Anda di halaman 1dari 2

Cerita Rakyat Singkat dari Nusa Tenggara Timur : Kisah Si Pondik

Si Pondik merenung, memikirkan apa dan di mana ia akan makan hari ini. Ya, si Pondik memang
miskin. Ia tak punya tanah atau sawah untuk digarap. Lagi pula ia sangat malas bekerja. Untuk
makan sehari- hari, ia rela berjalan dari desa ke desa, mencari orang yang sedang mengadakan
pesta.

Setelah makan di pesta itu, biasanya ia akan meminta sepotong daging mentah dari tuan rumah.
Begitulah caranya ia bertahan hidup.

Tiba-tiba matanya tertumpu pada sarang lebah di sebatang pohon. "Hmm, sepertinya aku akan
mendapat banyak uang hari ini," katanya sambil tersenyum licik. Dengan hati-hati, diangkatnya
sarong lebah itu dan dimasukkannya ke dalam periuk tanah. Kemudian periuk itu ia gendong
berkeliling desa sambil berteriak, "Gong antik... gong antik... siapa mau bell?"

Banyak orang tertarik dan mengerumuninya. "Hai Pondik, bukankah gong seharusnya terbuat dari
logam? Mengapa milikmu terbuat dari tanah? Apa tidak pecah jika kita menabuhnya?" tanya
seorang warga.

"Oh, gong ini tidak perlu ditabuh. Kalian cukup menggoyang-goyangkannya saja," jawab si Pondik
sambil menggoyang-goyang periuk tanah itu. Benar saja, bunyi "Ngiiinnngggg... ngiiiiinnnggg.."
terdengar dari dalam periuk itu.

Tak disangka, periuk itu laku juga. Si Pondik menyeringai saat menerima uang sambil berpesan, "Kau
baru boleh menggoyangnya setelah aku pergi." Begitu si Pondik pergi, si pembeli dengan tak sabar
menggoyang- goyang periuk tersebut. Semakin lama, suara yang keluar semakin keras.
"Ngiiinnngggg... ngiiiiinnnggg.."

Si pemilik dan warga lain yang bersamanya menjadi penasaran. "Apa ya yang membuat periuk tanah
ini bisa berbunyi?" tanya mereka.

Dibukalah tutup periuk tanah itu. Dalam sekejap, rombongan lebah keluar dan menyerang mereka.
Sekujur tubuh mereka bengkak karena sengatan. Dengan geram mereka mencari si Pondik. "Ah itu
dial" teriak mereka yang mendapati si Pondik sedang duduk bersantai di depan rumahnya. Mereka
menggiring pria itu ke balai desa untuk diadili.
Karena dianggap telah mencelakai warga, ia dihukum dengan kedua tangan digantung di sebatang
pohon hingga ia meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Namun, si Pondik tetaplah si Pondik
yang licik. Bukannya menyesal, ia malah menjebak orang lain untuk menggantikannya.

"Kau sedang apa, Pondik?" tanya Mtembong temannya yang baru pulang dari desa tetangga.

"Oh, aku sedang berolahraga."jawabnya sambil berayun-ayun. "Wah, rajin sekali. Pantas saja
perutmu ramping dan tanganmu kekar."

Mendengar pujian itu, terbersit ide untuk menawari Mtembong mencoba "olahraga" tersebut.
Mtembong setuju dan segera melepaskan ikatan tangan si Pondik dan tak berapa lama ia sudah
tergantung di batang pohon itu.

Setelah terayun-ayun sepanjang hari Mtembong mulai kesakitan. Sedangkan si Pondik? Ia telah
menghilang. Untunglah ada seorang warga yang lewat.

"Hai Mtembong, sedang apa kau? Bukankah si Pondik yang seharusnga menjalani hukuman itu?"

"Hukuman?" tanya Mtembong heran. Setelah temannya menjelaskan persoalannya, sadarlah ia


kalau si Pondik telah menipunya. Mtembong dan seluruh warga kesal dengan tingkah laku si Pondik.
Mereka mencari dan menyeretnya kembali ke balai desa.

"Pondik, kali ini kau betul-betul keterlaluan," kata kepala desa. "Sebagai hukuman, kau bertanggung
jawab menyerahkan seekor kerbau yang besar dan gemuk untuk desa ini. Si Pondik
menyanggupinya. Tapi sejujurnya ia tak tahu bagaimana caranga mendapatkan kerbau gang gemuk
dan besar seperti yang diminta itu.

Dengan perasan bingung ia menyusuri desa tetangga, mencari orang yang menggelar pesta. Seperti
biasa, untuk menumpang makan. Rupanya hari itu ia cukup beruntung. Saat ia lewat, tuan rumah
sedang membagi-bagikan daging kerbau. Setengah memohon, si Pondik meminta agar bagian kepala
dan leher kerbau itu diberikan padanya. Karena kasihan, tuan rumah pun memberikannya.

Si Pondik pulang dengan hati riang untuk melanjutkan akal Iiciknya, yaitu menanam kepala kerbau
itu di kubangan berlumpur. Seutas tali diikatkannya ke leher kerbau itu dan ujungnga ditambatkan
ke sebatang pohon. Setelah itu ia pergi ke balai desa.

"Aku sudah menyiapkan kerbau untuk kalian. Kerbau itu kutinggalkan di kubangan di sebelah timur.
Kalian boleh mengambilnya."

Setelah berkata demikian, si Pondik cepat-cepat mengemasi barang- barangnya dan meninggalkan
desa dengan diam-diam.

Beberapa warga melepas tambatan di pohon dan menarik kerbau itu. Tapi apa yang terjadi?
Ternyata yang mereka dapat hanyalah kepala kerbau beserta lehernya. Perasaan marah bercampur
geli terpancar di wajah merela. Mereka akhirnya tahu kalau si Pondik telah melarikan diri secara
diam-diam.

"Sudahlah, biarkan ia pergi. Dengan begitu, ia telah menghukum dirinya sendiri. Kita saja yang terlalu
bodoh bisa dikelabuinya terus-menerus," kata kepala desa. Mereka semua pulang dan melupakan si
Pondik.

Anda mungkin juga menyukai