Pada suatu hari, berkatalah ibunya kepada Bu’e Wio: “Hai nak, besok di
kampung akan diselenggarakan upacara kenduri. Kami semua harus
menghadiri acara tersebut. Mengingat padi dan jagung kita yang sebentar lagi
akan dipanen, maka sebagai kakak tertua, engkau tolong menjaga kebun kita
jangan sampai dihabiskan oleh monyet dan burung pipit”. Tanpa berpikir
panjang Bu’e Wio menanggapi: “Iya mama, saya akan menjaga kebun kita.
Bapa, mama dan adik-adik boleh mengikuti upacara di kampung. Saya pasti
akan menjaga kebun dengan baik”. Mendengar jawaban yang bijak dari
anaknya, hati ibunya menjadi lega.
Babi itu mulai menggigit tiang pondoknya. Bu’e Wio membuang kestela
dari dalam pondoknya. Pikirnya mungkin mereka akan segera kenyang dan
pergi. Namun ternyata tidak. Babi-babi hutan itu makin menjadi-jadi. Sambil
terus menangis dan berteriak, Bu’e Wio membuang kestela yang terakhir.
Kestela yang sangat banyak tak mampu membuat perut babi hutan menjadi
kenyang. Babi itu terus menggerogoti tiang pondok dengan taring merka yang
tajam. Dalam waktu singkat, robohlah pondok itu. Bu’e Wio menjadi sasaran
empuk bagi babi-babi itu. Tubuhnya digigit dan disobek-sobek. Matilah Bu’e
Wio.
Melihat keadaan itu, Jono dan Sipe segera menuju kampung dan
berteriak di tengah kampung. “Hai orang-orang kampung Dolu, saudari saya
Bu’e Wio telah dimakan oleh babi hutan. Mari kita cari dan bunuh semua babi
hutan”. Mendengar itu, seisi kampung Dolu, laki-laki dengan berkuda
membawa anjing dan tombak, perempuan membawa buluh yang ditajamkan
menuju ke Bukit Roge. Mereka membunuh semua babi hutan yang
ditemukan. Jono saudara Bu’e Wio dengan beberapa pemuda penuh amarah
dengan wajah beringas terus mencari babi-babi hutan dan menombakinya.
Ketika hari mulai gelap, mereka mendapati seekor babi hutan yang
tinggal di dalam pohon mangga yang sudah tumbang. Babi hutan itu
sementara bunting. Ketika Jono hendak menombakinya, tiba-tiba babi hutan
itu berbicara sambil menangis:” Jangan bunuh saya, sebab saya harus
melahirkan anak-anak dalam kandungan ini. Biarlah anak dan cucu saya
menjadi tanda antara manusia dengan babi hutan”. Mendengar hal itu, Jono
mengurungkan niatnya. Babi hutan itu beranak cucu dan bertambah banyak.
Mulai saat itu, setiap tahun orang Dolu melaksanakan upacara “Paru
Witu” (Berburu Babi Hutan). Rambut Bu’e Wio masih tersimpan rapi di dalam
Sa’o Mai Wali. Jika rambutnya mulai berminyak, maka orang Dolu harus
segera melakukan upacara “Paru Witu”. Orang-orang dari kampung
tetanggapun turut diundang ambil bagian dalam upacara ini. Setiap tahun
selalu ada babi hutan yang terbunuh dalam upacara ini.
Pesan moral dari kisah ini: Jangan pernah membiarkan anak wanita
tinggal sendiri. Semua anak harus mendapat perlakuan dan kasih sayang
yang sama. Mereka perlu dijaga dan dibimbing.
Terima kasih