Anda di halaman 1dari 2

A.

PENAMPILAN KOTA

Pada tahun 70-an Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan kota budaya, kota perjuangan, kota pelajar,
kota tujuan wisata dan juga kota sepeda. Namun sejak tahun 80-an Yogyakarta berubah menjadi kota
yang modern sama seperti kota-kota besar di Jawa lainnya. Beberapa bangunan megah mulai berdiri di
kota ini, sehingga keberadaan pasar tradisional menjadi tersingkirkan. Kemudian pada tahun 1990-an,
taksi-taksi mulai merajalela, sehingga dalam hal ini mendorong para pengemudi becak untuk berpindah
tempat.

Para pemerintah telah mengkonstruksi, memanfaatkan, mengeksploitasi dan dengan sengaja mengubah
kota Yogyakarta sesuai dengan ideologi mereka. Awalnya pemerintah kota melakukan suatu pergerakan
dalam mengeksploitasi kota Yogyakarta menjadi kota bersih, sehat, indah, dan nyaman bagi masyarakat
kota. Namun secara tidak langsung pemerintah mengubah kesan tersebut menjadi kesan yang
materialistis dan juga kesan estetis. Pemerintah sengaja mempertontonkan kesan kota yang mewah dan
juga fantasis kepada masyarakat yang sebenarnya masyarakat tersebut mempunyai kehidupan yang
jauh berbeda dari kata mewah dan fantasis. Dalam hal ini membuat suatu konflik antara golongan kaya
dan golongan miskin menjadi semakin lebar yang semuanya membawa dampak terhadap perubahan
dan pola - pola eksploitasi komoditi, kepentingan – kepentingan, persepsi, hubungan, partisipasi,
perlawanan pasih, dan aktifitas hidup sehari – hari.

Dengan kondisi ini, maka terciptalah para pemulung di kota Yogyakarta. Untuk menentukan jumlah para
pemulung di kota Yogyakarta tidaklah mudah, sangat sulit. Karena mereka pasti lebih cenderung
bersembunyi saat adanya petugas razia. Pemulung jalanan hidup dibawah ilusi dan baying-bayang kota
yang mewah dan fantastis. Kehidupan jalanan merupakan kehidupan yang sangat sulit jalanan yang
penuh berbagai macam bahaya tidk dapat diatasi dengan begitu saja. Orang jalanan menghadapi banyak
sekali dari orang sekitarnya misalnya masyarakat pada umumnya dan petugas ketertiban. Disamping itu
factor ilmu sosial dan budaya semakin lama semakin menyingkirkan keberadaan mereka. Mereka harus
berjuang untuk mengatasi hal ini dengan mencuri atau menekan orang jalanan lainnya untuk bertahan
hidup.

Sebagian besar dari mereka mengumpulkan barang bekas yang dijual untuk didaur ulang sehingga dari
hasil tersebut bisa membuat mereka bertahan hidup

Menurut para pemulung citra Yogyakarta sudah dianggap sebagai tempat yang potensial untuk
melakukan kegiatan sebagai pemulung kota Yogyakarta yang tidak terlalu besar namun memiliki tempat
– tempat strategis untuk melaksanakan aktifitas mereka dan menghindar dari petugas ketertiban.
Tempat -–tempat strategis tersebut yaitu Sungai Winongo, Code, dan Gajah Wong dikota madya
Yogyakarta. Kemudian dalam pandangan pemulung jalanan kapan kiwo atau Papan Ndelik adalah
tempat bersembunyi, tempat – tempat dimana jauh dari pandangan orang kebanyakan.

Pemulung jalanan menyebut orang yang berada diluar kelompok mereka sebagai orang kebanyakan.
Orang kebanyakan (orang umum) cenderung menghindari tempat – tempat sampah hidup dengan
keluarga mereka, mempunyai rumah, mempunyai kewajiban formal, dan lain sebagainya. Sebaliknya
orang jalanan tidak akan bisa hidup tanpa melepaskan diri dari keberadaan tempat – tempat sampah,
biasanya tidak memiliki keluarga, hidup dijalanan, dan relative bebas dari kewajiban formal. Kondisi
semacam ini membuat orang kebanyakan menganggap orang jalanan adalah orang bodoh atau malas.
Kenyataannya pemulung tidak bodoh atau malas hanya saja mereka mencari cara untuk bertahan hidup

Anda mungkin juga menyukai