Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Tentang
ASAL USUL MASYARAKAT BIMA DAN KEPERCAYAANNYA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. NUR DEA AL QURANI
2. NAZRIL ILHAM
3. M. FERI ASIKIN

DIBIMBING OLEH:

SMAS KAE WOHA BIMA


TAHUN AJARAN 2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puja puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan
limpahan karunia dan rahmatnya kepada kita semua, sehingga pada hari ini penulis
telah menyelesaikan tugas makalah dengan judul “SEJARAH DAN ASAL USUL
DANA MBOJO (BIMA) ” dengan tepat waktu.
Adapun kendala dan masalah ketika penulisan makalah ini dikarenakan kami
sebagai penulis masih banyak kurangnya wawasan dan miskin ilmu yang kami
miliki , apabila kami tidak dibantu oleh pihak-pihak yang terkait, mungkin kami akan
mengalami kesulitan dalam penyusunan makalah, maka kiranya dengan ini izinkan
kami mengucapkan rasa terima kasih kami kepada seluruh pihak-pihak yang telah
membantu kami menyelesaikan tugas makalah ini.
Cukup itu kiranya kata pengantar dari kami apabila ada kesalahan atau
kekurangan dalam penulisan silahkan memberikan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan penulisan makalah ini, jika ada benarnya itu
semua datangnya dari Allah swt Yang Maha Benar. Terimakasih semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

Bima,7 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Ulasan Singkat tentang Dana Mbojo ......................................................... 2
B. Periodesasi dan Mafaat Sejarah Dana Mbojo ........................................... 8
C. Kepercayaan Masyarakat Bima ................................................................. 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................ 18
B. Saran ......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah
kerajaan maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan
politik. Pada saat itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada.
Catatan Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun
1513 M Bima dipimpin oleh seorng raja kafir yang memiliki banyak perahu, bahan
makanan dan kayu sopang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual ke Cina.
Pada abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian
timur bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi
lebih besar dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda
sudah berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun
1669 dapat melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di
Indonesia bagian timur. Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil
Khair Sirajudin (sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682).
Pemerintahan kesultanan Bima berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan
1950. Selama ribuan tahun kesultanan dapat bertahan berikut dengan kemajuan-
kemajuannya. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, ada banyak sekali
masalah yang dapat diangkat sebagai penelitian. Oleh sebab itu, penulis hanya akan
membahas Kesultanan Bima pada tahun 1640 1669.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ulasan singkat tentang Dana Mbojo?
2. Bagaimana Periodesasi dan Manfaat Sejarah Bima?
3. Bagaimana Kepercayaan masyarakat Bima pada saat itu?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang ulasan singkat tentang Dana Mbojo
2. Untuk menjelaskan tentang Periodesasi dan Manfaat Sejarah Bima
3. Untuk menjelaskan tentang Kepercayaan Masyarakat Bima
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ulasan SIngkat Tentang dana Mbojo


1. Wawasan Geografi Dana Mbojo
a. Letak
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan
dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten
Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang
Selatan
b. Luas wilayah
Luas wilayah setelah pembentukan Daerah Kota Bima berdasarkan Undang-
undang Nomor 13 tahun 2002 adalah seluas 437.465 Ha atau 4.394,38 Km²
(sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 Km²) dengan jumlah
penduduk 473,890 jiwa

2. Keadaan Alam
Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan relatif
pendek. Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat 58.75 mm, maka dapat
disimpulkan Kabupaten Bima adalah daerah berkategori kering sepanjang tahun
yang berdampak pada kecilnya persediaan air dan keringnya sebagian besar
sungai. Curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari
hujan selama 15 hari dan musim kering terjadi pada bulan Juli, Agustus dan
September di mana tidak tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya memiliki
drainase yang tergenang dan tidak tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas
1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di wilayah pesisir pantai. Sedangkan
luas lokasi yang tergenang terus menerus adalah seluas 194 Ha, yaitu wilayah Dam
Roka, Dam Sumi dan Dam Pelaparado, sedangkan Wilayah yang tidak pernah
tergenang di Kabupaten Bima adalah seluas 457.989 Ha.
3. Penduduk Asli
Secara historis orang Bima atau dou Mbojo dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
kelompok penduduk asli (dou Donggo) dan kelompok orang Bima (dou Mbojo).
Berikut adalah penjabaran dari dua kelompok tersebut.
a. Kelompok penduduk asli yang disebut dou Donggo.
Kelompok ini menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung
dan lembah. Dari penelitian Zollinger (1847) diketahui bahwa dou Donggo
(Donggo Di) dan penduduk Bima di sebelah timur laut teluk Bima (dou Donggo
Ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah,
kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima
di sebelah timur Teluk Bima. Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910)
menyimpulkan pada dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibu kota ada ras
bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian dengan
orang Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda. Penelitian terhadap
anggota masyarakat Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan
persamaan dengan orang sasak Bayan di Lombok. Orang Donggo dan Sasak
Bayan memiliki kesamaan ciri yaitu berambut pendek bergelombang, keriting,
dan warna kulit agak gelap.
b. Kelompok yang lazim disebut orang Bima atau dou Mbojo.
Kelompok ini menghuni kawasan pesisir pantai. Orang Bima merupakan
suatu ras bangsa campuran dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut
lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai. Dalam pencatatan Kitab BO, bahwa
para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina) sebagai asal usul dari
penduduk di pesisir pantai. Banyak kata benda dalam bahasa Bima yang
memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno, utamanya yang masih
dipergunakan oleh sisa penduduk asli yang tersimpan dalam bahasa Donggo,
bahasa Tarlawi dan Bahasa Kolo. Hanya kadang-kadang pengucapannya sudah
berubah atau pengucapannya tetap tapi artinya berbeda. Perubahan tersebut
terjadi karena hubungan yang sulit atau terputus sehingga komunikasi antar
penduduk induk sumber bahasa terputus pula. Akibatnya pengucapan atau arti
bahasa asli tesebut berkembang dalam corak yang berbeda antara satu dengan
lainnya.
4. Kaum Pendatang
a. Masyarakat Jawa, yang merupakan cikal bakal dari dari raja-raja Bima dan
raja-raja di Sulawesi Selatan. Mereka beragama Hindu Dharma (Syiwa),
namun tidak menunjukkan pengaruh keagamaan di Bima. Kedatangan
mereka dan pengaruh Hindu Erlangga dari Kerajaan Sumedang pada abad XI
dan misi Panglima Nala pada abad XIV. Sang Bima sebagai raja pertama
Bima sudah memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Ncuhi Dara
sebagai pemimpin Bima pada masa sebelumnya. Sehingga kedatangan Sang
Bima diterima dengan baik dan melangsungkan pernikahan dengan salah
satu putri dari ncuhi.
b. Orang arab dan melayu, pada umumnya berasal dari Minagkabau dan
Sumatera lainnya. Mereka datang sebagai mubaliq dan pedagang namun
dalam jumlah yang tidak banyak. Sebelumnya mereka telah menyebarkan
agama Islam dan diterima baik di Makasar dan daerah Sulawesi lainnya.
Selain itu, orang arab dan pembawa misi Islam lainnya berasal dari Banten
dan Demak melalui hubungan perdagangan pada abad XVI
c. Pendatang lainnya, datang ke Bima dengan latar belakang berbeda antara
satu dengan lainnya. Namun umumnya kedatangan mereka untuk bekerja
yang kemudian hidup menetap bahkan menikah dengan masyarakat Bima.
Kedatangan masyarakat pendatang ini mulai banyak sejak penggabungan
Bima dengan negara kesatuan RI. Dan biasanya masih memiliki hubungan
masa lalu dengan Bima. Misalnya masyarakat dari Jawa yang memiliki
hubungan dengan Bima sejak masa kerajaan; Masyarakat bagian timur
seperti Flores, Ambon, Timur yang pernah menjadi daerah kekuasaan
Kerajaan Bima; masyarakat Sulawesi (terutama Makasar) yang memiliki
hubungan kekeluargaan bahkan menjadi cikal bakal Dou Mbojo. Masyarakat
Bali, Sumbawa dan Lombok yang pernah mengalami persamaan sejarah.
Pernah berada dibawah pengaruh dan kekuasaan Hindu dan Islam; baik dari
Jawa, arab maupun melayu. Selain itu, faktor kedekatan wilayah dan mencari
pekerjaan karena keinginan sendiri maupun tuntutan tugas dari pemerintah
menyebabkan kedatangan mereka.
5. Pengetahuan Tentang Jenis Agama yang Pernah Berkembanga di Bima
Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu sekitar 97,38%
dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan 0,89%, Kristen Katolik 0,62% dan
Hindu/Budha sekitar 1,11%. Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid
sebanyak 51 unit, Langgar/Mushola 89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan
fasilitas sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti Sosial Jompo dan Panti Asuhan
sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan. Masyarakat Bima adalah
masyarakat yang religius. Secara historis Bima dulu merupakan salah satu pusat
perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah
kesultanan, yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya terdapat
pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada segelintir orang saja melainkan
juga populis, menjadi urat nadi dan darah daging masyarakat, artinya juga telah
menjadi kultur masyarakat Bima.

6. Pengetahuan Dasar tentang Budaya Bima


Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari
Istana maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan.
Kesultanan Bima, Seni tari dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah
satu cabang seni yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian
dari pemerintah kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi
sebagai pusat Pemerintahan namun Asi juga merupakan pusat pengembangan seni
dan budaya tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin
(Sultan Bima yang kedua) yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni
budaya tradisional berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya
waktu, beberapa seni tari dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis.
Beberapa tarian yang masih dapat di nikmati antar lain;
a. Atraksi Gantao
Jenis tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan dengan nama asli Kuntao.
Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat ini
berkembang pesat sejak abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu hubungan
antara kesultanan Bima dengan Gowa dan Makasar sangat erat. Atraksi ini dapat
dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam setiap gerakan selalu
mengikuti aturan musik tradisional Bima (Gendang, Gong, Tawa-tawa dan
Sarone). Pada zaman dahulu setiap acara-acara di dalam lingkungan Istana
Gantao selalu digelar dan menjadi ajang bertemunya para pendekar dari seluruh
pelosok, hingga saat ini Gantao masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat
Bima dan selalu digelar pada acara sunatan maupun perkawinan).
b. Tari Wura Bongi Monca
Seni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa
pemerintahan sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang memerintah
antara tahun 1640-1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau
dalam bahasa Bima dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca. Gongi Monca
adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada
rombongan tamu yang datang berkunjung.
Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik
secara formal maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar
untuk menyambut tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6
remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut disertai senyuman sambil
menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafah masyarakat Bima
tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri.
c. Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo.
Lenggo Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung
Sumatera Barat yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini
memang khusus diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan
dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai Ule sekarang) dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa
Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.
Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya
pada tahun 1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo
yang diperankan oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga disebut
Lenggo Siwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang
pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tarian
Lenggo selalu dipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA terutama
pada saat rombongan penghulu Melayu mamasuki pelataran Istana.
d. Rawa Mbojo
Salah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat
tempo dulu adalah Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media penyampaian
pesan dan nasehat yang disuguhkan terutama pada malam hari saat-saat penen
sambil memasukkan padi di lumbung. Senandung Rawa Mbojo yang di-iringi
gesekan Biola berpadu dengan syair dan pantun yang penuh petuah adalah
pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada warga yang melakukan aktifitas
di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan pula seorang pawang cerita
yang membawakan dongeng-dongeng yang menarik dan penuh makna
kehidupan.
Syair dan senandung Rawa Mbojo didominasi pantun khas Bima yang
berisi nasehat dan petuah, kadang pula jenaka dan menggelitik. Ini adalah
sebuah warisan budaya tutur yang tak ternilai unuk generasi. Dalam Rawa Mbojo
terdapat beragam lirik yang dikenal dengan istilah Ntoro. Ada Ntoko Tambora,
Ntoko Lopi Penge, dan Ntoko lainnya. Tiap Ntoko memiliki khas masing-masing.
Misalnya Ntoko Tambora dilantunkan dalam syair dan irama yang
mengambarkan kemegahan alam. Ntoko Lopi Penge mengambarkan suasana
laut dan gelombang. Syair dan pantun yang dilantunkan pun dikemukakan
secara spontan sesuai keadaan. Itulah kelebihan dari para pelantun Rawa
Mbojo. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, namn mereka sangan pawai
melantunkannya secara spontanitas.
e. Hadrah Rebana
Jenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16.
Hadrah Rebana merupakan jenis atraksi yang telah mendapat pengaruh ajaran
islam. Syair lagu yang dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan
biasanya mengandung pesan-pesan rohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana
dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan lagu-lagu seperti Marhaban
dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A CO’I (Antar Mahar),
Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah Rebana telah
berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang menggembirakan
adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi oleh seniman di Bima.
Dan banyak sekali karya-karya gerakan dan lagu-lagu yang mengiringi
permainan Hadrah Rebana ini.
Semua atraksi kesenian dan tari-tarian ini oleh Pemerintah Kota Bima
selalu di gelar pada setiap perayaan hari-hari besar daerah, propinsi dan
nasional bahkan untuk menyambut para tamu-tamu pemerintahan, wisatawan
dan kegiatan-kegiatan ceremonial lainnya yang terpusat di Paruga Nae (tempat
khusus pagelaran seni budaya dengan arsitektur khas tradisional rumah adat
Bima).

7. Membuat dan Menggambarkan Batas – Batas Wilayah Daerah Bima


Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Utara Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima

Timur Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima

Selatan Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima

Barat Teluk Bima

B. Periodesasi dan Manfaat Sejarah Dana Mbojo


1. Peroide Sejarah Bima
Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan
panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana
termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima),
kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di
Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi
permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa itu,
wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama
para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang
dikuasainya.
Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu,
Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah.
Ncuhi Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai
wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian
Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut sepakat
mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima menerima
pengangkatan tersebut, tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra
Zamrud dan Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrut lah yang menjadi
Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima memasuki Zaman kerajaan. Pada
perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan besar yang sangat
berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun
temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara antara abad 16
hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5
Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan
dari kerajaan kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota
La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti
nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang).
Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang
sultan secara turun menurun hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Sebagaimana
ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-masa kesultanan
mengalami pasang dan surut disebabkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme
yang ada di Bumi Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14
yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman kemerdekaan dan
status Kesultanan Bima pun berganti dengan pembentukan Daerah Swapraja dan
swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai amanat Undang-
undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan wilayah Kota Bima. Hingga
sekarang daerah yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam
dua wilayah administrasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten
Bima. Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan dengan luas
wilayah 437.465 Ha dan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata
96 jiwa/Km².
Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik
perkembangan wilayah yaitu: pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan
sosial budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.
Sudah 13 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh seorang Wali kota dengan
peradaban Budaya Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman kerajaan hingga
sekarang masih dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam
kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan Seni tradisional yang melekat pada
kegiatan Upacara Adat, Prosesi Pernikahan, Khataman Qur’an, Khitanan dan lain-
lain serta bukti-bukti sejarah Kerajaan dan Kesultanan masih juga dapat dilihat
sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang
ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan bagi wisatawan lokal, nusantara
bahkan mancanegara.

2. Sejarah Asal Muasal Nama Bima (Mbojo)


Dari cerita (Mpama) yang saya dapatkan sewaktu kecil, diceritakan oleh
seorang guru. Setelah Sang Bima sampai di Pulau Satonda di tengah perjalanan,
tepatnya pada sungai Sang Bima bertemu dengan Putri Ular penunggu sungai.
Pertemuan itu membuat Sang Bima dan Putri Ular jatuh cinta dan akhirnya mereka
menikah. Hasil pernikahan itu mereka dikaruniai keturunan dari jenis bangsa jin.
Garis keturunan itu dikuatkan oleh beberapa catatan nama-nama keturunan Sang
Bima dari Jin yang ada di Asi (tempat kediaman raja sekarang sudah dialih
fungsikan menjadi Museum). Selain Sang Bima bertemu dengan Putri Ular di
Satonda, di sana terdapat sebuah pohon besar nan rindang dengan cabang-
cabangnya yang banyak, namun pohon tersebut tidak memiliki daun. Konon
masyarakat setempat memberikan nama pohon dengan sebutan Pohon Batu.
Disebabkan hanya terdapat gantungan batu yang dililitkan lalu diikat di cabang dan
ranting pohon. Masyarakat mempercayai bahwa batu tersebut sebagai sebuah
simbol pengharapan kepada yang gaib bahwa semua permintaannya akan
dikabulkan.Bima terdiri dari beberapa wilayah kecil, lalu dipimpin oleh seorang
bergelar Ncuhi. Secara garis besar bahwa di Bima terdapat beberapa Ncuhi yang
masing-masing membagi wilayahnya ke dalam lima teritori antara lain; pertama
Ncuhi Dara yang memiliki wilayah kekuasaan di bagian Tengah Bima (Mbojo),
kedua; Ncuhi Parewa yang berkuasa penuh pada wilayah Bima bagian selatan,
ketiga Ncuhi Padolo yang memegang kekuasaan pada Wilayah Bagian Barat, empat
Ncuhi Banggapupa yang memiliki otoritas kekuasaan pada Wilayah Bima bagian
Utara dan kelima; Ncuhi Dorowani yang memegang tampuk kekuasaan pada
wilayah Bima bagian Timur.Struktur kekuasaan para Ncuhi masih sangat sederhana
bila dibandingkan dengan struktur kekuasaan di era modern. Sehingga para Ncuhi
punya otoritas kekuasaan yang cukup besar atas kemaslahatan rakyatnya, mereka
punya peran besar terhadap aturan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan
masyarakat. Walau wilayah Bima terbagi kedalam lima bagian, kehidupan meraka
aman, damai, tidak ada perselisihan. Segala macam keputusan melibatkan semua
Ncuhi, maka akan diadakan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan proses
secara bersama. Yang bertindak sebagai pemimpin rapat yaitu Ncuhi Dara, sebab
ncuhi dara merupakan pusat Bima yang berada pusat.Setelah Sang Bima Putra
Maharaja Pandu Dewata datang ke Bima, dia mampu menyatukan kelima Ncuhi
menjadi satu kerajaan besar yang disebut sebagai Kerajaan Bima. Mulai saat itulah
tanah bima (dana Mbojo) disebut sebagai sebutan ”BIMA” yang berasal dari nama
sang bima sebagai raja pertama, kemudian diberi gelar sebagai Sangaji Mbojo.Lalu
dari mana nama “Mbojo” di temukan atau sejak kapan nama ini dipakai oleh
masyarakat Bima? Adakah kemungkinan Nama Mbojo lebih dahulu ada ketika nama
Bima resmi menjadi nama kerajaan? Adapun kitab Bo’ Sangaji Kai berupa catatan
harian yang ditulis oleh Bumi Luma Rasanae sepanjang periode 1765-1790. Yakni
pada masa awal pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah. Catatan
harian tersebut tidak menceritakan sejarah Bima melainkan cerita tentang peristiwa,
kisah, fakta yang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Abdul Hamid.

C. Kepercayaan Masyarakat Bima


Pada umumnya dalam setiap bentuk religi etnis yang ada di nusantara
tercakup beberapa ajaran pokok yang antara lain berisi penjelasan berkenaan
dengan (a) kosmologi, (b) penciptaan alam semesta dan manusia, (c) makhluk
supernatural, dan (d) kehidupan setelah kematian. Bentuk-bentuk tradisi lisan
berupa mitos dan legenda yang hingga saat ini masih bisa dijumpai pada beberapa
suku bangsa di nusantara merupakan salah satu sumber yang dapat digunakan
untuk mengetahui dan mempelajari bentuk religi yang pernah dianut dan
berkembang pada suatu kelompok etnis.(Aris Munandar, Agus dkk, 2007: 12).
Dalam kerangka itulah kita bisa membedah bagaimana pergumulan teologi
Bima di lintasan ruang dan waktu. Secara terminologis, yang dimaksud dengan
teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
keyakinan beragama, spiritualitas dan ketuhanan. Sejarah religi etnis orang Bima
(lama), dikenal kepercayaanmakakamba dan makakimbi, tapi ditinggalkan perlahan-
lahan oleh penganutnya seiring dengan kedatangan agama-agama Hindu-Budha,
Kristen, Islam, meski ada juga sebagian masyarakat Bima yang masih
mempertahankan kepercayaan lama itu. Belakangan Islam mendominasi ruang
keagamaan di Bima, bahkan Islam pernah dijadikan sumber hukum positif yang
dikenal dengan Syara’ Dana Mbojo di era Kesultanan Bima.
Kepercayaan Makakamba-Makakimbi, seperti ditulis sejarawan HilirIsmail
(2008), arti kata kakamba adalah cahaya yang memancar (pancaran cahaya).
Setelah mendapat awalan ma artinya berubah menjadi “benda yang memancarkan
cahaya”. Sebenarnya pancaran cahaya hanyalah simbol dari kepercayaan
masyarakat terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu. Benda-
benda yang dipercayai memiliki kekuatan gaib disimbolkan sebagai benda yang
mampu memancarkan cahaya yang dalam bahasa Mbojo (bahasa Bima) disebut
makakamba.
Dengan demikian, sebenarnya pengertian dari agama makamba, sama
dengan dinamisme, yaitu agama yang mempercayai adanya benda-benda tertentu
yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.
Agama makamba mulai dikenal pada pada masa naka (pra-sejarah) dan terus
berkembang pada masa ncuhi dan kerajaan, bahkan sampai sekarang masih ada
anggota masyarakat Islam yang percaya terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh
benda-benda tertentu.
Menurut agama makamba, kekuatan gaib ada yang baik dan ada yang jahat.
Benda-benda yang memiliki kekuatan gaib baik, akan dipakai dan dimakan, agar
orang yang memakai atau memakannya senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh
kekuatan gaib yang ada di dalamnya. Benda-benda yang memiliki kekuatan gaib
jahat ditakuti, karena itu harus dijauhi. Seorang Naka, Ncuhi dan Sangaji (Raja)
harus memiliki kekuatan gaib baik (mana), agar mampu menjadi “dou ma bisa ro
guna” (orang yang sakti mandraguna). Sehingga mampu berperan sebagai “hawo ro
ninu” (pengayom dan pelindung) masyarakat dari gangguan kekuatan gaib jahat.
Setiap pemimpin dan anggota masyarakat harus mempunyai benda-benda yang
memiliki kekuatan gaib yang baik, yang dianggap sakti dan bertuah seperti batu
permata, keris, tombak dan tongkat. Bila memiliki dan memakai benda-benda itu,
mereka yakin akan terhindar dari malapetaka. Karena itu, benda-benda tersebut
dibawa kemana-mana untuk dijadikan “ai jima” (jimat) yang mampu menangkal
bahaya. Setiap benda yang berkekuatan baik, dijadikan benda pusaka yang harus
dipelihara oleh anak cucunya.
Selain menganut agama makamba, masyarakat mbojo (Bima) juga menganut
agama budaya yang dikenal dengan istilah makimbi. Mungkin kata Makimbi berasal
dari kata dasar “Kakimbi” yang mendapat awalan ma, sehingga menjadi makakambi
kemudian berubah menjadi makimbi. Arti harfiah dari kata ini adalah cahaya yang
berkelap-kelip atau yang berkemilau, seperti kelap-kelip cahaya bintang atau
kunang-kunang pada malam yang gelap. Setelah mendapat awalan ma, artinya
berubah menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya yang berkelap-kelip.
Arti lain dari Kakimbi adalah gerakan denyut jantung yang membuktikan bahwa
manusia atau binatang masih bernyawa, atau masih hidup, roh atau jiwanya belum
meninggalkan jasad. Contoh : Mbuipu kakimbi nawana (masih ada gerakan atau
denyutan nafasnya). Arti kakimbi dalam konteks ini sinonim dengan kata kakumbu.
Ungkapan makakambi (makimbi) merupakan lambang roh atau jiwa yang dimiliki
oleh setiap benda. Pengertian roh disini, tidak sama dengan pengertian roh atau jiwa
menurut Islam, dan juga berbeda dengan pengertian ilmu jiwa (psikologi). Menurut
masyarakat primitif, roh itu masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat
menyerupai uap atau udara. Roh itu mempunyai rupa, umpamanya berkaki dan
bertangan panjang, mempunyai umur dan perlu ada makanan. Oleh masyarakat
mbojo penganut agama makimbi, benda yang memiliki roh itu diumpakan sebagai
makimbi yaitu benda yang mengeluarkan cahaya yang berkelap-kelip.
Berdasarkan pengertian kata tersebut, bahwa makimbi adalah istilah lokal
mbojo yang sama pengertiannya dengan animisme yaitu agama yang mengajarkan
bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa
mempunyai roh. Roh dari benda-benda tertentu seperti hutan lebat, sungai yang
deras arusnya, gua yang dalam, laut yang dalam dan bergelombang dan pohon
besar lagi rindang dan sebagainya ditakuti. Yang sangat ditakuti serta dihormati
adalah roh nenek moyang, terutama roh Ncuhi dan Sangaji (Raja). Oleh penganut
agama makimbi, roh nenek moyang terutama roh Ncuhi dan Sangaji yang sudah
meninggal disebut “dou woro” (dou mboro), mereka bertempat tinggal di pamboro.
Sedangkan roh-roh lain disebut marafu. Dou woro dan parafu selalu bertempat
tinggal di lokasi yang sama, yaitu di parafu ro pamboro. Pada umumnya parafu ro
pamboro berada di sumber-sumber mata air (telaga dan sungai), di pohon-pohon
besar yang rindang, di puncak bukit, di batu-batu besar, di pesisir pantai dan
sebagainya.Tujuan beragama menurut agama makimbi ialah menjalin hubungan
baik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati, karena itu mereka berusaha
menyenangkan hati para roh. Sebab apabila roh marah maka akan datang bencana
dan bahaya.
Peranan Ncuhi sebagai pemimpin agama dalam menjalin hubungan baik
dengan semua roh sangatlah besar. Pada saat-saat tertentu yang telah
ditentukan,Ncuhi bersama tokoh masyarakat mengadakan upacara penyembahan
yang dikenal dengan istilah “toho dore” di parafu ro pamboro. Dengan
mempersembahkan ‘soji” (sesajen) yang terdiri dari hewan, berbagai jenis makanan,
kue dan wangi-wangian (bunga), diiringi dengan pembacaan mantra yang bernama
mpisi. Sampai sekarang masih ada anggota masyarakat yang melakukan upacara
toho dore, peninggalan agama makimbi, juga masih ada yang melestarikan adanya
ajaran makamba yang mempercayai adanya benda-benda sakti atau keramat.
Dalam perkembangannya, agama makamba dan makimbi dianut oleh masyarakat
mbojo sampai dengan berakhirnya masa kerajaan pada awal abad XVII M. Dalam
perkembangannya, kedua agama ini saling melengkapi satu sama lain, bahkan
menyatu dalam bentuk sinkretisme. (Hilir Ismail, 2008).
Selain benda-benda tersebut di atas, tanah yang subur, mata air, sungai dan
pohon yang rindang dan rimbun pun dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh
karena itu, menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan menjaga kekuatan
gaib baik yang dimiliki oleh tempat-tempat tertentu, agar tidak pindah ke tempat lain.
Kalau tempat dan benda tersebut kehilangan kekuatan gaibnya, maka akan terjadi
kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan.
Secara geografis dan geokultural, Bima berdekatan dengan Pulau Lombok
(NTB) dan Pulau Dewata (Prov. Bali). Sebagaimana diketahui, Bali adalah basis
agama Hindu-Budha terbesar di Indonesia, bisa dikatakan pula sebagai “Serambi
India” dalam spektrum kehinduan. Sedangkan Lombok yang ditempati masyarakat
suku dominan – Sasak –dikenal pula sebagai penganut muslim yang fanatik pada
Tuan Guru dan dijuluki “Pulau Seribu Satu Masjid”. Di Pulau Lombok pula terdapat
basis Ormas Islam terbesar yang punya cabang di pelbagai wilayah di Indonesia,
bahkan luar negeri, yaitu Nahdlatul Wathan (NW). Gubernur NTB TGH. M. Zainul
Majdi (Tuan Guru Bajang) – saat ini adalah ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul
Wathan.
Pengaruh Hindu-Budha dalam bangunan keagamaan di Bima tidak begitu
signifikan. Hanya sedikit. Jejak masuknya agama Hindu di Bima dapat dilihat pada
prasasti Wadu Pa’a di Kecamatan Soromandi, bekas candi di Ncandi Monggo
Kecamatan Bolo, Sanggu di Pulau Sangiang Kecamatan Wera, Wadu Tunti
Rasabou dan kuburan kuno Padende Kecamatan Donggo. Begitu pula agama
Kristen, hanya sedikit. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terletak di sebelah timur
Bima itulah yang dikatakan sebagai basis penganut agama Kristen (Katolik). Ada
juga penganut Kristen di Bima, terutama di salah satu desa di kec. Donggo, tapi
berjumlah sedikit. Selebihnya, agama Kristen dianut oleh masyarakat pendatang dan
perantau yang kebanyakan berasal dari NTT, Jawa dan Manado.
Sekitar awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan
raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640
M. Sultan Abdul Kahir dididik dalam agama Islam oleh dua orang Mubalig dari
Sumatera, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro yang juga mengislamkan raja-
raja di lima wilayah kerajaan, yaitu: Gowa, Wajo, Kutai, Selayar dan Bima. Pada
masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata
pemerintahan Kerajaan Gowa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya
Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur
pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat,
unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam.
Bahasa penyebaran agama Islam adalah bahasa melayu. Saat itulah Bo’
kerajaan mulai ditulis dalam bahasa Melayu. Beberapa waktu kemudian, mitos
kerajaan pun dirombak dan ditulis kembali ke dalam Ceritera Asal Bangsa Jin dan
Segala Dewa-dewa, aga sesuai dengan agama baru, Islam. Usaha ini menunjukkan
hasil yang menggembirakan. Sebab, pada paruh abad ke-17, telah terdapat di
lingkungan istana “golongan elite” yang mampu meleburkan mitos setempat dalam
sejarah alam semesta dan mengarang cerita itu dalam bahasa melayu klasik. Bima
selanjutnya, selain menjadi bagian dari kerajaan melayu, juga bagian dari ummat
Islam. Sejak itu hubungan dengan Makassar semakin erat, baik melalui hubungan
diplomasi maupun melalui perkawinan antara raja Bima dengan putra-putri Gowa.
Pada tanggal 5 Juli 1640 Masehi adalah momentum sejarah, di mana transisi
politik dari sistem pemerintahan kerajaan menjadi kesultanan. Tonggak bersejarah
itu ditandai dengan dinobatkannya La Ka’I, Putera Mahkota yang bergelar Rumata
Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul
Kahir. Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 14
orang sultan secara turun temurun hingga tahun 1951.
Geliat perkembangan Islam di Bima disertai dengan banyak berdirinya pusat
dakwah, pengajian, majelis taklim dan syi’ar Islam lewat masjid-masjid dan surau
yang terdapat di setiap desa (kampo ro mporo).Bahkan pengajian berkembang dari
rumah ke rumah, terutama ngaji Qaro’a (pengajian Al-Qur’an) yang menggema
dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Pondok Pesantren (ponpes) juga ikut
menggeliatkan Islamisasi di daerah Bima.Diantaranya Ponpes Al-Husainy asuhan
Drs. KH. Ramli Ahmad, Ponpes Al-Ikhwanuddin di Salama pimpinan Drs. H. Zainul
Arifin, M.Si (mantan Bupati Bima), Ponpes Al-Malikin di Talabiu-Woha pimpinan
Tuan Guru Drs. H. Fitrah A. Malik, Ponpes Al-Mukhlisin di Parado di bawah asuhan
KH. Muhammad Hasan, Ponpes Darul Hikmah yang diasuh oleh KH. Abdurrahim
Haris di Soncolela-Kota Bima, Ponpes Daarul Hamid pimpinan Ust.Abd.Hamid dan
lain-lain. Apa kabar para kyai, tuan guru dan ulama serta santri Bima?
Di tengah kabar buruk akibat ulah sebagian saudara kita yang mencoreng
wajah Bima lewat tawuran antar desa, kekerasan politik dan gejala ekstrimisme,
maka sudah saatnya para santri dan segenap jajaran tua guru membawa kabar baik,
menghadirkan energi positif, meniupkan angin optimisme, mengalirkan embun
kesejukan berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Tawuran, kekerasan dan trend
ekstrimisme adalah fakta, bukan gosip. Karena faktual, maka tak perlu lagi
bermentalitas ‘korban’ yang menyalahkan pihak lain, apalagi ‘menciptakan’ musuh
bayangan dan imaji tak produktif.
Oleh karena itu, introspeksi diri adalah langkah ril yang perlu diambil
ketimbang membangun manuver yang bersifatapologetik. Seorang dokter
profesional selalu menyarankan kepada pasiennya agar jujur dan terbuka mengakui
penyakit yang dialami, baru kemudian diberi obat yang cocok. Kalau si pasien tak
jujur, malu mengakui penyakit yang dideritanya, bagaimana dokter bisa
mendiagnosa? Dan mengakui penyakit memang bukan karena perkara minim
pengetahuan, hanya saja perlu sedikit latihan dan iman yang kuat.
Dus, pesan-pesan perdamaian yang terkandung dalam ajaran agama harus
disebarluaskan ke khalayak ramai. Adalah sebuah ironi manakala agama menjadi
tertuduh lantaran teks-teks keagamaan disalahtafsirkan dengan pemahaman yang
sempit, terlebih jatuh ke dalam kubangan ekstrimitas yang merasa benar sendiri dan
menghujat orang lain di luar golongannya. Dan tak jarang pula memicu konflik atas
nama agama. Lebih lucu lagi kalau agama dipakai sebagai tameng untuk
meneguhkan legitimasi kuasa dan memburu popularitas.
Etos toleransi, penghormatan dan penghargaan atas pemahaman yang
beragam terkait ekspresi keagamaan bukan hanya semestinya diamalkan antar
umat beragama, melainkan juga di kalangan internal, misalnya sesama muslim. Dan
memang hal demikian diperintahkan oleh ajaran agama, misalnya dalam Islam
dikenal pesan ayat, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Dalam ajaran Islam pula
dikenal semangat Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) yang diikat
dengan tauhid yang direfleksikan ke dalam tindakan konkret berupa kebajikan-
kebajikan universal.
Disinilah relevansi peran kaum santri yang memiliki basis pemahaman
keislaman yang kuat, berwawasan kebangsaan dan berkesadaran global serta nilai-
nilai kemanusiaan agar mengartikulasikan pesan-pesan keagamaan yang bisa
membangun ketertiban dan keteraturan sosial. Membaca teks memang tak cukup,
perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan membaca konteks, ayat-ayat (tanda-
tanda) kekuasaan Tuhan yang tercermin pada semesta. Itulah yang disebut sebagai
fenomena alam maupun fenomena sosial yang terorganisir dalam kategorisasi ilmu
pengetahuan.
Dari pembacaan semesta pengetahuan itu, dapat dijadikan sumber mata air
pencerahan yang dipadukan dengan jagad keagamaan yang meliputi dimensi
filosofis, etik dan sufisme sebagai solusi integral dalam mengatasi persoalan aktual
yang berkembang akhir-akhir ini. Melalui forum-forum pengajian, para santri dapat
menembus jendela otak umat lewat nutrisi pengetahuan yang menyehatkan,
menenangkan dan menjernihkan. Insan agamis ideal di masa depan adalah prinsipil
dalam beragama, melek informasi, tidak kaku dan sinis dengan modernitas,
berkebudayaan serta berkomitmen keindonesiaan. Dengan begitu, agama menjadi
sumber nilai untuk mengaktualisasikan idealitas ilahiyah ke dalam realitas insaniyah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan
panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana
termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima),
kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di
Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi
permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa itu,
wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama
para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang
dikuasainya.
Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari
Istana maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan.
Kesultanan Bima, Seni tari dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah
satu cabang seni yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian
dari pemerintah kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi
sebagai pusat Pemerintahan namun Asi juga merupakan pusat pengembangan seni
dan budaya tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin
(Sultan Bima yang kedua) yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni
budaya tradisional berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya
waktu, beberapa seni tari dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis.
Kepercayaan Makakamba-Makakimbi, seperti ditulis sejarawan HilirIsmail
(2008), arti kata kakamba adalah cahaya yang memancar (pancaran cahaya).
Setelah mendapat awalan ma artinya berubah menjadi “benda yang memancarkan
cahaya”. Sebenarnya pancaran cahaya hanyalah simbol dari kepercayaan
masyarakat terhadap kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu. Benda-
benda yang dipercayai memiliki kekuatan gaib disimbolkan sebagai benda yang
mampu memancarkan cahaya yang dalam bahasa Mbojo (bahasa Bima) disebut
makakamba.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bima

http://mbojonet.blogspot.com/2016/11/suku-asli-dan-pendatang-di-bima.html

https://sucifebrianti8.wordpress.com/budaya-makanan-dan-ciri-khas-kota-bima/

http://lomboksumbawambojo.blogspot.com/p/blog-page_93.html

https://lontar.id/6047/menyoal-nama-bima-dari-sang-bima-atau-basmalah/

Aris Munandar, Agus. 2007. Religi dan Falsafah. Jakarta : Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.

Hamzah, Muslimin. 2004. Ensiklopedia Bima. Bima : Pemda Kabupaten Bima.

Ismail, M. Hilir. 2008. Kebangkitan Islam Dana Mbojo. Bogor : Penerbit Binasti.

Anda mungkin juga menyukai