Anda di halaman 1dari 89

ETNOGRAFI PAPUA

Dosen Pengampu:
Aliffiati, S.S.M.Si.

Disusun Oleh:
 I Made Aditya Darma 1701571040
 Putu Eka Febyanti 1701571005
 Ni Kadek Ratni Cendayani 1701571010
 Valentina Yeuyanan 1701571015
 Ni Kadek Anggara Dwi Putri 1701571021
 A. A. Gde Agung Krisna Putra 1701571033
 I Ketut Agus Giri Parmita 1701571036

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
A. PROVINSI PAPUA
1. SEJARAH

Provinsi Papua dulu mencangkup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga
sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM),
gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara
sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai
Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian
Barat pada tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh
Soeharto pada saat meresmikan tambang-tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap
digunakan secara resmi hingga tahun 2002.

Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (Penggabungan
Papua Tengah dan Papua Timur). Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia;

a) Bagian timur tetap memakai nama Papua. Bagian timur inilah yang menjadi
wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
b) Bagian baratnya menjadi provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi
Papua Barat).
2. GEOGRAFI

Luas wilayah provinsi Papua adalah 217062 (km2) terletak di antara 1300 – 1410
Bujur Timur dan 2025 Lintang Utara – 90 Lintang Selatan. Jika dibandikan dengan wilayah
Republik Indonesia, maka luas wilayah Provinsi Papua merupakan 19.33 persen dari luas
Negara Indonesia yang mencapai 1.890.754 (km2). Ini merupakan provinsi terluas di
Indonesia.

Kabupaten Merauke merupakan daerah yang terluas yaitu 4397 Ha atau 13.87%
dari total luas Provinsi Papua. Sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah terkecil tetapi
apabila dibandingkan dengan kota se-Indonesia, maka Kota Jayapura merupakan kota
terluas. Kota Wamena (Jayawijaya) dengan ketinggian 2000 – 3000 meter di atas
permukaan laut merupakan kota tertinggi dan terdingin di Papua. Sedangkan yang terindah
adalah kota Merauke dengan ketinggian 3.5 meter di atas permukaan laut
Kota Jayapura merupakan daerah dengan suhu udara tertinggi, mencapai 28,2 0C
ditahun 2005 sedangkan Wamena merupakan daerah dengan suhu udara terendah mencapai
19.4 0C pada tahun 2004. Presentase kelembaban udara tertinggi mencapai 87% di Biak
pada tahun 2005 dan terendah mencapai 77% Di Serui pada tahun 2001. Rata-rata
penyinaran matahari tercatat di Merauke yang mencapai 70% pada tahun 2005 sedangkan
persentase terendah tercatat pada tahun 2003 di Biak yang mencapai 37%.

3. KEPENDUDUKAN

Jumlah penduduk sekitar 4.500.000 dengan angka kepadatan penduduk 10,7


jiwa/Km2. Penduduk Papua terdiri dari penduduk asli dan juga pendatang.

Persentase penduduk Papua jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia secara


keseluruhan tercatat sebesar 0.77% pada tahun 1971. Kemudian pada tahun 1980
meningkat menjadi 0,79%. Tahun 1990 peningkatan persentase jumlah penduduk Papua
sangat tinggi yang mencapai 0,91%. Pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi
0.86% dan terakhir pada tahun 2005, persentase jumlah penduduk Papua tercatat sebanyak
0.85%.

 Kelompok suku asli Papua

Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 225 suku, dengan bahasa yang masing-
masing berbeda . Suku-suku tersebut antara lain;

- Ansus - Iha - Wamen


- Amugme - Kamoro - Muyu
- Asmat - Mandobo - Tobati
- Ayamaru - Mee - Enggros
- Bauzi - Meyakh - Korowai
- Biak - Moskona - Fuyu
- Dani - Nafri - Souk
- Empur - Sentani - Hatam

Suku-suku pendatang di Papua, diantaranya adalah suku Batak, suku Jawa, suku
Makassar, suku Manado, dan lain-lain.
 Bahasa

Bahasa sehari-hari masyarakat Papua adalah berbahasa Indonesia selaku bahasa


persatuan nasional dan daerah.

 Agama

Agama yang dianut masyarakat Papua secara mayoritas adalah Kristen Protestan.

- Kristen Protestan 51.2%


- Katolik 25.42%
- Islam 23%
- Hindu 0,25%
- Buddha 0,13%
- Lain-lain 1%

4. PENDIDIKAN

Pemerintah berupaya menaikkan mutu pendidikan di Provinsi Papua dengan


memberikan peneguhan untuk mengejar ketertinggalan. Peningkatan mutu pendidikan
dilakukan secara bertahap agar setara denga sekolah di daerah lain. Sesuai dengan Instruksi
Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 Menteri Pendidikan Nasional, yaitu dengan
memberikan dukungan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam
meningkatkan akses pendidikan. Mutu dan daya saing lulusan melalui penyedian sarana
dan prasarana pendidikan, peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik dan tenaga
kependidikan formal dan non-formal baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah
maupun tinggi sesuai dengan Rencana Induk; Memfasilitasin Pemeritahan Provinsi Papua
Barat dalam menyelengarakan pendidikan kejuruan, keterampilan dan keahlian yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu, teknologi, kondisi wilayah dan sosial budaya
maupun tantangan pembangunan ke depan; Memfasilitasi Pemerintah Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat dalam melakukan perintisan sekolah berkeunggukan lokal;
Memberikan kesempatan yang lebih luas kepada putra-putri Papua dan Provinsi Papua
Barat, dan mengupayakan dukungan beasiswa.
 Perguruan tinggi swasta di Provinsi Papua

 Universitas Kristen Papua, Jayapura


 Universitas Musamus, Merauke
 Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura
 Universitas Satya Wiyata Mandala, Nabire
 Universitas Yapis Papua, Jayapura
 Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur Jayapura, Jayapura
 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi amal ilmiah Wamena, Jayawijaya
 Sekolah Tinggi Administrasi karya dharma, Merauke
 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Yapis Biak, Biak Numfor
 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jembatan Bulan Timika, Mimika
 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Otto dan Geissler Serui, Yapen Waropen
 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay Jayapura Jayapura
 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bintuni, Teluk Bintuni
 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri Jayapura
 Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Muhammadiyah Jayapura, Jayapura
 Sekolah Tinggi Seni Papua, Jayapura
 Sekolah tinggi teknik Merauke, Merauke
 STFT GKI izaak Samuel Kijne Jayapura, Jayapura
 STIE Ottow Geissler Jayapura, Jayapura
 STIPER Santo Thomas aquinas Jayapura, Jayapura
 STISIP Silas papare Jayapura, Jayapura
 Politeknik Amamapare Timika, Mimika
 Politeknik Pertanian Yasanto, Merauke
 Akademi Pariwisata 45 Jayapura, Jayapura
 Akademi Perikanan Kamasan Biak, Biak Numfor
 Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia Jayapura, Jayapura
 Akademi Teknik Biak Biak Biak numfor
 AMIK Umel Mandiri, Jayapura
5. PEMERINTAHAN
 Kabupaten dan Kota

NO KABUPATEN KOTA
1 Asmat Agats
2 Biak Numfor Biak
3 Boven Digoel Tanah Merah
4 Deiyai Tigi
5 Dogiyai Kigamani
6 Intan Jaya Sugapa
7 Jayapura Sentani
8 Jayawijaya Wamena
9 Keerom Waris
10 Kepulauan Yapen Serui
11 Lanny Jaya Tiom
12 Mamberamo Raya Burmeso
13 Mamberamo Kobakma
14 Mappi Kepi
15 Merauke Merauke
16 Mimika Timika
17 Nabire Nabire
18 Nduga Kenya
19 Paniai Enarotali
20 Pegunungan Bintang Oksibil
21 Puncak Ilaga
22 Puncak Jaya Mulia
23 Sarmi Sarmi
24 Supiori Sorendiweri
25 Tolikara Karubaga
26 Waropen Botawa
27 Yahukimo Sumohai
28 Yalimo Eliem
 Daftar Gubernur
1) Zainal Abidin Syah masa
jabatan 1956-1961
2) P. Pamuji masa jabatan
1961-1962
3) Elias Jan Bonai masa
jabatan 1962-1964
4) Frans Kaisiepo masa jabatan
1964-1973
5) Acub Zaenal masa jabatan
1973-197
6) Sutran masa jabatan 1975-
1981
7) Busiri Suryowinito masa
jabatan 1981-1982
8) Izaac Hindom masa jabatan
1982-1988
9) Barnabas Suebu masa
jabatan 1988-1993
10) Jacob Pattipi masa jabatan
1993-1998
11) Freddy Numberi masa
jabatan 1993-1998
12) Jacobus Perviddya Salosa
maa jabatan 2001-2005
13) Sodjuangan Situmorang
masa jabatan 2005-2006
14) Barnabas Suebu masa
jabatan 2006-2011
6. RUMAH ADAT
1. Honai

Honai adalah salah rumah adat Papua,


tepatnya rumah adat suku Dani yang bisa ditemukan
di Lembah dan pegunungan provinsi Papua. Wilayah
yang cukup banyak ditemukan ialah di lembah
Baliem atau Wamena dengan suku Lani yang
menempatinya dan masih banyak lagi. Bangunannya
terbuat dari kayu dengan atap yang memiliki bentuk
kerucut yang terbuat dari jerami. Rumah Honai dibangun dengan ruang yang cukup sempit dan
tanpa ada jendela, hal ini bertujuan menahan dingin di pegunungan Papua. Bangunan ini
memiliki tinggi mencapai 2,5 meter di atas permukaan laut yang membuat hal tersebut
mendorong orang Papua untuk membuat rumah dengan tinggi yang cukup rendah serta pada
bagian tengah rumah dibuat lingkaran tempat membuat api sebagai penghangat badan. Supaya
udara dingin dari luar tidak masuk kedalam rumah, serta tempat berlindung dari hewan liar.

Pada bagian atap rumah Honai dibentuk kurucut yang dibuat dari jerami. Untuk
fungsinya agar melindungi permukaan dinding dari air hujan serta dapat membatasi udara
dingin yang masuk ke dalam rumah.Sedangkan untuk bagian dinding rumah terbuat dari kayu
dan hanya diberi satu pintu tanpa jendela satu pun. Ruangan rumah adat Papua ini terbagi
menjadi 2 lantai. Pertama lantai memiliki fungsi sebagai temapat tidur dan lantai yang memiliki
fungsi untuk beristirahat, makan, dan berkumpul dengan keluarga.

Penerangan pada malam hari menggunakan kayu yang dibakar dibagian tengah rumah.
Selain untuk penerangan, panas dari bara api juga dimanfaatkan untuk menghangatkan badan
penghuni rumah. Tidak seperti masyarakat modern yang tidur beralaskan kasur, para penghuni
rumah ini memakai rerumputan kering sebagai alas tidur. Pada rumah ini terdapat tiga jenis
ruangan, di antaranya; lantai pertama digunakan untuk makan, memasak serta kegiatan harian.
Kemudian untuk lantai kedua digunakan untuk tidur, ruangan ini berisi beberapa kamar yang
saling berhubung. Pada lantai dasar terdapat lubang di tengah yang digunakan untuk
menyalakan api.
Bagian-bagian rumahnya dibagi menjadi rumah Honai untuk laki, Ebeai untuk
perempuan dan Wanai untuk hewan ternak. Untuk ukuran Honai untuk laki-laki lebih besar
dibandingkan Ebeai untuk perempuan.

2. Rumah Adat Kariwari

Kariwari merupakan rumah adat suku Tobati-


enggros yang tinggal di sekitar tepian Danau Sentani di
Kabupaten Jayapura, Papua. Bangunan rumah ini
digunakan khusus untuk laki-laki yang sudah berusia
12 tahun. Di tempat ini anak laki-laki dikumpulkan dan
didik untuk mengenal dan belajar mencari
penghidupan. Dengan tujuan agar kelak ketika dewasa
menjadi kuat, terampil dan pintar. Semisal belajar
memahat, membuat perisai, perahu, bercocok tanam, dan teknik dalam berperang.

Bentuk bangunan seperti limas segi delapan dengan atap berbentuk kerucut. Bangunan
ini kuat menahan angin yang cukup kencang dari segala arah. Bentuk atap yang kerucut juga
memiliki makna yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat untuk mendekatkan diri
dengan roh para leluhurnya. Beberapa bahan untuk membangun rumah ini seperti kulit kayu
dijadikan alat lantai, bambu yang dibelah kemudian disusun untuk dinding.

Kemudian untuk atap menggunakan daun sagu yang ditata rapi. Menariknya bangunan
ini hanya memiliki 8 buah kayu utuh sebagai kerangkanya dan disambung menggunakan tali.
Jenis kayu yang digunakan adalah kayu besi. Sedang batang kayu utuh memiliki fungsi untuk
menjaga keseimbangan bangunan dan menahan atap bangunan agar tidak terlepas.

7. TARIAN
Tarian-tarian rakyat Papua adalah : Tari musyoh ,Tari Suanggi tari Selamat
Datang Tarian Seka Tarian Yosim Pancar (Yospan) Tari Magasa, tari perang, tari
sajojo,wutukala.

8. LAGU DAERAH
Lagu daerah masyarakat Papua adalah Apuse, Yamko Rambe Yamko dan masih
banyak lagi.
9. PAKAIAN ADAT

 Koteka

Koteka Koteka adalah sebuah penutup kemaluan sekaligus pakaian adat laki-
laki Papua. Pakaian ini berbentuk selongsong yang mengerucut ke bagian depannya.
Koteka dibuat dari bahan buah labu air tua yang dikeringkan dan bagian dalamnya (biji
dan daging buah) dibuang. Labu air yang tua dipilih karena cenderung lebih keras dan
lebih awet dibanding labu air muda, sementara pengeringan dilakukan agar koteka tidak
cepat membusuk. Koteka digunakan sebagai pakaian sehari-hari maupun sebagai
pakaian saat melakukan upacara adat dengan cara diikat ke pinggang menggunakan
seutas tali sehingga ujung koteka mengacung ke atas. Khusus untuk yang dikenakan
saat acara adat, koteka yang digunakan biasanya berukuran panjang serta dilengkapi
dengan ukiran-ukiran etnik. Sementara untuk yang dikenakan saat bekerja dan aktivitas
sehari-hari koteka yang digunakan biasanya lebih pendek.

Di antara jenis pakaian adat Papua lainnya, koteka menjadi yang paling populer,
bahkan bagi masyarakat dunia. Turis-turis yang datang ke Papua biasanya akan
membeli koteka dan menjadikannya sebagai cendera mata khas Papua
 Rok Rumbai

Jika para pria mengenakan koteka, maka para wanita Papua akan mengenakan rok
rumbai. Rok rumbai adalah pakaian adat Papua berupa rok yang terbuat dari susunan daun
sagu kering yang digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah. Dalam beberapa
kesempatan, selain dikenakan wanita, rok rumbai juga bisa dikenakan para pria. Rok
rumbai umumnya akan dilengkapi dengan hiasan kepala dari bahan ijuk, bulu burung
kasuari, atau anyaman daun sagu.

 Perlengkapan Lain (Aksesoris)

Pakaian Adat Papua Selain koteka dan rok rumbai, orang-orang suku asli Papua
juga mengenal aksesoris lain yang digunakan untuk mempercantik penampilannya saat
mengenakan pakaian adat. Pelengkap pakaian adat Papua tersebut misalnya manik-manik
dari kerang, taring babi yang dilekatkan di antara lubang hidung, gigi anjing yang
dikalungkan di leher, tas noken (tas dari anyaman kulit kayu untuk wadah umbi-umbian
atau sayuran yang dikenakan di kepala), serta senjata tradisonal adat Papua yaitu berupa
tombak, panah, dan sumpit.

10.ALAT MUSIK
 Pikon

Pikon adalah alat musik tradisional daerah Papua.


Pikon diyakini berasal dari kata Pikonaneyang dalam
bahasa Baliem berarti bunyi, dalam kesenian alat
musik tradisional Papua pikonkebanyakan dimainkan
oleh kaum laki-laki, khususnya di daerah pedalaman
suku Dani.
Meskipun banyak yang menyebut Pikon adalah alat musik, suara yang
dihasilkan darinya tidaklah sebaik yang kalian bayangkan bahkan bisa dibilang suara
yang dihasilkan sedikit mengganggu jika kalian tidak terbiasa mendengarnya
(sumbang).
Alat musik tradisional Pikon ini biasanya dimainkan disaat waktu senggang
untuk mengisi kekosongan waktu dan juga menghibur diri dari kepenatan para pria
selepas berburu atau bekerja seharian, mereka berkumpul dan memainkan Pikon di
honai (rumah kayu yang berbentuk kerucut, terbuat dari jerami atau ilalang)

 Yi
Selanjutnya, ada Yi yang berbentuk seperti “suling”, Yi terbuat dari kayu dan
bambu. Alat musik ini dulunya digunakan untuk memanggil penduduk dan juga sebagai
pengiring tari-tarian daerah . Nama alat tradisional Papua ini memanglah sangat simpel
namun suara yang dihasilkan sangatlah unik.
 Triton
Sekilas jika kita mendengar nama alat musik tradisional dari
Papua “Triton” seperti tidak asing, Triton memang
merupakan nama sebuah daerah (sebuah teluk lebih
tepatnya) yang “katanya” memiliki keindahan hayati yang
lebih indah dari Raja Ampat.

Penggunaan Triton. Alat musik tradisional Papua Triton dimainkan dengan cara ditiup.
Alat musik ini tidaklah dibuat melainkan kalian bisa temukan hampir di seluruh pesisir
pantai di Papua, seperti: Biak, Yapen, Waropen, Nabire, Wondama, serta Kep. Raja Amat.

Selain Yi, Triton juga merupakan alat musik tradisional dari Papua Barat. Dulunya, triton
sering dimanfaatkan untuk sarana berkomunikasi dan memanggil bantuan, namun sekarang
lebih sering digunakan untuk hiburan semata.

 Fuu

Alat musik Fuu terbuat dari kayu dan bambu yang digunakan sebagai
alat untuk memanggil penduduk suku tertentu dan juga mengiringi
tari-tarian tradisional suku Asmat (salah satu suku di pedalaman
Papua) di kabupaten Merauke, Papua. Bisa dibilang Fuu merupakan
paduan antara bentuk “suling” dan “tabung” karena memang
bentuknya yang gempal dan berlubang pada ujungnya, Fuu biasa dimainkan berkolaborasi
dengan alat musik Papua lainnya seperti Tifa dan atau Kelambut.

 Kecapi Mulut
Kecapi mulut adalah alat musik yang terbuat dari bambu
wulu, untuk memainkannya-pun ada teknik tersendirinya.
Untuk memainkan Kecapi mulut, alat musik ini harus kalian
jepit diantara bibir, lalu ditiup sambil menarik talinya. Alat
musik ini diyakini berasal dari Suku dani yang ada di
lembah Baliem, Papua.

Salah satu tempat yang masih menyimpan keaslian dari alat musik Kecapi mulut adalah
museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Kecapi mulut menghasilkan suara
yang tidak terlalu keras, sehingga mungkin penggunaannya hanya untuk hiburan
semata.

 TIFA
Alat musik tradisional Papua Tifa dimainkan dengan cara dipukul,
memang seperti gendang karena teknik memainkannya pun hampir
sama. Tifa terbuat dari batang kayu yaang dikosongi atau diambil
isinya, lalu salah satu sisinya diberikan kulit rusa yang telah
dikeringkan untuk menghasilkan suara.

Kulit rusa hanyalah salah satu pilihan untuk membuat bagian yang dipukul, mereka
mungkin bisa saja menggantinya dengan menggunakan kulit hewan lainnya. Tifa juga
alat musik yang memiliki cerita legenda, salah satunya adalah cerita tentang “Biwar
sang penakluk naga”

Tifa juga memiliki berbagai macam jenis, diantaranya: Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa
Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas. Tifa digunakan sebagai iring-iringan lagu,
berdansa disertai api unggun dan lainnya, namun pada jaman dulu Tifa merupakan
penyemangat perang.
 Paar & Kee

Paar dan Kee bisa dibilang seperti sepasang perangko dan


surat. Paar terbuat dari Labu dan Kee terbuat dari tulang
burung kasuari. Fungsi Paar dan Kee biasanya digunakan
sebaga penutup aurat laki-laki namun juga digunakan
sebagai alat musik di beberapa pesta adat.

Para penari yang menggunakan Paar dan Kee melompat


lompat sehingga kedua benda ini bersentuhan menciptakan bunyi yang memiliki irama. Alat
musik ini berasal dari Suku Waris di Kab. Keerom

 Butshake
Butshake terbuat dari Bambu dan buah kenari, alat musik ini
berasal dari daerah Muyu Kabupaten Merauke. Instrumen
musik ini memiliki suara gemericik saat diayunkan atau
dikocok menggunakan tangan. Butshake biasanya digunakan
oleh masyarakat Papua sebagai pengiring tarian adat.

Pada prinsipnya Butshake adalah instrumen musik yang suaranya tercipta dari hasil
“tabrakan” antar kenari yang ada pada bambu. Mungkin di era modern ini Butshake mirip
dengan “marakas“.
B. PROVINSI PAPUA BARAT
1. Sejarah
Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU
Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian
Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota
Sorong. Serta mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun
1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah
dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana
pemekaran provinsi menjadi tiga ditolak warga papua di Jayapura dengan demonstrasi
akbar pada tanggal 14Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan,
sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999.
Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili
Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I
Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27
Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya
menjadi provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat
tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui
uji materi. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999
yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya
Barat tetap diakui keberadaannya.
Setelah itu, Provinsi Irian Jaya terus diperlengkapi sistem pemerintahannya,
walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah
yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya
Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gubernur dan wakil gurbernur
definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada
tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU
Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahurí sejak.
Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat
mulai membangun dirinya secara sah. Dan sejak tanggal 18 April 2007 berubah nama
menjadi Provinsi Papua Barat.
2. Geografi
Provinsi Papua Barat memiliki luas wilayah 115.363,50 km2 dengan Kabupaten
Teluk Bintuni merupakan kabupaten terluas yaitu 18.658 km2 atau 16,17 persern dari
total luas wilayah Provinsi Papua Barat dan Kota Sorong merupakan kabupaten dengan
luasan terkecil yaitu 1.105 km2. Provinsi Papua Barat terletak antara 00,0"- 4°,0"
Lintang Selatan dan 124,00"- 132°0" Bujur Timur, tepat berada di bawah garis
khatulistiwa dengan ketinggian 0 - 100 meter dari permukaan laut. Wilayah provinsi
ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan- kepulauan di
sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasífik, ba- gian
barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur
dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan
dengan provinsi Papua. Berdasarkan hasil pencatatan suhu udara pada beberapa Stasiun
yang berada di Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua Barat pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa suhu rata-rata tertinggi terjadi di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong yaitu
sebesar 27,70 derajat celsius dan suhu udara rata-rata terendah berada di Kabupaten
Fakfak yang hanya berkisar 14,50 derajat celsius. Provinsi Papua Barat mempunyai
kelembapan udara yang hampir sama antar Kabupaten/Kota yaitu berkisar pada 83,67
persen sampai 85 persen, dimana angka terendah terjadi di Kabupaten Manokwari dan
yang paling tinggi di Kabupaten Fakfak.
Tekanan udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat menunjukkan bahwa
kabupaten Sorong dan Kota Sorong mempunyai tekanan udara rata-rata tertinggi yaitu
sebesar 1.010,7 mbs, sementara tekanan udara rata-rata terendah terjadi di kabupaten
Fakfak dengan tekanan udara rata- rata sebesar 994,31 mbs.
3. Kependudukan
Berdasarkan hasil pencatatan suhu udara pada beberapa Stasiun yang berada di
Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua Barat pada tahun 2005 menunjukkan bahwa suhu
rata-rata tertinggi terjadi di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong yaitu sebesar 27,70
derajat celsius dan suhu udara rata-rata terendah berada di Kabupaten Fak- fak yang
hanya berkisar 14,50 derajat celsius. Provinsi Papua Barat mempunyai kelembaban
udara yang hampir sama antar Kabupaten/Kota yaitu berkisar pada 83,67 persen sampai
85 persen, di mana angka terendah terjadi di Kabupaten Manokwari dan yang paling
tinggi di Kabupaten Fakfak. Tekanan udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat
seperti yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan bah- wa kabupaten Sorong dan Kota
Sorong mempunyai tekanan udara rata-rata tertinggi aitu sebesar 1.010,7 mbs,
sementara tekanan udara rata-rata terendah terjadi di kabupaten Fakfak dengan tekanan
udara rata-rata sebesar 994,31 mbs.
Bahasa sehari-hari masyarakat Papua Barat adalah bahasa Indonesia selaku
bahasa persatuan nasional dan bahasa daerah. Sedangkan agama yang dianut ma
syarakat Papua Barat adalah, Islam, Katolik, dan lain-lain. Sedangkan mayoritas
memeluk agama Kristen Protestan.
4. Pendidikan
Proses peningkatan kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya
merupakan modal investasi manusía bagi kepentingan pembangunan daerah, bahkan
sampai pada tingkat nasional Pembangunan pendidikan yang masih menempati posisi
penting dalam skala prioritas ini akan terus ditingkatkan, program wajib belajar 9 tahun
bagi pendidikan dasar terus digalakkan sehingga diharapkan seluruh anak-anak usia
sekolah dapat memasuki jejang pendidikan dasar.
Berdasarkan data Sensus Ekonomi 2004 di Provinsi Papua Barat, persentase
penduduk berumur 10 tahun yang buta huruf di Provinsi Papua Barat pada tahun 2004
sebesar 9,45 persen dengan angka tertinggi terdapat di Kabupaten Manokwari yaitu
sebesar 51,80 persen dan angka terendah berada di Kabupaten Fakfak dan Raja Ampat
yaitu sebesar 1,30 persen. Komposisi persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan
oleh penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Papua Barat pada tahun 2004 adalah
tamat sekolah dasar menempati urutan tertinggi dengan jumlah sebesar 35,88 persen,
sementara tidak tamat SD sebesar 19,63 persen, tidak/belum pernah sekolah 6,05 persen
dan yang SLTP dan SMU masing-masing sebesar 18,30 persen dan 12,23 persen.
Sementara untuk SLTA kejuruan, akademi dan yang sem- pat lulus sarjana masing-
masing sebesar 4,87 persen, 0,60 persen dan 1,83 persen. Perguruan tinggi negeri di
provinsi Papua Barat Universitas Negeri Papua, Manokwari.
5. Pemerintahan
Kabupaten dan Kota :
1. Kabupaten Fakfak (Ibukota: Fakfak)
2. Kabupaten Kaimana ( Ibukota: Kaimana )
3. Kabupaten Manokwari (Ibukota: Manokwari)
4. Kabupaten Maybrat (Ibukota: Kumurkelk)
5. Kabupaten Raja Ampat (Ibukota: Waisai)
6. Kabupaten Sorong (Ibukota: Sorong)
7. Kabupaten Sorong Selatan (Ibukota: Teminabuan)
8. Kabupaten Tambrauw (Ibukota: Fef)
9. Kabupaten Teluk Bintuni (Ibukota: Bintuni )
10. Kabupaten Teluk Wondama (lbukota: Rasiei)
11. Kota Sorong
 Daftar gubernur
1. Abraham Octavianus Atururi (masa jabatan: 2003-23 Jul 2005)
2. Timbul Pudjianto ( masa jabatan: 23 Jul 2005 -24 Jul 2006)
3. Abraham Octavianus Atururi (masa jabatan: 2006-sekarang)
6. Perekonomian
Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian, pertam-
bangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut dihasilkan di ka
bupaten Raja Ampat sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang
dísebut kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat
diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya.
 Potensi Industri dan Pertambangan
a) Emas, Kayu lapis, Minyak bumi, Mutiara, Perak, dan lain-lain.
b) Industri Tradisional Tenun ikat (kain Timor), sirup pala harum, dan lain-
lain.
 Potensi Pertanian dan Agro
a) Coklat, Karet, Kelapa, Kopi, Rumput laut, dan lain-lain
 Potensi Pariwisata
a) Taman Nasional Teluk Cendrawasih, dan tempat-tempat lainnya.
b) Sektor Pertanian di Provinsi Papua Barat didominasi dari subsektor
Kehutanan dan Perikanan mampu memberikan sumbangan nilai tambah
yang cukup besar bagi perekonomiannya Hasil sektor pertanian sangat besar
pengaruhnya terhadap penciptaan nilai tambah PDRB Provinsi Papua Barat,
walaupun sejak tahun 2001 peranannya terus mengalami penurunan hingga
sebesar 27,24 persen pada tahun 2005.
c) Sektor Industri pengolahan menempati urutan kedua dalam sumbangannya
terhadap perekonomian Papua Barat yaitu sebesar 19,99 persen. Jika dilihat
dari sub sektornya, peningkatan nilaí tambah pada sub sektor industri migas
sangat mempengaruhi adanya peningkatan pada sektor industri pengolahan
dengan peranan sebesar 12,83 persen.
d) Sektor pertambangan dan penggalian menempati urutan ketiga pembentuk
PDRB Provinsi Papua Barat dengan peranan sebesar 19,34 persen,
mengalami peningkatan apabila dibandingkan pada tahun 2003 yang
besarnya 18,42 persen Sub sektor migas yang sangat berpengaruh terhadap
naik turunnya peranan sektor pertambangan dan penggalian memiliki
peranan tertinggi dibandingkan dengan sub sektor-sub sektor pada sektor
lainnya yaitu sebesar 18,63 persen. Sektor perdagangan, Hotel dan
Restauran merupakan penyumbang berikut dalam pembentukan PDRB
Provinsi Papua Barat. Peranan sektor ini pada tahun 2005 sebesar 9,73
persen sedikit mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun
2003 yang besarnya 10,01 persen.

7. Seni dan Budaya


 Seni Kebudayaan Tradisional Daerah Papua Barat
Pulau Papua atau Irian Jaya terbagi dalam dua provinsi yaitu provinsi Papua dan
Papua Barat. Maka dalam hal kebudayaan tidaklah berbeda jauh karena sebelumnya di
wilayah Papua ini hanya terdapat satu provinsi saja.
Papua Barat memiliki tas tradisional bernama Noken yang merupakan
perlambangan simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi
perempuan Papua, khususnya Papua Barat. Noken adalah kantong atau tas yang dijalin
dari kulit kayu. Biasanya tas ini digantung di kepala atau leher perempuan Papua untuk
membawa hasil bumi, anak babi, bahkan menggendong bayi. Selain banyaknya bawaan
yang bisa dikalungkan, beberapa perempuan bahkan menggantungkan lebih dari satu
noken di lehernya. Biasanya noken ini disusun bertingkat di atas punggung supaya tidak
saling tumpuk dan berat.
Pakaian Adat : Ewer
Rumah Adat : Rumah Honai
8. Pariwisata
 Wisata Alam
a) Teluk Triton Teluk Triton merupakan potensi wisata baru di Kaimana yang
memiliki kekayaan laut yang luar biasa sebagai tempat wisata. Teluk Triton
menawar- kan keindahan bawah laut, teluk ini menyimpan kekayaan berupa
ikan dan terumbu karang yang beraneka ragam. Di kawasan ini, terdapat 937
spesies ikan, di mana 14-16 di antaranya merupakan jenis baru. Terdapat pula
492 jenis karang yang enam diantaranya juga merupakan jenis baru. Selain
menikmati kekayaan bahasri tersebut, pengunjung juga akan dibuat terpesona
dengan keberadaan lumba-lumba dan ikan paus, yang ramai bermain di sela
pulau-pulau yang tersebar di sekitar Triton.
TUGAS INDIVIDU

NAMA : I KETUT AGUS GIRI PARMITA

NIM : 1701571036

Suku Yali

A. Sejarah Suku Yali

Secara administratif Suku Yali termasuk pada Kabupaten Yahukimo bersama suku
lainnya. Suku ini menempati bagian timur pegunungan tengah. Kabupaten Yahukimo
merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo
mengambil dari empat nama suku besar yang bermukim di sana, yaitu suku Yali, Hubla,
Kimyal, dan Momuna. Suku-suku lainnya yang terdapat di Kabupaten Yahukimo adalah Una-
Ukam, Mek, Yalimek, Ngalik, Tokuni, Obini, Karowai, Dume, Obukain, Kopkaka, dan Bese.
Kabupaten Yahukimo sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Mimika, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang, dan sebelah selatan berbatasan dengan
kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi. Yali atau Yalimo memiliki banyak arti yaitu “Yali”
yang berarti tempat matahari terbit (timur), nama bahasa yang digunakan oleh masayarakat
Yali, dan nama suatu suku atau masayarakat yang mendiami di daerah timur dari kota
Wamena. Kemudian “mo” dari morfem “mu” menunjukan tempat, bukan “mo” berarti
“matahari” seperti yang dikenal oleh banyak orang. Jadi secara harfiah, Yalimu adalah nama
salah satu kelompok Masyarakat atau suku yang mendiami di daerah yang dianggap paling
timur dari pulau Papua ini, nama bahasa yang gunakan oleh orang Yali sebgai alat komunikasi
mereka, dan nama tempat di mana matahari itu terbit (Walianggen C. (2012:2). Nama Yali atau
Yalimu tidak diberi nama setelah masyarakat Yali mengenal Injil namun nama ini sudah ada
dari nenek moyang orang Yali yang memilih dan menempati daerah Yali sebagai daerah
mereka. Jika anda mewawancarai salah satu orang Yali yang memiliki sejarah lengkap, dia
tentunya akan menjelaskan semua sejarah Yali yang perlu diketahui oleh orang banyak.

Yalimu atau Kabupaten Yalimo merupakan pemekaran baru dari kabupaten Jayawijaya
pada tahun 2008 lalu berdasarkan Otsus Papua 2001. Letak geografis dan jumlah penduduk
yang dimiliki oleh suku Yali tidak kalah dengan Kabupaten lain di Papua. Umumnya Suku Yali
bermukim di dataran tinggi ± 3000m diatas permukaan laut yaitu, di pegunungan Provinsi
Papua. Masyarakat Yali bermukim di bawah kaki gunung atau di atas puncak besar dan di
pinggiran sungai-sungai yang besar. Walaupun daerah yang dipikir tidak menguntungkan,
namun dibalik pandangan itu memiliki rahasia yang sangat misterius. Dari tanah yang kaya
dan melimpah yang diberikan oleh sang pencipta, segala sesuatu yang menjadi bagian dari
kebutuhan masyarakat, alam telah menyediakannya karena keakraban masyarakat terhadap
dunia atau alam dimana mereka hidup. “Kinangma Puhula roho winak humuk” (lihat ke dalam
tanah setelah anda menggali tanah) adalah sebuah kalimat yang mengandung motivasi kepada
setiap orang Yali, karena segala berkat yang kita butuhkan ada di bumi, bukan di langit. Tangan
untuk bekerja dan semua yang dibutuhkan akan datang dari hasil usaha manusia. Kemudian,
“kinang fanoma ap inggik fano halug, uhe mel umalikisi mel, anggom mel inahap fanoreg”
(tanah yang subur, orang yang rajin bekerja maka istri, anak-anak dan hewan biaraan terlihat
sehat). Kalimat sederhana ini merupakan suatu hadiah yang pernah ditinggalkan oleh nenek
moyang orang Yali bahwa laki-laki sebagai keluarga wajib berdiri ditengah-tengah keluarga
untuk memberi jaminan dalam hidup.

KabupatenYalimo terletak di bagian barat dari kabupaten Yahukimo dan suku Meek,
bagian utara dari kabupaten Jayawijaya, bagian timur dari kabupaten Mamberamo Tengah dan
bagian Selatan dari Propinsi Papua. Luas wilayah Yalimo berdasarkan data Dinas
Kependudukan pada tahun 2008 mencapai 34.057jiwa dengan luas wilayah 1.253 km². Yalimu
sebenarnya memiliki luas wilayah yang besar dengan jumlah penduduk begitu banyak namun
Yalimu telah dibagi ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Yalimo dan Yahukimo.
Masyarakat Yalipun ikut berpisah dari kelompok Yali besar yaitu Yali dan Yali Meek. Yali
Apahapsili, Yali Abenaho, Yali Gilika dan Yali yang terdekat dengan daerah tersebut masuk
ke Kabuapten Yalimo sedangkan Yali Angguruk, Yali Ninia dan Yali Meek masuk ke
Kabuapten Yahukimo.
B. Bahasa Suku Yali
Yali memiliki dua bahasa yaitu bahasa Yali dan bahasa Meek. Penutur bahasa Yali
adalah Yali Angguruk, Yali Apahapsili, Yali Abenaho dan Yali Ninia. Mereka menggunakan
satu bahasa yaitu bahasa Yali namun memiliki banyak variasi bahasa atau sering disebut
dengan dialek. Tetapi Yali Gilika dan Yali Meek memiliki bahasa Meek yang sangat perbeda
dengan bahasa Yali. Benar seperti yang ditulis oleh linguist Yali, Christian Walianggen dalam
Skripsinya bahwa “Orang Yali adalah multilingual karena orang Yali dapat mengunakan
beberapa bahasa terutama bahasa-bahasa tetangga seperti bahasa Yali, Meek, Dani dan Lani”.
Selain itu hampir seluruh orang Yali dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar

C. Mata Pencaharian Suku Yali


Seperti umumnya masyarakat pegunungan tengah, suku Yali memiliki mata
pencaharian sebagai oetani betatas, hom (keladi), memori, ipere (ubi) dan berburu.
Makanannnya batatas, keladi, buah merah ditanam, kelapa hutan, yang kecil-kecil. Suku Yali
sangat menyukai perhiasan seperti kerang-kerangan. Dilihat dari aneka kebudayaan yang ada
dengan ciri-ciri tersebut diatas, maka mata pencaharian dan unsur-unsur kebudayaan yang lain
sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam yang ada. Oleh senan itu kebudayaan penduduk yang
hidup di daerah Sabana tidak sama dengan penduduk daerah pesisir teluk dan kepulauan.

Adanya perbedaan-perbedaan tersebut diatas melahirkan pula kebudayaan kebendaan


(material culture) yang berbeda pula. Kadang kala orang luar (dari luar Pulau Papua)
mempunyia kesan umum bahwa orang Papua pemakan sagu. Kesan ini sangat keliru dan salah,
sebab umbi-umbian baik tergolong betatas, keladi (taro) ubi jalar singkong (umbi kayu) serta
syafu (yan) dapat dimakan oleh penduduk di daerah pantai, kepulauan dan pegunungan. Di
daerah kebudayaan lain, seperti Asmat, sagu merupakan makanan pokok; di Mamberamo,
pisang merupakan makanan pokok kedua setelah sagu; di daerah kawasan pegunungan
Jayawijaya makanan pokok sebelum betatas adalah buah pandan merah (P. Julianetti)

D. Agama Dan Kepercayaan Suku Yali

Kepercayaan tradisional masyarakat suku Yali menyembah ular,


persembahannya dengan memotong wam (babi) darahnya ditaruh di daun keladi.
Dagingnya dimasak lalu dibawa ke ular. Ularnya nyilang yang muncul hanya kepalanya
saja. Saat ini agama orang suku Yali adalah Kristen Protestan. Akan tetapi ada sebagian
masyarakat yang masih mempercayai kimi, kidi, tuan tanah, dan masih menganggap
keramat seperti gunung. 1. penyelamat (let nenepuk on), kata ini adalah penyelamat
dalam segala hal, contohnya beri kekuatan dalam perang, untuk terbang, untuk memberi
kesuburan dll 2. kekuatan (nenomamne ap angge), kekuatan dalam segala hal,
contohnya dalam bekerja kebun, maju dalam perang. 3. sumber berkat (ok nesauk on),
kasih. 4. menjaga musuh (aho angge) Kenapa suku Yali sangat percaya kepada Kembu?
Kembu adalah penyembahan mereka yang sangat nyata jika mereka perang mereka
memakai kekuatan Kembu, dan Kembu selalu menyatakan dirinya sesuai dengan
kepercayaan mereka, jika ada yang percaya kepada ular, ular itu benar-benar nayata.
jika ada yang percaya kepada kelelawar, kelelawar itulah yang nyata. namun kenyataan
adalah hanyalah si lusifer yang menguasai hidup mereka.

 Mahluk misterius menurut kepercayaan suku Yali


1. Hesirehe (Hesire-He)
Banyak orang selama ini ingin melihatnya, namun Makhluk-makhluk tersebut
memilih untuk menyembunyikan identitas dirinya, mengubur di kedalaman danau yang
belum terselami hingga ke dasarnya dan di celah-celah batu besar atau gunung yang
orang jarang orang dikunjungi. Kisah tentang Hesirehe, Manu, Sisi dan Sirun Sek-sek
diawali oleh Nenek Moyang dalam Naskah Kuno yang tidak tertulis (Naskah Oral),
dengan demikian kami belum bisa memastikan kapan cerita itu dimulai.Suku-suku lain
seperti suku Dani dan Lani memiliki cerita yang sama tentang Makhluk-makhluk
Misterius ini. Suku Dani mengenal dengan nama umum “Mokar, Hesire atau Ai Werek”
dan tempat-tempat terlarang disebut “Mokar Wakunmu – Mokar Wakunmu eti Ag’huni
Kusak dek”. Dan juga suku Lani menyebut nama-nama Makhluk-makhluk Misterius
ini dengan bahasa daerahnya “Kelonggonme, Kugi Iname, Kugi Nanggwi, Yi Mage,
Wam Nggiya-Iyo Wenakwa, Kuguwak dan Kwenakwe (Wanita Hutan)”.
Semua yang disebutkan di atas, sebagian Makhluk Misterius dapat
berkomunikasi dengan Manusia dan juga menyalin hubungan baik dan sebagiannya
hanya ada cerita dalam masyarakat setempat. Akan tetapi sering Makhluk tersebut
menghadirkan musibah atau hukuman yang melibatkan individu atau semua orang jika
ada yang menyakiti hatinya. Sebagian orang mengaku bahwa pernah melihat dan
mendengar suara atau melihat penampakan namun belum pernah melihat dengan jarak
dekat, komunikasi, berjabat tangan atau rumah tempat tinggalnya. Walaupun demikian,
tidak seorang pun yang dapat menjelaskan secara lengkap tentang ciri-cirinya. Salah
satu contoh, Hesire-He/Hesire/Kwenakwe ini bentuknya seperti Manusia namun apa
cirri yang membedakan antara Manusia dan Makhluk Misterius itu? Pasti saja ada
sedikit perbedaan selain kekuatan yang dimilikinya.
Menurut orang yang pernah melihat dalam penampakannya bahwa Hesirehe
(Hesire-He) bentuknya tidak kalah dengan bentuk tubuh kaum Hawa (wanita). Jarang
sekali dalam ceritanya bahwa Hesire-He itu bentuknya seperti laki-laki. Jika diikuti
dalam cerita atau dongengnya bahwa Hesire-He memiliki dua sifat yaitu sifat baik
tetapi buruk. Dia tidak selalu mengganggu Manusia jika tidak menyakiti hatinya. Dia
memililki sifat cari perhatian dan sering menyamar atau menjelma menjadi Manusia
dan mencari kesempatan yang tepat untuk bertindak. Aksi yang dilakukan pun persis
dengan manusia dan sering manusia menjadi korban penipuan. Dengan cerita seperti
ini kami dapat menganalisa bahwa Hesire-He adalah sejenis hewan atau binatang yang
memiliki salah satu rahasia yang manusia tidak dapat membayangkan dan melukiskan
rahasia itu. Buktinya adalah Hesire-He dapat menyelma menjadi manusia di saat-saat
tertentu.
2. Sirun Sek-sek
Sirun Sek-sek (Wam Nggiya-Eyo Wenakwa, Bahasa Lani) tidak dapat
dijelaskan secara lengkap tentang cirri-ciri fisik, karakter atau perilaku aslinya.
Menurut cerita bahwa Sirun Sek-sek memang ada dan bentuknya tidak sama dengan
Hesire-He namun Sirun bentuknya seperti domba, Rusa atau Babi dan memiliki tanduk
dan rambut yang panjang yang hampir menutupi seluruh bagian tubuhnya dan orang
Yali menggolongkan Sirun ke dalam Makhluk Misterius yang tidak dapat dilihat
sampai sekarang.
3. Manu
Manu adalah termasuk makhluk misterius sejenis ular besar yang hidup di
daerah dingin namun Manu dapat hidup di dua alam yaitu: di darat dan di dalam air
atau danau. Manu telah bersembunyi di daerah yang jarang dikunjungi seperti di
gunung atau di kaki gunung-gunung besar. Biasanya, Orang Yali tahu dan mengenal
tempat dimana Manu berdiam diri. Jika di air atau danau, orang Yali takut dan dilarang
untuk mendekatinya untuk mengantisipasi terjadi hal-hal tidak diinginkan oleh
manusia. Jika Manu merasa disakiti, tentunya akan mendatangkan musibah yang hebat
terhadap orang yang mengganggu Manu atau musibah yang melibatkan semua
masyarakat. Bukti-bukti ini membuktikan bahwa Manu benar-benar makhluk yang
Misterius (Yi Mage-Bahasa Lani).
4. Silsil
Silsil merupakan makhluk misterius namun cerita tentang Silsil jarang
diceritakan walaupun menurut orang Yali bahwa makhluk itu ada. Menurut
pendongeng bahwa Silsil memiliki dua bentuk yaitu bentuknya lebih besar dari Anjing
dan bentuk lainnya seperti ular (Ular Naga). Silsil dikenal dengan Makhluk yang
memiliki kesabaran yang tinggi, dikatakan karena sesuai dengan karakter yang
dimilikinya, artinya Manu tidak muda terpengaruh dan dapat mengontrol emosinya
dengan hal-hal yang terjadi di sekitanya. Makhluk ini tidak menjadi terror bagi
masyarakat Yali namun jika ada yang ingin bermain-main secara sengaja dan itu benar-
benar menyakiti hatinya maka tindakan yang diambil lebih parah, rusak dan
menyakitkan. Salah satu saksi mata dari Desa Kulet Distrik Apahapsili Kabupaten
Yalimo, Yuren Kalemon Wilil menjelaskan bahwa beberapa tahun yang lalu pernah
melihat Silsil yang sedang menyandap mangsanya (Anjing), sayangnya bapak Wilil
hanya bisa menonton Anjing kesayangan itu sedang ditarik Silsil dari dalam tanah
dengan kekuatan yang sungguh dasyat. Sebelumnya bapak Wilil berniat tidur bersama
Anjing kesayangannya ‘Kundik’ di Goa Batu itu namun bapak Wilil harus
meninggalkan tempat itu setelah membaca mantra-mantra untuk melindungi diri dari
Silsil.
E. Kesenian Dan Adat Istiadat Suku Yali

Dalam pernikahan, orang suku Yali menggunakan babi sebagai maskawin. Maskawin
kecil, harga dirinya malu, tidak mampu disesuaikan, orang tua wanita memberi waktu satu
tahun atau lebih. Kesenian pada masyarakat suku Yali adalah Suni, sejenis tarian sambil
bernyanyi dan bergoyang, Yungguluk (dansa) dengan cara berkeliling. Dan senjata tradisional
mereka adalah busur. Sistem pengetahuan masyarakat suku Yali adalah obat-obatan , yaitu
gayuh, untuk obat mencret (diare) dengan cara dimasak dibelanga kemudian diminum dan yabi
sebagai obat sakit badan.
Seni dan budaya Yali saat ini masih terlihat di masyarakat karena orang Yali
memandang seni dan budaya merupakan suatu kekayaan atau aset yang nilainya sangat tinggi
dan merawatnya sebagai warisan nenek moyang di masyarakat sampai saat ini. Orang Yali
menari biasanya setelah memakai hiasan dari arang atau tanah liat di seluruh tubuh. Selain itu,
memakai koteka bagi pria dan kem (rok tradisional) bagi wanita adalah sebagai alat menari.
Sue Eruk (bulu burung), Huhubi Eruk (bulu Kaswari) dan Pak Eruk (bulu Kus-kus) juga
digunakan dalam acara atau pesta menari. Mereka mengikat bulu-bulu itu di kepala, tangan,
leher, dan bulu kus Koluang (Tupai) di pucuk koteka yang dikenakan oleh seorang pria.

 Lagu/tarian Yal

1. Eberi

Adalah lagu yang dinyanyiakan oleh tua-tua sebagai penyanyi dan penari dalam
kelompok besar ikut menyanyi sambil berputar dan menari. Semua lagu Eberi yang
dinyanyikan adalah tentang keperuntungan, kegagalan, harapan atau keinginan,
kematian, perkawinan atau pernikahan dan peperangan. Penyanyi sengaja menyanyikan
lagu-lagu yang dianggap sedih pada pagi hari sebelum matahari terbit. Ketika mereka
sedang menyanyi lagu-lagu tersebut tangisanpun ikut bercucuran. Penari ikut
menangis karena sedihnya lagu yang dinyayikan oleh tua-tua Yali.

2. Suleng

Dapat dinyanyikan pada pesta atau upacara namun jarang ditampilkan diluar
rumah. Suleng dinyanyikan dalam posisi duduk dalam suatu rumah (olangko ti) dan
Sulengpun dinyanyikan oleh satu orang atau lebih ketika menyendiri.
Biasanya seorang penyanyi sengaja menyanyikan lagu Seleng dengan suara yang sedih
untuk menciptakan suara lain. Jika suasana sudah lain lagu berikutnya dinyanyikan
disertai dengan tangisan. Umumnya Suleng dinyanyikan untuk, kegagalan, harapan
atau keinginan, kematian, perkawinan. Suleng dilarang untuk dinyanyikan pada pagi
hari atau saat cuaca mendung karena apabila dinyanyikan baik sengaja maupun tidak
sengaja pasti hujan turun
F. Hal yang unik dari suku Yali

Contoh suku Yali dan Suku Dani saling membantun mengamankan wilayah mereka

Suku Yali menganut faham sosialis dengan penuh kasih yang murnih di antara sesama
umat manusia. Yalimo adalah Nama Wilayah Adat, dan Yali adalah Suku atau Orang Yali.
Yalimo artinya Matahari. Ap Yalimuon artinya Manusia dari Matahari Terbit. Matahari terbit
sangat indah, oleh karena itu siapapun tidak boleh mengotorinya.

Dalam peradaban suku Yali, tidak memiliki musuh dari Suku lain di Papua, yang
terutama Suku-Suku di Pegunungan Tengah Papua Barat. Misalnya, Suku Huburla, Suku Lani,
Suku Wendasi, Suku Nduga, Suku Damal dan Amume, Suku Ekari, Suku Moni, Suku Gem,
Suku Yonggal, Suku Yali Meek, Suku Una, Suku Ngalum dan Sub Sukunya.

Sebby mengatakan, kebiasan orang Yali adalah hanya memiliki musuh dalam
lingkungan wilayah kekuasaan mereka. Permusuhan ini sebenarnya tidak berdasar, karena hal
ini terjadi hanya oleh faktor masalah penyakit social internal. Artinya, bukan merupakan musuh
abadi. Masalah penyakit social yang dimaksud muncul karena pertama, factor hak wilayah,
dua, Faktor Perempuan (Bawa lari anak Gadis orang lain atau istri orang lain), ketiga,
perampasan ternak (babi).
NAMA : PUTU EKA FEBYANTI

NIM : 1701571005

SUKU AMUNGME

Suku Amungme atau juga yang dikenal sebagai Amui, Hamung, Amungm, Amuy,
Dhamal atau Uhunduni adalah kelompok orang dengan populasi sekitar 17.700 orang yang
tinggal di dataran tinggi provinsi Papua dari Indonesia. Mereka mempraktekkan pertanian
berpindah, melengkapi mata pencaharian mereka dengan berburu dan meramu. Amungme
sangat terikat dengan tanah leluhur mereka dan menjadikan pegunungan sekitarnya adalah
tempat yang disucikan.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral
dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi
makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya
mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun,
berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada
beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat
keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber
penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal
mereka. Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan
adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis
keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial
serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat
budaya mereka sendiri.
Hal ini telah menyebabkan gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang ingin
mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Perubahan besar
dalam Amungme dari dataran tinggi dan Kamoro dari dataran rendah gaya hidup telah dibawa
oleh tambang Grasberg, terletak di jantung wilayah Amungme dan dimiliki oleh Freeport-
McMoRan, majikan tunggal terbesar di kawasan itu. Emas yang luas dan tembaga telah
mengubah lanskap, dan kehadiran tambang dan infrastruktur telah menarik banyak migran
ekonomi lainnya dari Indonesia Barat serta wilayah Papua lainnya, beberapa di antaranya telah
mencoba untuk menetap di tanah tradisional Amungme. Ini kemudian mengalami sengketa
tanah yang disebabkan mengenai hak tanah adat antara masyarakat Amungme terhadap
perusahaan pertambangan Freeport Indonesia di Timika. Dalam 35 tahun terakhir, Amungme
telah melihat gunung suci mereka dihancurkan oleh tambang, dan menyaksikan kerabat mereka
yang dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia yang "membela" pertambangan, sementara bagi
Kamoro memiliki masalah yaitu lebih dari 200.000 ton limbah dipompa ke sungai mereka
setiap hari. Semua faktor ini telah menciptakan tekanan sosial dan politik yang kompleks, dan
menyebabkan protes yang mulai sering dan atau meletusnya konflik sosial, beberapa di
antaranya telah ditekan secara keras oleh polisi juga militer Indonesia.

Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport
Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme,
dengan nama puncak Nemangkawi di Puncak Jaya. Nemang artinya panah dan kawi artinya
suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang] perdamaian. Wilayah Amungme
di sebut Amungsa.

Menurut legenda konon orang Amungme berasal dari daerah Pagema (lembah baleim)
Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan
hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme
mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka
adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan
selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut
nemangkawi (anak panah putih).

1. Kepercayaan

Hampir sama dengan kebudayaan suku asmat yang merupakan suku terbesar di
papua, suku amungme juga memiliki kepercayaan animisme. Namun yang berbeda, jika
suku asmat sangat percaya adanya dewa yang terpisah oleh alam, suku anisme tidak
memiliki gagasan terkait dengan dewa yang terpisah dengan alam dimana roh roh dewa
dan alam menjadi satu dan sama. Dalam kepercayaan suku amungme juga meyakini bahwa
mereka adalah anak pertama dari anak sulung manusia dan juga merupakan pewaris utama
dari tanah nagawan into (Tuhan).

2. Bahasa

Dalam kesehariannya suku amungme menggunakan bahasa Darmal sebagai bahasa


utama untuk mereka yang tingga dan menetap di daerah utara. Sedangkan bagi para orang
suku amungme yang tingga di daerah selatan maka bahasa utama yang digunakan disebut
sebagai Amungkal. Selain bahasa keseharian, suku amungme juga dikenal memiliki bahasa
simbol yang cukup sulit dipelajari yang bernama Aro-a-kal dan Tebo-a-kal. Bahasa simbol
tebo-a-kal hanya akan digunakan didaerah keramat.

3. Kesenian

Selain suku asmat sebagai suku terbesar di papua, suku amungme juga
menyumbang banyak unsur unsur kebudayaanyang menjadi ciri khas dari kebudayaan
papua secara umum. Dalam masyarakat suku amungme dikenal lagu purba Angaye-angaye,
No emki untaye. Selain itu juga dalam bidang seni musik, suku amungme juga
menyumbang salah satu alat traditional yang dikenal dari papua dengan nama Tifa.

Pada cabang seni rupa, sebagai suku yang mengantungkan hidupnya pada kegiatan
berburu maka ada berbaga macam alat yang diciptakan salah satunya adalah noken yang
merupakan tas dari anyaman akar tumbuhan atau rotan. Selain kesenian berwujud tersebut,
ada salah satu kebudayaan amungme yang sangat terkenal yakni tradisi atau upacara bakar
batu.

Upacara bakar batu merupakan tradisi yang berkembang dan menjadi salah satu
tradisi penting dalam masyarakat suku amungme yang berfungsi menyambut kebahagiaan
atas kelahiran, sebagai tanda rasa syukur, kematian, dan juga untuk mengumpulkan prajurit
untuk berperang. Dalam prosesnya, batu akan ditumpuk dan dibakar kemudian diletakkan
babi yang terlebih dahulu dipanah oleh kepala suku diatas batu tersebut. Babi yang
dipersembahkan tersebut harus dipanah sampai mati sebagai tanda suksesnya acara tradisi
bakar batu.
4. Kegiatan bermasyarakat

Salah satu suku papua yang sering kali dilingkupi oleh konflik dengan penguasa
baru tanah papua yang hanya menginginkan kekayaan alamnya saja ini masih
memepertahankan beberapa kebudayaan dalam kegiatan atau kehidupan bermasyarakat.
Beberapa kegiatan dan kebiasaan yang masih dipertahankan sampai saat ini adalah teknik
pembuata api menggunakan kayu. Kayu yang digunakan biasanya adalah kayu rotan,
bambu hutan, dan kayu emil kamil.

Selain itu, harta yang diserahkan dalam proses perkawinan berupa babi, kulit biak,
dan uang tunai yang jumlahnya sangat fantastis. Pakaian adat dari suku amungme adalah
koteka dari buah labu dan kulit kayu. Dalam proses jual beli juga masih dikenal cara cara
traditional yakni berupa barter. Selain itu, karena mata pencarian utama suku amungme
adalah berburu, maka ada beberapa alat yang digunakan untuk berburu seperti panah dan
anak panahnya (mangi) , tongkat (putol), tombak (kowang) dan kampak batu (pop me).

5. Mata Pencaharian Suku Amungme


Mata pencaharian suku amungme adalah bercocok tanam/pekebun, berburu,
peternakan. Keunikan suku Amungme adalah dari mata pencahariannya dengan cara
bercocok tanam. Kopi merupakan hasil yang cukup memuaskan, bukan hanya untuk
dikonsumsi masyarakat, melainkan kopi ini diproduksi ke berbagai daerah dan
menambah penghasil masyarakat. Suku Amungme di Kabupaten Mimika, Papua kini
bisa memetik keuntungan dari lahan kopi milik mereka. Dari penjualan terbatas kepada
ekspatriat, kini kopi Amungme bisa menjelajah Papua.ada juga sayur – mayur seperti
kol, labu, bayam, wortel, jagung, pepaya, di dataran tinggi namun saat ini bumi
Amungsa bagian dataran rendah bisa menanam padi di kabupaten mimika.
Warga dari suku Amungme memiliki mata pencaharian berburu, meskipun
berburu bukanlah mata pencaharian utama (pokok) diamungsa. Selain dilakukan
sebagai mata pencaharian, berburu juga dilakukan segai hobi atau kegemaran warga
Amungme Hal ini membuat berburu menjadi salah satu sistem mata pencaharian hidup
yang cukup diperhitungkan.
Adapun beberapa hewan yang menjadi mangsa buruan suku Amungme adalah,
babi hutan, kuskus, biawak,burung kasuari,mambruk,kaka tua dan buaya. Hewan-
hewan ini dilakukan di hutan sekunder, dibekas-bekas ladang yang sudah ditinggalkan,
di tepi sungai dan juga di hutan rimba primer. Perburuan pun dilakuakn dengan
menggunakan senjata sederhana, seperti tombak, parang, panah, tongkat, dan alat
tradisional lainnya yang berupa perangkap. Cara berburu yang paling terkenal di suku
Amungme adalah berburu dengan cara membawa anjing ke hutan , dengan anjing bisa
dapat dengan cepat hasil berburunya. Beternak adalah aspek lain dari ekonomi suku
Amungme kabupaten mimika, Papua yang terkait dengan sistem keuangan. Tujuan
utama bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri terhadap daging, tetapi untuk
memperoleh uang kulit kerang atau alat tukar Suku Amungme yang dikenal dengan
istilah epam.
Pembagian peran dalam keluarga Suku Amungme memosisikan kaum wanita
yang mengurusi hewan ternaknya. Namun seorang pria juga dapat mengerjakannya,
kebunnya bagi pria yang tidak mempunyai istri, ibu, atau saudara perempuan
diperbolehkan mengurusi hewan ternak sendiri. Sementara bagi para jejaka sering
menganggap diri mereka tidak layak untuk mengurusi hewan ternak.
Masyarakat Suku Amungme kebanyakan menjadikan babi sebagai hewan
ternak. Karena dalam pemeliharaan babi paling menguntungkan bagi masyarakat yang
berekonomi lemah , pada saat pesta adat ,peresmian bangunan apa saja , mereka wajib
membawa per orang perekor babi. Dalam pesta adat . pada saat memelihara babi mereka
menempatkan dalam kandang, dan juga tidak di tempat yang dipagari. Mereka
membiarkan babi ternak berkeliaran dan mencari makan di sekitar halaman rumah
sampai waktunya mereka menjual/pesta adat dan sebagainya.

6. Tempat wisata
 Taman Nasional Lorentz
Taman Nasional Lorentz adalah taman nasional di provinsi Papua di Indonesia
yang telah dikenal sebagai Wonder World of Real Site. Taman Nasional Lorentz
merupakan kawasan konservasi alam yang dilindungi hukum. Taman besar ini terletak
di Papua Tengah, sekitar 40km timur Timika dan termasuk bagian atas Gunung
Jayawijaya yang diselimuti salju sepanjang tahun serta Laut Arafura dengan hutan
mangrove. Kawasan ini menyediakan ekosistem dan alam yang lengkap di Asia
Tenggara dan Pasifik.
Taman Nasional Lorentz sangat cocok untuk mereka yang mencintai alam dan
petualangan. Anda bisa melihat indah dan eksotis alam yang khas Indonesia. Ada 34
jenis vegetasi, jadi ada banyak jenis flora dan fauna yang beberapa diantaranya cukup
langka. Yang unik tentunya adalah adanya salju di negara tropis: gletser di puncak
Gunung Jaya, dan beberapa sungai bawah tanah mengalir melalui Lembah Balliem.
Anda juga bisa melihat budaya beberapa suku yang tinggal di atau dekat kawasan taman
nasional ini seperti suku Nduga, Asmat, Sempan, Dani Barat dan Amungme.
 Sungai Digul Digul
Digul Digul adalah sungai terpanjang di bagian selatan Papua dan ada beberapa
kota besar yang penting di dalamnya. Bahkan ada layanan perahu sesekali yang cukup
jauh ke pedalaman sini. Meskipun demikian, hulu sungai tetap tidak murni, dengan
hutan hujan, birdlife yang kaya, dan bahkan rumah pohon.Namun, rumah-rumah pohon
yang cukup tinggi masih ada untuk kehidupan nyata, dan cara hidup Korowai masih
tetap tradisional.
 Dekai Kota Utama
Dekai adalah kota utama di wilayah Sungai Brazza, terletak sekitar 15 km dari
sungai itu sendiri, namun terhubung dengan jalan. Secara administratif, ini adalah ibu
kota Kabupaten Yahukimo yang didominasi oleh Yali, dan dengan demikian secara
teknis merupakan bagian dari Dataran Tinggi! Secara praktis di daerah dataran rendah
interior khas Selatan, yang penduduk aslinya adalah Momina yang dulunya adalah
penghuni rumah pohon. Saat ini, Dekai sedang mengalami ledakan kontemplatif yang
hampir nyata, dan merupakan satu-satunya tempat termahal yang pernah saya lihat di
seluruh Papua! Namun, ia memiliki jaringan udara harian ke Wamena, menjadikannya
batu loncatan yang sangat berguna antara Dataran Tinggi dan Selatan.
 Danau Sentani
Ada pemukiman di tepi danau ini tidak jauh dari Jayapura dimana orang bisa
mengamati tradisi lokal seperti yang dipraktekkan pada kehidupan sehari-hari orang.
Perjalanan singkat dari Jayapura, menyenangkan seperti itu, menawarkan sedikit
foretaste pemandangan megah provinsi ini.
 Gua Jepang
Penduduk asli Biak menyebut gua ini ‘Abiyau Binzar’. Abiyau berarti gua dan
Binzar berarti nenek. Dikatakan bahwa di masa lalu ada seorang nenek yang tinggal di
gua ini. Selama perang dunia kedua tentara Jepang bersembunyi di gua ini yang
sekaligus berfungsi sebagai pusat logistik. Terletak di Desa Sumberker, Kabupaten
Biak Kota; 15 menit perjalanan menuju ke sana dari kota Biak.
7. Permasalahan Suku Amungme
Amungme sangat terikat dengan tanah leluhur mereka dan menjadikan
pegunungan sekitarnya adalah tempat yang disucikan. Hal ini telah menyebabkan
gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang ingin mendayagunakan
persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Perubahan besar dalam
Amungme dari dataran tinggi dan Kamoro dari dataran rendah gaya hidup telah dibawa
oleh tambang Grasberg, terletak di jantung wilayah Amungme dan dimiliki
oleh Freeport-McMoRan, majikan tunggal terbesar di kawasan itu. Emas yang luas
dan tembaga telah mengubah lanskap, dan kehadiran tambang dan infrastruktur telah
menarik banyak migran ekonomi lainnya dari Indonesia Barat serta wilayah Papua
lainnya, beberapa di antaranya telah mencoba untuk menetap di tanah tradisional
Amungme. Ini kemudian mengalami sengketa tanah yang disebabkan mengenai hak
tanah adat antara masyarakat Amungme terhadap perusahaan pertambangan Freeport
Indonesia di Timika.
Dalam 35 tahun terakhir, Amungme telah melihat gunung suci mereka
dihancurkan oleh tambang, dan menyaksikan kerabat mereka yang dibunuh
oleh Tentara Nasional Indonesia yang "membela" pertambangan, sementara bagi
Kamoro memiliki masalah yaitu lebih dari 200.000 ton limbah dipompa ke sungai
mereka setiap hari. Semua faktor ini telah menciptakan tekanan sosial dan politik yang
kompleks, dan menyebabkan protes yang mulai sering dan atau meletusnya konflik
sosial, beberapa di antaranya telah ditekan secara keras oleh polisi juga militer
Indonesia. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT.
Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat
Amungme, dengan nama puncak Nemangkawi di Puncak Jaya. Nemang artinya panah
dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang)
perdamaian. Wilayah Amungme di sebut Amungsa
NAMA : NI KADEK ANGGARA DWI PUTRI

NIM : 1701571021

Suku Asmat

1. Sejarah

Nama Asmat berasal dari kata-kata Asmat "As Akat", yang menurut orang Asmat
berarti"orang yang tepat". Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Asmat berasal dari
kata Osamat yang berarti "manusia dari pohon". Tetapi kalo menurut tetangga suku Asmat,
yaitu suku Mimika, nama Asmat ini berasal dari kata-kata mereka untuk suku "manue",
yang berarti "pemakan manusia".
Suku Asmat meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan dewa Fumeripitsy yang
turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari
terbenam tiap hari. Menurut keyakinan mereka, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di
bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai
ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak
petualangan.
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu
namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh
seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Sehingga terjadi
perkelahian yang akhirnya ia dapat membunuh buaya tersebut, tetapi ia sendiri luka parah.
Ia kemudian terbawa arus dan terdampar di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang.
Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali;
kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta
membuat sebuah genderang, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari
terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi
hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu
bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu
nenek-moyang orang Asmat.

2. Kondisi Alam
Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang tertutup
oleh jaring laba-laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi
Kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau
Distrik.Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap
hari juga pasang surut laut masuk kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau
permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang
ditumpuk di atas tanah yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat
jalan ini.Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.

3. Praktik Kanibalisme
Ketika terjadi pertentangan, suku Asmat membunuh musuhnya dan mayatnya
dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk
dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya.
Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Seiring perkembangan
zaman, hal ini sudah tidak pernah terjadi lagi.
4. Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan
pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang
ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat
dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan
sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang
membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat
berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.
5. Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap
kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai
untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga
keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000
orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

6. Bahasa suku asmat


Rumpun bahasa Asmat-Kamoro adalah sebuah rumpun bahasa dari rumpun bahasa
Trans-Nugini yang dituturkan oleh suku Asmat dan suku-suku yang terkait di bagian
selatan Papua Barat. Dipercaya, rumpun bahasa ini adalah hasil dari persebaran orang
Asmat di sepanjang pantai selatan pulau Papua, karena mereka memiliki kemiripan satu
sama lain, dan mereka hanya memiliki sedikit perbedaan dalam kata ganti.

7. Rumah adat suku asmat


 Rumah Jew
Suku Asmat memiliki rumah adat suku Asmat bernama Jew (Rumah Bujang).
Rumah Jew memang memiliki posisi yang istimewa dalam struktur suku Asmat. Di rumah
bujang ini, dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, mulai dari
perencanaan perang, hingga keputusan menyangkut desa mereka. Jew adalah tempat yang
dianggap sakral bagi suku Asmat. Ada sejumlah aturan adat di dalamnya yang harus
dipelajari dan dipahami oleh orang Asmat sendiri, termasuk syarat membangun Jew.

Di dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat
seperti, tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang
dianyam menjadi sebuah tas. Tidak sembarang orang boleh menyentuh noken yang
disimpan di dalam rumah adat suku Asmat ini. Noken ini dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit. Ada syarat dan terapi-terapi tertentu yang harus dipatuhi pasien dan
dipastikan sembuh.
Seorang suku asmat di rumah bujang tersebut menceritakan bahwa pasien yang
berobat secara adat, asal mematuhi aturan-aturan tersebut, kelak akan sembuh dalam waktu
singkat.

Berikut beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat (Jew) :

 Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari kayu ini selalu didirikan menghadap
ke arah sungai.
 Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa berpuluh-puluh meter. Bahkan ada Jew
yang panjangnya bisa sampai lima puluh meter dengan lebar belasan meter.
 Sebagai tiang penyangga utama rumah adat suku Asmat, mereka menggunakan
kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir suku Asmat.
 Mereka tidak menggunakan paku atau bahan-bahan non alami lainnya, tapi
orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari alam seperti tali dari rotan dan
akar pohon.
 Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang
telah dianyam. Biasanya warga duduk beramai-ramai menganyamnya sampai
selesai.
 Jumlah pintu jew sama dengan jumlah tungku api dan patung bis. Patung Bis
mencerminkan gambaran leluhur dari masing-masing rumpun suku Asmat.
Mereka percaya patung- patung ini akan menjaga rumah mereka dari pengaruh
jahat.Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat
yang berdiam di sekitar rumah adat suku asmat. Setelah rumah Jew berdiri, para
lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu Chi untuk memenggal
kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung perahu Chi
yang bentuknya menyerupai lesung, yang terbuat dari pohon ketapang rawa,
panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk membuatnya
diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu pala
hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi
ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya.

Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam. Perahu menjadi alat
yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu, berburu buaya,
berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa melintasi sungai hingga puluhan
kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu kini menjadi atraksi menarik. Atraksi ini
menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris datang
sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.

Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang
berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari
dan bernyanyi diiringi pukulan alat musik tradisonal Papua, Tifa. Dengan melakukan atraksi
ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka akan datang dan akan menjaga rumah
mereka.

Jew adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat, selain itu pandai membuat
ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.

 Tisem
Rumah tysem juga di sebut rumah keluarga,karena rumah ini berfungsi untuk
tempat tinggal mereka yang sudah berkeluarga.Biasanya terdapat 2 sampai 3 pasang
keluarga yang menghuni tysem yakni terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2 sampai 3
keluarga yunior.Jumlah anggota keluarga inti masyarakat asmat biasanya terdiri dari 4
sampai 5 atau 8 sampai 10 orang.

Rumah adat tysem ini diletakan disekeliling rumah adat jew karena ukurannya yang
lebih kecil yaitu 3x4x4 meter.Rumah tysem mempunyai kesamaan dengan rumah jew
yakni berbentuk rumah panggung dan dalam proses pembuatannya dengan tidak memakai
materi bangunan berupa paku karena bahan-bahan yang dipakai yaitu bahan alami yang
terdapat dihutan.

8. Pakaian adat suku asmat


Secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Suku Asmat tidak terlalu
berbeda. Pada bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan
pada sisi bagian atasnya dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada
(untuk perempuan) berupa rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.

Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori,
juga menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan
pelengkap pakaian tradisional Suku Asmat adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung,
gelang, dan tas. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Bulu burung kasuari
yang digunakan untuk hiasan telinga ukurannya lebih pendek dibanding bulu burung
kasuari yang digunakan pada penutup kepala.

Hiasan hidung biasanya hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Hiasan ini terbuat
dari taring babi atau bisa dibuat dari batang pohon sagu. Hiasan hidung yang dikenakan
kaum laki-laki memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan untuk menakuti musuh.
Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu
burung cendrawasih.

Esse (sebutan masyarakat Suku Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang
penting. Selain berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai
hasil ladang, esse juga dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang
mengenakan esse saat diadakan upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu
menjamin kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

9. Kesenian Suku Asmat


 Ukiran Kayu atau Patung
Suku Asmat juga sangat mahir dalam membuat ukiran kayu atau patung.
Meskipun ukirannya tak terpola dengan jelas, tapi setiap ukiran menggambarkan kebesaran
suku Asmat dan penghargaan yang besar kepada nenek moyang mereka. Secara kasat mata,
ukiran mereka bisa berbentuk perisai (dalam bahasa Asmat disebut Gembes), manusia, atau
perahu.

Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan
yang mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka
mempunyai nilai jual yang tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka jual.
Biasanya kisaran harganya dari mulai seratus ribu sampai dengan jutaan rupiah.

 Tari Tobe

Tifa biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yakni
Tari Tobe atau yang disebut dengan Tari Perang.
Tari Tobe sering dimainkan saat ada upacara adat. Tarian ini dilakukan oleh 16
orang penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan. Dengan gerakan yang melompat
atau meloncat diiringi irama tifa dan lantunan lagu-lagu yang mengentak, membuat
tarian ini terlihat sangat bersemangat. Tarian ini memang dimaksudkan untuk
mengobarkan semangat para prajurit untuk pergi ke medan perang.
 Seni Musik
Orang Asmat mempunyai alat musik khusus yang biasa dipakai dalam upacara
penting. Alat musik yang biasa dipakai oleh orang Asmat adalah ti’a yang terbuat dari
selonor batang kayu yang dilobangi. bentuknya bulat memang mirip seperti gendang.
Pahatan ti’a berbentuk pola leluhur atau binatang yangdikeramatkan. permukaan ti’a
terdapat ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung bis. Patung bis
adalah patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Patung bis menggambarkan rupa
dari anggota keluarga yang telah meninggal. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit
kadal dan kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Ti’a biasanya diberi nama
sesuai dengan orang yang telah meninggal. Ti’a ini biasa diukir dan dipahat oleh
setempat. Ti’a ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat,
yaitu Tari Tobe atau yang disebut dengan Tari Perang

10. Makanan Khas Suku Asmat


Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan
sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain
adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus
dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan
bakar dijadikan pelengkap.

11. Ciri fisik


Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam
dan berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat
wanita sekitar 162 cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

12. Mata pencaharian

Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan
suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat
darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari
nafkah adalah berburu binatang hutan seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll.
mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni
mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah
berubah.

Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk


mencari makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih
menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat
tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun
sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.

Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata
sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin.
Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa
sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka
untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

13. Makanan pokok


Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan
sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain
adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus
dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan
bakar dijadikan pelengkap. Namun yang memprihatinkan adalah masalah sumber air
bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka merupakan tanah
berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari

14. Pola hidup


Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka
merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati
dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap
menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah
menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka
15. Cara merias diri
Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka.
mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk
menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah
dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan.
cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan
sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh. Gambar yang
didominasi warna merah dan putih tersebut konon merupakan lambang perjuangan
untuk terus mengarungi kehidupan.

16. Adat istiadat suku asmat

Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya
para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain
agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam
agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya,
dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui
berbagai proses, yaitu :

 Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik
agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
 Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara
sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun
atau 3 tahun.
 Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia
17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya
piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila
ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib
melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan
aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
 Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan
dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum,
jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat
dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

17. Keunikan suku asmat


Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita
melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya
sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi
disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

18. Rumah adat


Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25
meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke
Asmat Pedalaman.Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah
tinggal di atas pohon.

19. Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu
ajaran dan praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau
patung. Bagi Suku Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap
ritual ini diadakan,dapat dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan.

20. Kepercayaan dasar

Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari
dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari.
Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di
daerah pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat
tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun
mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu
bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia
juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan:

 Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
 Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
 Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar


menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek
moyang seperti berikut ini :

 Mbismbu (pembuat tiang)


 Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
 Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
 Yamasy pokumbu (upacara perisai)
 Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan
peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang
masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi),
pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

21. Roh-roh dan kekuatan magis

 Roh setan

Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka
memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk
halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :

 Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh
orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti
setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin,
roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
 Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh
masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang,
hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga
mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh
nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow

 Kekuatan magis dan Ilmu sihir

Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan
adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu,
penangkapan ikan, dan pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang,
barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang
mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin,
halilintar, hujan, dan topan.

22. Sumber alam dan potensi alam


Selain ikan, cucut, kepiting, udang, teripang, ikan penyu, cumi-cumi, dan hewan
lainnya yang melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang amat
luar biasa, seperti : rotan, kayu, gahar, kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar, dan
kemenyan.
23. Wanita dalam pandangan suku asmat

Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat
Asmat (pohon/kayu, kuskus, anjing, burung kakatua dan nuri, serta bakung), seperti
kata Asmat di atas, menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat
menempatkan perempuan yang sangat berharga bagi mereka.Hal ini tersirat juga dalam
berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.Namun dalam gegap gempitanya serta
kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat. Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan
gadis Asmat yang tak terdengar dari dunia luar.

Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku


tersebut.Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-
anaknya,mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai kepada mencari
pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari
hutan,memasak dan menyajikan.Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat
masak termaksud mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan
minum keluarga.

Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati


makanan yang disediakan istrinya,mengisap tembakau,dan berjudi.Kadang suami
membuat rumah atau perahu,namun dengan batuan istri.Ada pula suami yang mau
menemani istrinya mencari kayu bakar.Sayangnya mereka hanya benar-benar
menemani.Mendayung perahu,menebang kayu,dan membawanya pulang adalah tugas
istri.Suami yang cukup berbaik hati akan membantu membawakan kapak istrinya.

Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan,maka
istri akan menjadi korban luapan kemarahan.Jika mereka kalah judi,maka istri pula
yang akan dijadikan objek kekesalan. Mereka yang tinggal di Agats,kini terbiasa pula
untuk mabuk, mereka lebih rentan untuk mengamuk, sehingga istripun yang akan lebih
banyak menerima tindak kekerasan.

Kadangkala laki-laki Asmat mengukir, jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta. Ketika laki-laki mengukir, maka tugas perempuan akan
semakin bertambah. Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain
yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir. Semakin
lama laki-laki mengukir, semakin banyak pula makanan yang harus mereka sediakan.
Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat, karena harus memangur,
meramah, dan mengolah sagu, dan bahkan menjaring ikan, lebih tragisnya lagi, jika
ukiran itu dijual, maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya, perempuan
Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan makanan.
Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan selesai dibuat.

24. Bencana yang diwaspadai

Bencana bagi Suku Asmat kurang lebih ada 3,yaitu ;

 Penyakit Malaria
 Buaya
 HIV/AIDS

Setelah virus HIV/AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban jiwa,
semakin bertumpuk daftar persoalan yang harus dihadapi PEMDA dan seluruh
masyarakat Asmat. Sebagai sebuah Kabupaten baru yang tengah sibuk-sibuknya
melakukan pembenahan infrastruktur dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
rangka menyelenggarakan sebuah pemerintahan baru, dalam berbagi aspek,
berjangkitnya HIV/AIDS ini merupakan sebuah pukulan telak yang bakal menyedot
dana, waktu, tenaga, dan pikiran dari segenap komponen masyarakat Asmat, instansi-
instansi terkait dalam jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya dan sudah
pasti butuh Pemerintah Pusat perlu segera mengambil langkah-langkah
penanggulanggannya.

25. Upacara adat suku asmat

 Ritual Kematian

Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati
dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang
kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa
dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera
ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang
amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu
tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis
atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam
untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan
diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu
yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat
memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka,
sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di
desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati
si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada
usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat
si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´
salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit
dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui
bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang
ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan
tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah
menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap
hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga
akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik
bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak,
tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak
kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang
meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut
(bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan
meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat
sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju
peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-
laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan
menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka
jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan.
Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

 Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung

Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam


proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah
pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu
telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk
menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-
bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu
diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak
dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada


kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik
kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua
yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan
berjalan seimbang dan lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga
yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu
dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih
dahulu. Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di
rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah
masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung
menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum
anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana.
Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu


penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba
menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing
suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan
untuk pengangkutan bahan makanan.

 Upacara Bis

Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku
Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada
permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati
anggota keluarga yang telah mati ter bunuh, dan kematian itu harus segera dibalas
dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan
kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang
(bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan
memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi
tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk
mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara
wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada
waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah
menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi,
maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila
hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal.
Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak
bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis
ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu,
keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah
dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu
berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini
kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

 Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)

Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah
bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun
yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu
penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-
anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah
bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang
juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa
NAMA : I MADE ADITYA DARMA

NIM : 1801571040

SUKU MATBAT

Suku Matbat adalah salah satu suku di Indonesia. Suku ini merupakan suku asli
dari Pulau Misool, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat bersama 2 suku lainnya, yakni
Suku Misool dan Suku Biga. Dengan populasi sebanyak 700 jiwa, suku ini tersebar di
sejumlah kampung di Pulau Misool, mulai dari Kampung Magey, Lenmalas, Salafen,
Atkari, Folley, Tomolol, Kapatcool dan Aduwei.

 Asal-usul

Matbat berasal dari dua kata, yakni mat dan bat. Mat berarti manusia sedangkan bat
yang berarti tanah. Dengan kata lain, matbat berarti tanah atau orang yang memiliki tanah
atau pribumi. Dalam bahasa kuno Suku Matbat, Matbat berasal dari kata me atau akmeiyaka
yang bermakna, "Saya punya barang sendiri (tanah)".

 Bahasa

Terdapat tiga bahasa yang digunakan oleh Suku Matbat. Ketiga bahasa itu adalah
Bahasa Matbat, Bahasa Raja Ampat atau Bahasa Misool dan Bahasa Indonesia. Biasanya,
Bahasa Matbat digunakan bagi masyarakat setempat yang belum keluar dari hutan dan
belum mengenal pantai, Bahasa Misool dituturkan bagi warga yang telah mengenal pantai
dan Bahasa Indonesia yang digunakan seiring masuknya agama Kristen. Orang dewasa
biasa memakai Bahasa Matbat dan Bahasa Misool sedangkan anak-anak biasa
menggunakan Bahasa Indonesia dalam keseharian mereka.

 Sistem Teknologi

Sistem teknologi yang digunakan oleh warga Matbat masih bersifat tradisional.
Untuk memenuhi keperluan sehari-hari, mereka masih mengandalkan alat-alat yang terbuat
dari tumbuhan. Sebagian menggunakan logam. Beberapa di antaranya adalah:
 Aco (tombak yang terbuat dari kayu).
 Weng (peralatan berkebun yang terbuat dari kayu)
 Uf (pancingan dari batang daun tumbuhan nipa)
 Noken (tas yang terbuat dari anyaman bambu dan pelepah pohon sagu)
 Atap rumah adat yang terbuat dari daun nipa.
 Perahu semang yang terbuat dari log kayu dan daun nipa.

 Budaya

Seperti suku Indonesia lainnya, Suku Matbat memiliki budaya yang beragam. Di
antaranya adalah:

 Samson

Samson merupakan kesepakatan antara Suku Matbat dengan suku-suku lain


yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat. Istilah lain dari samson adalah sasi. Samson
berasal dari Bahasa Matbat yang berarti larangan.

Pelaksanaan ritual samson berlangsung selama setahun sekali dalam rentang


waktu enam hingga tujuh bulan. Dalam melakukan ritual ini perlu seorang pemimpin
yang disebut dengan istilah Mirinyo.

Sebagai masyarakat yang hidupnya tak terlepas dari laut, Suku Matbat memiliki
kepercayaan bahwa mereka bisa hidup berkat jasa penjaga laut. Penjaga laut inilah yang
memberikan kesuburan kepada makhluk hidup laut sehingga hasil tangkapan mereka
saat melaut berlimpah. Oleh karena itu mereka melaksanakan upacara adat. Pada
upacara adat, Mirinyo akan membacakan mantra saat matahari terbit. Ia berdiri di depan
kampung dengan posisi menghadap ke laut. Kemudian ia menancapkan gasamsom atau
tanda larangan berupa batang pohon salam. Pada batang tersebut daunnya telah
dipangkas namun cabang dan rantingnya tetap ada. Fungsinya adalah untuk
menggantungkan sesajen seperti pinang, rokok, tembakau hingga carik-carik kain
berwarna merah. Tak hanya itu, Mirinyo juga menancapkan dua buah gasamson pada
ujung-ujung kampung dengan posisi menghadap ke laut.
Di saat gasamson telah ditancapkan, di saat itulah masa larangan berlaku.
Siapapun, baik pribumi atau pendatang tidak boleh mengambil hasil laut sampai hasil
sasi atau samson selesai. Pada zaman dahulu, sanksi yang diberikan bagi yang
melanggar adalah ia akan dihukum cambuk dan pasung. Seiring berjalannya waktu
sanksinya kini berubah. Sekarang bagi siapa saja yang melanggar akan mendapatkan
hukuman yang lebih bermanfaat seperti mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
berkaitan dengan kepentingan umum. Sanksi lainnya adalah hasil laut yang
dikumpulkan oleh pelanggar akan disita oleh petugas adat.

Dalam pelaksanaan samson, tidak hanya pemerintah adat namun semua warga
terlibat sebagai pengawas. Maka siapapun warga yang melihat ada terjadinya
pelanggaran, dapat melaporkan kepada pemimpin adat.

Masa berlangsungnya samson berakhir jika terjadinya perubahan alam, seperti


di saat angin tak lagi bertiup kencang. Serupa dengan masa dimulainya samson, masa
berakhirnya samson juga berlangsung pada pagi hari menjelang matahari terbit. Saat
ritual itu diadakan seluruh masyarakat harus menghadap laut. Kemudian kepala adat
atau raja mengucapkan rasa syukur atas perlindungan selama masa Samson, berterima
kasih atas kesuburan yang diberikan serta melakukan permohonan agar warga setempat
tidak terkena musibah saat mengumpulkan hasil laut dengan cara mengucapkan mantra-
mantra kepada penjaga, penghuni laut dan para leluhur yang telah meninggal. Sebagai
tanda bahwa masa samson telah berakhir, mirinyo lalu meniupkan kulit triton dengan
keras.

Setelah masa samson berakhir, warga dapat menyerbu kembali ke laut namun
dengan aturan yang berlaku. Pada hari pertama saat masa samson usai warga pergi ke
laut untuk mengambil berbagai biota laut namun tidak boleh melewati batas perairah
yang telah ditentukan, yakni hanya sebatas sampai pesisir kampung. Pada hari kedua,
masyarakat dapat melaut dengan jarak yang lebih jauh. Pada hari ketiga hingga
seterusnya mereka dapat mengarungi laut dengan jarak yang lebih jauh lagi.
 Wala

A.PENGERTIAN WALA

Wala dapat diartikan sebagai nyanyian yang dibawakan dengan gerak tari dalam
budaya orang Matbat. Wala merupakan tradisi lisan dalam budaya suku matbat atau
orang matbat sebagai suku asli di Misool, kabupaten Raja Ampat. Masyarakat di
Misool secara luas mengenal wala sebagai lan batan o atau lagu tanah yang
mengandung pengertian nyanyian yang dibawakan dalam bentuk tarian pada orang
matbat yang berkisah tentang asal usul batan me/batan msool dan persebaran asal usul
dan kehidupan orang matbat dan segala bentuk peristiwa yang mereka alami.
Wala sendiri mengandung arti bernyanyi dan bagi orang matbat wala
dipandang sebagai sesuatu yang dianggap sakral berkaitan dengan upacara sebagai
bagian dari kehidupan mereka.

Wala dianggap sebagai sesuatu yang sakral yaitu pada proses mendalami tradisi
Wala dan peruntukan wala itu sendiri sendiri seperti untuk upacara adat tertentu. Pada
proses seorang matbat mendalami wala maka ia akan dihadapkan pada persyaratan-
persyaratan yang akan dan harus dilewati sebagai seorang pemimpin atau pembawa
Wala. Sedangkan peruntukanya, ada Wala yang hanya dibawakan pada saat upacara
tertentu. Ada anggapan seorang pembawa wala hidupnya selalu dekat dengan alam dan
juga sebagai seorang yang dapat berkomunikasi dengan dunia lain.

Kenyataan yang dapat kita temui pada kelompok suku yang ada di Papua, setiap
proses ritual upacara adat selalu diikuti atau diiringi dengan nyanyian dan tarian.
Konsep wala pada orang matbat pada sisi tertentu sangat kuat dengan prosesi upacara
baik yang berkaitan dengan masa remaja dimana seorang anak muda matbat memilih
untuk mendalami tradisi wala dan juga peruntukan saat membawakan wala tersebut.

Wala dalam tradisi orang matbat di Misool dibagi dalam dua mode wala
berdasarkan wilayah sebaran yaitu Wala yang dibawakan oleh kelompok matbat yang
berada di bagian matahari naik atau Pun Munsa dan Wala yang dibawakan oleh
kelompok matahari turun atau Pun Muncai. Perbedaan yang sangat mencolok pada dua
wilayah ini yaitu pada hentakan kaki dan irama yang dibawakan yaitu dibagian
matahari naik (pun munsa) irama sedikit halus dengan hentakan kaki mengikuti irama
sedangkan pada kelompok matahari turun irama atau tempo agak cepat dan sedikit
kasar diikuti dengan adanya hentakan kaki sebagai antara.

Dalam penyampainnya wala dilakukan secara lisan diikuti dengan gerak yang
oleh orang matbat disebut sibilwala (dansa wala). Sebagai kajian folklor wala
merupakan tradisi lisan di mana dalam kajian isi dari wala ditemukan berbagai pesan
dan nilai berupa kritik ataupun nasehat yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu
dalam kehidupan orang matbat yang sifatnya simbolik, juga isi dari
wala menceritakan kejadian yang di dukung dengan berupa bukti tempat-tempat
tertentu sebagai penguat kejadian atau sebagai pengingat yang dibawakan dalam wala
tersebut (mnemonic device).

B. Asal Usul Wala

Berbicara asal usul Wala berkaitan dengan mitologi orang Matbat yang
berhubungan dengan asal usul terjadinya Batanme atau pulau Misool dan orang
Matbat. Dalam pelaksanaan dansa adat wala ada tahapan-tahapan, saat sebelum
seorang baut memimpin wala kemudian persyaratan ataupun kehususan pada marga
tertentu sebagai penutur merupakan bagian dari cerita asal usul orang Matbat yang
tertuang dalam wala terutama wala batano yang menceritakan kejadian asal mula
terjadinya pulau Misool atau Batanme dari gunung ke gunung, tanjung ke tanjung,
sungai atau kali-ke kali dengan kejadian-kejadian. Jadi berbicara wala berarti berbicara
sejarah asal usul orang Matbat.

C.JENIS, BENTUK DAN FUNGSI WALA

Jenis-jenis Wala dari hasil identifikasi karakteristik wala dapat kami uraikan
berdasarkan pada teks atau isi dengan kriteria-kriteria yang kami pakai untuk menyusun
kategori-kategori jenis-jenis Wala adalah berdasarkan isi / kandungan teks Wala dan,
berdasarkan ranah atau situasi saat pembawaan Wala tersebut. Berdasarkan kandungan
atau isi teks, Wala dapat kami kelompokkan menjadi :

1. Wala Batan o / Wala Sejarah; adalah Wala yang mengisahkan tentang asal usul
terjadinya pulau Misool. Selain Wala yang mengisahkan tentang asal usul pulau
Misool ada juga Wala yang mengisahkan peristiwa tentang pemimpin adat orang
Matbat seperti bagaimana mereka mengisahkan Sangaji Mathafi sebagai seorang
pahlawan pemberani.
2. Wala Nasihat dan Puji-pujian ; adalah wala yang isinya berisi nasihat dan biasanya
menunjuk langsung pada masalah. Seperti bila ada konflik antar keluarga biasanya
mereka membawakan wala yang isinya bagaimana menghindari konflik dan suasana
yang indah dalam hidup bersama. Sedangkan Wala puji-pujian biasanya masih
berkaitan dengan tanah leluhur, orang tua, pengagungan kepada tamu dan saat
kedukaan. Ke dua Wala ini paling sering di temui dalam teks Wala dalam kehidupan
orang matbat
3. Wala Rekreatif; adalah Wala yang teksnya berisi ungkapan-ungkapan sebagai
pembangkit semangat, memberi motifasi dalam melaksanakan pekerjaan tertentu yang
membangkitkan kesenangan bagi yang mendengar. Seperti saat mereka membangun
rumah terutama pada saat menutup bagian atap dan saat menarik perahu baru yang
selesai dibuat.

D.FUNGSI DAN TUJUAN WALA

Dalam teori folklor, fungsi folklor lisan khususnya nyanyian rakyat menurut
Bascom mempunyai empat fungsi utama yaitu ; (1) sebagai sistem proyeksi atau
sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan anak,
dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi oleh anggota kolektifnya (Dananjaya 2002:19). Penentuan fungsi Wala
didasarkan pada fungsi folklor sebagai tradisi lisan menurut Dananjaya dikelompokkan
menjadi empat macam, yaitu (1) fungsi rekreatif; (2) fungsi pembangkit semangat
dalam bekerja; (3) fungsi pemelihara sejarah, baik sejarah klan atau masyarakat dan
sebagainya dan (4) fungsi sebagai sarana protes sosial.

Dari keempat fungsi yang dikemukakan dikaitkan dengan fungsi Wala dalam
tradisi orang matbat maka fungsi paling menonjol adalah fungsi sebagai pendukung
dalam ritual upacara adat . Wala sebagai bagian dari suatu ritual adat walaupun
suasana Wala memang menunjukkan suasana pesta tetapi pada hakekatnya
kereligiusanya nampak dan dirasakan para peserta yaitu dengan tertib tidak banyak
bertingkah saling mengganggu. Ada semacam kontak dan komunikasi khusus antara
penutur yang membawakan Wala dan para hadirin. Dan ciri lain yang paling terasa
yaitu cara ba ut atau si penutur menuturkan wala. Upacara adat dengan wala yang
sering dilakukan seperti saat pengukuhan, perkawinan, penyambutan tamu, dan upacara
seputar lingkaran hidup.

Wala sebagai fungsi pembangkit semangat banyak di jumpai pada saat


melakukan pekerjaan baik individu maupun kolektif. Aktifitas pekerjaan seperti saat
melaut, mengayuh perahu, bekerja di kebun atau di hutan saat membuat perahu dan
sebagainya.

Salah satu fungsi yang berkaitan dengan konteks lokal pada orang Matbat yaitu
fungsi kontrol sosial dan fungsi pengayaan bahasa dan budaya orang Matbat. Dalam
teks atau isi dari wala banyak terkandung pesan-pesan dan nasihat dari para orang tua
agar bagaimana menjaga hidup antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama
manusia, dan manusia dengan sang pencipta.

Saat penyajian atau pertunjukan wala merupakan unsur hiburan yang tak kalah
penting, bagaimana penyampaian wala dengan akselerasi hentakan kaki dan nyanyian
yang dituturkan dengan irama yang harmonis sebagai suatu hiburan dengan
penghayatan yang di dalamnya terkandung pesan nilai dalam teks yang dapat
menghilangkan ketegangan-ketegangan dan menciptakan keseimbangan yang luar
biasa dalam lingkungan sosial orang Matbat.

E.PELAKU DALAM WALA

Mereka yang terlibat atau pelaku dalam pelaksanaan tarian dan nyanyian wala
adalah pemimpin wala dan pengikut wala yaitu ba ut sebagai pembawa atau pemimpin
yang mengetahui wala dengan baik dan penutur utama dalam dansa sibilwala. Saat
pelaksanaan tari wala seorang ba ut bisa dua orang namun yang satunya kadang hanya
bertindak sebagai asisten tergantung nyanyian wala apa yang dibawakan. Bila salah
seorang membawakan maka yang satu sebagai penyambung yang diikuti dengan
kelompok penari wala. Setiap penari wala juga yang menyanyikan disebut sebagai anak
wala yang terdiri dari pemimpin dan anggota penari Wala. Penari dalam wala
merupakan bagian penting dalam tari dan nyanyian wala, karena pada saat
membawakan wala irama yang berasal dari hentakan kaki para penari sangat
mendukung keselarasan antara nyanyian dan tarian wala. Penari dan penyanyi
wala diikuti baik laki-laki maupun perempuan dewasa, tua maupun remaja.

F.PERLENGKAPAN DALAM TRADISI WALA

Tarian Wala harus dibawakan di tempat seperti di atas papan atau kulit pohon
nibung yang dijadikan sebagai dasar yang dimaksudkan dapat menimbulkan bunyi
saat ada hentakan kaki. Hal ini sangat penting karena suara atau bunyi yang dihasilkan
dari hentakan kaki merupakan bagian dari irama pengiring saat pelaksanaan tari dan
nyanyian Wala. Selain tempat, atribut yang digunakan para penari saat menari dan
membawakan Wala lebih kepada asesoris yang mereka gunakan untuk laki-laki berupa
noken, ikat kepala berupa kain, cawat yang terbuat dari kulit kayu dan kain, ikatan tali
pada lengan, manik-manik dan gelang-gelang kaki dan tangan dari kulit biah dan gelang
besi. Sedang pada perempuan menggunakan kain yang diikat sampai bagian dada
(sabutun) dan sisir yang terbuat dari bambu (se kabalam ) dengan hiasaan daun
daunan.

G.KEBERADAAN WALA SAAT INI

Keberadaan Wala saat ini merupakan suatu pertanyaan berkaitan


dengan eksistensi Wala pada orang matbat di Misool Raja Ampat. Dan untuk
menjawab ini perlu melihat atau mengikuti perkembangan Wala selama lintas
perjalanannya sejak masa lalu sampai era dewasa ini dan pendapat dari beberapa tokoh
adat matbat. Terdapat banyak perubahan pada Wala dalam keberadaannya
sebagai tradisi lisan yang dibawakan dalam bentuk dansa adat pada budaya orang
Matbat. Ada beberapa alasan sebagai akibat perubahan pada Wala yang dikemukakan
tua adat Matbat dan secara umum mereka mengatakan masuknya unsur budaya
luar sangat berpengaruh terutama pada generasi muda dan perkembangan
pembangunan dengan semakin terbukanya isolasi dengan arus informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang suka atau tidak suka diterima sebagai bagian dari
proses peradaban.

Menurut bapak Kristian Mjam (tokoh adat matbat) mengatakan masuk atau
diterimanya pekabaran injil di daerah Misool yang dibawa oleh guru-guru injil
berdampak pada pelaksanaan dansa adat Wala. Dan ketika terang Kristus menaungi hati
orang-orang matbat, maka di saat itu terjadi secara alamiah pula perubahan-perubahan
pada dansa wala seperti ;wala yang dulunya dilaksanakan ketika ada orang meninggal
agak jarang dilakukan bahkan ada yang sama sekali hilang.

Wala yang dulunya hanya dibawakan pada acara-acara adat yang sifatnya
khusus saat ini kapan saja bisa dilaksanakan terutama saat penyambutan tamu-tamu
pejabat yang sifatnya menghibur. Keberadaan wala saat ini, berkaitan dengan tokoh
atau penutur wala bisa dihitung dengan jari seperti penutur di bagian matahari naik
(pun munsa) hanya 2 orang penutur dan di bagian matahari tenggelam (pun muncai)
juga tinggal 2 orang penutur.

Secara garis besar pergeseran di waktu sekarang dalam


keberadaan Wala adalah peruntukan pelaksanaan, tempat pelaksanaan, fungsi dan
suasana dalam pelaksanaan dansa adat wala dan diantara penutur ini ada yang tidak
menghafal tetapi menggunakan catatan.(ar.macap)

 Setan Gamutu
Setan gamutu merupakan salah satu tarian khas Suku Matbat.Dalam upacara
adat, tarian ini dilakukan sebagai pelindung upacara. Tujuannya untuk memastikan
bahwa tidak ada yang mengganggu saat upacara adat dari awal hingga akhir. Tarian ini
merupakan asal-usul peradaban Misool yang telah diwariskan sejak nenek moyang.
Pada festival bahari Raja Ampat 2016, setan gamutu menjadi salah satu tarian yang
dipertunjukkan bersama wala.
NAMA : NI KADEK RATNI CENDAYANI

NIM : 1701571010

Suku Arfak

Suku Arfak adalah Masyarakat Pegunungan Arfak yang tinggal di sekitar Kota
Manokwari, Provinsi Papua Barat. Suku Arfak terdiri dari 4 sub suku antara lain:

 Suku Hatam.
 Suku Moilei.
 Suku Meihag.
 Suku Sohug.

Setiap suku ada Kepala Sukunya, dalam satu suku terdapat beraneka ragam marga,
misalnya Suku Moilei, ada marga Kowi, Saiba, Mandacan, Sayori, Ullo, Ayok, Indow,
Wonggor dan masih banyak marga lainnya. 5 suku 5 Bahasa artinya bahwa setiap suku
terdapat 1 bahasa dan budaya yang berbeda-beda.

Suku Arfak merupakan komunitas terbesar dari penduduk asli di Kabupaten


Manokwari tepatnya di Papua Barat. Bila dilihat berdasarkan pembagiannya masyarakat
arfak terbagi menjadi beberapa macam sub antara lain Suku Meihag, Suku Moilei, Suku
Hatam serta Suku Sohug. Dari beberapa macam sub yang berbeda tersebut, bahasa daerah
serta kepala daerah juga berbeda untuk masing-masing. Walaupun begitu sikap Bhineka
Tunggal Ika tercermin dengan jelas pada masyarakat Arfak ini.
Kawasan Cagar Alam tepatnya di Pegunungan Arfak merupakan desa atau
perkampungan kediaman dari masyarakat Arfak. Bila diukur dari segi luas lahannya yaitu
sekitar 68.325 Ha. Di perkampungan ini juga merupakan kawasan untuk beragam jenis
burung, ada sekitar 333 jenis serta ada burung endemic 4 jenis yang ada di Pegunungan
Arfak ini. Bukan hanya tempat kawasan burung melainkan ada juga mamalia yang hidup
di sini yaitu sekitar 110 jenis serta terapat beragam kupu-kupu yang beterbangan di
kawasan ini.

 Nama dan Bahasa

Di pedalaman kota Manokwari ada pegunungan arfak yang berarti "pegunungan


besar". Penduduknya secara umum disebut orang arfak, tetapi secara khusus mereka
terdiri dari empat suku bangsa yang hampir sama kebudayaanya walau pun bahasa
mereka sangat berbeda sehingga ke empat suku bangsa itu tidak dapat saling
berkomunikasi dengan bahasa mereka masing-masing. Ke empat suku bangsa tadi
adalah (1) Orang Meyah, (2)Oeang Molie, (3) Orang Hatam dan (4) Orang Mantion.

 Lokasi

Orang Arfak tersebar di daerah Manokwari dan di lembah-lembah serta lereng-


lereng pegunungan arfak dan Anggi. Sebagian dari mereka, terutama orang Manikion
yang berjumlah lebih dari 6500 jiwa, tinggal di kecamatan Anggi, yang dapat dianggap
sebagai pusat persebaran Arfak. Orang Arfak yang tinggal di daerah Anggi dan
sekitarnya berada pada ketinggian kuranglebih 700-200 meter diatas permukaan laut.
Kecamatan anggi yang luasnya 1.407 km persegiterdiri dari 8 desa, dengan desa
Iraiwery sebagai pusat administrasi kecamatan. Jarak antaradesa-desa dengan dengan
pusat kecamatan adalah kurang lebih 6-25km. Umumnya desa-desa berada sekitar
danau Anggi Giji dan danau Anggi Gita yang berada pada ketinggian kurang lebih
1.800 meter dari permukaan laut, dengan suhu terendah 10 derajat celsius dan suku
tertinggi 23derajat celsius. Perjalanan dari Manokwari ke Anggi ditempuh dengan
pesawat terbang dan dengan berjalankaki kurang lebih 2-3 hari. Tanah di sekitar daerah
Anggi terdiri dari batu batuan sedimen yang kaya akan mineral kapur, dan kwarsa, dan
tergolong kurang subur. Akan tetapi tanah endapan danau anggi dan tanah dataran di
tepi sungai kecil adalah tanah yang subur tetapi sangat terbatas jumlahnya, yang dapat
digunakan untuk berladang.
 Jumlah Penduduk dan persebaranya

Sensus penduduk pada akhir tahun 1989 dan awal 1990 mencatat sebanyak
6.7749 jiwa, yang hidup dalam ke delapan desa diatas. Orang Arfak juga termasuk ras
Melanesoid dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegfap, seperti
penduduk daerah pegunungan tengahPapuavpada umunya. Tinggi badan rata-rata pria
Arfak adalah 1,58 meter dan wanit umunya1,47 meter.

 Mata Pencaharian

Berkebun berpindah-pindah adalah mata pencarian pokok orang-orang Arfak di


pegununggan Anggi. Kebun mereka biarkan menjadi hutan kembali setelah satu atau
dua kali panen. Jangka waktu dari suatu lahan tidak tentu. Biasanya, apabila pohon-
pohon yang ada dalam suatu lahan hutan sekunder telah mencapai tinggi kutang lebih
10-15 meter, orang Arfak menganggap tanahnya sudah cukup subur untuk diolah lagi.
Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar dan keladi, di samping pepaya, pisang
dansayur-mayur (terutama bayam). Setelah mereka mengenal peralatan batu tadi, serta
jenis-jenis tanaman yang berasal dari luar papua, yang hasilnya dapat mereka jual ke
pasar, seperti kentang, bawang, woretel, kubis, buncis, sawi, dan seldri, usaha pertanian
mereka dalam dasawarsa 1950an dapat ditingkatkan. Untuk bercocok tanam, mereka
masih menggunakan cara membakar dan menebas suatu hutan di suatu lahan. Yang
mereka anggap subur. Mata pencarian lain yang mulai banyak dilakukan adalah
menangkap ukan mujair dan belutdi tepi danau anggi. Sebelum mereka mengenal kail
dan benang nylon, alat yang digunakan adalah anghrom, suatu alat tradisional yang
terbuat dari serat akar pohon pandan. Yang menggunakan cacing yang diikatkan di
ujung tali itu sebagai umpan.

 Organisasi Sosial

Apabila diperhatikan dengan cermat, sifat orang Arfak adalah individual.


Sebelum kedatangan belanda pada awal dasawarsa 1950 an, rumah meraka dibangun
di pohon, di atas sebuah panggung.

 Kelompok kekerabatan
Menurut adat, seorang pria yang telah menikah menetap di rumah orang tuanya
di tengah-tengah para kerabatnya (yaitu adat virilokal). Dengan demikian kelompok
kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Arfak adalah keluarga luas
virilokal yang menghuni satu rumah(tumitsen), terdiri dari sepasang suami istri
bersama keluarga inti dari 3-5 anak pria mereka. Apabila daya tampung rumahnya
terbatas, maka dengan persetujuan ayah dari anak-anak pria tadi, dibangun rumah yang
baru. Satu umitsen biasanya mempunyai 3-5 kamar, sebanyak pasangan suami istri
yang ada. Dia antara ke empat suku bangsa tersebut, ada hubungan kekeluargaan yang
erat atara orang sougoh dan orang meyeh, karena mereka sama-sama merupakan
keturunan dari nenek moyang Misioi, dan berasal dari wilayah yang sama. Klen-klen
Mevah keturunan Misioi kemudian menyebar ke Mokwan, Doreri dan sidey.
Perkawinan di antara orang Arfak masih banyak diatu oleh orang tua dan para
kerabatnya, dan kadang-kadang orang dijodohkan sejak kecil. Suatu perkawinan yang
diatur orangtuaseringkali menyebabkan mempelai pria dan wanita belum saling
mengenal. Sekarang para pemuda dan pemudi seringkali mendapatkan jodoh melalui
acara-acara adat seperti pesta tari adat bernama ares komer.

Acara dalam pesta seperti itu adalah makan bersama, menyanyi,menari dan
memuji seseorang dengan pantun kiasan yang dilagukan. Mada pacaran tidak adadalam
masyarakat orang arfak, karena pengawasan terhadap anak gadis sangat ketat. Seorang
pemuda tidak mudah merayu dan mengganggunya, karena seorang gadis senantiasa ada
dalam pengawasan orangtuanya. Apabila seorang pemuda menaruh hati pada seorang
gadis, maka orang tuanya akan melamar gadis itu untuknya. Acara yang sangat penting
pada saat melamar adalah ikut sertanya ketua klen dan tokoh-tokoh adat, serta semua
kerabat dari kedua belah pihak. Perkawinan antara dua saudara sepupu sepihak ayah
tidak diperkenankan hingga angkatan keempat dan kelima.Dalam perkawinan orang
arfak, mas kawin yang harus di bayar oleh pihak keluarga priaadalah babi sebanyak 5
ekor (bernilai sekitar rp 500.000), kain timur sebanyak 35 helai (diantaranya 10 helai
kain toba merah), 100 helai kain cita, 30 ikat manik-manik dan 20 buah paseda.
Besarnya mas kawin biasanya sama dengan jumlah mas kawin yang diberikan oleh
ayah kepada ibunya ketika mereka dulu kawin. Karena anak wanita dianggap sebagai
sumber kekayaan bagi oran tuanya, maka bagi orang arfak wanita dinilai sebagai harta,
sementara anak pria yang akan mewarisi harta orangtuanya, menjadi fokus perhatian
dalam hal pengumpulan harta itu. Pengumpulan mas kawin biasanya merupakan upaya
bersama kaum kerabatnya. Sebagian dari mas kawin dibayar dengan uang tunai, benda-
benda impor, makanan dan minuman kaleng terutama bir, masih men jadi syarat
mutlak. Karena benda-benda itu kini sudah mulai langka, pengumpulan barang-barang
tersebut kini semakin sulit.

Apabila seorang wanita dibawa lari oleh pria tanpa pengetahuan orang tua,
maka priatersebut bersama orangtua dan kerabatnya harus segera melunasi seluruh
jumlah mas kawin yang diminta orang tua wanita tersebut dalam jangka waktu yang
ditentukan. Kalau tidak dipenuhi,maka akan terjadi perang antara konfederasi klan.

 Kepemimpinan
Pada dasarnya, di lingkungan orang arfak terdapat 2 jabatan kepemimpinan,
yaitu kepemimpinan formal dari pemerintah, dan kepemimpinan adat dari masyarakat.
Sebelum tahun1970an, pimpinan adat mendominasi pelaksanaan tata pemerintah yang
berlaku dalam masayarakat suku bangsa arfak, karena segala kegiatan yang
diselenggarakan harus diawali dengan upacara-upacara tradisional. Hali ini lambat-laun
mulai berubah dengan semakin kuatnya pengaruh musyawarah antara pimpinan formal
dan rakyat, serta semakin lemahnya pengaruh pimpinan adat tradisional. Alangkah
baiknya sekiranya kedua jenis kepemimpinan dapat bekerjasama.
 Religi

Orang Arfak yakin bahwa dunia dan alam disiptakan oleh ajemoa, dewa yang
tempatnya berada di langit, dan bahwa nenek moyang orang arfak adalah manusia
pertama ciptaan ajoema, yaitu siba. Siba mempunyai tiga orang anak yaitu dua laki-
laki, Iba dan Aiba, dan seorang wanita, Towansiba. Aiba yang bule pergi ke arah barat
dengan mengucapkan janji bahwa ia akan kembali pada suatu waktu apabila kedua
saudaranya berada dalam keadaan bahaya. Iba yang melanggar suatu peraturan Ajemoa,
dikutuk dan harus hidup di dunia fana untuk selama-lamanya. Ia mempunyai banyak
keturunan yang tinggal di daerah anggi, yang kemudian menyebar ke bintuni, merdey,
fakfak, wendamen, keseluruh bagian papua barat. Keturunanya yang langsung adalah
klen ahoran, saiba, iyomusi dan mandacan. Dari klen-klen itulah para pemimpin adat
dan para kepala desa dipilih. Orang arfak juga menyakini adanya ruh-ruh orang yang
telah meninggal, yang menurut mereka masih melayang-layang atau tinggal di
sensenemes dan mengenyu, yakni dua buah pegunungan keramat (karena semua orang
mati tinggal disana). Gunug itu masih tertutup oleh hutan lebat yang sangat sulit untuk
dilalui, dan juga tidak boleh dijelajahi, karena akan menimbulkan bencana bagi orang
yang mencoba mendaki gunung tersebut.
Dalam sistem religi orang arfak, ilmu gaib merupakan suatu unsur yang masih
hidup luas. Akuai adalah ilmu gaib pendek yang banyak digunakan dalam ilmu dukun
untuk menyembuhkan orang sakit dan dalam upacara-upacara menolak bahaya.
Bereytow adalah ilmu gaib priduktif yang banyak digunakan dalam upacara-upacara
kesuburan dan upacara pertanian. Sedangkan moumweb adalah ilmu gaib destruktif
yang banyak dipakai dalam ilmu sihir untuk menghancurkan saingan musuh, atau
sekedar untuk balas dendam. Dukun yang ahli dalam bidang itu disebut imperiyet.
Seperti pada semua masyarakat di dunia, religi orang arfak berperan pada saat
kematian. Mereka percaya bahwa jiwa meninggalkan tubuhnya pada saaat orang
meninggal. Dan menjadi ruh yang berkeliaran di sekitar alam hidup manusia. Ruh
memerlukan waktu yang cukup lama sebelum ia dapat melepaskan dirinya dari ikatan
tempat dia hidup cukup lama (tubuh manusia).Karena itu, alam sekitar tempat tinggal
manusia penuh dengan ruh. Ruh dapet menolong, tetapi juga dapat mengganggu
manusia. Setelah beberapa tahun, ruh akan pergi dan tinggal di duniaruh, yang menuruk
orang arfak perada di punyak gunung. Di zaman dahulu jenazah dibaringkan agak tinggi
diatas pohon, dengan suatu upacara sederhana. Kira-kira enam bulan sesudahnya, sisa-
sisa jenazah yang sudah hancur diambil kembali, dibungkus dengan kulit kayu dan
diletakkan diatas pohon di hutan jauh dari desa. Karena pengaruh agama kristen,
jenazah sekarang dikubur dengan upacara agama kristen.

 Kesenian dan kerajinan


Ekspresi seni pada orang arfak adalah me nyanyi dan menari. Jenis tarian yang
dikenal umum adalah jenis tarian ular yang diiringi suling bambu (tsout). Syair lagu
yang mengiringi tarian itu memuja keindahan alam, matahari, bulan langit dan gunung.
Barang-barang perhiasa yang umumnya dikenakan oleh pria atau wanita disebut liya,
yaknigelang terbuat dari anyaman tali rotan,dema 'ya (kalung), miyepa (hiasan kepala
yang dianyam menggunakan manik-manik) bulu burung atau kasuari, dan b reya
(anyaman kulit burulu burungatau kasuari untuk hiasan kepala). Lebih dari 50
tahunyang lalu sebelum mengenal pakaian masa kini, orang arfak menggunakan cawat
bagi pria yang terbuat dari kulit kayu, dan cawat wanita berupa ikat pinggang selebar
30 cm, yang dalam bahasa meyah disebut mogra. Dalam waktu senggang, seoran pria
arfak mengisi waktunya dengan mengukir atau melukis busur dan panah-panahnya.
Ukiran-ukiran yang khas itu juga mereka buat pada peralatan untuk perang.
Dibandingkan dengan sukubangsa asmat atau suku-suku di papua lainya yang
mengenal seni patung dan seni lukis canggih, orang arfak tidak menampakan jiwa seni
dalam kehidupan sosial budayanya. Di waktu yang lampau orang arfak memang
cederung meningkatkan kegiatan konfederasi kelompok perang dan tarian adat.
Mungkin karena inilah mereka mengagumi benda-benda materi yang berasal dari luar,
dan mempunyai keinginan untuk memilikinya serta menjadikanya benda berharga
dalam kehidupan mereka.
 Sistem pengetahuan

Orang Arfak dari daerah anggi mempunyai pengetahuan yang sederhana untuk
memanfaatkan segala hal yang ada di sekitarnya. Mereka membuat ramuan dari kaui
akuai untuk menghilangkan rasa sakit dan lemah badan, dan daun pendahu untuk
mengobati sakit-sakit di badan juga. Selain itu mereka juga mengetahui jenis kayu mana
saja yang baik untuk membuatrumah, lantai rumah dan rakit. Suara burung tertentu
yang terdengar di hutan dan sekitar rumahdianggap sebagai peringatran untuk berhati
hati terhadap suatu bahaya. Mereka juga mengenal jenis tumbuhan berbisa yang dapat
digunakan untuk meracuni musuh. Konsep sakit menurut orang arfak merupakan
gangguan ruh halus atau sungai yang ada disekitar daerah mereka tinggal. Konsep sehat
adalah keadaan yang diberikan oleh dewa bulan purnama, yan mereka anggap
membawa kebahagiaan dan memberi kesuburan bagi tanaman diladang. Dengan kata
lain ‘sehat´ berarti diri merasa bebas dari rasa bersalah kepada orang lain,atau bebas
dari pelanggaran aturan adat, sehingga dirinya merasa aman dan bahagia.

 Hasil kebudayaan suku Arfak

1. Rumah Kaki Seribu atau Mod Aki Aksa


Bukan hanya bermacam-mcam bahasa yang mereka miliki akan tetapi
suku ini juga mempunyai kebudayaan yang sangat menarik yaitu tempat tinggal
para Suku Arfak yaitu rumah kaki seribu atau disebut dengan Mod Aki Aksa.
Bila dilihat darti segi tradisional, rumah atau tempat tinggal yang merupakan
kediaman dari suku ini merupakan rumah yang tertutup serta hanya dilengkapi
dua pintu pada bagian belakang serta bagian depan. Keunikan dari tempat
tinggal suku ini terlihat dari bangunan rumahnya yang tidak dilengkapi dengan
jendela seperti rumah biasanya. Bukan hanya itu, keunikan terlihat jelas dari
segi bentuk pada bangunan tersebut. Bangunan itu dibuat menggunakan rumah
panggung sebagai kontruksinya yang berasal dari bahan-bahan kayu serta
pembuatan atap yang menggunakan rumput ilalang.
Sebutan yang muncul di sebagian besar orang yang melihat rumah
tradisional ini yaitu rumah seribu padahal nama aslinya adalah Mod Aksi Aksa
atau Igkojei. Sebutan rumah kaki seribu ini memang sangat wajar karena bentuk
dari rumah itu sendiri yang menggunakan banyak penyangga sehingga banyak
yang berpendapat itu seperti kaki yang jumlahnya banyak. Karena banyaknya
tidak bisa terhitung hanya dengan sekali pandang, maka rumah tersebut
dinamakan rumah kaki seribu.

 Tarian Ular atau Tari Magasa

Seperti suku-suku lain pada umumnya yang ada di Indonesia yang bukan hanya
mempunyai rumah tradisional, Suku Arfak juga memiliki cirikhas dari segi tarian
tradisionalnya. Salah satunya yaitu Tari Magasa. Tari magasa ini lebih terkenal dengan
sebutan tari ular oleh sebagian besar orang. Tarian ini diamakan tari ular karena saat
menampilkannya, tarian ini disertai formasi seperti ular dengan liukan dan gerakann
yang disesuaikan dengan irama dari lagu yang disajikan. Tarian ular atau Tari Magasa
ini disajikan hanya pada acara-acara penting, misalnya saat digelar acara perkawinan,
penyambutan tamu yang datang, saat penen raya tiba, merayakan ulang tahun atau
acara- acara penting yang ada lainnya. Tarian ini dipentaskan di hadapan para penonton
secara bersama-sama atau berkelompok. Tarian ini diikuti oleh semua lapisan yang ada
di masyarakat baik yang masih muda ataupun yang sudah tua. Tapi akan lebih indah
lagi jika tarian ini disajikan dengan cara berpasangan antara wanita dengan pria.
Gerakan yang dilakukan di Tari Magasa ini yaitu saling himpit, bergandengan
tangan, menghentakan kaki ke tanah serta melompat. Hal ini dikarenakan Tarian
Magasa ini berisi tentang romantisme, keindahan alam serta kepahlawanan. Suku ini
bukan hanya kaya akan kebudayaannya akan tetapi juga diselimuti dengan panorama
alam yang membuat mata terpesona akan keindahannya. Keanekaragaman keindahan
ini sangat wajar dimiliki oleh Suku Arfak. Hal ini disebabkan karena suku ini sangat
pintar dalam menjaga kerukunan atas perbedaan yang ada di antara mereka semua.

 Tarian Tumbuk Tanah Suku Arfak


Bukan hanya Tari Magasa yang ada di suku ini melainkan masih ada tarian yng
lainnya yaitu Tarian Tumbuk. Di tanah Papua semua suku-suku yang ada sudah tidak
heran lagi dengan buah merah yang merupakan symbol tumbuhan dari kebudayaan
Papua. Bagitu pula dengan Auku Arfak yang mendiami kawasan Manokwari untuk
tempat tinggalnya. Masyarakat Arfak memang mempunyai peran yang sangat besar
dalam ekspansi Portugis dan Belanda untuk melakukan komunikasi dengan beragam
suku yang mendiami tanah Papua.
Bila dilihat dari segi sejarah, masyarakat Arfak memang mempunyai
kemampuan yang bagus dalam mengenal tumbuhan-tunbuhan yang digunakan untuk
ramuan obat tradisional dan untuk keperluan magis. Selain itu juga, masyarakatnya
mempunyai kemampuan dalam hal berburu. Kedua hal tersebut merupakan hal yang
paling sulit bagi Portugis dan Belanda untuk dipelajari, karena karakteristik alam
Papua berupa aliran sungai serta daerah pegunungan.
Buah merah yang merupakan symbol dari kebudayaan Papua juga dijadikan
sebagai tarian yang disajikan oleh pemuda-pemuda dari masyarakat Arfak. Tarian ini
memang sangt memukau bagi para penonton karena kemampuan para pemuda dalam
membuat koreografi yang natural namun sangat unik. Selain itu juga sangat kental
dengan suasana tradisional di dalamnya. Dengan pementasan ini kiranya menggugah
kita untuk lebih yakin lagi bahwa memang Papua punya eksotika tersendiri yang tak
kalah dengan kebudayaan-kebudayaan lain di dunia.
NAMA : ANAK AGUNG GDE AGUNG KRISNA PUTRA

NIM : 1701571033

SUKU KAROWAI

DI PEDALAMAN PAPUA

Di sebelah selatan pulau Papua terdapat daerah berawa yang sangat eksotis, diapit dua
sungai besar dan gunung-gunung di sebelah utara. Namun daerah ini sulit untuk ditempati.
Kawasan seluas 600 km2 ini bukannya tak bertuan, tetapi menjadi wilayah kekuasaan Suku
Korowai, satu-satunya suku kanibal yang diyakini masih tersisa di Indonesia hingga saat ini.

Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 35 tahun lalu di
pedalaman Papua. Berpopulasi sekitar 3.000 orang. Suku terasing ini hidup di rumah pohon
yang disebut Rumah Tinggi. Beberapa rumah bahkan bisa mencapai ketinggian 50 meter dari
permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu di daratan Papua yang tidak menggunakan
koteka.

Orang-orang Korowai menempati kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut
Arafura. Mereka adalah pemburu-pengumpul yang memiliki keterampilan bertahan hidup.
Sampai sekitar 1975, Korowai hampir tidak mempunyai kontak dengan dunia luar. Mereka
hanya mengenal diantara mereka saja.
Tinggal di kampung atau pemukiman kecil yang dibuat pemerintah, adalah fenomena
yang relatif baru di kalangan Korowai. Mereka membangun rumah yang dibagi menjadi dua
atau tiga kamar persegi panjang dengan tempat api di setiap kamar. Pria dan wanita tinggal
terpisah. Pada tahun 1992, ketika desa Yaniruma diresmikan pemerintah Boven Digoel, tim
pembuat film dokumenter sudah bisa mengunjungi Korowai di pemukiman mereka.

Keberadaan Suku Korowai, atau terkadang disebut Kolufu, ini baru diketahui pada
dekade 1970-an, ketika seorang misionaris Kristen datang kesana dan hidup bersama warga
setempat. Misionaris ini bahkan berhasil mempelajari bahasa Awyu-Dumut, yaitu bahasa di
wilayah tenggara Papua.

Pada tahun 1979, misionaris asal Belanda itu mendirikan sebuah pemukiman yang
disebut Yarinuma. Sejak itulah warga suku Korowai mulai terbuka terhadap dunia luar.
Permukiman itu sering didatangi anggota suku Korowai yang masih muda.

Belakangan ini, wilayah Suku Korowai juga dikunjungi Rupert Stasch, antropolog dari
Reed College, Oregon. Dia tinggal bersama suku Korowai selama 16 bulan, untuk mempelajari
kebudayaan mereka. Stasch juga melakukan penelitian, yang hasilnya sudah diterbitkan dalam
Jurnal Oceania. Pada Januari – Februari 2011, Tim Human Planet BBC juga mendatangi Suku
Korowai, untuk mengabadikan kebudayaan mereka yang unik, khususnya dalam membangun
rumah.
Masyarakat Suku Korowai membangun tempat tinggal di atas pohon, yang disebut
“Rumah Tinggi.” Rumah-rumah panggung ini didesain sedemikian rupa sehingga terlindung
dari banjir, kebakaran, atau serangan hewan liar. Setiap rumah panggung biasanya dihununi
satu klan. Tempat tinggal ini dibagi menjadi dua, yaitu daerah khusus pria dan wanita.

Para peneliti menganggap masyarakat Suku Korowai cukup cerdas, karena mampu
membangun konsep perkampungan pada wilayah yang sebenarnya sulit untuk ditempati.

Di antara sejumlah peneliti dan antropologi yang datang melihat Suku Korowai,
mungkin yang paling fenomenal adalah kunjungan jurnalis bernama Paul Raffaele. Dia
memang hanya menetap selama empat hari bersama Suku Korowai. Raffaele menjabarkan
perjalanan empat harinya di bulan Mei 2006 lalu dengan sangat jelas.

Raffaele menjelaskan, meski masyarakat suku Korowai memiliki kebiasaan memakan


daging masusia (kanibal) hal ini ternyata tidak dilakukan setiap hari..

“Setiap hari mereka hidup dengan mengonsumsi berbagai macam hasil alam seperti sagu,
pisang, palem, dan pakis. Mereka juga memakan daging hewan yang biasa diburu seperti
burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan. Masyarakat Korowai juga memenuhi
nutrisinya dengan makan larva kumbang,” kata Raffaele.
Masyarakat Korowai sehari-hari hanya mengenakan pakaian dari dedaunan. Mereka
dikenal sebagai pemburu ulung, dan memiliki berbagai bentuk senjata yang disesuaikan dengan
buruannya. Untuk membunuh babi hutan, misalnya, mereka memiliki tombak khusus yang
berbeda dari tombak untuk menebang sagu, atau bahkan untuk membunuh manusia.
Berdasarkan informasi dari Kembaren, pemandu wisata Raffaele saat itu, masyarakat Korowai
sejauh ini masih memiliki kebiasaan memakan daging manusia. Namun ritual ini sudah jauh
berkurang sejak mereka mulai mengenal dunia luar.

Masyarakat Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara sembarangan. Sebab,


berdasarkan kepercayaan setempat, suku Korowai hanya membunuh manusia yang dianggap
melanggar aturan terhadap kepercayaan mereka. Misalnya, jika seseorang diketahui sebagai
tukang sihir atau disebut khuakhua.

Masyarakat yang dicurigai sebagai khuakhua akan diadili. Jika banyak bukti kuat yang
memberatkannya, dia akan segera dibunuh dan dimakan. Kembaren mengatakan, anggota
tubuh khuakhua yang mati akan dibagi-bagikan kepada semua warga. Otaknya akan dimakan
selagi hangat. Orang yang membunuh khuakhua berhak menyimpan tengkoraknya.

Jadi, bagi masyarakat Korowai, membunuh dan memakan daging manusia adalah
bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Setelah memakan habis tubuh khuakhua, mereka
akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu sambil bernyanyi semalaman.
Sedikit saja informasi yang diketahui tentang Korowai sebelum 1978. Namun dari
berbagai sumber, diketahui suku ini mengalami masa mengayau yang pelik. Kontak orang
Korowai dengan dunia luar tercatat ketika mereka bertemu penginjil Johannes Veldhuizen pada
4 Oktober 1978. Setelah kontak itu, sekitar 1980 mulai didirikan sekolah dasar dan klinik rawat
jalan. Selama tahun pertama, Johannes Veldhuizen dan Henk Venema mengatur berbagai
pertemuan dengan Korowai.

Antara tahun 1978 dan 1990, Korowai masih menempati hilir sungai. Mereka membuka
kebun dan berburu. Mereka juga diperkenalkan dengan metode penyembuhan kesehatan yang
diprogramkan pemerintah. Namun meskipun telah mengetahui klinik rawat jalan di Yaniruma,
banyak dari mereka masih menggunakan metode tradisional untuk menyembuhkan penyakit.

Suku Korowai sebagian besar masih mandiri. Mereka menghasilkan kapak dari batu,
membuat garam dan banyak lainnya. Uang pertama yang dikenalkan berasal dari misionaris.
Mereka juga membantu perintis gereja dan membayar dengan mata uang rupiah. Dengan uang
ini, mereka bisa membeli barang di toko lokal seperti garam, pakaian, dan pisau cukur. Sejak
1990, Korowai telah terlibat dalam proyek-proyek kehutanan perusahaan asing. Mereka
dipekerjakan sebagai pemandu wisata dan pengemudi perahu. Meskipun banyak dari mereka
tidak tamat SD, beberapa berhasil mengikuti pendidikan menengah di Kouh, Boven Digoel
Atas. Kini pemuda Korowai bisa belajar di Jayapura.

Secara tradisional, Korowai hidup dalam kondisi terisolasi. Mereka membangun rumah
tinggi untuk melindungi keluarga tidak hanya terhadap serangan hewan buas tetapi juga
menangkal roh jahat. Untuk waktu yang lama, Korowai dianggap sangat tahan terhadap
konversi agama. Namun, pada akhir tahun 1990-an mereka mulai dibaptis.
 Rumah Pohon dan Adat
Masyarakat Suku Korowai membangun tempat tinggal di atas pohon yang disebut
“Rumah Tinggi.” Rumah-rumah panggung ini didesain sedemikian rupa sehingga terlindung
dari banjir, kebakaran, atau serangan hewan liar.

Setiap rumah panggung biasanya dihununi satu klan. Tempat tinggal ini dibagi menjadi
dua, yaitu daerah khusus pria dan wanita.

Untuk membangun sebuah rumah, dipilih pohon besar kokoh sebagai tiang utama.
Lantainya terbuat dari cabang. Kulit pohon sagu digunakan untuk membuat dinding. Atapnya
dari daun hutan. Untuk merangkai rumah, dipilih tali rotan yang kuat. Untuk menjangkau
rumah, disusun tangga panjang menjulai ke bawah. Sebelum menempati rumah itu, mereka
akan melakukan ritual malam mengusir roh jahat.
Setiap keluarga memiliki kebun sagu. Mereka juga mengumpulkan sayuran hijau, dan
buah-buahan yang semuanya tumbuh di hutan. Babi dan anjing adalah satu-satunya hewan
peliharaan. Babi memiliki nilai sosial dan hanya dibunuh saat ritual dan di acara-acara khusus
sedangkan anjing digunakan untuk berburu. Mereka menggunakan busur dan panah. Di masa
lalu, buaya juga ditangkap untuk dimakan.

Korowai sangat patuh pada adat, mereka mengenal pesta sagu. Ritual ini dilakukan
setiap terjadi kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada momen seperti itu, barang-barang
bernilai sosial seperti babi, gigi anjing, dan kerang disajikan kepada kelompok yang
menyelenggarakan ritual. Kelompok yang menerima wajib membalas pada pesta berikutnya.
Ketika seseorang meninggal, hak atas tanah diteruskan kepada pewaris. Demikian pula,
seorang pria ‘mewarisi’ adik ipar ketika saudaranya meninggal. Karena laki-laki harus
membayar mas kawin, mereka menikah relatif terlambat, pada 20 tahun atau lebih tua.
Sebaliknya wanita menikah setelah menstruasi pertama.

Setiap rumah tangga, terdiri dari seorang kepala keluarga, satu atau lebih istri dan anak-
anak yang belum menikah. Jika ayahnya meninggal, ibu dan anak-anak yang belum menikah
akan menjadi milik keluarga ayah. Didalam keluarga, orang tua mengajar anak-anak segala
aturan dan hal tabu. Seorang gadis muda akan aktif terlibat dalam semua peran ketika dinilai
cukup umur. Setelah menikah, gadis dianggap sebagai wanita dewasa. Sementara, anak laki-
laki belajar tentang cara berburu dan membuat rumah semenjak usia 15 tahun. Selama periode
ini, para bocah diajarkan juga pengetahuan khusus, asal usul kehidupan dan cara bertahan
hidup.

Keluarga Korowai sangat menyadari hal baik dan jahat. Mereka juga harus mengetahui
tentang keseimbangan alam, kesehatan, seksualitas dan pengetahuan dunia roh. Korowai
percaya bahwa alam semesta dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya. Roh-roh
nenek moyang memainkan peran khusus. Beberapa wanita tua, yang dikatakan memiliki
pengetahuan spiritualitas, dianggap sebagai tokoh. Mereka juga percaya, seseorang dapat
menjelma menjadi hewan, bahkan mereka juga meyakini, roh orang yang meninggal akan
berkeliaran di sekitar rumah pohon untuk beberapa waktu.
NAMA : VALENTINA YEUYANAN

NIM: 1701571015

SUKU KAMORO

( KABUPATEN MIMIKA )

1. Sejarah Suku KAMORO

Kabupaten Mimika awalnya bernama Kaukanao, yang mana ‘kauka’ berarti


perempuan dan ‘nao’ berarti bunuh. Munculnya kata Kaukanao sendiri berasal dari
Perang Hongi, dimana semua perempuan harus dibunuh.

Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 8 Oktober 1996. Setelah selama tiga tahun
berstatus administratif. Mimika secara resmi menjadi kabupaten definitif pada awal
tahun 2000. Dengan perubahan ini maka Mimika diharapkan dapat tumbuh
berkembang dengan kekuatannya sendiri seperti daerah lainnya.

Sepanjang laporan penelitian para informan dan berbagai laporan, tidak ada arti
yang jelas mengenai kata Kamoro, namun berdasarkan cerita yang diperoleh bahwa
kata Kamoro berasal dari hewan atau binatang komodo. Oleh karena itu, menurut
masyarakat Kamoro, mereka berasal dari daging hewan yang dibunuh dan dipenggal-
penggal oleh nenek moyang mereka dan kemudian daging tersebut berubah wujud
menjadi orang Kamoro. Ada versi lain, hukum adat Kamoro mulanya berasal dari Udik
Sungai Kamoro, yang kemudian menyebar luas memenuhi sepanjang pantai Barat Daya
Irian Jaya, yaitu Potowaiburu hingga ke sungai Otakwa.

Asal-usul suku Kamoro memiliki cerita sendiri-sendiri dari tiap-tiap


kampung. Ada cerita yang sempat dicopy oleh Stefanus Rahangiar(1995), yaitu salah
seorang peneliti yang mengemukakan bahwa orang Kamoro berasal dari komodo yang
terletak di sungai Binar di bagian Timur daerah Mimika. Cerita ini bermula dari,
ditemukannya sebutir telur oleh seorang anak kecil di tepi pantai. Kemudian sianak
membawa kerumahnya. Telur tersebut tidak dimasak, tidak juga dirusak, malahan
sianak menyimpan dan merawatnya. Selang beberapa hari kemudian telur tersebut
menetas. Tetasan tersebut adalah seekor Komodo . Hari kehari, komodo tersebut
bertumbuh dan lama-kelaman menjadi besar dan dewasa. Komodo yang besar tersebut,
diluar dugaan memakan seluruh penduduk dikampung tersebut, yang tersisa hanya
seorang ibu yang tengah hamil.

Setelah penduduk itu habis dimakan, Komodo itu beristirahat di sebuah pulau
dengan Sungai Binar. Pada saat itu, Ibu tersebut melahirkan seorang anak laki-laki yang
segera tumbuh menjadi seorang pemuda yang dewasa. Di sini anak tersebut mendengar
cerita dari Ibunya tentang kejadian yang menimpa keluarganya. Maka timbul niat dari
anak ini untuk balas dendam. Ibu itu bernama Mbirokateya sedangkan anaknya
bernama Mbirokateyau. Dalam upaya membunuh hewan Komodo, Mbirokateyau
mendapat petunjuk dari para leluhurnya lewat mimpi. Mimpi ini mulai dijalankannya
dengan mendirikan empat buah rumah berturut-turut, dari arah tepi pantai ke bagian
darat. Rumah pertama(Kewa Kame), rumah kedua(Tauri Kame), rumah ketiga(Kaware
Kame) dan rumah keempat(Ema Kame). Rumah keempat ditempati oleh Ibunya dan
rumah pertama ditempati oleh sianak ini sambil memukul tifa dan bernyanyi seakan-
akan sedang berpesta. Hal ini dilakukan untuk memberi perhatian kepada Komodo
tersebut, yang menyangka bahwa tidak ada manusia lagi disekitarnya. Situasi ini
mengundang Komodo ini menyerang rumah tersebut. Saat hewan itu memporak-
porandakan rumah, maka peralatan yang digunakan untuk menghujani tubuh hewanlah
yang telah menyelamatkan sianak dari rumah kedua sampai rumah keempat, dan
akhirnya Komodo ini mati terimpa alat-alat perang. Kemudian sianak memotong
dagingnya menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama besar dan melemparkannya
ke empat penjuru mata angin. Lemparan pertama kebagian Timur sambil berkata
Umuru we yang kemudian dipercaya telah menjadi orang Asmat di Merauke. Lemparan
kedua diarahkan kebagian Barat sambil berkata Kamoro we dan akhirnya tercipta
manusia suku Kamoro. Lemparan ketiga ke arah Utara yang akhirnya tercipta orang
pegunungan dan lemparan keempat diarahkan ke bagian Selatan sambil berkata
Semopano we, yang akhirnya menjadi suku Sempan di Timika.

Ada juga cerita lain menurut Bapak Frans Moperteyau yang berasal dari
Keakwa yang menyatakan bahwa orang Kamoro mula-mula bertempat tinggal di pulau
yang bernama Nawapinaro yang terletak dibagian timur daerah Mimika. Suatu saat
dilaksanakan pesta adat Karapao adalah tauri yang merupakan pesta inisiasi bagi anak-
anak yang hendak memasuki masa remaja(dewasa). Menurut adat yang mengikuti pesta
harus memiliki orang tua dan sanak saudara sebagaimana syarat-syarat pesta adat
tersebut. Daiantara orang-orang itu, ada 2 orang kaka beradik yaitu Aweyau dan
Mimiareyau, yang hidup dalam pemeliharaan wali orang tuanya. Sehingga mereka
tidak diperkenankan mengikuti pesta adat tersebut. Mereka tersisih dari teman
sebayanya. Perasaan ini menimbulkan rasa cemburu dan muncul ide untuk membuat
keributan pada saat pesta berlangsung. Mereka berdua mengenakan topeng setan untuk
menakut-nakuti orang yang sedang berpesta. Peserta pesta adat yang melihat itu,
kemudian melarikan diri menuju arah barat dengan menggunakan perahu, kemudian
menempati sungai-sungai yang kini merupakan daerah Mimika dari bagian timur
hingga ke bagian barat jauh yang sekarang sudah menjadi batas wilayah Kamoro.

2. Pola Hidup Suku Kamoro

Orang Kamoro memiliki ciri-ciri fisik seperti, wanita dan pria rata-rata memiliki
postur tubuh yang tinggi dan tegap karena keadaan alam (di pesisir pantai), warna kulit
hitam, hidung mancung dan rambut keriting.

> Mata Pencaharian

Orang Kamoro tidak mengenal sistem pertanian sehingga mereka kembali


kepada kehidupan mereka sebagai nelayan dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat
ketempat yang lain (nomaden). Mereka memiliki semboyan, yaitu
3S(sungai,sampan,sagu). Sungai merupakan salah satu arus utama aktivitas suku
Kamoro, sehingga mereka membutuhkan sampan untuk melakukan aktifitas sehari-
hari.

Rasa sosial yang begitu kuat, membuat masyarakat Kamoro selalu berbagi
dengan sesamanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kamoro sehari-hari,
mereka biasanya melakukan aktivitas seperti :

- Memangkur sagu (amata wapuru)

- Melaut (menangkap hasil laut)

- meramu
> Makanan Khas

Berbagai makanan khas masyarakat Suku Kamoro antara lain adalah sebagai berikut :

 Tambelo (ko)
 Sagu (amata)

 Ulat sagu (koo)

 Siput (omoko)
 Karaka

3. Agama
Pada awalnya, orang Kamoro menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Namun setelah masuknya agama Katolik pada tahun 1928 yang dibawa oleh
seorang pastor, masyarakat Kamoro mulai mengenal agama. Oleh sebab itu,
sebagian besar masyarakat Kamoro memeluk agama Kristen Katolik dan sebagian
kecilnya menganut agama Kristen Protestan, tetapi ada juga masyarakat yang masih
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme dan hal itu masih berlanjut hingga
saat ini.
4. Adat Istiadat Suku Kamoro

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam


kehidupan manusia. Demikian halnya, dengan masyarakat suku Kamoro.
Perkawinan mempunyai arti yang sangat mendalam, tidak hanya bagi individu yang
kawin, tetapi juga lebih dari itu menyangkut harga diri, kehormatan, martabat
keluarga atau kerabat. Karena itu, perkawinan tidak lepas dari peranan keluarga
atau kerabat.

Ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang dimaksud mencakup hal-hal seperti :

 Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan secara adat terdapat perbedaan-perbedaan antara satu daerah


dengan daerah lainnya. Larangan perkawinan pada orang Kamoro adalah sebagai berikut :

 Karena hubungan darah


Seorang laki-laki dilarang memilih pasangan atau kawin dengan perempuan
yang masih mempunyai hubungan darah.

 Karena melangkahi saudara yang lebih tua


Seseorang dilarang kawin (baik laki-laki maupun perempuan), apabila ada
saudaranya yang lebih tua dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum
menikah.
 Mas kawin
Mas kawin adalah sejumlah barang-barang perkawinan yang diminta oleh pihak
keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki guna kelangsungan suatu
perkawinan. Pada orang Kamoro mas kawin mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam suatu perkawinan, karena mas kawin merupakan suatu syarat mutlak
yang harus ada nilai guna kelangsungan perkawinan. Adapun benda-benda yang
digunakan sebagai mas kawin adalah sebagai berikut :
1. Perahu
2. Kampak, parang (alat-alat kebun)
3. Piring, kain
4. Uang
 Syarat-syarat perkawinan
1. Kematangan jasmaniah dan rohaniah
2. Kesiapan harta
3. Izin orang tua
4. Memperhatikan larangan-larangan perkawinan
 Upacara Adat
1. Upacara Pendewasaan (inisiasi) atau Upacara Karapao
2. Upacara Penobatan Kepala Suku
3. Upacara Pembuatan Mbitoro
4. Seni Budaya Tradisional Suku Kamoro

Adapun beberapa jenis seni budaya yang dimiliki oleh suku kamoro adalah sebagai
berikut :

 Seni bangunan rumah

Suku kamoro mempunyai beberapa bentuk rumah tradisional, yang diberi nama antara lain
:

 KAPIRI KAME

Kapiri adalah alat penutup rumah (atap) yang menjadi rumah tradisional suku kamoro.
Kapiri dibuat dari daun pandan hutan yang kuat, lebar dan panjang. Meskipun begitu sekarang
ini suku kamoro tidak lagi (jarang sekali) menempati kapiri kame, mereka sudah membangun
rumah yang permanen dengan memanfaatkan gaba-gaba (pelepah sagu) sebagai dinding dan
daun seng sebagai atapnya. Banyak bentuk dari kapiri misalnya:

 Karapauw Kame
 Tauri Kame
 Kaota KameKapiri Kame, dan lain-lain

5. Seni Ukir

Suku kamoro mempunyai seni ukir yang cukup tinggi nilainya. Motif-motif seni
ukir suku kamoro didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.

Pengalaman sejarah yang dialaminya diekspresikan dalam bentuk seni ukir


yang indah dan mempunyai makna ritual. Jenis-jenis seni ukir suku Kamoro antara lain;
a. Mbitoro

Mbitoro adalah ukir-ukiran khas suku Kamoro yang menjadi dasar dari jenis ukir-
ukiran.

Kerangka Mbitoro

Uema ( ruas tulang belakang)

Uturu tani (awan putih berarak)

Wake biki (ekor kuskus pohon)

Oke mbare (lidah biawak)

Upau (kepala manusia)

Apakou upau (kepala ular)

Ereka kenemu (insang ikan)

Ema (tulang ikan)

Utu wau (tempat api atau perapian)

b. Ote Kapa (tongkat)

Ote kapa adalah seni ukir yang berbentuk tongkat dan biasanya di gunakan oleh orang
yang sudah lanjut usia. Ada 5 motif ukiran ote kapa yaitu :

Tako ema (tulang sayap kelelawar)

Ereka waititi (sirip ikan)

Uema (ruas tulang belakang)

Upau (kepala manusia)


c. Pekaro (Piring Makan)

Pekaro dibuat dari jenis kayu yang ringan sehingga mudah dibawa pada saat berkapiri.

Kerangka Pekaro :

Komai mbiriti (kepala burung enggang/paru burung enggang)

Tempat makanan yang berbentuk bulat telur

Mbiamu Upau (kepala kura-kura)

d. Yamate (perisai)

Yamate adalah seni ukir yang dibuat dari beberapa tingkat sesuai dengan tingkat tinggi
orang yang memakainya. Biasanya dibuat empat tingkat yang semuanya bermotif bagian-
bagian tubuh buaya.

- Kapiri (tikar)
- Imi (jaring)
- Etahema (noken)
- Omotere (tikar pandan)
 Seni Suara dan Seni Tari Suku Kamoro

Menurut legenda lama adat kebudayaan suku Kamoro berasal dari dalam tanah dan air.
Konon ceritanya nenek moyang suku Kamoro hanya memberikan alat-alat kebudayaan dan
tidak mewariskan alat pertanian, sehingga suku kamoro lebih pandai bermain musik dari pada
mengolah tanah.

Seni tari dan seni suara oleh suku Kamoro dijadikan sebagai bahan media dalam
berbagai pesta untuk segala kepentingan. Orang yang memiliki keahlian menyusun syair dan
mendendangkannya disebut “bakipiare”. Bakipiare sangat peka dalam memperoleh ilham dari
keadaan alam sekitarnya. Ilham yang diterimanya kemudian diimajinasikan dan diekspresikan
dalam bentuk syair lagu.

Syair lagu itu kemudian dilagukan dengan ditimpa oleh bunyi tifa yang lembut dan
kadang-kadang menyentak iramanya. Jika irama lagu menyentak, iramanya akan segera
mendapat sambutan dari dnikiarawe (pengiring lagu), maupun jagwari pikara (penegas atau
penutup lagu). Alat-alat musik yang digunakan adalah tifa (eme) dan kaiyaro (alat musik dari
bambu). Kaiyaro ini biasa dibunyikan dalam pesta adat karapao.
Jenis tari suku Kamoro seperti :

Tari Seka

Tari Ular

Tari Mbitoro

Jenis seni suara (lagu) suku Kamoro seperti :

Tapare Mimika Iwoto

Korani

Nikya Yesus

 Pakaian

Pakaian adat atau tradisional suku kamoro dibuat dari kulit peura (sejenis pohon genemo)
yang disebut waura. Waura digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai cawat
disebut tapena. Ada juga yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan piki. Tauri biasa
digunakan oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas, ditumbuk, dicuci yang kemudian
dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak sebagai
kain sarung.
Daftar Pustaka

 Bahij, Azmi Al. 2013. Sejarah 34 Provinsi Indonesia. Jakarta : Dunia Cerdas
 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Arfak
 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat
 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani
 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Matbat
 https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbpapua/2017/09/20/tradisi-wala-dalam-
budaya-orang-matbat-di-raja-ampat/
 http://www.academia.edu/7723813/Makalah_suku_Asmat_print http://dunia-
kesenian.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-asal-usul-dan-kebudayaan-suku-
asmat.htmlhttps://id
 http://www.nomor1.com/wongsi143/suku-arfak.htm
 https://www.scribd.com/doc/54781102/Kebudayaan-Masyarakat-Arfak-Papua
 https://simomot.com/2014/08/30/mengenal-lebih-dekat-korowai-suku-kanibal-di-
indonesia/ER
 http://www.jeratpapua.org/2015/03/29/mengenal-suku-korowai-di-selatan-papua/
 http://megaroroajeng.blogspot.co.id/2013/02/kehidupan-suku-korowai-kombai.html
 https://sinarmasahangguli.wordpress.com/2013/01/12/masyarakat-suku-yali-2/
 http://suarayali.blogspot.co.id/2016/05/budaya-suku-yali.html
 https://awelekhul.wordpress.com/2013/07/10/kesenian-suku-yali-kab-yalimo/
 https://nasrudinkb.wordpress.com/2016/01/28/gambaran-umum-masyarakat-suku-
yali/
 https://sinarmasahangguli.wordpress.com/2013/04/15/suku-yali-dan-mitos-ayamtek/

 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Amungme

 https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-amungme
 http://egatmangme.blogspot.co.id/

 https://azzamaviero.com/makanan-khas-timika/

 https://siapliburan.com/wisata-timika/

Anda mungkin juga menyukai