Anda di halaman 1dari 17

SISTEM

PERKAWINAN ADAT
MANGGARAI
NAMA KELOMPOK

■ M Mas Adi Fitrah Indarwan 1601571013


■ Ni Kadek Mia Pradnyantini 1701571001
■ M Fahmi Idris 1701571002
■ Nur Laila Wulandari 1701571003
■ Noval Fariz Mutaqien 1701571004
■ Putu Eka Febyanti 1701571005
■ Leonensi Amalia 1701571006
■ Mega Rizqiana 1701571007
Latar Belakang Masalah

■ Studi tentang perkawinan merupakan studi yang sangat penting


untuk mengetahui sistem perkawinan yang ada pada masyarakat
Indonesia. Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam dari
Sabang sampai Marauke, karena pada dasarnya masyarakat
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku. Sistem perkawinan yang
ada pada masyarakat Indonesia tentu ada perbedaan antar satu
dengan yang lainya. Perbedaan tersebutlah yang menjadi ciri khas
dari daerah tersebut.
Perkawinan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena
perkawinan seringkali menjadi tolak ukur sah atau tidaknya hubungan suami istri. Bagi
masyararakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, perkawinan menjadi hal yang
sangat penting dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan masyarakat
Manggarai upacara perkawinan menjadi suatu hal yang wajib guna untuk mendapatkan
restu bagi orang yang ingin hidup berkeluarga. Tradisi, istilah, makna, serta tujuan dari
perkawinan pada umumnya sama dalam kehidupan masyarakat di dunia ini, tapi yang
berbeda terdapat dalam proses ritual yang ada dalam perkawinan tersebut. Pada
masyarakat Manggarai upacara perkawinan tersebut terdapat berbagai upacara
didalamnya seperti tukar kila (cincin), pentang pitak, paca, dan lain-lain.
Letak Geografis dan Orang Manggarai
Secara geografis, Manggarai terletak di Flores bagian barat. Bagian
utara berbatasandengan laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan laut
Sawu, bagiantimur berbatasan dengan kabupaten Ngada, bagian barat
berbatasan dengankabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat
Orang Manggarai adalah orang-orang pribumi yang tersebar dari
perbatasan timur, barat, utara, selatan wilayah Manggarai. Salah satu
kekhasan Manggarai sebagai suku bangsa adalah adanya berbagai kesamaan
dalam bahasa dan watak. Meskipun juga dibeberapa bagian Manggarai
terdapat perbedaan bahasa.
Manggarai sebagai Kabupaten yang memiliki karakteristik yang unik,
juga memiliki adat istiadat dan sistem perkawinan yang khas dengan nilai-nilai
dan norma yang dianut oleh masyarakat setempat.
Rumusan Masalah

■ Bagaimana jenis-jenis sistem perkawinan adat Manggarai?


■ Bagaimana proses dalam sistem perkawinan adat Manggarai?
Pengertian Sistem Perkawinan

■ Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang digunakan untuk


mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan.
■ Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan
bahagia.
■ Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama.
■ Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berikut adalah delapan pola menetap setelah perkawinan dalam sosiologi:

■ Patrilokal/Virilokal
■ Matrilokal/Uxorilokal
■ Bilokal
■ Neolokal
■ Avunkeelokal
■ Natalokal
■ Utralokal
■ Kanon lokal
Jenis-Jenis Perkawinan Adat Manggarai
■ Cangkang
■ Tungku
■ Cako
■ Perkawinan Roko
■ Perkawinan Duluk
■ Perkawinan Liwi (levirat) dan Perkawinan Timu Lalo (sororat)
Tahap-Tahap Dalam Sistem Perkawinan
Adat Manggarai
Pertama, Cumang Cama Koe artinya laki-laki dan perempuan bertemu di mana
sang pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu kejadian yang disebut
tukar kila (tukar cincin). Pihak laki-laki (calon anak wina) menemui pihak perempuan (calon
anak rona) untuk membuat pra-kesepakatan mengenai pernikahan, belis, mas kawin (paca).
Bila terjadi kesepakatan, maka hubungan itu dibawa pada jenjang selanjutnya.
Kedua, Weda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini mencakup; pengikatan, masuk minta,
masuk rumah permpuan membawa sirih-pinang yang dalam bahas adat disebut “pongo”
atau “ba’cepa”. Tahap ini lazim disebut “Tuke Mbaru”. Tahap ini menjadi momen peresmian
pertunangan. Dalam acara pongo kedua pihak mendelegasikan pembicaraan adat pada
sesorang yang disebut “Tongka/Pateng” (jubir). Juru bicara pihak wanita disebut “tongka
tiba” sedangkan juru bicara pihak laki-laki disebut “tongka tei.” Dalam proses inilah belis
dan paca dibicarakan. Jika terjadi kesepakatan, maka apa yang diminta pihak wanita akan
dipenuhi dalam proses selanjutnya.
Ketiga, Umber/Pedeng Pante. Tahap ini ditandai dengan pemberian belis
sebagian kecil sesuai dengan kemampuan anak wina. Umber ini juga disebut cehi ri’i-
wuka wancang-radi ngaung (peresmian perkawinan adat karena sebagian belis sudah
dibayar). Filosofi dibalik belis adalah “bom salang tuak-maik salang wae teku tedeng.”
Artinya: keluarga yang baru dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti
seperti mengalirnya air dan bukan seperti jalan pohon enau yang “air”nya berhenti.
Maksudnya; dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan
belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat.
Keempat, upacara podo. Upacara ini merupakan upacara menghantar (podo)
pengantin ke rumah pengantin pria. Dengan ini, ia sudah menjadi anggota suku (wa’u)
laki-laki dan harus megikuti tata hidup keluarga si pria (ceki). Dalam tahap ini juga
pihak perempuan member “wida” kepada keluarga baru. “Wida” merujuk pada
“widang” yakni pemberian perlengkapan rumah tangga dari pihak keluarga wanita
misalnya kain adat, perlengkapan tidur, barang-barang dapur. Sesi pamungkas dari
“podo” adalah upacara “pentang pitak”, yakni upacara pembebasan si istri dari segala
keterikatannya dengan keluarga asal. Ritual yang dijalankan yakni: menginjak telur di
depan rumah adat (Gendang/tembong). Ini menjadi tanda inisiasi si wanita ke dalam
tatanan hidup si laki-laki.
Budaya Belis dan Paca
■ Belis/ paca itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona (keluarga
mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya
berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat).
■ Semua pembicaraan yang berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-
laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat pongo. Ketika itu terjadi
proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina tentang
jumlah belis
■ Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk
menyerahkan mas kawin itu pada saat acara adat yang disebut coga seng agu paca. Di mana
semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama (pada
tahap perkawinan sebelumnya yaitu pada saat pongo) akan diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada keluarga perempuan. Adat coga seng agu paca merupakan inti/ puncak sebagai bukti
tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan. Momen
inilah yang menjadi tolok ukur sampai sejauh manakah kesiapan, kemampuan kelurga
mempelai laki-laki dalam urusan perkawinan itu.
Mengapa belis atau “Paca” harus
“dibayarkan” dalam pernikahan
adat Manggarai?
■ Belis atau “paca” bukan hanya suatu penetapan melainkan suatu pengukuhan
kehidupan suami istri. Ada suatu unsur pokok: anak rona (penerima mas kawin) dan
anak wina (pemberi mas kawin). Telah dikatakan bahwa filosofi dasarnya adalah
“salang wae teku tedeng” (jalan mata air) dan bukan “salang tuak” (jalan tuak
enau). Itu berarti relasi perkawinan yang akan dibentuk bukan hanya sesuatu yang
bersifat temporal saja (untuk sementara waktu), melainkan relasi perkawinan itu
akan berdampak pada suatu hubungan “woe nelu” atau kekerabatan yang
berkelanjutan sampai pada generasi-generasi berikutnya. Belis menjadi semacam
“tunggakan” yang menjadi kewajiban pihak “anak wina” kepada “pihak anak wina.”
Refleksi Filosofis

Nilai-nilai filosofis perkawinan adat Manggarai dapat digambarkan dalam beberapa


ungkapan berikut:
■ Pertama, perkawinan mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada
bersama dengan yang lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan
berkembang, seperti ungkapan “saung bembang ngger eta, wake seler ngger wa”.
■ Kedua, perkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat
keturunan. Seperti suatu ungkapan seorang suami, “wua raci tuke, lebo kala ako”
(istriku sudah hamil)
■ Ketiga, perkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan
kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan manusia
seperti ungkapan “cimar neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo
(persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)”
■ Keempat, perkawinan merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan
menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa
besar. Itu tersembul dalam ungkapan “Nai nggalis tuka Ngengga (kearifan dan jiwa
besar)” Atau ungkapan “Mese bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung
jawab dan bermoral).
■ Kelima, perkawinan menjadikan kebebasan manusia terlembagan dalam suatu
tatana moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Seperti ungkapan “lopan pado olo, morin musi mai (sudah ada yang punya).”
Kesimpulan
■ Pada umumnya, perkawinan sebagian besar warga masyarakat di Manggarai, umumnya,
didahului pacaran antara pemuda dan pemudi. Kalau ada persetujuan dari kedua belah
pihak untuk hidup bersama sebagai suami istri, keluarga si pemuda melamar (cangkang)
pada keluarga si gadis. Keluarga si gadis biasanya akan meminta mas kawin (paca) yang
tinggi dalam bentuk sejumlah kerbau dan kuda atau berupa uang. Mereka juga akan
memberikan kepada keluarga si pemuda sebagai imbalan suatu pemberian yang besar
juga.
■ Dalam keadatan Manggarai terdapat beberapa jenis-jenis perkawinan seperti : Cangkang,
Tungku, Cako, Roko, Duluk, Levirat dan sororat
■ Proses atau tahapan-tahapan perkawinan adat Manggarai :
■ Pertama, Cumang Cama Koe artinya laki-laki dan perempuan bertemu di mana sang
pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu kejadian yang disebut
tukar kila (tukar cincin). kedua, Weda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini mencakup; pengikatan,
masuk minta, masuk rumah permpuan membawa sirih-pinang yang dalam bahas adat
disebut “pongo” atau “ ba’cepa” Ketiga, Umber/ Pedeng Pante. Tahap ini ditandai dengan
pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan anak wina Keempat, upacara
podo. Upacara ini merupakan upacara menghantar (podo) pengantin ke rumah pengantin
pria

Anda mungkin juga menyukai