Anda di halaman 1dari 10

KISAH PERJALANAN DATUK RIBANDANG

DI SELAYAR DAN GOWA

Proses Islamisasi di Sulawesi, khususnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara tidak bisa
dipisahkan dengan peranan Tiro Minangkabau yang datang ke daerah ini sekitar abad ke-XVI –
XVII. Meski, ada beberapa versi yang melukiskan proses perjalanan dakwah para penyiar teladan
itu, tetapi, konon ketiganya berpisah tujuan,tatkala, mufakat ketiganya tak bisa diambil lantaran
berbada dalam hal ”materi apa yang seharusnya diprioritaskan” untuk diajarkan kepada objek
dakwah mereka adalah, Datok Patimang ( wafat di Patimang Luwu ) dan Datok Ri Tiro memilih
ajaran syariat sebagai prioritas dakwah. Sementara Datok Ri Bandang yang wilayah dakwahnya
meliputi daerah Makassar dan sekitarnya memilih tasawuf (mistik). Akibatnya, sampai sekarang
peta Islamisasi masih dapat kita kenali berdasarkan “tradisi ajaran” yang dianut penduduk Sulawesi
Selatan. Daerah-daerah Bugis, di mana Datok Patimang dan Datok Tiro melancarkan dakwahnya
mewariskan tradisi syariah yang dominan, sementara di daerah Makassar, tempat Datok Ri
Bandang, penuh warna mistik dengan varian terikat yang sangat subur.
Sejauh mana para Datok itu mengembangkan dakwahnya, berikut ini kita muat sebuah kisah
menarik Datok Ri Bandang. Dalam perjalanan dakwah yang panjang mulai dari Buton, Selayar,
Tallo dan Gowa. Meski, mungkin ada data yang kurang faktual dan sepanjang pemakaian metode
hauristik, sudah tidak dijamin lagi kebenarannya, tetapi, siapa tahu, suntingan ini ada juga
manfaatnya. Minimal sebuah informasi dari sisi lain tentang proses Islamisasi yang dibawakan
seorang tokoh yang sudah demikian akrab dengan tradisi Islam di daerah Makassar.
Inilah kitab yang meriwayatkan kehadiran Datok Ri Bandang, di tengah-tengah masyarakat
Gantarang. Sebuah kota di abad ke-XVI yang menjadi pusat niaga di Selayar. Penduduknya hidup
makmur dengan kebutuhan hidup memadai. Iklim monarchi tetapi konstitusional hidup subur
dalam pola tradisi Gantarang yang kukuh dan berdaulat. Waktu itu, Gantarang diperintah seorang
Raja, dengan kharisma yang tinggi. Pada suatu hari, di pinggiran laut dalam wilayah kerajaan
Gantarang. Kelihatan seorang nelayan bernama Fusu sedang menjala ikan. Bercampur kaget ia
didatangi seorang asing dan sama sekali tak dikenal. Orang asing itu adalah salah seorang dari
penyiar Islam asal Minagkabau. Ia adalah Datok Ri Bandang.
Pertemuan Datok Ri Bandang dengan Fusu di lepas pantai Selayar, merupakan kontak pertama
Datok kepada penghuni Selayar. Apa kata sang Datok kepada Fusu? Sucikanlah ikanmu (sarattui)
lalu naikkan ke perahu. Setelah semuanya dilakukan Fusu dengan tertib, Datok mengungkapkan
keinginannya untuk memasukkan Fusu ke dalam Islam. “Aku kepingin sekali memasukkan kau ke
dalam Islam, di dalam Raja Gantarang” kata Datok. Tetapi, ternyata sebelum sampai ke istana Raja
di Gantarang, nelayan Fusu dalam waktu singkat telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tatkala
mereka tiba ataupun dalam perjalanan menuju istana Raja, lelaki Fusu, lebih dulu diislamkan lagi
dengan jalan memotong secuil kulit alat kelamin (disunnat) dengan pisau lipat. Konon, inilah
pengkhitanan pertama di Selayar yang dimulai abad ke-XVI.
Perjalanan panjang lewat perahu anatara Datok dan Fusu tidak mengalami rintangan. Mereka
menuju ke Babaere. Di Babaere keduanya menuju istana Raja di Gantarang. Dalam perjalanan itu,
mereka membawa tempat tidur, makanan sebagai perbekalan dan juga seekor ayam. Di sebuah
tempat di Gantarangt, di pinggiran kampung, keduanya mendirikan rumah. Dari sana, Datok
didampingi Fusu menuju istana Raja. Datok Ri Bandang, menurut riwayat, naik lewat tangga ke
rumah Raja Gantarang setelah seisi rumah itu dibersihkan (disarattui). Tidak lama setelah Raja dan
Datok Ri Bandang duduk berhadap-hadapan di atas rumah, di ruangan tamu yang khusus, Raja
Gantarang mengajukan pertanyaan kepada tamunya. Pertanyaan menyangkut identitas tamu, nama
asal kedatangan dan tujuan utama mengunjungi Selayar hingga sampai ke pusat kota Gantarang.
“Saya datang ke mari, kata Datok kemudian menjawab pertanyaan Raja, atas perintah Raja dari
Mekah bersama khalifahnya,tiada lain untuk memasukkan Anda dalam keluarga besar agama
Islam. Saya datang dari Minangkabau.”
Permintaan Datok, agar Raja masuk ke dalam Islam, tidak sepenuhnya diterima, Raja ini
melontarkan kecemasanny, karena, siapa tahu Raja Gowa akan memarahinya dengan pilihan itu.
Tapi, penjelasan Datok ternyata meluluhkan penolakan sang Raja Gantarang. Kabarnya, Raja ini,
mengucapkan dua kalimat syahadat saat itu juga dan sebuah pisau lipat Datok mengakhiri
pengislaman itu. Akhirnya Raja Gantarang masuk Islam dan berhasil dikhitan.
Selesai pengislaman Raja, Datok berangakt ke Gowa. Sebelumnya ia mampir di Tallo- sebuah
kerajaan yang bediri di pinggiran pantai Tanah Mangkasarak yang megah. Setiap Datok akan
dipersilahkan naik ke rumah panggung, ia selalu menolak sebelum rumah itu dibersihkan. Ini
adalah sebuah formalitas, betapa kehadiran Datok membawa misi pembesihan spiritual yang
bersifat universal. Permintaan disarattui setiap tempat yang akan dikunjunginya, punya arti
simbolik, dan ini merupakan landasan betapa Isalamisasi di daerah ini diawali proses pembersihan
fisik secara terus-menerus.
Permintaan Datok kepada Raja Tallo, tidak langsung diterima, kekhawatirannya sama dengan
Raja Gowa. Akan tetapi, penjelasan Datok memudahkan Raja Tallo menerima agama Islam.
Namun tidak lama setelah pengislaman itu berlangsung seorang Panglima kebanggaan Tallo I
Lambo, datang dengan wajah menantang. Dengan kata-kata yang agak kasar, I Lambo menghina
Datok: ”Macam engkaukah yang ingin memusnahkan adat kami, lalu engkau menjalankan
keinginanmu, memperatas namakan perintah Allah Ta’ala?”. Dengan tenang, bahkan sangat tenang,
Datok yang arif ini melayani kekasaran I Lambo. Sejenak ia kelihatan tak beraksi. Wajahnya
ditekukkan ke bawah, matanya dipicingkan, ia berkonsentrasi. Barangkali, sementara munajat
minta petujnuk kepada Tuhan. Ketika kedua matanya terbuka, Datok bangkit pelan-pelan dari
tempat duduknya, ia mengambilwudhu. Aneh, bahwa hanya dengan peristiwa tanpa bicara itu,
kekasaran I Lambo jadi pudar. Hatinya luluh melihat wajah Datok yang demikian bersih, penuh
pesona dan sangat menakjubkan. Akhirinya, I Lambo berkata: “Jelaslah Allah Ta’ala, Muhammad,
berkat kebesaran Allah Ta’ala.” Bagai kena hipnotis, I Lambo segalanya luruh dalam pengakuan di
hadapan Datok. Dengan tidak bereaksi sama sekali, menurut saja I Lambo, ketika pisau lipat Datok
digerakkan di kepala kelamin I Lambo,dipotong dan darah muncrat keluar. I Lambo pun resmi
menjadi Islam. I Lambo pula yang bersedia menjadi duta khusus Datok menemui Raja Gowa.
Permintaan serupa juga diajukan kepada Raja. Tetapi, seperti To Barania Raja Tallo, I Mangganna,
menampik dengan kertas, sambil mengeluarkan badik pusakanya I Janasana. Dengan sekali gebrak,
badik I Mangganna, ditikamkan ke lantai papan yang tebal, dan hanya sekali gebrak, papan tebal itu
tembus dan badik Janasana tetap utuh. Inilah keajaiban dan keistimewaan Panglima I Mangganna.
Demonstrasi badik I Mangganna, tentu, dimaksudkan untuk menakut-nakuti Datok Ri Bandang
dan I Lambo. Apa kata I Mangganna: “Paling kebalnya Datok Ri Bandang sama saja dengan lantai
ini”. Sebelum Datok menjawab, I Lambo sendiri yang memberikan tanggapan: “Belum lagi Datok
yang akan membunuhmu (hai I Mangganna), sedang saya saja engkau tak mampu menahanku”.
Dalam suasana yang tegang itu, Raja Gowa bagai diberi isyarat, langsung menadahkan tangan.Ia
menyuruh I Lambo agar Datok menerima mereka dalam Islam, sekaligus mengkhitan Raja Gowa
dan I Mangganna. Tetapi, menurut kitab ini, Raja Gowa tidak jadi dikhitan oleh Datok, karena
secara misteri,alat kelamin Raja Gowa sudah terpotong tanpa noda darah. Konon, tatkala ditanya
siapa yang mengkhitan Raja Gowa, ia Cuma menggeleng heran. “Tak kuketahui siapa sebenarnya
yang mengkhitan saya”,
Menurut penjelasan Datok, adalah Nabi Muhammad yang mengkhitan Raja Gowa.
LA PAGALA
(NENE MALLOMO)

Tersebutlah dalam LONTARAQ bahwa menjelang masuknya islam sampai dengan sesudah
masuknya islam di Sidenreng Rappang ada seorang cendikiawan bernama LA PAGALA dengan
gelar “NENE MALLOMO” (di lontaraq lain bergelar Nene Allomo, ada juga yang
menghormatinya dengan sapaan Puang Lomo). Beliau hidup antara masa pemerintahan LA
PATEDDUNGI Addaoang Sidenreng ke IX (ke-sembilan) tahun 1562 M. (Sebelum masuk islam)
sampai dengan LA MAKKARAKA MATINRO_E RI PALOPO Addaowang Sidenreng ke-XI (ke-
sebelas)/ Addatuang Sidenreng I (Pertama) tahun 1631 M. (Sesudah Islam masuk di Sidenreng
Rappang). Nene Mallomo wafat tahun 1654 M, setelah 26 tahun menjadi penasehat Addatuang
Sidenreng I La Makkaraka Matinro_E ri Palopo. Jadi Nene Mallomo mendampingi tiga Dinasti
Addatuang Sidenreng sebagai penasehat kerajaan mulai dari La Pateddungi pada tahun 1562 M
sampai dengan La Makkaraka Matinro_E ri Palopo tahun 1654, atau tepatnya 92 tahun menjadi
penasehat raja.
Di gelar NENE MALLOMO, karena LA PAGALA di dalam mengahadapi sesuatu masalah,
bagaimanapun sulit dan beratnya masalah selalu dengan mudah (malomo) dipecahkannya dan
dibenarkan serta diterima oleh semua pihak.
NENE MALLOMO di kenal sebagai cendikiawan. Beliau adalah salah satu di antara lima orang
ahli di bidang pemerintahan dan pertanian yang termahsyhur di Sulawesi pada masanya. Selain itu
beliau juga ahli di bidang ekonomi dan ahli hukum. Prof. Andi Zainal Abidin Farid dalam kuliah
umumnya pada salah satu Perguruan Tinggi telah menyajikan dan memaparkan bahwa tidak ada
hakim pengadilan yang paling adil di dunia ini selain dari pada NENE MALLOMO. Hal tersebut
dibuktikan ketika hasil padi dipersawahan di kerajaan Sidenreng tidak jadi selama tiga tahun, hasil
pertanian selalu gagal sehingga penderitaan rakyat semakin terasa di seluruh pelosok kerajaan
Sidenreng Rappang. Atas kejadian itu, NENE MALLOMO mengadakan penyelidikan secara
mendalam untuk mengetahui sebab-sebab yang mengakibatkan bencana kegagalan penen tiga tahun
berturut-turut. Akhirnya NENE MALLOMO mengetahui bahwa bencana gagal panen tersebut
adalah di akibatkan oleh perbuatan anaknya sendiri ketika para petani turun sawah, salah satu mata
sisir luku anaknya tersebut, diambilnya sekerat kayu milik orang yang berseblahan sawah dengan
dia tanpa diminta lebih dulu dari pemiliknya.
Setelah diketahui sebab musababnya, NENE MALLOMO terus mengadakan rapat dengan
Pemangku-Pemangku Adat untuk mengadili perbuatan anaknya. Atas bukti-bukti yang kuat dan
benar maka NENE MALLOMO menjatuhkan vonis hukuman mati kepada anak kandungnya
sendiri tanpa ampun dan garasi dari raja.
Karena rakyat kaget mendengar keputusan hukum mati tersebut mereka bermufakat
mengadakan DEMO kepada NENE MALLOMO untuk menyampaikan aspirasi rakyat yang
berbunyi :
“LEMMU MANA NYAWAMU PASIANGKEQ’I AJU SIPOLO_E NA NYAWANA ANAK
RIALEMU”.
Maksudnya : “Sampai hati engkau menebus kayu sekerat itu dengan nyawa anak
kandungmu sendiri”.
NENE MALLOMO menjawab tuntutan para pendemo bahwa : “MAKKOGATU PALEQ’
TARO BICARA_E, TEMMAKE ANAK TEMMAKE AMBOQ’ ADE PURA ONRO_E”
Maksudnya : “ Begitukah kiranya perjanjian kita, keputusan yang tekah di ambil, harus
dijalankan dengan konsekuen karena hukum tidak mengenal anak tidak mengenal bapak”.
Pada masa NENE MALLOMO penegakan hukum betul-betul berjalan dan dilaksanakan dengan
konsekuen sehingga karena ridho Allah SWT. maka Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang
mencapai tingkat kemakmuran yang tertinggi dan tergolong sebagai salah satu kerajaan yang
makmur dan sejahtera di Sulawesi. Tanam-tanaman tumbuh subur dan hasilnya menggembirakan,
ternak berkembang biak tidak kenal yang dinamakan antraks atau flu burung, rakyat hidup sejahtera
aman dan tentram, hal mana menyebabkan Sidenreng Rappang terkenal kemana-mana dan hal itu
yang menyebabkan pula dua kerajaan di sebelah Timur Sidenreng yakni kerajaan Arung Batu di
Pitu Riase dan kerajaan Arung Otting di Pitu Riawa di Kecamatan Dua Pitu_E (sekarang) dengan
sukarela menggabungkan wilayah kerajaannya dengan kerajaan Sidenreng. Kedua kerajaan itu
diberikan hak dan kedudukan khusus yang disebut LILI PASSIAJINGENG yaitu hak mengatur dan
mempertanggung jawabkan dirinya sendiri (hak otonom) yang dalam Lontaraq disebut :
“NAPOADEQ’ ADEQ’NA, TENRI CELLENGI BICARANNA”.
Maksudnya : Adatnya sendiri yang dipakai dalam wilayahnya, dan ketetapan keputusannya
tidak di ganggu gugat”.
Dengan hak otonominya tersebut, maka nanti ada hal-hal atau masalah yang tidak bisa
diputuskan dalam wilayahnya baru ia membicarakan dengan Raja/ Addatuang Sidenreng.
Kemakmuran kerajaan Sidenreng dan Rappang pada waktu itu terkenal kemana-mana dan amat
menarik perhatian para cendekiawan dan raja-raja dari daerah lain. Tersebutlah LA TANAMPARE
PUANG RIMAGGALATUNG ARUNG MATOWA WAJO KE-4, yang terkenal arif bijaksana dan
ahli dalam hal-hal pemerintahan kurang percaya kalau NENE MALLOMO seorang cendekiawan
yang cerdik pandai. Oleh karena itu Puang Rimaggalatung pernah berdialog dengan NENE
MALLOMO yang sifatnya menentang mengenai cara yang ditempuhnya dalam mengatur
pemerintahan Sidenreng sehingga dapat mengantarkan kerajaan Sidenreng ke puncak kejayaannya
pada waktu itu.
Di suatu ketika La Tanampare Puang Rimaggalatung menugaskan surona (kurir) menemui
NENE MALLOMO untuk menyampaikan bahwa kalau memang benar Sidenreng adalah suatu
kerjaan yang makmur, cobalah buktikan dimana LAPPO ASENA SIDENRENG.
Atas pertanyaan itu, NENE MALLOMO serta merta menyuruh rakyat menutupi BULU LOWA
dengan “ASE MABBESE” sehingga kelihatan seperti LAPPO ASE setinggi gunung, kemudian
NENE MALLOMO mengundang Puang Rimaggalatung datang ke Sidenreng melihat LAPPO ASE
NA SIDENRENG. Pada waktu itu Puang Rimaggalatung naik perahu ke Sidenreng menelusuri
Danau Tempe dan Danau Sidenreng, tapi baru sampai di Turungeng Teteaji baliau sudah melihat
Lappo Ase yang sangat tinggi dan langsung menemui NENE MALLOMO. Dalam pertemuan itu
terjadi soal jawab sebagai berikut :
“MAKKADAI PUANG RIMAGGALATUNG RI NENE MALLOMO : AGARO MUALA
APPETUANG BICARA RI SIDENRENG, NA MAWASA PABBANUAMU NAMASENNANG
PENEDDINGI TO MAPPARENTAMU, NA JAJI WISESA_E RI KAMPONGMU, NABBIJA
OLOKOLOKMU, GANGKANNA NAMO ASE WETTE JA MI MU PANO BINE JAJITO”
Maksudnya : “Apakah gerangan yang engakau jadikan dasar hukum di Kerajaan
Sidenreng, sehingga rakyatmu menjadi makmur Raja senang, padi menjadi, ternak berkembang
biak dan meskipun padi yang masih muda engkau turunkan ke pesemaian, niscaya jadi juga”
Makkadai NENE MALLOMO :
“IYYA UALA_E APPETUANG BICARA, IYYANA RITU ALEMPURENGNGE NENNIA
DECENG KAPANG_NGE”
Maksudnya : “Yang saya jadikan dasar hukum, ialah kejujuran dan prasangka yang baik”
Kebenaran ucapan NENE MALLOMO itu, selalu dibuktikan dalam menetapkan sesuatu
keputusan hukum.
Puang Rimaggalatung belum puas dengan Lappo Asena Sidenreng, beliau kirim lagi kurir untuk
minta NENE MALLOMO membuatkan tujuah macam masakan dari seekor burung BEPPAJA
(Sejenis burung terkecil yang bersarang dibatang padi) yang dibawa oleh kurir. NENE MALLOMO
berpikir bahwa Puang Rimaggalatung memberikan tugas kepadanya sesuatu yang tidak masuk akal.
Oleh karena itu NENE MALLOMO balik mengirim kepada Puang Rimaggalatung sebatang jarum
penjahit dan minta supaya di buatkan tujuh macam alat masak yaitu antara lain wajan, panci,
periuk, sendok sop dan lain-lain untuk dipakai memasak tujuh masakan burung beppaja.
Puang Rimaggalatung tidak mampu memenuhi permintaan NENE MALLOMO, maka
dikirimlah lagi kurir untuk minta NENE MALLOMO agar membuatkan Puang Rimaggalatung
seutas tali sepanjang satu meter yang terbuat dari debu yang disebut tali debu. Untuk tidak
mengecewakan Puang Rimaggalatung, maka NENE MALLOMO membuat tali sepanjang satu
meter yang terbuat dari kain bekas dipintal menjadi tali, kemudian disiram minyak tanah diatas
talang kuningan dan dibakar, kemudian disiram minyak tanah di atas talang kuningan dan dibakar.
Setelah apinya padam maka jadilah tali kain tadi menjadi debu baru dikirim ke Puang
Rimaggalatung. Keberhasilan NENE MALLOMO itu membuat tali debu di akui dan dibenarkan
oleh Puang Rimaggalatung.
Begitulah NENE MALLOMO yang tak terkalahkan dalam membuktikan kecerdikan dan
kecerdasannya yang sekarang dikenal cerdik pandai, cerdik emosional dan cerdik spiritual.
SULTAN DAENG RAJA
(Pejuang dari Gantarang)

J ong celebes punya duta pertemuan Sumpah Pemuda 28 oktober 1928. Dialah Karaeng
Gantarang. Namanya tercatat sebagai salah satu dari sedikit “Bunga Bangsa” yang men
gharumkan bumi pertiwi.
Tatkala usianya 20 Tahun, Karaeng Gantarang H.Andi Sultan Daeng Raja, belum dipercaya
memangku kehormatan yang dipegang ayahnya, Passari Petta Tanra Raja Gantarang yang mulai
sakit-sakitan. Sultan sebagai “anak patola”(putra Mahkota)semula dipersiapkan menggantikan
ayahnya, tapi masih muda yang menurut adat setempat belum diperbolehkan. Andi Mappamadeng
– bedrgelar Karaeng Cammoa – tampil sebagai penggantinya sebagai raja.
Namun belakangan, ketika Sultan Daeng Raja semakin dewasa, ia menyadari ada kewenang-
wenangan dalam pemerintahan Karaeng Cammoa. Ia tak ingin melihat kemanusiaan. Jabatan
Karaeng Cammoa hampir berakhir. Sultan tampil sebagai kandidat menggantikan Karaeng
Cammoa. Pada sidang Ade’ duappulo’ (adat duapulo) setuju “anak patola” dikukuh sebagai
Karaeng Gantarang.
Karaeng yang dikukuhkan Gubernur Celebes pada 29 September 1922, Dalam menjalankan
pemerintahan memperlihatkan kepemimpinan Arif. Malah ia mewariskan sikap,citra, serta cita-cita
ayahnya semasa menjadi raja.
Kepemimpinan Arif yang disertai pembangunan, justru memberinya kepercayaan lebih dari
penjajah. Malah ketika jepang datang, Karaeng dilantik sebagai Bungken Kangrikang(sederajat
kepala pemerintahan Negeri). Dan pada saat itu, ia tetapmemegang kepercayaan rakyat Gantarang
sebagai Karaeng.
Kepercayaan diberikan penjajah termasuk masa belanda tak memberinya rasa bangga dan larut
kekuasaan. Karaeng justru meng-galang kekuatan untuk melawan penjajah. Ia pun buktinya
sebagainya salah satu putra terbaik nusantara ketika mengikuti pertemuan para pemuda Batavia
yang kemudian dikenal Sumpah Pemuda.
Era Jepang, Karaeng menyiati kerjasama. Padahal, ia menghimpun pemuda dalam wadah
persatuan pergerakan nasional Indonesia (PPNI) yang dipimpin A Panamon dan H. Abd. Karim.
Tugas organisasi , menghimpun massa yang setiap saat dapat digerakkan. Mengaktifkan kembali
tenaga Heio dan Zeinendan, juga mengadakan hubungan dengan ormas lain.
Jepang yang kehilangan daya ketika bom atom jatuh di Hirosima dan Nagasaki, dijadikan
momen oleh Karaeng . ia melucuti senjta Tentara Jepang dan mengambil alih tampuk pemerintahan
serta mengkoordinir pengembalian tawanan perang jepang.
Karaeng angkat senjata tatkala Belanda datang lagi dengan membonceng Tentara sekutu.
Karaeng menolak kehadiran NICA. Ia pun ke pedesaan menghimpun massa. Juga ia memberi
penyuluhan tentang makna Kemerdekaan.
Penolakan terhadap Belanda ikut ia tellorkan pada kesepakatan para raja pa 1 Desember 1945 di
Bantaeng yang di hadiri antara lain, Andi Mappanyukki( Raja Bone), Andi Jemma(Luwu), Andi
Mangkona (Wajo) , Andi Wana( Datu Soppeng ),Andi Cibu (A’datuang Sidrap), Andi Mappatoba
(Arung Bulo-bulo Timur), Andi Muri (Arung Bulo-bulo Barat ) dan Karaeng Kajang . kesepakatan
itu pula yang yang menetapkan untuk bergabung pada Republik Indonesia.
Putusan musyawarah , yang diikuti Karaeng, membuat Belanda naik pitam . Karaeng Gantarang
di tangkap pada 2 Desember 1945 . Karaeng di jatuhi hukuman pengasingan ke Manado. Saat
kembali di Celebes, ia menjabat di Parlemen NIT.Kemudian diangkat menjaadi Kepala Tinggi
Pemerintah Wilayah Sulsel di Bantaeng pada !5 Mei 1950. Cuma, ia mundur setelah satu setengah
bulan menjabatyang selanjutnyadi gantikan putranya, Andi Sappewali.
Karaeng Gantarang- Andi Sultan Daeng Raja, lahir pada 20 Mei 1894. Ibunya bernama Andi
Ninnong. Sebagai putra bangsawan, ia sekolah Belanda. Tiga tahun OSIVA (Opleiding School
Voor Inladech Amternaar) – sederajat SLTA di Makassar tahun 1913.
Andi Sultan Daeng Raja sebagai juru tulis Hoofd Jaksa di Makassar.Karirnya meningkat saat
diperbantukan pada kantor kejaksaan di Makassar. Pada 7 Januari 1915 diangkat menjadi Eurep
Klerk pada Asisten Residen Bone di Pompapanua. Ia pun dipindahkan ke Sinjai sebagai Klerk
pada 13 Juni 1915. Tahun berikutnya, 12 Juli ia mendapat Hulppest Communis di Sinjai. Pada 13
Desember 1916, Andi Sultan Daeng Raja diangkat menjadi Order Callectour Order of Deling di
Takalar.(Basri padulungi,1981).
DAENG PAMATTE’
PENCIPTA AKSARA LONTARA

Daeng Pamatte’ lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah
Kerajaan Gowa, kerajaan suku Makassar, yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang
ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte’, orang lantas
mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta huruf Lontara Makassar dan
pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.
Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna,
tersebutlah Daeng Pamatte’ sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak
heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam
pemerintahan yaitu sebagai “sabannara” (syahbandar) merangkap “Tumailalang” (Menteri Urusan
Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan
Gowa.
Lahirnya Aksara Lontaralahirnya karya bersejarah yang dibuat “Daeng Pamatte” bermula
karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini
mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat
berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara
tertulis. Maka Daeng Pamatte’ pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil
mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal
dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang
(burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan
aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta. Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte’ ini,
mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX.
Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan
ditambahkannya satu huruf yakni “ha” sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan
Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11). Dari Lontara Jangang-Jangan ke Belah Ketupat. Jenis
aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-Jangang atau
Lontara Toa. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti
burung yang sedang terbang dengan huruf “Ka” burung hendak turun ke tanah dengan huruf “Nga”,
bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf “Nga”. Lontara Jangang-Jangan
ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya.
Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk
huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi
makna huruf “ka” angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna “Ga” angka tujuh dengan
titik diatas diberi makna “Nga”, juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf . Aksara
Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-
Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV
Sultan Alauddin (1593-1639).
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil
bentuk huruf dari Belah Ketupat.Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Makassar itu
menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf
dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah
masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut, huruf
“Ha”.Dalam pada itu.
Dalam versi lain Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte’ jugalah yang
menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya sekarang.
Dari ke-19 huruf Lontara Makassar itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk keperluan
bahasa Bugis ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi menjadi 23
huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Bugis- Makassar
Kelompok : ……………………………..............
Nama Anggota : 1. …………………….
2……………………...
3 ......................................................
4.......................................................
5.......................................................
6.......................................................
7.......................................................

Laporan hasil kerja kelompok :

Teransliterasi dan Translasi dalam


Nama Tokoh Kegitan yang dapat Bahasa dan Aksara Daerah(Bugis/Makassar/
diteladani sesuai teks Toraja)
1.

TEKS BIOGRAFI (Contoh, Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, Strukturnya)


Biografi adalah kisah atau riwayat kehidupan seorang tokoh yang ditulis oleh orang lain. Biografi
ditulis dengan berbagai tujuan. Salah satunya untuk memberikan informasi bagi pembaca tentang
latar belakang kehidupan seorang tokoh dari sejak kecil hingga mencapai karir di kehidupannya
kemudian.
Teks biografi memang khusus di buat untuk menceritakan kisah riwayat hidup seseorang yang di anggap
penting, menarik, unik, atau karna seseorang tersebut dianggap sebagai seorang tokoh penting oleh penulis.
Definisi biografi yang lain adalah keterangan atau kisah perjalanan kehidupan seseorang bersumber dari
kisah nyata. Jadi Biografi adalah sebuah karya tulis yang berisikan cerita tentang riwayat kehidupan
seseorang. Namun pada umumnya seseorang yang di tulis dalam biografi adalah seorang tokoh.
Contohnya adalah biografi mario teguh, biografi soekarno, biografi albert einstein, biografi ra kartini,
dan lain sebagainya.
Dalam penulisan teks biografi, biasanya penulis memerlukan bahan atau sumber pendukung yang
berkaitan dengan seseorang yang hendak ditulisnya kedalam sebuah teks biografi. bahan atau sumber
pendukung  tersebut dapat berupa surat - surat, buku harian, benda, karya, foto, dan lain sebagainya.
Jenis - Jenis Teks Biografi
Sering kita jumpai berbagai macam karangan teks biografi yang ditulis di buku, artikel, majalah,
blog, dan lain sebagainya. Namun terkadang kita merasa bingung setelah melihat berbagai macam
biografi yang berbeda-beda. Pada umumnya, jenis dari biografi itu sendiri ada dua, yaitu biografi
singkat dan biografi panjang.
1. Teks Biografi Singkat
Pengertian biografi singkat adalah sebuah teks karangan biografi yang hanya memuat konten
tentang fakta - fakta, Peran penting, karya - karya, dan lain sebagainya.
2. Teks Biografi Panjang
Pengertian biografi panjang adalah sebuah teks karangan biografi yang memuat berbagai macam
informasi baik itu fakta, peran, karya, hal yang di sukai dan lain sebagainya secara lengkap yang
kemudian dikisahkan dengan lebih mendetail.
Ciri - Ciri Teks Biografi
berikut adalah beberapa ciri - ciri teks biografi :
 Miliki srtuktur yang jelas meliputi orientasi, masalah atau peristiwa, dan reorientasi
 Kontens yang disajikan merupakan fakta yang di sajikan dalam sebuah narasi.
 Faktualnya peristiwa hidup seseorang yang dinarasikan dalam tokoh biografi.
 Menggunakan komponen penting dalam penulisannya yang meliputi:
 Judul Biografi
 Hal yang menarik dan mengesankan dari sang tokoh dalam biografi
 Hal yang mengagumkan dan mengharukan dari sang tokoh dalam biografi
 Nilai - nilai yang dapat diteladani dan dicontoh dari kehidupan sang tokoh
Struktur Teks Biografi
Seperti yang telah disinggung pada bagian ciri - ciri biografi diatas bahwa teks biografi memiliki
struktur yang jelas. Struktur teks biografi itu sendir adalah sebagai berikut :
1. Orientasi
Pada bagian awal (orientasi), pada umumnya menjelaskan pengenalan tokoh dalam biografi..
2. Masalah atau Peristiwa Penting
Setalah penulis mengenalkan sang tokoh, kemudian dilanjutkan penjelasan masalah atau peristiwa
adalah secara kronologis. ini.
3. Reorientasi (Penutup)
Di bagian ini penulis menjelaskan tentang pendapat atau pandangan pribadi terhadap tokoh dalam
biografi. Pandangan tersebut dapat berupa pandangan negatif dan juga positif,

Anda mungkin juga menyukai