NIM : B1B121053
DOSEN PENGEMPU : M. Yusuf, S.Sos., M,I.P.
MATA KULIAH : Adat dan Negara - Senin 07.00 (Ruang 07)
RESUME
11 JURNAL ADAT DAN NEGARA
Jurnal 1
DIMENSI KEKUASAAN PENGHULU ADAT MELAYU RIAU DALAM
PELAKSANAAN DEMOKRASI LOKAL
Oleh: Asrinaldi, Azwar
Artikel ini membahas peran penghulu adat Melayu di Riau dalam konteks
implementasi demokrasi lokal. Penghulu adat memiliki legitimasi dari komunitas
untuk menjaga dan melestarikan sistem nilai budaya Melayu. Melalui kedekatan
emosional dengan masyarakat, penghulu adat membentuk budaya politik subjektif
yang kuat, yang dapat digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Masyarakat Riau memiliki pandangan yang khas terhadap adat dan budaya
Melayu, dengan perbedaan antara masyarakat Melayu daratan dan pesisir.
Meskipun terdapat dua aliran kebudayaan yang berbeda, keduanya saling
melengkapi dan bersebati, terutama di daerah-daerah yang berdekatan geografis.
Kebudayaan Melayu terbuka terhadap asimilasi dengan budaya lain, seperti Jawa,
Bugis, dan Banjar, yang mempengaruhi adat dan tradisi Melayu. Hal ini juga
berdampak pada komposisi penduduk Riau, yang menyebabkan munculnya istilah
"orang Riau" sebagai identitas yang lebih dominan daripada "orang Melayu Riau".
Eksistensi orang Melayu Riau yang terbagi pada dua geografi Melayu
daratan dan Melayu pesisir ditambah dengan keberadaan orang Riau dengan
bebagai etnis berdampak pada konstelasi politik dan demokrasi lokal yang ada. Hal
ini bisa dilihat dari pelaksanaan otonomi daerah yang memunculkan semangat
kemelayuan dengan memunculkan isu putera daerah di awal pelaksanaan otonomi
daerah. Begitu juga dengan pemilihan gubernur munculnya keinginan untuk
memadukan dua geografi ini, yaitu calon yang berasal dari Melayu pesisir dengan
Melayu daratan. Dari sisi lain, keterwakilan orang Riau yangjumlahnya juga
signifikan di Provinsi Riau juga harus dipertimbangkan sebagai bentuk tambahan
dukungan dalam Pilkada tersebut.
Jurnal 2
Pengabaian Negara, Kemunduran Gereja, dan Kekuasaan Adat: Rebutan
Kekuasaan di Adonara, Flores Timur
Oleh: Longgina Novadona Bayo
Jurnal 3
Kuatnya Adat, Didominasi Negara: Dominasi Pejabat Adat Atas
Pemerintahan Desa di Kabupaten Kerinci
Oleh
Rio Yusri Maulana, Makmun Wahid, Dori Efendi, Moh. Arif Rakhman, M.
Yusuf, Michael Lega
Jurnal 4
Eksistensi Pemangku Adat Dalam Pengambilan Keputusan Desa Di Kerinci
Oleh: M. Yusuf Universitas Jambi, Indonesia, Gina Nabilah Effendi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia
lembaga adat dalam kaitannya hubungan relasi dengan pemerintah desa,
lembaga adat di Kerinci memiliki kepemimpinan adat yang dinamakan ninik
mamakdimana ninik mamakmenjadi lembaga penting dalam proses pengambilan
keputusan di desa karena merupakan bagian dari lembaga adat yang memiliki
kedudukan tinggi dan tidak bisa hilang dalam kehidupan masyarakat desa.
Beberapa peran penting dari lembaga adat yang dapat dilihatyaitu (1) sebagai
sebuah lembaga pertimbangan desa dalam penetapan keputusan (2) sebagai
lembaga sosial kemasyarakatan yang membantu dan mewakili masyarakat dalam
pembangunan desa serta (3) sebagai lembaga peradilan adat desa untuk
menyelesaikan masalah-masalah desa.
Penelitian ini menemukan hubungan antara pemerintah desa dan adat kasta
negara di wilayah Kerincidan Dominasi lembaga adat dapat terlihat pada
pengambilan keputusan dalam urusan pemerintahan desa. Kekuatan adat muncul
bukan atas dasar negara atau pemerintah yang lemah tetapi karena menguatnya
sistem sosial kebudayaan dalam masyarakat di Kerinci dikenal ninik mamakyang
mampu mendominasi negara atau pemerintah. Penelitian ini memperlihatkan
fenomena kekuatan adat yang disandingkan dengan pemerintahan desa dimana
Kerinci memperlihatkan eksistensi adat dalam pemerintah desa sebagai modal yang
kuat dan kokoh dalam pelaksanaan pemerintah terutama dalam hal pengambilan
kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa.
Jurnal 5
Peran Kaum Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa di Lima Desa
Dalam Kedepatian Semerap Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi
Oleh
Yasni Efyanti, Hainadri Hainadri, Suci Mahabbati, Dewi Harlina
Jurnal 6
EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS
BALI
Oleh
Agus Purbathin Hadi
Jurnal 8
Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga
Adat di Kecamatan Marawola)
Oleh
Hendra
Hasil yang ditemukan bahwa lembaga adat mulai kehilangan peranannya,
beberapa diantaranya disebabkan oleh kesenjangan antara yang tua dan yang muda
dalam masyarakat adat itu sendiri. Lembaga adat juga kehilangan legitimasi
sosialnya; hal itu dilihat dari menciutnya peranan lembaga adat, di mana lembaga
adat hanya mengurusi ritual pengobatan tradisional, membuka lahan dan ritual
panen. Aturan lembaga adat berupa regulasi hukum serta sanksi yang diterapkan
hanya berupa ingatan akan tuturan lisan di masa lalu tanpa adanya kepatuhan
terhadap aturan-aturan adat itu sendiri. Beberapa kasus seperti Poso, Palu, dan Sigi
di wilayah Sulawesi Tengah adalah contoh ingatan begitu masifnya dan
berbahayanya sebuah konflik yang diiringi kekerasan.
Beberapa wilayah seperti Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan,
Kecamatan Palolo, dan Kecamatan Nokilalaki terkadang diwarnai dengan
perkelahian antar pemuda, perkelahian antar desa juga perkelahian yang oleh warga
tidak diketahui asal muasalnya, Perkelahian tersebut pada beberapa kasus berakhir
pada konflik kekerasan yang berujung pada pengerahan masa, namun begitu konflik
kekerasan tersebut bisa diredam terlebih dahulu oleh mekanisme perdamaian yang
dilakukan lembaga adat dengan diketahui dan dibantu dengan aparatur pemerintah.
Lembaga adat dengan begitu berperan penting dalam mekanisme perdamaian yang
bersumber pada kearifan lokal masyarakat adat setempat.
Jurnal 9
Piil Pesenggiri: Konsep Kekuasaan Politik dalam Kebudayaan Lampung
Oleh
Robi Cahyadi Kurniawan
Konsep Kekuasaan Politik dalam Budaya Lampung mendalami konsep
kekuasaan politik dalam budaya Lampung, khususnya dengan fokus pada piil
pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan kearifan lokal di Lampung yang
mempengaruhi dinamika politik dan praktik pemerintahan di wilayah tersebut.
Dokumen tersebut membahas perbedaan konsep ini dengan gagasan Barat tentang
kekuasaan politik dan menekankan pentingnya memasukkan nilai-nilai budaya
lokal ke dalam ideologi politik. Kajian ini menyoroti pentingnya piil pesenggiri
dalam politik kontemporer, khususnya dalam konteks pemilu. Buku ini
mengeksplorasi aspek mistis kekuasaan dan politik dalam budaya Lampung, serta
menyoroti bagaimana keyakinan tersebut membentuk perilaku politik dan proses
pengambilan keputusan. Lebih lanjut, dokumen ini merujuk pada berbagai pakar
dan kajian yang memberikan wawasan mengenai persinggungan antara budaya,
kekuasaan, dan politik di Lampung dan Indonesia secara keseluruhan.
Bab ini membahas penerapan prinsip piil pesenggiri dalam konteks politik
modern untuk mendorong pendekatan pemerintahan yang lebih inklusif dan
berlandaskan budaya. Secara keseluruhan, dalam jurnal menawarkan eksplorasi
komprehensif mengenai konsep kekuasaan politik dalam budaya Lampung melalui
kacamata piil pesenggiri, memberikan wawasan berharga mengenai peran kearifan
lokal dalam membentuk dinamika dan praktik Konsep Kekuasaan Politik dalam
Budaya Lampung” menyoroti konsep unik kekuasaan politik dalam budaya
Lampung melalui kacamata piil pesenggiri. Dokumen ini menekankan pentingnya
kearifan lokal dan nilai-nilai budaya dalam membentuk ideologi dan praktik politik,
serta menyoroti kekhasan pendekatan pemerintahan di Lampung. Dengan
mengeksplorasi aspek mistis kekuasaan dan politik dalam budaya Lampung,
penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana kepercayaan
tradisional mempengaruhi perilaku politik dan proses pengambilan keputusan di
wilayah tersebut. Bab ini juga membahas relevansi prinsip piil pesenggiri dalam
politik kontemporer, khususnya dalam konteks pemilu, dan mendukung pendekatan
pemerintahan yang lebih inklusif dan berlandaskan budaya. Secara keseluruhan, file
PDF ini menawarkan pemahaman yang berbeda tentang persinggungan antara
budaya, kekuasaan, dan politik di Lampung, yang menunjukkan pentingnya
kearifan lokal dalam membentuk dinamika politik. Buku ini berfungsi sebagai
sumber daya berharga bagi para akademisi, pembuat kebijakan, dan individu yang
tertarik untuk mengeksplorasi perspektif alternatif mengenai kekuasaan politik dan
pemerintahan dalam konteks budaya Indonesia.
Jurnal 10
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda,
Kabupaten Ende, Flores
Oleh
J. Emmed M. Prioharyono
Hasil kajian Fox terhadap sejumlah suku bangsa di Indonesia dan wilayah
persebaran penduduk Austronesia lainnya, menunjukkan bahwa konsep origin structures
yang kemudian disebut source of origin, merupakan sebuah konsep yang operasional.
Konsep ini untuk menjelaskan sumber asal usul leluhur sebuah klen atau pun komuniti
sosial, Melalui mitos-mitos yang tercakup dalam kebudayaan sebuah suku bangsa dapat
diperoleh penjelasan secara metaforik mengenai dasar, permulaan, dan awal
perkembangan para leluhur.
Penjelasan dan pemahaman mengenai operasionalisasi konsep sumber asal usul
tersebut, selanjutnya merupakan landasan bagi operasionalisasi konsep position of
precedence atau system of precedence, Dengan kata lain, penjelasan mengenai sumber
asal usul ini menentukan siapa yang paling pertama, diutamakan, dan dituakan (the first,
foremost, elder, superior, greater). Di Kalimantan Barat, istilah Melayu pertama-tama
digunakan untuk menunjuk kepada orang Sumatera dan Semenanjung Malaysia yang
datang ke Kalimantan Barat untuk berdagang dan menyebarkan agama, Kemudian,
pengunaan istilah itu diperluas untuk mencakup orang Dayak yang telah memeluk agama
Islam. 3 Orang Dayak sering mengalami diskriminasi di bawah Kesultanan Melayu dan
penjajah Belanda. Di berbagai kesultanan, orang Dayak tidak dianggap sebagai anak
negeri sehingga tidak memiliki hak yang sama dengan mayoritas orang Malayu, Orang
Dayak tidak diperbolehkan bekerja di administrasi kesultanan. Mereka juga seringkali
mengalami pelecehan sosial dari orang Melayu, yang akhirnya 2 Orang-orang Cina
Kalimantan Barat mempunyai peran yang cukup penting sebelum kemerdekaan Indonesia
(Heidhues 2003; Yuan 2000). Mempawah, salah satu dari kesultanan yang berpengaruh
di Kalimantan Barat, adalah Kesultanan Bugis, Ini adalah akibat dari Senganan yang secara
sadar ingin melepaskan identitas kedayakan mereka yang dianggap inferior, Sebagai
akibat dari berbagai kendala ini, orang Dayak di Kalimantan Barat tidak turut serta dalam
gerakan politik sebelum zaman kemerdekaan.4 Jatuh bangunnya perpolitikan Dayak
Situasi yang penuh hambatan bagi orang Dayak mulai berubah setelah Perang Dunia II
berakhir.
Kantor tersebut melancarkan beberapa inisiatif untuk mengemansipasi orang
Dayak dan berhasil mendapatkan jaminan dari pihak kesultanan untuk menghapus segala
praktik diskriminasi terhadap orang-orang Dayak.5 NICA juga berperan dalam mendorong
orang-orang Dayak menempuh pendidikan yang lebih tinggi, memfasilitasi mereka
sehingga memperoleh kedudukan dalam birokrasi dan di badan legislatif lokal. Kebijakan-
kebijakan awal ini, terutama yang di bidang politik, memberikan dampak psikologis yang
sangat penting bagi orang-orang Dayak, Untuk pertama kalinya mereka dapat duduk
sejajar dengan wakil-wakil dari kelompok Melayu dan kesultanan di dalam pemerintahan.
Sebagai konsekuensi dari pencapaian itu, seorang Dayak berhasil dipilih menjadi
gubernur dan empat orang lainnya dipilih menjadi bupati. PD kemudian mengalami
kemunduran akibat dari kebijakan nasional yang berupaya mengurangi partai politik
daerah dan akibat dari persaingan internal di 4 Hal seperti itu tidak terjadi di Kalimantan
Tengah. Faksi yang terbesar yang dipimpin oleh Gubernur Oevaang Oeray dan didukung
oleh kebanyakan pegawai negeri dari suku Dayak, bergabung dengan partai nasional
sayap kiri, Partindo, .Faksi lainnya yang dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung oleh
mayoritas guru Katholik dan para anggota gereja, bergabung dengan Partai Katholik. Pada
pertengahan tahun 1965, atas inisiatif komandan militer setempat, cabang Partindo untuk
Kalimantan Barat bergabung dengan IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),
sebuah partai nasionalis yang di Kalimantan Barat jumlah pengikutnya 5.