suatu badan atau lembaga

terkait pembangunan pariwisata prioritas yang dijelaskan dalam PP No. 50

Tahun 2011 tentang RIPPARNAS.

Badan yang dimaksud adalah badan otorita, dimana badan ini adalah

perpanjangan tangan langsung dari pemerintah, sehingga mempunyai tugas

membangun dan mengelola dengan menggunakan pembiayaan pemerintah

melalui kementerian/lembaga terkait. Pembentukan badan otorita sangat cocok

untuk membuat suatu perencanaan pariwisata yang bersifat kawasan seperti

Danau Toba, Bromo Tengger Semeru, Labuan Bajo dan lainnya. Badan otorita
457

ini mmepunyai hak penuh dalam pembangunan infrastruktur apalagi untuk

mendukung pengembangan kawasan pariwisata tersebut. Nugroho (2018)

bahwa badan otorita dikelola oleh negara, sehingga dapat diberi penugasan

dengan target sama persis dengan keinginan pemerintah dan dikendalikan

secara efektif pencapaiannya oleh pemerintah, kemudian badan otorita relatif

masih mempunyai kendala birokrasional pada pembuatan keputusan final

sehingga berpotensi menurunkan daya tarik, dan solusi bagi badan otorita

adalah tata kelola badan otorita yang bersifat dinamis dan fleksibel, plus

pengelola yang berwawasan bisnis.

BOPDT sesuai dengan PP No. 46 Tahun 2016 ditugaskan sebagai

pengelola dan melakukan koordinasi dengan daerah dalam penyelenggaraan

pariwisata di Danau Toba, yang ditugaskan untuk menyusun dokumen

perencanaan pariwisata Danau Toba yaitu rencana induk pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba, yang menjadi tindak lanjut kebijakan

RIPPARNAS. Tugas ini adalah tugas berat yang harus disegerakan karena

terkait percepatan pembangunan pariwisata di 10 destinasi unggulan dan

menjadi prioritas dalam pengembangannya, berarti badan otorita Danau Toba

harus bisa mengembangkan strategi untuk pilihan terbaik dengan merumuskan

strategi manajemen untuk mencapai tujuan kebijakan dengan

mempertimbangkan 5 (ima) aspek, yaitu 1) politis-yurinis/legal atau penerimaan

pemangku kepentingan politik; 2) teknis atau sesuai dengan jenis atau sektor

kebijakan yang dikelola; 3) kelembagaan atau kesesuaian dengan organisasi

yang membawahi atau mengelolanya; 4) manajerial/tata kelola.

Badan Otorita Pariwisata Danau Toba ini secara administratif, seperti

yang dikemukakan oleh Nugroho (2018), bahwa badan otorita sebagai sebuah
458

organsiasi pemerintahan (administrasi negara), maka pertimbangan pertama

adalah sari segi politis, yaitu keberadaan kelembagaan. Maka disarankan agar

badan otorita dikelola dua jenjang, yaitu jenjang politik dan jenjang manajerial.

Pada jenjang politik, diberi nama dewan pengarah yang mempunyai kemampuan

untuk memberikan dukungan pembangunan infrastruktur fisik di kawasan, serta

memberikan dukungan kemudahan dan percepatan izin di kawasan dan di

lingkungan kawasan yang mendukung pengembangan kawasan. Kemudian pada

jenjang manajemen diberi nama badan pengelola yang mempunyai kemampuan

untuk: 1) menyiapkan strategi pembangunan infrastruktur, penyiapan lahan dan

percepatan perizinan untuk diajukan kepada dewan pengarah untuk dieksekusi

oleh kementerian teknis; 2) menyiapkan rencana usaha dengan muatan detail

rencana pengembangan lokasi, promosi dan penarikan investor untuk dieksekusi

setelah disetujui dewan pengarah; 3) mengelola kawasan sebagai sebuah

kesatuan ekonomi/bisnis, sosial, ekonomi, kultural dan lingkungan yang

berbasiskab dan bertujuan kepada pariwisata.

Penjelasan di atas adalah menegaskan bagaimana memahami teori

perencanaan yang dikemukakan Faludi. Terbentuknya badan otorita untuk

kawasan Danau Toba menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan

permasalahan yang terkait dengan aspek politik dan aspek administrasi. Namun

Badan otorita ini juga harus dapat membangun kerjasama dengan semua pihak

untuk mendapatkan pilihan terbaik dalam menyelesaikan permasalahan

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba. Dengan demikian, badan

otorita ini harus dapat memahami perencanaan dengan jelas terkait

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba, seperti yang dikemukakan oleh

Faludi (1973) bahwa memahami perencanaan sebagai masalah benar-benar


459

berarti sebagai perencana harus dapat menghadapi tantangan membangun citra

dirinya dalam perannya sebagai perencana, lembaga dia beroperasi,

prosedurnya dan membentuk kerangka kerja konseptual dari berbagai pemikiran-

pemikiran perencana di lembaga perencana.

Menanggapi pendapat Faludi tersebut, maka Kempenaar, et.al (2016)

bahwa dalam praktek perencanaan wilayah terdapat perancangan pada aspek

politik dan kebutuhan untuk mengembangkan keterampilan dan berbagai

kepentingan yang berbeda sehingga menghasilkan karakteristik yang dapat

menentukan potensi dalam konteks yang berbeda. Terdapat kelompok dalam

pemangku kepentingan yaitu produser (membangun dan mengembangkan

proyek dan menciptakan situasi baru), regulator (mewakili badan-badan

kelembagaan dan memiliki peran dalam mengatur penggunaan lahan) dan

user/pengguna (tinggal atau bekerja di wilayah tersebut dan menggunakan

ruangnya) yang masing-masing berpotensi mendapatkan manfaat dari sebuah

rancangan perencanaan.

Memahami dan merujuk pernyataan di atas, maka BOPDT juga sebagai

lembaga perencana seperti yang dikemukakan oleh Faludi melalui theory of

planning dalam memahami teori perencanaan terkait membangun dan

membentuk konseptual kerangka kerja yang bertujuan untuk menghasilkan

rencana strategis dalam pengembangan pariwisata Danau Toba, maka lembaga

ini harus dapat membangun kerjasama yang baik dengan membina hubungan

baik dengan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba. BOPDT sebagai lembaga perencana juga bisa dinyatakan sebagai

produser dan regulator dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba,

demikian juga pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten. Sedangkan


460

pihak swasta dan masyarakat dapat dikatakan sebagai penerima manfaat juga

sebagai produser (yang bermitra dengan pemerintah) dan user atau pengguna.

Faludi (1973) juga menjelaskan tentang bahagian teori perencanaan yang lain

yaitu theory in planning (substantive planning), yaitu adanya substansi atau teori

yang perlu diketahui dan dipahami oleh perencana untuk mencapai tujuan yang

diinginkan, atau dengan kata lain perencana mencari konsep dan metode yang

tepat untuk menemukan solusi-solusi dalam pemecahan masalah. Pernyataan

ini, apabila dikaitkan dengan pembangunan pariwisata adalah permasalahan apa

yang dapat menghambat perencanaan secara prosedural. Theory in planning ini

secara umum dapat membantu para perencana untuk memahami wilayah kerja

sehingga menghasilkan perencanaan yang efektif. Seperti yang dikemukakan

oleh Kumar (2001) bahwa perencanaan yang mengasumsikan kabupaten adalah

sub negara/unit untuk pengambilan keputusan dalam sistem perencanaan multi

level. Perencanaan terdesentralisasi dapat lebih mengetahui kebutuhan daerah

setempat, membuat lebih baik informasi memungkinkan pengambilan keputusan

kepada orang-orang untuk siapa pembangunan yang dimaksud dan berfungsi

untuk mencapai yang lebih baik dan berkoordinasi dan integrasi antara program

yang memungkinkan kebutuhan yang dirasakan oleh orang-orang yang akan

diperhitungkan.

Menegaskan pernyataan di atas, maka Friedman (1987: 24-25)

menyarankan pada para perencana untuk lebih memahami tentang teori

perencanaan yang menjadi dasar dalam mengambil kebijakan, karena teori

perencanaan selalu mengalami perkembangan baik dari segi teori dan praktek.

Maka, dalam penyusunan perencanaan pembangunan juga terdapat dua fungsi

yaitu perumusan kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaannya secara


461

efektif. Fungsi perencanaan pembangunan yang terkait perumusan

kebijaksanaan dilakukan dalam proses administrasi tetapi juga dalam proses

politik karena proses perumusan kebijaksanaan adalah termasuk dalam wilayah

administrasi. Tetapi mekanisme, tata kerja dan proses analisa dalam perumusan

kebijaksanaan berkaitan dengan bidang ilmu yang lainnya, seperti ekonomi,

sosial, budaya dan lain-lain.

Perencanaan yang disusun dan dirumuskan juga terkait dalam proses

pengambilan keputusan, hal ini dikarenakan bahwa planning as a process of

thingking (perencanaan sebagai proses berpikir) dan planning as a professional

practice (perencanaan sebagai praktek professional). Faludi (1983: 18),

menjelaskan bahwa perencanaan sebagai proses berpikir merupakan aplikasi

dari metode ilmiah untuk pembuatan kebijakan. Sedangkan perencanaan

sebagai praktek professional yang berkaitan dengan pedoman untuk melakukan

atau bertindak di masa depan. Conyers dan Hills (1984: 3), bahwa perencanaan

sebagai praktek professional, merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan

keputusan, atau pilihan tentang cara-cara alternatif untuk menggunakan sumber

daya yang tersedia, dengan mencapai tujuan tertentu di masa depan. Dengan

demikian, perencanaan sebagai proses berpikir, dimaksudkan karena pada

dasarnya proses perencanaan adalah proses pemikiran manusia dan bertindak

sesuai dengan hasil pemikiran tersebut. Kemudian, Kumar (2001), menjelaskan

bahwa langkah perencanaan yang terdesentralisasi adalah terkait aspek

prosedural dari perencanaan terpusat, yaitu

1. Melaksanakan latihan teoritis dan terapan di level nasional oleh Komisi

Perencanaan yang memiliki tanggungjawab secara keseluruhan untuk


462

proses perencanaan termasuk penyusunan rencana nasional dan

pembiayaan rencana negara

2. Menentukan pangsa publik di pusat dan pengeluaran sektor swasta dalam

kaitannya dengan tujuan yang sesuai dari pertumbuhan negara

3. Prosedur diikuti untuk membahas strategi, prioritas, pengeluaran baik dari

rencana tengah dan negara termasuk pembiayaan dan pelaksanaan

4. Persetujuan pengeluaran sektoral dari rencana negara oleh Komisi

Perencanaan sampai ke kepala bagian pembangunan

5. Pengenaan Sektor Pusat dan skema yang disponsori pusat tanpa diskusi

apa pun pada pertemuan Kelompok Kerja dengan Tim Negara

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, apabila dikaitkan dengan

hasil penelitian ini, maka terdapat permasalahan yang sangat utama dalam

proses perencanaan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba, yaitu

perlu adanya sinkronisasi dalam penyusunan rencana strategis baik di tingkat

pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Namun BOPDT sebagai pengelola

pariwisata di kawasan Danau Toba masih pada tahapan penyusunan dokumen

rencana strategis tersendiri selain merujuk kepada rencana strategis kementerian

pariwisata. Salah satu program yang telah berhasil dilakukan oleh BOPDT

adalah;

1. Tahun 2019 telah berlangsung pembangunan jalan sepanjang 1,9 Km

dengan lebar jalan 18m di area tahap 1, dan pada tahun 2020 akan

dilanjutkan sampai dengan selesai program pembangunan infrastruktur

dengan total lebih kurang 8,8 Km.


463

2. Berhasilnya proses pelepasan lahan dari kawasan hutan di Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutan seluas 386,72 Ha dan telah diterbitkan

sertifikat hak pengelolaan tahap-1 seluas 279 Ha, sementara sisanya

diselesaikan pada tahap-2 seluas 107 Ha masih dalam proses.

3. Kemudian, dilakukan pengelompokan-pengelompokan potensi pariwisata

sehingga memudahkan melakukan pengembangannya, seperti program

yang akan dilaksanakan yaitu menciptakan KAMPUNG ULOS pada

kabupaten Samosir.

Tindak lanjut dalam mengembangkan pariwisata di kawasan Danau Toba

juga telah dilakukan oleh Kabupaten Samosir dengan merumuskan kebijakan

pariwisata tentang pengelompokan penetapan kriteria dan klasifikasi objek

wisata yaitu Keputusan Bupati Samosir Nomor 474 Tahun 2017 tentang

penetapan kriteria dan klasifikasi objek wisata di Kabupaten Samosir. Kebijakan

ini membagi pengelompokan objek wisata menjadi 3 (tiga) klasifikasi yaitu 1)

objek wisata unggulan; 2) objek wisata prioritas; 3) objek wisata rintisan.

Pembagian klasifikasi objek wisata ini merupakan salah satu strategi yang

dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Samosir sebagai upaya

mewujudkan percepatan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba.

Tindakan yang dilakukan oleh Kabupaten Samosir ini hendaknya diikuti

seluruh daerah yang ada di kawasan Danau Toba. Tidak hanya daerah-daerah

sekitar kawasan Danau Toba yang mengupayakan pengelompokan tersebut,

namun sebenarnya ini adalah strategi utama yang harus dilakukan oleh BPODT

disamping membuka dan mencari jaringan kerjasama dengan pihak-pihak

swasta untuk berinvestasi di pariwisata kawasan Danau Toba. Dengan demikian,


464

pentingnya kerjasama yang baik antara BOPDT dengan pemerintah daerah baik

provinsi dan kabupaten, sehingga bisa mensinkronisasikan setiap kebijakan dan

program yang harus dilakukan secara bersamaan tanpa ada tumpang tindih

dalam mengimplementasikannya. Seperti yang diungkapkan oleh Chowdhury

dan Kirkpatrick (2005: 5), bahwa perencanaan identik dengan interaksi berbagai

pihak yang mempunyai nilai komunikasi sehingga perumusan dan pelaksanaan

kebijakan serta program di setiap aspek kehidupan dapat berjalan dengan baik.

Namun, Elliot (1997: 68), mengatakan bahwa salah satu masalah utama yang

dihadapi sektor pariwisata adalah koordinasi dari berbagai pemerintah dan publik

dan swasta lembaga untuk mencapai kesepakatan tentang cara mengatasi

masalah dan mengambil keputusan. Menanggapi hal ini, (Lin & Simmons, 2017)

bahwa terdapat 3 (tiga) kontribusi yang dapat dihasilkan dari perencanaan yang

terintegrasi yaitu

1. Adanya pola baru perencanaan kolaboratif di bidang pariwisata

2. Adanya peran pemangku kepentingan utama (yang memiliki modal

sosial dan modal institusional) dalam perencanaan pariwisata.

3. Sebagai koordinator untuk mempromosikan kolaborasi yang efektif

dan dapat berkontribusi untuk hasil pariwisata yang berkelanjutan.

Dengan demikian, bahwa proses perencanaan pariwisata adalah meningkatkan

kolaborasi dan jaringan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan potensi

yang merupakan motif kuat untuk tindakan di masa depan.

Salah sektor pembangunan daerah yang secara umum perencanaannya

hasil dari proses pemikiran dan tindakan adalah pariwisata. Lusticky, et.al (2011)

bahwa yang membedakan perencanaan pembangunan pariwisata dengan

perencanaan pembangunan secara umumnya adalah manajemen strategisnya.


465

Kemudian Dredge dan Jamal (2017) bahwa perencanaan pariwisata dapat

memberikan pemetaan ruang yang inovatif sehingga terbentuk pengetahuan dan

pengembangan metodologi yang lebih kuat untuk pengembangan pariwisata

tidak direncanakan dengan baik maka akan menimbulkan masalah-masalah

yang berdampak kepada sosial budaya pada tempat atau daerah yang akan

dikembangkan sektor pariwisata.

Permasalahan yang dihadapi oleh BOPDT dalam pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba juga dihadapi oleh beberapa negara di dunia,

salah satunya adalah Negara Cina, yaitu berdasarkan oleh hasil penelitian oleh

(Guo & Sun, 2016), bahwa terdapat 4 (empat) masalah yang dihadapi negara

Cina dalam mengembangkan pariwisata pedesaan melalui sistem membangun

kerjasama negara, yaitu 1) negara-negara umumnya memerlukan industri

pariwisata harus secara lokal didorong dan dikembangkan; 2) kerjasama lintas

batas dan koordinasi antara negara-negara yang berdekatan dipandang

prasyarat untuk penguatan bersama industri pariwisata daerah; 3) pariwisata

dianggap menjadi pemicu penting untuk modernisasi kebijakan konservasi, dan

pembangunan pedesaan yang timbul dari konservasi; 4) literatur pariwisata

pedesaan menunjukkan bahwa pariwisata mendorong penciptaan lapangan kerja

lokal, pekerjaan ini cenderung menjadi menciptakan penjualan produk kerajinan,

kinerja budaya, keramah tamahan dan layanan akomodasi. Dengan demikian,

perencanaan pariwisata harus selalu memperhatikan keterkaitan antara

komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan dalam

menentukan kerangka kerja. Pariwisata di kawasan Danau Toba dalam

pengembangannya harus didukung oleh perencanaan yang baik sehingga


466

menghasilkan pengelolaan yang baik di sektor pariwisata, apalagi pariwisata

Danau Toba adalah sebuah kawasan yang dikelilingi oleh beberapa daerah.

Kuncoro (2018: 75) bahwa kawasan memerlukan berbagai penggunaan

lahan pendukung, seperti perlindungan lahan pertanian, kota, ruang industri,

pusat transportasi dan infrastruktur, pangkalan militer dan padang gurun, maka

perencanaan daerah adalah ilmu tentang penempatan infrastruktur yang efisien

dan zonasi bagi pertumbuhan berkelanjutan suatu daerah. Kemudian,

Kementerian Pariwisata Republik Indonesia (2016), bahwa konsep kawasan

pariwisata digunakan untuk memahami kondisi lingkungan wilayah dari suatu

destinasi wisata dan daya tarik wisata karena kawasan memiliki batasan-batasan

wilayah yang jelas sehingga memudahkan untuk menganalisis pola pariwisata

dan masalah yang terdapat di dalamnya. Kawasan memiliki karakteristik yang

unik dapat berupa wilayah dengan kesamaan karakteristik alam dan/budaya

yang memiliki ciri khas tertentu.

Memahami dan merujuk pendapat di atas, kemudian Hubner, et.al (2014),

Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa terdapat hubungan antara perencanaan,

manajemen dan tata kelola dalam pengembangan pola pariwisata kawasan di

Taman Nasional Vietnam dan perlu dilakukan proses desentralisasi, dimana

dalam pengembangan pola pariwisata kawasan harus memiliki implikasi untuk

kemitraan dan perencanaan serta komunikasi antar sektor pariwisata publik dan

swasta, kemudian dalam proses pengambilan keputusan didasari oleh nilai-nilai

budaya yang menentukan tanggung jawab dan tingkat keterlibatan dari berbagai

pelaku pariwisata. Penjelasan ini juga ditegaskan oleh Da Cunha dan Da Cunha

(2005), bahwa kawasan pariwisata merupakan wilayah yang dikembangkan dan

disediakan dengan fasilitas dan pelayanan penunjang untuk memenuhi


467

kebutuhan kegiatan pariwisata dan kebutuhan wisatawan itu sendiri. Apabila

suatu kawasan pariwisata memiliki ciri khas yang mengandalkan nilai budaya,

maka penyediaan fasilitas dan infrastruktur diarahkan untuk menikmati budaya

yang ditawarkan di kawasan tesebut.

Penjelasan-penjelasan di atas, apabila dikaitkan dengan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba dapat mendukung perencanaan

pengembangan potensi pariwisata yang ada di Danau Toba. Akan tetapi melalui

kawasan pariwisata juga dapat menciptakan masalah atau konflik sebagai akibat

dari perubahan dalam suatu kawasan atau dari konflik dan permasalahan di

suatu kawasan. Da Cunha dan Da Cunha (2005) berpendapat bahwa

pengembangan potensi dan karakteristik yang dimiliki daerah yang sangat

berkaitan dengan ruang dimana ia berada, secara fisik (wilayah) maupun ruang

abstrak (interaksi antar aktor lokal dan sosial). Kemudian, Tomas, et. Al (2015)

berdasarkan hasil penelitiannya di Republik Ceko yaitu bahwa pembangunan

pariwisata yang dilaksanakan oleh kedua lembaga pariwisata yaitu industri

pariwisata dan monument budaya dilakukan dengan kerjasama kedua belah

pihak sehingga adanya penciptaan produk pariwisata yang cocok sebagai

keunggulan pariwisata. Adanya kerjasama yang dilakukan dengan konsep

manajemen pariwisata sehingga menghasilkan produk yang berfungsi sebagai

pengantar isu kerjasama lintas sektor antara pariwisata dan budaya di tingkat

regional.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengembangan potensi pariwisata

di Kawasan Danau Toba harus memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri di

masing-masing daerah yang mengelilingi Danau Toba sehingga dapat menjadi

keunggulan tersendiri dan potensi daerah dalam mengembangkan pariwisata di


468

Kawasan Danau Toba. Namun, terkait pengembangan potensi pariwisata

kawasan Danau Toba yang harus dapat direncanakan secara optimal adalah

aspek/pilar pariwisata 4 A yaitu attraction, accesability, amenities dan ancillary

sebagai berikut:

1. Attraction (daya tarik)

Kawasan Danau Toba memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam dan

mempunyai daya tarik tersendiri di setiap daerah yang ada di kawasan Danau

Toba baik daya tarik berupa alam, budaya dan masyarakatnya serta hasil

daerahnya. Pariwisata di masing-masing daerah kawasan Danau Toba dapat

menunjukkan daya tarik luar biasa yang dapat menarik pengunjung dengan

keaslian alamnya seperti flora dan fauna, pemandangan alam, panorama

indah, hutan rimba, dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang-binatang

langka. Sedangkan dari segi hasil karya manusia antara lain museum,

peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro

(pertanian), wisata air danau, wisata petualangan, taman rekreasi serta daya

tarik wisata lainnya yang masih dapat dikunjungi di kawasan Danau Toba.

2. Accesability (aksesibilitas/transportasi)

Akses menuju kawasan Danau Toba sejak tahun 2018 sudah semakin

membaik karena untuk perencanaan pembangunan pariwisata di sektor

infrastruktur telah dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan di 7 daerah

kabupaten tersebut. Akses yang baik harus dapat mendukung akomodasi

ysng dibutuhkan oleh wisatawan seperti transportasi. Akses transportasi ini

menjadi akses penting dalam pariwisata seperti bandara, pelabuhan dan jalan

raya khususnya kawasan Danau Toba.


469

Kawasan Danau Toba telah memiliki akses transportasi yang memadai yang

dimulai dari bandara internasional, pelabuhan ferry dan penumpang baik yang

dikelola oleh pemerintah maupun masyarakat lokal, juga jalan raya yang telah

dilakukan pembangunan. Namun, yang masih minim dalam pelaksanaan

melalui akses transportasi ini adalah Standar Operasional Prosedur (SOP)

untuk keselamatan belum secara optimal dilaksanakan apalagi yang dikelola

oleh masyarakat lokal.

3. Amenities (fasilitas)

Aspek ini berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung

pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba seperti hotel, penginapan,

rumah makan, transportasi dan biro atau agen perjalanan. Aspek ini juga tidak

kalah penting dengan akses transportasi sehingga dapat menciptakan

kenyamanan wisatawan untuk lebih berlama lagi di kawasan Danau Toba.

Semakin lamanya wisatawan di kawasan Danau Toba maka semakin

meningkat pendapatan daerah dan masyarakat. Namun, sarana dan

prasarana di kawasan Danau Toba ini belum bisa dikatakan optimal tetapi

hampir mencapai memadai karena masih banyak keluhan yang dikatakan

oleh para wisatawan terkait kebersihan dan halal atau haramnya makanan

apalagi bagi wisatawan muslim. Dan juga masih minimnya hotel atau

penginapan yang ada di objek wisata menyediakan tempat beribadah

sehingga menjadi alasan utama bagi pengunjung muslim untuk tidak berlama

disitu, sedangkan hampir 70% wisatawan yang datang ke kawasan Danau

Toba adalah muslim.


470

4. Ancillary (tambahan/pelayanan/kelembagaan)

Setidaknya aspek ini menjadi pendukung untuk menarik perhatian wisatawan

untuk datang ke kawasan Danau Toba dengan program promosi dan

pemasaran. Adanya lembaga pariwsisata seperti pusat informasi pariwisata di

setiap tempat umum atau akses pintu masuk ke Danau Toba seperti bandara,

terminal dan pelabuhan disediakan tourism center information, sehingga

memudahkan wisatawan untuk dapat mengetahui objek wisata yang akan

dikunjungi. Dengan adanya lembaga ini maka wisatawan secara langsung

mendapatkan pelayanan tambahan dalam berwisata, namun pusat informasi

ini di kawasan Danau Toba hanya ada di bandara sedangkan di akses yang

lain belum ada.

Kegiatan pengembangan potensi pariwisata kawasan Danau Toba

disesuaikan dengan ciri khas masing-masing daerah dan berpedoman pada

kebijakan yang berorientasi kepada tujuan perencanaan pariwisata kawasan

Danau Toba. Proses perencanaan pariwisata dimaksudkan untuk mendorong

meningkatnya ekonomi lokal melalui penciptaan lapangan pekerjaan,

membangun keterampilan lokal, budaya dan ekologi. Seperti yang dikemukakan

oleh, Hall (2008), bahwa dalam perencanaan pariwisata secara tradisional juga

dikaitkan dengan zonasi tata guna lahan atau perencanaan pembangunan di

tingkat pemerintah daerah atau daerah, yang difokuskan melalui pengembangan

situs, akomodasi dan peraturan pembangunan, kepadatan pengembangan

wisata, penyajian fitur wisata budaya, sejarah dan alam dan penyediaan

infrastruktur termasuk infrastruktur jalan dan air limbah.

Kawasan Danau Toba dikelilingi oleh 7 kabupaten yang memiliki ciri khas

dan keunggulan yang dapat mengembangkan pariwisata itu sendiri. Dan inilah
471

yang menjadi salah satu faktor harus adanya interaksi atau hubungan yang

saling koordinasi dalam pembangunan pariwisata Danau Toba ke depan. Maka,

dijadikanlah keunggulan dan ciri khas daerah tersebut menjadi sumber

penguatan daerah dalam mewujudkan pariwisata yang unggul dan berdaya

saing. Potensi utama yang dapat dikembangkan dalam pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba adalah keindahan danau dan budaya yang dimiliki daerah.

Setiap daerah di kawasan Danau Toba dapat mengembangkan wisata alam

yang dapat dijadikan daya tarik wisata berupa keindahan Danau Toba, yang

dapat dilakukan dengan berenang, mandi di pinggiran danau dan beberapa

kegiatan wisata air lainnya.

Potensi pariwisata yang dikembangkan menjadi aset daerah kemudian

dijadikan keunggulan masing-masing daerah kawasan Danau Toba adalah

budaya dan adat istiadat. Walaupun potensi budaya yang dimiliki adalah warisan

leluhur Batak namun, terdapat perbedaan budaya yang menjadi keunikan dan ciri

khas masing-masing daerah di kawasan Danau Toba. Perbedaan itu terlihat

pada tata cara adat dan sejarah budaya batak di daerah kawasan Danau Toba

seperti, tahapan spiritual, religinya, rumah adat, dan tenunan ulosnya. Kawasan

Danau Toba mempunyai suku yang sama tetapi budaya yang beda yaitu, Batak

Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Karo dan Batak Dairi kemudian

masing-masing suku ini mempunyai budaya yang berbeda baik dalam

pelaksanaan adat dan ritualnya.

Persamaan dan perbedaan ini jugalah yang menjadi alasan harus adanya

standarisasi dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

sehingga dapat menonjolkan keunggulan dan karakteristik masing-masing

daerah di kawasan Danau Toba. Seperti yang diungkapkan oleh Borges, et. al
472

(2014) bahwa dalam pengelolaan pariwisata yang ideal harus adanya

multidimensi dan standar untuk memastikan keberhasilan melalui pendekatan

kemitraan atau kerjasama yang baik antara pemangku kepentingan yang

bertujuan untuk mempromosikan sinergi dalam wilayah geografis yang sama

dalam rangka menghadapi persaingan global. Kemudian, Cole (2015) juga

menegaskan pariwisata yang dikembangkan melalui pengembangan produk

lokal seperti yang ada di Negara Chili yaitu pariwisata adat, dalam proses

pelaksanaan pembangunan pariwisatanya harus ada hubungan yang baik antara

negara dan masyarakat adat sehingga ketegangan dan kompleksitas yang

ditimbulkan oleh promosi dan penilaian dari perbedaan etnis dalam mendapatkan

pengakuan politik di berbagai negara.

Untuk mensinkronisasikan kegiatan dan program dalam pembangunan

pariwisata di daerah sekitar Danau Toba maka harus dalam satu manajemen

terpadu sehingga dapat saling koordinasi walaupun masing-masing daerah

menyelenggarakan pembangunan pariwisata sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan daerahnya. Manajemen terpadu ini dilaksanakan oleh Badan Otorita

sebagai utusan dari pemerintah pusat, sedangkan pemerintah provinsi sebagai

pengawas kemudian pemerintah kabupaten sebagai penyelenggara.

Pemahaman yang dapat ditegaskan dari pernyataan di atas adalah

bahwa pembangunan pariwisata yang lebih mengarah kepada pengembangan

potensi dan karakteristik daerah kemudian menghasilkan keunggulan yang dapat

dijadikan ciri khas daerah dalam mengembangkan pariwisata dan menciptakan

inovasi pada industri pariwisata. Pariwisata yang dikembangkan melalui potensi

dan karakteristik daerah merupakan suatu upaya penguatan daerah yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan


473

masyarakat dan perekonomian daerah di bidang sektor pariwisata. Kemudian

ditegaskan oleh Edgell, et.al (2008), bahwa kebijakan pariwisata harus bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal di setiap tujuan yang

diberikan karena prinsip utama untuk setiap kebijakan pariwisata adalah dapat

memastikan banhwa bangsa (wilayah atau lokalitas) akan mendapatkan manfaat

semaksimal mungkin dari kontribusi ekonomi dan sosial pariwisata. Dengan

demikian, pembuat kebijakan pariwisata harus memiliki pengetahuan tentang

tren pasar dan cukup fleksibel untuk menyesuaikan rencana strategis dalam

melakukan tindakan dan perubahan.

Potensi yang memiliki keaslian dari warisan alam dan budaya dalam

mengembangkan pariwisata maka harus ada komitmen daerah untuk

memperkuat budaya asli kemudian dipromosikan melalui berbagai lembaga.

Kemudian, hubungan antar lembaga-lembaga ini diatur dalam perjanjian atau

tindakan sebagai upaya mengoptimalkan pengembangan pariwisata. Perjanjian

dan tindakan yang dimaksud diatur dalam sebuah regulasi yang dapat mengikat

antara satu dengan yang lain.

Kebijakan pariwisata yang ada di kawasan Danau Toba harus dapat

dikombinasikan dengan berbagai tujuan perencanaan. Oleh karena pariwisata

adalah menggabungkan masalah sosial, budaya, dan lingkungan di luar

pembangunan fisik dan pemasaran dan juga pariwisata memiliki hubungan yang

kuat dengan kegiatan sosial dan budaya, inisiatif kebijakan luar negeri,

pembangunan ekonomi, tujuan lingkungan dan perencanaan yang berkelanjutan.

Salah satu hal yang terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah (otonomi daerah) adalah bahwa penyelenggaraannya harus dapat

menjamin keserasian hubungan antar daerah dan mampu membangun


474

kerjasama antar daerah yang dikelola dengan baik dan membuahkan hasil yang

bermanfaat untuk pihak-pihak yang berada di dalamnya yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan bersama.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diharapkan dapat menjamin

adanya kerjasama antar daerah dan lintas sektor sehingga mampu membangun

daerah melalui prinsip-prinsip pembangunan daerah sektor pariwisata.

Pembangunan daerah di sektor pariwisata tidak hanya meningkatkan

kesejahteraan material dan spiritual tetapi juga meningkatkan kesejahteraan

kultural dan intelektual. Sektor pariwisata ini juga mempunyai prospek yang luas

dalam mengembangkan pembangunan daerah melalui potensinya sehingga

dapat membuka kesempatan dan peluang serta menciptakan nilai-nilai yang

tumbuh secara arif dan terintegrasi dalam meningkatkan kemampuan dan

memberikan manfaat bagi masyarakat lokal.

Sektor pariwisata dilihat dari sisi regulasi pengelolaaan kepariwisataan,

otonomi daerah berdampak pada pengelolaan pariwisata yang mandiri dan

adaftip terhadap perkembangan yang terjadi, terutama pada pelaku industri

pariwisata yang ada di daerah tujuan wisata. Oleh karena itu, kerjasama yang

sinergis perlu dilakukan antara sektor publik dan privat untuk pengembangan

pariwisata di kawasan Danau Toba. Diperlukan pengelolaan pariwisata yang

terintegrasi dengan baik secara vertikal maupun horizontal melalui konsep

perencanaan yang benar dan baik.

Borges, et al (2014: 45), menjelaskan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan yang efektif dapat membantu untuk memfasilitasi pembangunan

sektor pariwisata secara terpadu melalui pendekatan tata kelola sehingga dapat

mengatasi tantangan dan hambatan dalam pengembangan pariwisata


475

berkelanjutan. Untuk menghadapi tantangan dalam pembangunan di sektor

pariwisata, maka Sunaryo (2012: 131) mengemukakan empat nilai yang harus

ada dalam perencanaan pembangunan di sektor pariwisata, yaitu: 1)

Keberpihakan terhadap visi, misi, tujuan dan sasaran prioritas tertentu dari

proses pembangunan kepariwisataan yang akan diselenggarakan; 2) Fleksibilitas

yang adaptif dari pertumbuhan pembangunan kepariwisataan yang sesuai

dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik di kawasan

nasional maupun internasional; 3) Terjaganya keberlanjutan pembangunan

kepariwisataan yang telah mencakup antisipasi untuk tuntutan kebutuhan bagi

generasi yang akan dating; 4) Antisipatif dan responsive, yang didalam ini

perencanaan pembangunan kepariwisataan harus selalu memperhatikan,

memperhitungkan, dan mempertimbangkan keseluruhan dinamika situasi dan

realitas kenyataan kepariwisataan di seluruh wilayah yang terkait.

Pernyataan Sunaryo tersebut apabila dibandingkan dengan hasil

penelitian dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

belum secara maksimal tersusun sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan yang

diharapkan oleh semua pelaku kepentingan. Membangun kawasan Danau Toba

ini dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak dan adanya pemahaman yang

sama dalam mengembangkan pembangunan pariwisata di daerah ini. Penyatuan

pemahaman dapat dilakukan dengan tata kelola yang baik dalam sistem

pengambilan keputusan dan juga proses pelaksanaan pembangunannya.

Perencanaan pembangunan pariwisata yang disusun berdasarkan tata

kelola potensi harus dapat meningkatkan nilai ketertarikan, persaingan,

keberlanjutan dan lokalitas sehingga dapat menjadi upaya dalam peningkatan

kinerja pemerintahan daerah. Proses perencanaan pembangunan pariwisata


476

juga bertujuan untuk meningkatkan sistem interaksi antara semua pemangku

kepentingan sehingga seluruh regulasi yang dirancang mengarah kepada

kesejahteraan masyarakat sehingga mewujudkan pemerintahan yang baik.

Mekanisme yang baik dalam perencanaan pembangunan pariwisata,

maka dapat memudahkan dalam melaksanakan seluruh tuntutan dan kebutuhan

masyarakat sehingga pencapaian kesejahteraan sosial dapat optimal. Tidak

hanya itu, inovasi-inovasi dalam pembangunan pariwisata juga akan tercipta

dengan keunggulan-keunggulan yang berdaya saing baik di tingkat nasional

maupun internasional. Dengan demikian, keunggulan yang dimiliki daerah sekitar

Danau Toba dapat menjadi sebuah keunggulan dalam penguatan kapasitas dan

kapbilitas daerah di sektor pariwisata.

Berdasarkan hasil penelitian Borges, et.al (2014) bahwa pembangunan

pariwisata melalui konsep governance menjadi salah satu andalan untuk

memastikan keberhasilan pariwisata secara global. Peran pemerintah lebih

ditekankan untuk pengembangan pariwisata melalui pengaturan kelembagaan,

kekuatan dan nilai-nilai lokal, peran kelompok pariwisata sehingga menghasilkan

tata pemerintahan yang efektif. Namun, pemerintah perlu fondasi yang kuat

dapat diterapkan dalam pembangunan pariwisata secara berkelanjutan. Maka,

dalam konsep ini dibutuhkan proses perencanaan dalam pembuatan kebijakan

pembangunan pariwisata karena konsep governance adalah multidimensional.

Keberhasilan konsep ini juga harus mempunyai solusi standar melakukan

pembangunan pariwisata. Konsep ini merupakan pola baru untuk mewujudkan

interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi masalah lama dan

baru yang bertujuan untuk menciptakan peluang baru dalam pengembangan

pariwisata secara spesifik.


477

Sedangkan hasil penelitian Hubner, et.al (2014) bahwa pembangunan

pariwisata di Vietnam sedang mengembangkan konsep kontroversial yang

berimplikasi terhadap kemitraan dan perencanaan serta komunikasi antara

sektor pariwisata publik dan swasta. Konsep ini mengasumsikan nilai efisiensi

yang tinggi, nilai-nilai budaya yang menentukan tanggung jawa, pengambilan

keputusan serta tingkat keterlibatan dari berbagai pelaku pariwisata. Konsep ini

mengembangkan model tata kelola manajemen pariwisata yang bertujuan untuk

mendeskripsikan hubungan antara kekuatan yang berbeda dari perencanaan,

peraturan atau kendali atas keuangan dan hubungan pemerintah dengan

warganya. Konsep ini menekankan pada pendapatan daerah untuk

pengembangan pariwisata kawasan sebagai hasil kinerja pemerintahan.

Kemudian, Maza (2016) Pengembangan pariwisata melalui peningkatan

hubungan antara pemerintah dan masyarakat adat melalui perencanaan

pembangunan yang bertujuan untuk melakukan promosi pariwisata dengan

pendekatan pembangunan identitas etnis. Pemerintah menempatkan nilai pada

kekhasan budaya sebagai bagian dari produk pariwisata yang dapat mendorong

pembangunan daerah di sektor pariwisata. Namun, masyarakat belum mampu

untuk melakukan tindakan karena terkait konstruksi budaya yang melekat secara

otentik berdasarkan budaya leluhur.

Tuohino dan Konu (2014) Terdapat perbedaan dalam struktur manajemen

pembangunan pariwisata di 3 (tiga) daerah, yaitu wilayah I didorong terutama

oleh aktor-aktor publik; wilayah II didorong oleh pelaku publik dan swasta, namun

sektor swasta lebih ditekankan; wilayah III didorong oleh pelaku publik dan

swasta. Penelitian ini memberikan kontribusi bahwa adanya peran yang beragam

dari peran stakeholder dalam pengelolan tujuan pembangunan pariwisata.


478

Pencapaian tujuan dalam pembangunan pariwisata terkait dengan konteks

budaya dan mempunyai karakteristik yang unik (regional, politik, lingkungan

bisnis, dll) dari masing-masing memiliki pengaruh terhadap strategi manajemen

pembangunan pariwisata. Melalui strategi manajemen juga menghasilkan

tantangan pembangunan pariwisata ke depan yaitu bagaimana asset dan

sumber daya harus mampu terus berdaya saing di masa depan, tetap

membangun jaringan sehingga dapat meningkatkan hasil produk-produk

pariwisata.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa harus ada

konsep atau model yang cocok dalam pembangunan pariwisata dengan melihat

kondisi dan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Kawasan Danau Toba sedikit

berbeda dengan daerah-daerah wisata lainnya, meliputi pengelolaan dan

pelaksanaan pembangunan pariwisata dan juga dalam menyusun perencanaan

dan kebijakan pariwisatanya. Maka, terdapat beberapa kontribusi yang dapat

dibangun melalui teori perencanaan pariwisata yaitu:

1. Mengembangkan pandangan dan solusi alternatif yang terkait

pengembangan cara-cara baru dalam memandang suatu wilayah, masalah

dan solusinya yang berorientasi ke arah yang baru dan berbeda dari

sebelumnya.

2. Menciptakan kerangka kerja untuk pengembangan tata ruang sehingga

mampu merancang strategi untuk perkembangan dan tindakan di masa

depan.

3. Pemangku kepentingan membuat rancangan atau pola perencanaan

berkualitas tinggi dan terintegrasi yang berdasarkan dari kerangka kerja

bersifat komprehensif.
479

4. Merancang, memetakan dan mengeksploitasi isu-isu spasial yang mengacu

pada pemetaan, analisis dan memvisuliasikan situasi yang ada, masalah

dan peluang sebagai bagian dari proses rancangan.

Hasil penelitian ini juga dapat memberikan rekomendasi sebuah konsep

atau model dalam perencanaan pembangunan pariwisata yaitu konsep

perencanaan kawasan pariwisata. Konsep ini dimaksudkan bahwa dalam

pengembangan pariwisata dilakukan melalui pengaturan kelembagaan, kekuatan

dan nilai-nilai lokal, peran kelompok pariwisata, memberdayakan dan

mengembangkan potensi sumber daya alam dan masyarakat daerah dan

menjadi keunggulan daerah dalam menghasilkan tata kelola pariwisata yang

baik.Model rekomendasi ini juga mempunyai keunggulan dan kekurangan, yaitu:

1. Keunggulan

a. Dapat memetakan potensi pariwisata sesuai dengan yang dimiliki

daerahnya.

b. Pengelompokan potensi pariwisata yang sesuai dengan standar dan

karakteristik daerah kawasan Danau Toba

c. Memperkuat lembaga yang terkait dalam pengembangan pariwisata

kawasan Danau Toba

d. Memperkuat potensi sumber daya alam dan masyarakat di daerah

kawasan Danau Toba.

2. Kekurangan

a. Belum dapat menata ruang pariwisata dengan maksimal karena

diperlukan berbagai program dan kebijakan terkait tata ruang.

b. Tidak dapat memaksimalkan komunikasi dan kerjasama antar

lembaga.
Kebijakan Pariwisata

BOPDT Pihak Swasta


Kerangka
Kerja
Provinsi Kabupaten Masyarakat

Perencanaan Standarisasi Perencanaan Sinkronisasi dan


Pemetaan Pariwisata koordinasi
Potensi
Pariwisata

Karakteristik Daerah Perencanaan


dan Keunggulan Kawasan Pariwisata
Daerah

Good Tourism Governance

Gambar 6.1 Model Rekomendasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba.

480
481

6.6 Hasil Analisis

BOPDT juga sebagai lembaga perencana seperti yang dikemukakan oleh

Faludi melalui theory of planning dalam memahami teori perencanaan terkait

membangun dan membentuk konseptual kerangka kerja yang bertujuan untuk

menghasilkan rencana strategis dalam pengembangan pariwisata Danau Toba,

maka lembaga ini harus dapat membangun kerjasama yang baik dengan

membina hubungan baik dengan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba. BOPDT sebagai lembaga perencana juga bisa

dinyatakan sebagai produser dan regulator dalam pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba, demikian juga pemerintah daerah baik provinsi maupun

kabupaten. Sedangkan pihak swasta dan masyarakat dapat dikatakan sebagai

penerima manfaat juga sebagai produser (yang bermitra dengan pemerintah)

dan user atau pengguna.

Faludi (1973) juga menjelaskan tentang bahagian teori perencanaan yang

lain yaitu theory in planning (substantive planning), yaitu adanya substansi atau

teori yang perlu diketahui dan dipahami oleh perencana untuk mencapai tujuan

yang diinginkan, atau dengan kata lain perencana mencari konsep dan metode

yang tepat untuk menemukan solusi-solusi dalam pemecahan masalah.

Pernyataan ini, apabila dikaitkan dengan pembangunan pariwisata adalah

permasalahan apa yang dapat menghambat perencanaan secara prosedural.

Theory in planning ini secara umum dapat membantu para perencana untuk

memahami wilayah kerja sehingga menghasilkan perencanaan yang efektif.

Seperti yang dikemukakan oleh Kumar (2001) bahwa perencanaan yang

mengasumsikan kabupaten adalah sub negara/unit untuk pengambilan

keputusan dalam sistem perencanaan multi level. Perencanaan terdesentralisasi


482

dapat lebih mengetahui kebutuhan daerah setempat, membuat lebih baik

informasi memungkinkan pengambilan keputusan kepada orang-orang untuk

siapa pembangunan yang dimaksud dan berfungsi untuk mencapai yang lebih

baik dan berkoordinasi dan integrasi antara program yang memungkinkan

kebutuhan yang dirasakan oleh orang-orang yang akan diperhitungkan.

Perencanaan di sektor pariwisata harus dilakukan secara profesional dan

tindakan yang dilakukan didasarkan kepada ide-ide atau pemikiran yang

merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan yang

digunakan untuk mengembangkan sumber daya yang tersedia. Perkembangan

pariwisata kawasan Danau Toba, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Butler

pada tahun 1980 yang dikenal dengan Tourism Area Life Cycle (TALC) yang

terbagi menjadi tujuh tahap, yaitu

1. Tahap exploration yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu tempat

sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku

pariwisata, maupun pemerintah, biasanya jumlah pengunjung sedikit,

wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya

sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru

menjadi minat karena belum ramai dikunjungi.

2. Tahap involvement disebut dengan tahap keterlibatan. Pada fase ini,

peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mengakibatkan sebagian

masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang

khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan

masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat mulai mengubah pola-pola

sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Disinilah
483

mulai suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang ditandai oleh mulai

adanya promosi.

3. Tahap development disebut dengan tahap pembangunan. Pada fase ini,

investasi dari luar mulai masuk serta mulai munculnya pasar wisata secara

sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik, advertensi (promosi)

semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh fasilitas

yang benar-benar touristic dengan standar internasional, dan atraksi buatan

sudah mulai dikembangkan untuk menambahkan atraksi yang asli alami.

Berbagai barang dan jasa impor menjadi keharusan termasuk tenaga kerja

asing untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat.

4. Tahap consolidation (konsolidasi). Pada fase ini, peristiwa sudah dominan

dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh

jaringan internasional atau major chains and franchise. Jumlah kunjungan

wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran

semakin gencar dan diperluas untuk mengisi berbagai fasilitas yang sudah

dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.

5. Tahap stagnation (stagnasi). Pada fase ini, kapasitas berbagai faktor sudah

terlampaui di atas daya dukung sehingga menimbulkan masalah ekonomi,

sosial dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja berat untuk

memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki khususnya dengan

mengharapkan repeater guests atau wisata konvens/bisnis. Selain itu,

atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun

alam), citra awal sudah mulai meluntur, dan destinasi sudah tidak lagi

populer.
484

6. Tahap decline (penurunan). Pada fase ini, wisatawan sudah beralih ke

destinasi wisata baru dan yang tinggal hanya sia-sia, khususnya wisatawan

yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah berlatih atau

dialihkan menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal mugkin meningkat lagi

terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar.

Destinasi dapat berkembang menjadi destinasi kelas rendah (a tourism

slum) atau sama sekali secara total kehilangan.

7. Tahap rejuvenation (peremajaan). Pada fase ini, perubahan secara dramatis

dapat terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak) menuju

perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini dapat terjadi karena adanya

inovasi dalam pengembangan produk baru dan menggali atau

memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya belum

dimanfaatkan.

Tahapan yang dijelaskan oleh Butler tersebut, senada dengan yang

skenario pengembangan Kawasan Danau Toba yang dituangkan dalam

Integrated Tourism Masterplan for Lake Toba (2016), yaitu

1. Tahap 1 Pemulihan Danau (Tahun 2016 – 2018); REINFORCEMENT

(Danau Toba mulai dipulihkan dan infrastruktur kawasan mulai ditingkatkan

baik kualitas maupun kuantitas)

2. Tahap 2 Pengembangan Danau (2019 – 2021); DEVELOPMENT (Kualitas

Danau Toba membaik dan sentra produksi lokal berkembang di setiap

kawasan)
485

3. Tahap 3 Pariwisata Berkelanjutan (2022 – 2024); INTEGRATION (Kawasan

Danau Toba menjadi destinasi terintegrasi dengan sentra produksi lokal

yang didukung dengan infrastruktur yang handal).

4. Tahap 4 Pariwisata Berkelanjutan (2023 – 2027); EXPANSION (Kawasan

Danau Toba menjadi destinasi wisata skala dunia terintegrasi dengan produk

lokal yang didukung dengan infrastruktur yang handal)

Pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba adalah untuk

mewujudkan pembangunan yang merata dan bergerak dari pinggiran sebagai

tindak lanjut dari percepatan pembangunan nasional yaitu menciptakan 10 Bali

baru sebagai kinerja pariwisata nasional untuk mengangkat pasar yang lebih

luas. Danau toba juga dijadikan salah satu 10 destinasi yang diprioritaskan untuk

dikembangkan dan diyakini mampu untuk bersaing di tingkat nasional dan

internasional pada sektor pariwisata. Pengembangan pariwisata di Danau Toba

juga dilihat dari konsep perencanaan pariwisata. Namun, Veal (2002: 92)

mengungkapkan bahwa diperlukan beberapa langkah dalam perencanaan

pariwisata sebagai suatu proses dan dijadikan sebagai suatu standar dalam

kegiatan pengambilan keputusan, sebagai berikut: 1) Tetapkan kerangka

acuan/penjelasan singkat; 2) Penilaian lingkungan; 3) Menetapkan misi/tujuan; 4)

Konsultasi dengan para pemangku kepentingan; 5) Pengembangan pilihan; 6)

Penentuan strategi; 7) Pemantauan, evaluasi dan umpan balik.

Berdasarkan langkah dan tujuan perencanaan pariwisata yang

dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan

pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba belum dapat dilaksanakan

secara optimal dan maksimal, walaupun beberapa daerah telah melaksanakan


486

kebijakan pariwisata yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2009. Tindak lanjut

dari implementasi kebijakan ini belum secara menyeluruh dilaksanakan oleh

pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pembangunan pariwisata di kawasan

Danau Toba. Padahal beraneka ragam potensi pariwisata yang dikembangkan

dan menjadi keunggulan di daerah sekitar Danau Toba, namun potensi yang

dimiliki ini belum dapat dikembangkan secara menyeluruh.

Danau Toba adalah kawasan pariwisata yang memiliki potensi yang unik

dan mempunyai karakteristik tersendiri, apabila dilihat dari budaya dan

kebudayaan yang menjadi sejarah, selain itu juga didukung oleh potensi alam

yang dapat menjadi destinasi unggulan. Dengan demikian, apabila perencanaan

pariwisata di kawasan Danau Toba mengikuti langkah-langkah yang

dikemukakan oleh Veal, maka pembangunan pariwisata dapat dikembangkan

sesuai dengan perubahan yang mengarah ke masa depan dan berkelanjutan.

Namun, terdapat beberapa point yang belum dapat dihasilkan secara optimal

oleh BOPDT, yaitu

1. Adanya kerangka kerja yang dirumuskan dalam Integrated Tourism

Masterplan for Lake Toba,

2. Penilaian lingkungan (sedang dirumuskan regulasi khusus untuk

lingkungan sekitar Danau Toba),

3. Menetapkan misi/tujuan (yang telah diatur dalam masterplan KSPN

Danau Toba dan Sekitarnya),

4. Konsultasi dengan para pemangku (merupakan hal tersulit dalam

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba karena belum bisa

dilaksanakan secara optimal dan juga belum adanya MoU antara masing-

masing pihak pemangku kepentingan terutama antara lembaga


487

pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten atau dengan BOPDT,

yang ada hanya MoU dengan pihak swasta dan kelompok masyarakat),

5. Pengembangan pilihan (belum maksimal karena tidak semua destinasi

wisata mempunyai pusat informasi pariwisata/crisis center),

6. Penentuan strategi (masing-masing daerah sudah memiliki renstra

tersendiri, namun BOPDT belum merumuskan renstra khusus pariwisata

kawasan Danau Toba),

7. Pelaksanaan (karena renstra belum tersusun pada BOPDT maka

program yang dilaksanakan hanya sebagai tindak lanjut dari rensta

kementerian pariwisata)

8. Pemantauan, evaluasi dan umpan balik (tujuan yang dicapai belum

maksimal karena masih ada beberapa permasalahan yang belum dapat

terselesaikan dengan baik, antara lain penyatuan visi dan misi, masing-

masing daerah melakukan program pariwisata sesuai dengan daerahnya

sehingga BOPDT juga melaksanakan program yang telah ditentukan

pada pemerintah pusat melalui kementerian pariwisata)

Sedangkan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba

apabila dilihat dari teori Conyers dan Hills (1984: 74-75), bahwa dalam

perencanaan terdapat beberapa tahapan, yaitu

1. Decision to adopt planning. Tahapan awal yang harus dilakukan

adalah pembuatan keputusan untuk menyusun perencanaan

(BPODT telah melaksanakan penyusunan perencanaan tetapi masih

bersifat draf dan masih menggunakan dokumen rencana strategis

Kementerian Pariwisata RI)


488

2. Establish organizational framework for planning. Pada tahapan ini

adalah penyusunan kerangka organisatoris untuk pembuatan

perencanaan.

(Pariwisata kawasan Danau Toba telah mempunyai kerangka kerja

tetapi dimiliki oleh setiap daerah dan Badan Otorita sehingga belum

ada satu komitmen yang dapat menyatukan visi misi pengembangan

pariwisata Danau Toba)

3. Specify planning goals. Tahap ketiga ini adalah menetapkan tujuan

yang hendak dicapai dalam perencanaan.

(Tujuan pengembangan pariwisata Danau Toba, yang dirumuskan oleh

BPODT sudah dilakukan tahapan pencapaian tujuan melalui

perencanaan-perencanaan pengembangan di sektor pariwisata juga

tekait dengan sektor lainnya)

4. Formulate objective. Setelah tahapan perumusan tujuan, maka pada

tahapan ini adalah merumuskan sasaran dari sesuatu perencanaan.

(perencanaan yang dirancang oleh BPODT belum memaksimalkan

sasaran yang tepat dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau

Toba di setiap daerah sekitar Danau Toba)

5. Collect and analize data. Pada tahapan kelima adalah mengumpulkan

dan menganalisis data.

(BPODT masih melakukan pengumpulan data dan analisis data secara

acak dan belum ada pemerataan data yang akurat terkait semua

daerah yang ada di kawasan Danau Toba)


489

6. Identity alternative courses of section. Setelah data dikumpulkan dan

dianalisis, maka selanjutnya adalah menetapkan tindakan alternative

yang akan dilaksanakan.

(Data yang diperoleh oleh BPODT masih terkait dengan lembaga ini

saja belum dapat menyatukan data-data yang dapat mendukung

secara signifikan dalam mengembangkan pariwisata kawasan Danau

Toba)

7. Appraise alternative courses of actions. Setelah ditetapkan tindakan

alternative, maka pada tahapan ini adalah menilai tindakan alternative

tersebut.

(tindakan yang dilakukan oleh BPODT adalah tindakan yang sesuai

dengan program dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh kementerian

pariwisata terkait pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba)

8. Select preferred alternative. Pada tahapan ini, yang dilakukan adalah

membahas alternative yang terpilih.

(BPODT belum dapat merumuskan alternatif yang dijadikan tindakan

pendukung pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba)

9. Implement. Selanjutnya, alternative yang terpilih diimplementasikan.

(alternatif yang dilaksanakan BPODT masih secara umum yang

ditetapkan oleh kementerian pariwisata untuk pengembangan destinasi

wisata yang diprioritaskan)

10. Monitor and evaluate. Adalah melakukan monitoring dan evaluasi.

(tidak ada monitoring dan evaluasi yang dilakukan terhadap tindakan

yang dilakukan dalam pengembangan pariwisata kawasan Danau

Toba)
490

Tahapan-tahapan perencanaan yang dikemukan Conyers dan Hills

(1984:75) merupakan sebuah siklus. Proses dari tahapan tersebut berjalan terus

menerus. Jika perencanaan yang telah diimplementasikan, maka harus adanya

monitoring dan evaluasi. Hasil monitoring dan evaluasi dalam implementasi

kemudian menjadi feedback yang akhirnya menjadi masukan untuk perencanaan

selanjutnya. Implikasi yang dapat dijelaskan dalam perencanaan pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba adalah:

1. Tahap pemetaan potensi pariwisata yang dimiliki oleh setiap daerah di

kawasan Danau Toba.

2. Tahap pengelompokan potensi pariwisata di kawasan Danau Toba

sehingga dapat diketahui tujuan wisata yang sesuai dengan keinginan

wisatawan

3. Tahap Kerjasama dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang baik

antara daerah di kawasan Danau Toba dengan saling mendukung potensi

yang dimiliki oleh setiap daerah dan didukung dengan MoU kerjasama

yang dapat mengikat saling komitmen dalam membangun dan

mengembangkan pariwisata Danau Toba dan dikoordinir oleh lembaga

perencana profesional yaitu BPODT

4. Tahap Implementasi dimaksudkan pelaksanaan program dan kebijakan

yang disepakati bersama sehingga dapat melaksanakan visi dan misi

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba

5. Tahap monitoring yang dilakukan oleh lembaga perencana yaitu BPODT

6. Tahap evaluasi yang dilakukan secara bersama antara pemerintah

daerah dan lembaga perencana (BPODT) untuk merumuskan tujuan yang

lebih baik lagi.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

7.1.1 Perencanaan Pengembangan Potensi Pariwisata Kawasan Danau

Toba

Pengembangan potensi pariwisata di kawasan Danau Toba harus

direncanakan secara baik yang meliputi beberapa potensi yang dapat

mendukung perencanaan khususnya pembangunan pariwisata, yaitu

potensi destinasi wisata, potensi ekonomi, potensi sosial budaya dan

potensi lingkungan. Di dalam pengembangan potensi destinasi wisata

harus melihat 4 aspek dalam pariwisata yang harus dikembangkan yaitu

atraksi/daya tarik wisata, fasilitas pariwisata, akses/transportasi, fasilitas

tambahan/pelayanan/kelembagaan. Ke empat pilar ini lah yang harus

direncanakan dengan baik dalam pengembangan potensi pariwisata

kawasan Danau Toba. Di lihat dari segi atraksi dan daya tarik wisata,

potensi yang dimiliki destinasi wisata adalah berkaitan dengan budaya

dan adat istiadat. Potensi ini adalah kekuatan utama dalam

pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba sehingga perlu adanya

program yang langsung dapat mengembangkan kekuatan potensi ini,

yang dilakukan dengan pengembangan kemampuan masyarakat dan

fasilitas untuk mendukung pengembangannya seperti tenaga atau oakar

dalam pengembangan budaya. Setiap potensi pariwisata yang

dikembangkan saling berhubungan dan mempunyai keterkaitan satu

sama lain sehingga perencanaan pembangunan pariwisata dapat berjalan

491
492

dengan baik. Dengan adanya atraksi dan daya tarik wisata ini juga dapat

meningkatkan potensi ekonomi dalam sektor pariwisata sehingga

menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal melalui atraksi yang

dilakukan oleh pelaku pariwisata seperti atraksi budaya, atraksi

pembuatan ulos dan kerajinan tangan dan lain sebagainya. Potensi

atraksi dan daya tarik pada suatu destinasi wisata juga harus didukung

dengan pilar pariwisata yang lain yaitu fasilitas yang nyaman dan aman

(hotel, penginapan, restoran dan rumah makan), akses dan transportasi

yang memadai dan memberikan kenyamanan wisatawan dalam

perjalanan dan juga beberapa faslitas yang lainnya seperti pelayanan

pariwisata melalui pusat informasi pariwisata di setiap tempat umum atau

pintu masuk destinasi wisata (pelabuhan, bandara dan terminal), rumah

sakit, sekolah dan fasilitas lainnya yang dapat memberikan kenyamanan

wisatawan dalam berwisata (bank, money changer dan lain-lain).

Kesemuanya potensi yang direncanakan untuk dikembangkan juga harus

dilihat dari potensi lingkungan sekitar destinasi wisata. Terutama kawasan

Danau Toba harus terlebih dahulu membenahi kondisi lingkungan yang

ada di aliran Danau Toba yang telah banyak tercemar oleh limbah

perusahaan ataupun limbah individu (masyarakat lokal), sampah rumah

tangga, limbah hotel dan limbah hasil keramba pembudidayaan perikanan

yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun individu. Hal inilah yang

menjadi langkah awal yang dilaksanakan oleh BOPDT sebagai pengelola

pariwisata di kawasan Danau Toba.


493

7.1.2 Standarisasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau

Toba

Salah satu faktor yang menjadi hambatan dalam perencanaan

pembangunan pariwisata ini adalah minimnya keterlibatan pihak pelaku

usaha dalam mendukung pembangunan pariwisata, tidak adanya

koordinasi antar daerah yang mengakibatkan tidak satu visi, misi dan

tujuan dalam melaksanakan pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba. Dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata

kawasan Danau Toba juga sangat penting adanya penyatuan komitmen

sehingga meghasilkan koordinasi yang baik dalam pembangunan

pariwisata. Keegoan yang ada di daerah juga mengakibatkan tidak

optimalnya penerimaan daerah terhadap terbentuknya BOPDT sehingga

tidak ada sinkronisasi antara daerah dan BOPDT sehingga program

pariwisata yang dilaksanakan tidak terkoordinasi dengan baik antar

daerah. Maka, pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba harus

dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh daerah sekitar Danau

Toba tersebut menjadi keunggulan dan kekuatan daerah dalam

mengembangkan pariwisata di daerahnya. Solusi yang dapat untuk

memaksimalkan partisipasi masyarakat terhadap pengembangan

pariwisata kawasan Danau Toba ini adalah dengan membentuk

kelompok-kelompok masyarakat sadar wisata sesuai dengan potensi

yang dimiliki oleh setiap daerah kawasan pariwisata. Kelompok-kelompok

ini juga harus dikoordinir dengan baik melalui kerjasama dengan

pemerintah dan pihak yang terkait sehingga dapat satu komitmen dalam

membangun daerah khususnya pariwisata kawasan Danau Toba.


494

7.1.3 Proses Interaksi Antara Lembaga yang Terlibat dalam Perencanaan

Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba

BOPDT sebagai pelaksana pariwisata Danau Toba harus mampu

merancang regulasi yang mengarah kepada sistem kerjasama dalam

pembangunan pariwisata antar lembaga pemerintah daerah dengan

berbagai pihak pemangku kepentingan lainnya sehingga perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba dapat tersusun dengan

baik dan terealisasi ke publik. Dalam pengembangan pariwisata kawasan

Danau Toba dan sekitarnya, bahwa badan otorita sebagai

pengelola/manajemen terpadu pada kawasan Danau Toba, Provinsi

sebagai pengawas dan penyelenggara pembangunan pariwisata adalah

masing-masing daerah di kawasan Danau Toba sehingga dapat

terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik antar lembaga pemangku

kepentingan. Badan otorita yang dibentuk oleh pemerintah pusat melalui

kementerian pariwisata ini mempunyai peran penting dalam membangun

pariwisata Danau Toba, namun dalam menjalankan perannya ini Badan

Otorita juga harus dapat bekerjasama yang baik dengan daerah-daerah

sekitar kawasan Danau Toba termasuk kepada pemerintah provinsi

Sumatera Utara. Perencanaan yang baik juga sangat penting dalam

mewujudkan regulasi dan program-program dalam pembangunan

pariwisata sehingga mampu membawa pariwisata kawasan Danau Toba

bersaing di tingkat nasional dan internasional. Namun, perencanaan yang

baik dan efektif itu membutuhkan akses, data dan informasi yang benar

dan konsisten dalam pembangunan pariwisata, maka karena alasan inilah


495

pentingnya proses interaksi yang optimal antara lembaga yang terlibat

dalam perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba.

7.1.4 Model Perencanaan Pembangunan Pariwisata Kawasan Danau Toba

Danau Toba termasuk destinasi yang diprioritas dan mempunyai banyak

keunggulan dan potensial untuk dikembangkan. Pengembangan

pariwisata di Danau Toba didukung oleh banyak pihak termasuk

pemerintah daerah, tetapi kawasan Danau Toba ini dikelilingi oleh 7

kabupaten dan sejak akhir tahun 2018 menjadi 8 kabupaten, maka harus

ada penyatuan komitmen dan penyatuan visi, misi dan tujuan dalam

pembangunan pariwisata. Penyatuan visi, misi dan tujuan dan penyatuan

komitmen antara pemangku kepentingan dalam perencanaan

pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba termasuk 8 kabupaten

yang ada di kawasan ini. BOPDT dibentuk bertujuan untuk

mengoptimalisasikan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan

Danau Toba sebagai salah satu kawasan strategi pariwisata nasional,

maka perlu dilakukan langkah-langkah terkoordinasi, sistematis, terarah

dan terpadu. Namun, dalam pencapaian tujuan ini juga membutuhkan

dukungan yang besar dari 8 kabupaten di kawasan Danau Toba yang

dapat menjadi fasilitator dan juga mendukung pembiayaan pembangunan

pariwisata ke depan. Koordinasi yang dilakukan oleh BOPDT juga untuk

menyatukan visi, misi dan tujuan juga komitmen dari semua pemangku

kepentingan pariwisata dalam pengembangan potensi pariwisata dengan

melihat potensi-potensi yang ada sehingga dapat tersusun dan terealisasi

penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan Danau


496

Toba secara terpadu dan terarah. Dalam penelitian ini menghasilkan

model rekomendasi untuk penyusunan perencanaan pembangunan

pariwisata kawasan Danau Toba. Sehingga diharapkan dengan model

rekomendasi dapat mendukung percepatan pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba.

7.2 Saran

7.2.1 Saran Teoritis

Proses perencanaan yang dilakukan dalam pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba belum berjalan dengan baik, maka apabila dikaitkan

dengan teori perencanaan yang dikemukakan oleh Faludi (1973) yaitu theory in

planning, dan theory of planning belum dapat optimal dapat dilaksanakan. Faludi

(1973) juga menjelaskan tentang bahagian teori perencanaan yang lain yaitu

theory in planning (substantive planning), yaitu adanya substansi atau teori yang

perlu diketahui dan dipahami oleh perencana untuk mencapai tujuan yang

diinginkan, atau dengan kata lain perencana mencari konsep dan metode yang

tepat untuk menemukan solusi-solusi dalam pemecahan masalah. Pernyataan

ini, apabila dikaitkan dengan pembangunan pariwisata adalah permasalahan apa

yang dapat menghambat perencanaan secara prosedural. Theory in planning ini

secara umum dapat membantu para perencana untuk memahami wilayah kerja

sehingga menghasilkan perencanaan yang efektif. Sedangkan theory of planning

dalam memahami teori perencanaan terkait membangun dan membentuk

konseptual kerangka kerja yang bertujuan untuk menghasilkan rencana strategis

dalam pengembangan pariwisata Danau Toba, maka lembaga ini harus dapat

membangun kerjasama yang baik dengan membina hubungan baik dengan


497

semua pihak yang terlibat dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau

Toba.

Perencanaan yang disusun dan dirumuskan juga terkait dalam proses

pengambilan keputusan, hal ini dikarenakan bahwa planning as a process of

thingking (perencanaan sebagai proses berpikir) dan planning as a professional

practice (perencanaan sebagai praktek professional). Faludi (1983: 18),

menjelaskan bahwa perencanaan sebagai proses berpikir merupakan aplikasi

dari metode ilmiah untuk pembuatan kebijakan. Sedangkan perencanaan

sebagai praktek professional yang berkaitan dengan pedoman untuk melakukan

atau bertindak di masa depan. Conyers dan Hills (1990: 3), bahwa perencanaan

sebagai praktek professional, merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan

keputusan, atau pilihan tentang cara-cara alternatif untuk menggunakan sumber

daya yang tersedia, dengan mencapai tujuan tertentu di masa depan. Dengan

demikian, perencanaan sebagai proses berpikir, dimaksudkan karena pada

dasarnya proses perencanaan adalah proses pemikiran manusia dan bertindak

sesuai dengan hasil pemikiran tersebut.

Proses perencanaan adalah meningkatkan kolaborasi dan jaringan yang

bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan potensi yang merupakan motif kuat

untuk tindakan di masa depan. Salah sektor pembangunan daerah yang secara

umum perencanaannya hasil dari proses pemikiran dan tindakan adalah

pariwisata. Perencanaan di sektor pariwisata harus dilakukan secara profesional

dan tindakan yang dilakukan didasarkan kepada ide-ide atau pemikiran yang

merupakan proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan yang

digunakan untuk mengembangkan sumber daya yang tersedia.


498

Secara administratif, perencanaan masih dalam proses penyusunan

namun terkendala dengan hambatan yang dihadapi dilapangan sehingga

standarisasi untuk penyusunan perencanaan pembangunan pariwisata kawasan

Danau Toba belum dapat dirumuskan dan terealisasi, karena hal ini terkait

dengan komitmen yang satu dalam menentukan visi, misi dan tujuan untuk

pembangunan pariwisata yang dinamis dan berdampak positif ke masa depan.

Pembangunan pariwisata pada kawasan Danau Toba harus dilaksanakan

dengan perencanaan yang optimal dan efektif, karena dalam perencanaan

pariwisata harus ada pengelompokan atau pemetaan daerah yang berkaitan

dengan karakteristik atau ciri khas wisatanya. Maka pembangunan pariwisata di

kawasan Danau Toba harus dapat dikembangkan berdasarkan kondisi dan

potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang ada di kawasan pariwisata

Danau Toba.

Potensi pariwisata dapat menjadi keunggulan dan ciri khas daerah yang

menjadi sumber kekuatan daerah dalam menciptakan pariwisata yang unggul

dan berdaya saing yang akhirnya menghasilkan pemerintahan yang efektif dan

baik. Dengan demikian, berdasarkan teori perencanaan maka, dapat

direkomendasi untuk pembangunan pariwisata Danau Toba ini dengan konsep

perencanaan kawasan pariwisata yang didukung oleh karakteristik daerah dan

keunggulan daerah yang dimiliki oleh masing-masing daerah di kawasan Danau

Toba melalui pengelolaan yang baik dan benar.

7.2.2 Saran Praktis

BOPDT sebagai organisasi pemerintah harus dapat menjalankan

keberadaaannya pada jenjang politik dan jenjang manajerial, sehingga dapat


499

melakukan pendekatan kepada semua pihak yang terlibat dalam perencanaan

pembangunan pariwisata, dan bersama-sama pemerintah daerah

menyelenggarakan peningkatan pemahaman tentang pentingnya perencanaan

pembangunan pariwisata kepada pelaku usaha dan masyarakat lokal sehingga

dapat menciptakan kebijakan dan program pariwisata yang mengarah kepada

inovasi produk yang mampu bersaing di pasar pariwisata dunia. Badan Otorita

berfungsi sebagai manajemen pengelola, Provinsi sebagai pengawas dan

kabupaten sebagai penyelenggara. Apabila sistem penyelenggaraan pariwisata

ini dapat berjalan dengan baik maka dapat menerapkan konsep perencanaan

kawasan pariwisata sehingga dapat mengembangkan karakteristik daerah yang

berstandar nasional dan internasional juga menghasilkan dokumen perencanaan

kawasan pariwisata khususnya kawasan Danau Toba. Beberapa rekomendasi

yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Mengelompokkan potensi-potensi yang dimiliki daerah khususnya yang

menjadi keunggulan daerah melalui perencanaan pemetaan potensi

pariwisata terkait pengembangan cara-cara baru yang berorientasi ke

arah masa depan yang berpedoman pada kebijakan pariwisata dan

tujuan perencanaan pembangunan daerah.

2. Penguatan kompetensi sumber daya manusia di bidang pariwisata.

3. Menciptakan standarisasi pariwisata perencanaan pariwisata yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan publik dan sesuai dengan

prinsip kepariwisataan yaitu 4 A.

4. Optimalisasi koordinasi dan kemitraan antar wilayah dan lembaga di

kawasan Danau Toba.


500

5. Optimalisasi peran pemangku kepentingan dalam membuat rancangan

atau pola perencanaan yang terintegrasi berdasarkan dari kerangka kerja

bersifat komprehensif.

6. Optimalisasi proses kemitraan melalui terbentuk MoU dan terciptanya

perjanjian kerjasama antar pemangku kepentingan baik antara BOPDT

dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten ataupun dengan

lembaga dan pihak lainnya.

7. Diperkuatnya BOPDT sebagai lembaga perencana/pelaksana dan

pemerintah provinsi sebagai pengawas sehingga pengembangan

pariwisata di kawasan Danau Toba sehingga tetap terjaga kelestariannya.

8. Diperkuatnya program pemerataan hasil Pendapatan Asli Daerah di

sektor pariwisatan sehingga dapat dilakukan pengembangan potensi

yang dimiliki oleh daerah kawasan Danau Toba dan dapat mencapai

target kunjungan wisatawan mancanegara ke kawaasn Danau Toba

meningkat menjadi 300.000 ribu di tahun 2020 yang sebelumnya di tahun

2019 hanya sebanyak 250.000 ribu

9. Memperkuat upaya demokratisasi setiap daerah kawasan Danau Toba

untuk mengembangkan pariwisata dengan berpedoman kepada kebijakan

yang telah ditetapkan.

10. Memperkuat tata kelola pariwisata dengan program kemandirian

masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta; Pustaka


Jogja Mandiri.

Abipraja, Soedjono. 2002. Perencanaan Pembangunan Di Indonesia (Konsep,


Model, Kebijaksanaan, Instrumen Serta Strategi). Surabaya; Airlangga
University Press

Afifuddin, 2010. Pengantar Administrasi Pembangunan; Konsep, Teori dan


Implikasinya di Era Reformasi, Alfabeta; Bandung

Airey, D. and Ruhanen, L. 2014. “Tourism policy-making in Australia: a national


and state perspective”, Tourism Planning and Development, Vol. 11 No.
2, pp. 149-162.

Allison, M dan Kaye, J. 2005. Perencanaan Strategis: Bagi Organisasi Nirlaba.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Almaeda, Joana, et.al. 2017. A Framework for Conflict Analysis in Spatial


Planning for Tourism. Journal Tourism Management Perspectives, Vol.
24 (2017) pp. 94-106, Elsevier.Ltd

Anggara, Sahya. 2012. Ilmu Administrasi Negara. Bandung: Pustaka Setia

Antariksa, Basuki. 2016. Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan


(Pengembangan Kepariwisataan yang Berkelanjutan dan Perlindungan
Kekayaan Intelektual). Malang: Intrans Publishing

Arsyad, Lincolin. (2002). Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi


Daerah (Edisi Kedua). Yogyakarta; BPFE

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016

Bakir, Nese Yilmaz. Et.al. 2018. Planned Development Versus Unplanned


Change: The Effects on Urban Planning in Turkey. Journal Land Use
Policy 77 (2018) 310 – 321 by Elsevier.

Basrowi dan Suwandi, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta; Rineka


Cipta

Bhattacharya, Mohit, et.al. 2015. Development Administration. India; Rai


Technology University

Blackstone, A. Erwin, et.al. 2017. A Regional, Market Oriented Governance for


Disaster Management: A New Planning Approach. Journal Evaluation
and Program Planning, Vol. 64 (2017) pp. 57-68. Elsevier.Ltd

501
502

Borges, Do Rosario, Mario et al. 2014. Governance for Sustainable Tourism, A


review and Directions For Future Research. European Journal of
Tourism Research Volume 7 (2014) pp. 45-56

Branch, M.C. 1998. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Penjelasan


(Terjemahan). Gadjah Mada University Press; Jakarta.

Brayant, Carolie and White, Louise, G. 1997. Manajemen Pembangunan Untuk


Negara Berkembang. Jakarta; LP3ES

Bryson, John. M. 2011. Strategic Planning for Public and Non Profit
Organizations: A guide to Strengthening and Sustaining Organizational
Achievement. San Fransisco; CA

Butler, R and Suntikul, W. 2010. Tourism and Political Change. Oxford;


Goodfellow.

Chindris-Vasioiu dan Tocan, Madalina. 2015. Sustainable Development In


Tourism- Factor of Economic Growth. Knowledge Horizons-Economics,
Volume 7 No. 2, pp. 160-164; Pro Universitaria

Chowdhury, Anis and Kirkpatrick, Colin. 2005. Development Policy and Planning
(An Introduction to Models and Techniques). London and New York;
Routledge Taylor & Francis Group

Cole, Sam. 2015. Space Tourism: Prospect, Postioning and Planning. Journal of
Tourism Futures: Volume 1 No. 2 (2015) pp. 131-140 Emerald Group
Publishing Limited.

Conyers, Diana dan Hills, Peter. 1984. An Introduction to Development in The


Third Word. New York; John Wiley and Sons

Costa, C., Panyik, E. and Buhalis, D. (Eds). 2014. European Tourism Planning
and Organisation Systems, Channel View, Bristol.

Collarbone, Pat 2009. Creating Tomorrow Planning, developing and sustaining


change in education and other public services

Creswell, W. John. 2014. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan


Mixed) Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damanik, Janianton dan Weber F Helmut. 2006. Perencanaan Ekowisata; dari


Teori ke Aplikasi. Yogyakarta; Andi Ofset.

Dans, Porga, Eva dan Gonzalez, Alonso, Pablo. 2018. The Altamira Contoversy:
Assessing the Economic Impact of a World Hertiage Site for Planning
and Tourism Management. Journal Cultural Heritage, Vol. 30 (2018) pp.
180-189. Elsevier.Ltd
503

Daryanto, A dan Hafizrianda, Y. 2010. Model-model Kuantitatif Untuk


Perencanaan Pembangunan: Konsep dan Aplikasi. Bogor: IPB Press

Demolingo, Ramang Husin. 2015. Strategi Pengembangan Destinasi Wisata


Desa Bongo Kabupaten Gorontalo. Jurnal Manajemen Pariwisata,
Volume 1, No. 2, Januari 2015, ISSN: 2406-9116

Denhardt, Janet Valerie and Denhardt, Robert B. 2003. The New Publik
Service: Serving Not Steering, ME Sharpe Inc., New York.

Djafar, Suaib. 2015. Evaluasi Kebijakan Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit


Ombak.

Djunaedi, Achmad. (2001). Alternatif Model Penerapan Perencanaan Strategis


dalam Penataan Ruang Kota di Indonesia, Jurnal Perencanaan Wilayah
dan Kota (PWK), ITB Bandung, Vol. 12 No. 1 Maret 2001, hal. 16-28.

Dredge, Dianne dan Jamal, Tazim. 2015. Progress in Tourism Planning and
Policy: A post-structural Perspective on Knowledge Production. Journal
Tourism Management Vol. 51 (2015) pp.285 – 297. Elsevier ltd.

Edgell, D.L., Del Mastro Allen, M., Smith, G. and Swanson, J.R. 2008. Tourism
Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow, Elsevier, Oxford

Elliott, James. 1997. Tourism Politics and Public Sector Management. London
and New York; Routledge

Elzafina. 2011. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Melalui Peran Fasilitator


Musrenbang di Kota Solok: Studi Kasus di Kelurahan VI Suku, KTK,
Tanjung Paku dan Kota Panjang. Tesis; Universitas Andalas.

Faludi, Andreas. 1973. Planning Theory. Oxford; Pergamon Press

____________. 1983. A Reader in Planning Theory. Oxford; Pergamon Press.

Fennel, Da. 1999. Ecotourism. An Introduction. London and New York;


Routledge.

Friedman, John. 1987. Planning in The Public Domain, From Knowledge to


Action, Princeton University Press.

Fu, Z. H. et.al. 2017. Integrated Planning for Regional Development Planning and
Water Resources Management Under Uncertainty: A Case Study of
Xining, China. Journal of Hydrology 554 (2017) 623 – 634 by Elsevier

Goeldner, C.R dan Ritchie, J.R. 2009. Tourism: Principles, Practices and
Philosophies. Canada; Wiley Publication
504

Gugushuili, Temur et al. 2017. Fragmented Development: Tourism Driven


Economic Changes In Kazbegi Georgia. Annals of Agrarian Science
XXX (2017) pp. 1-6 Agricultural University Of Georgia by Elsevier

Gunn, C. A. 1993. Tourism Planning, New York: Taylor and Francis.

Guo, Zhanfeng dan Sun, Li. 2016. The Planning, Development and Management
of Tourism: The Case of Dangjia, an Ancient Village in China. Journal
Tourism Management Vol. 56 (2016) pp. 52-62: Elsevier. Ltd

Hajar, Siti dan Tanjung, Syari, Irwan. 2016. Pembangunan Partisipatif dan
Penanggulangan Kemiskinan. Publico (Jurnal Ilmu Administrasi) Volume
1 No 1 Edisi November 2016 ISSN 2541-6235. Medan: IAPA

Hajar, Siti, et.al. 2019. Planning Development Tourism In Islamic Perspectives at


Lake Toba Region. Journal of Islamic, Economic and Development
(JISED) Volume 4 Issues: 24 (September, 2019) pp. 44-50. eISSN:
0128-1755.

Hakim, Lukman. 2011. Pengantar Administrasi Pembangunan. Yogyakarta; Arruz


media.

Hall, Michael, C. 2008. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationship;


second Edition. England; British Library Cataloguing In-Publication Data.

Handayaningrat, Soewarno. 1984. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan


Manajemen. Jakarta: Gunung Agung.

Heiner, Michael. et.al. 2019. Moving From Reactive to Proactive Development


Planning To Conserve Indigenous Community and Biodiversity Values.
Journal Empironmental Impact Assessment Review 74 (2019) 1 – 13 by
Elsevier

Hermantoro, Henky. 2011. Creative Based Tourism: Dari Wisata Rekreatif


Menuju Wisata Kreatif. Depok; Penerbit Aditri.

Hernanda, Dedi Wahyu. 2018. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Good


Tourism Governance dalam Pengembangan Destinasi Wisata (Studi
Kasus Destinasi Wisata, Penyangga Zona Kawah Ijen “Kampung Kopi”
Kelurahan Gombang Sari Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi:
Thesis, Fakultas Ilmu Administrasi; Universitas Brawijaya.

Heslinga, Jasper, et.al. 2018. Understanding The Historical Institutional Context


by Using Content Analysis of Local Policy and Planning Documents:
Assessing The Interactions Between Tourism and Landscape on The
Island of Terschelling in The Wadden Sea Region. Journal Tourism
Management, Vo; 66 (2018) pp. 180-190. Elsevier.Ltd
505

Hong, Chiang, Wei. 2008. Competitiveness in The Tourism Sector (A


Comprehensive Approach From Economic and Management Points),
Physica-Verlog; A Springer Company.

Hubner, Anna et al. 2014. Good Governance and Tourism Development In


Protected Areas: The Case of Phing Nha-Ke Bang National Park,
Central Vietnam. Journal Koedoe: Volume 56 No. 2 (2014) pp. 1-10

Hutasoit, Donal. 2005. Strategi Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat


dalam Rangka Mengurangi Laju Kerusakan Hutan. Jakarta: Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.

Indrawan, Rully dan Yaniawati, Poppy. 2014. Metodologi Penelitian (Kuantitatif,


Kualitatif dan Campuran Untuk Manajemen, Pembangunan dan
Pendidikan). Bandung: Refika Aditama.

Indrawijaya, Adam Ibrahim dan Pranoto, Juni. 2011. Revitalisasi Administrasi


Pembangunan (Berbasis Jatidiri dan Karakter Bangsa dalam
Pembangunan). Bandung; Alfabeta.

Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development


Approach. Canada: Wiley.

Integrated Tourism Master Plan for Lake Toba. 2016

Jhingan, M.L. 2016. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Judisseno, K. Rimsky. 2017. Aktivitas dan Kompleksitas Kepariwisataan


(Mengkaji Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan). Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama.

Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan (Perkembangan


Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia). Jakarta; LP3ES

Keban, T, Yeremias. 2014. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep,


Teori dan Isu. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gava Media.

Keller, Peter. 2015. Tourism Policy in Advanced Economies: How Can It Be


Effective and Efficience. Journal Tourism Review: Volume 70 No. 4
(2015) pp. 264-275 Emerald Group Publishing Limited

Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. 2016. Pembangunan Destinasi


Pariwisata Berbasis Prioritas 2016 – 2019. Rapat Koordinasi Nasional
Kementerian Pariwisata “Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan
dalam Rangka Pencapaian Target 12 Juta Wisman dan 260 juta
Wisnus.
506

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2016.


Pembangunan Pariwisata. Kedeputian Bidang Ekonomi BAPPENAS;
Jakarta.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). 2017. Inkubasi


Kawasan Danau Toba. Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah;
Jakarta. http://bpiw.pu.go.id

Kemp, D. 2009. Mining and Community Development: Problems and Possibilities


of Level-level Practice. Community Development Journal Vol. 25 (2009)
pp. 1-21

Kempenaar, Annet, et.al. 2016. Design Makes You Understand – Mapping The
Contributions of Designing to Regional Planning and Development.
Journal Landscape and Urban Planning 149 (2016) 20 – 30. ISSN 0169
– 2046 by Elsevier.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Pelaksanaan Tata Kelola


Pemerintahan Yang Baik. Direktorat Penelitian dan Pengembangan:
Jakarta.

Kumar, Arvind. 2001. Encyclopaedia of Decentralised Planning and Local Self


Governance, Volume 1. Delhi; New Delhi and Printed Mehra Offset
Press

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,


Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta; Erlangga.

--------------------------, 2018. Perencanaan Pembangunan Daerah (Teori dan


Aplikasi). Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.

Leftwich, A. 2000. States of Development: On The Primary of Politics In


Development. Cambridge: Polity Press.

Lembaga Administrasi Negara. 2007. Modul 1 Prinsip Perencanaan


Pembangunan Daerah; Diklat Teknis Perencanaan Pembangunan
Daerah (Regional Development Planning) Eselon I. Jakarta;
Departemen Dalam Negeri

Lin, Dan dan Simmons, David. 2017. Structured Inter-Network Collaboration:


Public Participation in Tourism Planning in Southern China. Journal
Tourism Management, Vol. 63 (2017) pp. 315-328. Elsevier. Ltd

Lusticky, Martin, et.al. 2011. Tourism Development Planning in Selected EU


Countries. Management Research and Practice, Vol. 3 Issue 1 (2011)
pp: 48-61

Mahi, Ali Kabul dan Trigunarso, Sri Indra. 2017. Perencanaan Pembangunan
Daerah (Teori dan Aplikasi). Jakarta; Prenadamedia Group
507

Maleong, Lexy, J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja


Rosdakarya.

Makmur dan Thahier, Rohana. 2016. Konseptual dan Kontekstual Administrasi


dan Organisasi Terhadap Kebijakan Publik. Bandung: Refika Aditama.

Mangiri, K. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah


Otonom: Pendekatan Model Input-output, Jakarta: BPS

Mariani, M., Buhalis, D., Longhi, C. and Vitouladiti, O. 2014. “Managing change in
tourism
destinations: key issues and current trends”, Journal of Destination
Marketing & Management, Vol. 2 No. 4, pp. 269-272.

Mason, Peter. 2003. Tourism Impacts, Planning and Management. USA;


Butterworth-Heinemann, Burlington.

Masterplan KSPN Danau Toba dan Sekitarnya, 23 April 2013

Masterplan Pengelolaan Terpadu Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya.


November 2012

Maza, De La, Francisca. 2016. State Conception Of Indigenous Tourism In Chile.


Annals of Tourism Research Volume 56 (2016) pp. 80-95 ISSN 0160-
7363 Published by Elsevier

Miles, Matthew B, A Michael Huberman dan Saldana. 2014. Qualitative Data


Analisys: a Methods Sourcebook. California; Sage Publication, Inc

Murdiastuti, dkk. 2014. Kebijakan Pengembangan Pariwisata Berbasis


Democratic Governance. Surabaya; Pustaka Radja

Nugroho, Riant. 2018. Kebijakan Pariwisata (Sebuah Pengantar untuk Negara


Berkembang). Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Nurman. 2015. Strategi Pembangunan Daerah. Jakarta; Raja Grafindo Persada

Pardosi, Antra, Antoni. 2017. Supervolcano Toba (Menyingkir Tabir Sejarah


Terbentuknya Danau Toba). Diterbitkan dalam rangka Promosi Geopark
Kaldera Toba Melalui Komik Anak; Kerjasama antara Badan Geologi
Kementerian Energo dan Sumber Daya Mineral, Kabupaten Toba
Samosir, Badan Pengelola Geopark Nasional Kaldera Toba, Provinsi
Sumatera Utara.

Pechlaner, H., Kozak, M. and Volgger, M. 2014, “Destination leadership: a new


paradigm for tourist destinations?”, Tourism Review, Vol. 69 No. 1, pp.
1-9

Pendit, Nyoman S. 1999. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta; Pradnya


Paramita.
508

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2018 Tentang


Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2017 – 2025

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 Tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003 –
2018

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk


Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 Tentang Rencana


Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 –
2019

Pitana, I Gde dan Diarta, I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta; ANDI

Pratt, Stephen. 2015. Potential Economic Contribution of Regional Tourism


Development in China: A Comparative Analysis. International Journal of
Tourism Research. Volume 17, Issue 3 May/June 2015 pp 303-312

Rakhmat. 2013. Dimensi Strategis Manajemen Pembangunan. Yogyakarta;


Graha Ilmu

Rangkuti, Freddy. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.


Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.

Ratman, Dadang Rizki. 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-


2019. Disampaikan pada rapat koordinasi nasional Kementerian
Pariwisata Republik Indonesia; Akselerasi Pembangunan
Kepariwisataan Dalam Rangka Pencapaian Target 12 Juta Wisatawan
Mancanegara dan 260 juta Wisatawan Nusantara Tahun 2016 pada
tanggal 27 Januari 2016 di Jakarta

Reid, Donald G. 2003. Tourism, Globalization and Development: Responsible


Tourism Planning. London; Pluto Press.

Rencana Strategis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara


Tahun 2013 – 2018

Ridwan dan Baso, Nasar. 2017. Perencanaan Pembangunan Daerah. Bandung;


Alfabeta.

Riggs, Fred W. 1986. Administrasi Pembangunan (Batas-batas, Strategi


Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi). Jakarta;
Rajawali Pers.
509

Rinaldi, Francesco Mazzeo. 2016. From Local Development Policies to Strategic


Planning – Assessing Continuity in Institutional Coalitions. Journal
Evaluation and Program Planning, Vol. 56 pp. 76 -87, ISSN 0149 –
7189; Elsevier Lt

Riyadi, dan Bratakusumah, Deddy Supriadi. 2005. Perencanaan Pembangunan


Daerah (Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi
Daerah). Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.

Romao, Joao and Neuts Bart. 2017. Territorial Capital, Smart Tourism
Specialization and Sustainable Regional Development: Experiences
From Europe. Journal Habitat International, Vol. 68 (2017) pp. 64 – 74;
Elsevier Ltd

Rosyadi, Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Yogyakarta.


Gava Media

Ruhanen, L. et.al. 2010. “Governance: a review and synthesis of


the literature”, Tourism Review, Vol. 65 No. 4, pp. 4-16.

Sedarmayanti. 2014. Membangun dan Mengembangkan Kebudayaan dan


Industri Pariwisata (Bunga Rampai Tulisan Pariwisata). Bandung; Refika
Aditama

____________. 2013. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan


Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan
Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama.

Sen, A. 1999. Development as Freedom. New York; Anchor Books.

Shahraki, Abdol Aziz. 2017. Regional Development Assessment: Reflections of


The Problem Oriented Urban Planning. Journal Sustainable Cities and
Society, Vol. 35 (2017) pp. 224 – 231; Scient direct

Sisto, Roberta. Et.al. 2018. Stakeholder Participation in Planning Rural


Development Strategies: Using Backcasting to Support Local Action
Groups in Complying with CLLD Requirements. Journal Land Use
Policy, Vol. 70 (2018) pp. 442-450. Elsevier. Ltd

Sitorus, et.al. Membangun Pariwisata Yang Bermartabat dan Berkelanjutan di


Kawasan Danau Toba. Medan: Bina Media Perintis.

Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi.


Jakarta; Raja Grafindo Persada

Sumadi, Ketut. 2008. Kepariwisataan Indonesia Sebuah Pengantar. Denpasar:


Sari Kahyangan

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata


(Konsep dan Aplikasinya di Indonesia). Yogyakarta: Gava Media
510

Surat Keputusan Bupati Samosir Provinsi Sumatera Utara Nomor 474 Tahun
2017 tentang Penetapan Kriteria dan Klasifikasi Objek Wisata di
Kabupaten Samosir.

Susanto, Irwan. 2016. Perencanaan Pembangunan Pariwisata di Daerah (Studi


Pelaksanaan Program Pada Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata
Kabupaten Pekalongan). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP) Vol. 2
No. 3 pp. 1-9 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta; Andi

Syafri, Wirman. 2014. Studi Tentang Administrasi Publik. Jakarta; Erlangga

Tarigan, Ari, K.M. et.al. 2017. Balik Papan: Urban Planning and Development in
Anticipation of The Post-Oil Industry Era. Journal Cities, Vol. 60 (2017)
pp.246-259. Elsevier. LTd

Teguh, Frans. 2015. Tata Kelola Destinasi Membangun Ekosistem Pariwisata.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Theresia, Aprilia et al. 2014. Pembangunan Berbasis Masyarakat (Aman bagi


Praktisi, Akademis, dan Pemerhati Pengembangan Masyarakat).
Bandung: Alfabeta

Tim Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera. 2017.


Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Danau Toba.
Medan; Balitbang

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta;


LP3ES

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2005. Politik Pembangunan, Sebuah Konsep, Arah dan


Strategi. Yogyakarta; Tiara Wacana.

Todaro, P.Michael. 1997. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, Erlangga;


Jakarta

Tomas, Gajdosik, et.al. 2015. Approaches to the Economization of Cultural


Heritage in Context of Destination Management in the Czech Republik.
Journal of Competitiveness, Volume 7, Issue 1, pp. 22-34, March 2015:
ISSN 18804-171X (Print), ISSN 1804-1728 (On-line).

Tomsett, Paula dan Show Michael. 2015. Developing a New Typology For a
Behavioural Classification of Stakeholders Using The Case of Tourism
Public Policy Planning in The Snow Sports Industry. European Journal
of Tourism Research Volume 9 (2015) pp. 115-128

Tuohine, Anja dan Konu, Henna. 2014. Local Stakeholders Views About
Destination Management Who Are Leading Tourism Development?
Journal Tourism Review: Vol. 69 No. 3 (2014) pp. 202-215
511

UNESCO. 2009. Pariwisata Pusaka: Masa Depan Bagi Kita, Alam dan Warisan
Budaya Bersama. Jakarta; UNESCO Office.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

UNDP. 2009. Handbook on Planning, Monitoring and Evaluating for Development


Results. Washington D.C; USAID

Valeriani, Devi. 2010. Kebijakan Pengembangan Pariwisata di Provinsi


Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Equity Volume 1 No. 4 Tahun 2010
Departement of Economics, Faculty of Economics: Universitas Bangka
Belitung

Veal, A.J. 2002. Leisure and Tourism Policy and Planning, Second Edition.
London; CAB-Publishing.

Wibowo. 2016. Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wihatnolo dan Dwidjowijoto. 2006. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah


Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT. Elex
Media Computindo; Jakarta.

Williams, S. 1998. Tourism Geography. London; Routledge.

Wood, Megan E. 2002. Meeting The Global Challenge of Community


Participation In Ecotourism: Case Studies and Lessons From Ecuador.
Tourism & Protected Areas Publication Series, Tanpa Kota: Alex C
Walker Foundation & USAID.

World Tourism Organization (2001). A Practical Guide To Tourism Destination


Management.

Yoeti. Oka A. 2016. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta; Nalai


Pustaka

Yin. Robert. K. 2015. Studi Kasus:Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Sumber lainnya:
https://traveling.bisnis.com/read/20191015/224/1159248/pembangunan-danau-toba-
pemerintah-pusat-gelontorkan-dana-rp404-triliun

Anda mungkin juga menyukai