Anda di halaman 1dari 3

ASAL-USUL UPACARA “PARU WITU” (BERBURU BABI HUTAN)

(Cerita Rakyat dari Kampung Dolupore-Mataloko)

Di sebuah kampung kecil bernama Dolu, yang terletak di bawah kaki


Bukit Sasa hiduplah sebuah keluarga yang sangat sederhana yang
menggantungkan hidup dari hasil kebun. Hampir setiap hari mereka tinggal di
Tua Woi, tempat dimana kebun mereka berada. Keluarga tersebut memiliki
tiga orang anak yakni Bu’e Wio dan kedua saudaranya Jono dan Sipe.

Pada suatu hari, berkatalah ibunya kepada Bu’e Wio: “Hai nak, besok di
kampung akan diselenggarakan upacara kenduri. Kami semua harus
menghadiri acara tersebut. Mengingat padi dan jagung kita yang sebentar lagi
akan dipanen, maka sebagai kakak tertua, engkau tolong menjaga kebun kita
jangan sampai dihabiskan oleh monyet dan burung pipit”. Tanpa berpikir
panjang Bu’e Wio menanggapi: “Iya mama, saya akan menjaga kebun kita.
Bapa, mama dan adik-adik boleh mengikuti upacara di kampung. Saya pasti
akan menjaga kebun dengan baik”. Mendengar jawaban yang bijak dari
anaknya, hati ibunya menjadi lega.

Keesokan paginya, pulanglah bapak, mama dan adik-adik Bu’e Wio ke


kampung Dolu. Tinggalah Bu’e Wio seorang diri di dalam pondok yang dibuat
seperti panggung. Ketika tengah hari, matanya tiba-tiba tertuju pada beberapa
sosok yang datang dari arah Bukit Roge (sebuah bukit yang berjarak sekitar 1
KM dari kebun Bu’e Wio). Sosok itu seperti manusia lengkap dengan pakaian
adat. Bu’e Wio makin penasaran. Dia bertanya dalam hati: “Siapa mereka.
Bukankah semua orang di kampung Dolu menghadiri acara kenduri”. Rasa
penasaran tersebut membuat pandangannya tidak terlepas dari sosok itu.
Makin lama makin dekat, sosok itu ternyata menuju ke arah pondoknya.
Ketika sudah dekat, sosok tadi berubah menjadi babi hutan. Babi-babi itu
segera melahap jagung dan padi di kebun itu. Bu’e Wio berteriak untuk
mengusir babi-babi tersebut, namun tak dihiraukan. Babi hutan itu seperti
kerasukan kelaparan yang sangat dahsyat. Dalam waktu singkat, seluruh isi
kebun itu habis dilahap. Namun rasa lapar masih terus menggerogoti babi-
babi hutan itu. Dengan mata merah menyala, mereka menuju ke pondok Bu’e
Wio. Bu’e Wio berteriak makin keras: “Tolong….tolong. Saya diserang babi
hutan”. Jelas, bahwa tak seorangpun yang mendengarkan teriakannya karena
semua orang di kampung.

Babi itu mulai menggigit tiang pondoknya. Bu’e Wio membuang kestela
dari dalam pondoknya. Pikirnya mungkin mereka akan segera kenyang dan
pergi. Namun ternyata tidak. Babi-babi hutan itu makin menjadi-jadi. Sambil
terus menangis dan berteriak, Bu’e Wio membuang kestela yang terakhir.
Kestela yang sangat banyak tak mampu membuat perut babi hutan menjadi
kenyang. Babi itu terus menggerogoti tiang pondok dengan taring merka yang
tajam. Dalam waktu singkat, robohlah pondok itu. Bu’e Wio menjadi sasaran
empuk bagi babi-babi itu. Tubuhnya digigit dan disobek-sobek. Matilah Bu’e
Wio.

Keesokan harinya, orang tua dan adik-adiknya menuju ke kebun sambil


membawa nasi dan daging. Pikir mereka Bu’e Wio pasti senang sekali (pada
masa itu nasi dan daging adalah makanan mewah dan hanya dikonsumsi
dalam upacara adat, satu atau dua kali dalam setahun). Setibanya di kebun,
mereka sangat kaget. Kebun hancur luluh lantah dan pondok yang sudah
rubuh, rata dengan tanah. Mamanya berteriak memanggil Bu’e Wio:
“ Wio…..ohh Wio..kau dimana nak. Aduh puteriku semata wayang, dimanakah
engkau”. Bapak dan ke-2 saudaranya mencari di seluruh kebun. Mereka kaget
melihat bekas kaki babi hutan yang sangat banyak. Mereka terus mencari dan
menemukan potongan tubuh dan rambut Bu’e Wio yang berserakan.

Melihat keadaan itu, Jono dan Sipe segera menuju kampung dan
berteriak di tengah kampung. “Hai orang-orang kampung Dolu, saudari saya
Bu’e Wio telah dimakan oleh babi hutan. Mari kita cari dan bunuh semua babi
hutan”. Mendengar itu, seisi kampung Dolu, laki-laki dengan berkuda
membawa anjing dan tombak, perempuan membawa buluh yang ditajamkan
menuju ke Bukit Roge. Mereka membunuh semua babi hutan yang
ditemukan. Jono saudara Bu’e Wio dengan beberapa pemuda penuh amarah
dengan wajah beringas terus mencari babi-babi hutan dan menombakinya.

Ketika hari mulai gelap, mereka mendapati seekor babi hutan yang
tinggal di dalam pohon mangga yang sudah tumbang. Babi hutan itu
sementara bunting. Ketika Jono hendak menombakinya, tiba-tiba babi hutan
itu berbicara sambil menangis:” Jangan bunuh saya, sebab saya harus
melahirkan anak-anak dalam kandungan ini. Biarlah anak dan cucu saya
menjadi tanda antara manusia dengan babi hutan”. Mendengar hal itu, Jono
mengurungkan niatnya. Babi hutan itu beranak cucu dan bertambah banyak.

Mulai saat itu, setiap tahun orang Dolu melaksanakan upacara “Paru
Witu” (Berburu Babi Hutan). Rambut Bu’e Wio masih tersimpan rapi di dalam
Sa’o Mai Wali. Jika rambutnya mulai berminyak, maka orang Dolu harus
segera melakukan upacara “Paru Witu”. Orang-orang dari kampung
tetanggapun turut diundang ambil bagian dalam upacara ini. Setiap tahun
selalu ada babi hutan yang terbunuh dalam upacara ini.

Pesan moral dari kisah ini: Jangan pernah membiarkan anak wanita
tinggal sendiri. Semua anak harus mendapat perlakuan dan kasih sayang
yang sama. Mereka perlu dijaga dan dibimbing.

Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai