Anda di halaman 1dari 14

NAMA : Anugrah Pajar Maulana

NIM : B1B121053
DOSEN PENGEMPU : M. Yusuf, S.Sos., M,I.P.
MATA KULIAH : Adat dan Negara - Senin 07.00 (Ruang 07)

RESUME
11 JURNAL ADAT DAN NEGARA

Jurnal 1
DIMENSI KEKUASAAN PENGHULU ADAT MELAYU RIAU DALAM
PELAKSANAAN DEMOKRASI LOKAL
Oleh: Asrinaldi, Azwar

Artikel ini membahas peran penghulu adat Melayu di Riau dalam konteks
implementasi demokrasi lokal. Penghulu adat memiliki legitimasi dari komunitas
untuk menjaga dan melestarikan sistem nilai budaya Melayu. Melalui kedekatan
emosional dengan masyarakat, penghulu adat membentuk budaya politik subjektif
yang kuat, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Masyarakat Riau memiliki pandangan yang khas terhadap adat dan budaya
Melayu, dengan perbedaan antara masyarakat Melayu daratan dan pesisir.
Meskipun terdapat dua aliran kebudayaan yang berbeda, keduanya saling
melengkapi dan bersebati, terutama di daerah-daerah yang berdekatan geografis.
Kebudayaan Melayu terbuka terhadap asimilasi dengan budaya lain, seperti Jawa,
Bugis, dan Banjar, yang mempengaruhi adat dan tradisi Melayu. Hal ini juga
berdampak pada komposisi penduduk Riau, yang menyebabkan munculnya istilah
"orang Riau" sebagai identitas yang lebih dominan daripada "orang Melayu Riau".
Eksistensi orang Melayu Riau yang terbagi pada dua geografi Melayu
daratan dan Melayu pesisir ditambah dengan keberadaan orang Riau dengan
bebagai etnis berdampak pada konstelasi politik dan demokrasi lokal yang ada. Hal
ini bisa dilihat dari pelaksanaan otonomi daerah yang memunculkan semangat
kemelayuan dengan memunculkan isu putera daerah di awal pelaksanaan otonomi
daerah. Begitu juga dengan pemilihan gubernur munculnya keinginan untuk
memadukan dua geografi ini, yaitu calon yang berasal dari Melayu pesisir dengan
Melayu daratan. Dari sisi lain, keterwakilan orang Riau yangjumlahnya juga
signifikan di Provinsi Riau juga harus dipertimbangkan sebagai bentuk tambahan
dukungan dalam Pilkada tersebut.

Jurnal 2
Pengabaian Negara, Kemunduran Gereja, dan Kekuasaan Adat: Rebutan
Kekuasaan di Adonara, Flores Timur
Oleh: Longgina Novadona Bayo

Jurnal ini membahas bagaimana adat berhasil menjadi kekuatan dominan di


Adonara, menggantikan peran Negara dan gereja yang mengalami penurunan
dalam pembangunan masyarakat. Desain kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah memberikan ruang bagi ekspresi lokal untuk menegaskan identitasnya,
sehingga adat mampu merayakan diri sebagai institusi lokal terkuat di Adonara.
Adat berhasil menjadi kekuatan dominan di Adonara melalui beberapa faktor dan
mekanisme, seperti:
• Warisan Budaya: Adat telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat
Adonara selama bertahun-tahun. Nilai-nilai, norma, dan tradisi adat telah tertanam
kuat dalam budaya dan identitas masyarakat Adonara.
• Kekuatan Historis: Sejarah panjang adat di Adonara telah memberikan legitimasi
dan otoritas yang kuat bagi sistem adat dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Pengalaman historis juga memperkuat posisi adat sebagai penjaga tradisi dan nilai-
nilai lokal.
• Kegagalan Negara: Kelalaian Negara dalam memberikan pelayanan dan
pembangunan yang memadai bagi masyarakat Adonara telah membuka celah bagi
adat untuk mengisi kekosongan tersebut. Adat menjadi alternatif yang lebih dapat
diandalkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
• Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desain kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah memberikan ruang bagi ekspresi lokal dan penguatan identitas budaya. Hal
ini memungkinkan adat untuk semakin menegaskan peran dan kekuatannya dalam
mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kombinasi faktor-faktor di atas, adat
berhasil menjadi kekuatan dominan di Adonara dengan memainkan peran sentral
dalam pengorganisasian masyarakat dan mempengaruhi proses perubahan sosial di
wilayah tersebut.

Jurnal 3
Kuatnya Adat, Didominasi Negara: Dominasi Pejabat Adat Atas
Pemerintahan Desa di Kabupaten Kerinci
Oleh
Rio Yusri Maulana, Makmun Wahid, Dori Efendi, Moh. Arif Rakhman, M.
Yusuf, Michael Lega

Fungsionaris adat memiliki pengaruh yang kuat dalam pengambilan


keputusan di tingkat desa melalui beberapa mekanisme. Salah satunya adalah
melalui keterlibatan mereka dalam proses pemilihan Kepala Desa, di mana mereka
dapat memengaruhi proses tersebut mulai dari pemilihan panitia pemilihan hingga
pengawasan pemilihan Kepala Desa. Selain itu, fungsionaris adat juga dapat
memanfaatkan otoritas mereka dalam pembuatan kebijakan, terutama dalam hal
pembangunan fisik, urusan administrasi desa, dan kebijakan yang berhubungan
langsung dengan pemerintah pusat. Kolaborasi antara pemerintah desa dan
fungsionaris adat juga memungkinkan pemerintah desa untuk memperoleh
legitimasi dan dukungan dari masyarakat adat dalam pelaksanaan kebijakan
mereka. Identitas adat yang kuat dapat memengaruhi dinamika pemerintahan dan
kebijakan publik di wilayah tersebut dengan beberapa cara. Pertama, keberadaan
fungsionaris adat yang memiliki otoritas tradisional dapat memperkuat legitimasi
kebijakan pemerintah desa di mata masyarakat setempat. Hal ini dapat menciptakan
stabilitas sosial dan kepercayaan dalam pelaksanaan kebijakan publik. Kedua,
identitas adat yang kuat juga dapat mempengaruhi agenda kebijakan yang
diprioritaskan oleh pemerintah desa. Fungsionaris adat seringkali memiliki
pengetahuan mendalam tentang nilai-nilai adat dan kebutuhan masyarakat lokal,
sehingga kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih sesuai dengan kebutuhan dan
nilai-nilai lokal. Selain itu, identitas adat yang kuat juga dapat memperkuat
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan memperkuat
peran fungsionaris adat sebagai perwakilan masyarakat adat, kebijakan publik yang
dihasilkan cenderung lebih inklusif dan mewakili kepentingan seluruh komunitas.
Secara keseluruhan, identitas adat yang kuat dapat menjadi sumber kekuatan bagi
pemerintah desa dalam merumuskan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan
lokal dan memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat adat.

Jurnal 4
Eksistensi Pemangku Adat Dalam Pengambilan Keputusan Desa Di Kerinci
Oleh: M. Yusuf Universitas Jambi, Indonesia, Gina Nabilah Effendi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia
lembaga adat dalam kaitannya hubungan relasi dengan pemerintah desa,
lembaga adat di Kerinci memiliki kepemimpinan adat yang dinamakan ninik
mamakdimana ninik mamakmenjadi lembaga penting dalam proses pengambilan
keputusan di desa karena merupakan bagian dari lembaga adat yang memiliki
kedudukan tinggi dan tidak bisa hilang dalam kehidupan masyarakat desa.
Beberapa peran penting dari lembaga adat yang dapat dilihatyaitu (1) sebagai
sebuah lembaga pertimbangan desa dalam penetapan keputusan (2) sebagai
lembaga sosial kemasyarakatan yang membantu dan mewakili masyarakat dalam
pembangunan desa serta (3) sebagai lembaga peradilan adat desa untuk
menyelesaikan masalah-masalah desa.
Penelitian ini menemukan hubungan antara pemerintah desa dan adat kasta
negara di wilayah Kerincidan Dominasi lembaga adat dapat terlihat pada
pengambilan keputusan dalam urusan pemerintahan desa. Kekuatan adat muncul
bukan atas dasar negara atau pemerintah yang lemah tetapi karena menguatnya
sistem sosial kebudayaan dalam masyarakat di Kerinci dikenal ninik mamakyang
mampu mendominasi negara atau pemerintah. Penelitian ini memperlihatkan
fenomena kekuatan adat yang disandingkan dengan pemerintahan desa dimana
Kerinci memperlihatkan eksistensi adat dalam pemerintah desa sebagai modal yang
kuat dan kokoh dalam pelaksanaan pemerintah terutama dalam hal pengambilan
kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa.
Jurnal 5
Peran Kaum Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa di Lima Desa
Dalam Kedepatian Semerap Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi
Oleh
Yasni Efyanti, Hainadri Hainadri, Suci Mahabbati, Dewi Harlina

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan pemerintah dan aturan


adat secara kenyataan di lapangan tidak sejalan, tetapi juga penggunaan aturan adat
di lima desa dalam Kedepatian Semerap telah mampu menyerap aspirasi
masyarakat serta menciptakan suasana aman dan kondusif yang selama ini belum
mampu diwujudkan oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan
Permendagri tersebut, Calon Kepala Desa adalah bakal calon Kepala Desa yang
telah ditetapkan oleh panitia pemilihan sebagai calon yang berhak dipilih menjadi
Kepala Desa, Menurut perda tersebut, Calon Kepala Desa adalah bakal calon kepala
desa yang ditetapkan oleh panitia pemilihan sebagai calon yang berhak dipilih
menjadi kepala desa, Sedangkan Bakal Calon Kepala Desa adalah penduduk desa
yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pengisian jabatan kepala desa.
Peraturan tersebut di atas merupakan produk hukum formal yang
dikeluarkan oleh pemerintah yang tentunya mengikat bagi seluruh desa di
Indonesia, termasuk juga bagi seluruh desa di Kabupaten Kerinci. Kedepatian
Semerap membawahi 5 (lima) desa yaitu Desa Semerap, Desa Koto Patah, Desa
Koto Baru, Desa Pasar Semerap dan Desa Koto Tengah Semerap. Kedepatian
Semerap merupakan salah satu contoh pelaksanaan pemilihan Kepala Desa yang
menggabungkan antara peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Adat setempat menentukan bahwa yang dapat diajukan sebagai calon
kepala desa adalah hanya orang yang masih menjabat sebagai Depati atau Nenek
Mamak Kedepatian Semerap, Sebelumnya di Kedepatian Semerap menggunakan
istilah yang dipakai untuk desa adalah dusun, Kepala dusun juga dipilih dalam
sebuah sidang 4 (Empat Jenis) yaitu kaum adat yang terdiri dari 8 (delapan) orang
Depati dan 10 Nenek Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Tonggak Pemarang.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa tersebut memang menggunakan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, tetapi juga sekaligus merupakan suatu
penyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan,yaitu
dalam hal pencalonan Kepala Desa.
Selain itu, jika diperhatikan lebih rinci pada peraturan perundang-undangan
tentang pemilihan kepala desa terdapat kekaburan mengenai pencalonan kepala
desa. Pada Pasal 21 Permendagri telah menetapkan syarat-syarat untuk menjadi
calon kepala desa, namun terdapat celah yang memberikan kesempatan adanya
syarat lain yang dapat bertentangan dengan aturan tersebut, seperti yang selama ini
dilaksanakan dalam Kedepatian Semerap khususnya dalam hal penetapan bakal
calon kepala desa. Hal tersebutjuga dikhawatirkan akan menimbulkan
permasalahan pada nilai-nilai adat yang selama ini dijalankan dan dipatuhi oleh
masyarakat, baik antar warga desa, antar pemerintahan desa, warga desa dengan
pemerintahan desa, dan pemerintahan desa dengan pemerintahan daerah.

Jurnal 6
EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS
BALI
Oleh
Agus Purbathin Hadi

Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya dua


pengertian desa. Pertama, 'desa' dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan
Batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan
administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan istilah 'Desa
Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian yang kedua, yaitu desa adat
atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan
adat istiadat dan terikat olehadanya tiga pura utama (Kahyangan Tiga). Dasar
pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda,
sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu
kongruen dengan desa adat.
Ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi oleh desa adat di Bali,
seperti masalah otonomi desa adat dan demokratisasi adat, Berkaitan dengan
otonomi desa adat, permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Dualisme pemerintah
desa, (2) Belum jelasnya tata hubungan Kabupaten-Desa Adat, (3) Dualisme hukum
dengan adanya pengakuan desa adat sebagai entitas hukum, (4) Munculnya konflik
antar desa adapt menyangkut batas wilayah dan soal tanah-tanah adapt, dimana
intervensi pemerintah yang tidak tepat menimbulkan eskalasi konflik, (4)
Penyeragaman awig-awig (hukum dan atau peraturan adat) yang difasilitasi oleh
pemerintah dengan format yang baku dan seragam membuat format desa di Bali
menjadi homogen, dan (5) Penggunaan pecalang (Satuan petugas keamanan
swakarsa adat) untuk kepentingan ekonomi dan politik, seperti menjadi penjual jasa
keamanan maupun untuk kepentingan politik (Satgas Partai).
Memperhatikan permasalahan yang dihadapi Desa adat seperti diungkapkan
di atas, maka beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dan
memberdayakan Desa Adat, Penguatan otonomi Desa adat melalui : (a)
Rekonseptualisasi hubungan desa adat dan desa dinas, (b) Rekonseptualisasi
hubungan desa adat dengan Kabupaten, (c) Pengakuan Hukum dan Pengadilan
Adat, (d) Mekanisme penyelesaikan konflik antar desa adat melalui pembentuk
lembaga supra desa adat, (e) Politik kebudayaan yang menghargai keunikan setiap
desa adat (desa mawa cara) tetapi ada beberapa yang diatur sama untuk menjamin
kepastian seperti masalah pendatang, dan (f) Reformulasi dan rekonseptualisasi
Pecalang. Pemberdayaan Desa adat melalui : (a) Peningkatan kapasitas
kelembagaan desa adat, (b) Demokratisasi desa adat, (c) Semangat pluralisme di
desa adat yang tercermin di awig-awig, (d) Penerapan good governance di desa
adat, dan (e) Mekanisme penyelesaian konflik yang humanis Subak : Kelembagaan
Petani Pemakai Air di Bali Subak merupakan salah satu kelembagaan tradisional
yang telah terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian dan
perdesaan di Bali.
Jurnal 7
Dinamika Model Pemerintahan dalam Masyarakat Melayu Islam Jambi:
Studi Kasus Kabupaten Bungo
Oleh
Hermanto Harun, Irma Sagala

Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan:Pembagian


daerah Indonesia terdiri atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.Selanjutnya, dalam
penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam teritori Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen, seperti
Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang
dan sebagainya.Pemerintahan di daerahdaerah itu diakui memiliki susunan asli
sehingga dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Semangat otonomi-
desentralisasi yang telah secara tegas disebutkan dalam undang-undang kemudian
dilanggar oleh Pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan UU No Melalui
undangundang ini, pemerintah menyeragamkan bentuk pemerintahan terkecil di
seluruh daerah di Indonesia dengan bentuk Desa. Dengan kata lain, bentuk-bentuk
pemerintahan adat-tradisional yang hidup selama ini tidak diakui lagi, Bentuk
pemerintahan adat-tradisional juga pernah hidup di Jambi.
Dalam sebuah perbincangan dengan peneliti, seorang budayawan Jambi
mengatakan bahwa Jambi dahulunya memiliki model pemerintahan adat yang
disebut Dusun6 sebelum diterapkannya model Desa saat ini. Al-Basyari
mengatakan:Pada masa lalu, pemerintahan [Dusun] di Jambi dipimpin oleh Rio atau
Penghulu yang memegang kekuasaan pemerintahan sekaligus adat, Dalam
menetapkan hukum dan kebijakan, Rio senantiasaa berkoordinasi dan meminta
semacam fatwa kepada Pegawai Syarak, sehingga apa yang dilakukan oleh
pemerintah tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, dalam tata
pemerintahan dan kemasyarakat Jambi dahulu dikenal istilah Tigo Tali
Sapilin.7Propinsi Jambi sejak dahulu adalah daerah yang memiliki akar sejarah
Islam.Penduduk asli Propinsi Jambi adalah suku Melayu, yang kemudian
bercampur dengan suku Minang dan Arab-Turki.Sebelum Indonesia merdeka,
Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-
1901).Penyebaran Islam di daerah Jambi dimulai dari datangnya seorang ulama dari
Turki (menurut referensi lainnya dari Gujarrat) yang bergelar Datuk Paduko
Berhalo.Nilai-nilai Islam sejak dahulu menjadi nilai yang terintegrasi dalam
kehidupan sosial masyarakat Jambi. Dengan demikian, tidak mengherankan jika
model pemerintahan adattradisional di Jambi sangat kental dengan nilai-nilai
keislaman yang bercampur dengan budaya Melayu. Nilai-nilai inilah yang menjadi
karakteristik khas kehidupan sosial-politik masyarakat Jambi, sekaligus
membedakannya dengan daerah lain.

Jurnal 8
Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga
Adat di Kecamatan Marawola)
Oleh
Hendra
Hasil yang ditemukan bahwa lembaga adat mulai kehilangan peranannya,
beberapa diantaranya disebabkan oleh kesenjangan antara yang tua dan yang muda
dalam masyarakat adat itu sendiri. Lembaga adat juga kehilangan legitimasi
sosialnya; hal itu dilihat dari menciutnya peranan lembaga adat, di mana lembaga
adat hanya mengurusi ritual pengobatan tradisional, membuka lahan dan ritual
panen. Aturan lembaga adat berupa regulasi hukum serta sanksi yang diterapkan
hanya berupa ingatan akan tuturan lisan di masa lalu tanpa adanya kepatuhan
terhadap aturan-aturan adat itu sendiri. Beberapa kasus seperti Poso, Palu, dan Sigi
di wilayah Sulawesi Tengah adalah contoh ingatan begitu masifnya dan
berbahayanya sebuah konflik yang diiringi kekerasan.
Beberapa wilayah seperti Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan,
Kecamatan Palolo, dan Kecamatan Nokilalaki terkadang diwarnai dengan
perkelahian antar pemuda, perkelahian antar desa juga perkelahian yang oleh warga
tidak diketahui asal muasalnya, Perkelahian tersebut pada beberapa kasus berakhir
pada konflik kekerasan yang berujung pada pengerahan masa, namun begitu konflik
kekerasan tersebut bisa diredam terlebih dahulu oleh mekanisme perdamaian yang
dilakukan lembaga adat dengan diketahui dan dibantu dengan aparatur pemerintah.
Lembaga adat dengan begitu berperan penting dalam mekanisme perdamaian yang
bersumber pada kearifan lokal masyarakat adat setempat.

Jurnal 9
Piil Pesenggiri: Konsep Kekuasaan Politik dalam Kebudayaan Lampung
Oleh
Robi Cahyadi Kurniawan
Konsep Kekuasaan Politik dalam Budaya Lampung mendalami konsep
kekuasaan politik dalam budaya Lampung, khususnya dengan fokus pada piil
pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan kearifan lokal di Lampung yang
mempengaruhi dinamika politik dan praktik pemerintahan di wilayah tersebut.
Dokumen tersebut membahas perbedaan konsep ini dengan gagasan Barat tentang
kekuasaan politik dan menekankan pentingnya memasukkan nilai-nilai budaya
lokal ke dalam ideologi politik. Kajian ini menyoroti pentingnya piil pesenggiri
dalam politik kontemporer, khususnya dalam konteks pemilu. Buku ini
mengeksplorasi aspek mistis kekuasaan dan politik dalam budaya Lampung, serta
menyoroti bagaimana keyakinan tersebut membentuk perilaku politik dan proses
pengambilan keputusan. Lebih lanjut, dokumen ini merujuk pada berbagai pakar
dan kajian yang memberikan wawasan mengenai persinggungan antara budaya,
kekuasaan, dan politik di Lampung dan Indonesia secara keseluruhan.
Bab ini membahas penerapan prinsip piil pesenggiri dalam konteks politik
modern untuk mendorong pendekatan pemerintahan yang lebih inklusif dan
berlandaskan budaya. Secara keseluruhan, dalam jurnal menawarkan eksplorasi
komprehensif mengenai konsep kekuasaan politik dalam budaya Lampung melalui
kacamata piil pesenggiri, memberikan wawasan berharga mengenai peran kearifan
lokal dalam membentuk dinamika dan praktik Konsep Kekuasaan Politik dalam
Budaya Lampung” menyoroti konsep unik kekuasaan politik dalam budaya
Lampung melalui kacamata piil pesenggiri. Dokumen ini menekankan pentingnya
kearifan lokal dan nilai-nilai budaya dalam membentuk ideologi dan praktik politik,
serta menyoroti kekhasan pendekatan pemerintahan di Lampung. Dengan
mengeksplorasi aspek mistis kekuasaan dan politik dalam budaya Lampung,
penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana kepercayaan
tradisional mempengaruhi perilaku politik dan proses pengambilan keputusan di
wilayah tersebut. Bab ini juga membahas relevansi prinsip piil pesenggiri dalam
politik kontemporer, khususnya dalam konteks pemilu, dan mendukung pendekatan
pemerintahan yang lebih inklusif dan berlandaskan budaya. Secara keseluruhan, file
PDF ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang persinggungan antara
budaya, kekuasaan, dan politik di Lampung, yang menunjukkan pentingnya
kearifan lokal dalam membentuk dinamika politik. Buku ini berfungsi sebagai
sumber daya berharga bagi para akademisi, pembuat kebijakan, dan individu yang
tertarik untuk mengeksplorasi perspektif alternatif mengenai kekuasaan politik dan
pemerintahan dalam konteks budaya Indonesia.

Jurnal 10
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda,
Kabupaten Ende, Flores
Oleh
J. Emmed M. Prioharyono

Ideologi mengenai asal usul leluhur (source of origin) yang mencakup


sejarah migrasi leluhur dari lokasi asal melalui proses migrasi perkenalkan alat
musik gong. Dalam sejarah kesenian nusantara, alat musik gong (sebagai
komponen gamelan) memang berasal dari seni musik Jawa. Sejumlah kata-kata
dalam Bahasa Lio memiliki kemiripan dan kesamaan dengan Bahasa Jawa, seperti
misalnya kata bulan (wula/Lio dan wulan/Jawa), kuda ( jara/ Lio dan jaran/Jawa),
padi (pare/Lio dan pari/ Jawa) dan ayam (manu/Lio dan manuk/Jawa). Bahasa Lio
memang termasuk dalam keluarga Bahasa Austronesia, yang menyebar pula ke
wilayah Nusa Tenggara Timur.
Dari wilayah Pantai Utara Flores Tengah inilah, mereka mulai menyebar
hingga ke wilayah selatan, yang antara lain bermukim di Desa Tenda dan Desa
Nggela. Mereka adalah leluhur langsung dari para Mosalaki. Para leluhur
merupakan orang-orang yang telah berjasa, dalam mengawali kehidupan sebuah
dusun dalam arti seluas-luasnya, termasuk menyediakan tanah dan
mempertahankan dusun dari serangan dusun-dusun lainnya. Tanah adalah sumber
kehidupan yang penting bagi komunitas-komunitas pedusunan, yang bermata
pencaharian mengolah ladang dan kebun untuk menghasilkan bahan makanan
pokok mereka sehari-hari sejak dahulu. Oleh karena itu kekuasaan para Mosalaki
men- cakup pula hak untuk mengelola tanah kolektif.
Dalam hal ini, kekuasaan mereka diejawantah- kan melalui hak mewariskan
pada ana darinia (keturunan atau patrilineal langsung dari klen seorang Mosalaki)
dan hak memberikan ijin pengolahan sebuah watas (bidang tanah gara- pan) pada
anakalo fa’é walu. Konsep dasar ini secara garis besar membahas mengenai adanya
kesamaan dan keselarasan dari karakteristik budaya yang umum ditemukan dan
direfleksikan dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia, Menurut van
Wouden suku bangsa di wilayah Nusa Tenggara khususnya, memiliki tipe struktur
sosial yang menunjukkan pola yang sama.
Kajian-kajian Antropologi yang berlandaskan konsep ESV (etnologisch
studie veld) merupakan cerminan perkembangan aliran strukturalisme Leiden
ketika itu, Namun, cakupan operasionalisasi konsep ini tidak terbatas hanya dalam
ruang lingkup masyarakat Indonesia sebagai etnologisch studie veld, melainkan
mencakup masyarakat-masyarakat di wilayah persebaran penduduk Austronesia
wilayah Asia Tenggara. Kedua substansi, yaitu model dan penerapan serta
konstruksi tipologi-tipologi merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh konsep
dasar etnologisch studie veld, dalam rangka penerapan studi komparatif
kebudayaan suku bangsa masyarakat Indonesia.
Jurnal 11
Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat
Oleh
Taufiq Tanasaldy

Hasil kajian Fox terhadap sejumlah suku bangsa di Indonesia dan wilayah
persebaran penduduk Austronesia lainnya, menunjukkan bahwa konsep origin structures
yang kemudian disebut source of origin, merupakan sebuah konsep yang operasional.
Konsep ini untuk menjelaskan sumber asal usul leluhur sebuah klen atau pun komuniti
sosial, Melalui mitos-mitos yang tercakup dalam kebudayaan sebuah suku bangsa dapat
diperoleh penjelasan secara metaforik mengenai dasar, permulaan, dan awal
perkembangan para leluhur.
Penjelasan dan pemahaman mengenai operasionalisasi konsep sumber asal usul
tersebut, selanjutnya merupakan landasan bagi operasionalisasi konsep position of
precedence atau system of precedence, Dengan kata lain, penjelasan mengenai sumber
asal usul ini menentukan siapa yang paling pertama, diutamakan, dan dituakan (the first,
foremost, elder, superior, greater). Di Kalimantan Barat, istilah Melayu pertama-tama
digunakan untuk menunjuk kepada orang Sumatera dan Semenanjung Malaysia yang
datang ke Kalimantan Barat untuk berdagang dan menyebarkan agama, Kemudian,
pengunaan istilah itu diperluas untuk mencakup orang Dayak yang telah memeluk agama
Islam. 3 Orang Dayak sering mengalami diskriminasi di bawah Kesultanan Melayu dan
penjajah Belanda. Di berbagai kesultanan, orang Dayak tidak dianggap sebagai anak
negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama dengan mayoritas orang Malayu, Orang
Dayak tidak diperbolehkan bekerja di administrasi kesultanan. Mereka juga seringkali
mengalami pelecehan sosial dari orang Melayu, yang akhirnya 2 Orang-orang Cina
Kalimantan Barat mempunyai peran yang cukup penting sebelum kemerdekaan Indonesia
(Heidhues 2003; Yuan 2000). Mempawah, salah satu dari kesultanan yang berpengaruh
di Kalimantan Barat, adalah Kesultanan Bugis, Ini adalah akibat dari Senganan yang secara
sadar ingin melepaskan identitas kedayakan mereka yang dianggap inferior, Sebagai
akibat dari berbagai kendala ini, orang Dayak di Kalimantan Barat tidak turut serta dalam
gerakan politik sebelum zaman kemerdekaan.4 Jatuh bangunnya perpolitikan Dayak
Situasi yang penuh hambatan bagi orang Dayak mulai berubah setelah Perang Dunia II
berakhir.
Kantor tersebut melancarkan beberapa inisiatif untuk mengemansipasi orang
Dayak dan berhasil mendapatkan jaminan dari pihak kesultanan untuk menghapus segala
praktik diskriminasi terhadap orang-orang Dayak.5 NICA juga berperan dalam mendorong
orang-orang Dayak menempuh pendidikan yang lebih tinggi, memfasilitasi mereka
sehingga memperoleh kedudukan dalam birokrasi dan di badan legislatif lokal. Kebijakan-
kebijakan awal ini, terutama yang di bidang politik, memberikan dampak psikologis yang
sangat penting bagi orang-orang Dayak, Untuk pertama kalinya mereka dapat duduk
sejajar dengan wakil-wakil dari kelompok Melayu dan kesultanan di dalam pemerintahan.
Sebagai konsekuensi dari pencapaian itu, seorang Dayak berhasil dipilih menjadi
gubernur dan empat orang lainnya dipilih menjadi bupati. PD kemudian mengalami
kemunduran akibat dari kebijakan nasional yang berupaya mengurangi partai politik
daerah dan akibat dari persaingan internal di 4 Hal seperti itu tidak terjadi di Kalimantan
Tengah. Faksi yang terbesar yang dipimpin oleh Gubernur Oevaang Oeray dan didukung
oleh kebanyakan pegawai negeri dari suku Dayak, bergabung dengan partai nasional
sayap kiri, Partindo, .Faksi lainnya yang dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung oleh
mayoritas guru Katholik dan para anggota gereja, bergabung dengan Partai Katholik. Pada
pertengahan tahun 1965, atas inisiatif komandan militer setempat, cabang Partindo untuk
Kalimantan Barat bergabung dengan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),
sebuah partai nasionalis yang di Kalimantan Barat jumlah pengikutnya 5.

Anda mungkin juga menyukai