Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang
MASA PEMERINTAHAN SULTAN ALAUDDIN MUHAMMAD SYAH DAN
SULTAN ABDUL QADIM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III
KETUA KELOMPOK : WAWAN HIDAYAT
ANGGOTA :
1. NURUL AQUDAH
2. DESI ANGGRIANI PUTRI
3. ALIF SOFIAN HANAN
4. M. NURHASAN AL GIFARI
GAFAR
5. FAHTURAHMAN

SMA NEGERI 1 WOHA


TAHUN AJARAN 2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Swt, karena atas limpahan rahmat
dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari kekurangan serta keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki sehingga dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari pembaca sebagai koreksi dan
evaluasi demi kesempurnaan tugas ini ke depan,yang tentunya akan memperkaya ilmu dan
wawasan bagi penulis.
Harapan penulis semoga tugas ini bermanfaat bagi yang membaca serta pihak yang
berkepentingan, terutama bagi penulis sendiri.

Bima, Februari 2019

Penulis

 
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerajaan Bima............................................................................................ 3
B. letak Kerajaan Bima................................................................................................ 5
C. Kesultanan Sultan Alauddin Muhammad Syah....................................................... 8
D. Kesultanan Sultan Abdul Qadim............................................................................. 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah kerajaan
maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan politik. Pada saat itu
dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada. Catatan Tome Pires, seorang
berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun 1513 M Bima dipimpin oleh seorng raja
kafir yang memiliki banyak perahu, bahan makanan dan kayu sopang yang dibawanya ke
Malaka untuk dijual ke Cina.

Pada abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian timur
bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi lebih besar
dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda sudah berhasil
melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun 1669 dapat melumpuhkan
kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di Indonesia bagian timur.
Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil Khair Sirajudin (sultan Bima
ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682).

Pemerintahan kesultanan Bima berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan 1950.
Selama ribuan tahun kesultanan dapat bertahan berikut dengan kemajuan-kemajuannya.
Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, ada banyak sekali masalah yang dapat diangkat
sebagai penelitian. Oleh sebab itu, penulis hanya akan membahas Kesultanan Bima pada
tahun 1640 1669.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kerajaan Bima?
2. Dimana letak Kerajaan Bima?
3. Bagaimana sejarah Kesultanan Sultan Alauddin Muhammad Syah?
4. Bagaimana sejarah Kesultanan Sultan Abdul Qadim?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang Sejarah Kerajaan Bima
2. Untuk menjelaskan tentang letak Kerajaan Bima
3. Untuk menjelaskan tentang sejarah Kesultanan Sultan Abdullah
4. Untuk menjelaskan tentang sejarah Kesultanan Sultan Abdul Azis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Bima


Suku Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota
Bima dan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Suku ini menggunakan Bahasa Bima
atau Nggahi Mbojo. Menurut sejarahnya-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap
daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa
Lima yang bernama Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan
oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan
Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain ( mulai mengenal bentuk
pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur,
namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana
Mbojo Bima.
Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang
bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak
angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni.
Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana
Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang
pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan
persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Dengan demikian
berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman
kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh
Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki
dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama
Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-
orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang
berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua
nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama
suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima
sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan
suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan
adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.
Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke
daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang
pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou
Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah
Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo
sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa
(orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou
Donggo Ele (orang Donggo Timur).

B. Letak
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan
dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10”
Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.
Bima merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa
Tenggara dengan nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada
yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat
antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan
Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima terusmenerus
melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli perdagangan VOC akhirnya
juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau memperbaharui perjanjiannya dengan
Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima, Tureli Nggampo;ketika Tambora merampas kapal
VOC pada 1675 maka Raja Tambora, Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan
menyerahkan keris-keris pusakanya kepada Holsteijn.
Silsilah Raja
1. ± 1620—1640 Abdul Kahir
2. 1640—1682 I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin
3. 1682—1687 Nuruddin Abu Bakar All Syah
4. 1687—1696 Jamaluddin Ali Syah
5. 1696—1731 Hasanuddin Muhammad Syah
6. 1731—1748 Alauddin Muhammad Syah
7. 1748—1751 Kamalat Syah,
8. 1751—1773 Abdul Kadim Muhammad Syah,
9. 1773—1817 Abdul Hamid Muhammad Syah
10. 1817—1854 Ismail Muhammad Syah,
11. 1854—1868 Abdullah,
12. 1868—1881 Abdul Aziz,
13. 1881—1915 Ibrahim,
14. 1915—1951 Muhamad Salahuddin,

Kehidupan Budaya
1. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu
yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas
kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan busana
adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi
wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima
pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
2. Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten
bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama
wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian
mereka dengan menggunakan rimpu.
3. Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu
Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan
hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat.
Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid
yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh
diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa
Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima
Kehidupan Sosial
1. Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang
mendiami Bima adalah orang Donggo. Mereka mendiami daerah dataran tinggi.
Kepercayaan asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan
marafuyu. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama kristen dan
islam.
2. Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam dengan
sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu rumah mereka juga
berpindah-pindah (tidak tetap).
3. Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo (migran dari daerah
Makasar).

Kehidupan Ekonomi
Pada saat itu kerajaan Bima sangat berkembnag pesat disegi pertanian maupun perternakan
dan perikanan.Dibidang perternakan Kerajaan Biima tidak mau kalah dengan kerajaan
lain,Raja Indra Zamrud juga mengembnagkan bidang perternakan yaitu kuda,kerbau dan
sapi.Dalam kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar
pada 1356.

C. Masa Pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah Bergelar Manuru Daha


( 1731 – 1742 )

Mushaf La Lino peninggalan Masa Alauddin


Lahir pada tahun 1121 H atau tahun 1707 M, putra pertama dari Sultan Hasanuddin dengan
permaisurinya Karaeng Bissampole. Nama lengkapnya Alauddin Muhammad Syah. Pada
tanggal 17 Sya’ban 1140 H bersamaan dengan tanggal 5 April 1727 M menikah dengan
Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Dari pernikahan itu 
dikaruniai empat orang anak, terdiri dari seorang putra bernama Abdul Kadim (Sultan Bima
VII), dan tiga putri masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga (Kumala nama diri, Bumi
Partiga nama Jabatannya), Bumi Runggu (nama jabatannya) dan Siti Halimah.

Pada tanggal 2 Zulhijah 1145 H bertepatan dengan tanggal 9 Mei 1731, di tuha ro lanti
menjadi Sultan Bima VI oleh Majelis Hadat Kesultanan. Mulai saat itu sampai  mangkat pada
tahun 1742, memegang tampuk pemerintahan kesultanan.  Mangkat di Dusun Daha, Wilayah
Kesultanan Dompu ketika sedang meninjau keadaan wilayah dompu. Dimakamkan di Dusun
Daha, Karena itu diberi gelar “ Manuru Daha” (Yang mangkat di Daha).

Melanjutkan perjuangan Ayahandanya dengan menjalin hubungan politik ,ekonomi dan


perdagangan dengan Makassar. Meninggal di Daha Dompu sehingga diberi gelar Manuru
Daha. Upaya penyiaran agama Islam di wilayah taklukan Bima seperti di Manggarai dan
Sumba terus dilanjutkan. Kegiatan dakwah di daerah Donggo, terutama di Donggo Ipa
dilaksanakan dengan intensif. Sebagian masyarakat Donggo Ipa yang sebelumnya enggan
meninggalkan agama lama berbondong-bondong menerima agama islam. Adat lama yang
tidak sesuai dengan nilai norma Islam dilarang untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat harus mengembangkan adat (system budaya) yang Islami. Seni budaya yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam harus ditinggalkan. Dengan demikian diharapkan Adat
Mbojo akan melahirkan system sosial dan kebudayaan fisik yang islami, baik dari sisi
substansi maupun label atau simbol.Sultan Alauddin dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada
tahun 1742 M. Ia mangkat ketika sedang menjalankan tugas melakukan peninjauan di Dusun
Daha Wilayah Dompu. Jenazahnya dimakamkan di Dusun Daha, karena itu diberi gelar
“Manuru Daha”atau yang dikebumikan di Daha.
D. Masa Kesultanan Sultan Abdul Kadim Bergelar Ma Waa Taho ( 1742 – 1773 )

Makam Sultan Abdul Kadim


Putra  dari Sultan Alauddin, lahir di Bima pada tanggal 18 Muharam 1149 H (tahun 1729 M).
mempunyai tiga saudara perempuan, masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga, Bumi
Runggu dan Siti Halimah. Setelah menikah dianugerahi empat orang anak, yaitu Abdul
Hamid, Daeng Mataya, Daeng Pabeta (La Mangga) dan Ina Madu Rato Wa’i (perempuan).
Hal yang menarik juga adalah program Jumat Khusyu yang saat ini gencar dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Bima maupun kota Bima melalui Piagam Mbojo yang dicanangkan
sejak tahun 2002, sebenarnya sudah lama diterapkan di wilayah kekuasaan kesultanan Bima.
Sultan Bima VI Abdul Kadim telah membuat larangan beraktifitas pada hari Jumat, hingga
kepada kapal-kapal yang berlayar meninggalkan tanah Bima. “ bahwa apabila ia berjalan
pada malam hari hendaklah membawa api penerangan dan bila berjalan di tengah hari
jumat,waktu bersembahyang jumat, maka apabila ditangkap atau dibunuh oleh kawal,
tiadalah dapat disesalkan kepada penguasa dan negeri Bima. Demikian pula jika ia berkelahi
di dalam negeri atau pasar, jangankah sudah dihunus senjatanya, belum dihunuspun ia akan
disita senjatanya oleh hukum dan didenda cukup berat, yaitu sepuluh tahlil muslim besar,
karena ia membuat ketakutan pada orang-orang perempuan dalam negeri atau dalam pasar “
(Siti Maryam R.Salahuddin, Undang-undang Bandar Bima Hal :  88 )

Larangan itu terus berlangsung hingga di periode akhir kesultanan Bima. Pada hari jumat
seluruh aktifitas dihentikan, termasuk pelayaran. Ancamannya cukup berat yaitu didenda
cukup berat dan bahkan dibunuh jika melakukan perkelahian dan berbuat onar di pasar-pasar
pada hari Jumat. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kekhusyukan ibadah pada hari jumat.
Hal itulah mungkin yang masih dipegang teguh oleh para tukang-tukang dan kuli bangunan
hingga saat ini. Mereka enggan untuk bekerja  dan menerima tawaran kerja pada hari jumat.
Alasannya adalah menghormati hari juma’t.Setelah memegang tampuk pimpinan lebih
kurang 30 tahun, tepatnya 1773 M, Sultan Abdul Kadim kembali ke alam baqa menghadap
yang maha Kuasa dan dimakamkan di pemakaman keluarga istana di halaman masjid Istana.
Sesuai dengan budi pekerti serta sikap dan perilaku semasa hidupnya yang dikenal sebagai
sosok pemimpin yang baik dan sopan, maka oleh rakyat diberi gelar “ Ruma Ma Wa’a Taho”
(Sultan yang membawa kebaikan).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota
Bima dan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Suku ini menggunakan Bahasa Bima
atau Nggahi Mbojo. Menurut sejarahnya-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap
daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa
Lima yang bernama Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan
oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama.
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan
dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10”
Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.
Lahir pada tahun 1121 H atau tahun 1707 M, putra pertama dari Sultan Hasanuddin
dengan permaisurinya Karaeng Bissampole. Nama lengkapnya Alauddin Muhammad Syah.
Pada tanggal 17 Sya’ban 1140 H bersamaan dengan tanggal 5 April 1727 M menikah dengan
Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi, puteri Sultan Makassar Sirajuddin. Dari pernikahan itu
dikaruniai empat orang anak, terdiri dari seorang putra bernama Abdul Kadim (Sultan Bima
VII), dan tiga putri masing-masing bernama Kumala Bumi Partiga (Kumala nama diri, Bumi
Partiga nama Jabatannya), Bumi Runggu (nama jabatannya) dan Siti Halimah.
Putra dari Sultan Alauddin, lahir di Bima pada tanggal 18 Muharam 1149 H (tahun
1729 M). mempunyai tiga saudara perempuan, masing-masing bernama Kumala Bumi
Partiga, Bumi Runggu dan Siti Halimah. Setelah menikah dianugerahi empat orang anak,
yaitu Abdul Hamid, Daeng Mataya, Daeng Pabeta (La Mangga) dan Ina Madu Rato Wa’i
(perempuan).

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

http://pulausumbawanews.net/index.php/2015/06/26/sejarah-bima/

http://www.mbojoklopedia.com/2016/03/kerajaan-bima-tercatat-kerajaan-tertua.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bima

https://kumparan.com/potongan-nostalgia/kesultanan-bima-pusat-penyebaran-islam-di-nusa-
tenggara

Anda mungkin juga menyukai