Struktur masyarakat Indonesia bersifat majemuk. Struktur masyarakat
ditandai dengan dua ciri-cirinya, ada horizontal dan vertikal. Horizontal ditandai kesatuan social yang berdasarkan perbedaan-perbedaan, misalnya: perbedaan suku bangsa dan perbedaan agama. Sedangkan vertikal, yang ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah, misalnya: status social ekonomi, dan polarisasi politik. Menurut Furnivall, masyarakat pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat majemuk (plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri- sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesai yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak Bersama (common will). Sedangkan masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain karena adanya perbedan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada sebagai suatu kesatuan yang bersifat organis dan utuh. Di dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut berarti tidak adanya permintaan social yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand). Tidak adanya permintaan social yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy)dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal ( unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous. Apabila proses ekonomi di dalam bersifat homogeneous dikendalikan oleh adanya common will, maka hubungan-hubungan social di antara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama daripada kehidupan masyarakat. Apa yang kita uraikan di atas adalah gambaran masayarakat Indonesia pada masa Hidia-Belanda menutut Furnivall. Keadaan masyarakat pada masa Hindia- Belanda tentu saja sangat berbeda, oleh karena itu gambaran masyarakat Indonesia yang dipaparkan oleh Furnivall harus tidak begitu saja diperlakukan kedalam kehidupan masyarakat pada masa sekarang. Suatu masyarakat majemuk, adalah masyarakat dalam mana system nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan social yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Menurut Nasikun, secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. (1) Sistem nilai kurang berkembang (consensus), system nilai ini kurang berkembang dikarenakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai keberagaman. (2) Konflik social sering timbul. (3) Kurangnya integrase dan ketergantungan. Dan sedangkan menurut C. Greetz, masyarakat majemuk terdiri dari sub-sub system yang berdiri sendiri, terikat oleh ikatan primodial. Suatu masyarakat majemuk tiidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat heomogeneus. Yang disebut kedua, sebaliknya, merupakan suatu masyarakat dengan tingkay doferensiasi yang tiggi dengan banyak Lembaga yang bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Di dalam artian yang demikian itulah, maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk. Ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa pluralitas mesyarakat Indonesia yang deemikian itu terjadi. Keadaan geoggrafis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat yang lebih 1.000 mil dari utara ke selatan, merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa Indonesia. Factor yang keduan, yakni kenyataan bahwa Indonesia terletak di anatar Samudra Indonesua dan Samudra Pasifik, sangat memperngaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Karena letaknya yang berada di tengah-tengah lalu-linyas perdagangan laut melalui kedua Samudra tersebut, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama sekali memperoleh berbagai-bagai pengaru budaya bangsa lain melalui para pedagang asing. Hasil final daripada semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyrakat Indonesia. Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai-bagai daerah di kepulauan Nusantara ini, merupakan factor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Data penyebaran penduduk pada tahun 1930 dan 1961 memperlihatkan kontras yang pertama. Kontras tersebut tiak saja mempengaruhi persoalan pengadaan pangan, akan tetapi kebih dari pada itu bahkan mempengaruhi keseluruhan pola perekonomian di kedua daerah tersebut. Pemerintahan Hindia-Belanda yang berlangsung tidak kurang dari 350 tahun itu bukannya meniadakan kontras antara Jawad dan luar Jawa, melainkan membiarkannya demikian. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional yang telah kita uraikan di atas merupakan dimensi-dimensi horizontal daripada struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke waktu, dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisassi social berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan. Di dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sector ekonomi yang demikian, dua sector ekonomi yang sangat berbeda sekali wataknya berhadapan satu sama lain. Sector yang pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional, dibimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan yang maksimal, dan di dalam konteks masyarakat colonial hampir sepenuhnya dikuasaioleh orang-orang asing atau keturunan orang-orang asing, termasuk golongan penduduk golongan Tionghoa, yang terutama berasal dari ddaerah-daerah metropolitan di mana pusat kekuasaan pemerintahan dan kegiatan ekonomi berbeda. Sector yang kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menurut teori ekonomi modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada sikap-sikap konservatif,, dibimbing oleh motif- motif untuk memelihara keamaan dan kelanggengan system yang sudah ada, tidak berminat pada usaha-usaha untuk memperoleh keuntungan dan penggunaan sumber-sumber secara maksimal, lebih berorientasipada motif-motif untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan-kepentingan social daripada menanggapi rangsagan-rangsangan dari kekuatan-kekuatan iinternasional, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara dinamis. Perbedaan antara kedua sector tersebut secara integral berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern, dengan struktur masyarakat pedesaan pedesaan yang bersifat tradisional. Gambaran berikut hanya melukiskan pola stratifikasi social berdasarkan ukuran luasnya pemilikan tanah di daerah-daerah Jawa Barat, Jawa Tengah,, Sulawesi dan Nusatenggara, namun ia barangkali telah cukup menunjukan kepada kita sampai seberapa jauh polarisasi social di dalam masyarakat Indonesia telah berkembang. STRUKTUR MASYARAKAT MAJEMUK
Oleh: Putu Eka Febyanti 1701571005 Ni Kadek Anggara Dwi Putri 1701571021 I Ketut Agus Giri Parmita 1701571036