FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUSAMUS MERAUKE
TAHUN 2011
MANUSIA , KERAGAMAN,
DAN KESETARAAN
Sebelum RI medeka pada 1945, penduduk yang menghuni wilayah nusantara dapat
dikelompokan kedalam berbagai bentuk pengelompokan sosial yang disebut suku bangsa,
subsuku bangsa, maupun pengelompokan social yang disadari oleh system penggolongan
social lain berdasarkan satu ( atau lebih ) unsure tertentu yang diperoleh secara aksriptif (
warisan ) . seperti ras agama, dan lain sebagainya. pada hakiaktnya, masing-masing kesatuan
social tersebut hidup dengan mengacu pda kebudayaan atau subkebudayaannya masing-
masing yang saling berbeda satu dengan yang lainnya .
Dengan kalimat perwujudkan dri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
NKRI pada hakikatnya setiap kelompok , golongan suku, agama, dan yang berbeda satu
dengan yang lainnya melebur dan bersepakat membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu
bangsa Indonesia , karena itu setiap generasi bangsa berdiri satu dengan lain dengan sejajar .
semua suku bangsa saling memberikan pontensi terbaik yang mereka miliki kepada Negara
kesatuan RI. Untuk itulah kita harus membagun bangsa kita , di mulai dari diri kita sendiri,
untuk menjadi unsur terbaik bisa memeberikan kiprah gemilang menuju cita cita besar para
founding fathers kita , kesetaraan adalah komitmen bersama yang perlu untuk terus dipupuk
dan dikembangkan dalam proses berbangsa dan bernegara di NKRI kita .
Sementara dalam trujuan Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa Indonesia juga dapat
dipetakan dari model mata pencaharian yang dominan digelutinya, secara bersamaan
sekaligus dipengaruhi oleh suatu peradaban dari luar seperti zending,missi, pemerintahan
colonial, kebijakan pemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam, antara
lain dapat dikelompokkan pada masyarakat pemburu, berladang, tani sawah, berkebun,
pengembara, dan seterusnya.
Dengan melihat kebudayaan sebagai suatu mekanisme adaptasi suatu masyarakat dalam
menginterprestasikan lingkungan yang dihadapinya, baik lingkunan social maupunfisik.maka
tingkat perkembangan masing-masing kebudayaan dapat dibedakan bardasarkan daya
adabtasinya itu. Perbedaan daya adaptasi ini dapat ditelusuri melalui model-model produksi
(models of production) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok masyarakat yang
bersangkutan yang terwujud kedalam system teknologi, pengetahuan, pola-pola
pengeksplotasian dan penguasaan sumber daya ekonomi, serta jaringan hubungan dengan
masyarakat lain yang lebih luas.
Kedua, kelompok masyarakat berladang berputar (rotary cultivation) , atau lebih populer
disebut kelompok masyarakat yang mengembangkan system perladangan berpindah (shifting
cultivation). Karena dalam system teknologi petani yang dikembangkannya ada unsur meneb
as dan membakar, tehnik ini kerap pula disebut sebagay shal and burn cultivation. Demikian
pula pertanian itu tidak dilaksanakan terus menerus pada satu bidang lahan tertentu, maka
kegiatan pertanian ini sering pula diketegorikan sebagai suatu cara produksi pertanian
ekstentif (extentive agriculture). Berapapun kelompok masyarakat ini pada dasarnya
merupakan kelompok masyarakat yang telah dapat bercocok tanam untuk menghasikan bahan
makanan pokoknya (food producing) sendiri.sebagian besar kelompok masyarakat ini berada
di luar jawa, dengan sedikit pengewcualian dibeberapa tempat tertentu saja, seperti pada
masyarakat badui, misalnya. Meski begitu keterikatan yang satu dengan yang lainnya masih
menekankan pada sistim kekerabatan (kinship system). Secara tradisional kelompok ini
belum sepenuhnya terintegrasi pada system sosio-okonomi pasar yang lebih luas dan system
sosiopolitik yang lebi besar dan kompleks.
Ketiga, kelompok masyarakat petani (peasant society). Kelompok masyarakat ini adalah
kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan system pertanian menetap (sedenter).
Berbeda dengan cara bertani pada kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok
masyarakat ini mengembangkan produksi pertanian intensif (intensive agriculture), yang
diindenesia dikenal dengan system pertanian lahan basah atau pertanian persawahan.sistem
ini umum dikenal oleh kelompok masyarakat yang menghuni sumatera, jawa, Sulawesi, dan
daerah-daerah tertentu dipulau-pulau yang ada digugusan sunda kecil (terutama di Bali. NTB)
karena system ini mampu menghasilkan surplus hasil yang cukup besar, kegiatan ekonomi
kelompok ini telah terintegrasi kedalam system sosio-ekonomi dan sosio-politik yang lebih
besar dan lebih luas. Bahkan hingga tingkat ragional dan global.
Disamping itu secara demografi , jumlah anggota kelompok masyarakat yang
bersangkutan cukup besar dan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta telah pula
mengenal diferensiasi dan stratifikasi social-ekonomi (dan politik). Artinya, ada diantara
anggota masyarakat yang bersangkutan yang tidak atau hanya sedikit memiliki akses dan
control pada sumber-sumber yang ekonomi, terutama tanah. Bahkan orang-orang yang tidak
tahu sedikit memiliki akses dan kotrol pada tanah itu jumlahnya lebih banyak. Hal ini
disebabkan oleh adanya ketimpangan rasio antara tanah dengan jumlah dan tingkat kepadatan
penduduk, jumlah masyarakat petani selalu lebih besar disbanding dengan luas lahan
pertanian yang tersedia.
Di bawah kelompok elit kota ini ada suatu kelas menengah perkotaan yang jumlahnya
lebih besar, yaitu para pegawai pemerintahan, pegawai, perusahaan-perusahaan swasta, kaum
intelektual, dan pengusaha-pengusaha mandiri. Dilihat dari gaya hidup mereka memiliki dan
kembangkan mereka telah lebih jauh hidup dan menjadi bagian dari kerangka peradaban
global. Bahasa, gaya hidup, penguasaan teknologi dan informasi, serta cara kerja yang
beroriantasi pada peradaban internasional ini menjadi kelompok acuan (reference group) bagi
hamper semua kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
D. PROBLEMATIKA KERAGAMAN
DAN KESETARAAN SERTA SOLUSINYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN NEGARA
Sebagai Negara kepulauan atau Negara maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk
(plural society), pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari
sejarah perjalanannya sendiri tentang berbagai pengelompokan kemajemukan tersebut agar
menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Kelompok etnik (etnic group)atau suku bangsa
beserta tradisi budayanya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai Negara
yang kuat dimasa mendatang, tetapi juga berpotensi menimbulkan derongan konflik sosial
yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi Negara-bangsa (nation-state), jika dinamika
kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Kebudayaan yang memiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan
atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama, dan
paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional,
atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau pembeda suatu kelompok etnik dari
kelompok etnik
yang lain.
Etnisitas (athinicity) atau kesuku bangsaan selalu muncul dalam konteks interaksi sosial
pada masyarakat majemuk. Sebagai sebuah realitas sosial yang wajar dan alamiah, etnisitas
akan terjadi secara intensif dalam masyarakat tradisional atau masyarakat tradisional. Pilihan
terhadap suatu atribut sosial budaya bagi seorang individu akan didasarkan pada pilihan
rasional (rational choice). Yang dipertimbangkannya secara seksama bahwa hal itu dapat
mencapai tujuan yang diinginkan melalui interaksi sosial tersebut.
Dalam kaitannya dengan akses dan sumber daya perebutan sumber daya di daerah yang
bersifat structural, seperti p[otensi ekonomi dan kekuasaan politik,manifestasi itnisitas sering
menimbulkan ketegangan dan konflik sosial diantara pihak-pihak yang terlibat atau yang
berkepentingan. Masa otonomi daerah sekarang ini memberikan peluang yang besar bagi
tumbuhnya konflik sosial berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, penghormatan
terhadap keadilan sosial, dan penghargaan terhadap prestasi belum menjadi pandangan dan
sikap hidup kita sehari-hari.
Secara nermatif, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi masyarakat didaerah
(bukan pemerintah daerah) untuk mengaktualisasikan diri secara optimal dalam manajemen
pembangunan daerah. Undang-undang yang mendasari praktik otonomi daerah memberikan
pengakuan terhadap aksistensi masyarakat dan kebudayaan. Otonomi daearah menandai era
penghargaan terhadap keberagaman dan otonomi masyarakat, setelah Orde Baru
memberangusnya selama masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000). Dalam ruang politik
yang semakin terbuka ini, masyarakat didaerah (indigenous people) menggali kembali
potensi kelembagaan sosial untuk konstruk nilai-nilai budaya local yang dianggap berguna
untuk menopang aksistensi mereka ditengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan
daerah.
Wujud penggalian diatas adalah hadirnya asosiasi asosiasi masyarakat adat nusantara,
pembagian kembali satuan-satuan desa adat tradisional (nagari diminang kabau, kampong
dikomnitas melayu Kalimantan barat, dan pakraman di bali), serta eksplorasi ulang atas
revitalisasi pranata-pranata lokal untuk mengelola sumber daya alam secara lestari dan adil,
seperti sasi dimaluku dan awig-awig dibali-lombok.hal-hal ini untuk membangun kembali
pondasi sosial-budaya masyarakat, khususnya masyarakat dipedesaan agar memiliki
kemampuan otonomi yang kukuh dalam menyikapi gerak pembanguna diwilayah kebijakan
otonomi daerah.
Dalam kontes otonomi daerah, khusus yang terjadi di banyuwangi untuk membangun
hegemoni budaya Osing sesungguhnya hanya merupakan sarana penguasaan daerah untuk
mencapai penguasaan sumber daya ekonomi-politik yang lebih besar. Kasus seperti ini mirip
kebijakan kolonialisme internal (internal colonialism) pemerintah Thailand terhadap
kelompok-kelompok etnik minoritas, khususnya masyarakat muslim Malaisia, yang berusaha
keras menegaskan aspek-aspek identitas budaya masyarakat petani melalui penetrasi
kebudayaan Thai dan Budha. Disamping terjadinya penetrasi budaya dominan (dominance
culture), kebijakan pembangunan ragional Pemerintah Thailand yang bersifat deskriminatif
dan hanya menguras sumber daya local, telah membangkitkan gerakan perlawanan bersenjata
masyarakat pattani terhadap pemerintahan Thailand. Hal hyang sama dilakukan oleh
penguasa Orde Baru terhadap Aceh, yang mendorong masyarakat Aceh menjadi anti-jawa.
Dalam studi-studi kenflik etik, kebijakan politik etnik Negara dan pemerintah Thailand
memperluas batas-batas sosial-budaya identitas suatu kelompok etnik, khususnya etnik yang
dianggap kelompok dominan atau pribumi, seperti Thai-Budha, senantiasa berhadapan
dengan penolakan atau resistensi sosial dari kelompok-kelompok etnik yang terkenal
kebijakan tersebut orang Pattni-Muslim. Sementara itu untuk menghimpun kekuatan dan
model perjuangan menghadapi hegemoni Negara dan penetrasi kelompok etnik dominan
(Thai), kelompok-kelompok etnik minoritas yang terdiskriminasi, seperti masyarakat pattani
akan mengaktifkan jaringan etnisitas yang berbasis kesamaan asal-usul dan leluhur sejarah
sosial, identitas ke-islam-an, dan tradisi sosial-budaya sebaiknya sarana pemikat sosial dan
pembanmgun solidaritas sosial. Dalam konteks demikian, etnisitas akan berubah menjadi
ideolodgi perjuangan untuk menhadapi negara yang telah membuat diri mereka tidak
nnyaman dan terancam serta mengganggu kelangsungan hidrup kelompok etnik. Brown,
1994: 1-5)
Konflik hidup sosial ini tidak hanya terjadi di kalangan internal antar-elite daerah, tetapi
juga melibatkan penguasa daerah dengan rakyat secara keseluruhan dan antar kelompok-
kelompok sosial dalam masyarakat. Ketidak puasan rakyat yang meluas terhadap perilaku
pemimpin dapat mendorong timbulnya revolusi sosial, sebagai mena pernah terjadi dalam
sejarah sosial kita. (lucas, 2004)
Dalam masa otonomi daerah ini yang mendekatkan pembangunannya berorientasi pada
aspek kewilayahan, eksplorasi etnisitas sebagai ideology perjuangan kelompok masyarakat
yang dirugikan oleh kebijakan pembangunan daerah akan semakin berpeluang. Gagasan
sebagai bermasyarakat pada waktu yang lalu untuk membentuk kabupaten jember selatan,
banyuwangi selatan, atau kebupaten sumenep kepulauan, harus dilihat sebagai persoalan
konflik politik kebijakan berbasis etnisitas dengan pemerintah kabupaten setempat. Mereka
bias saja menggunakan basis legitimasi berdasarkan unsur-unsur etnisitas yang berkaitan
dengan kesamaan budaya, kesejarahan, sasib sosial, dan nilai-nilai baru yang dimunculkan
karena factor karakteristik geografi.
Demikian pula, kasus konflik nelayan yang meluas diberbagai daerah perairan Jawa
Timur, merupakan akibat dari kekurang mampuan pemerintah daerah
(profinsi/kabupaten/kota) dalam memahamkan esensi Otonomi daerah yang terkait dengan
batas-batas administrasi daerah dan kewenangannya mengelola potensi sumber daya laut
serempat kepada masyarakat nelayan dikawasan pesisir. Aspek lain yang ikut memberikan
kontribusi terhadap timbulnya konflik nelayan tersebut adalah semakin tingginya kelangkaan
sumber daya ekonomi-perikanan dan kompetisi memperebutkannya. (kusnadi, 2002)
Kionflik nelayan ujung pangkal, Gresik dengan nelayan Weru Kompleks, lamongan,
walaupun mereka bagian masyarakat jawa pesisir,l tetap dilihat sebagai kasus konflik sosial
berbasis etnisitas. Kedua pihak mendefinisikan identitas dirinya sebagai kelompok nelayan
yang berbeda satu sama lain berdasarkan nilai-nilai sosial budaya dan sejarah sosial yang
membentuk eksistensi mereka. Hal yang samajuga berlaku untuk nelayan Madura asal
Kraton, pasuruan dan nelayan Kwanyar Bangkalan selatan, yang telah lama berkonflik
memperebutkan sumber daya perikanan diperairan Selat Madura. Identitas kebudayaan
Madura ternyata tidak mampu mendamaikan kedua kelompok nelayan tersebut. Masing-
masing pihak mendefinisikan ekstensinya berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang kontekstual,
yang dianggapnya lebih tepat dan menguntungkan kehidupannya dalam interaksi sosial.
(kusnadi dkk.2005)
Pada dasrnya, konflik sosial berbasis etnisitas yang berlangsung secara pasif tidak ada
yang semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan sesial-budaya yang bersifat horizontal,
seperti agama, bahasa, tradisi dan adat istiadat, sejarah sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai
budaya lainnya.aspek-aspek vertikal- struktural, seperti akses dan sumber daya ekonomi-
politik (kekuasaan) senan tiasa terlibat. Bahkan semakin tinggi nilai sumber daya yang
diperebutkannya dan kondisinya terbatas, mkaka konflik sosial yang terjadi akan semakin
intensif dank eras (kusnadi dan Burhanuddin, 1997). Dalam situasi demikian, dampak konflik
secara psikologis sangat mencekam masyarakat dan secara sosial-ekonomi memberfatkan
masa depan kehidupan mereka yang terlibat konflik. Upaya jalan untuk meretas jalan menuju
perdamaian abadi juga sangat sulit karena membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan
pengorbanan yang besar.
Berdasarkan uraian diatas, rezim otonomi daerah dalam masa transisional ini harus
belajar bagaimana meminimalisasi timbulnya konflik-konflik sosial yang berbasis etnisitas
dak keagamaan, dengan jalan merumuskan kebijakan pembangunan dan pembuatan regulasi
daerah yang bersifat transparan, demokratis, berorientasi kerakyatan, dan berdimensi keadilan
sosial. Sementara itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara, penguasaan kapasitas
masyarakat harus dilakukan dengan membangun pondasi kesadaran structural-kultural
bernegara dan berbangsa agar memiliki kemampuan dalam berdiskusi dengan elite daerah
untuk memberi arah pada kebujakan pembangunan daerah yang memihak kepentingan
masyarakat luas. Otonomi daerah harus ditafsiri sebagai otonomi masyarakat untuk
membangun daerahnya masing-masing, bukan otonomi pemerintah daerah (pemda), karena
esensi pemerintah daerah hanya sebagai aloat pembangunan daerah. Ditengah-tengah
karakter rezim otonomi daerah yang masih belum beradab dan manusiawi, jalan untuk
membangun fondasi kesadaran structural-kultural diatas masih sangat panjang.