Anda di halaman 1dari 6

TUGAS BAHASA INDONESIA

Drama Bertema Persahabatan

Oleh :

NAMA : DEVA AULIA PUTRI OKTAVIA


KELAS : XI IA 3

SMAN 1 MAUMERE
TAHUN 2017
JONG DOBO

Jong Dobo dalam Bahasa Sikka, Maumere, Flores, NTT terdiri dari dua
suku kata. Jong berarti perahu/kapal, sedangkan Dobo adalah nama
perkampungan, tempat disimpannya perahu tersebut. Jika diterjemahkan secara
bebas, artinya Perahu di kampung Dobo.
Asal mula dan asal dari Jong Dobo menyatu dalam syair adat yang
dikenal dalam bahasa Sikka dengan sebutan Kleteng Latar yaitu prosa liris
paralel. Yang merupakan legenda tentang terjadinya dan asal mula Jong Dobo.
Muatan syair merupakan suatu legenda dari pada mitos, dalam arti yang
menonjol ialah pribadi pribadi historis entah riil atau yang dibayangkan.
Umumnya syair adat berisikan tentang asal usul keluarga dan kampung.
Nama lengkap kampong Dobo adalah Dobo Dora Nata Ulu yang artinya
Puncak Dobo Kampung Pertama. Beberapa kampong yang terletak tak jauh dari
kampong itu adalah Bao Batung, Uma Moro, Piring. Namun Dobo itu adalah
nama bukit daerah itu. Tinggi puncak itu adalah 810 m di atas permukaan laut.
Dan daerah sekitarnya seluas 360 ha, pada tahun 1932 oleh pemerintah Belanda
dijadikan hutan lingdung. Dari segi administratif pemerintahan, kampung ini
adalah bagian dari desa Ian Tena, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka.
Di kampung itu tersimpan sebuah Artefak yang diberi nama dengan
kampung itu sendiri, yaitu Jong Dobo. Jong adalah kata bahasa Sikka untuk
perahu atau kapal. Sebagaimana diketahui Jong juga nama jawa atau melayu
untuk kapal kapal besar yang terbuat dari kayu yang mempunyai arti khusus
dalam bahasa Sikka. Masyarakat Sikka juga mengenal satu nama lain untuk
artefak ini yaitu Jong Gelang. Gelang adalah kata bahasa Sikka untuk perunggu.
Selain artefak, terdapat juga peralatan Megalithis yaitu dua buah Batu Mahe
atau Watu Mahe adalah batu berbentuk Dolmen dan Menhir yang dipasang di
tengah kampung. Batu Mahe dibagi dalam dua macam yaitu Mahe Gete (besar),
dan Mahe Ketik (kecil), Mahe Besar dibangun di suatu pelataran di tengah
kampung dan menjadi sentrum pemujaan komunitas.
Menurut Etnologi, Theodor Verhoeven SVD yang banyak melakukan
penyelidikan kepurbakalaan di Flores dan juga adalah pendiri Museum Blikon
Blewut di Seminari Tinggi St. Petrus Ledalero mengatakan bahwa perahu ini
berasal dari zaman Dongson.
Kebudayaan Dongson yang menjadi asal dari Jong Dobo ini awalnya
berkembang di Vietnam Utara dan Cina Selatan pada tahun 500 300 sm.
Penelitian penelitian kepurbakalaan memperlihatkan bahwa kebanyakan
artefak artefak metal yang paling awal yang terbesar di gugusan kepulauan
Indonesia dan Malaysia adalah tipe Dongson dan perahu perunggu setara besi
sudah digunakan di Indonesia pada tahun 500 sm.

Adapun syair adat tentang asal mula Jong Dobo adalah sebagai berikut :

Soge ata Numba


Soge jong gelang reta
Jong gelang reta
Beli uran nora dara
Poto watu ia Dobo
Poa inga ia Dobo
Inga ia Dobo
Jong baler dadi gelang Orang soge dari Numba
Yang mengkeramatkan jong gelang oti
Jong gelang itu
Menurunkan hujan dan panas
Mengangkat jangkar di Dobo
Mereka kesiangan di sana
Kesiangan di Dobo
Kapal itu berubah menjadi gelang
TEKA IKU
Di Dusun Hubing ada tempat pertemuan Moan Teka Iku bersama tujuh lepo
(orang yang punya pengaruh di kampung). Kini tempat pertemuan sudah
dipagari dan batu-batunya masih ada. Ada batu panjang seperti meja dan tempat
duduk para lepo. Menurut cerita, tempat ini dijadikan tempat pertemuan guna
merancang strategi perang melawan Belanda. Di tempat inilah Teka Iku selalu
menemui para lepo.

Menurut penuturan warga setempat, Moan Teka Iku adalah seorang anak
yang dipungut oleh Moan Mitan. Moan Mitan memiliki seorang anak yang
bernama Moan Iku. Dalam cerita itu disebutkan Moan Teka dan Moan Iku
adalah satu dan tak terpisahkan. Keduanya kemudian menyebut diri Moan Teka
Iku, karena merasa satu. Sebutan itu lalu bertahan hingga kini.

Sebenarnya Moan Teka Iku adalah sosok dua orang yang telah bersatu. Teka
dalam bahasa setempat arinya muncul dari belahan bambu. Teka Iku dalam
kisahnya dalam buku Sejarah Perjuangan Teka Iku yang ditulis oleh Antonius
Anton Nurak adalah panglima perang yang memiliki motto yang membakar
semangat yang berbunyi : A'u Teka Iku Rebu Bait (Akulah Teka Iku Pahit
Bagaikan Besi), Rebu Natan Kena Ngang (Besi Retak Jenis Baja), Damar Jawa
Daan Dadin (Menghijaukan bagaikan daun damar), Nura Lelan Sampe Daran
Segar ( Menghijaukan sepanjang tahun ). Motto perang Teka Iku ini membakar
para pengikutnya melawan penjajahan. Moan Teka Iku bertekad memberantas
penjajahan. Dia melawan karena melihat penjajah sering memungut pajak hasil
bumi yang dibayar kepada raja di masa itu untuk kepentingan Belanda.

Kerja paksa pun diwajibkan dengan mengumpulkan bibit kelapa dan


menanamnya sepanjang dataran pinggir pantai demi kepentingan Belanda. Hal
inilah yang membuat Moan Teka Iku melawan. Dia ingin menghapus
penjajahan dan menolak Belanda di muka bumi Sikka. Ia kemudian menyusun
dan membentuk pertahanan melalui strategi merangkul semua kepala kampung
guna melawan penjajah.

Dikisahkan, Moan Teka Iku selalu berjuang mati-matian melawan


penjajahan. Banyak kisah yang menuturkan gigihnya perlawanan Teka Ikut
terhadap Belanda. Dia membakar semangat rakyat dengan kata-kata sebagai
berikut: Iku Mitan Manu. Nai Gata Neta Klereng. Manu Nanga Eron Blon.
Toki Tokang Sara Plapeng. Toki Ene Loar Ha. Artinya Iku hitam ayam payau.
Bertengger di segala cabang. Sang bangau si leher panjang. Cotok-pagut dengan
tepat. Kuserbu habis, satu pun tak kutinggalkan. Kata-kata ini sering diteriakkan
Moan Teka Iku di seluruh penjuru guna membakar semangat rakyat.

Ada pula kata-kata yang sering dijadikan kekuatan, antara lain Pale Tupat
Lamen Doa. Kena Desa Ola Gelit, Sede Gete. Mapa Letan Hepen di Gena. Lala
di Gena. Peli Mitan Aur Meran. Laen Ojo Nulu Olor yang berarti Pale Tupat
Putera Gila. Jika diterjemahkan kira-kira berarti Putera Gila Jangan Dicoba,
Jerat Membesar, Menghadang Lorong, Nyamuk dan Lalat Turut Terperangkap.
Bambu Hitam Aur Merah. Belum Digosok Sudah Menyala.

Menurut keterangan, Moan Teka adalah seorang sosok yang gagah perkasa,
terampil dan berbudi luhur. Moan Teka Iku juga bertubuh kuat, kekar lagi
terampil, mampu dan bertanggung jawab. Ia juga sosok yang berwibawa dan
agresif. Cara perangnya melawan Belanda juga unik. Dia selalu berperang
dengan cara membakar dan membumihanguskan kampung yang akan dikuasai
Belanda. Dia juga memperbesar kekuasaannya dengan mengawini wanita di
setiap kampung. Orang yang ia nikahi adalah anak dari orang-orang yang
memiliki pengaruh di kampung tersebut. Taktik lain dari perangnya
menghancurkan Belanda adalah mempersatukan semua kampung besar seperti
di Kode, Delang, Tadabliro, Baluele, Tomu, Halat, Diler Arat, Puho,Wutik dan
kampung di bagian timur Sikka, Arat Umalaju, Habi, Bei Hara, Getang, Apin
Goot, Puho Rohe, Ian, Heo, Hewokloang, Bora dan Klotong.
Perjuangan melawan penjajah membuat Moan Teka Iku dicari penjajah
Belanda.
Dia dihukum 20 tahun penjara dan denda uang 300 gulden. Teka Iku lalu
dibuang ke Kupang, Timor. Selanjutnya ke Makkasar dan di Bugis Watang.
Teka Iku adalah sosok yang tidak hanya dikenal oleh keluarganya. Hampir
semua warga Sikka telah mengenal sosok ini.

Teka Iku Rebu Bait. Moto dan tekad kepahlawanannya telah membuat sosok
pria ini dikenal sebagai orang yang berjuang melawan penjajahan dan
ketidakadilan di Sikka. Pemkab Sikka dan DPRD Sikka juga telah menetapkan
Teka Iku sebagai pahlawan dan telah menyampaikan fakta dan bukti sejarah
tentang kepahlawanan Teka Iku. Tetapi hingga kini belum ada penetapan Moan
Teka Iku sebagai pahlawan nasional.

Anda mungkin juga menyukai