Anda di halaman 1dari 22

Nama : Leli Alfiyati Solihat

NIM : 63201018087
Tugas : Otonomi Pembangunan
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah


Usaha pembangunan daerah, desa dan kota terus ditingkat-kan dan
diarahkan pada pencapaian tujuan untuk makin memeratakan pembangunan,
makin memantapkan pewujudan Wawasan Nusantara, dan makin mewujudkan
otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab. Dalam rangka itu
pembangunan daerah, desa dan kota dilaksanakan dengan tujuan menyerasikan
laju pertumbuhan daerah yang satu dengan daerah yang lain dan antara pertum-
buhan daerah pedesaan dan perkotaan, menyerasikan keseluruhan pembangunan
di setiap daerah dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing,
meningkatkan kemampuan berprakarsa dan berpartisipasi masyarakat dan
Pemerintah Daerah dalam membangun dan mendorong pertumbuhannya, dan
mempercepat peningkatan kemampuan daerah-daerah tertentu yang masih
menghadapi berbagai hambatan untuk berkembang.
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya
menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang
garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu dalam arti mampu menjalankan
sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu akan semakin banyak pendukungnya.
Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang
mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila
sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu
tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati.
Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat
akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang
membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi
metodologinya.
Demikian juga halnya dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literature
dapat lihat bahwa bahwa pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan
(knowledge) adalah sekaligus juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how).
Karena itu Ilmu Pemerintahan diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan
dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya
pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek
kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang
menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan
euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana
otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim
otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya. Salah satu unsur
reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah
kabupaten dan kota. menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling
tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di
masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan
demokrasi di daerah, Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai
jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua
aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia
mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik
dan sangat desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik
maka bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm
desentralistik demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti
perkembangan pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan
UU Nomor 22 tahun 1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di
bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga
tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan
bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan
administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi
pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat,
transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf
kesejahteraan masyarakat.
Otonomi berasal dari dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah
tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah,
maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh
kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga
pemerintahan daerah sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun
2000 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi
menjadi dasar pengelolaan semua potensi daerah yang ada dan dimanfaatkan
semaksimal mungkin oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah
pusat. Kesempatan ini sangat menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki
potensi alam yang besar untuk dapat mengelola daerah sendiri secara mandiri,
dengan peraturan pemerintah yang dulunya mengalokasikan hasil hasil daerah
75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan kedaerah membuat daerah-daerah
baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untuk mengembangkan potensi
daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.
Dengan adanya otonami daerah diharapkan daerah tingkat I maupun
Tingakat II mampu mengelola daerahnya sendiri. Untuk kepentingan rakyat demi
untuk meningkatkan dan mensejahtrakan rakyat secara sosial ekonomi.

B.   Identifikasi  Masalah
Pembangunan desa dalam jangka panjang ditujukan untuk memperkuat
dasar-dasar sosial ekonomi pedesaan yang memiliki hubungan fungsional yang
kuat dan mendasar dengan kota-kota dan wilayah di sekitarnya. Pembangunan
desa dan pembangunan sektor yang lain di setiap pedesaan akan mempercepat
pertumbuhan desa menjadi desa swasembada yang memiliki ketahanan di segala
bidang dan dengan demikian dapat mendukung pemantapan ketahanan nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan itu pembangunan desa diarahkan untuk
mengembangkan sumber daya manusianya yang merupakan bagian terbesar
penduduk Indonesia, dengan meningkatkan kualitas hidup, kemampuan,
keterampilan dan prakarsanya, dalam memanfaatkan berbagai potensi desa
maupun peluang yang ada untuk berkembang. Oleh karena itu pembangunan desa
merupakan bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional.
Sesuai dengan arah kebijaksanaan tersebut, telah ditetapkan berbagai program
bantuan yaitu berupa: bantuan Pembangunan Desa; pemantapan dan pembinaan
Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP); peningkatan prakarsa dan swadaya
masyarakat; pemukiman kembali penduduk; bantuan pemugaran perumahan dan
lingkungan; perlombaan dan evaluasi tingkat perkembangan desa.
Yang di hadapi salah satu Desa di Kecamatan Cimerak yang tepatnya di
Desa Sindangsari Kabupaten Ciamis ini mengalami kerusakan jalan yang sangat
parah dari sepanjang jalan Kecamatan Cijulang sampai ke Kecamatan Cimerak,
ini mengakibatkan polusi yang di akibatnya debu dari jalan yang rusak tersebut
menyebar luas ke rumah – rumah di sekitar tempat itu, hal ini dikatakan karena
rumah tersebut kusam seperti terkubur debu.
Jalan yang rusak di daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena
banyaknya mobil – mobil besar melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan
jalan tersebut untuk sepanjal jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp.
200.000.000,-. Sedangkan dana pembangunan jalan di Dusun Cisodong RT/RW
05/02 Ciirateun itu hasil dari suadaya Masyarakat sekitar Rp. 5.000.000,-

1.    Nama Desa                        : Desa Sindangsari


2.    Kecamatan                       : Cimerak
3.    Luas Wilayah                  : 1.557 Hektar
4.    Jumlah Dusun / RT / RW     : a. Jumlah dusun    : 6
b. Jumlah RW        : 10
c. Jumlah RT          : 47
5.    Jumlah Penduduk               : a. Laki – laki         : 2.448 Orang
b. Perempuan        : 2.496 Orang
Jumlah              : 4.944 Orang
6.    Data Infrastuktur            
a.    Jalan
- Panjang Jalan Aspal          : 8 Km
- Panjang jalan Tanah          : 13 Km
- Panjang Jalan Makadam     : 3 Km
b.    Jembatan
- Jembatan beton                : 1 unit
- Jembatan Kayu                 : - Unit
BAB II
TINJAUAN TEORI

A.  Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia


Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No.
329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan
Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah
kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan
ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu
juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial
dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek).
Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat
dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

Masa Pendudukan Jepang


Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur
mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara
ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan
Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.
Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil
melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia
Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada
masa tersebut bersifat misleading.

Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri.
Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam
tiga tingkatan yakni:
a)     Provinsi
b)     Kabupaten/kota besar
c)      Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan
tidak memiliki penjelasan.

2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948


Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia
adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada
tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI
tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)    Propinsi
b)   Kabupaten/kota besar
c)    Desa/kota kecil
d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957


Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah
daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
b)   Daerah swatantra tingkat II
c)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah
seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959


Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan
memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur
rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan
daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa
ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari
kalangan pamong praja.

5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965


Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a)   Provinsi (tingkat I)
b)   Kabupaten (tingkat II)
c)   Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang
pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya
oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah
mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan
daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan
mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi
menurut tingkatannya menjadi:
a)    Provinsi/ibu kota Negara
b)   Kabupaten/kotamadya
c)    Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah
tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti
dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999


Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan
UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
c)    Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d)   Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai
perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan
belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi,
dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar
antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

B. Definisi Otonomi Daerah


Otonomi daerah adalah suatu keadaan di mana setiap daerah memiliki
kesempatan untuk mengaktualisasikan daerahnya secara optimal, baik individu
maupun kelompok masyarakat.
Individu otonom adalah manusia yang diberi keleluasaan untuk
memunculkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Dengan
menyelenggarakan otonomi, segala persoalan diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya (dari, oleh, dan untuk
masyarakat daerah) kecuali untuk persoalan di mana daerah tidak dapat
menyelesaikan-nya sendiri dalam konteks keutuhan negara dan bangsa,
diserahkan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikannya.
Dengan adanya keberagaman dalam penerapan otonomi karena faktor
perbedaan dalam interpretasi konsep otonomi, kemampuan dan keunikan dari
masing-masing daerah, serta keterbatasan pemerintah pusat menyebabkan
otonomi daerah dilaksanakan secara gradual.
Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan payung hukum Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,
meskipun belum sempurna dalam menjawab aspirasi masyarakat daerah dan
tuntutan daerah yang berbeda-beda. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
memuat tentang seberapa jauh peranan pemerintah pusat dalam menangani
persoalan daerah, dan seberapa jauh yang menjadi wewenang daerah. Sampai saat
ini, daerah diberi wewenang untuk menangani persoalan yang telah ditanganinya
dan lima kewenangan masih ditentukan di pusat, yaitu agama, peradilan,
pertahanan, keamanan, serta keuangan. Sedangkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 memuat tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

C.  Peran Pemerintah Desa


Sebagaimana dipaparkan dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam
desa terdapat tiga kategori kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata
kelola desa, yaitu:
- pemerintah desa,
- Badan Permusyawaratan Desa, dan
- Lembaga Kemasyarakatan.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan di tingkat desa (pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintahan desa ini dijalankan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan di negeri ini. Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa.
Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa
mempunyai wewenang:
a) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama BPD,
b) Mengajukan rancangan peraturan desa,
c) Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama
BPD,
d) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB
Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD,
e) Membina kehidupan masyarakat desa,
f) Membina perekonomian desa,
g) Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
h) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dan
i) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang merupakan
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi
menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan
berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat,
golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD mempunyai wewenang:
- Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa;
- Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
- Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
- Menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan
aspirasi masyarakat, dan
- Menyusun tata tertib BPD.
BAB III
PEMBAHASAN

A.    Tata Kelola Desa


Desa Sebagai salah satu entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena
paling tepat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna
menjawab kebutuhan kolektif masyarakat. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pasal 206 disebutkan bahwa kewenangan desa
mencakup:
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa,
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan
diserahkan kepada desa.
Melihat urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana
diuraikan diatas, maka sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas.
Kepala desa yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh
rakyat memiliki kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa
desa tersebut ke arah yang dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit
masyarakat desa yang sadar bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan
kejelasannya kepada pemerintah daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih
terperinci dan dinaungi oleh kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat.
Hal ini perlu dilakukan agar desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-
urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah.

B. Perencanan Pembangunan Desa


Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan
pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan daerah kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa
sebagaimana dimaksud disusun oleh pemerintahan desa secara partisipatif dengan
melibatkan seluruh masyarakat desa.
Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
- Rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut
RPJMDes untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
- Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa,
merupakan penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
RPJMD ditetapkan dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan
dalam keputusan kepala desa berpedoman pada peraturan daerah. Perencanaan
pembangunan desa selayaknya didasarkan pada data dan informasi yang akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada proyek-proyek pembangunan pedesaan
yang dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah desa (seperti REKOMPAK
dengan Rencana Pembangunan Permukiman-nya), maka dokumen-dokumen
perencanaan pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan atau terintegrasi
dengan RPJM Desa atau RKP-Desa.

C. Arah Pemberdayaan
Semua pelaksanaan program berdasar kan Visi “Mewujudkan kesadaran
partisipasi masyarakat dalam membangun yang berbasis potensi lokal untuk
mencapai kemandirian dan kesejahteraan” untuk mencapai keberhasilan setiap
program diperlukan sasaran yang jelas. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam
setiap aspek pembangunan
Dengan semangat Otonomi Daerah, keterlibatan masyarakat tidak lagi
sebagai objek pembangunan, namun lebih pada sebagai Stakeholder memiliki
peranan penting dalam menentukan arah kebijakan. Arah pemberdayaan lebih
dikonsentrasikan pada upaya menumbuhkan budaya keterlibatan masyarakat
secara langsung dalam setiap program pembangunan. Apabila masyarakat
memiliki tempat sebagai kelompok kepentingan atas nasib bangsanya, peranan
besar masyarakat akan sangat menentukan tingkat keberhasilan masyarakat.

D.  Indikator Keberhasialan


Untuk mencapai pelaksanaan program yang optimal, perlu didorong oleh
beberapa potensi yang kemudian dijadikan indikator keberhasilan, adapun
indikator keberhasilan yang dimaksud adalah :
a) Tersediannya Sumber Daya Manusia (SDM)
Kemungkinan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (DSM) yang
merupakan potensi vital yang ada di suatu desa, keberadaannya tidak diakui
oleh masyarakat desanya bahkan Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut
diberi cukup ruang di beri cukup ruang untuk bisa memberiakn kontribusinya
bagi kemajuan desanya.
b) Potensi sumber daya local
Ini merupakan upaya pemberdayaan sgala potensi yang ada di desa dengan
demikian perencanaan program dengan pemetaan potensi yang ada adalah satu
kesatuan yang saling mendukung.
c) Konsistensi pelaksanaan program
Persyaratan terlaksananya program adalah konsistensi, konsistensi yang
dimaksudkan terlaksananya setiap fase program secara baik, karena program
yang dibentuk merupakan hasil perencanaan yang matang.
d) Adanya kesejahteraan dalam program pemerintah
Berupa upaya bagaimana menterjemahkan setiap program pembangunan
yang dilakukan pemerintah kemudian dikawal menjadi program yang benar-
benar mencapai sasarannya.
e) Program kerja yang sistematis
Inplementasi program kerja yang sistematis hal tersebut berdasarkan pada
beberapa pertimbangan, antara lain :
- Penentuan skala prioritas
- Langkah – langkah pencapaian program
f) Jaringan kerja kemitraan
Proses pemberdayaan membutuhkan berbagai keahlian dan disiplin ilmu
dalam rangka menujungjung keberhasilannya.
g) Anggaran biaya yang memadai
Ketergantungan kepada ketersediaan anggaran berdampak pada sikap
pesimis masyarakat yang tidak mau mencoba mengelok potensi yang ada
menjadi suatu yang memberikan nilai ekonomis tinggi. Hal ini perlu dalam
melakukan suatu pembangunan untuk kemajuan sebuah desa.
Sebagaimana diuraikan dalam Penjelesan Peraturan Pemerintah Nomor 72
tahun 2005 tentang Desa bahwa landasan pemikiran pengaturan (tata kelola)
mengenai desa yaitu:
1) Keanekaragaman,
Yang memiliki makna bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan
asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti
pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di
desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat
setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2) Partisipasi,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar
masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap
perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.
3) Otonomi asli,
Memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam
mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal
usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat
namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan
negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.
4) Demokratisasi,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi
masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra
pemerintah desa.
5) Pemberdayaan masyarakat,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program
dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat.

E. Pelembagaan Partisipasi Masyarakat


Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi
pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa,
otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi
aparatur desa dalam mengelola desa. Hal itu jelas membuat pemerintah desa
menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan
dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa
harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi
ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang
disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan
pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas,
pemerataan dan keterbatasan anggaran.
Dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi
adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin
pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Dalam proses
musrenbang, keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di
tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat
desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan
daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi
masyarakat ini hanya menjadi ‘kosmetik’ untuk sekedar memenuhi ‘qouta’ adanya
partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang sebagaimana ditetapkan dalam
undang-undang.
Merujuk pada kondisi di atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat
desa dalam proses pembangunan di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan
yang jelas serta memiliki legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa.
Dalam UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan
partisipasi masyarakat desa tersebut melalui pembentukan Lembaga
Kemasyarakatan. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain
adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga
kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan merupakan
mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Pembentukan lembaga
kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa. Hubungan kerja antara
lembaga kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan,
konsultatif dan koordinatif.
Tugas lembaga kemasyarakatan meliputi:
- Menyusun rencana pembangunan secara partisipatif,
- Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
Mengembangkan pembangunan secara partisipatif,
- Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan
swadaya masyarakat,
- Menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga kemasyarakatan mempunyai
fungsi:
- Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan,
- Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat
dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia,
- Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada
masyarakat,
- Penyusunan rencana, pelaksanaan, pelestarian, dan pengembangan hasil-
hasil pembangunan secara partisipatif,
- Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi, serta swadaya
gotong royong masyarakat,
- Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga; dan
pemberdayaan hak politik masyarakat.

F.  Tahap Pelaksanaan Pembangunan


Pelaksanaan program dimulai dari proses perencanaan sampai kepada
bagaimana melakukan upaya tindak lanjut programsetelah program pembinaan
dilakukan.
Pembangunan yang akan dilaksanakan di Desa Sindangsari, Dusun
Cikembang sekarang ini membutuhkan dana tunai sebesar Rp.200.000.000,-. Para
perangkat desa sedah mempersiapkan proposal untuk diajukan ke Pemerintah
Daerah (Pemda) dan di ajukan ke Kantor pusat karena Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (TPJMdes) Jangka 5 Tahun  harus terlaksana.
Sedangkan pembangunan jalan di Dusun Cisodong hanya mengandalakn
dari hasil Suadaya masyarakat untuk memperbaiki tanjakan yang sudah rusak
parah hal ini tentu perlu adanya keterlibatan masyarakat untuk proses
pembangunan jalan tersebut, dan partisipasi masyarakat sangat membantu
berjalannya suatu pembangunan di desa.

G.  Konsep Penyelenggaraan Pemerintah yang Efektif


Pemahaman penyelenggaraan pemerintahan yang efektif adalah ketika
suatu pemerintah dapat dengan cepat dan tepat mencapai sasaran yang hendak
dicapai. Apabila yang dijadikan sasaran dan tujuan diselenggarakannya
pemerintah adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, maka indicator
peningkatan kesejahteraan itu apa saja, dari setiap indicator berapa persen yang
telah tercapai dan berapa peren yang telah belum tercapai, sehingga jelas tolak
ukur keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan secara kualitatif maupun
kuantitatif.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa Yang di hadapi salah
satu Desa di Kecamatan Cimerak yang tepatnya di Desa Sindangsari Kabupaten
Ciamis ini mengalami kerusakan jalan yang sangat parah dari sepanjang jalan
Kecamatan Cijulang sampai ke Kecamatan Cimerak, ini mengakibatkan polusi
yang di akibatnya debu dari jalan yang rusak tersebut menyebar luas ke rumah –
rumah di sekitar tempat itu, hal ini mengkibatkan rumah tersebut kusam seperti
terkubur debu.
Jalan yang rusak di daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena
banyaknya mobil – mobil besar melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan
jalan tersebut untuk sepanjang jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp.
200.000.000,-. Sedangkan dana pembangunan jalan poros Desa di Dusun
Cisodong RT/RW 05/02 Ciirateun itu hasil dari swadaya Masyarakat sekitar
Rp.5.000.000,-

B. Saran
Saran saya untuk kelangsungan pembangunan desa di desa Sindangsari,
dalam Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
- Rencana pembangunan jangka menengah desa disebut (RPJMDes) untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun.
- Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa,
merupakan penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Di gunakan sebaik-baiknya oleh aparatur desa, seperti mendata bagian
mana saja yang harus ada perbaikan. Masyarakat juga ikut serta dalam
pembangunan tersebut karena semua pembangunan juga untuk masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

Thonthowi Djauhari Musaddad MA, 2007, Pembangunan Pedesaan Mandiri,


HUMANIORA UTAMA press, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai