Anda di halaman 1dari 11

KD 3.3.

1
Studi Pustaka
1. Bacalah kisah tokoh di bawah ini dengan cermat
2. Berdiskusilah bersama teman sekelompok, hendaknya kamu berbicara secara sopan, dan
saling menghargai
3. Tuliskan kegiatan yang dapat diteladani dalam isi teks kisah/biografi tokoh Daeng
Pamatte’ pencipta aksara lontara yang telah dibaca

DAENG PAMATTE’
PENCIPTA AKSARA LONTARA

Daeng Pamatte’ lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh
sejarah Kerajaan Gowa, kerajaan suku Makassar, yang tidak dapat dilupakan karena karya
besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng
Pamatte’, orang lantas mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta
huruf Lontara Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.
Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna,
tersebutlah Daeng Pamatte’ sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak
heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam
pemerintahan yaitu sebagai “sabannara” (syahbandar) merangkap “Tumailalang” (Menteri
Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan
pemerintahan Gowa.
Lahirnya Aksara Lontara lahirnya karya bersejarah yang dibuat “Daeng Pamatte” bermula
karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal
ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah
kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat
dicatat secara tertulis. Maka Daeng Pamatte’ pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya.
Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan
Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau
Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang
mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta.
Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte’ ini, mengalami perkembangan dan perubahan
secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi
bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni
“ha” sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan
1984 : 11).
Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat
Jenis aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-
Jangang atau Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari
berbagai gaya, seperti burung yang sedang terbang dengan huruf “Ka” burung hendak turun ke
tanah dengan huruf “Nga”, bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf
“Nga”. Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya.
Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk
huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi
makna huruf “ka” angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna “Ga” angka tujuh
dengan titik diatas diberi makna “Nga”, juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf.
Aksara Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara
Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa
XIV Sultan Alauddin (1593-1639).
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan
mengambil bentuk huruf dari belah ketupat. Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara
Makassar itu menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara
yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu
dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab
tersebut, huruf “Ha”.
Dalam versi lain, Mattulada berpendapat bahwa justru Daeng Pamatte’ jugalah yang
menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya
sekarang. Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk
keperluan bahasa Bugis ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga
menjadi menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara
Lontara Bugis- Makassar.

Nama Tokoh : DAENG PAMATTE

Transliterasi dan Translasi dalam bahasa dan


Kegitan yang dapat diteladani sesuai aksara daerah(Bugis/Makassar/
teks Toraja)
1.
2.
3.
4.
5.
dst.
KD 3.3.3

Studi Pustaka
1. Bacalah biografi tokoh di bawah ini dengan cermat!
2. Berdiskusilah bersama teman sekelompok, hendaknya kamu berbicara secara sopan, dan
saling menghargai!
3. Tuliskan kegiatan yang dapat diteladani dalam isi teks kisah/biografi tokoh Kisah
Perjalanan Datuk Ribandang di Selayar dan Gowa yang telah dibaca, dan bacakan di
depan kelompok lain!
(Lihat LK-11)
KISAH PERJALANAN DATUK RIBANDANG
DI SELAYAR DAN GOWA
Proses Islamisasi di Sulawesi, khususnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara tidak bisa
dipisahkan dengan peranan Trio Minangkabau yang datang ke daerah ini sekitar abad ke-XVI
– XVII. Meski, ada beberapa versi yang melukiskan proses perjalanan dakwah para penyiar
teladan itu, tetapi, konon ketiganya berpisah tujuan,tatkala, mufakat ketiganya tak bisa
diambil lantaran berbada dalam hal ”materi apa yang seharusnya diprioritaskan” untuk
diajarkan kepada objek dakwah mereka.
Datok Patimang (wafat di Patimang Luwu) dan Datok Ri Tiro memilih ajaran syariat
sebagai prioritas dakwah. Sementara Datok Ri Bandang yang wilayah dakwahnya meliputi
daerah Makassar dan sekitarnya memilih tasawuf (mistik). Akibatnya, sampai sekarang peta
Islamisasi masih dapat kita kenali berdasarkan “tradisi ajaran” yang dianut penduduk
Sulawesi Selatan. Daerah-daerah Bugis, di mana Datok Patimang dan Datok Tiro
melancarkan dakwahnya mewariskan tradisi syariah yang dominan, sementara di daerah
Makassar, tempat Datok Ri Bandang, penuh warna mistik dengan varian terikat yang sangat
subur.
Sejauh mana para Datok itu mengembangkan dakwahnya, berikut ini kita muat sebuah
kisah menarik Datok Ri Bandang. Dalam perjalanan dakwah yang panjang mulai dari Buton,
Selayar, Tallo dan Gowa. Meski, mungkin ada data yang kurang faktual dan sepanjang
pemakaian metode hauristik, sudah tidak dijamin lagi kebenarannya, tetapi, siapa tahu,
suntingan ini ada juga manfaatnya. Minimal sebuah informasi dari sisi lain tentang proses
Islamisasi yang dibawakan seorang tokoh yang sudah demikian akrab dengan tradisi Islam di
daerah Makassar.
Inilah kitab yang meriwayatkan kehadiran Datok Ri Bandang, di tengah-tengah
masyarakat Gantarang. Sebuah kota di abad ke-XVI yang menjadi pusat niaga di Selayar.
Penduduknya hidup makmur dengan kebutuhan hidup memadai. Iklim monarchi tetapi
konstitusional hidup subur dalam pola tradisi Gantarang yang kukuh dan berdaulat. Waktu itu,
Gantarang diperintah seorang Raja, dengan kharisma yang tinggi. Pada suatu hari, di
pinggiran laut dalam wilayah kerajaan Gantarang. Kelihatan seorang nelayan bernama Fusu
sedang menjala ikan. Bercampur kaget ia didatangi seorang asing dan sama sekali tak dikenal.
Orang asing itu adalah salah seorang dari penyiar Islam asal Minagkabau. Ia adalah Datok Ri
Bandang.
Pertemuan Datok Ri Bandang dengan Fusu dilepas pantai Selayar, merupakan kontak
pertama Datok kepada penghuni Selayar. Apa kata sang Datok kepada Fusu? Sucikanlah
ikanmu (sarattui) lalu naikkan ke perahu. Setelah semuanya dilakukan Fusu dengan tertib,
Datok mengungkapkan keinginannya untuk memasukkan Fusu ke dalam Islam. “Aku
kepingin sekali memasukkan kau ke dalam Islam, di dalam Raja Gantarang” kata Datok.
Tetapi, ternyata sebelum sampai ke istana Raja di Gantarang, nelayan Fusu dalam waktu
singkat telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tatkala mereka tiba ataupun dalam
perjalanan menuju istana Raja, lelaki Fusu, lebih dulu diislamkan lagi dengan jalan memotong
secuil kulit alat kelamin (disunnat) dengan pisau lipat. Konon, inilah pengkhitanan pertama di
Selayar yang dimulai abad ke-XVI.
Perjalanan panjang lewat perahu anatara Datok dan Fusu tidak mengalami rintangan.
Mereka menuju ke Babaere. Di Babaere keduanya menuju istana Raja di Gantarang. Dalam
perjalanan itu, mereka membawa tempat tidur, makanan sebagai perbekalan dan juga seekor
ayam. Di sebuah tempat di Gantarang, di pinggiran kampung, keduanya mendirikan rumah.
Dari sana, Datok didampingi Fusu menuju istana Raja. Datok Ri Bandang, menurut riwayat,
naik lewat tangga ke rumah Raja Gantarang setelah seisi rumah itu dibersihkan (disarattui).
Tidak lama setelah Raja dan Datok Ri Bandang duduk berhadap-hadapan di atas rumah, di
ruangan tamu yang khusus, Raja Gantarang mengajukan pertanyaan kepada tamunya.
Pertanyaan menyangkut identitas tamu, nama asal kedatangan dan tujuan utama mengunjungi
Selayar hingga sampai ke pusat kota Gantarang.
“Saya datang kemari, kata Datok kemudian menjawab pertanyaan Raja, atas perintah
Raja dari Mekah bersama khalifahnya, tiada lain untuk memasukkan Anda dalam keluarga
besar agama Islam. Saya datang dari Minangkabau.”
Permintaan Datok, agar Raja masuk ke dalam Islam, tidak sepenuhnya diterima, Raja ini
melontarkan kecemasannya, karena, siapa tahu Raja Gowa akan memarahinya dengan pilihan
itu. Tapi, penjelasan Datok ternyata meluluhkan penolakan sang Raja Gantarang. Kabarnya,
Raja ini mengucapkan dua kalimat syahadat saat itu juga dan sebuah pisau lipat Datok
mengakhiri pengislaman itu. Akhirnya Raja Gantarang masuk Islam dan berhasil dikhitan.
Selesai pengislaman Raja, Datok berangkat ke Gowa. Sebelumnya ia mampir di Tallo-
sebuah kerajaan yang bediri di pinggiran pantai Tanah Mangkasarak yang megah. Setiap
Datok akan dipersilahkan naik ke rumah panggung, ia selalu menolak sebelum rumah itu
dibersihkan. Ini adalah sebuah formalitas, betapa kehadiran Datok membawa misi
pembersihan spiritual yang bersifat universal. Permintaan disarattui setiap tempat yang akan
dikunjunginya, punya arti simbolik, dan ini merupakan landasan betapa Isalamisasi di daerah
ini diawali proses pembersihan fisik secara terus-menerus.
Permintaan Datok kepada Raja Tallo, tidak langsung diterima, kekhawatirannya sama
dengan Raja Gowa. Akan tetapi, penjelasan Datok memudahkan Raja Tallo menerima agama
Islam. Namun tidak lama setelah pengislaman itu berlangsung seorang Panglima kebanggaan
Tallo I Lambo, datang dengan wajah menantang. Dengan kata-kata yang agak kasar, I Lambo
menghina Datok: ”Macam engkaukah yang ingin memusnahkan adat kami, lalu engkau
menjalankan keinginanmu, memperatas namakan perintah Allah Ta’ala?”
Dengan tenang, bahkan sangat tenang, Datok yang arif ini melayani kekasaran I Lambo.
Sejenak ia kelihatan tak beraksi. Wajahnya ditekukkan ke bawah, matanya dipicingkan, ia
berkonsentrasi. Barangkali, sementara munajat minta petujnuk kepada Tuhan. Ketika kedua
matanya terbuka, Datok bangkit pelan-pelan dari tempat duduknya, ia mengambilwudhu.
Aneh, bahwa hanya dengan peristiwa tanpa bicara itu, kekasaran I Lambo jadi pudar. Hatinya
luluh melihat wajah Datok yang demikian bersih, penuh pesona dan sangat menakjubkan.
Akhirinya, I Lambo berkata: “Jelaslah Allah Ta’ala, Muhammad, berkat kebesaran Allah
Ta’ala.” Bagai kena hipnotis, I Lambo segalanya luruh dalam pengakuan di hadapan Datok.
Dengan tidak bereaksi sama sekali, menurut saja I Lambo, ketika pisau lipat Datok
digerakkan di kepala kelamin I Lambo,dipotong dan darah muncrat keluar. I Lambo pun
resmi menjadi Islam.
Adalah I Lambo pula yang bersedia menjadi duta khusus Datok menemui Raja Gowa.
Permintaan serupa juga diajukan kepada Raja. Tetapi, seperti To Barania Raja Tallo, I
Mangganna, menampik dengan kertas, sambil mengeluarkan badik pusakanya I Janasana.
Dengan sekali gebrak, badik I Mangganna, ditikamkan ke lantai papan yang tebal, dan hanya
sekali gebrak, papan tebal itu tembus dan badik Janasana tetap utuh. Inilah keajaiban dan
keistimewaan Panglima I Mangganna.
Demonstrasi badik I Mangganna, tentu, dimaksudkan untuk menakut-nakuti Datok Ri
Bandang dan I Lambo. Apa kata I Mangganna: “Paling kebalnya Datok Ri Bandang sama saja
dengan lantai ini”. Sebelum Datok menjawab, I Lambo sendiri yang memberikan tanggapan:
“Belum lagi Datok yang akan membunuhmu (hai I Mangganna), sedang saya saja engkau tak
mampu menahanku”. Dalam suasana yang tegang itu, Raja Gowa bagai diberi isyarat,
langsung menadahkan tangan. Ia menyuruh I Lambo agar Datok menerima mereka dalam
Islam, sekaligus mengkhitan Raja Gowa dan I Mangganna. Tetapi, menurut kitab ini, Raja
Gowa tidak jadi dikhitan oleh Datok, karena secara misteri,alat kelamin Raja Gowa sudah
terpotong tanpa noda darah. Konon, tatkala ditanya siapa yang mengkhitan Raja Gowa, ia
Cuma menggeleng heran. “Tak kuketahui siapa sebenarnya yang mengkhitan saya”,
Menurut penjelasan Datok, adalah Nabi Muhammad yang mengkhitan Raja Gowa.

Nama Tokoh : KISAH PERJALANAN DATUK RIBANDANG


DI SELAYAR DAN GOWA
Transliterasi dan Translasi dalam bahasa dan
Kegitan yang dapat diteladani sesuai aksara daerah(Bugis/Makassar/
teks Toraja)
1.
2.
3.
4.
5.
dst.

KD 3.3.4
Studi Pustaka
1. Bacalah biografi tokoh di bawah ini dengan cermat!
2. Berdiskusilah bersama teman sekelompok, hendaknya kamu berbicara secara sopan, dan
saling menghargai!
3. Tuliskan kegiatan yang dapat diteladani dalam isi teks kisah/biografi tokoh Colliq Pujie
yang telah dibaca

COLLIQ PUJIE PEREMPUAN CERDAS,


UNIK DAN PERKASA DARI BUGIS

Colliq Pujie adalah pengarang dan intelektual perempuan yang lahir pada abad 19 di
Sulawesi Selatan. Salah satu ikon yang sangat terkait erat dengan Arung Pancana ini adalah
karya sastra La Galigo. Entah apa yang ada di benak Colliq Pujie ketika dia menyetujui
permintaan B.F. Matthes, seorang missionaris Belanda, untuk menyalin kembali epos besar
Bugis La Galigo tersebut. Nyatanya, salinan ulang tersebut lebih dari seratus tahun kemudian
masih terus mencengangkan dunia. Tidak hanya panjang epos yang melebihi Mahabharata ini
yang dikulik ahli dari beberapa negara. Colliq Pujie-pun menjadi subjek perbincangan dan
penelitian.
Colliq Pujie dari sisi yang paling luar. Namun dengan kerendahan hati, sebagai
perempuan, dikatakan sebagai sisi kuat dan unik dari penyalin naskah terpanjang di dunia ini.
Paling tidak, ada tiga hal yang menjadi kekuatan/keunikan Colliq Pujie yaitu bakat dan
kemampuan yang dimiliki, warisan dunia La Galigo yang ditulis ulang oleh Arung Pancana ini,
serta perpaduan sosoknya antara penggerak perjuangan fisik dan pemikir ulung.
Colliq Pujie memiliki banyak kemampuan. Kecerdasan emosional dalam memilah persoalan dan
mengambil keputusan misalnya, begitu nampak saat cucu Syahbandar terkaya di Sulawesi
Selatan tersebut bisa menyikapi “si kulit putih” (Tau Pute) pada saat yang tepat. Sikapnya tegas
dan menunjukkan perlawanan ketika dia melihat Belanda sebagai pihak yang dengan berbagai
cara menguasai masyarakat, adat dan tanah Bugis. Namun, dia juga menunjukkan sikap positif
saat dia menyetujui permintaan B.F. Matthes, seorang misionaris Belanda, untuk menyalin
kembali dengan tulisan tangan naskah La Galigo yang tersebar di banyak lontara.
Hanya Colliq Pujie yang mengetahui persis alasannya mau melakukan tindakan tersebut.
Namun pilihan untuk menyalin dan menjadikan epos Bugis tersebut menjadi 12 jilid untuk
kemudian dibawa Matthes ke Belanda terbukti strategis. Paling tidak ada bagian La Galigo yang
tetap utuh, tercatat dan menjadi bahan kajian serta dinikmati berbagai bangsa di dunia. Hanya
dengan pertimbangan cerdas dan kematangan emosionallah yang membuat seseorang mampu
melakukan hal rumit tersebut selama bertahun-tahun.
Colliq Pujie adalah seorang sastrawan, sejarahwan sekaligus ilmuwan. Nurhayati Rahman
menegaskan hal ini. Kemampuan menyalin kembali dan mengedit La Galigo tentunya tidak bisa
dilakukan sembarang orang. Hanya mereka yang betul-betul ahlilah yang bisa melakukannya.
Dalam hal ini, Colliq Pujie telah memperlihatkan diri sebagai perempuan cerdas yang
mengetahui secara baik dan mendalam sastra dan budaya Bugis. Selain itu, dia telah menulis
karya-karya seperti La Toa, yang menurut Nurhayati merupakan kredo politik Colliq Pujie.
Menyadur karya sastra bernilai tinggi baik yang berasal dari Bugis maupun bangsa lain seperti
Melayu dan Persia juga dilakukan cucu saudagar ternama ini (2008: 115).
Sebagai sejarahwan, pengetahuan dan pemahamannya dibuktikan saat perempuan beranak
tiga ini misalnya menuliskan sejarah Kerajaan Tanete. Kecerdasan Arung Pancana Toa juga
menghantarkannya menciptakan huruf bilang-bilang yang kemudian dijadikannya alat
komunikasi rahasia dengan para pengikut dan sekutunya dalam upayanya menentang
pendudukan Belanda di tanah Bugis. Khusus huruf bilang-bilang, Nurhayati berargumen bahwa
surat menggunakan huruf rahasia inilah yang membuat pengikuti dan sekutunya melakukan
beberapa perlawanan terhadap Belanda, terutama di Segeri dan Tanete (Rahman, 2008: 1). Bisa
dihitung jari berapa gelintir orang di dunia ini yang mampu mencipta huruf, salah satunya adalah
Colliq Pujie.
Masih banyak lagi kemampuan lain yang telah diperlihatkan Colliq Pujie seperti
penguasaan administrasi dan keuangan pemerintahan (berdasarkan pengalaman di Kerajaan
Tanete) serta kepemimpinan (menjadi Ratu di Pancana dan Lamuru). Hal lain lagi yang bisa
disebutkan adalah kemampuannya menguasai bahasa (Melayu, Bugis, Makassar dan Arab).
Sudah barang tentu masih banyak lagi bakat dan kemampuan yang telah ditunjukkan oleh
perempuan yang bernama Melayu Retna Kencana ini.
Colliq Pujie Meninggalkan sebuah warisan bagi dunia
Hal ini kelihatannya yang paling banyak disorot dari seorang Colliq Pujie. Kemampuannya
menyalin kembali sekaligus mengedit 12 jilid La Galigo telah menjadikannya sebagai intelektual
dan sastrawan yang menjadikan epos Bugis tersebut bisa dibaca dan dipelajari siapa saja.
Perempuan ini mampu menjadikan La Galigo tidak lagi hanya menjadi milik orang Bugis semata
atau bangsa Indonesia saja, tapi menjadi milik dunia. Jika dulu bangsa-bangsa Eropa datang dan
menduduki tanah Bugis, maka dengan La Galigo, Bugis-lah yang “menguasai dunia” dengan
caranya sendiri.
Selain itu, warisan sastra tersebut tidak hanya melintasi ruang, tapi juga waktu. Berbagai
negara sekarang ini misalnya telah menikmati pertunjukan teatrikal La Galigo, padahal sang
penulis ulang dan editornya telah terbaring tenang di alam keabadian lebih dari satu abad yang
lalu di Tucae. Melalui banyak kajian tentang naskah tersebut ditambah dengan beberapa
pertunjukan di berbagai negara, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa La Galigo telah
menjadi salah satu pengharum nama Indonesia di tingkat internasional. Tentunya, semua ini
tidak akan terjadi tanpa campur tangan dan keputusan Colliq Pujie untuk mau menuliskan ulang
dan mengedit La Galigo lebih dari seratus tahun lalu.
Perpaduan dua hal: penggerak perjuangan fisik dan pemikir ulung Indonesia memiliki
beberapa pahlawan nasional perempuan. Salah satunya Tjoet Nyak Dhien (1848-1908) yang
secara berani memporakporandakan Belanda dalam Perang Aceh. Perempuan ini maju
memimpin pertempuran. Kita juga memiliki RA Kartini (1879-1904) yang bersemangat
membebaskan diri dari belenggu keterkungkungan perempuan Jawa di masanya dengan
melakukan pembebasan pikiran yang tertuang melalui surat-suratnya. Namun, entah di sengaja
atau tidak, ada dua sisi yang ingin ditonjolkan secara terpisah di sini tentang sosok perempuan
sebagai pahlawan di Indonesia. Bisa jadi mereka dipandang luar biasa karena berjuang secara
fisik atau karena dianggap sebagai pemikir yang melahirkan sesuatu yang luar biasa. Tetapi, saat
mengenal, walaupun masih sangat awal, Colliq Pujie, yang lahir lebih dahulu dari kedua tokoh
tersebut, ada nuansa berbeda ditemui.
Di tanah Bugis, Colliq Pujie menjadi salah satu penentang kekuasaan Belanda. Anaknya
sendiripun yang menjadi perpanjangan tangan Belanda, tanpa kompromis ditentang oleh
perempuan pemberani ini. Oleh Nurhayati Rahman (2008), dia disebut sebagai aktor perlawanan
rakyat. Belanda begitu mengkhawatirkan kemampuan dan karisma Colliq Pujie dalam
mempengaruhi dan mengorganisir sekutu dan pengikutnya untuk melakukan perlawanan
sehingga diapun, karena alasan politis, dikucilkan oleh Belanda selama 10 tahun dengan
mendapat tunjangan seadanya. Inilah sisi lain Colliq Pujie.
Sisi kedua dari seorang Colliq Pujie adalah kemampuan intelektual dan emosionalnya
(seperti telah diuraikan di atas) yang dalam banyak hal terbukti luar biasa, baik dalam bidang
ilmu pemerintahan, sejarah, sastra maupun budaya. Karya-karyanya sampai saat ini masih
menjadi bukti nyata abadi akan kemampuannya tersebut.
Jadi, Colliq Pujie telah mampu memadukan dua kekuatan menjadi satu. Layaknya dua
sisi mata uang koin, dalam diri seorang Colliq Pujie, semangat juang Tjoet Nyak Dhien dan para
pejuang perempuan lain seakan bertemu dengan kekuatan intelektual Kartini, Dewi Sartika dan
lainnya. Keduanya tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Apa yang ditemui dalam diri Colliq
Pujie ini bisa menjadi satu cara pandang baru di Indonesia dalam melihat ketokohan dan
kepahlawanan perempuan.
Mengingat begitu banyaknya kekuatan dan keunikan yang dimiliki Colliq Pujie, layaklah
memang seperti yang disebut oleh beberapa ahli seperti Ian Caldwell, bahwa perempuan perkasa
ini adalah milik dunia. Jika dunia saja mengakui ketokohan Colliq Pujie, kenapa kita sebagai
bangsa Indonesia tidak?.

Nama Tokoh : COLLIQ PUJIE PEREMPUAN CERDAS,


UNIK DAN PERKASA DARI BUGIS

Transliterasi dan Translasi dalam bahasa dan


Kegitan yang dapat diteladani sesuai aksara daerah(Bugis/Makassar/
teks Toraja)
1.
2.
3.
4.
5.
dst.
KD 3.3.5
Studi Pustaka
1. Bacalah biografi tokoh di bawah ini dengan cermat!
2. Berdiskusilah bersama teman sekelompok, hendaknya kamu berbicara secara sopan, dan
saling menghargai!
3. Tuliskan kegiatan yang dapat diteladani dalam isi teks kisah/biografi tokoh Sultan
Daeng Raja yang telah dibaca
SULTAN DAENG RAJA
(Pejuang dari Gantarang)

J ong celebes punya duta pertemuan Sumpah Pemuda 28 oktober 1928. Dialah Karaeng
Gantarang. Namanya tercatat sebagai salah satu dari sedikit “Bunga Bangsa” yang men
gharumkan bumi pertiwi.
Tatkala usianya 20 Tahun, Karaeng Gantarang H.Andi Sultan Daeng Raja, belum
dipercaya memangku kehormatan yang dipegang ayahnya, Passari Petta Tanra Raja Gantarang
yang mulai sakit-sakitan. Sultan sebagai “anak patola”(putra Mahkota)semula dipersiapkan
menggantikan ayahnya, tapi masih muda yang menurut adat setempat belum diperbolehkan.
Andi Mappamadeng – bergelar Karaeng Cammoa – tampil sebagai penggantinya sebagai raja.
Namun belakangan, ketika Sultan Daeng Raja semakin dewasa, ia menyadari ada
kewenang-wenangan dalam pemerintahan Karaeng Cammoa. Ia tak ingin melihat kemanusiaan.
Jabatan Karaeng Cammoa hampir berakhir. Sultan tampil sebagai kandidat menggantikan
Karaeng Cammoa. Pada sidang Ade’ duappulo’ (adat duapulo) setuju “anak patola” dikukuh
sebagai Karaeng Gantarang.
Karaeng yang dikukuhkan Gubernur Celebes pada 29 September 1922, Dalam
menjalankan pemerintahan memperlihatkan kepemimpinan Arif. Malah ia mewariskan
sikap,citra, serta cita-cita ayahnya semasa menjadi raja.
Kepemimpinan Arif yang disertai pembangunan, justru memberinya kepercayaan lebih
dari penjajah. Malah ketika jepang datang, Karaeng dilantik sebagai Bungken
Kangrikang(sederajat kepala pemerintahan Negeri). Pada saat itu, ia tetap memegang
kepercayaan rakyat Gantarang sebagai Karaeng.
Kepercayaan diberikan penjajah termasuk masa belanda tak memberinya rasa bangga
dan larut kekuasaan. Karaeng justru menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Ia pun
buktinya sebagainya salah satu putra terbaik nusantara ketika mengikuti pertemuan para pemuda
Batavia yang kemudian dikenal Sumpah Pemuda.
Era Jepang, Karaeng menyiati kerjasama. Padahal, ia menghimpun pemuda dalam wadah
persatuan pergerakan nasional Indonesia (PPNI) yang dipimpin A Panamon dan H. Abd. Karim.
Tugas organisasi , menghimpun massa yang setiap saat dapat digerakkan. Mengaktifkan kembali
tenaga Heio dan Zeinendan, juga mengadakan hubungan dengan ormas lain.
Jepang yang kehilangan daya ketika bom atom jatuh di Hirosima dan Nagasaki, dijadikan
momen oleh Karaeng. ia melucuti senjata tentara Jepang dan mengambil alih tampuk
pemerintahan serta mengkoordinir pengembalian tawanan perang Jepang.
Karaeng angkat senjata tatkala Belanda datang lagi dengan membonceng Tentara sekutu.
Karaeng menolak kehadiran NICA. Ia pun ke pedesaan menghimpun massa. Juga ia memberi
penyuluhan tentang makna Kemerdekaan.
Penolakan terhadap Belanda ikut ia tellorkan pada kesepakatan para raja pada 1
Desember 1945 di Bantaeng yang di hadiri antara lain, Andi Mappanyukki ( Raja Bone), Andi
Jemma (Luwu), Andi Mangkona (Wajo), Andi Wana (Datu Soppeng), Andi Cibu (A’datuang
Sidrap), Andi Mappatoba (Arung Bulo-bulo Timur), Andi Muri (Arung Bulo-bulo Barat ) dan
Karaeng Kajang. Kesepakatan itu pula yang yang menetapkan untuk bergabung pada Republik
Indonesia.
Putusan musyawarah, yang diikuti Karaeng, membuat Belanda naik pitam. Karaeng
Gantarang ditangkap pada 2 Desember 1945. Karaeng dijatuhi hukuman pengasingan ke
Manado. Saat kembali di Celebes, ia menjabat di Parlemen NIT. Kemudian diangkat menjaadi
Kepala Tinggi Pemerintah Wilayah Sulsel di Bantaeng pada 15 Mei 1950. Hanya, Ia mundur
setelah satu setengah bulan menjabat yang selanjutnya digantikan putranya, Andi Sappewali.
Karaeng Gantarang- Andi Sultan Daeng Raja, lahir pada 20 Mei 1894. Ibunya bernama
Andi Ninnong. Sebagai putra bangsawan, ia sekolah Belanda. Tiga tahun OSIVA (Opleiding
School Voor Inladech Amternaar) – sederajat SLTA di Makassar tahun 1913.
Andi Sultan Daeng Raja sebagai juru tulis Hoofd Jaksa di Makassar. Karirnya meningkat
saat diperbantukan pada kantor kejaksaan di Makassar. Pada 7 Januari 1915 diangkat menjadi
Eurep Klerk pada Asisten Residen Bone di Pompapanua. Ia pun dipindahkan ke Sinjai sebagai
Klerk pada 13 Juni 1915. Tahun berikutnya, 12 Juli ia mendapat Hulppest Communis di Sinjai.
Pada 13 Desember 1916, Andi Sultan Daeng Raja diangkat menjadi Order Callectour Order of
Deling di Takalar.(Basri padulungi,1981).

Anda mungkin juga menyukai