KONFLIK SOSIAL
KONFLIK POSO
Ada fakta sejarah yg sangat menarik bahwa gerakan kerusuhan yg dimotori oleh umat
Kristen di mulai pada awal Nopember 1998 di Ketapang Jakarta Pusat dan pertengahan
Nopember 1998 di Kupang Nusa Tenggara Timur kemudian disusul dgn peristiwa
penyerengan umat Kristen terhadap umat Islam di Wailete Ambon pada tanggal 13 Desember
1998. Dan 2500 massa Kristen di bawah pimpinan Herman Parino dgn bersenjata tajam dan
panah meneror umat Islam di Kota Poso Sulawesi Tengah pada tanggal 28 Desember 1998.
Apakah peristiwa ini realisasi dari pidato Jendral Leonardo Benny Murdani di Singapura dan
ceramah Mayjend. Theo Syafei di Kupang Nusa Tenggara Timur?
Tetapi yg jelas Presiden B.J. Habibie yg menurut L.B. Murdani lbh berbahaya dari
gabungan Khomaeni Saddam Husein dan Khadafi baru berkuasa 6 bulan saja sehingga perlu
digoyang dan kalau perlu dijatuhkan. Apabila fakta-fakta ini dikembangkan dgn lepasnya
Timor-Timur dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka
serta tulisan Huntington 1992 setelah Uni Sovyet yg menyatakan bahwa musuh yg paling
berbahaya bagi Barat sekarang adalah umat Islam; dan tulisan Jhon Naisbit dalam bukunya
Megatrend yg menyatakan bahwa Indonesia akan terpecah belah menjadi 28 negara kecil-
kecil; maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut adalah suatu
rekayasa Barat-Kristen utk menghancurkan umat Islam Indonesia penduduk mayoritas
mutlak negeri ini. Kehancuran umat Islam Indonesia berarti kehancuran bangsa Indonesia dan
kehancuran bangsa Indonesia berarti kehancuran/kemusnahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia . Oleh karena itu penyelesaian kerusuhan/konflik Indonesia khususnya Poso tidak
sesederhana sebagaimana yg ditempuh oleh Pemerintah RI selama ini sehingga tiga tahun
konflik itu berlangsung tidak menunjukkan tanda-tanda selesai malah memendam “bara api
dalam sekam”. Hal ini bukan saja ada strategi global di mana kekuatan asing turut bermain
tetapi ada juga ikatan agama yg sangat emosional turut berperan. Sebab agama menurut Prof.
Tilich “Problem of ultimate Concern” sehingga tiap orang pasti terlibat di mana obyektifitas
dan kejujuran sulit dapat diharapkan. Karenanya penyelesaian konflik Poso dgn dialog dan
rekonsiliasi bukan saja tidak menyelesaikan konflik tersebut sebagaimana pernah ditempuh
tetapi malah memberi peluang kepada masing-masing pihak yg berseteru utk konsolidasi
kemudian meledak kembali konflik tersebut dalam skala yg lebih luas dan sadis. Konflik yg
dilandasi kepentingan agama ditambah racun dari luar apabila diselesaikan melalui
rekonsiliasi seperti kata pribahasa bagaikan membiarkan “bara dalam sekam” yg secara diam-
diam tetapi pasti membakar sekam tersebut habis musnah menjadi abu.
Pada tanggal 20 Agustus 2001 umat Islam yg sedang memetik cengkeh di kebunnya
di desa Lemoro Kecamatan Tojo Kabupaten Poso diserang oleh 50-60 orang umat Kristen yg
berpakaian hitam-hitam membunuh dua orang Muslim dan mengobrak-abrik rumah-rumah
orang Islam. Pengungsi Laporan US Comitte of Refugees tentang Indonesia yg diterbitkan
Januari 2001 menyebutkan dalam kerusuhan/konflik Poso yg terjadi selama tiga tahun
belakangan ini pihak Muslim telah menderita secara tidak seimbang. Dalam laporan itu
disebutkan jumlah pengungsi akibat konflik Poso kini sebanyak hampir 80.000 orang dan
diperkirakan 60.000 orang adl Muslim.
KONFLIK TAWURAN ANTAR PELAJAR
JAKARTA - Masih seringnya konflik sosial dan bencana sosial yang terjadi di Indonesia
mendorong pemerintah terus meningkatkan jumlah Pelopor Perdamaian. Pembentukan
Pelopor Perdamaian juga merupakan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial.
Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Harry Hikmat
mengatakan, pihaknya menargetkan ada pertumbuhan relawan Pelopor Perdamaian secara
nasional sebanyak 200 sampai 500 orang setiap tahunnya. Sampai tahun 2020, kata dia
diharapkan telah tersedia 5.000 tenaga Pelopor Perdamaian.
"Sekarang jumlah mereka sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 sudah tersedia tenaga
Pelopor Perdamaian sebanyak 1.644 orang yang menyebar hampir di seluruh kabupaten/kota
di Indonesia," ujar Harry, Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Dia menambahkan, Kemensos sendiri telah memiliki satuan relawan dan pendamping sosial
yang berfungsi untuk membantu masyarakat dalam mengatasi bencana alam dan kemiskinan.
Dia menyebutkan, antara lain Taruna Siaga Bencana dan Pendamping Program Keluarga
Harapan.Menurutnya sinergitas dan kolaborasi bahu membahu antara Pelopor Perdamaian
1.600 orang , Tagana 34.000 orang dan Pendamping PKH 25.000 orang dapat membantu
masyarakat dalam menangani korban bencana alam, korban bencana sosial dan fakir miskin.
Termasuk lanjut dia dapat membantu kelompok rentan yang harus dilindungi dan dipenuhi
kebutuhan dasar dan psikologisnya.
"Kita akan sinergikan ke tiga pilar kesejahteraan sosial ini sehingga menjadi potensi dan
sumber daya utama dalam penanganan masalah- masalah sosial" katanya.
Kepolisian Resor Mimika, Papua mencatat 12 orang meninggal dunia selama tahun 2018
akibat konflik sosial. Hal ini disampaikan Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto
didampingi sejumlah perwira pada rilis akhir tahun 2018 di Kantor Pelayanan Polres Mimika,
Jalan Cenderawasih, Kota Timika, Sabtu (29/12/2018). Dijelaskan Agung, konflik sosial
yang terjadi di Distrik Kwamki Narama menyebabkan 12 orang meninggal dunia. Konflik
dipicu aksi penganiayaan terhadap Dedi Kiwak hingga meninggal dunia pada 12 November
2017 lalu di check point 28. Akibat penganiayaan itu, dua kelompok di Kwamki Narama
terlibat bentrok menggunakan senjata tradisional berupa busur panah hingga April 2018.
Selain 12 orang meninggal dunia, dalam bentrok tersebut juga melukai 12 orang dari kedua
kelompok. "Dalam bentrok antarkelompok itu mengakibatkan korban luka-luka maupun
meninggal dunia," kata Agung. Mencegah bentrok terus berlanjut, pihak kepolisian terus
menerus melakukan razia senjata tajam, termasuk busur panah yang digunakan kedua
kelompok untuk saling serang. Hasilnya, polisi berhasil mengamankan 74 busur, 751 anak
panah, dan 9 buah sajam. "Langkah-langkah kepolisian untuk menekan dan mengantisipasi
aksi bentrok antarkelompok tersebut adalah melaksanakan kegiatan razia sajam, panah
terhadap kedua kelompok," ujar Agung. Kedua kelompok berhasil didamaikan setelah pihak
kepolisian berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Mimika. Prosesi perdamaian pun
dilakukan secara adat yaitu belah kayu pada 18 April 2018 dengan dipimpin langsung Bupati
Mimika Eltinus Omaleng. "Kedua kelompok sudah berdamai pada 18 April lalu," kata dia.
Sementara itu, di tahun 2018 sebanyak 12 kasus penembakan juga terjadi di area kerja PT
Freeport Indonesia. Akibatnya, 1 prajurit TNI gugur dan 3 orang sipil terluka. Selain itu,
kasus pemalangan sebanyak 13 kali yang dilatar belakangi masalah pendulangan karena para
pendulang tidak dapat menjual hasil dulangan di toko emas, terkait PHK, laka lantas, dan
pembayaran insentif guru honorer. Sedangkan aksi unjuk rasa terjadi sebanyak 20 kali di
tahun 2018. Seperti unjuk rasa masalah ijazah yang digunakan Bupati Mimika Eltinus
Omaleng saat mencalonkan diri kembali sebagai bupati, masalah pendulangan, masalah hak
ulayat PT Freeport Indonesia, masalah insentif guru honorer, dan masalah beasiswa putra
daerah yang menempuh pendidikan di luar Mimika. "Semua itu kasus menonjol di tahun
2018," pungkas Agung.
Krisis Rohingya: Myanmar dan Bangladesh
Krisis Rohingya di Myanmar telah memasuki fase baru yang berbahaya, mengancam
transisi demokrasi Myanmar, stabilitasnya, dan kondisi Bangladesh serta wilayah tersebut
secara keseluruhan.
Serangan bulan Agustus oleh Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA)—
sebuah kelompok militan di negara bagian Rakhine di Myanmar—memicu sebuah respon
militer yang brutal yang menargetkan komunitas Muslim Rohingya yang telah lama dianiaya.
Serangan tersebut menyebabkan eksodus pengungsi besar-besaran, dengan setidaknya 655
ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. PBB menyebut operasi ini sebagai
pembersihan etnis seperti yang “ada di buku”. Pemerintah telah sangat membatasi bantuan
kemanusiaan ke daerah tersebut, dan niat baik internasional terhadap Aung San Suu Kyi—
Kanselir Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian—telah berkurang. Pemerintahannya
mempertahankan sikap kerasnya terhadap Rohingya, dan menolak kesepakatan mengenai
masalah kemanusiaan. Dalam hal ini, ia mendapat dukungan dari masyarakat Myanmar yang
memegang teguh gagasan nasionalis dan umat Buddha anti-Rohingya yang disebarluaskan
melalui media pemerintah dan media sosial.
Tekanan dari Dewan Keamanan PBB sangat penting, dan pemerintah Barat bergerak
menuju sanksi yang ditargetkan, yang merupakan sinyal kunci bahwa tindakan semacam itu
tidak dapat dibiarkan tidak dihukum. Sayangnya, sanksi ini tidak mungkin memiliki dampak
positif yang signifikan terhadap kebijakan Myanmar. Fokusnya adalah hak para pengungsi
untuk kembali pulang secara sukarela, aman, dan bermartabat. Kenyataannya, bagaimanapun,
dan terlepas dari kesepakatan pemulangan Bangladesh/Myanmar pada akhir November, para
pengungsi tidak akan kembali kecuali jika Myanmar mengembalikan keamanan bagi semua
masyarakat, memberikan kebebasan bergerak, serta akses terhadap layanan dan hak lainnya.
Walau di depan umum pemerintah Bangladesh mencoba meyakinkan Myanmar untuk
menerima pengungsi kembali, namun secara pribadi Bangladesh mengakui keputusasaan dari
usaha tersebut. Bangladesh kesulitan dalam mengelola lebih dari satu juta Rohingya di
negaranya, di sepanjang perbatasan Myanmar. Dana internasional untuk operasi darurat
berbasis sumber daya, akan habis pada bulan Februari. Kehadiran para pengungsi juga bisa
digunakan untuk memicu konflik kelompok atau memperburuk perpecahan politik menjelang
pemilu pada akhir tahun 2018.
Ada juga risiko bagi Myanmar. ARSA bisa berkumpul kembali dan meluncurkan
serangan lintas-perbatasan, meningkatkan ketegangan Muslim-Buddha di negara bagian
Rakhine, dan gesekan antara Myanmar dan Bangladesh. Setiap serangan di luar Rakhine akan
memancing ketegangan dan kekerasan yang lebih luas di seluruh negeri. Menyadari krisis
tersebut, menerapkan rekomendasi Komisi Penasihat Kofi Annan untuk Rakhine, dan
menolak narasi yang memecah belah, akan menempatkan pemerintah Myanmar—dan
rakyatnya—di jalur yang lebih baik.
Konflik Suriah
Setelah hampir tujuh tahun berperang, rezim Presiden Bashar al-Assad berada di atas angin,
sebagian besar berkat dukungan Iran dan Rusia. Tapi pertempuran belum berakhir. Perburuan
besar di negara tersebut tetap berada di luar kendali rezim, negara-negara regional dan
internasional tidak setuju mengenai kesepakatan, dan Suriah adalah arena persaingan antara
Iran dan musuh-musuhnya. Karena ISIS digulingkan dari timur, prospek eskalasi di tempat
lain akan meningkat.
Di Suriah timur, kampanye saingan oleh pasukan pro-rezim (didukung oleh milisi yang
didukung Iran dan kekuatan udara Rusia) dan Pasukan Demokratik Suriah yang dipimpin
Kurdi (SDF, yang didukung oleh koalisi anti-ISIS yang dipimpin AS), telah mengalahkan
ISIS.
Bagi rezim Suriah dan SDF, perang melawan ISIS adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan.
Keduanya bertujuan untuk merebut wilayah dan sumber daya, namun juga untuk membangun
keuntungan—rezim tersebut untuk memperkuat kekuasaan; Kurdi untuk membangun
otonomi yang maksimal. Sejauh ini, kedua belah pihak kebanyakan menghindari konfrontasi.
Dengan ISIS yang telah pergi, risikonya akan meningkat.
Salah satu bahaya langsung yang paling parah, bagaimanapun, adalah kemungkinan serangan
oleh rezim Assad di wilayah barat laut Suriah, di mana daerah-daerah yang dikuasai
pemberontak merupakan rumah bagi sekitar dua juta masyarakat Suriah, dan di mana Turki
telah menempatkan pengawas militer sebagai bagian dari kesepakatan de-eskalasi dengan
Iran dan Rusia. Rezim dan pasukan sekutu tampaknya telah mengalihkan perhatian dari timur
ke daerah-daerah tersebut, menempatkan kesepakatan itu di bawah tekanan. Serangan rezim
tersebut di barat laut, bisa memancing kehancuran dan pemindahan besar-besaran.