PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA, 2015
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketidakjelasan
Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik
dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur sosial desa, masyarakat adat dan lainnya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa harus memiliki status yang jelas dalam ketatanegaraan Republik Indonesia karena desa merupakan wujud bangsa yang kongrit.
Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan ketidakjelasan desa dalam statusnya yaitu sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap Keragaman
Desa-desa di Indonesia sangat beragam, sehingga skema
pemerintahan desa juga bisa beragam. Pengakuan terhadap keragaman inilah yang mempersulit peletakan desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia secara jelas. Sejak lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah sudah mulai melakukan penyeragaman pemerintahan lokal dengan referensi model desa-desa di Jawa, sehingga tidak mengakomodasi keragaman kesatuan masyarakat hukum adat di luar Jawa (Eko, 2005:192). Posisi dan bentuk desa (dan nama lainya) tidak hanya dibuat seragam, tetapi juga mengambang, tidak jelas, apakah akan didudukkan sebagai pemerintah lokal (local self government) atau sebagai kesatuan masyarakat adat (self governing community).
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tersebut tidak
berlaku secara efektif, kemudian muncul berbagai regulasi baru yang umumnya tidak berumur panjang. Selanjutnya, pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, yang merupakan sebuah kebijakan untuk menata ulang terhadap kelembagaan pemerintahan desa, membuat desa tradisional menjadi desa modern, dan mengintergrasikan desa dalam struktur negara modern. Model birokrasi modern dimasukkan ke desa untuk menata mekanisme administrasi dan kelembagaan desa. Pemerintah pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit pemerintahan terendah menjadi nama desa, sebagai upaya untuk mengontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, bagi
komunitas lokal di luar Jawa merupakan bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal maupun adat istiadat lokal. Penerapan Undang-undang ini merupakan dampak buruk baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pertama, desa-desa di Jawa mengalami kehancuran otonomi dan kehancuran lokal. Kepala desa menjadi kepanjangan tangan dari negara dan tampil sebagai penguasa tungga di desa. Kedua, kesatuan masyarakat adat di luar Jawa mengalami kehancuran, baik dari sisi identitas, sistem sosial dan sistem pemerintahan. Kepemimpinan adat digantikan dengan kepala desa yang dikendalikan negara. Organisasi adat dipinggirkan hanya mengurusi masalah kemasyarakatan, bukan pemerintahan dan pembangunan.
Setelah Orde Baru berakhir pemerintahan mengalami
perubahan. Pada tahun 1998 era reformasi lahir yang ditandai dengan kebangkitan demokratisasi dan desentralisasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 digantikan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mempunyai semangat otonomi luas, keragaman dan demokrasi. Dalam undang-undang ini desa tidak lagi dianggap sebagai nama tunggal untuk menyebut kesatuan masyarakat hukum, melainkan secara normatif undang-undang ini menempatkan desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desa.
Pemerintah maupun masyarakat lokal mengalami
kesulitan dalam menentukan kedudukan, otonomi dan format pemerintahan lokal, yang sesuai dengan format pemerintahan lokal dan sesuai dengan tujuan-tujuan nasional. Eko (2005:195) berpendapat bahwa hal tersebut dipengarui oleh beberapa hal yaitu pertama, Kedudukan dan kewenangan desa menjadi titik sentral dalam pembicaraan tentang otonomi desa. Keduanya menjadi krusial karena sejak jaman kolonial hingga masa reformasi, selalu muncul pembicaraan dan tarik- menarik bagaimana menempatkan posisi desa dalam struktur negara yang lebih besar. Para ahli hukum yang concern pada desa selalu peka terhadap persoalan kedudukan desa dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebab, meskipun UUD 1945 pasal 18 mengakui keberagaman daerah-daerah kecil yang bersifat istimewa, tetapi konstitusi itu tidak secara tegas mengakui adanya otonomi desa. Undang-undang turunan dari UUD dengan sendirinya juga tidak mengakui adanya otonomi desa, kecuali hanya menyebut desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Menurut Ibnu Tricahyo dari PP OTODA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dikatakannya bahwa, “Kewenangan Desa tidak akan jelas kalau kedudukan desa tidak diatur dengan jelas dalam konstitusi. Kedudukan dulu baru berbicara kewenangan.” Kemudian suara lain menegaskan bahwa, “Untuk memastikan kedudukan desa, sebaiknya NKRI tidak hanya dibagi menjadi daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota tetapi juga dibagi menjadi desa”. Gagasan ini paralel dengan ide Desa Praja sebagai Daerah Tingkat III yang muncul pada tahun 1950-an.
Selanjutnya, tarik menarik antara keragaman adat lokal dan
model pemerintahan nasional. Sejarah membuktikan setiap komunitas lokal atau masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri (self governing community) yang bersifat tradisional-lokalistik dan mengontrol tanah ulayat secara otonom. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk modernisasi pemerintahan adat tradisional, yang berarti menghilangkan adat sebagai kendali pemerintahan dan menyeragamkan pemerintahan adat menjadi pemerintahan modern seperti desa-desa di Jawa. Tarik-menarik antara pemerintah dengan masyarakat adat tidak bisa dihindari. Perumusan dan pengaturan mengenai otonomi desa dalam masyarakat adat mengalami kesulitan, di satu sisi pemerintah tidak bisa semena-mena menghancurkan adat dengan tujuan melakukan modernisasi pemerintahan, tetapi di sisi lain jika masih ada tirani adat juga akan mempersulit transformasi di dalam negara.
Upaya untuk kembali kepada bentuk pemerintahan
asli di berbagai daerah mengalami berbagai kesulitan. Pada umumnya daerah-daerah di Indonesia bersifat inklusif dan majemuk, yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Masing- masing suku mempunyai referensi tentang pemerintahan lokal yang berbeda-beda dan terbatas. Sementara secara nasional tidak ada aturan baku yang bisa digunakan sebagai referensi yang lebih baik oleh para pengambil kebijakan daerah, karena dua kondisi itu umumnya di daerah belum muncul kata sepakat untuk menata ulang kedudukan, otonomi dan format pemerintahan lokal.
2. Dualisme antara Adat (self governing community)
dengan Pemerintahan Desa (local self government)
Pada awalnya kesatuan masyarakat lokal atau adat (desa,
nagari, binua, kampung, gampong, negeri, huta, sosor, marga, lembang, kuwu, pemusungan, yo, paraingu, lumban, dan lain-lain) yang tersebar di penjuru Nusantara mempunyai karakter yang hampir sama. Desa, atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat yang tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori) tertentu.
Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal
yang mempunyai pemerintahan atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasar pada adat-istiadat setempat. Era Indonesia modern, selama enam dekade terakhir posisi desa tidak pernah tegas dan jelas. Campuran antar model digunakan untuk menempatkan posisi desa. Sampai era Orde Baru, sisa-sisa self governing community di aras desa masih terasa, tetapi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 pemerintah menempatkan daerah dan desa sebagai local state government atau sebagai kepanjangan tangan negara. Masyarakat lokal sangat resisten dengan intervensi negara, sehingga tujuan kontrol negara, modernisasi pemerintahan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan optimal. Kecuali di Jawa, masyarakat lokal selain kehilangan kedaulatan juga menghadapi dualisme antara desa negara dengan organisasi adat.
Pada era reformasi, menyusul lahirnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999, posisi desa juga belum tegas meski undang-undang itu mengakui keberagaman desa-desa di Indonesia. Tetapi persoalan dasarnya bukan terletak pada keragaman desa, tetapi pada posisi dan kewenangan desa. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencampuradukkan model local self government secara terbatas dan model self governing community khusus untuk mengakomodasi keragaman adat (kultur) lokal.
Berbagai kesulitan memang tidak bisa dibiarkan, ada
dua variabel penting yang harus diperhatikan. Pertama, pengaruh adat terhadap pemerintahan desa yang modern. Kedua, pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa. Antara tradisionalisme dan modernisme terus-menerus bertarung sehingga akan berpengaruh terhadap model dan posisi pemerintahan desa.
Berkaitan dengan hal tersebut terdapat dualisme
antara dua model yaitu pertama, model “ada adat tetapi tidak ada desa” (self governing community) dan kedua, model “ada desa tanpa adat” (local self government).
1) Model “ada adat tetapi tidak ada desa” (self
governing community). Model ini menggambarkan bahwa desa hanya sebagai komunitas lokal berbasis adat yang tidak mempunyai pemerintah desa seperti yang terjadi pada komunitas-komunitas lokal di kawasan Eropa dan Amerika (Eko, 2005:198). Intinya, komunitas lokal itu memiliki organisasi lokal yang lebih menyerupai asosiasi lokal dari pada institusi pemerintah. Organisasi atau asosiasi lokal itu bukanlah bawahan struktur pemerintah yang lebih tinggi, serta tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah, melainkan hanya menjalankan fungsi mengurus urusan-urusan kemasyarakatan yang bersifat lokal dan sukarela.
Jika model ini dipilih, maka konsekuensinya desa
sebagai institusi pemerintahan lokal (local self government) dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak lagi berada di desa, melainkan berada di level kabupaten/kota. Urusan administrasi untuk warga bisa dikurangi dan kemudian dipusatkan di level kecamatan. Pemerintah berkewajiban menyediakan layanan publik kepada masyarakat, sekaligus melancarkan pembangunan desa yang masuk ke seluruh pelosok desa.
Model ini tampaknya sangat cocok diterapkan bagi
masyarakat adat di banyak daerah yang selama ini termasuk gagal memadukan antara adat dan desa. Beberapa daerah seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur sejak dulu terjadi dualisme antara desa negara dan kesatuan masyarakat adat. Pilihannya, pemerintah desa bentukan negara dihapuskan, sedangkan kesatuan masyarakat adat sebagai self governing community direvitalisasi untuk mengelola dirinya sendiri tanpa harus mengurus masalah administrasi pemerintahan dan tidak memperoleh beban tugas dari pemerintah. Model ini tentu akan mengakhiri dualisme antara desa dan adat, sekaligus bisa memperkuat adat sebagai basis komunitas lokal.
Kedua, model “ada desa tanpa adat” (local self
government). Model ini persis dengan desa-desa di Jawa yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan lokal modern yang meninggalkan adat. Modernisasi pemerintahan desa melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 relatif “sukses” diterapkan di Jawa. Bahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan embrio bagi tumbuhnya desa-desa sebagai local self government yang tidak sama sekali meninggalkan spirit self governing community (Eko, 2005: 199). Hal tersebut terlihat dengan tradisi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang melekat di desa.
Secara inkremental desa-desa di Jawa mulai
memupuk kemampuan mengelola pemerintahan dan pembangunan secara baik, sementara arena demokrasi dan civil society juga mulai tumbuh.
Berkaitan dengan dualisme model tersebut jika dilihat
pengertian desa di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 1 angka (1) yang berbunyi bahwa, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Berdasarkan definisi tersebut, Desa dipahami terdiri atas Desa
dan Desa adat yang menjalankan dua fungsi yaitu fungsi pemerintahan (local self government) dan mengurus urusan masyarakat setempat sesuai dengan hak
asal-usul dan hak tradisional (self governing community).
Berkaitan dengan
definisi pasal 1 angka (1) tersebut jika dikaitkan dengan
dualisme model
pertama “ada adat tetapi tidak ada desa” (self governing
community) dan kedua, model “ada desa tanpa adat” (local self government) maka Undang23
undang Nomor 6 tahun 2014 tidak menganut satupun dari
model itu melainkan
menggabungkan antara dualisme adat dan desa.
C. Upaya untuk Mengatasi Faktor-faktor yang Menyebabkan
Ketidakjelasan
Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia
Secara historis dan konstitusional, desa adalah organisasi
kesatuan
masyarakat adat (self governing communitty), bukan
organisasi pemerintahan formal
yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi dari negara
(local state government),
bukan juga sebagai daerah otonom (local self government).
UUD 1945 pada dasarnya
memberikan pengakuan dan pembentukan daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) yang
berkedudukan sebagai daerah otonom (local self government)
melalui azas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ketiga
azas ini tidak berlaku
bagi kedudukan desa atau sebutan lain. Pasal 18 UUD 1945
menghormati dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat, termasuk desa, beserta hak-hak asalusulnya
sepanjang masih ada. Konsep ini berarti negara memberikan
penghormatan
dan pengakuan terhadap desa atau sebutan-sebutan lain.
Berdasarkan ketentuan pasal 18 UUD 1945 penempatan
kedudukan desa
mengalami kesulitan, karena didalam pasal 18 tersebut
terdapat tiga tafsir atas pasal
18 UUD 1945 ( http://s2ip.apmd.ac.id) yaitu:
1) Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III, Desa
merupakan
bentuk “daerah kecil” yang mempunyai susunan asli dan
bersifat istimewa.
Karena itu negara sebaiknya melakukan desentralisasi
teritorial, yang
membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota
dan desa. Desa
sebagai “daerah kecil” menjadi desa otonom (local self
government) atau
daerah otonom tingkat III, yang mengharuskan negara
memberikan
desentralisasi kepada desa. Penganut perspektif desa otonom
(local self government), yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undangundang
Nomor 19 Tahun 1965 termasuk yang mengikuti tafsir ini.
2) Tafsir otonomi asli, batang tubuh Pasal 18 UUD 1945 sama
sekali tidak
mengenal desa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah
NKRI
menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Konstitusi hanya
membagi
NKRI menjadi daerah besar (provinsi) dan daerah kecil
(kabupaten/kota).
Menurut tafsir ini, desa (atau nama lainnya yang berjumlah
250)
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang harus
diakui
berdasarkan asas rekoknisi oleh negara. Dengan demikian,
negara tidak
memberikan desentralisasi pada desa untuk membentuk desa
sebagai unit
pemerintahan lokal yang otonom. Posisi desa yang tepat
menurut tafsir ini
sebagai organisasi masyarakat adat atau desa adat (self
governing
community) yang mempunyai dan mengelola hak asal-usul.
Konsep “otonomi asli” berpijak pada tafsir ini.
3) Tafsir pragmatis, tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD
1945 amanden
kedua. Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini
mengatakan bahwa
NKRI hanya dibagi menjadi wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
24
Desentralisasi hanya berhenti pada kabupaten/kota, tidak
sampai ke desa.
Tetapi tafsir ini berbeda dengan tafsir kedua karena tidak
menempatkan
kedudukan desa sebagai desa adat (self governing
community), melainkan
menempatkan desa sebagai unit pemerintahan di bawah dan di
dalam
subsistem pemerintah kabupaten/kota. Padahal UUD 1945
tidak secara
eksplisit mengamanatkan penempatan kedudukan desa dalam
subsistem
pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan tafsir tersebut diatas Sutoro Eko berpendapat
bahwa Kalau
mengikuti konstitusi, maka kedudukan desa mengikuti tafsir
kedua, yakni sebagai organisasi masyarakat (self governing community) yang mempunyai otonomi asli
(http://s2ip.apmd.ac.id). Artinya desa tidak menjalankan
tugas-tugas administrasi dan
pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada
Sekdes yang diisi
PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan
mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Kalau kedudukan ini diikuti maka
fungsi pemerintahan yang
selama ini dijalankan oleh desa harus dicabut, dan desa
dikembalikan sebagai
organisasi komunitas seperti sedia kala.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutoro Eko (Penelitian
tanggal 06
Oktober 2014) berpendapat bahwa menarik kembali desa
menjadi self governing
community adalah kemunduruan sehingga tidak mungkin
untuk dilakukan, sementara
untuk membawa desa maju ke depan menjadi desa otonom
atau daerah otonom
tingkat III merupakan solusi yang berlebihan dan
bertentangan dengan konstitusi.
Pilihan solusi yang relevan adalah menyempurnakan dual
positions desa, yang menempatkan secara tegas desa sebagai organisasi pemerintahan. Artinya bahwa
desa bukan berada dalam subsistem pemerintahan
kabupaten/kota, tetapi berada
dalam wilayah kabupaten/kota, sebagaimana kabupaten/kota
berada dalam wilayah
provinsi, dan provinsi berada dalam wilayah NKRI.
Kedudukan desa tetap berada
dalam hirarkhi pusat, provinsi dan kabupaten, tetapi desa
sebagai entitas berada di
luar sistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga desa juga
mempunyai otonomi.
Hubungan antara kabupaten/kota dengan desa serupa dengan
hubungan antara
provinsi dengan kabupaten/kota.
Kedudukan desa tidak lagi menjadi organisasi masyarakat
(self governing
community) tetapi sebagai organisasi pemerintahan. Desa
tentu menjadi subyek
hukum yang otonom, yang menjalankan tiga fungsi utama:
public regulations, public
goods dan empowerment. Konsep “bawah” berarti desa
merupakan pemerintahan
yang berada dalam hirarkhi paling bawah, yang memperoleh
pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota. Konsep “dekat” berarti
desa menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang
berhubungan secara
langsung dengan masyarakat, sekaligus menyesuaikan diri
dengan kondisi sosialbudaya
setempat. Dengan demikian, sistem pemerintahan desa tetap
mengadopsi
sistem dan nilai-nilai self governing community.
Kata Kunci : Desa, Pembangunan, Otonomi
PENDAHULUAN
Reformasi yang mengakhiri era pemerintahan otoriter Orde
Baru di bawah rezim Soeharto telah melahirkan perubahan yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Berbagai isu yang menjadi debat publik terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa yang hingga kini dipahami dalam berbagai perspektif yang sangat didominasi oleh perspektif hukum dan politik.
Adanya perubahan format otonomi daerah sebagai sesuatu hal
yang tidak terhindarkan, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya era pemerintahan daerah yang sentralistik di bawah UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sehingga membuka kembali sebuah wacana dan harapan baru untuk mengembalikan satu perspektif tentang desa terutama yang terkait dengan posisi desa yang terberdayakan.
Bersamaan dengan terbukanya ruang publik dengan aturan
baru tersebut, memunculkan pula kesadaran baru yang menginginkan sebuah pemerintahan demokratis, desentral, dan pemberdayaan masyarakat lokal yang--selain menuntut perlunya pengalokasian dan pendistribusian kekuasaan serta kewenangan--juga menginginkan adanya diskresi dalam penetapan kebijakan publik pada berbagai strata pelaksanaan pemerintahan.
Mitos tentang Republik Kecil yang merupakan institusi asli
komunitas, hampir hilang ketika terjadi proses negara
masuk ke desa dan desa dimasukkan ke negara.
NEGARASASI DESA ERA KEMERDEKAAN
UU No. 13/1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan
Motivasi dihapusnya desa perdikan adalah agar seluruh desa
di wilayah Indonesia sejajar dan tidak ada hak istimewa melekat pada salah satu desa. Desa perdikan merupakan desa yang mempunyai hak istimewa, yaitu hak untuk tidak membayar pajak. Jika dicermati lebih mendalam, UU ini berusaha merefleksikan kepentingan pemerintah pusat dalam mengintegrasikan desa perdikan ke dalam kewenangan negara.
UU No. 14/1946 tentang Perubahan Tata Cara Pemilihan
Kepala Desa
Motivasi UU ini adalah untuk mempertegas kedudukan
negara terhadap desa, yaitu negara sebagai pemberi legitimasi politik terhadap proses pemerintahan di desa. Desa tetap diberi hak dan kewenangan untuk mengatur sistem pemerintahannya sendiri, yaitu bahwa desa tetap mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala desanya masing-masing tanpa intervensi negara. Sehingga desa-desa masih tetap dengan keanekaragamannya. Meskipun di sini negara mempertegas dirinya hanya sebagai pemberi legitimasi politis belaka, namun yang perlu dicermati adalah bahwa justru melalui UU tersebut juga proses pengintegrasian desa ke dalam sub sistem negara sudah mulai terjadi, yakni dengan cara pemberian legitimasi politis negara terhadap desa tersebut.
MENUJU DESA BERWAWASAN PARTISIPASI
UU 22 Tahun 1999 Jo. UU no 32 Tahun 2004 yang juga
mengatur tentang pemerintahan desa khususnya dengan
dikeluarkanya PP 72 tentang pemerintahan desa yang
kemudian
mengatur berbagai kewenangan operasional yang dapat
dijalankan di
desa serta kelembagaan yang terkait didalamnya
==================
=========
Dana Desa Meningkat, Keparahan Kemiskinan Desa Juga
Meningkat
Redaksi 0 7:17 pm January 25, 2017
Oleh : Munir A.S
Pada tahun 2016, berdasarkan data BPS, angka kemiskinan
menurun menjadi 10,86 % dari tahun 2015 sebesar 11,22 % atau turun 0,36 %. Meski angka kemiskinan menurun sedikit (0,03%), namun tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan justru meningkat. Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan per Maret 2016 masing-masing naik menjadi 1,94 persen dan 0,52 persen dari periode September 2015 yang masing-masing sebesar 1,84 persen dan 0,51 persen. Indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan justru tersentralisasi di desa. BPS mencatat, Per Maret 2016, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan mencapai 2,74 persen dan 0,79 persen. Angka ini lebih besar daripada indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perkotaan yang mencapai 1,19 persen dan 0,27 persen per Maret 2016.
Persentase Keparahan dan Kedalaman kemiskinan yang
berpusat di pedesaan ini, menjadi suatu anomaly yang perlu terus kita kritisi, menimbang disaat yang sama, dana desa, sebagai suatu wujud nyata upaya akselerasi pembangunan desa setiap tahun meningkat.
Nomenklatur dana desa dalam APBN baik melalui transfer
daerah maupun anggaran dana desa tersendiri tiap tahun terus meningkat sejak 2015 sebesar Rp20,8 triliun, pada 2016 Rp40 triliun dan pada 2017 rencananya Rp60 triliun. Tentu kita berharap, sejak dua tahun berjalan, dana desa, memiliki dampak nyata mengikis disparitas kesejahteraan di kota dan pedesaan.
Meningkatnya tingkat kedalam dan keparahan kemiskinan
yang berpusat di desa ini, menjadi soal besar yang menganga di hadapan kita, bahwa apakah pembangunan desa melalui dana desa, belum menyentuh inti masalah kemiskinan di desa. Penataan APBN dengan orientasi pembangunan dari desa ke kota, menjadi urgen dan terus dicari titik temu. Dengan harapan anggaran bisa mengikuti program, dan dampaknya, bisa terlihat nyata.*** Kurangi Kesenjangan Sosial, Mendes Luncurkan Indeks Desa Membangun
Yulida Medistiara - detikNews
Share 0Tweet Share 00 komentar
Kurangi Kesenjangan Sosial, Mendes Luncurkan Indeks Desa
Membangun
Foto: Yulida Medistiara
Jakarta - Kesenjangan pembangunan dari desa dan kawasan
kota masih terasa. Pemerintah melakukan sejumlah cara agar disparitas itu bisa dipangkas.
Terkait dengan itu, Menteri Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal (PDT) dan Trasmigrasi Marwan Jafar meluncurkan Indeks Desa Membangun. Ini merupakan program pemerintah untuk membangun desa dan mengurangi kesenjangan desa dan kota.
"Saya ingin menegaskan bahwa Indeks Desa Membangun
yang diluncurkan pada hari ini lebih mengedepankan pendekatan yang bertumpu kepada kekuatan sosial, ekonomi dan ekologi, tanpa melupakan kekuatan politik, budaya, sejarah, dan kearifan lokal," ujar Marwan dalam sambutannya saaat meluncurkan program ini, di gedung Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Trasmigrasi, Jl Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (19/10/2015). Pada rumusannya indeks yang menjadi rujukan pembangunan desa ini tercantum ukuran standardisasi desa, jumlah desa tertinggal, desa yang sangat tertinggal, desa yang sedang dalam proses menjadi mandiri, dan desa mandiri.
Ia berharap apabila indeks ini dipergunakan dengan baik oleh
pemerintah sebagai acuan dalam melakukan afirmasi, integrasi dan sinergi pembangunan, maka akan tercipta kondisi masyarakat desa yang sejahtera, adil, dan mandiri. Sebab, saat ini beberapa desa ada yang masih belum mandiri, ada yang sedang dalam proses menjadi mandiri, dan desa yang telah mandiri.
Hal yang melatarbelakangi indeks ini salah satunya ialah
kesenjangan sosial yang dipengaruhi peningkatnya urbanisasi. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasiona (Susenas), konsumsi per kapita penduduk 40 persen terbawah tumbuh sangat rendah, sementara penduduk 20 persen terkaya justru mencatat pertumbuhan konsumsi yang meningkat pesat.
Saat ini jumlah penduduk kota telah mencapai 49,8 persen
sementara persentase penduduk desa justru mengalami penurunan menjadi hanya 50,2 persen dibandingkan pada tiga puluh lima tahun yang lalu. Jika tren urbanisasi ini dibiarkan, maka diperkirakan tahun 2025 nanti sekitar 65 persen penduduk Indonesia akan berada di kota.
Pada tahun 2014 persentase penduduk desa yang hidup di
bawah garis kemiskinan adalah sebesar 13,8 persen, sedangkan penduduk kota berjumlah lebih kecil yaitu 8,2 persen. Jika ditelisik lebih jauh diketahui bahwa tingkat kemiskinan di desa jauh lebih dalam dan lebih parah dibandingkan di kota.
Hal itu dibuktikan dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan di
kota 1,25 sementara di desa jauh lebih besar yaitu mencapai 2,24. Semakin tinggi nilai indeks ini artinya semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Selain itu, Indeks Keparahan Kemiskinan di kota sebesar 0,31% sementara di desa 0,56%. Semakin tinggi nilai indeks artinya semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Pengembangan Indeks Desa Membangun (IDM) ini
didedikasikan untuk memperkuat pencapaian pembangunan. Hal itu seperti yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019.
"Di dalam rancangan itu, yaitu mengurangi jumlah Desa
Tertinggal sampai 5.000 desa, dan meningkatkan jumlah Desa Mandiri sedikitnya 2.000 desa pada tahun 2019," kata Marwan. Aspek ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi diharapkan menjadi lebih kuat untuk memajukan keberdayaan desa agar lebih mandiri. Oleh karena itu, pemerintah memfokuskan adanya upaya penguatan otonomi desa melalui pemberdayaan masyarakat.
Tujuan utama pemberdayaan masyarakat desa ini untuk
mendorong partisipasi yang berkualitas, meningkatnya pengetahuan, dan peningkatan keterampilan masyarakat. Hal tersebut akan menjadi modal penting dalam menyantuni spirit UU Desa yang telah menempatkan desa sebagai subyek pembangunan.
Marwan menyebut apabila desa menjadi subyek
pembangunan, maka desa akan menjadi entitas yang mendekati sejahtera, makmur dan kedaulatan bangsa akan membaik di mata warga negaranya sendiri dan di mata internasional.
Pada kesempatan peluncuran ini, Marwan juga menyebutkan
soal program unggulan Kementerian Desa. Ketiga program unggulan itu adalah Jaring Komunitas Wiradesa (JKWD), Lumbung Ekonomi Desa (LED), dan Lingkar Budaya Desa (LBD).
"Program unggulan akan selalu dijadikan acuan utama dalam
merumuskan kegiatan-kegiatan prioritas setiap tahun. Program unggulan itulah yang akan menghasilkan dampak terukur bagi peningkatan kemajuan dan kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat desa," imbuh Marwan.
Program Jaring Komunitas Wiradesa dimaksudkan untuk
mengutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan desa sehingga mereka (desa) menjadi subyek- berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Sementara Lumbung Ekonomi Desa ditujukan untuk mendorong berkembangnya geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan ekonomi di desa tempat tinggalnya .
"Ketiga, Program Lingkar Budaya Desa dimaksudkan untuk
mempromosikan pembangunan di mana warga dan komunitas berpartisipasi sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lainnya," tutup Marwan.
Upaya pencapaian ini menargetkan 15.000 desa yang
ditetapkan berdasarkan Indeks Desa Membangun. Di dalam 15.000 desa itu terdiri dari 1.138 desa perbatasan. Semua hal tersebut ditujukan untuk mencapai target dalam RPJMN 2015-2019.
==============
MENGENAL INDEKS PEMBANGUNAN DESA (IPD)
sapa-indonesia-ipd
SAPA INDONESIA - Dalam rapat koordinasi pengembangan
Sistem Informasi Pembangunan Desa (SIPD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Kementerian PPN/ Bappenas pada hari Rabu, 6 Mei 2015, dipaparkan mengenai hasil-hasil Indeks Pembangunan Desa atau IPD. IPD merupakan bagian dari rencana pengembangan Sistem Informasi Pembangunan Desa (SIPD) dan Pembangunan Kawasan Perdesaan yaitu berdasarkan Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 86, yang salah satu ayatnya menyebutkan "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi desa dan pembanguan kawasan perdesaan".
Indeks Pembangunan Desa (IPD) dibangun berdasarkan data
sensus Potensi Desa (Podes) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahunan. Pendataan Podes terakhir dilakukan pada bulan April 2014 yang mendata seluruh wilayah administrasi hingga mulai tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Nantinya diharapkan Podes dapat dilakukan dalam jangka waktu 1 tahunan sebagai data dasar IPD.
Terdapat 5 (lima) dimensi indeks pembangunan desa (IPD)
yaitu pertama Pelayanan dasar, kedua Kondisi infrastruktur, ketiga Aksesibilitas/ transportasi, keempat Pelayanan publik, dan kelima Penyelenggaraan pemerintahan. Dari kelimanya yang mencapai bobot terbesar adalah pelayanan publik (0.0272) kemudian pelayanan dasar (0.0271), sedangkan yang terkecil ialah Kondisi infrastruktur. Dengan bobot tertinggi "pelayanan publik" maka peningkatan pelayanan publik akan mendorong IPD meningkat signifikan. Dari hasil evaluasi pembangunan desa 2014 dapat dibedakan desa-desa berdasar karakteristik Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri, yang kemudian dari masing masing karakteristik dapat dibedakan menjadi "mula", "madya", dan "lanjut". Perkembangan desa tahun 2014 terlihat memusat pada desa berkembang.
IPD mengklasifikasikan Desa menjadi Desa Tertinggal, Desa
Berkembang, dan Desa Mandiri. Secara nasional potret sebaran Desa Tertinggal sebanyak 19.944 desa (26,92%); Desa Berkembang sebanyak 51.127 (69%); dan Desa Mandiri sebanyak 3.022 desa (4,08%) dengan total 74.093 desa sesuai Permendagri 39 Tahun 2015. Target 2019 terdapat pengurangan sebanyak 5000 desa tertinggal, dan peningkatan jumlah sebanyak 5000 desa mandiri.
Dengan klasifikasi desa berindeks "tertinggal" (desa dengan
indeks < 50), kemudian "berkembang" (desa dengan indeks >50 dan < 75), dan "mandiri" (desa dengan indeks >75) maka untuk sementara telah dihasilkan 50 desa tertinggal dan terbawah (lokasi desa tertinggal 50 terbawah), dan 50 desa lokasi desa Mandiri teratas.
Bappenas kemungkinan dalam waktu dekat akan
menyelesaikan pendataan IPD-nya untuk 74.093 desa se- Indonesia. Yuniandono Ahmad | SAPA Indonesia
===
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MADANI DAN
DEMOKRASI
kemiskinan-pemberdayaanmasyarakatmadanidemokrasi
SAPA INDONESIA - MOBILISASI massa, baik demi
membela agama maupun keutuhan bangsa, beberapa waktu lalu menyingkap persoalan serius tentang masa depan demokrasi di negeri ini.
dan kelembagaan politik gagap dan gagal berhadapan dengan tekanan massa. Pada saat bersamaan, polarisasi kultural dan ideologis semakin meluas. Tanpa antisipasi, demokrasi sebagai konsensus bangsa menjadi taruhannya.
Kekhawatiran beralasan karena civil society sebagai penopang
penting demokrasi belum berfungsi. Merujuk pengalaman negara-negara maju, civil society merupakan kekuatan pokok yang berperan untuk mencegah totalisasi kekuasaan negara di satu sisi dan memberadabkan masyarakat di sisi lain. Dengan itu, civil society mampu mencegah berkembanganya dua musuh utama demokrasi, yakni totaliterisme negara dan anarkisme massa.
Melimpah, tetapi terbelah
Alexis de Tocqueville memahami civil society sebagai
wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), kemandirian, dan keterikatan dengan norma-norma serta nilai-nilai hukum (Hikam, 1992, dan Culla, 2005). Nilai-nilai itu merupakan prasyarat penting demokrasi.
Mengacu pada pandangan tersebut, civil society mencakup
semua organisasi masyarakat sipil (OMS) yang visi dasarnya semata-mata untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat. Organisasi dimaksud meliputi LSM, ormas sosial dan keagamaan, paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan, media massa, dan sebagainya.
Secara kuantitatif, OMS terus tumbuh dan melimpah,
terutama setelah kejatuhan Orde Baru. Liberalisasi politik merupakan ranah subur bagi tumbuhnya OMS. Berbagai sumber mencatat bahwa jumlah OMS saat ini 139.957 buah. Jumlah itu tersebar di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan HAM. Jika diakumulasi dengan yang belum terdaftar di lembaga-lembaga pemerintah, jumlahnya tentu lebih fantastis lagi.
Sekiranya pendirian berbagai OMS murni untuk memajukan
masyarakat, maka kehadirannya akan menjadi kekuatan yang menentukan bagi mekarnya demokrasi. Wadah- wadah masyarakat untuk berhimpun dan berkembang tersedia di mana-mana. Negara juga mendapat kemudahan menemukan mitra dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan.
Akan tetapi, persis di sinilah persoalannya. Banyak OMS
didirikan tanpa visi yang jelas, persiapan matang, dan melibatkan aktor yang benar-benar kompeten. Tidak sedikit OMS yang keberadaannya hanya indah di atas kertas karena memang tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan berbagai aktivitas. Yang paling menggelisahkan, banyak OMS didirikan semata-mata untuk menganalisasi hasrat politik dan ekonomi kelompok tertentu.
Fenomena serupa dialami media massa dan kelompok
cendekiawan. Beberapa media tak lagi fokus pada aspek informasi dan edukasi, tetapi juga menyediakan diri sebagai alat untuk menekan lawan politik. Penggiringan berita dan opini sudah menjadi lazim. Begitu pula kelompok cendekiawan, terutama lembaga survei dan pendidikan tinggi. Rasionalitas dan obyektivitas survei dikorbankan demi kepentingan sesaat. Sama halnya, kewibawaan kelompok cendekiawan tergerus akibat praktik korupsi di dunia pendidikan. Beragam persoalan itu menyulitkan OMS untuk berdialog, saling belajar, menyatukan visi, dan menyinergikan program. Sebaliknya, berbagai OMS terus berada dalam iklim persaingan kurang sehat, saling mencurigai, membenci dan mengancam. Ujungnya, OMS terpecah belah dan sulit dikoordinasikan akibat rendahnya rasa saling percaya ataupun saling membutuhkan.
Pembenahan mendasar
Mengingat pentingnya OMS bagi demokrasi, pembenahan
atasnya merupakan kebutuhan mendesak. Langkah ini penting untuk memberdayakan civil society agar terbiasa berpikir kritis dan otonom sehingga mampu menyikapi berbagai persoalan secara rasional dan bijaksana.
Di atas segalanya, pembenahan tersebut dibutuhkan agar
OMS tidak lagi dijadikan obyek mobilisasi kelompok tertentu untuk kepentingan politik sempit berjangka pendek.
Setidaknya ada dua strategi pembenahan civil society, yakni
secara internal dan eksternal. Secara internal, civil society perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kiprah dan kinerjanya, terutama pada era reformasi. Selain untuk melihat kekuatan dan prestasi civil society dalam kerangka demokrasi, evaluasi tersebut juga berperan untuk memetakan persoalan-persoalan yang membuatnya kurang berdaya guna memajukan demokrasi. Pemetaan tersebut menjadi dasar bagi civil society untuk menyusun strategi dan agenda bersama demi perbaikan pada masa mendatang.
Langkah antisipatif
Secara eksternal, pemerintah perlu mengambil langkah-
langkah antisipatif, terutama terhadap OMS yang secara ideologis dan praksis terbukti bertindak melawan kesantunan sosial dan mengembangkan mekanisme kekerasan dalam menyikapi berbagai persoalan.
Pertama, penertiban ideologi OMS. Pancasila sudah menjadi
konsensus nasional untuk menjadi ideologi bangsa. OMS yang terbukti menganut ideologi lain harus dinyatakan terlarang dan dibubarkan. Untuk itu, revisi UU No 17/2013 tentang Ormas, terutama pengaturan soal pembubaran yang terkesan bertele-tele, mendesak dilakukan.
Kedua, perketat syarat pendirian OMS. Perlu dikaji mendalam
ideologi, visi, program, dan aktor-aktor yang terlibat. Pemenuhan syarat-syarat tersebut mutlak perlu agar kehadiran OMS benar-benar didayagunakan untuk kemajuan demokrasi sekaligus mencegah tindakan- tindakan yang bertentangan dengan semangat kebangsaan. Ketiga, perketat pembinaan dan pengawasan. Pemerintah perlu mengintensifkan agenda-agenda pembinaan terhadap berbagai OMS agar benar-benar bisa diandalkan sebagai kekuatan pemberdayaan civil society di Indonesia. Secara simultan, pemerintah perlu terus mengawasi OMS sebagai skenario untuk membuat demokrasi semakin terkonsolidasi.
Oleh: ROMANUS NDAU LENDONG, PIMPINAN PUSAT
KOLEKTIF KOSGORO 1957, JAKARTA
Partisipasi Masyarakat dan Masyarakat Madani
Oleh Admin KeuLSM / Senin 18 Januari 2016 / Tidak ada
komentar
Bangunan konsensus sosial inilah yang disebut sebagai
societal guidance atau societal directives yang umumnya berisikan arah, tujuan, cara, dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan.
partisipasi-masyarakat-dan-masyarakat-madani
Partisipasi Masyarakat dan Masyarakat Madani
Masyarakat madani hanya bisa lahir dari sebuah komunitas yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan. Menurut pandangan Etzoni (1967), partisipasi berkaitan dengan proses pembebasan manusia, sedangkan proses pembebasan hanya bisa direalisasi oleh manusia bebas. Dengan perkataan lain, pembangunan komunitas pertama- tama harus difokuskan pada usaha membebaskan manusia dari realitas yang menghambat being (proses menjadi), yakni hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan, ancaman, ketakutan, dan penindasan dari pihak eksternal yang merasa lebih berpengetahuan, berpangkat, berjabatan dan lain sebagainya.
Namun demikian, bila kita mau jujur, hampir di setiap lini
profesi kehidupan kita masih berakar sikap-sikap munafik dan feodalisme terutama pada golongan yang berpengetahuan, berpangkat, berjabatan untuk berkecenderungan menindas pihak yang lemah. Dengan perkataan lain, bila kita ingin membangun masyarakat madani di mana masyarakat bisa bebas berpartisipasi, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah menghapuskan kultur penindasan ini. Mereka yang berpengetahuan, berpangkat, berjabatan harus bisa mewujudkan jargon to lead the people, walk behind them.
Societal guidance
Partisipasi selanjutnya memerlukan keterlibatan masyarakat
secara aktif. Pertanyaannya adalah aktif untuk tujuan apa? Dalam konteks pemberdayaan, jawaban ini tidak boleh ditentukan secara sepihak oleh pihak eksternal seperti yang “berpengetahuan, berpangkat, berjabatan” tadi. Komunitas harus diberdayakan untuk merumuskannya sendiri melalui sebuah proses pembangunan konsensus di antara berbagai individu dan kelompok sosial yang memiliki kepentingan dan menanggung risiko langsung (stakeholder) akibat adanya proses atau intervensi pembangunan-baik pembangunan ekonomi, sosial maupun lingkungan fisik. Bangunan konsensus sosial inilah yang disebut sebagai societal guidance atau societal directives yang umumnya berisikan arah, tujuan, cara, dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana membangun
konsensus yang mampu mengaktifkan masyarakat untuk menolong diri mereka sendiri? Dan apa peran pemberdayaan yakni mereka yang berpengetahuan-berpangkat-berjabatan dan sekaligus membawa dana-dalam pembangunan komunitas?.
Disarikan dari buku: Menyuarakan Nurani Menggapai
Kesetaraan (LSM disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah (ornop), Penerbit: Kompas, Hal: 120-121.
Persebaran Desa menurut Indeks Desa Membangun
Indeks Desa Membangun dan Pembangunan Desa
2 Balasan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (PDTT) meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) pada Oktober lalu. Menurut Marwan Jafar, IDM bisa dijadikan rujukan untuk pengentasan jumlah desa tertinggal dan meningkatkan jumlah desa mandiri di Indonesia. Penentuan IDM dengan meletakkan prakarsa dan kuatnya kapasitas masyarakat sebagai basis utama proses kemajuan dan pemberdayaan desa. IDM menggunaan pendekatan yang bertumpu pada kekuatan sosial, ekonomi dan ekologi tanpa melupakan kekuatan politik, budaya, sejarah, dan kearifan lokal.
IDM ini sendiri dibuat untuk memperkuat pencapaian dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. IDM dipakai sebagai acuan dalam melakukan afirmasi, integrasi, dan sinergi pembangunan. Harapannya untuk mewujudkan kondisi masyarakat desa yang sejahtera, adil dan mandiri.
Desa Membangun Indonesia tetap dihadapkan pada kenyataan
kemiskinan di Desa. Maka, ketersediaan data dan pengukuran sangat dibutuhkan. Khususnya dalam pengembangan intervensi kebijakan yang mampu menjawab persoalan dasar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pencapaian pemerataan keadilan merupakan isu penting
dalam pembangunan nasional, dan tentu juga dalam pembangunan Desa. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang inklusif, di mana pengelolaan potensi ekonomi Desa dan Kawasan Perdesaan tidak hanya mampu menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja lulusan SD/SMP, tetapi juga ramah keluarga miskin, mampu memperbaiki pemerataan dan mengurangi kesenjangan. Perhatian khusus terhadap usaha mikro di Desa haruslah dikedepankan yang memang nyata perlu dukungan dalam hal penguatan teknologi yang ramah lingkungan, pemasaran, permodalan dan akses pasar.
Klasifikasi dan status desa
Indeks Desa Membangun mengklasifikasi Desa menjadi lima
status yakni Desa sangat tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju, dan Mandiri. Klasifikasi dalam lima status itu untuk mempertajam penetapan status perkembangan desa sekaligus sebagai rujukan intervensi kebijakan. Status Desa Tertinggal misalnya dibadi menjadi dua status yakni Desa Sangat Tertinggal dan Desa Tertinggal. Asumsi yang ingin dibangun, afirmasi kebijakan untuk Desa Sangat Tertinggal tentu berbeda dengan Desa Tertinggal.
Dimensi Indeks Desa Membangun
Dimensi Indeks Desa Membangun
Desa berkembang terkait dengan situasi dan kondisi dalam
status Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal dijelaskan dengan faktor kerentanan. Apabila ada tekanan faktor kerentanan seperti goncangan ekonomi, bencana alam, atau konflik sosial maka dapat memengaruhi status Desa Berkembang turun menjadi Desa Tertinggal. Sementara, apabila Desa Berkembang mempunyai kemampuan dalam mengelola potensi, informasi / nilai, inovasi / prakarsa, dan kewirausahaan akan mendukung gerak kemajuan Desa Berkembang menjadi Desa Maju. Indeks Desa Membangun merupakan komposit dari ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi.
Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas
Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas
Status IDM berbeda dengan Indeks Pembangunan Desa (IPD)
yang dikeluarkan oleh Bappenas. Bappenas membagi perkembangan status desa dalam tiga klasifikasi yakni Desa Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri. Masing-masing status terbagi lagi menjadi tiga perkembangan, mula, madya dan lanjut. Terdapat lima dimensi dalam IPD antara lain: pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas / transportasi, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan menggunakan data sensus Potensi Desa (Posdes)
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada April 2014, kita lihat perbandingan antara Indeks Desa Membangun dengan Indeks Pembangunan Desa.