Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perjuangan Dana Mbojo”. Dalam penyusunan makalah ini kami telah berusaha semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput
dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi
walaupun demikian penulis berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah ini meskipun
tersusun sangat sederhana.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya. Kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat
membangun.

Nunggi, September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................................................
C. Tujuan ...........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerajaan Bima ................................................................................................
B. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kejayaan ..............................................................
C. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran ........................................................
D. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima..................................................................
E. Tradisi Bima ................................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................................
B. Kritik Dan Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah kerajaan
maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang perniagaan dan politik. Pada saat
itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan Ma Wa’a Npada. Catatan Tome Pires,
seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun 1513 M Bima dipimpin oleh
seorng raja kafir yang memiliki banyak perahu, bahan makanan dan kayu sopang yang
dibawanya ke Malaka untuk dijual ke Cina. Pada abad XVII M, Bima adalah pusat
penyiaran Islam di Nusantara bagian timur  bersama dengan Ternate dan Makassar. Akhir
abad XVII peran Bima menjadi lebih besar dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal
abad XVII M Belanda sudah berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan
kemudian pada tahun 1669 dapat melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan
yang disegani di Indonesia bagian timur.
Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil Khair Sirajudin
(sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682). Pemerintahan kesultanan Bima
berlangsung dari tahun 1640 sampai dengan 1950. Selama ribuan tahun kesultanan dapat
bertahan berikut dengan kemajuan-kemajuannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaima sejarah kerajaan bima ?
2. Bagaimana kerajaan mbojo bima mengalami kejayaan ?
3. Bagaima kerajaan mbojo bima mengalami kemunduran ?
4. Bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Bima ?
5. Bagaimana tradisi bima ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah kerajaan bima
2. Untuk mengetahui kerajaan mbojo bima mengalami kejayaan
3. Untuk mengetahui kerajaan mbojo bima mengalami kemunduran
4. Untuk mengetahui masuk dan berkembangnya Islam di Bima
5. Untuk mengetahui bagaimana tradisi bima
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Bima


Bima adalah kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan
kerajaan yang terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil
pada kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I Nusa
Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan bima
yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima. Kerajaan Bima merupakan
salah satu dianatara 6 kerajaan yang pernah ada di pulau Sumbawa yaitu Dompu,
Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak kapan dan bila mana kerajaan
Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang pasti. Dalam kitab Negara
kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M, disebutkan bahwa Taliwang,
Dompu, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam
wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli arkeologi dan sejarah
berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di pulau sumbawa ataukah sebagai
tempat singgah (pelabuhan) para pelaut yang kemudian di taklukkan oleh kerajaan
Majapahit.
Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber
tersebut menceritakan tentang  fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya
Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa
Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa
tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat
naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk
mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut
menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. Selain bahasa Melayu,
sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai
taraf bahasa tulis.
Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam
bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M.
Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau
Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara,
timur, dan tengah. Ncuhiterkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara.
Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima
diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama
ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang
pertama. Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam
bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara.
Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang
pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki
jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh
ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan
nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan
Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku. Pada masa kesultanan, suku Mbojo
membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat
istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku
Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis,
terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou
Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang
berbeda dengan dou Mbojo.Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki
Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung
Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar
Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan
yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kejayaan
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan
Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra
sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah
sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun
kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan
Ajar Panuli. Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para
pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah,
pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang
bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah
tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari
bo yang ditulis pada masa kesultanan. Selain berjasa dalam bidang sastra, Ajar Panuli
berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan
pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan
dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan
sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka. Ketika pemerintahan sangaji
Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit
terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi
perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Ma
Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan
dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman
kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga. Ma Wa’a Paju Longge pergi ke
Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia
mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke
Gowa. Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta
perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula
mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima. Setelah sangaji Ma Wa’a Paju Longge
mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda.
Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera,
maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa
dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo. Dengan penuh keikhlasan, Bilmana
menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang
jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri.
Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji.
Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat
dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu
keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana
menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara. Manggampo Donggo bersama Bilmana,
bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah. Sistim
pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan
Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat),
gelara (kepada desa). Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan
perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan
kerajaan Gowa.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah.
Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu
akhirnya menjadi aksara Mbojo. Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan
aksara Mbojo. Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah
masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni
budaya Makasar dan Bugis.Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas
dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan
wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana. Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus
bertahan sampai pada sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo
disekitar abad 16 M.
C. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran
Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai
redup dan akhirnya padam. Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan.
Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh
musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?. Timbulnya
petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut.
Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don
labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan
ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh
Jena Teke (putera mahkota) di padang perburuan mpori Wera. Walau demikian Salisi
tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat
mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu
waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam
diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan
Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang).
Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake. Saat yang
dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk
membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah diangkat oleh Majelis
Hadat sebagai Jena Teke. Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i
bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan
Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah
hutan belantara. Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai
istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus
menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan. Akibat ulah Salisi,
akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin.
Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama
dengan Belanda.
D. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima
Para ahli sepakat bahwa masuknya islam atau kedatangan islam di indonesia
berawal dari kontak antara penduduk setempat dengan orang-orang islam melalui
perdagangan, kemudian ada di antara mereka yang bermukim atau sudah ada penduduk
setempat yang memeluk agama islam meskipun jumlahnya kecil. Berkembangnya Islam
atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu tempat atau dari satu tempat ke tempat
yang lain melalui da’wah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan
sehingga terbentuk masyarakat yang bercorak Islam. Konsep-konsep semacam itu
semestinya dibedakan meskipun dalam banyak hal sulit ditarik batas yang tegas. Para
penulis sejarah barat dan indonesia berpendapat bahwa agama islam masuk ke indonesia
dibawa oleh orang arab sendiri. Prof Snouck Horgronye berpendapat bahwa agama islam
masuk ke Indonesia dari India, dibawa pedagang-pedagang India yang telah memeluk
agama Islam pada waktu itu. Menjelang masa disintegrasi Kerajaan Majapahit tumbuh
bandar perdagangan seperti Gresik, Tuban dan Sedayu. Negeri tersebut selain menjadi
pusat perdagangan juga menjadi penyiaran agama Islam di Jawa dan daerah-daerah
sekitarnya. Bahkan jauh sebelum masa disintegrasi mubaliq Islam bernama Malik
Ibrahim bersama temannya Muhammad Sadik langsung datang ke istana majapahit untuk
mengajak Raja Majapahit memeluk agama Islam, tetapi ajakannya di tolak. Malik
Ibrahim yang dikenal juga dengan nama Maulana Magribi kembali ke Gresik. Disana ia
meninggal pada 12 Rabiul-awal 822 H.
Pada masa selanjutnya penyiaran agama islam di pulau Jawa dilakukan oleh 9
orang wali atau sebutannya wali songo yakni:
1.  Malik Ibrahim atau di Gresik             6. Sunan Kali Jogo di Adilangu dekat demak
2.  Sunan Ampel di Surabaya                  7. Sunan Kudus di Kudus
3.  Sunan Bonang di Tuban                     8. Sunan Murio di gunung Murio
4.  Sunan Drajat di Sedayu                      9. Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat
5.  Sunan Giri di Gresik
Sunan Giri menjadi anak angkat seorang wanita terkaya di Surabaya. Ia belajar
agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian mendirikan keraton dan masjid di bukti Giri
dekat Gresik. Maka tidak mengejutkan bila kota Gresik selain menjadi pusat perdagangan
juga menjadi pusat penyiaran dan pengembangan agama Islam. Para pedagang Gresik
khususnya sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam sebagai pembawa misi
Sunan Prapen anak Sunan Giri. Dr.E.Utrech dalam bukunya Sejarah Hukum
Internasional di Bali dan Lombok menulis:
“Menurut Babad Tanah Lombok maka peng-islam-an pulau Lombok terjadi
dibawah pemerintahan Sunan Prapen, putera Susuhunan Ratu Giri yang pernah
menaklukan kerajaan-kerajaan Sumbawa dan Bima”
Mungkin bersumber dari Babad Tanah Lombok tersebut atau ada sumber lain
sehingga Zollinger berkesimpulan bahwa agama Islam masuk di Kerajaan Bima sejak
tahun 1450 atau 1540.
E. Tradisi Bima
Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu wilayah, terdapat corak dan
warna serta cara berpakaian yang agak berbeda. Adalah pakaian Adat Donggo dan
Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana dengan masyarakat Bima pada
umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba
hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut sangat
melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama terutama ritual
kematian.
Busana adat masyarakat Donggo dan Sambori di kabupaten Bima memang
berbeda dengan busana atau pakaian adat masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu
ciri yang menonjol adalah corak dan warna pakaiannya yang serba hitam dan
menggunakan Sambolo(Sejenis Penutup Kepala yang terbuat dari kain kapas dan
biasanya bercorak kotak-kotak). Sejak dulu, masyarakat Donggo yang bermukim di
sebelah barat teluk Bima memang punya tata cara dan pengaturan busana yang sangat
apik. Pakaian anak-anak, remaja dan dewasa memang dibedakan. Meskipun warna dasar
busana mereka adalah hitam. Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU yang
terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju adapt Bima
yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana panjang sampai di
bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang. Untuk remaja
perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun dalam cara memaki
perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan berkali-kali dan dibiarkan terjuntar dari
leher ke dada. Untuk kaum pria, mereka mengenakan baju Mbolo Wo’o atau baju leher
bundar dan berwarna hitam seperti baju kaos. Dibawahnya mereka mengenakan sarung
yang disebut Tembe Me’e Donggo yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan
bergaris-garis putih. Lalu dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang
berwarna merah atau kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau
atau keris atau parang. Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil)
yang behulu panjang dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka
menggunakan Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam tradisi
masyarakat Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan pakaian
sehari-hari. Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di bawahnya.
Namun mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi sebagai ikat
pinggang juga.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bima adalah kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan
kerajaan yang terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil
pada kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I Nusa
Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan bima
yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima.
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan
Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat.
B. Kritik Dan Saran
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, mungkin banyak
kesalahan, seperti pembahasan yang kurang lengkap, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang mendukung agar penulisan makalah untuk kedepan lebih baik dan
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
http://sejarah242.blogspot.com/2017/08/sejarah-kerajaan-dana-mbojo-di-bima.html

Anda mungkin juga menyukai