Anda di halaman 1dari 37

Iis Mardeli, KEDUDUKAN DESA DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (tesis),


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM,
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ATMA
JAYA YOGYAKARTA, 2015

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketidakjelasan


Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia

Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik


dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa
ini terbentuk. Struktur sosial desa, masyarakat adat dan
lainnya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi
sangat penting. Desa harus memiliki status yang jelas dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia karena desa merupakan
wujud bangsa yang kongrit.

Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa faktor yang


menyebabkan ketidakjelasan desa dalam statusnya yaitu
sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap Keragaman

Desa-desa di Indonesia sangat beragam, sehingga skema


pemerintahan desa juga bisa beragam. Pengakuan terhadap
keragaman inilah yang mempersulit peletakan desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia secara jelas. Sejak
lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah sudah mulai melakukan penyeragaman
pemerintahan lokal dengan referensi model desa-desa di Jawa,
sehingga tidak mengakomodasi keragaman kesatuan
masyarakat hukum adat di luar Jawa (Eko, 2005:192). Posisi
dan bentuk desa (dan nama lainya) tidak hanya dibuat
seragam, tetapi juga mengambang, tidak jelas, apakah akan
didudukkan sebagai pemerintah lokal (local self government)
atau sebagai kesatuan masyarakat adat (self governing
community).

Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tersebut tidak


berlaku secara efektif, kemudian muncul berbagai regulasi
baru yang umumnya tidak berumur panjang. Selanjutnya,
pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-undang Nomor
5 Tahun 1979, yang merupakan sebuah kebijakan untuk
menata ulang terhadap kelembagaan pemerintahan desa,
membuat desa tradisional menjadi desa modern, dan
mengintergrasikan desa dalam struktur negara modern. Model
birokrasi modern dimasukkan ke desa untuk menata
mekanisme administrasi dan kelembagaan desa. Pemerintah
pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap
seluruh unit pemerintahan terendah menjadi nama desa,
sebagai upaya untuk mengontrol dan korporatisasi terhadap
masyarakat desa.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, bagi


komunitas lokal di luar Jawa merupakan bentuk penghancuran
terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal maupun
adat istiadat lokal. Penerapan Undang-undang ini merupakan
dampak buruk baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pertama,
desa-desa di Jawa mengalami kehancuran otonomi dan
kehancuran lokal. Kepala desa menjadi kepanjangan tangan
dari negara dan tampil sebagai penguasa tungga di desa.
Kedua, kesatuan masyarakat adat di luar Jawa mengalami
kehancuran, baik dari sisi identitas, sistem sosial dan sistem
pemerintahan. Kepemimpinan adat digantikan dengan kepala
desa yang dikendalikan negara. Organisasi adat dipinggirkan
hanya mengurusi masalah kemasyarakatan, bukan
pemerintahan dan pembangunan.

Setelah Orde Baru berakhir pemerintahan mengalami


perubahan. Pada tahun 1998 era reformasi lahir yang ditandai
dengan kebangkitan demokratisasi dan desentralisasi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 digantikan dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mempunyai
semangat otonomi luas, keragaman dan demokrasi. Dalam
undang-undang ini desa tidak lagi dianggap sebagai nama
tunggal untuk menyebut kesatuan masyarakat hukum,
melainkan secara normatif undang-undang ini menempatkan
desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah di
bawah camat melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan hak asal-usul desa.

Pemerintah maupun masyarakat lokal mengalami


kesulitan dalam menentukan kedudukan, otonomi dan format
pemerintahan lokal, yang sesuai dengan format pemerintahan
lokal dan sesuai dengan tujuan-tujuan nasional. Eko
(2005:195) berpendapat bahwa hal tersebut dipengarui oleh
beberapa hal yaitu pertama, Kedudukan dan kewenangan
desa menjadi titik sentral dalam pembicaraan tentang otonomi
desa. Keduanya menjadi krusial karena sejak jaman kolonial
hingga masa reformasi, selalu muncul pembicaraan dan tarik-
menarik bagaimana menempatkan posisi desa dalam struktur
negara yang lebih besar. Para ahli hukum yang concern pada
desa selalu peka terhadap persoalan kedudukan desa dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebab, meskipun UUD
1945 pasal 18 mengakui keberagaman daerah-daerah kecil
yang bersifat istimewa, tetapi konstitusi itu tidak secara tegas
mengakui adanya otonomi desa. Undang-undang turunan dari
UUD dengan sendirinya juga tidak mengakui adanya otonomi
desa, kecuali hanya menyebut desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum. Menurut Ibnu Tricahyo dari PP OTODA
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dikatakannya bahwa,
“Kewenangan Desa tidak akan jelas kalau kedudukan desa
tidak diatur dengan jelas dalam konstitusi. Kedudukan dulu
baru berbicara kewenangan.”
Kemudian suara lain menegaskan bahwa, “Untuk
memastikan kedudukan desa, sebaiknya NKRI tidak hanya
dibagi menjadi daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota
tetapi juga dibagi menjadi desa”. Gagasan ini paralel dengan
ide Desa Praja sebagai Daerah Tingkat III yang muncul pada
tahun 1950-an.

Selanjutnya, tarik menarik antara keragaman adat lokal dan


model pemerintahan nasional. Sejarah membuktikan setiap
komunitas lokal atau masyarakat adat yang tersebar di seluruh
penjuru Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri (self
governing community) yang bersifat tradisional-lokalistik dan
mengontrol tanah ulayat secara otonom. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 merupakan bentuk pengaturan
pemerintah untuk modernisasi pemerintahan adat tradisional,
yang berarti menghilangkan adat sebagai kendali
pemerintahan dan menyeragamkan pemerintahan adat
menjadi pemerintahan modern seperti desa-desa di Jawa.
Tarik-menarik antara pemerintah dengan masyarakat adat
tidak bisa dihindari. Perumusan dan pengaturan mengenai
otonomi desa dalam masyarakat adat mengalami kesulitan, di
satu sisi pemerintah tidak bisa semena-mena menghancurkan
adat dengan tujuan melakukan modernisasi pemerintahan,
tetapi di sisi lain jika masih ada tirani adat juga akan
mempersulit transformasi di dalam negara.

Upaya untuk kembali kepada bentuk pemerintahan


asli di berbagai daerah mengalami berbagai kesulitan. Pada
umumnya daerah-daerah di Indonesia bersifat inklusif dan
majemuk, yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Masing-
masing suku mempunyai referensi tentang pemerintahan lokal
yang berbeda-beda dan terbatas. Sementara secara nasional
tidak ada aturan baku yang bisa digunakan sebagai referensi
yang lebih baik oleh para pengambil kebijakan daerah, karena
dua kondisi itu umumnya di daerah belum muncul kata
sepakat untuk menata ulang kedudukan, otonomi dan format
pemerintahan lokal.

2. Dualisme antara Adat (self governing community)


dengan Pemerintahan Desa (local self government)

Pada awalnya kesatuan masyarakat lokal atau adat (desa,


nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor,
marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban,
dan lain-lain) yang tersebar di penjuru Nusantara mempunyai
karakter yang hampir sama. Desa, atau nama lain, adalah
kesatuan masyarakat yang tergabung berdasarkan garis
keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori)
tertentu.

Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal


yang mempunyai pemerintahan atau kepengurusan sendiri
(self governing community) yang berdasar pada adat-istiadat
setempat. Era Indonesia modern, selama enam dekade terakhir
posisi desa tidak pernah tegas dan jelas. Campuran antar
model digunakan untuk menempatkan posisi desa. Sampai era
Orde Baru, sisa-sisa self governing community di aras desa
masih terasa, tetapi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 pemerintah
menempatkan daerah dan desa sebagai local state government
atau sebagai kepanjangan tangan negara. Masyarakat lokal
sangat resisten dengan intervensi negara, sehingga tujuan
kontrol negara, modernisasi pemerintahan desa dan
penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan optimal.
Kecuali di Jawa, masyarakat lokal selain kehilangan
kedaulatan juga menghadapi dualisme antara desa negara
dengan organisasi adat.

Pada era reformasi, menyusul lahirnya Undang-


undang Nomor 22 Tahun 1999, posisi desa juga belum tegas
meski undang-undang itu mengakui keberagaman desa-desa
di Indonesia. Tetapi persoalan dasarnya bukan terletak pada
keragaman desa, tetapi pada posisi dan kewenangan desa.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencampuradukkan
model local self government secara terbatas dan model self
governing community khusus untuk mengakomodasi
keragaman adat (kultur) lokal.

Berbagai kesulitan memang tidak bisa dibiarkan, ada


dua variabel penting yang harus diperhatikan. Pertama,
pengaruh adat terhadap pemerintahan desa yang modern.
Kedua, pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi dengan
nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa.
Antara tradisionalisme dan modernisme terus-menerus
bertarung sehingga akan berpengaruh terhadap model dan
posisi pemerintahan desa.

Berkaitan dengan hal tersebut terdapat dualisme


antara dua model yaitu pertama, model “ada adat tetapi tidak
ada desa” (self governing community) dan kedua, model “ada
desa tanpa adat” (local self government).

1) Model “ada adat tetapi tidak ada desa” (self


governing community). Model ini menggambarkan bahwa
desa hanya sebagai komunitas lokal berbasis adat yang tidak
mempunyai pemerintah desa seperti yang terjadi pada
komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa dan Amerika
(Eko, 2005:198). Intinya, komunitas lokal itu memiliki
organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi lokal dari
pada institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal itu
bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta
tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan
yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya
menjalankan fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan
yang bersifat lokal dan sukarela.

Jika model ini dipilih, maka konsekuensinya desa


sebagai institusi pemerintahan lokal (local self government)
dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak
lagi berada di desa, melainkan berada di level kabupaten/kota.
Urusan administrasi untuk warga bisa dikurangi dan
kemudian dipusatkan di level kecamatan. Pemerintah
berkewajiban menyediakan layanan publik kepada
masyarakat, sekaligus melancarkan pembangunan desa yang
masuk ke seluruh pelosok desa.

Model ini tampaknya sangat cocok diterapkan bagi


masyarakat adat di banyak daerah yang selama ini termasuk
gagal memadukan antara adat dan desa. Beberapa daerah
seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur sejak dulu terjadi
dualisme antara desa negara dan kesatuan masyarakat adat.
Pilihannya, pemerintah desa bentukan negara dihapuskan,
sedangkan kesatuan masyarakat adat sebagai self governing
community direvitalisasi untuk mengelola dirinya sendiri
tanpa harus mengurus masalah administrasi pemerintahan dan
tidak memperoleh beban tugas dari pemerintah. Model ini
tentu akan mengakhiri dualisme antara desa dan adat,
sekaligus bisa memperkuat adat sebagai basis komunitas
lokal.

Kedua, model “ada desa tanpa adat” (local self


government). Model ini persis dengan desa-desa di Jawa yang
umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi
pemerintahan lokal modern yang meninggalkan adat.
Modernisasi pemerintahan desa melalui Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 relatif “sukses” diterapkan di Jawa.
Bahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan
embrio bagi tumbuhnya desa-desa sebagai local self
government yang tidak sama sekali meninggalkan spirit self
governing community (Eko, 2005: 199). Hal tersebut terlihat
dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan yang melekat di desa.

Secara inkremental desa-desa di Jawa mulai


memupuk kemampuan mengelola pemerintahan dan
pembangunan secara baik, sementara arena demokrasi dan
civil society juga mulai tumbuh.

Berkaitan dengan dualisme model tersebut jika dilihat


pengertian desa di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 pasal 1 angka (1) yang berbunyi bahwa, “Desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Berdasarkan definisi tersebut, Desa dipahami terdiri atas Desa


dan Desa adat yang menjalankan dua fungsi yaitu fungsi
pemerintahan (local self government) dan mengurus urusan
masyarakat setempat sesuai dengan hak

asal-usul dan hak tradisional (self governing community).


Berkaitan dengan

definisi pasal 1 angka (1) tersebut jika dikaitkan dengan


dualisme model

pertama “ada adat tetapi tidak ada desa” (self governing


community) dan
kedua, model “ada desa tanpa adat” (local self government)
maka Undang23

undang Nomor 6 tahun 2014 tidak menganut satupun dari


model itu melainkan

menggabungkan antara dualisme adat dan desa.

C. Upaya untuk Mengatasi Faktor-faktor yang Menyebabkan


Ketidakjelasan

Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan Republik


Indonesia

Secara historis dan konstitusional, desa adalah organisasi


kesatuan

masyarakat adat (self governing communitty), bukan


organisasi pemerintahan formal

yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi dari negara


(local state government),

bukan juga sebagai daerah otonom (local self government).


UUD 1945 pada dasarnya

memberikan pengakuan dan pembentukan daerah (provinsi


dan kabupaten/kota) yang

berkedudukan sebagai daerah otonom (local self government)


melalui azas

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ketiga


azas ini tidak berlaku

bagi kedudukan desa atau sebutan lain. Pasal 18 UUD 1945


menghormati dan
mengakui kesatuan masyarakat hukum adat, termasuk desa,
beserta hak-hak asalusulnya

sepanjang masih ada. Konsep ini berarti negara memberikan


penghormatan

dan pengakuan terhadap desa atau sebutan-sebutan lain.

Berdasarkan ketentuan pasal 18 UUD 1945 penempatan


kedudukan desa

mengalami kesulitan, karena didalam pasal 18 tersebut


terdapat tiga tafsir atas pasal

18 UUD 1945 ( http://s2ip.apmd.ac.id) yaitu:

1) Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III, Desa


merupakan

bentuk “daerah kecil” yang mempunyai susunan asli dan


bersifat istimewa.

Karena itu negara sebaiknya melakukan desentralisasi


teritorial, yang

membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota


dan desa. Desa

sebagai “daerah kecil” menjadi desa otonom (local self


government) atau

daerah otonom tingkat III, yang mengharuskan negara


memberikan

desentralisasi kepada desa. Penganut perspektif desa otonom


(local self
government), yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
dan Undangundang

Nomor 19 Tahun 1965 termasuk yang mengikuti tafsir ini.

2) Tafsir otonomi asli, batang tubuh Pasal 18 UUD 1945 sama


sekali tidak

mengenal desa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah


NKRI

menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Konstitusi hanya


membagi

NKRI menjadi daerah besar (provinsi) dan daerah kecil


(kabupaten/kota).

Menurut tafsir ini, desa (atau nama lainnya yang berjumlah


250)

merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang harus


diakui

berdasarkan asas rekoknisi oleh negara. Dengan demikian,


negara tidak

memberikan desentralisasi pada desa untuk membentuk desa


sebagai unit

pemerintahan lokal yang otonom. Posisi desa yang tepat


menurut tafsir ini

sebagai organisasi masyarakat adat atau desa adat (self


governing

community) yang mempunyai dan mengelola hak asal-usul.


Konsep
“otonomi asli” berpijak pada tafsir ini.

3) Tafsir pragmatis, tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD


1945 amanden

kedua. Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini


mengatakan bahwa

NKRI hanya dibagi menjadi wilayah provinsi dan


kabupaten/kota.

24

Desentralisasi hanya berhenti pada kabupaten/kota, tidak


sampai ke desa.

Tetapi tafsir ini berbeda dengan tafsir kedua karena tidak


menempatkan

kedudukan desa sebagai desa adat (self governing


community), melainkan

menempatkan desa sebagai unit pemerintahan di bawah dan di


dalam

subsistem pemerintah kabupaten/kota. Padahal UUD 1945


tidak secara

eksplisit mengamanatkan penempatan kedudukan desa dalam


subsistem

pemerintah kabupaten/kota.

Berdasarkan tafsir tersebut diatas Sutoro Eko berpendapat


bahwa Kalau

mengikuti konstitusi, maka kedudukan desa mengikuti tafsir


kedua, yakni sebagai
organisasi masyarakat (self governing community) yang
mempunyai otonomi asli

(http://s2ip.apmd.ac.id). Artinya desa tidak menjalankan


tugas-tugas administrasi dan

pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada


Sekdes yang diisi

PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan


mengurus kepentingan

masyarakat setempat. Kalau kedudukan ini diikuti maka


fungsi pemerintahan yang

selama ini dijalankan oleh desa harus dicabut, dan desa


dikembalikan sebagai

organisasi komunitas seperti sedia kala.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutoro Eko (Penelitian


tanggal 06

Oktober 2014) berpendapat bahwa menarik kembali desa


menjadi self governing

community adalah kemunduruan sehingga tidak mungkin


untuk dilakukan, sementara

untuk membawa desa maju ke depan menjadi desa otonom


atau daerah otonom

tingkat III merupakan solusi yang berlebihan dan


bertentangan dengan konstitusi.

Pilihan solusi yang relevan adalah menyempurnakan dual


positions desa, yang
menempatkan secara tegas desa sebagai organisasi
pemerintahan. Artinya bahwa

desa bukan berada dalam subsistem pemerintahan


kabupaten/kota, tetapi berada

dalam wilayah kabupaten/kota, sebagaimana kabupaten/kota


berada dalam wilayah

provinsi, dan provinsi berada dalam wilayah NKRI.


Kedudukan desa tetap berada

dalam hirarkhi pusat, provinsi dan kabupaten, tetapi desa


sebagai entitas berada di

luar sistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga desa juga


mempunyai otonomi.

Hubungan antara kabupaten/kota dengan desa serupa dengan


hubungan antara

provinsi dengan kabupaten/kota.

Kedudukan desa tidak lagi menjadi organisasi masyarakat


(self governing

community) tetapi sebagai organisasi pemerintahan. Desa


tentu menjadi subyek

hukum yang otonom, yang menjalankan tiga fungsi utama:


public regulations, public

goods dan empowerment. Konsep “bawah” berarti desa


merupakan pemerintahan

yang berada dalam hirarkhi paling bawah, yang memperoleh


pembinaan dan
pengawasan oleh pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota.
Konsep “dekat” berarti

desa menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang


berhubungan secara

langsung dengan masyarakat, sekaligus menyesuaikan diri


dengan kondisi sosialbudaya

setempat. Dengan demikian, sistem pemerintahan desa tetap


mengadopsi

sistem dan nilai-nilai self governing community.

Kata Kunci : Desa, Pembangunan, Otonomi

PENDAHULUAN

Reformasi yang mengakhiri era pemerintahan otoriter Orde


Baru di bawah rezim Soeharto telah melahirkan perubahan
yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Berbagai isu yang menjadi debat publik terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan desa yang hingga kini
dipahami dalam berbagai perspektif yang sangat didominasi
oleh perspektif hukum dan politik.

Adanya perubahan format otonomi daerah sebagai sesuatu hal


yang tidak terhindarkan, kemudian melahirkan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini sekaligus
menandai berakhirnya era pemerintahan daerah yang
sentralistik di bawah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sehingga membuka
kembali sebuah wacana dan harapan baru untuk
mengembalikan satu perspektif tentang desa terutama yang
terkait dengan posisi desa yang terberdayakan.

Bersamaan dengan terbukanya ruang publik dengan aturan


baru tersebut, memunculkan pula kesadaran baru yang
menginginkan sebuah pemerintahan demokratis, desentral,
dan pemberdayaan masyarakat lokal yang--selain menuntut
perlunya pengalokasian dan pendistribusian kekuasaan serta
kewenangan--juga menginginkan adanya diskresi dalam
penetapan kebijakan publik pada berbagai strata pelaksanaan
pemerintahan.

Mitos tentang Republik Kecil yang merupakan institusi asli


komunitas, hampir hilang ketika terjadi proses negara

masuk ke desa dan desa dimasukkan ke negara.

NEGARASASI DESA ERA KEMERDEKAAN

UU No. 13/1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan

Motivasi dihapusnya desa perdikan adalah agar seluruh desa


di wilayah Indonesia sejajar dan tidak ada hak istimewa
melekat pada salah satu desa. Desa perdikan merupakan desa
yang mempunyai hak istimewa, yaitu hak untuk tidak
membayar pajak. Jika dicermati lebih mendalam, UU ini
berusaha merefleksikan kepentingan pemerintah pusat dalam
mengintegrasikan desa perdikan ke dalam kewenangan
negara.

UU No. 14/1946 tentang Perubahan Tata Cara Pemilihan


Kepala Desa

Motivasi UU ini adalah untuk mempertegas kedudukan


negara terhadap desa, yaitu negara sebagai pemberi legitimasi
politik terhadap proses pemerintahan di desa. Desa tetap
diberi hak dan kewenangan untuk mengatur sistem
pemerintahannya sendiri, yaitu bahwa desa tetap mempunyai
hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala desanya
masing-masing tanpa intervensi negara. Sehingga desa-desa
masih tetap dengan keanekaragamannya. Meskipun di sini
negara mempertegas dirinya hanya sebagai pemberi legitimasi
politis belaka, namun yang perlu dicermati adalah bahwa
justru melalui UU tersebut juga proses pengintegrasian desa
ke dalam sub sistem negara sudah mulai terjadi, yakni dengan
cara pemberian legitimasi politis negara terhadap desa
tersebut.

MENUJU DESA BERWAWASAN PARTISIPASI

UU 22 Tahun 1999 Jo. UU no 32 Tahun 2004 yang juga

mengatur tentang pemerintahan desa khususnya dengan

dikeluarkanya PP 72 tentang pemerintahan desa yang


kemudian

mengatur berbagai kewenangan operasional yang dapat


dijalankan di

desa serta kelembagaan yang terkait didalamnya


==================

=========

Dana Desa Meningkat, Keparahan Kemiskinan Desa Juga


Meningkat

Redaksi 0 7:17 pm January 25, 2017

Oleh : Munir A.S

Pada tahun 2016, berdasarkan data BPS, angka kemiskinan


menurun menjadi 10,86 % dari tahun 2015 sebesar 11,22 %
atau turun 0,36 %. Meski angka kemiskinan menurun sedikit
(0,03%), namun tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan
justru meningkat. Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman
dan keparahan kemiskinan per Maret 2016 masing-masing
naik menjadi 1,94 persen dan 0,52 persen dari periode
September 2015 yang masing-masing sebesar 1,84 persen dan
0,51 persen. Indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan
justru tersentralisasi di desa.
BPS mencatat, Per Maret 2016, indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan perdesaan mencapai 2,74 persen dan
0,79 persen. Angka ini lebih besar daripada indeks kedalaman
dan keparahan kemiskinan perkotaan yang mencapai 1,19
persen dan 0,27 persen per Maret 2016.

Persentase Keparahan dan Kedalaman kemiskinan yang


berpusat di pedesaan ini, menjadi suatu anomaly yang perlu
terus kita kritisi, menimbang disaat yang sama, dana desa,
sebagai suatu wujud nyata upaya akselerasi pembangunan
desa setiap tahun meningkat.

Nomenklatur dana desa dalam APBN baik melalui transfer


daerah maupun anggaran dana desa tersendiri tiap tahun terus
meningkat sejak 2015 sebesar Rp20,8 triliun, pada 2016 Rp40
triliun dan pada 2017 rencananya Rp60 triliun. Tentu kita
berharap, sejak dua tahun berjalan, dana desa, memiliki
dampak nyata mengikis disparitas kesejahteraan di kota dan
pedesaan.

Meningkatnya tingkat kedalam dan keparahan kemiskinan


yang berpusat di desa ini, menjadi soal besar yang menganga
di hadapan kita, bahwa apakah pembangunan desa melalui
dana desa, belum menyentuh inti masalah kemiskinan di desa.
Penataan APBN dengan orientasi pembangunan dari desa ke
kota, menjadi urgen dan terus dicari titik temu. Dengan
harapan anggaran bisa mengikuti program, dan dampaknya,
bisa terlihat nyata.***
Kurangi Kesenjangan Sosial, Mendes Luncurkan Indeks Desa
Membangun

Yulida Medistiara - detikNews

Share 0Tweet Share 00 komentar

Kurangi Kesenjangan Sosial, Mendes Luncurkan Indeks Desa


Membangun

Foto: Yulida Medistiara

Jakarta - Kesenjangan pembangunan dari desa dan kawasan


kota masih terasa. Pemerintah melakukan sejumlah cara agar
disparitas itu bisa dipangkas.

Terkait dengan itu, Menteri Desa Pembangunan Daerah


Tertinggal (PDT) dan Trasmigrasi Marwan Jafar meluncurkan
Indeks Desa Membangun. Ini merupakan program pemerintah
untuk membangun desa dan mengurangi kesenjangan desa
dan kota.

"Saya ingin menegaskan bahwa Indeks Desa Membangun


yang diluncurkan pada hari ini lebih mengedepankan
pendekatan yang bertumpu kepada kekuatan sosial, ekonomi
dan ekologi, tanpa melupakan kekuatan politik, budaya,
sejarah, dan kearifan lokal," ujar Marwan dalam sambutannya
saaat meluncurkan program ini, di gedung Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Trasmigrasi, Jl
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin
(19/10/2015).
Pada rumusannya indeks yang menjadi rujukan pembangunan
desa ini tercantum ukuran standardisasi desa, jumlah desa
tertinggal, desa yang sangat tertinggal, desa yang sedang
dalam proses menjadi mandiri, dan desa mandiri.

Ia berharap apabila indeks ini dipergunakan dengan baik oleh


pemerintah sebagai acuan dalam melakukan afirmasi,
integrasi dan sinergi pembangunan, maka akan tercipta
kondisi masyarakat desa yang sejahtera, adil, dan mandiri.
Sebab, saat ini beberapa desa ada yang masih belum mandiri,
ada yang sedang dalam proses menjadi mandiri, dan desa
yang telah mandiri.

Hal yang melatarbelakangi indeks ini salah satunya ialah


kesenjangan sosial yang dipengaruhi peningkatnya urbanisasi.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasiona (Susenas),
konsumsi per kapita penduduk 40 persen terbawah tumbuh
sangat rendah, sementara penduduk 20 persen terkaya justru
mencatat pertumbuhan konsumsi yang meningkat pesat.

Saat ini jumlah penduduk kota telah mencapai 49,8 persen


sementara persentase penduduk desa justru mengalami
penurunan menjadi hanya 50,2 persen dibandingkan pada tiga
puluh lima tahun yang lalu. Jika tren urbanisasi ini dibiarkan,
maka diperkirakan tahun 2025 nanti sekitar 65 persen
penduduk Indonesia akan berada di kota.

Pada tahun 2014 persentase penduduk desa yang hidup di


bawah garis kemiskinan adalah sebesar 13,8 persen,
sedangkan penduduk kota berjumlah lebih kecil yaitu 8,2
persen. Jika ditelisik lebih jauh diketahui bahwa tingkat
kemiskinan di desa jauh lebih dalam dan lebih parah
dibandingkan di kota.

Hal itu dibuktikan dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan di


kota 1,25 sementara di desa jauh lebih besar yaitu mencapai
2,24. Semakin tinggi nilai indeks ini artinya semakin jauh
rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.
Selain itu, Indeks Keparahan Kemiskinan di kota sebesar
0,31% sementara di desa 0,56%. Semakin tinggi nilai indeks
artinya semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara
penduduk miskin.

Pengembangan Indeks Desa Membangun (IDM) ini


didedikasikan untuk memperkuat pencapaian pembangunan.
Hal itu seperti yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019.

"Di dalam rancangan itu, yaitu mengurangi jumlah Desa


Tertinggal sampai 5.000 desa, dan meningkatkan jumlah Desa
Mandiri sedikitnya 2.000 desa pada tahun 2019," kata
Marwan.
Aspek ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi diharapkan
menjadi lebih kuat untuk memajukan keberdayaan desa agar
lebih mandiri. Oleh karena itu, pemerintah memfokuskan
adanya upaya penguatan otonomi desa melalui pemberdayaan
masyarakat.

Tujuan utama pemberdayaan masyarakat desa ini untuk


mendorong partisipasi yang berkualitas, meningkatnya
pengetahuan, dan peningkatan keterampilan masyarakat. Hal
tersebut akan menjadi modal penting dalam menyantuni spirit
UU Desa yang telah menempatkan desa sebagai subyek
pembangunan.

Marwan menyebut apabila desa menjadi subyek


pembangunan, maka desa akan menjadi entitas yang
mendekati sejahtera, makmur dan kedaulatan bangsa akan
membaik di mata warga negaranya sendiri dan di mata
internasional.

Pada kesempatan peluncuran ini, Marwan juga menyebutkan


soal program unggulan Kementerian Desa. Ketiga program
unggulan itu adalah Jaring Komunitas Wiradesa (JKWD),
Lumbung Ekonomi Desa (LED), dan Lingkar Budaya Desa
(LBD).

"Program unggulan akan selalu dijadikan acuan utama dalam


merumuskan kegiatan-kegiatan prioritas setiap tahun.
Program unggulan itulah yang akan menghasilkan dampak
terukur bagi peningkatan kemajuan dan kesejahteraan, dan
kemandirian masyarakat desa," imbuh Marwan.

Program Jaring Komunitas Wiradesa dimaksudkan untuk


mengutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti
pembangunan desa sehingga mereka (desa) menjadi subyek-
berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Sementara
Lumbung Ekonomi Desa ditujukan untuk mendorong
berkembangnya geliat ekonomi yang menempatkan rakyat
sebagai pemilik dan partisipan gerakan ekonomi di desa
tempat tinggalnya .

"Ketiga, Program Lingkar Budaya Desa dimaksudkan untuk


mempromosikan pembangunan di mana warga dan komunitas
berpartisipasi sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya
dan lainnya," tutup Marwan.

Upaya pencapaian ini menargetkan 15.000 desa yang


ditetapkan berdasarkan Indeks Desa Membangun. Di dalam
15.000 desa itu terdiri dari 1.138 desa perbatasan. Semua hal
tersebut ditujukan untuk mencapai target dalam RPJMN
2015-2019.

==============

MENGENAL INDEKS PEMBANGUNAN DESA (IPD)


sapa-indonesia-ipd

SAPA INDONESIA - Dalam rapat koordinasi pengembangan


Sistem Informasi Pembangunan Desa (SIPD) yang
diselenggarakan oleh Direktorat Perkotaan dan Perdesaan,
Kementerian PPN/ Bappenas pada hari Rabu, 6 Mei 2015,
dipaparkan mengenai hasil-hasil Indeks Pembangunan Desa
atau IPD. IPD merupakan bagian dari rencana pengembangan
Sistem Informasi Pembangunan Desa (SIPD) dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan yaitu berdasarkan Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 86, yang salah
satu ayatnya menyebutkan "Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan sistem informasi desa dan
pembanguan kawasan perdesaan".

Indeks Pembangunan Desa (IPD) dibangun berdasarkan data


sensus Potensi Desa (Podes) yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan dalam jangka waktu 3
(tiga) tahunan. Pendataan Podes terakhir dilakukan pada bulan
April 2014 yang mendata seluruh wilayah administrasi hingga
mulai tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Nantinya
diharapkan Podes dapat dilakukan dalam jangka waktu 1
tahunan sebagai data dasar IPD.

Terdapat 5 (lima) dimensi indeks pembangunan desa (IPD)


yaitu pertama Pelayanan dasar, kedua Kondisi infrastruktur,
ketiga Aksesibilitas/ transportasi, keempat Pelayanan publik,
dan kelima Penyelenggaraan pemerintahan. Dari kelimanya
yang mencapai bobot terbesar adalah pelayanan publik
(0.0272) kemudian pelayanan dasar (0.0271), sedangkan yang
terkecil ialah Kondisi infrastruktur. Dengan bobot tertinggi
"pelayanan publik" maka peningkatan pelayanan publik akan
mendorong IPD meningkat signifikan. Dari hasil evaluasi
pembangunan desa 2014 dapat dibedakan desa-desa berdasar
karakteristik Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri, yang
kemudian dari masing masing karakteristik dapat dibedakan
menjadi "mula", "madya", dan "lanjut". Perkembangan desa
tahun 2014 terlihat memusat pada desa berkembang.

IPD mengklasifikasikan Desa menjadi Desa Tertinggal, Desa


Berkembang, dan Desa Mandiri. Secara nasional potret
sebaran Desa Tertinggal sebanyak 19.944 desa (26,92%);
Desa Berkembang sebanyak 51.127 (69%); dan Desa Mandiri
sebanyak 3.022 desa (4,08%) dengan total 74.093 desa sesuai
Permendagri 39 Tahun 2015. Target 2019 terdapat
pengurangan sebanyak 5000 desa tertinggal, dan peningkatan
jumlah sebanyak 5000 desa mandiri.

Dengan klasifikasi desa berindeks "tertinggal" (desa dengan


indeks < 50), kemudian "berkembang" (desa dengan indeks
>50 dan < 75), dan "mandiri" (desa dengan indeks >75) maka
untuk sementara telah dihasilkan 50 desa tertinggal dan
terbawah (lokasi desa tertinggal 50 terbawah), dan 50 desa
lokasi desa Mandiri teratas.

Bappenas kemungkinan dalam waktu dekat akan


menyelesaikan pendataan IPD-nya untuk 74.093 desa se-
Indonesia.
Yuniandono Ahmad | SAPA Indonesia

===

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI DAN


DEMOKRASI

kemiskinan-pemberdayaanmasyarakatmadanidemokrasi

SAPA INDONESIA - MOBILISASI massa, baik demi


membela agama maupun keutuhan bangsa, beberapa waktu
lalu menyingkap persoalan serius tentang masa depan
demokrasi di negeri ini.

Kalkulasi rasional, supremasi hukum, norma-norma sosial,


dan kelembagaan politik gagap dan gagal berhadapan dengan
tekanan massa. Pada saat bersamaan, polarisasi kultural dan
ideologis semakin meluas. Tanpa antisipasi, demokrasi
sebagai konsensus bangsa menjadi taruhannya.

Kekhawatiran beralasan karena civil society sebagai penopang


penting demokrasi belum berfungsi. Merujuk pengalaman
negara-negara maju, civil society merupakan kekuatan pokok
yang berperan untuk mencegah totalisasi kekuasaan negara di
satu sisi dan memberadabkan masyarakat di sisi lain. Dengan
itu, civil society mampu mencegah berkembanganya dua
musuh utama demokrasi, yakni totaliterisme negara dan
anarkisme massa.

Melimpah, tetapi terbelah

Alexis de Tocqueville memahami civil society sebagai


wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating),
keswadayaan (self-supporting), kemandirian, dan keterikatan
dengan norma-norma serta nilai-nilai hukum (Hikam, 1992,
dan Culla, 2005). Nilai-nilai itu merupakan prasyarat penting
demokrasi.

Mengacu pada pandangan tersebut, civil society mencakup


semua organisasi masyarakat sipil (OMS) yang visi dasarnya
semata-mata untuk mencerdaskan dan memberdayakan
masyarakat. Organisasi dimaksud meliputi LSM, ormas sosial
dan keagamaan, paguyuban, kelompok-kelompok
kepentingan, media massa, dan sebagainya.

Secara kuantitatif, OMS terus tumbuh dan melimpah,


terutama setelah kejatuhan Orde Baru. Liberalisasi politik
merupakan ranah subur bagi tumbuhnya OMS. Berbagai
sumber mencatat bahwa jumlah OMS saat ini 139.957 buah.
Jumlah itu tersebar di Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, serta
Kementerian Hukum dan HAM. Jika diakumulasi dengan
yang belum terdaftar di lembaga-lembaga pemerintah,
jumlahnya tentu lebih fantastis lagi.

Sekiranya pendirian berbagai OMS murni untuk memajukan


masyarakat, maka kehadirannya akan menjadi kekuatan yang
menentukan bagi mekarnya demokrasi. Wadah- wadah
masyarakat untuk berhimpun dan berkembang tersedia di
mana-mana. Negara juga mendapat kemudahan menemukan
mitra dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan,
pemberdayaan, dan pembangunan.

Akan tetapi, persis di sinilah persoalannya. Banyak OMS


didirikan tanpa visi yang jelas, persiapan matang, dan
melibatkan aktor yang benar-benar kompeten. Tidak sedikit
OMS yang keberadaannya hanya indah di atas kertas karena
memang tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk
menjalankan berbagai aktivitas. Yang paling menggelisahkan,
banyak OMS didirikan semata-mata untuk menganalisasi
hasrat politik dan ekonomi kelompok tertentu.

Fenomena serupa dialami media massa dan kelompok


cendekiawan. Beberapa media tak lagi fokus pada aspek
informasi dan edukasi, tetapi juga menyediakan diri sebagai
alat untuk menekan lawan politik. Penggiringan berita dan
opini sudah menjadi lazim. Begitu pula kelompok
cendekiawan, terutama lembaga survei dan pendidikan tinggi.
Rasionalitas dan obyektivitas survei dikorbankan demi
kepentingan sesaat. Sama halnya, kewibawaan kelompok
cendekiawan tergerus akibat praktik korupsi di dunia
pendidikan.
Beragam persoalan itu menyulitkan OMS untuk berdialog,
saling belajar, menyatukan visi, dan menyinergikan program.
Sebaliknya, berbagai OMS terus berada dalam iklim
persaingan kurang sehat, saling mencurigai, membenci dan
mengancam. Ujungnya, OMS terpecah belah dan sulit
dikoordinasikan akibat rendahnya rasa saling percaya ataupun
saling membutuhkan.

Pembenahan mendasar

Mengingat pentingnya OMS bagi demokrasi, pembenahan


atasnya merupakan kebutuhan mendesak. Langkah ini penting
untuk memberdayakan civil society agar terbiasa berpikir
kritis dan otonom sehingga mampu menyikapi berbagai
persoalan secara rasional dan bijaksana.

Di atas segalanya, pembenahan tersebut dibutuhkan agar


OMS tidak lagi dijadikan obyek mobilisasi kelompok tertentu
untuk kepentingan politik sempit berjangka pendek.

Setidaknya ada dua strategi pembenahan civil society, yakni


secara internal dan eksternal. Secara internal, civil society
perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kiprah dan
kinerjanya, terutama pada era reformasi.
Selain untuk melihat kekuatan dan prestasi civil society dalam
kerangka demokrasi, evaluasi tersebut juga berperan untuk
memetakan persoalan-persoalan yang membuatnya kurang
berdaya guna memajukan demokrasi. Pemetaan tersebut
menjadi dasar bagi civil society untuk menyusun strategi dan
agenda bersama demi perbaikan pada masa mendatang.

Langkah antisipatif

Secara eksternal, pemerintah perlu mengambil langkah-


langkah antisipatif, terutama terhadap OMS yang secara
ideologis dan praksis terbukti bertindak melawan kesantunan
sosial dan mengembangkan mekanisme kekerasan dalam
menyikapi berbagai persoalan.

Pertama, penertiban ideologi OMS. Pancasila sudah menjadi


konsensus nasional untuk menjadi ideologi bangsa. OMS
yang terbukti menganut ideologi lain harus dinyatakan
terlarang dan dibubarkan. Untuk itu, revisi UU No 17/2013
tentang Ormas, terutama pengaturan soal pembubaran yang
terkesan bertele-tele, mendesak dilakukan.

Kedua, perketat syarat pendirian OMS. Perlu dikaji mendalam


ideologi, visi, program, dan aktor-aktor yang terlibat.
Pemenuhan syarat-syarat tersebut mutlak perlu agar kehadiran
OMS benar-benar didayagunakan untuk kemajuan demokrasi
sekaligus mencegah tindakan- tindakan yang bertentangan
dengan semangat kebangsaan.
Ketiga, perketat pembinaan dan pengawasan. Pemerintah
perlu mengintensifkan agenda-agenda pembinaan terhadap
berbagai OMS agar benar-benar bisa diandalkan sebagai
kekuatan pemberdayaan civil society di Indonesia. Secara
simultan, pemerintah perlu terus mengawasi OMS sebagai
skenario untuk membuat demokrasi semakin terkonsolidasi.

Oleh: ROMANUS NDAU LENDONG, PIMPINAN PUSAT


KOLEKTIF KOSGORO 1957, JAKARTA

Partisipasi Masyarakat dan Masyarakat Madani

Oleh Admin KeuLSM / Senin 18 Januari 2016 / Tidak ada


komentar

Bangunan konsensus sosial inilah yang disebut sebagai


societal guidance atau societal directives yang umumnya
berisikan arah, tujuan, cara, dan prioritas pembangunan yang
akan dilakukan.

partisipasi-masyarakat-dan-masyarakat-madani

Partisipasi Masyarakat dan Masyarakat Madani


Masyarakat madani hanya bisa lahir dari sebuah komunitas
yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembangunan. Menurut pandangan Etzoni (1967), partisipasi
berkaitan dengan proses pembebasan manusia, sedangkan
proses pembebasan hanya bisa direalisasi oleh manusia bebas.
Dengan perkataan lain, pembangunan komunitas pertama-
tama harus difokuskan pada usaha membebaskan manusia
dari realitas yang menghambat being (proses menjadi), yakni
hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan, ancaman,
ketakutan, dan penindasan dari pihak eksternal yang merasa
lebih berpengetahuan, berpangkat, berjabatan dan lain
sebagainya.

Namun demikian, bila kita mau jujur, hampir di setiap lini


profesi kehidupan kita masih berakar sikap-sikap munafik dan
feodalisme terutama pada golongan yang berpengetahuan,
berpangkat, berjabatan untuk berkecenderungan menindas
pihak yang lemah. Dengan perkataan lain, bila kita ingin
membangun masyarakat madani di mana masyarakat bisa
bebas berpartisipasi, pertama-tama yang harus kita lakukan
adalah menghapuskan kultur penindasan ini. Mereka yang
berpengetahuan, berpangkat, berjabatan harus bisa
mewujudkan jargon to lead the people, walk behind them.

Societal guidance

Partisipasi selanjutnya memerlukan keterlibatan masyarakat


secara aktif. Pertanyaannya adalah aktif untuk tujuan apa?
Dalam konteks pemberdayaan, jawaban ini tidak boleh
ditentukan secara sepihak oleh pihak eksternal seperti yang
“berpengetahuan, berpangkat, berjabatan” tadi. Komunitas
harus diberdayakan untuk merumuskannya sendiri melalui
sebuah proses pembangunan konsensus di antara berbagai
individu dan kelompok sosial yang memiliki kepentingan dan
menanggung risiko langsung (stakeholder) akibat adanya
proses atau intervensi pembangunan-baik pembangunan
ekonomi, sosial maupun lingkungan fisik. Bangunan
konsensus sosial inilah yang disebut sebagai societal guidance
atau societal directives yang umumnya berisikan arah, tujuan,
cara, dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana membangun


konsensus yang mampu mengaktifkan masyarakat untuk
menolong diri mereka sendiri? Dan apa peran pemberdayaan
yakni mereka yang berpengetahuan-berpangkat-berjabatan
dan sekaligus membawa dana-dalam pembangunan
komunitas?.

Disarikan dari buku: Menyuarakan Nurani Menggapai


Kesetaraan (LSM disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah
(ornop), Penerbit: Kompas, Hal: 120-121.

Persebaran Desa menurut Indeks Desa Membangun

Indeks Desa Membangun dan Pembangunan Desa

2 Balasan

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan


Transmigrasi (PDTT) meluncurkan Indeks Desa Membangun
(IDM) pada Oktober lalu. Menurut Marwan Jafar, IDM bisa
dijadikan rujukan untuk pengentasan jumlah desa tertinggal
dan meningkatkan jumlah desa mandiri di Indonesia.
Penentuan IDM dengan meletakkan prakarsa dan kuatnya
kapasitas masyarakat sebagai basis utama proses kemajuan
dan pemberdayaan desa. IDM menggunaan pendekatan yang
bertumpu pada kekuatan sosial, ekonomi dan ekologi tanpa
melupakan kekuatan politik, budaya, sejarah, dan kearifan
lokal.

IDM ini sendiri dibuat untuk memperkuat pencapaian dalam


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019. IDM dipakai sebagai acuan dalam melakukan
afirmasi, integrasi, dan sinergi pembangunan. Harapannya
untuk mewujudkan kondisi masyarakat desa yang sejahtera,
adil dan mandiri.

Desa Membangun Indonesia tetap dihadapkan pada kenyataan


kemiskinan di Desa. Maka, ketersediaan data dan pengukuran
sangat dibutuhkan. Khususnya dalam pengembangan
intervensi kebijakan yang mampu menjawab persoalan dasar
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pencapaian pemerataan keadilan merupakan isu penting


dalam pembangunan nasional, dan tentu juga dalam
pembangunan Desa. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan
adalah pertumbuhan yang inklusif, di mana pengelolaan
potensi ekonomi Desa dan Kawasan Perdesaan tidak hanya
mampu menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja
lulusan SD/SMP, tetapi juga ramah keluarga miskin, mampu
memperbaiki pemerataan dan mengurangi kesenjangan.
Perhatian khusus terhadap usaha mikro di Desa haruslah
dikedepankan yang memang nyata perlu dukungan dalam hal
penguatan teknologi yang ramah lingkungan, pemasaran,
permodalan dan akses pasar.

Klasifikasi dan status desa

Indeks Desa Membangun mengklasifikasi Desa menjadi lima


status yakni Desa sangat tertinggal, Tertinggal, Berkembang,
Maju, dan Mandiri. Klasifikasi dalam lima status itu untuk
mempertajam penetapan status perkembangan desa sekaligus
sebagai rujukan intervensi kebijakan. Status Desa Tertinggal
misalnya dibadi menjadi dua status yakni Desa Sangat
Tertinggal dan Desa Tertinggal. Asumsi yang ingin dibangun,
afirmasi kebijakan untuk Desa Sangat Tertinggal tentu
berbeda dengan Desa Tertinggal.

Dimensi Indeks Desa Membangun

Dimensi Indeks Desa Membangun

Desa berkembang terkait dengan situasi dan kondisi dalam


status Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal dijelaskan
dengan faktor kerentanan. Apabila ada tekanan faktor
kerentanan seperti goncangan ekonomi, bencana alam, atau
konflik sosial maka dapat memengaruhi status Desa
Berkembang turun menjadi Desa Tertinggal. Sementara,
apabila Desa Berkembang mempunyai kemampuan dalam
mengelola potensi, informasi / nilai, inovasi / prakarsa, dan
kewirausahaan akan mendukung gerak kemajuan Desa
Berkembang menjadi Desa Maju. Indeks Desa Membangun
merupakan komposit dari ketahanan sosial, ekonomi dan
ekologi.

Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas

Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas

Status IDM berbeda dengan Indeks Pembangunan Desa (IPD)


yang dikeluarkan oleh Bappenas. Bappenas membagi
perkembangan status desa dalam tiga klasifikasi yakni Desa
Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri. Masing-masing status
terbagi lagi menjadi tiga perkembangan, mula, madya dan
lanjut. Terdapat lima dimensi dalam IPD antara lain:
pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas /
transportasi, pelayanan publik, dan penyelenggaraan
pemerintahan.

Dengan menggunakan data sensus Potensi Desa (Posdes)


yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir
pada April 2014, kita lihat perbandingan antara Indeks Desa
Membangun dengan Indeks Pembangunan Desa.

Anda mungkin juga menyukai