Anda di halaman 1dari 20

Dari Desa

Lama

Menuju

Desa Baru
Dicky Budi Setiawan 2114211003
Restu Ramadhani 2114211025
KELOMPOK 2
Derby Kaloko 2114211029
Yohana Wulandari 2114211031
Pada th 1976
di kemukakan majalah karya LP3ES,

PRISMA, dengan tema Desa, mau di bawa

kemana?

1. membangun prasarana fisik desa


orde baru 2. pendidikan
3. sosial
4. ekonomi
hasil pembangunan orde baru :
1. mengubah wajah fisik desa
2. mengantarkan mobilitas desa

kendala :
tidak menghasilkan transformasi
desa yang baik (Sutoro Eko, 2005).

penyebab : UU ini tidak mengakui, menghormati dan

memperkuat otonomi desa


Kelahiran UU No. 22/1999
konsideran UU ini menegaskan
“bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan,

dan kedudukan pemerintahan Desa tidak sesuai dengan jiwa

Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta

menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga

perlu diganti”.

Pembaharuan desa
embrio teori preskripsi (berorientasi ke depan) tentang

perubahan desa menuju kehidupan desa yang demokratis,

mandiri, sejahtera dan berkeadilan


teori preskripsi,

pembaharuan desa
mengandung dua

dimensi penting.
Pertama

1. refleksi terhadap pengalaman Kedua, pembaharuan desa adalah

masa lalu, baik secara empirik sebuah proses transformasi


maupun paradigmatik. untuk mencapai desa baru yang lebih

2. bentuk refleksi atas kehancuran


baik dan bermakna melalui
struktural kehidupan desa
upaya gerakan sosial
(demokrasi, otonomi, (Dadang Juliantara, 2002; Himawan Pambudi,2003; Yando Zakaria, 2004 d
kesejahteraan dan keadilan) Mangku Purnomo, 2004).

3. bentuk refleksi atas kegagalan


modernisasi paradigma
visi pembaharuan desa
Himawan Pambudi (2003)
tercapainya tatanan politik, ekonomi dan budaya baru di desa yang bersendikan

kedaulatan politik, kemandirian dan keadilan ekonomi serta budaya demokratis-egaliter

Mangku Purnomo (2004)


mencapai keswadayaan ekonomi, kemandirian politik dan kemapanan kelembagaan

lokal menuju desa yang otonom, mandiri, makmur dan mumpuni.

Yando Zakaria (2004)


terciptanya desa masa depan yang berlandaskan pada tiga fondasi: keadilan, demokrasi

dan kemajuan.

dua kata kunci penting dalam pembaharuan desa:


transformasi dan gerakan sosial
risau dengan UU No. 22/1999, termasuk

risau dengan konflik antara kepala desa dan

Badan Perwakilan Desa dan di anggap

terlalu liberal.
DPR tidak memberikan respons dengan

baik, dengan mengatakan bahwa DPR

tidak menyentuh isu desa


pemerintahan

Megawati
Melalui perdebatan yang panjang dan dalam,

Kehadiran UU tentang Desa setidaknya

menjadi peletak dasar perubahan desa secara

fundamental, meskipun secara empirik telah

terjadi perubahan desa secara inkremental


selama satu dekade terakhir.
DESA LAMA di pandang :
kampung halaman
wilayah administrasi dan organisasi
pemerintahan paling kecil, bawah dan
rendah dalam hirarkhi pemerintahan di
Indonesia (pemerintah)
masyarakat tanpa pemerintah dan
pemerintahan (libertarian)

dampak cara pandang terhadap desa :


melahirkan Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM) dari berbagai kementerian, yang
desa seharusnya di pandang sebagai
negara kecil yang ada di negara besar
diberikan bukan kepada desa melainkan
kepada masyarakat.
Desa dan warga merupakan jantung
persoalan UU Desa.

POSISI DAN
Konstruksi awal yang muncul adalah bahwa
desa merupakan bagian dari daerah, sebab

RELASI BARU desentralisasi hanya berhenti


kabupaten/kota. (tidak di setujui oleh
di

sejumlah orang sebab sebagai asas untuk


menempatkan kedudukan desa yang
berbeda dengan kedudukan daerah)
PENATAAN ULANG DESA
dijadikan unit pelaksana teknis

Desa harus dimasukkan dalam sistem


kecamatan/menjadi kelurahan
pemerintahan formal (pengintegrasian ke dalam

kabupaten/kota)

dijadikan kesatuan masyarakat hukum adat dijadikan daerah otonom berbasiskan adat

yang dimasukkan dalam sistem formal istiadat


(konsepsi Soepomo) (konsepsi Hatta dan Yamin).

dijadikan daerah otonom berbasiskan adat


(konsepsi Hatta dan Yamin)


Ketika rekognisi dan subsidiaritas sudah ditetapkan

secara resmi sebagai asas pertama dan kedua bagi

kedudukan desa dalam UU No. 6/2014, banyak

Perdebatan yang panjang

akademisi menyampaikan pertanyaan terkait

antara DPR dan

pemerintah akhirnya
penggunaan rekognisi.
membuahkan

kesepakatan bahwa desa


Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam teori

berdasarkan pada Pasal 18


hubungan pusat dan daerah dan lebih di kenal

B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7

pembicaraan tentang multikulturalisme, yang

serta berasaskan

rekognisi dan

menghasilkanperbedaan dan keragaman identitas baik

subsidiaritas. suku, agama, warna kulit, seks, keadilan, kewargaan dan

kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan

desentralisasi.
pengertian rekognisi
“politik universalisme”, berpacu pada otonomi individu, kelompok

atau komunitas dengan cara menjamin hak.


Charles Taylor (1992)
“politik perbedaan”, berpacu pada identitas individu, kelompok

atau komunitas dengan cara menghormati dan membolehkan

mereka melindungi budayanya.

(a) menghormati kesamaan status dan posisi;


Axel Honneth (1996)
(b) menghargai keberagaman atau keunikan.

perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan.


Nancy Fraser (1996) Tujuan memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap

identitas kultural yang berbeda dan adanya keadilan sosial ekonomi.


PEMAHAMAN REKOGNISI

Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus

(seperti Quebec di Canada maupun Wales, Skotlandia dan

Irlandia Utara di Inggris Raya), masyarakat adat (indigenous

people), kelompok-kelompok minoritas, Afro Amerika,

gender, kelompok-kelompok budaya atau identitas tertentu

yang berbeda
ALASAN MENGGUNAKAN ASAS REKOGNISI

Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat.

Kedua, desa merupakan


entitas yang sudah ada


sebelum NKRI lahir pada


Ketiga, desa merupakan bagian dari

tahun 1945, yang sudah


keragaman atau multikulturalisme

Indonesia yang tidak serta merta

memiliki susunan asli

bisa diseragamkan.
maupun membawa hak asal

usul.
ALASAN MENGGUNAKAN ASAS REKOGNISI

Keempat, dalam lintasan

sejarah yang panjang, desa

secara struktural menjadi

arena eksploitasi terhadap


Kelima, konstitusi telah memberikan

tanah dan penduduk,

amanat kepada negara untuk

sekaligus diperlakukan

mengakui dan menghormati desa

secara tidak adil mulai dari

atau yang disebut dengan nama lain

kerajaan, pemerintah
sebagai kesatuan masyarakat hukum

kolonial, hingga pemerintah


adat beserta hak-hak tradisionalnya.
NKRI.

Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai

dengan asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas

berlawanan dengan asas residualitas yang

selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004.


Asas residualitas yang mengikuti asas

desentralisasi menegaskan bahwa seluruh

kewenangan dibagi habis antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di

tangan pemerintah kabupaten/kota


Penerapan asas rekognisi juga disertai dengan

asas subsidiaritas
Pertama, urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala

lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling

dekat dengan masyarakat


Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi,

melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan

desa melalui undang-undang.


Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas

terhadap kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan

fasilitasi terhadap desa.


Membangun Desa dan Desa

Membangun

Pembangunan desa merupakan kreasi dan ikon

Orde Baru, yang muncul pada Pelita I (1969-1974)

yang melahirkan Direktorat Jenderal

Pembangunan Desa di Departemen Dalam Negeri.

Desa maupun membangun

desa menjadi bagian dari

pembangunan perdesaan.
Desa hadir sebagai sebuah

kesatuan kolektif antara

pemerintah desa dan

masyarakat desa.
Desa
Dana Alokasi Desa dari

pemerintah sebagai bentuk

redistribusi ekonomi dari


Menggerakkan
negara dan menjamin

keadilan ekonomi bagi desa


Pembangunan Desa mempunyai pemerintah desa

yang kuat dan mampu menjadi

penggerak potensi lokal dan

memberikan perlindungan secara

Kemandirian desa yang

langsung terhadap warga, termasuk

ditopang dengan

kaum marginal dan perempuan yang

kewenangan, diskresi dan

lemah.
kapasitas lokal

Anda mungkin juga menyukai