Anda di halaman 1dari 15

Cerita Rakyat Ende Lio : INE PARE (Asal Mula Padi)

Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya


yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke
sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat
kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan
oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat
panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam
kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada
Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa
kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga
masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial
yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang
berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan
Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum
(incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak
membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi.
Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap.
Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan
bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru
kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu
dibawah lereng keli Nida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama
sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya.
Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun tertangkap dalam keadaan
bersimba dara akibat terkenah senjata tajam. Lalu oleh masyarakat, kedua anak
itu dibawa ke puncak Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan angker dan
jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi
ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yang yatim piatu itu dibunuh dan
dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan
harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun,
setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang
jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki, "Tuan Tanah" beserta
seluruh warga kampung semakin gelisah. Mereka semua khawatir, jangan sampai
Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali. Pada suatu hari Mosalaki
memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk
menengok kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung
Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena Hujan pun tak kunjung
datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak Gunung Kelinida.
Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan
tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu
tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah
mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang dan
merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale dan
Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan
oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi. Walaupun
demikian, setiba mereka semua di kampung, tidak seorangpun yang berani
menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka
sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda
saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan"
baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare
pun dipanggil.
Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena Ia juga takut mati.
Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya
Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biii-bijian itu harus dikupas dalam
jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas
menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-
bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi
segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare
justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga janda sebatang
kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan
Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu
berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang
baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung
itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui
ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus
diwariskan kepada anak cucu.
Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan
Tenda pun akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera
mencari dan menjejaki asal-muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah
ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada anak
cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan
emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dipestasyukurkan
secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk
mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya
diawali dengan remba ngenda (sumber: Mbete, 1992:13-15; Orienbao, 1992:120-
123). Dari berbagai versi sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci
bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah
(Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang belulangnya
menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora,
rose dll), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi
jagung solor (lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan
lain sebagainya. Kelinida yang menjadi saksi sejarah juga disebut kelindota.
Disebut Keli Ndota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan
terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan
daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio.
Perlu diutarakan bahwa selain versi Bobi dan Nombi di atas, masih ada
juga versi Ine Pare yang lainnya. Versi bahasa Indonesia ini diterjemahkan dan
diringkas dari teks Bobi no'o Nombi edisi bahasa Lio, berbentuk puisi sebanyak
enam puluh satu bait karya Mbete (1992). Mitos adalah sastra dan juga sejarah
suci yang melandasi kesadaran dan kepercayan kolektif (Dhavamony, 1998:152-
153), dalam hal ini sejarah suci dan sastra suci Lio-Ende. Makna yang ada di
baliknya adalah bahwa sesuatu yang memiliki nilai tinggi, misalnya nasi, beras,
atau Padi dalam komposisi dan pola makanan suatu komunitas etnik tertentu,
atau yang secara sosio-fungsional mengandung makna dan nilai tertentu, menjadi
simbol dan reprentasi nilai dasar berkorban dan pengorbanan bagi sesama.
Dalam konteks ini, pengorbanan yang dimaksudkan adalah pengorbanan
sepasang manusia, Bobi dan Nombi, yang rela dibunuh dan dicincang atas dasar
fitnahan melakukan perbuatan mesum kendati belum dapat dibuktikan oleh
hukum dan peradilan adat. Pengorbanan jiwa-raga mereka dalam konteks mitos
ini, yang melalui penjelmaan mistis, jelas dimaknai sebagai berkorban demi
kehidupan orang banyak yang kelaparan karena kemarau panjang. Baik pada
versi Bobi dan Nombi maupun versi Ine Mbu, terkandung ideologi atau nilai
filosofi dasar kehidupan manusia, dengan pengorbanan menjadi inti pesan,
Ideologi itulah yang menjadi dasar atau inti makna dari mitos itu. Dalam kaitan
dengan ritual perladangan, teks di atas secara tersurat menyatakan amanat yang
terpenting bagi komunitas peladang Lio-Ende. Inti pesannya adalah bahwa
sebelum menanam padi, hendaklah ada ritual atau upacara khusus, upacara
dengan darah ayam atau hewan korban lainnya yang layak. Dalam persiapan
pelaksanaan ritual itu, khususnya ritual penanaman padi ladang, hendaknya batu
lambang kesuburan, watu wini digunakan bersama emas dalam wadah benih padi
ladang itu. Selain amanat tentang upacara dan peralatan upacara penanaman
padi, batu kesuburan dan emas untuk "dicampurkan"dalam benih padi, yang
diwadahi dengan benga, ada pula amanat lain sebagaimana tertera dalam teks di
atas. Amanat yang dimaksudkan itu adalah bahwa bagi semua pewaris dan
keturunan antargenerasi, pi welu pi hendaklah saat melaksanakan tahapan
upacara itu: mulai tahapan penanaman, tahapan pemeliharaan atau panen
perdana, dan tahapan pemanenan akhir, secara tegas diperintahkan agar upacara
itu dilakukan secara teratur setiap tahun sesuai dengan tata cara atau prosedur
tetap dan baku . Upacara atau ritual padi itu dimaksudkan dan ditujukan untuk
mengenang dan menghormati Bobi dan Nombi atas jasa-jasa dan terutama
pengorbanan mereka. Mereka dengan rela dan ikhlas, kendati difitnah, dibunuh
dan dicincang, hancur, dan "menjelma" serta bertumbuh menjadi tanaman padi;
tanaman yang kemudian dapat dibudidayakan, dikembangbiakkan, dan terutama
menjadi makanan pokok bergizi tinggi yang paling lezat di antara makanan
lainnya. Lebih daripada itu, makanan itu pula yang memiliki fungsi dan nilai
sosial-budaya tertinggi bagi komunitas peladang Lio-Ende.
Gambaran Singkat tentang Ritual Perladangan Berdasarkan bukti-bukti
arkeologis, padi dan sejumlah tanaman biji-bijian adalah tanaman liar musiman
atau tahunan yang berasal dari Cina tengah ( Bellwood , 2000: 353). Kajian
varietas modern memperiihatkan bahwa padi memiliki kepekaan terhadap
panjang-pendeknya siang (photoperiod) dan kekuatan sinar matahari (0ka, 1988,
dalam Bellwood , 2000). Dengan demikian pembudidayaannya, khususnya
penanaman disesuaikan dengan kondisi klimatologisnya. Selain dimensi alam,
bagi komunitas peladang Lio-Ende, penanaman padi khususnya, dan semua
tanaman hortikultura asli umumnya, tidaklah dilakukan begitu saja ketika datang
musim hujan. Berdasarkan amanat di ataslah mereka selalu taat melakukan ritual-
ritual dalam lingkaran hidup perladangan, seperti juga dalam lingkaran hidup
manusia sejak lahir, dewasa, menikah, dan meninggal kendati ritual dalam
kehidupan manusia dewasa ini sudah semakin sirna.
Dalam masyarakat adat dan kebudayaan Lio-Ende, ritual adat, baik dalam
lingkaran hidup manusia maupun lingkaran hidup perladangan, ritual sebagai
konsep budaya diekspresikan atau diungkapkan secara verbal nggua bapu. Mbete
et.al (2006) secara singkat telah memperkenalkan dan memerikan sejumlah ritual,
upacara, dalam kehidupan masyarakat Etnik Lio-Ende. Dalam lingkaran dan
peredaran tahun adat, tata waktu juga ada dalam kalender adat dengan pilahan
waktu dalam satuan bulan. Pembagian waktu dengan satuan bulan itu tetap
berkaitan dengan kosmologi mereka, dengan alam (tana watu), musim hujan dan
musim panas sehingga bulan dan matahari tetap menjadi patokan waktu. Kendati
banyak perubahan, pada dasarnya pelaksanaan ritual perladangan masih tetap ada
dalam kehidupan perladangan masyarakat Lio-Ende. Sumber dan landasan
ideologi kolektif mereka, demikian juga amanat leluhur mereka tetap dimiliki dan
diyakini, setidak-tidaknya oleh generasi tua dan kalangan elite tradisional yakni
para Mosalaki. Landasan ideologis ritual perladangan khususnya memang
berkaitan dengan filsafat hidup yang bersifat kosmologis, Alam, khususnya lahan
'tana watu' dalam arti khusus adalah kekuatan dan sumber daya yang harus
dipelihara dan dihormati, apalagi dalam persepsi masyarakat setempat, Tana-
Watu adalah simbol atau tanda persekutuan yang mesrah antara tana ‘tanah’ dan
watu ‘batu’, masing-masing sebagai simbol perempuan (tana) dan laki-laki (watu)
dalam paduan Tubumusu Lodonda. Itulah juga sebabnya, tanah atau lahan
garapan dipelihara sebaik-baiknya. Alam dengan sumberdaya adalah kekuatan
yang bersifat "adikodrati", melampaui kekuatan manusia dan merupakan
pancaran kekuatan dan kemahakuasaan Du'a Ngga'e, Du'a Gheta Lulu Wula,
Ngga'e Ghale Wena Tana. Selain berkaitan dengan amanat dalam mitos Ine
Pare, ritual perladangan justru berkaitan dengan kedahsyatan kekuatan dan
kekuasaan Du'a Ngga'e dengan sejumlah sapaan lokal. Dalam konteks ini, setelah
penghormatan dan pemeliharaan keserasian hubungan dengan Sang Khalik, Du'a
Ngga'e, dan dengan para leluhur, Embu Mamo Ku Kajo dalam dimensi vertikal,
di sisi lain pemeliharaan dan pemulihan hubungan dengan sesama dalam dimensi
horizontal (soliditas, integritas, dan solidaritas kelornpok kekerabatan),
merupakan makna dan fungsi dasar ritual dalam lingkaran hidup perladangan
tradisional Lio-Ende.
Ritual perladangan berlangsung beberapa kali dalam setahun, berawal dari
pembukaan hutan untuk ladang baru (ngeti uma atau Pura uma ndu'a),
penolakan bala (hama dan penyakit, joka ngola atau joka ju), penanaman
perdana, panen perdana, syukur keberhasilan panen, yang di antaranya juga
diselingi dengan ritual-ritual khusus yang bervariasi antar sub etnik atau
antarwilayah tanah ulayat. Berkaitan dengan mitos di atas, makna, prosedur, dan
sarana atau perlengkapan utama memang harus dipenuhi dan prodedurnya
dipatuhi. Sehubungan itu, batu kesuburan sebagai penerusan tradisi megalitik dan
penggunaan emas, merupakan keharusan dalam ritual perladangan itu. Prosedur
dan tata cara memang dipedomani oleh para mosalaki sesuai dengan struktur dan
fungsi masing-masing. Keabsahan ritual justru di prasyaratkan dengan penggunaan
benda-benda tersebut selain tata urut yang baku . Budaya Perladangan dan
Khazanah Hortikultura Budaya Perladangan Sekilas Lintas Seperti telah
diuraikan secara singkat di atas, lebih dari 85% masyarakat Lio-Ende umumnya
adalah petani (RPJM Kabupaten Ende, 2006), dan sebagian besarnya adalah
peladang. Mengolah lahan dalam konteks budaya perladangan oleh komunitas
peladang Lio-Ende dikenal dengan ungkapan Kema Bene atau Gaga Bene. Lebih
luas lagi kultur perladangan yang menggunakan sistem terpadu (integrated system)
dengan adanya beternak ayam, babi, kambing itu ditopang oleh nilai-nilai dan
etos kerja yang terwaris antargenerasi. Nilai-nilai dan etos kerja itu tersirat dalam
ungkapan paralelisme: Gaga bo'o kewi ae, kema noe wesi nuwa "keberhasilan
berladang dan mengolah nira, budi daya ladang dan keberhasilan beternak",
sedangkan etos kerja tersirat di balik ungkapan: (muri dau kema) raka (h)kungu
dubu raka lima bita (hidup harus bekerja) hingga tangan berlumpur dan kuku
menumpul). Selanjutnya, dalam menggunakan waktu secara efektif, hendaklah
poa buga mila walo "bekerjalah sepagi dini hingga sore hari". Ungkapan yang
menyiratkan etos kerja itu memang dewasa ini lebih dikenal oleh generasi tua,
apalagi etos kerja itu selalu mengacu pada perladangan atau pertanian yang sudah
mulai kurang diapresiasi oleh kaum muda. Perubahan memang telah terjadi,
dalam arti nilai kerja ladang bergeser dari sebagian generasi muda Lio-Ende,
namun, sumber daya ladang itu tetap menjadi andalan selain penyediaan
lapangan kerja alternatif baru hasil pendidikan. Ladang atau lebih akrab disebut
uma (huma), jamaknya uma-rema, sampai kapanpun tetap menjadi andalan
masyarakat di Kabupaten Ende bahkan juga sebagian besar masyarakat
Nusantara. Mereka tetap mengolah lahan di tanah-tanah warisan leluhur mereka.
Ladang mereka bermula dari lahan atau kaplingan (ngebo) yang dihutankan
selama empat-lima tahun setelah menjadi uma, ditanam dengan padi, jagung,
sorgum, kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan setelah tiga-empat
kali ditanam, dihutankan kembali. Hortikultura, dengan tetap menjadikan padi
ladang sebagai tanaman utama itulah yang selalu diupacarakan pada setiap
tahapannya sejak pembukaan hutan pertama kali. Pada umumnya para peladang
Lio-Ende hingga kini tetap mengolah ladang dan membudidayakan padi, jagung,
dan sorgun. Ketiga tanaman itu, selain ubikayu dan pisang menjadi makanan
pokok, di samping jewawut dan kacang-kacangan serta umbi-umbian (uwi, rose,
suja, ndelo) dan sebagainya. Singkong, ketela pohon, atau ubikayu, dalam
sejumlah varietasnya pada umumnya menjadi tanaman penutup sebelum
dihutankan kembali. Tanaman tahunan seperti kelapa (nio) dan enau (moke)
penghasil gula aren dan arak (moke dan tutu moke) juga menjadi sumber daya
pangan dan ekonomi pula. Baik kelapa maupun enau menjadi tanaman penghasil
pangan dan komoditas yang cukup dapat diandalkan jika dibudidayakan dengan
menggunakan teknologi. Khazanah Tanaman Hortikultura Lio-Ende
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan sejumlah peladang tua di
lapangan, diperoleh informasi bahwa tanaman semusim, baik padi ladang, jagung,
sorgum, maupun aneka kacang-kacangan, dulu banyak varietas atau jenisnya.
Namun, kini banyak di antara tanaman itu yang sudah menghilang dari ladang.
Jewawut, wete, sudah menghilang dari ladang-ladang, padahal jewawut dulu
menjadi tanaman "penjaga atau pengawal dari gangguan hama " bagi tanaman
utama padi ladang bersama wijen putih dan hitam (doba dan lenga). Wijen adalah
bahan pembuat sambal dan pelapis kue yang cukup potensial menjadi komoditas.
Patut disayangkan karena perubahan pola tanaman itu telah menghilangkan jenis-
jenis tanaman tersebut. Demikian juga dulu, selain ketela pohon, sejumlah jenis
umbi-umbian yang lesat (uwi dalam aneka jenisnya) yang merupakan cadangan
pangan dan menjadi isi lumbung dalam tanah, kini mulai menghilang, kecuali
keladi yang masih tampak merana. Hadirnya tanaman komoditas baru (cengkeh,
kakao, kemiri, vanili) dan kebijakan pangan nasi nasional telah mengubah pola
tanam masyarakat lokal di Kabupaten Ende. Jatah beras orang miskin, raskin,
lebih memanjakan lagi Orang Lio-Ende, khususnya generasi muda. Sebelum
memapark aneka jenis dan varietas tanaman hortikultura asli, padi ladang sebagai
primadona tanaman perladangan tradisional yang padat ritual dan sarat makna itu
perlu dijelaskan secara khusus, Terlepas dari mitos yang diyakini oleh komunitas
peladang Lio-Ende, padi ladang Lio memang merupakan fenomena kultural yang
menarik untuk dikaji. Seperti yang diuraikan oleh Sarenbao (1992), wilayah Lio,
memang dihipotesiskan menjadi asal-muasal tanaman padi ladang.
Kendati bersifat mitis, realitas di lapangan dapat dijadikan dasar untuk
memperkuat derajat kebenaran pernyataan itu. Budaya dan budi daya padi
ladang di Lio, tergolong tua budaya padi itu, dapat dimaknai dari rumitnya ritual
padi sebagai tanda penghormatan dan atau penghargaan pada jenis tanaman
karena memang menjadi makanan pokok urutan teratas. Menikmati nasi
sebagaimana juga banyak bangsa di dunia, tidaklah hanya demi kepenuhan kalori
dan gizi. Menikmati nasi memberikan kepuasan tertinggi, apalagi dalam konteks
sosial-budaya. Betapa tingginya posisi nasi dari beras yang juga harus ditumbuk
tangan (manual), bukan penyosohan, dan berasal dari padi ladang asli, itulah yang
paling layak disuguhkan saat ritual pati ka, "upacara pemberian santapan khusus
bagi leluhur ketika ada pesta adat". Hal yang sama dalam kehidupan sosial, juga
hanya nasi pula yang layak disajikan kepada tamu agung.
Padi ladang memang menempati tempat terhormat dalam konteks
perladangan sebagaimana saratnya nilai ritual yang disandangnya. Ritual
perladangan tetap berpusat pada padi ladang asli milik warga komunitas peladang
Lio-Ende. Benih padi yang akan ditanam, wini pare, sebelum ditanam harus
disandingkan dengan emas, sebagaimana amanat mitos Ine Pare dalam sastra suci
Bobi dan Nombi. Saat menanam pun diperlakukan dan disikapi dengan penuh
hormat. Sikap ini jelas sangat berbeda ketika peladang menanam jagung, kacang,
dan tanaman-tanaman pengiring lainnya. Sebagai pusat dan lokasi asal-muasal
padi lokal, kenyataan di dalam perladangan dan komunitas peladang Lio pun
mendukung kebenaran pernyataan tersebut. Dalam konteks perladangan Lio,
varietas padi ladang cukup banyak. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan,
ada belasan jenis padi lokal. Berikut nama-nama jenis padi ladang asli yang
dimaksudkan itu. Ada (1) pare ndale, (2) pare rebo (induk padi khusus bagi para
tetua adat, mosalaki), (3) pare laka, (4) pare menge, (5) pare Jcobo mota, (6) pare
taki, (7) pare mufa lo'o, (8) pare mufa ria, (9) pare maru, (10) pare kea, (11) pare
mboka rawa, (12) pare nggondo, (13) pare ndota, (14) pare sera, (15) pare kaja,
dan (16) pare raja, Baik bentuknya, karena ada yang bulat, bulat panjang, dan
bulat lonjong, pipih, dan di antaranya berekor, maupun aroma rasanya juga
berbeda-beda. Disebut pare menge misalnya karena rasa nasi dari jenis ini sangat
gurih dan lezat, seperti halnya juga pare maru. Jenis pare menge inilah yang sudah
dibudidayakan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ende sejak beberapa tahun
silam. Di sisi lain, jenis pare maru dijadikan juga seni wena, yaitu jenis bibit padi
yang ditanam di pangkal ladang. Selain ke-16 jenis itu, diduga masih ada jenis
varietas yang belum diidentifikasi lebih lanjut. Banyaknya jenis padi ini dapat
dihipotesiskan sebagai hasil persilangan antarjenis secara alamiah sehingga
menghadirkan jenis-jenis varietas sebanyak itu. Pembiakan alamiah itu jelas
terjadi jika di suatu lokasi memang tersedia lebih dari dua varietas.
Pengenalan atau tingkat kedekatan serta perlakuan teradap varietas padi
ladang juga berbeda-beda. Hal ini terkait dengan klen atau keluarga batih. Dalam
komunitas peladang Lio, setiap klen (Clan) hanya boleh menanam satu jenis padi
utama, selain seniwena. Yang dimaksudkan ialah bahwa suatu keluarga besar atau
keluarga batih, hanya memilih varietas satu jenis padi saja sebagai bibit (wini)
misalnya pare laka saja, atau pare ndale saja untuk dijadikan benih padi turun-
temurun. Penggantian bibit atau wini haruslah dengan ritual tertentu. Dalam
kepercayaan komunitas peladang Lio, jika (1) tanah atau lahan subur misalnya
pada penanaman perdana atau tahun pertama setelah pembukaan hutan baru,
yang dalam ungkapan setempat dikenal dengan uma ndu'a dan (2) hujan pun
turun secara teratur dan memadai, namun terjadi gagal panen, misalnya kena
hama dan penyakit, kegagalan itu selalu dikaitkan dengan kesalahan prosedural
adat penanaman, atau ada sebab-sebab lainnya. Tidak hanya padi lokal asli yang
banyak jenisnya. Sorgum pun demikian. Sorgum atau juga disebut jagung solor,
karena diduga berasal dari Pulau Solor (Lembata), yang dalam bahasa Lio disebut
lolo, juga banyak varietasnya yakni: (1) lolo telo leko, (2) lolo kowe, (3) lolo mite,
(4) lolo poe, (5) lolo wete, (6) lolo pega, dan (7) lolo nggalo (lolo mera). Jagung
atau jawa dalam bahasa Lio-Ende, juga ada beberapa jenis: jawa nggela, jawa taki,
jawa polo, jawa lo'o (berumur dua bulan dan ditanam di sekitar batang kayu yang
sudah lapuk atau hangus), dan jawa moni. Sorgum dan jagung adalah tanaman
pelindung dan pendamping padi ladang pula. Jikalau jagung ditanam paling awal,
tentunya setelah ritual po'o, sorgum (lolo) ditanam serempak dengan padi ladang
bahkan benihnya (wini) dibaurkan bersama benih padi ladang dalam ukuran
tertentu. Bersama padi ladang itulah padi dan sorgum ditanam atau ditugal
sekaligus dalam satu lubang. Jikalau jagung dipanen lebih awal karena memang
ditanam terlebih dahulu setelah remba dalam ritual sepa atau pesa uta, sorgum
justru dipanen pada urutan terakhir. Selain batangnya memang lebih tinggi dan
lebih besar, tanaman ini juga menjadi pelindung dan pengaman padi yang
dipanen terlebih dahulu. Setelah panen padi dan sorgum, dan jikalau hujan
musim kemarau turun agak teratur, biasanya para peladang menanam, tedo,
kembali jagung musim panas (jawa leja). Hasilnya memang tidak seberapa banyak
namun cukup untuk pelengkap ladang dan sedikit penambah persediaan pangan.
Jenis biji-bijian yang merupakan kelompok makanan pokok, kendati sejak dahulu
tidaklah popular, adalah pega. Patut disayangkan pula karena tanaman ini juga
sudah menghilang di banyak ladang rakyat. Komunitas peladang Lio-Ende juga
kaya dengan warisan kacang-kacangan, baik dijadikan sebagai bahan pencampur
jagung, nasi, dan sorgum maupun ada jenis untuk bahan sayuran. Menurut
informasi yang digali "'melalui wawancara, sejumlah jenis kacang-kacangan,
termasuk nggoli, dhomba, dan fesa, mulai menghilang dari perladangan. Selain
jenis tanaman penghasil biji-bijian untuk dimakan, utamanya padi yang tentunya
dalam konteks ini padi ladang asli, jagung dan sorgum yang masing-masing
dengan sejumlah varietasnya, ada pula jenis pangan yang berasal dari umbi-
umbian. Ubikayu, (singkong, ketela pohon) atau di Lio-Ende disebut uwikaju,
memang tanaman rakyat yang sangat umum di manapun. Akan tetapi, peladang
Lio-Ende juga telah lama dan berpengalaman membudidayakan sejumlah varietas
ubikayu, baik karena hasil persilangan lokal maupun hasil persilangan dengan ubi
dari luar seperti uwikaju bogo (berasal dari Bogor ). Jikalau di Nuabosi, Ende,
yang karena tekstur tanah dan iklimnya menghasilkan jenis ubikayu unggul
karena kelezatannya, di sejumlah lokasi ladang di Lio pun ditemukan sejenis
ubikayu yang tidak kalah pula lezatnya. Aneka pisang juga merupakan khazanah
tanaman perladangan setempat. Cukup banyak jenis pisang, dengan branga
(seperti juga brangan di Medan dan Toraja kendati beda citarasanya) sebagai
primadona. Pisang atau muku dalam bahasa Lio-Ende juga banyak jenisnya. Ada
muku branga, muku ma, muku pundi, muku lela, muku api mera, muku api
meta, muku susu, muku ae, muku bela, muku jambo, muku raja, muku pusu iwa,
muku telo, muku fole, muku sosa, muku penggi (batangnya dapat dijadikan sayur
atau lojo). Sa'o Pu'u 'Rumah Adat' sebagai Pusat Kebudayaan Lokal Sesuai
dengan nama yang disandang yakni rumah adat atau dalam bahasa Lio-Ende
diwadahkan dalam istilah- istilah: Sa'o Pu'u, Sa'o Ria, Sa'o Ria Tenda Bewa,
memang merupakan pusat kebudayaan, dalam konteks ini jelaslah kebudayaan
lokal Lio-Ende. Memang benar bahwa sebagian besar ritual dalam lingkaran
hidup perladangan berlokasi juga di luar rumah adat, bahkan juga di luar
kampung. Ritual wira barajawa (atejawa, 'mencabik kulit jagung muda'), bagi
komunitas Golulada, Detusoko misalnya, juga dilaksanakan di salah satu lokasi di
kampung. Demikian pula sejumlah ritual lainnya dalam lingkaran kegiatan
perladangan komunitas peladang Lio-Ende terjadi atau terlaksana di luar Sa'o
Pu'u. Akan tetapi, semua ritual baik ritual dalam lingkaran kehidupan manusia
maupun dalam lingkaran kehidupan perladangan tradisional selalu berpusat pada
rumah adat, berawal dari Sa'o Pu.'u, dari Sa'oria Tendabewa. Konsep sa'o pu'u
saja sudah mengandung makna konotasi bahwa segala rencana, kesepakatan,
putusan, rancangan, bahkan gagasan baru saja pun selalu berawal dari sa'o pu'u.
Sebab, sebagaimana tradisi terwariskan, untuk menentukan waktu, nelu,
pelaksanaan ritual apa pun seperti: ngeti uma, pesa uta, mbama, mi are, jokaju,
kapena, ru'e (h)kibi, secara prosedural keadatan justru harus diadakan di sa'o
pu'u, diprakarsai oleh mosalaki pu'u sebagai pemimpin dan tetua adat inti, juga
sebagai sulung dalam keluarga atau klen (clan) itu. la memulai dengan
mengundang mosalaki, tukesani, dan aparat adat lainnya yang terkait dengan jenis
ritual itu.
Di sa'o pu'u pula mereka bermusyawarah, berembug, memutuskan, dan
mengumumkannya kepada khalayak. Untuk musyawarah besar, kompleks sa'o
pu'u, dalam hal ini keda digunakan untuk persidangan tersebut. Sa'o pu'u adalah
juga pusat kebudayaan pula berkaitan dengan sejumlah aktivitas dan aktualitas
nilai-nilai budaya. Seperti telah disinggung di atas, kegiatan nelu yakni
musyawarah dan mufakat untuk menentukan waktu ritual, atau juga so bhoka au,
yang tentunya berlaku Untuk seluruh peladang dan kerabat dalam wilayah tanah
persekutuan tertentu dilakukan di kompleks sa’o pu’u. pertemuan atau rapat adat
resmi itu dipimpin oleh mosalaki pu’u, atau ria bewa, atau oleh sejumlah
penguasa inti dalam struktur lembaga mosalaki. Biasanya, mosalaki pu’u
memohon izin atau mea nosi terlebih dahulu kepada leluhur mereka seraya
mempersembahkan rokok asli (mbako wolo) dalam jumlah tertentu, juga arak asli
dengan wadah asli pula, atau juga makanan bagi leluhur mereka. Permohonan itu
dituturkan dengan bahasa waga, ungkapan paralelisme sesuai dengan tujuan ritual
dan dilakukan di sudut kanan rumah adat dan di depan Du’a Bapu. Dalam
situasi dan hal yang berbeda, di sa’o pu’u pula warga pisah kekerabatan, baik dari
keturunan laki-laki maupun keturunan perempuan (ana embu) berkomunikasi
dan memohon doa restu leluhur, bahkan juga berkomunikasi dengan kekuatan
dan kekuasaan adikodrati (supernatural), yang masyarakat Lio-Ende menyapanya
sebagai Du’a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana. Menjelang perang untuk
mempertahankan harta warisan atau menyelesaikan sengketa apapun, dengan
kerabat atau pihak luar, memohon restu di sa’o pu’u merupakan adat dan tradisi.
Sa’o pu’u ataupun sa’oria tenda bewa pula yang menjadi pengayom dan
pelindung, tidak saja dalam konteks bencana secara fisik maupun secara nonfisik.
Bagi Orang Lio-Ende, sa’o pu’u adalah simbol yang menyatukan mereka, wadah
yang mendekatkan mereka, lokasi yang memulihkan kembali kohesivitas mereka
dari kekuatan pemecah belah. Sa'o pu'u adalah wadah yang mendamaikan
kembali kekerabatan berkenaan dengan konflik internal, baik harta warisan
maupun lahan garapan karena dalam suasana kekeluargaan saat berkumpul,
terlebih dalam suasana ritual dan sakral, tuturan dan batuna'u, doa mereka
dengan energi ragam bahasa waga berpola paralelisme semantik dihadirkan dan
diandalkan. Di sana pula jatidiri mereka dibangun dan dipulihkan sesuai dengan
amanat leluhur mereka. Keharmonisan hubungan internal dipulihkan dari silang
sengketa dan konflik. Di sa'o pu'u pula kesadaran asal muasal (genetic awarrenes)
atau mbe'o pu'u kamu disegarkan kembali. Di sa'o pu'u pula mereka memohon
kekuatan dalam menghadapi aneka sengketa eksternal dengan pihak lain
berkaitan dengan tanah warisan.
Betapa penting, strategis, dan sentralnya sa'o pu'u atau juga sa'oria tenda
bewa, bagi masyarakat Lio-Ende. Keberadaannya menjadi pusat orientasi tidak
saja demi kehidupan yang ragawi dan sosial, misalnya sehubungan dengan
penegakan keadilan internal soal warisan lahan garapan dan harta lainnya. Sa'o
pu'u sebagai pusat kebudayaan adalah juga orientasi hidup yang rohaniah karena
seperti yang diuraikan di atas, di sana pula mereka mengalunkan dan bertutur
tentang amanat-amanat leluhur mereka yang harus mereka pedomani dan patuhi
dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun kelompok. Lebih
daripada itu, justru di sa'o pu'u pula mereka menjalin dan merakit kembali
keserasian relasi yang transcendental dengan dengan Sang Khalik, dengan Du'a
Ngga'e, Du'a eo gheta lulu wula, Ngga'e eo ghale wena tana, dan hubungan itu
ditandai secara ragawi dengan hadirnya wulaleja di sudut kanan depan rumah
hingga ke atap. Itu pula landasan filosofis sehingga banyak sa'o pu'u menjadi
keramat, magis, dan sakral, bhisa gia. Sa'o pu'u adalah lambang dan sarana
pemersatu, lambang kekuatan rohani, kebanggaan jiwa kekerabatan, penanda
keberadaan klen (clan) tertentu yang disebut Tuka kunu, Wewa, Kunu Woe,
(mirip dengan wa'u, di Ngada, dan woe dalam rnasyarakat etnik Manggarai
dengan mbaru gendang sebagai pusat orientasi mereka). Sebagai pemulih dan
penyatu (kembali) keluarga besar, karena pemulihan dan perbaikan (rehabilitasi),
pemugaran, apalagi pembangunan kembali secara utuh sa'opu'u, justru
disyaratkan melalui musyawarah internal garis pria dan sulung, untuk disepakati,
dan kemudian ditetapkan bersama-sama oleh semua anggota kerabat. Kemudian,
dalam pelaksanaannya pun sangat diprasyaratkan adanya kebersamaan, kesatuan,
dan kekompakan. Itulah secara singkat fungsi dan makna sosial-kultural sa'o pu'u,
sa'oria tenda bewa.
Penting dan sentralnya kedudukan dan keberadaan sa'o pu'u, memang disadari
oleh semua orang. Akan tetapi, betapa terancamnya keutuhan hidup suatu klen
(clan) atau keluarga besar (kunu woe/kunuwuru), jikalau secara ragawi dan nyata
keluarga besar atau suatu klen (clan) itu tidak lagi memiliki sa'o pu'u karena rusak,
tidak terurus, dan tidak terpelihara. Kerusakan atau kepunahan sa'o pu'u adalah
pratanda kerusakan kekohesivan (desintegrasi), kesatuan, kebersamaan, relasi
kekerabatan, baik dalam dimensi horizontal dengan aji-ana, faiwai walu ana
(h)kalo, maupun dimensi vertikal dengan leluhur dan Du'a Ngga'e. Gejala dan
sumber konflik intrakekerabatan, bahkan juga dengan pihak luar, secara kultural
bagi Orang Lio-Ende, senantiasa dikaitkan dengan keutuhan, keberadaan, dan
fungsi sa'o pu'u, sa'oria tendabewa.

Anda mungkin juga menyukai