Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ahmad Fauzi

NIM : 190905068
Mata Kuliah / Prodi : Kajian Etnografi II / Antropologi Sosial
Dosen : Dr., Drs. Fikarwin Zuska, M.Antropologi
Hari / Tanggal : Jum’at / 6 November 2020

1. Temukanlah 'conceptual framework' (kerangka konseptual) yang terdapat dalam buku ini:
Abih Tandeh --Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, karya R. Yando Zakaria.
Jakarta: ELSAM, 2000.

Jawab :

Menurut saya, Kerangka Konseptual yang terdapat di dalam buku ini adalah pada
Pemerintahan Orde Baru terdapat UU No.5 /1979 dan UU Pemerintahan Daerah No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa atas Masyarakat Adat yang memiliki dampak
khususnya terhadap struktur kekuasaan Masyarakat Adat di Ambon dan Maluku.
Pemerintahan Orde Baru meluluhlantakkan struktur kekuasaan Masyarakat Adat, tidak hanya
di Ambon maupun Maluku namun juga dialami oleh Masyarakat Adat di Nusantara ini.

Eksplanan Eksplanandum
Pemerintahan Orde Baru

Struktur Kekuasaan
UU Pemerintahan Daerah
Masyarakat Adat dan
No. 5 Tahun 1979
Pemerintahan Desa

UU Pemerintahan Daerah
No. 22 Tahun 1999

2. Bagaimanakah konstruksi berpikirnya mengenai permasalahan yang dikajinya?


Jawab :

Beliau adalah seorang antropolog, pelayan gerakan penyelamatan lingkungan, dan


pemikir pembaruan agraria, yakin bahwa episentrum dari perubahan kemasyarakatan yang
paling genting dalam satu generasi yang silam adalah desa. Menulis dalam tradisi advokasi
hak, Yando berhasil memberikan kesaksian yang sarat dengan contoh kasus, tentang
bagaimana ·reformasi yang dilakukan Soeharto pada desa lewat penyeragaman arti, cakupan
kelola, pengurusan, dan pengendaliannya telah berhasil menghancurkan apa yang
sebelumnya dipunyai oleh masyarakat desa.
Habis tandas! Kerja keras penulis dan ketelitiannya memaparkan relung-relung hitam
dari berbagai instrumen politik negara menjadikan buku ini sebuah buku acuan yang akan
tetap penting dibaca.
Nama : Ahmad Fauzi
NIM : 190905068
Mata Kuliah / Prodi : Kajian Etnografi II / Antropologi Sosial
Dosen : Dr., Drs. Fikarwin Zuska, M.Antropologi
Hari / Tanggal : Jum’at / 6 November 2020
Titik berat kajian penulis pada intervensi negara terhadap kesatuan-kesatuan
masyarakat desa di seluruh kepulauan sangat tepat waktu, ketika Desa sebagai instrumen
politik negara kehilangan dasar pijakan hukumnya dan sekaligus kekuatan ideologisnya.
Dalam hal ini Yando menawarkan sebuah varian teori modernisasi dengan pemetaan
keragaman kemasyarakatan di kepulauan berdasarkan daya adaptasinya terhadap kemajuan.
Pengingkaran adanya pelapisan vertikal dari "keragaman horisontal", yang menurut
beliau merupakan watak mutakhir dari masyarakat majemuk kepulauan, menjadikan strategi
penyeragaman pemerintahan desa di akhir tahun Tujuh puluhan sebuah bencana terutama
bagi masyarakat peramu, pekebun dan petani - anasir utama masyarakat perdesaan.
Menurut beliau, analisis yang dikemukakan oleh Furnivall dan Geertz baru
menyanglrut 'aspek formal' dan/ atau ‘normatif’ & dari diskursus masyarakat majemuk.
Betapapun, seperti yang dikemukakan Burhanuddin dan Kusnadi, secara umum, dari waktu
ke waktu konsep masyarakat mejemuk berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan umat
manusia.
Betapapun, kompleksitas masyarakat majemuk, menurut Usman Pelly, antropolog
senior dari IKIP Medan, dengan demikian, tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan
horisontal, seperti berdasarkan ras, suku-bangsa, bahasa, dan agama melainkan juga ditandai
oleh perbedaan-perbedaan secara vertikal, yakni capaian yang diperoleh melalui prestasi
(achievement), yang ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat sosial-
ekonomi, kedudukan politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan, dan kondisi
permukiman.
Dengan demikian, menurut pandangan itu, kemajemukan vertikal dapat saja terjadi di
dalam kelompok-kelompok masyarakat yang terkategorisasi ke dalam pengelompokan secara
horisontal. Dengan sendirinya, menurut beliau, dengan dimasukkannya aspek capaian (aspek
dinamis) dari unsur pembeda di dalam konsep masyarakat majemuk, pada dasarnya karakter
kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia sudah sejak lama dicirikan oleh
pembeda-pembeda secara horisontal maupun vertikal itu.
Artinya, kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi bagian Indonesia itu tidak
hanya terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda secara ras, suku bangsa,
bahasa, dan agama, melainkan juga dapat dibedakan berdasarkan daya adaptasinya (sebagai
hasil dari suatu proses pencapaian tertentu) atas perkembangan-perkembangan aktual yang
ada di sekitar mereka. Baik yang terjadi di dalam 'kelompok-kelompok horisontal' itu sendiri,
maupun, dan ini yang lebih penting, antar 'kelompok kelompok horisontal' itu sendiri.
Yang ingin dikatakan adalah bahwa dalam memandang kemajemukan dalam
masyarakat Indonesia tidaklah cukup hanya dipahami dari sudut kemajemukan horisontal
semata. Justru, yang terpenting, adalah dimensi vertikal itu sendiri. Terutama vertikalisasi
antara kelompok-kelompok yang terkategorisasikan secara horisontal itu. Sebab, perbedaan
daya adaptasi antar kelompok-kelompok yang berbeda secara ras, suku-bangsa, agama, dan
bahasa itu, dapat menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan
kebudayaan dalam pengertian sebagai daya adaptasi yang lebih 'tinggi' meniadakan
Nama : Ahmad Fauzi
NIM : 190905068
Mata Kuliah / Prodi : Kajian Etnografi II / Antropologi Sosial
Dosen : Dr., Drs. Fikarwin Zuska, M.Antropologi
Hari / Tanggal : Jum’at / 6 November 2020
keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang masih hidup pada tingkatan perkembangan
kebudayaan yang lebih 'rendah'. Baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Dalam penelitian yang dilakukan di 10 propinsi ini terungkap bahwa terdapat
dinamika pemberlakuan UUPD No. 5/ 1979, yang telah diberlakukan hampir 10 tahun
lamanya itu, sangat bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Antara lain,
D.I. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat
Sulawesi Utara, Tengah dan Selatan, begitu pula di Maluku Utara, Maluku Tengah, Maluku
Tenggara, dan di NTT. Tim Peneliti YIIS berkesimpulan bahwa terdapat 10 permasalahan
utama-beberapa disertai rekomendasi alternatif solusi yang mungkin dilakukan dan perlu
dicermati dalam pemberlakuan UUPD No. 5/1979. Masing-masing adalah:
(1) desa lama di Sumatera tidak dijadikan desa baru;
(2) desa-desa baru kecil (wilayah dan jumlah penduduknya) yang kurang potensi;
(3) pada umumnya desa baru kurang sumber penghasilan;
(4) kepala desa dan perangkat desa kekurangan penghasilan;
(5) administrasi desa (yang terlalu rumit untuk ukuran/tingkat pendidikan personil
pemerintahan desa);
(6) banyak desa belum punya kantor desa sendiri;
(7) tidak banyak orang yang berminat menjadi kepala desa;
(8) Pengadilan Adat (berkait dengan kerancuan peran tradisional kepala desa lama
dalam tatanan kewenangan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
baru);
(9) LMD dan LKMD (kekaburan fungsi, peran dan mekanisme serta ketiadaan
legitimasi adat dalam struktur pemerintahan desa baru di mata masyarakat desa
yang terbiasa "hidup bermasyarakat" dalam tatanan/ sistem sosial tradisional).
(10) kurangnya kepekaan para pejabat terhadap masalah pemerintahan di tingkat desa.

Anda mungkin juga menyukai