Tentang
ASAL USUL MASYARAKAT BIMA DAN KEPERCAYAANNYA
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. NUR DEA AL QURANI
2. NAZRIL ILHAM
3. M. FERI ASIKIN
DIBIMBING OLEH:
Puja puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan
limpahan karunia dan rahmatnya kepada kita semua, sehingga pada hari ini penulis
telah menyelesaikan tugas makalah dengan judul “SEJARAH DAN ASAL USUL
DANA MBOJO (BIMA) ” dengan tepat waktu.
Adapun kendala dan masalah ketika penulisan makalah ini dikarenakan kami
sebagai penulis masih banyak kurangnya wawasan dan miskin ilmu yang kami
miliki , apabila kami tidak dibantu oleh pihak-pihak yang terkait, mungkin kami akan
mengalami kesulitan dalam penyusunan makalah, maka kiranya dengan ini izinkan
kami mengucapkan rasa terima kasih kami kepada seluruh pihak-pihak yang telah
membantu kami menyelesaikan tugas makalah ini.
Cukup itu kiranya kata pengantar dari kami apabila ada kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan silahkan memberikan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan penulisan makalah ini, jika ada benarnya itu
semua datangnya dari Allah swt Yang Maha Benar. Terimakasih semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Ulasan Singkat tentang Dana Mbojo ......................................................... 2
B. Periodesasi dan Mafaat Sejarah Dana Mbojo ........................................... 8
C. Kepercayaan Masyarakat Bima ................................................................. 11
A. Latar Belakang
Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah
kerajaan maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan
politik. Pada saat itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada.
Catatan Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun
1513 M Bima dipimpin oleh seorng raja kafir yang memiliki banyak perahu, bahan
makanan dan kayu sopang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual ke Cina.
Pada abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian
timur bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi
lebih besar dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda
sudah berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun
1669 dapat melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di
Indonesia bagian timur. Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil
Khair Sirajudin (sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682).
Pemerintahan kesultanan Bima berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan
1950. Selama ribuan tahun kesultanan dapat bertahan berikut dengan kemajuan-
kemajuannya. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, ada banyak sekali
masalah yang dapat diangkat sebagai penelitian. Oleh sebab itu, penulis hanya akan
membahas Kesultanan Bima pada tahun 1640 1669.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ulasan singkat tentang Dana Mbojo?
2. Bagaimana Periodesasi dan Manfaat Sejarah Bima?
3. Bagaimana Kepercayaan masyarakat Bima pada saat itu?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang ulasan singkat tentang Dana Mbojo
2. Untuk menjelaskan tentang Periodesasi dan Manfaat Sejarah Bima
3. Untuk menjelaskan tentang Kepercayaan Masyarakat Bima
BAB II
PEMBAHASAN
2. Keadaan Alam
Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan relatif
pendek. Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat 58.75 mm, maka dapat
disimpulkan Kabupaten Bima adalah daerah berkategori kering sepanjang tahun
yang berdampak pada kecilnya persediaan air dan keringnya sebagian besar
sungai. Curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari
hujan selama 15 hari dan musim kering terjadi pada bulan Juli, Agustus dan
September di mana tidak tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya memiliki
drainase yang tergenang dan tidak tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas
1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di wilayah pesisir pantai. Sedangkan
luas lokasi yang tergenang terus menerus adalah seluas 194 Ha, yaitu wilayah Dam
Roka, Dam Sumi dan Dam Pelaparado, sedangkan Wilayah yang tidak pernah
tergenang di Kabupaten Bima adalah seluas 457.989 Ha.
3. Penduduk Asli
Secara historis orang Bima atau dou Mbojo dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
kelompok penduduk asli (dou Donggo) dan kelompok orang Bima (dou Mbojo).
Berikut adalah penjabaran dari dua kelompok tersebut.
a. Kelompok penduduk asli yang disebut dou Donggo.
Kelompok ini menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung
dan lembah. Dari penelitian Zollinger (1847) diketahui bahwa dou Donggo
(Donggo Di) dan penduduk Bima di sebelah timur laut teluk Bima (dou Donggo
Ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah,
kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima
di sebelah timur Teluk Bima. Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910)
menyimpulkan pada dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibu kota ada ras
bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian dengan
orang Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda. Penelitian terhadap
anggota masyarakat Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan
persamaan dengan orang sasak Bayan di Lombok. Orang Donggo dan Sasak
Bayan memiliki kesamaan ciri yaitu berambut pendek bergelombang, keriting,
dan warna kulit agak gelap.
b. Kelompok yang lazim disebut orang Bima atau dou Mbojo.
Kelompok ini menghuni kawasan pesisir pantai. Orang Bima merupakan
suatu ras bangsa campuran dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut
lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai. Dalam pencatatan Kitab BO, bahwa
para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina) sebagai asal usul dari
penduduk di pesisir pantai. Banyak kata benda dalam bahasa Bima yang
memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno, utamanya yang masih
dipergunakan oleh sisa penduduk asli yang tersimpan dalam bahasa Donggo,
bahasa Tarlawi dan Bahasa Kolo. Hanya kadang-kadang pengucapannya sudah
berubah atau pengucapannya tetap tapi artinya berbeda. Perubahan tersebut
terjadi karena hubungan yang sulit atau terputus sehingga komunikasi antar
penduduk induk sumber bahasa terputus pula. Akibatnya pengucapan atau arti
bahasa asli tesebut berkembang dalam corak yang berbeda antara satu dengan
lainnya.
4. Kaum Pendatang
a. Masyarakat Jawa, yang merupakan cikal bakal dari dari raja-raja Bima dan
raja-raja di Sulawesi Selatan. Mereka beragama Hindu Dharma (Syiwa),
namun tidak menunjukkan pengaruh keagamaan di Bima. Kedatangan
mereka dan pengaruh Hindu Erlangga dari Kerajaan Sumedang pada abad XI
dan misi Panglima Nala pada abad XIV. Sang Bima sebagai raja pertama
Bima sudah memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Ncuhi Dara
sebagai pemimpin Bima pada masa sebelumnya. Sehingga kedatangan Sang
Bima diterima dengan baik dan melangsungkan pernikahan dengan salah
satu putri dari ncuhi.
b. Orang arab dan melayu, pada umumnya berasal dari Minagkabau dan
Sumatera lainnya. Mereka datang sebagai mubaliq dan pedagang namun
dalam jumlah yang tidak banyak. Sebelumnya mereka telah menyebarkan
agama Islam dan diterima baik di Makasar dan daerah Sulawesi lainnya.
Selain itu, orang arab dan pembawa misi Islam lainnya berasal dari Banten
dan Demak melalui hubungan perdagangan pada abad XVI
c. Pendatang lainnya, datang ke Bima dengan latar belakang berbeda antara
satu dengan lainnya. Namun umumnya kedatangan mereka untuk bekerja
yang kemudian hidup menetap bahkan menikah dengan masyarakat Bima.
Kedatangan masyarakat pendatang ini mulai banyak sejak penggabungan
Bima dengan negara kesatuan RI. Dan biasanya masih memiliki hubungan
masa lalu dengan Bima. Misalnya masyarakat dari Jawa yang memiliki
hubungan dengan Bima sejak masa kerajaan; Masyarakat bagian timur
seperti Flores, Ambon, Timur yang pernah menjadi daerah kekuasaan
Kerajaan Bima; masyarakat Sulawesi (terutama Makasar) yang memiliki
hubungan kekeluargaan bahkan menjadi cikal bakal Dou Mbojo. Masyarakat
Bali, Sumbawa dan Lombok yang pernah mengalami persamaan sejarah.
Pernah berada dibawah pengaruh dan kekuasaan Hindu dan Islam; baik dari
Jawa, arab maupun melayu. Selain itu, faktor kedekatan wilayah dan mencari
pekerjaan karena keinginan sendiri maupun tuntutan tugas dari pemerintah
menyebabkan kedatangan mereka.
5. Pengetahuan Tentang Jenis Agama yang Pernah Berkembanga di Bima
Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu sekitar 97,38%
dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan 0,89%, Kristen Katolik 0,62% dan
Hindu/Budha sekitar 1,11%. Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid
sebanyak 51 unit, Langgar/Mushola 89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan
fasilitas sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti Sosial Jompo dan Panti Asuhan
sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan. Masyarakat Bima adalah
masyarakat yang religius. Secara historis Bima dulu merupakan salah satu pusat
perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah
kesultanan, yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya terdapat
pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada segelintir orang saja melainkan
juga populis, menjadi urat nadi dan darah daging masyarakat, artinya juga telah
menjadi kultur masyarakat Bima.
A. Kesimpulan
Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan
panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana
termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima),
kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di
Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi
permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa itu,
wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama
para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang
dikuasainya.
Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari
Istana maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan.
Kesultanan Bima, Seni tari dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah
satu cabang seni yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian
dari pemerintah kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi
sebagai pusat Pemerintahan namun Asi juga merupakan pusat pengembangan seni
dan budaya tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin
(Sultan Bima yang kedua) yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni
budaya tradisional berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya
waktu, beberapa seni tari dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis.
Kepercayaan Makakamba-Makakimbi, seperti ditulis sejarawan HilirIsmail
(2008), arti kata kakamba adalah cahaya yang memancar (pancaran cahaya).
Setelah mendapat awalan ma artinya berubah menjadi “benda yang memancarkan
cahaya”. Sebenarnya pancaran cahaya hanyalah simbol dari kepercayaan
masyarakat terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu. Benda-
benda yang dipercayai memiliki kekuatan gaib disimbolkan sebagai benda yang
mampu memancarkan cahaya yang dalam bahasa Mbojo (bahasa Bima) disebut
makakamba.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bima
http://mbojonet.blogspot.com/2016/11/suku-asli-dan-pendatang-di-bima.html
https://sucifebrianti8.wordpress.com/budaya-makanan-dan-ciri-khas-kota-bima/
http://lomboksumbawambojo.blogspot.com/p/blog-page_93.html
https://lontar.id/6047/menyoal-nama-bima-dari-sang-bima-atau-basmalah/
Aris Munandar, Agus. 2007. Religi dan Falsafah. Jakarta : Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.
Ismail, M. Hilir. 2008. Kebangkitan Islam Dana Mbojo. Bogor : Penerbit Binasti.