Anda di halaman 1dari 11

NAMA: TIMOTHEUS D.

BANG
KARWAYU

KELAS: XI I[A 2

Cerita Rakyat Ende Lio : INE PARE (Asal Mula Padi)

Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma.
Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru
beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan
oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena
lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu
dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh
masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga
masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan
kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut,
masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan
perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan
hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah",
Bobi dan Nombi segera akan ditangkap.
Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun
terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat
menemukan kedua anak itu dibawah lereng keli Nida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama
sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya. Beberapa saat setelah
pengejaran, kedua anak itu pun tertangkap dalam keadaan bersimba dara akibat terkenah senjata tajam.
Lalu oleh masyarakat, kedua anak itu dibawa ke puncak Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan
angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di
sisi barat. Perjaka dan dara yang yatim piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa
dan kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu.
Namun, setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan
kemarau semakin garang saja. Mosalaki, "Tuan Tanah" beserta seluruh warga kampung semakin gelisah.
Mereka semua khawatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali. Pada
suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk
menengok kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka
semakin bingung saja karena Hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke
puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan
tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi
pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat
untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale
dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh mereka
penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi. Walaupun demikian, setiba mereka semua di kampung,
tidak seorangpun yang berani menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka
sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar
perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan
tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil.
Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena Ia juga takut mati. Namun, karena ia
diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat,
biii-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah
cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-bijian yang
dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan
sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga
janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan
Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu berminat keras untuk turut menikmati
makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh
masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual
atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.
Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun akhirnya
mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-muasal makanan
baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada
anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan emas. Selain itu, pada
masa panen usai, makanan itu harus dipestasyukurkan secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah
ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya
diawali dengan remba ngenda (sumber: Mbete, 1992:13-15; Orienbao, 1992:120-123). Dari berbagai versi
sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan
Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang
belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dll),
giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo wete) serta
jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Kelinida yang menjadi saksi sejarah
juga disebut kelindota. Disebut Keli Ndota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap
kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma
menjadi makanan pokok masyarakat Lio.
Perlu diutarakan bahwa selain versi Bobi dan Nombi di atas, masih ada juga versi Ine Pare yang
lainnya. Versi bahasa Indonesia ini diterjemahkan dan diringkas dari teks Bobi no'o Nombi edisi bahasa
Lio, berbentuk puisi sebanyak enam puluh satu bait karya Mbete (1992). Mitos adalah sastra dan juga
sejarah suci yang melandasi kesadaran dan kepercayan kolektif (Dhavamony, 1998:152-153), dalam hal
ini sejarah suci dan sastra suci Lio-Ende. Makna yang ada di baliknya adalah bahwa sesuatu yang
memiliki nilai tinggi, misalnya nasi, beras, atau Padi dalam komposisi dan pola makanan suatu komunitas
etnik tertentu, atau yang secara sosio-fungsional mengandung makna dan nilai tertentu, menjadi simbol
dan reprentasi nilai dasar berkorban dan pengorbanan bagi sesama. Dalam konteks ini, pengorbanan yang
dimaksudkan adalah pengorbanan sepasang manusia, Bobi dan Nombi, yang rela dibunuh dan dicincang
atas dasar fitnahan melakukan perbuatan mesum kendati belum dapat dibuktikan oleh hukum dan
peradilan adat. Pengorbanan jiwa-raga mereka dalam konteks mitos ini, yang melalui penjelmaan mistis,
jelas dimaknai sebagai berkorban demi kehidupan orang banyak yang kelaparan karena kemarau panjang.
Baik pada versi Bobi dan Nombi maupun versi Ine Mbu, terkandung ideologi atau nilai filosofi dasar
kehidupan manusia, dengan pengorbanan menjadi inti pesan, Ideologi itulah yang menjadi dasar atau inti
makna dari mitos itu. Dalam kaitan dengan ritual perladangan, teks di atas secara tersurat menyatakan
amanat yang terpenting bagi komunitas peladang Lio-Ende. Inti pesannya adalah bahwa sebelum
menanam padi, hendaklah ada ritual atau upacara khusus, upacara dengan darah ayam atau hewan korban
lainnya yang layak. Dalam persiapan pelaksanaan ritual itu, khususnya ritual penanaman padi ladang,
hendaknya batu lambang kesuburan, watu wini digunakan bersama emas dalam wadah benih padi ladang
itu. Selain amanat tentang upacara dan peralatan upacara penanaman padi, batu kesuburan dan emas
untuk "dicampurkan"dalam benih padi, yang diwadahi dengan benga, ada pula amanat lain sebagaimana
tertera dalam teks di atas. Amanat yang dimaksudkan itu adalah bahwa bagi semua pewaris dan keturunan
antargenerasi, pi welu pi hendaklah saat melaksanakan tahapan upacara itu: mulai tahapan penanaman,
tahapan pemeliharaan atau panen perdana, dan tahapan pemanenan akhir, secara tegas diperintahkan agar
upacara itu dilakukan secara teratur setiap tahun sesuai dengan tata cara atau prosedur tetap dan baku .
Upacara atau ritual padi itu dimaksudkan dan ditujukan untuk mengenang dan menghormati Bobi dan
Nombi atas jasa-jasa dan terutama pengorbanan mereka. Mereka dengan rela dan ikhlas, kendati difitnah,
dibunuh dan dicincang, hancur, dan "menjelma" serta bertumbuh menjadi tanaman padi; tanaman yang
kemudian dapat dibudidayakan, dikembangbiakkan, dan terutama menjadi makanan pokok bergizi tinggi
yang paling lezat di antara makanan lainnya. Lebih daripada itu, makanan itu pula yang memiliki fungsi
dan nilai sosial-budaya tertinggi bagi komunitas peladang Lio-Ende.
Gambaran Singkat tentang Ritual Perladangan Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, padi dan
sejumlah tanaman biji-bijian adalah tanaman liar musiman atau tahunan yang berasal dari Cina tengah (
Bellwood , 2000: 353). Kajian varietas modern memperiihatkan bahwa padi memiliki kepekaan terhadap
panjang-pendeknya siang (photoperiod) dan kekuatan sinar matahari (0ka, 1988, dalam Bellwood , 2000).
Dengan demikian pembudidayaannya, khususnya penanaman disesuaikan dengan kondisi
klimatologisnya. Selain dimensi alam, bagi komunitas peladang Lio-Ende, penanaman padi khususnya,
dan semua tanaman hortikultura asli umumnya, tidaklah dilakukan begitu saja ketika datang musim hujan.
Berdasarkan amanat di ataslah mereka selalu taat melakukan ritual-ritual dalam lingkaran hidup
perladangan, seperti juga dalam lingkaran hidup manusia sejak lahir, dewasa, menikah, dan meninggal
kendati ritual dalam kehidupan manusia dewasa ini sudah semakin sirna.
Dalam masyarakat adat dan kebudayaan Lio-Ende, ritual adat, baik dalam lingkaran hidup
manusia maupun lingkaran hidup perladangan, ritual sebagai konsep budaya diekspresikan atau
diungkapkan secara verbal nggua bapu. Mbete et.al (2006) secara singkat telah memperkenalkan dan
memerikan sejumlah ritual, upacara, dalam kehidupan masyarakat Etnik Lio-Ende. Dalam lingkaran dan
peredaran tahun adat, tata waktu juga ada dalam kalender adat dengan pilahan waktu dalam satuan bulan.
Pembagian waktu dengan satuan bulan itu tetap berkaitan dengan kosmologi mereka, dengan alam (tana
watu), musim hujan dan musim panas sehingga bulan dan matahari tetap menjadi patokan waktu. Kendati
banyak perubahan, pada dasarnya pelaksanaan ritual perladangan masih tetap ada dalam kehidupan
perladangan masyarakat Lio-Ende. Sumber dan landasan ideologi kolektif mereka, demikian juga amanat
leluhur mereka tetap dimiliki dan diyakini, setidak-tidaknya oleh generasi tua dan kalangan elite
tradisional yakni para Mosalaki. Landasan ideologis ritual perladangan khususnya memang berkaitan
dengan filsafat hidup yang bersifat kosmologis, Alam, khususnya lahan 'tana watu' dalam arti khusus
adalah kekuatan dan sumber daya yang harus dipelihara dan dihormati, apalagi dalam persepsi
masyarakat setempat, Tana-Watu adalah simbol atau tanda persekutuan yang mesrah antara tana ‘tanah’
dan watu ‘batu’, masing-masing sebagai simbol perempuan (tana) dan laki-laki (watu) dalam paduan
Tubumusu Lodonda. Itulah juga sebabnya, tanah atau lahan garapan dipelihara sebaik-baiknya. Alam
dengan sumberdaya adalah kekuatan yang bersifat "adikodrati", melampaui kekuatan manusia dan
merupakan pancaran kekuatan dan kemahakuasaan Du'a Ngga'e, Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale
Wena Tana. Selain berkaitan dengan amanat dalam mitos Ine Pare, ritual perladangan justru berkaitan
dengan kedahsyatan kekuatan dan kekuasaan Du'a Ngga'e dengan sejumlah sapaan lokal. Dalam konteks
ini, setelah penghormatan dan pemeliharaan keserasian hubungan dengan Sang Khalik, Du'a Ngga'e, dan
dengan para leluhur, Embu Mamo Ku Kajo dalam dimensi vertikal, di sisi lain pemeliharaan dan
pemulihan hubungan dengan sesama dalam dimensi horizontal (soliditas, integritas, dan solidaritas
kelornpok kekerabatan), merupakan makna dan fungsi dasar ritual dalam lingkaran hidup perladangan
tradisional Lio-Ende.
Ritual perladangan berlangsung beberapa kali dalam setahun, berawal dari pembukaan hutan
untuk ladang baru (ngeti uma atau Pura uma ndu'a), penolakan bala (hama dan penyakit, joka ngola atau
joka ju), penanaman perdana, panen perdana, syukur keberhasilan panen, yang di antaranya juga diselingi
dengan ritual-ritual khusus yang bervariasi antar sub etnik atau antarwilayah tanah ulayat. Berkaitan
dengan mitos di atas, makna, prosedur, dan sarana atau perlengkapan utama memang harus dipenuhi dan
prodedurnya dipatuhi. Sehubungan itu, batu kesuburan sebagai penerusan tradisi megalitik dan
penggunaan emas, merupakan keharusan dalam ritual perladangan itu. Prosedur dan tata cara memang
dipedomani oleh para mosalaki sesuai dengan struktur dan fungsi masing-masing. Keabsahan ritual justru
di prasyaratkan dengan penggunaan benda-benda tersebut selain tata urut yang baku . Budaya
Perladangan dan Khazanah Hortikultura Budaya Perladangan Sekilas Lintas Seperti telah diuraikan secara
singkat di atas, lebih dari 85% masyarakat Lio-Ende umumnya adalah petani (RPJM Kabupaten Ende,
2006), dan sebagian besarnya adalah peladang. Mengolah lahan dalam konteks budaya perladangan oleh
komunitas peladang Lio-Ende dikenal dengan ungkapan Kema Bene atau Gaga Bene. Lebih luas lagi
kultur perladangan yang menggunakan sistem terpadu (integrated system) dengan adanya beternak ayam,
babi, kambing itu ditopang oleh nilai-nilai dan etos kerja yang terwaris antargenerasi. Nilai-nilai dan etos
kerja itu tersirat dalam ungkapan paralelisme: Gaga bo'o kewi ae, kema noe wesi nuwa "keberhasilan
berladang dan mengolah nira, budi daya ladang dan keberhasilan beternak", sedangkan etos kerja tersirat
di balik ungkapan: (muri dau kema) raka (h)kungu dubu raka lima bita (hidup harus bekerja) hingga
tangan berlumpur dan kuku menumpul). Selanjutnya, dalam menggunakan waktu secara efektif,
hendaklah poa buga mila walo "bekerjalah sepagi dini hingga sore hari". Ungkapan yang menyiratkan
etos kerja itu memang dewasa ini lebih dikenal oleh generasi tua, apalagi etos kerja itu selalu mengacu
pada perladangan atau pertanian yang sudah mulai kurang diapresiasi oleh kaum muda. Perubahan
memang telah terjadi, dalam arti nilai kerja ladang bergeser dari sebagian generasi muda Lio-Ende,
namun, sumber daya ladang itu tetap menjadi andalan selain penyediaan lapangan kerja alternatif baru
hasil pendidikan. Ladang atau lebih akrab disebut uma (huma), jamaknya uma-rema, sampai kapanpun
tetap menjadi andalan masyarakat di Kabupaten Ende bahkan juga sebagian besar masyarakat Nusantara.
Mereka tetap mengolah lahan di tanah-tanah warisan leluhur mereka. Ladang mereka bermula dari lahan
atau kaplingan (ngebo) yang dihutankan selama empat-lima tahun setelah menjadi uma, ditanam dengan
padi, jagung, sorgum, kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan setelah tiga-empat kali
ditanam, dihutankan kembali. Hortikultura, dengan tetap menjadikan padi ladang sebagai tanaman utama
itulah yang selalu diupacarakan pada setiap tahapannya sejak pembukaan hutan pertama kali. Pada
umumnya para peladang Lio-Ende hingga kini tetap mengolah ladang dan membudidayakan padi, jagung,
dan sorgun. Ketiga tanaman itu, selain ubikayu dan pisang menjadi makanan pokok, di samping jewawut
dan kacang-kacangan serta umbi-umbian (uwi, rose, suja, ndelo) dan sebagainya. Singkong, ketela pohon,
atau ubikayu, dalam sejumlah varietasnya pada umumnya menjadi tanaman penutup sebelum dihutankan
kembali. Tanaman tahunan seperti kelapa (nio) dan enau (moke) penghasil gula aren dan arak (moke dan
tutu moke) juga menjadi sumber daya pangan dan ekonomi pula. Baik kelapa maupun enau menjadi
tanaman penghasil pangan dan komoditas yang cukup dapat diandalkan jika dibudidayakan dengan
menggunakan teknologi. Khazanah Tanaman Hortikultura Lio-Ende Berdasarkan pengamatan dan hasil
wawancara dengan sejumlah peladang tua di lapangan, diperoleh informasi bahwa tanaman semusim,
baik padi ladang, jagung, sorgum, maupun aneka kacang-kacangan, dulu banyak varietas atau jenisnya.
Namun, kini banyak di antara tanaman itu yang sudah menghilang dari ladang. Jewawut, wete, sudah
menghilang dari ladang-ladang, padahal jewawut dulu menjadi tanaman "penjaga atau pengawal dari
gangguan hama " bagi tanaman utama padi ladang bersama wijen putih dan hitam (doba dan lenga).
Wijen adalah bahan pembuat sambal dan pelapis kue yang cukup potensial menjadi komoditas. Patut
disayangkan karena perubahan pola tanaman itu telah menghilangkan jenis-jenis tanaman tersebut.
Demikian juga dulu, selain ketela pohon, sejumlah jenis umbi-umbian yang lesat (uwi dalam aneka
jenisnya) yang merupakan cadangan pangan dan menjadi isi lumbung dalam tanah, kini mulai
menghilang, kecuali keladi yang masih tampak merana. Hadirnya tanaman komoditas baru (cengkeh,
kakao, kemiri, vanili) dan kebijakan pangan nasi nasional telah mengubah pola tanam masyarakat lokal di
Kabupaten Ende. Jatah beras orang miskin, raskin, lebih memanjakan lagi Orang Lio-Ende, khususnya
generasi muda. Sebelum memapark aneka jenis dan varietas tanaman hortikultura asli, padi ladang
sebagai primadona tanaman perladangan tradisional yang padat ritual dan sarat makna itu perlu dijelaskan
secara khusus, Terlepas dari mitos yang diyakini oleh komunitas peladang Lio-Ende, padi ladang Lio
memang merupakan fenomena kultural yang menarik untuk dikaji. Seperti yang diuraikan oleh Sarenbao
(1992), wilayah Lio, memang dihipotesiskan menjadi asal-muasal tanaman padi ladang.
Kendati bersifat mitis, realitas di lapangan dapat dijadikan dasar untuk memperkuat derajat
kebenaran pernyataan itu. Budaya dan budi daya padi ladang di Lio, tergolong tua budaya padi itu, dapat
dimaknai dari rumitnya ritual padi sebagai tanda penghormatan dan atau penghargaan pada jenis tanaman
karena memang menjadi makanan pokok urutan teratas. Menikmati nasi sebagaimana juga banyak bangsa
di dunia, tidaklah hanya demi kepenuhan kalori dan gizi. Menikmati nasi memberikan kepuasan tertinggi,
apalagi dalam konteks sosial-budaya. Betapa tingginya posisi nasi dari beras yang juga harus ditumbuk
tangan (manual), bukan penyosohan, dan berasal dari padi ladang asli, itulah yang paling layak
disuguhkan saat ritual pati ka, "upacara pemberian santapan khusus bagi leluhur ketika ada pesta adat".
Hal yang sama dalam kehidupan sosial, juga hanya nasi pula yang layak disajikan kepada tamu agung.
Padi ladang memang menempati tempat terhormat dalam konteks perladangan sebagaimana
saratnya nilai ritual yang disandangnya. Ritual perladangan tetap berpusat pada padi ladang asli milik
warga komunitas peladang Lio-Ende. Benih padi yang akan ditanam, wini pare, sebelum ditanam harus
disandingkan dengan emas, sebagaimana amanat mitos Ine Pare dalam sastra suci Bobi dan Nombi. Saat
menanam pun diperlakukan dan disikapi dengan penuh hormat. Sikap ini jelas sangat berbeda ketika
peladang menanam jagung, kacang, dan tanaman-tanaman pengiring lainnya. Sebagai pusat dan lokasi
asal-muasal padi lokal, kenyataan di dalam perladangan dan komunitas peladang Lio pun mendukung
kebenaran pernyataan tersebut. Dalam konteks perladangan Lio, varietas padi ladang cukup banyak.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, ada belasan jenis padi lokal. Berikut nama-nama jenis padi
ladang asli yang dimaksudkan itu. Ada (1) pare ndale, (2) pare rebo (induk padi khusus bagi para tetua
adat, mosalaki), (3) pare laka, (4) pare menge, (5) pare Jcobo mota, (6) pare taki, (7) pare mufa lo'o, (8)
pare mufa ria, (9) pare maru, (10) pare kea, (11) pare mboka rawa, (12) pare nggondo, (13) pare ndota,
(14) pare sera, (15) pare kaja, dan (16) pare raja, Baik bentuknya, karena ada yang bulat, bulat panjang,
dan bulat lonjong, pipih, dan di antaranya berekor, maupun aroma rasanya juga berbeda-beda. Disebut
pare menge misalnya karena rasa nasi dari jenis ini sangat gurih dan lezat, seperti halnya juga pare maru.
Jenis pare menge inilah yang sudah dibudidayakan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ende sejak
beberapa tahun silam. Di sisi lain, jenis pare maru dijadikan juga seni wena, yaitu jenis bibit padi yang
ditanam di pangkal ladang. Selain ke-16 jenis itu, diduga masih ada jenis varietas yang belum
diidentifikasi lebih lanjut. Banyaknya jenis padi ini dapat dihipotesiskan sebagai hasil persilangan
antarjenis secara alamiah sehingga menghadirkan jenis-jenis varietas sebanyak itu. Pembiakan alamiah itu
jelas terjadi jika di suatu lokasi memang tersedia lebih dari dua varietas.
Pengenalan atau tingkat kedekatan serta perlakuan teradap varietas padi ladang juga berbeda-
beda. Hal ini terkait dengan klen atau keluarga batih. Dalam komunitas peladang Lio, setiap klen (Clan)
hanya boleh menanam satu jenis padi utama, selain seniwena. Yang dimaksudkan ialah bahwa suatu
keluarga besar atau keluarga batih, hanya memilih varietas satu jenis padi saja sebagai bibit (wini)
misalnya pare laka saja, atau pare ndale saja untuk dijadikan benih padi turun-temurun. Penggantian bibit
atau wini haruslah dengan ritual tertentu. Dalam kepercayaan komunitas peladang Lio, jika (1) tanah atau
lahan subur misalnya pada penanaman perdana atau tahun pertama setelah pembukaan hutan baru, yang
dalam ungkapan setempat dikenal dengan uma ndu'a dan (2) hujan pun turun secara teratur dan memadai,
namun terjadi gagal panen, misalnya kena hama dan penyakit, kegagalan itu selalu dikaitkan dengan
kesalahan prosedural adat penanaman, atau ada sebab-sebab lainnya. Tidak hanya padi lokal asli yang
banyak jenisnya. Sorgum pun demikian. Sorgum atau juga disebut jagung solor, karena diduga berasal
dari Pulau Solor (Lembata), yang dalam bahasa Lio disebut lolo, juga banyak varietasnya yakni: (1) lolo
telo leko, (2) lolo kowe, (3) lolo mite, (4) lolo poe, (5) lolo wete, (6) lolo pega, dan (7) lolo nggalo (lolo
mera). Jagung atau jawa dalam bahasa Lio-Ende, juga ada beberapa jenis: jawa nggela, jawa taki, jawa
polo, jawa lo'o (berumur dua bulan dan ditanam di sekitar batang kayu yang sudah lapuk atau hangus),
dan jawa moni. Sorgum dan jagung adalah tanaman pelindung dan pendamping padi ladang pula. Jikalau
jagung ditanam paling awal, tentunya setelah ritual po'o, sorgum (lolo) ditanam serempak dengan padi
ladang bahkan benihnya (wini) dibaurkan bersama benih padi ladang dalam ukuran tertentu. Bersama
padi ladang itulah padi dan sorgum ditanam atau ditugal sekaligus dalam satu lubang. Jikalau jagung
dipanen lebih awal karena memang ditanam terlebih dahulu setelah remba dalam ritual sepa atau pesa uta,
sorgum justru dipanen pada urutan terakhir. Selain batangnya memang lebih tinggi dan lebih besar,
tanaman ini juga menjadi pelindung dan pengaman padi yang dipanen terlebih dahulu. Setelah panen padi
dan sorgum, dan jikalau hujan musim kemarau turun agak teratur, biasanya para peladang menanam, tedo,
kembali jagung musim panas (jawa leja). Hasilnya memang tidak seberapa banyak namun cukup untuk
pelengkap ladang dan sedikit penambah persediaan pangan. Jenis biji-bijian yang merupakan kelompok
makanan pokok, kendati sejak dahulu tidaklah popular, adalah pega. Patut disayangkan pula karena
tanaman ini juga sudah menghilang di banyak ladang rakyat. Komunitas peladang Lio-Ende juga kaya
dengan warisan kacang-kacangan, baik dijadikan sebagai bahan pencampur jagung, nasi, dan sorgum
maupun ada jenis untuk bahan sayuran. Menurut informasi yang digali "'melalui wawancara, sejumlah
jenis kacang-kacangan, termasuk nggoli, dhomba, dan fesa, mulai menghilang dari perladangan. Selain
jenis tanaman penghasil biji-bijian untuk dimakan, utamanya padi yang tentunya dalam konteks ini padi
ladang asli, jagung dan sorgum yang masing-masing dengan sejumlah varietasnya, ada pula jenis pangan
yang berasal dari umbi-umbian. Ubikayu, (singkong, ketela pohon) atau di Lio-Ende disebut uwikaju,
memang tanaman rakyat yang sangat umum di manapun. Akan tetapi, peladang Lio-Ende juga telah lama
dan berpengalaman membudidayakan sejumlah varietas ubikayu, baik karena hasil persilangan lokal
maupun hasil persilangan dengan ubi dari luar seperti uwikaju bogo (berasal dari Bogor ). Jikalau di
Nuabosi, Ende, yang karena tekstur tanah dan iklimnya menghasilkan jenis ubikayu unggul karena
kelezatannya, di sejumlah lokasi ladang di Lio pun ditemukan sejenis ubikayu yang tidak kalah pula
lezatnya. Aneka pisang juga merupakan khazanah tanaman perladangan setempat. Cukup banyak jenis
pisang, dengan branga (seperti juga brangan di Medan dan Toraja kendati beda citarasanya) sebagai
primadona. Pisang atau muku dalam bahasa Lio-Ende juga banyak jenisnya. Ada muku branga, muku ma,
muku pundi, muku lela, muku api mera, muku api meta, muku susu, muku ae, muku bela, muku jambo,
muku raja, muku pusu iwa, muku telo, muku fole, muku sosa, muku penggi (batangnya dapat dijadikan
sayur atau lojo). Sa'o Pu'u 'Rumah Adat' sebagai Pusat Kebudayaan Lokal Sesuai dengan nama yang
disandang yakni rumah adat atau dalam bahasa Lio-Ende diwadahkan dalam istilah- istilah: Sa'o Pu'u,
Sa'o Ria, Sa'o Ria Tenda Bewa, memang merupakan pusat kebudayaan, dalam konteks ini jelaslah
kebudayaan lokal Lio-Ende. Memang benar bahwa sebagian besar ritual dalam lingkaran hidup
perladangan berlokasi juga di luar rumah adat, bahkan juga di luar kampung. Ritual wira barajawa
(atejawa, 'mencabik kulit jagung muda'), bagi komunitas Golulada, Detusoko misalnya, juga dilaksanakan
di salah satu lokasi di kampung. Demikian pula sejumlah ritual lainnya dalam lingkaran kegiatan
perladangan komunitas peladang Lio-Ende terjadi atau terlaksana di luar Sa'o Pu'u. Akan tetapi, semua
ritual baik ritual dalam lingkaran kehidupan manusia maupun dalam lingkaran kehidupan perladangan
tradisional selalu berpusat pada rumah adat, berawal dari Sa'o Pu.'u, dari Sa'oria Tendabewa. Konsep sa'o
pu'u saja sudah mengandung makna konotasi bahwa segala rencana, kesepakatan, putusan, rancangan,
bahkan gagasan baru saja pun selalu berawal dari sa'o pu'u. Sebab, sebagaimana tradisi terwariskan, untuk
menentukan waktu, nelu, pelaksanaan ritual apa pun seperti: ngeti uma, pesa uta, mbama, mi are, jokaju,
kapena, ru'e (h)kibi, secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o pu'u, diprakarsai oleh
mosalaki pu'u sebagai pemimpin dan tetua adat inti, juga sebagai sulung dalam keluarga atau klen (clan)
itu. la memulai dengan mengundang mosalaki, tukesani, dan aparat adat lainnya yang terkait dengan jenis
ritual itu.
Di sa'o pu'u pula mereka bermusyawarah, berembug, memutuskan, dan mengumumkannya
kepada khalayak. Untuk musyawarah besar, kompleks sa'o pu'u, dalam hal ini keda digunakan untuk
persidangan tersebut. Sa'o pu'u adalah juga pusat kebudayaan pula berkaitan dengan sejumlah aktivitas
dan aktualitas nilai-nilai budaya. Seperti telah disinggung di atas, kegiatan nelu yakni musyawarah dan
mufakat untuk menentukan waktu ritual, atau juga so bhoka au, yang tentunya berlaku Untuk seluruh
peladang dan kerabat dalam wilayah tanah persekutuan tertentu dilakukan di kompleks sa’o pu’u.
pertemuan atau rapat adat resmi itu dipimpin oleh mosalaki pu’u, atau ria bewa, atau oleh sejumlah
penguasa inti dalam struktur lembaga mosalaki. Biasanya, mosalaki pu’u memohon izin atau mea nosi
terlebih dahulu kepada leluhur mereka seraya mempersembahkan rokok asli (mbako wolo) dalam jumlah
tertentu, juga arak asli dengan wadah asli pula, atau juga makanan bagi leluhur mereka. Permohonan itu
dituturkan dengan bahasa waga, ungkapan paralelisme sesuai dengan tujuan ritual dan dilakukan di sudut
kanan rumah adat dan di depan Du’a Bapu. Dalam situasi dan hal yang berbeda, di sa’o pu’u pula warga
pisah kekerabatan, baik dari keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan (ana embu) berkomunikasi
dan memohon doa restu leluhur, bahkan juga berkomunikasi dengan kekuatan dan kekuasaan adikodrati
(supernatural), yang masyarakat Lio-Ende menyapanya sebagai Du’a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena
tana. Menjelang perang untuk mempertahankan harta warisan atau menyelesaikan sengketa apapun,
dengan kerabat atau pihak luar, memohon restu di sa’o pu’u merupakan adat dan tradisi.
Sa’o pu’u ataupun sa’oria tenda bewa pula yang menjadi pengayom dan pelindung, tidak saja
dalam konteks bencana secara fisik maupun secara nonfisik. Bagi Orang Lio-Ende, sa’o pu’u adalah
simbol yang menyatukan mereka, wadah yang mendekatkan mereka, lokasi yang memulihkan kembali
kohesivitas mereka dari kekuatan pemecah belah. Sa'o pu'u adalah wadah yang mendamaikan kembali
kekerabatan berkenaan dengan konflik internal, baik harta warisan maupun lahan garapan karena dalam
suasana kekeluargaan saat berkumpul, terlebih dalam suasana ritual dan sakral, tuturan dan batuna'u, doa
mereka dengan energi ragam bahasa waga berpola paralelisme semantik dihadirkan dan diandalkan. Di
sana pula jatidiri mereka dibangun dan dipulihkan sesuai dengan amanat leluhur mereka. Keharmonisan
hubungan internal dipulihkan dari silang sengketa dan konflik. Di sa'o pu'u pula kesadaran asal muasal
(genetic awarrenes) atau mbe'o pu'u kamu disegarkan kembali. Di sa'o pu'u pula mereka memohon
kekuatan dalam menghadapi aneka sengketa eksternal dengan pihak lain berkaitan dengan tanah warisan.
Betapa penting, strategis, dan sentralnya sa'o pu'u atau juga sa'oria tenda bewa, bagi masyarakat
Lio-Ende. Keberadaannya menjadi pusat orientasi tidak saja demi kehidupan yang ragawi dan sosial,
misalnya sehubungan dengan penegakan keadilan internal soal warisan lahan garapan dan harta lainnya.
Sa'o pu'u sebagai pusat kebudayaan adalah juga orientasi hidup yang rohaniah karena seperti yang
diuraikan di atas, di sana pula mereka mengalunkan dan bertutur tentang amanat-amanat leluhur mereka
yang harus mereka pedomani dan patuhi dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun
kelompok. Lebih daripada itu, justru di sa'o pu'u pula mereka menjalin dan merakit kembali keserasian
relasi yang transcendental dengan dengan Sang Khalik, dengan Du'a Ngga'e, Du'a eo gheta lulu wula,
Ngga'e eo ghale wena tana, dan hubungan itu ditandai secara ragawi dengan hadirnya wulaleja di sudut
kanan depan rumah hingga ke atap. Itu pula landasan filosofis sehingga banyak sa'o pu'u menjadi
keramat, magis, dan sakral, bhisa gia. Sa'o pu'u adalah lambang dan sarana pemersatu, lambang kekuatan
rohani, kebanggaan jiwa kekerabatan, penanda keberadaan klen (clan) tertentu yang disebut Tuka kunu,
Wewa, Kunu Woe, (mirip dengan wa'u, di Ngada, dan woe dalam rnasyarakat etnik Manggarai dengan
mbaru gendang sebagai pusat orientasi mereka). Sebagai pemulih dan penyatu (kembali) keluarga besar,
karena pemulihan dan perbaikan (rehabilitasi), pemugaran, apalagi pembangunan kembali secara utuh
sa'opu'u, justru disyaratkan melalui musyawarah internal garis pria dan sulung, untuk disepakati, dan
kemudian ditetapkan bersama-sama oleh semua anggota kerabat. Kemudian, dalam pelaksanaannya pun
sangat diprasyaratkan adanya kebersamaan, kesatuan, dan kekompakan. Itulah secara singkat fungsi dan
makna sosial-kultural sa'o pu'u, sa'oria tenda bewa.
Penting dan sentralnya kedudukan dan keberadaan sa'o pu'u, memang disadari oleh semua orang. Akan
tetapi, betapa terancamnya keutuhan hidup suatu klen (clan) atau keluarga besar (kunu woe/kunuwuru),
jikalau secara ragawi dan nyata keluarga besar atau suatu klen (clan) itu tidak lagi memiliki sa'o pu'u
karena rusak, tidak terurus, dan tidak terpelihara. Kerusakan atau kepunahan sa'o pu'u adalah pratanda
kerusakan kekohesivan (desintegrasi), kesatuan, kebersamaan, relasi kekerabatan, baik dalam dimensi
horizontal dengan aji-ana, faiwai walu ana (h)kalo, maupun dimensi vertikal dengan leluhur dan Du'a
Ngga'e. Gejala dan sumber konflik intrakekerabatan, bahkan juga dengan pihak luar, secara kultural bagi
Orang Lio-Ende, senantiasa dikaitkan dengan keutuhan, keberadaan, dan fungsi sa'o pu'u, sa'oria
tendabewa.

Anda mungkin juga menyukai