Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU

Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah:

ISLAM DAN BUDAYA MINANGKABAU

Disusun Oleh :

Tara Salsabila Rambe 2216010122

Putri Susanti 2216010132

Arifatul Rahman 2216010133

Asyifa Khairunnisa 2216010192

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Lukmanul Hakim, M.Ag

Johan Septian Putra, S.Hum., M.Hum

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2023 M /1445 H
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................

1. Latar Belakang..........................................................................................

2. Rumusan masalah.....................................................................................

3. Tujuan........................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................................

1. Persingungan islam dengan adat minang kabau....................................

2. Integrasi islam dengan adat minangkabau..............................................

3. Sejarah sosial masyarakat minang kabau..............................................

BAB 3 PENUTUP...................................................................................................

1. Kesimpulan..................................................................................................

2. Saran............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minangkabau adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi seluruh


hukum adat istiadatnya, sesuai dengan pepatah Minangkabau adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah. Yang artinya di mana adat Minangkabau di dasarkan
oleh syariat agama islam dan syariat tersebut berdasarkan atas Al-Quran dan
Hadist Berbicara mengenai Minangkabau sama artinya berbicara mengenai ajaran
ajaran Islam. Bagi masyarakat Minangkabau, adat merupakan jalan kehidupan,
cara berpikir, cara berlaku, dan cara bertindak. Dari cara-cara tersebut maka
terlahirlah sebuah kebudayaan.

Di dalam masyarakat Minangkabau terdapat empat peristiwa penting di


kehidupannya, yakni pada saat perkawinan, pengangkatan penghulu atau kepala
kaum. mendirikan rumah gadang, dan kematian, Empat peristiwa ini dinilai
penting karena merupakan tonggak penentuan status sosial bagi seseorang
ataupun kaum di Minangkabau.

Pada dasarnya, adat istiadat yang diteggakkan di Minagkabau sangatlah


berlandaskan kepada syariat islam. Yaitu yang berasalkan langsung dari
sumbernya, Alquran dan Hadis. Adapun beberapa hal yang tidak serupa dengan
syariat-Nya itu bukanlah berarti menentang syariat. Karena perbedaan tersebut
juga memiliki alasan dan tujuan yang baik dan tidak menentang keras syariah.
Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, ada beberapa dari pelaksanaan dan
pengartian adat yang disalah artikan ataupun disalah gunakan. Hal seperti inilah
yang menyebabkan adat istiadat Minangkabau itu seperti jauh ataupun menentang
dari syariat agama islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya dapat


dideskripsikan sebagai berikut:

1. Apa Saja Persingguangan islam dengan Adat Minangkabau?


2. Bagaimana Integrasi Islam Dengan Adat Minangkabau?
C. Tujuan

Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana persinggungan islam dengan adat


Minangkabau.
2. Untuk mengetahui bagaimana integrasi islam dengan adat
Minangkabau.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Persinggungan Islam dengan Adat Minangkabau


Untuk melihat kontak awal yang menyebabkan interaksi Islam adat
Minangkabau menjadi lebih intesif perlu dilihat titik singgungnya

1. Jejak Awal

Sebagai gambaran umum, jejak pengaruh awal Islam dengan adat


Minangkabau dapat dilihat dari beberapa informasi berikut:

a. Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai (Abad ke-17)

Sebelum Sultan Alif, raja Pagaruyung pertama yang memeluk Islam


(+1560), belum tercatat perubahan mendasar dalam struktur masyarakat
Minangkabau di luar istana Pagaruyung. Oleh Sebab itu, titik singgung Islam
dengan struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau baru dapat dilihat
dari perubahan dalam kerajaan Pagaruyung, yaitu munculnya istilah Rajo Tigo
Selo. Mengenai asal usul Rajo Tigo Selo, Rusli Amran (1981) mengutip
sebuah sumber Belanda mengatakan "Seorang pegawai VOC bernama Van
Bazel, pernah pula menulis pertengahan abad ke-18, bahwa tahun 1680
Kerajaan Minangkabau pecah menjadi tiga, karena rajanya Alif meninggal
tanpa anak. Tetapi keterangan ini masih diragukan kebenarannya.

Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Sila) adalah tiga orang raja dengan masing-
masing tahta yang terpisah tapi merupakan satu kesatuan. Selo dalam bahasa
Minangkabau berarti sila (duduk) kemungkinan, arti harfiahnya adalah raja
tiga sila atau tiga kedudukan dengan tiga fungsi. Selain itu, dikatakan tiga sila
(tiga posisi duduk bersila) karena semenjak dahulu raja-raja Pagaruyung atau
Minangkabau tidak mempunyai singgasana sebagai tempat bersemayamnya
melainkan hanya duduk bersila di lantai istana yang sedikit agak ditinggikan.
Rajo Tigo Selo masing-masing terdiri dari Raja Alam berkedudukan di
Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan
di Sumpur Kudus.

Masing-masing raja mempunyai tugas kewenangan dan mempunyai


daerah kedudukan tersendiri Raja Alam membawahi Raja Adal dan Raja
Ibadat Raja Alam merupakan kepala pemerintahan. sedangkan Raja Adat
mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja Ibadat mengurus masalah-
masalah keagamaan dan pendidikan.
Struktur Rajo Selo ini memberi isyarat bahwa adanya unsur
kepemimpinan agama di Pagaruyung. Meskipun ada yang mengatakan sistem
Rajo Tigo Selo muncul jauh sebelum Islam, namun informasi yang tertulis
menyatakan bahwa pengaruh Islam dapat dilihat dari pembagian kekuasaan
dalam sistem ini. Hamka (1982) berpendapat, Raja di Pagaruyung sebelum
Islam (HAMKA menyebutnya zaman "jahiliyah" Budha Bhairawa) raja di
Minangkabau, hanyalah "lambang". Justru eksistensi raja terlihat setelah
kedatangan Islam. Islam ikut mengambil peran dalam menyusun adat la
bekeyakinan bahwa Rajo Tigo Selo adalah salah satu sumbangan Islam
terhadap susunan kepemimpinan raja di Minangkabau.

Rajo Tigo Selo ini dibantu oleh Basa Ampek Balai, yaitu:

1). Bandaharo atau Tuan Titah di Sungai Tarab. Kedudukannya sama dengan
perdana menteri.

2). Makhudum di Sumanik yang tugasnya menjaga kewibawaan istana dan


memelihara hubungan dengan seluruh rantau dari kerajaan lain yang ada
hubungan dengan Minangkabau.

3). Indomo di Saruaso yang menjaga perjalanan adat istiadat agar "setitik tidak
boleh hilang, sebaris tidak boleh lupa" dalam seluruh Alam Minangkabau.

4). Makhudum (Tuan Qadhi) di Padang Ganting yang menjaga perjalanan


agama adakah berlaku menurut Kitabullah dan sunnah rasul, berjalan sunnat
dan fardhu, terbatas antara halal dan haram.

Dengan demikian, keberadaan Rajo Selo dan Basa Ampek Balai ini,
menurut Zulqayyim (2012) menunjukkan penetrasi Islam di Minangkabau
masih terbatas pada bidang formal, yaitu dengan adanya Rajo Ibadat dan Tuan
Qadhi. Kedua petinggi adat ini menatur urusan agama di kerajaan Pagaruyung.
Selain itu keberadaan keduanya juga mencerminkan pengakuan terhadap
keberadaan agama Islam di Minangkabau.

b. Pendidikan Surau (Abad ke-17-19)

Surau adalah bangunan tempat ibadah umat Islam. Istilah ini populer di
Minangkabau dan di banyak tempat di bumi melayu. Di Minangkabau, surau
kebanyakan lebih dikhususkan sebagai lembaga pendidikan. Istilah surau
sudah dikenal di Minangkabau jauh sebelum kedatangan Islam. Berdasarkan
fungsi dan kepemilikannya ada 3 jenis surau di Minangkabau, yaitu surau
adat, surau ulama dan surau dagang.

Surau adat adalah surau tempat mendidik anggota kaum tentang


pengetahuan adat, msyawarah kaum dan tempat tidur bagi anggota kaum yang
laki-laki, yaitu anak-anak yang sudah baligh atau laki-laki dewasa yang
menduda. Setelah berkembangnya Islam, surau juga digunakan untuk
melaksanakan ibadah shalat bagi anggota kaum. Dari penamaannya, jelas
bahwa surau ini merupakan milik kaum dalam suatu di Minangkabau. Bahkan
ada juga surau ini yang dimiliki langsung oleh suku. Banyak nama surau di
Minangkabau yang dilekatkan dengan nama suku, misalnya: Surau Jambak,
Surau Sikumbang, Surau Koto dan lain-lain.

B. Integrasi Islam dengan Adat Minangkabau

Minangkabau adalah suatu lingkungan adat terletak kira-kira di propinsi


Sumatera Barat. Dikatakan kira-kira, karena pengertian Minangkabau tidaklah
persis sama dengan pengertian Sumatera Barat. Minangkabau lebih cenderung
mengandung makna sosial kultural, sedangkan Sumatera Barat lebih
cenderung bermakna geografis administratif1. Dari segi sosial budaya,
Minangkabau melampaui jauh teritorial Sumatera Barat sekarang2. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Minangkabau berada dalam geografis
Sumatera Barat. Penulis menggunakan term Minangkabau dalam penulis
kajian ini karena penulis menilai kedekatan masyarakat adat dengan ajaran
Islam identik dengan istilah Minangkabau, bukanlah Sumatera Barat.

Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam,


bahkan juga telah ada sebelum masuknya Hindu dan Budha.3 sebelum
datangnya pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah menemukan
bentuknya yang terintegrasi dan kepribadian yang kokoh.4 Oleh sebab itu,
kebudayaan yang datang dari luar tidaklah mempengaruhinya secara mudah.
Penerimaan kebudayaan dari luar akan diseleksi dan mana di antaranya yang
bertentangan dengan dasar falsafah adat tidak akan dapat bertahan di
Minangkabau.5 Secara tidak langsung, dapat kita cermati bahwa pergumulan
yang terjadi pada masyarakat Minangkabau sampai pada bentuk akhirnya
merupakan bentuk murni dari integrasi nilai-nilai adat dengan ajaran Islam.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi, agama Islam sudah mulai memasuki
Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau

1. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat


Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 233.
2. Duski Samad, “Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan, dan
Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no. 2, 120.
3. Nasrun, Dasar Filsafat Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 13.
4. Sidi Gazalba, Konflik Antara Adat, Agama dan Pengaruh Adat (Padang: Seminar Islam
di Minangkabau, 1969), 3.
5. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 245.
masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya
pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh
Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh
pedagangpedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur
Sumatera. Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh
pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya
tidak langsung datang dari negeri Arab.6 Perkembangan yang demikian
berlangsung agak lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan
Politik Cina dan Agama Budha.

Sejak abad ke-13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami


rangkaian goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah
mempengaruhi sistem nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat yang
berbasis nagari. Agama Hindu dan Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-
kerajaan Minangkabau7 lama selama berabad-abad sejak abad ke-13 tersebut
tidak banyak berpengaruh kepada masyarakat Minangkabau, yang tetap
berpegang pada adat Minangkabau, yang berpedoman pada ajaran alam
takambang jadi guru.

Berbeda dengan agama Hindu dan Budha tersebut, agama Islam yang
masuk dalam abad ke-16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat
Minangkabau, dan tumbuh sebagai faktor penting dalam perkembangan
sejarah dan kebudayaan Minangkabau dalam abad-abad berikutnya. Namun,
pada mulanya ada perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dan agama
Islam ± khususnya dalam masalah hukum kekerabatan dan hukum waris±
telah menyebabkan timbulnya serangkaian masalah dalam hukum perdata,
yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum serta
kelembagaan sosial. Oleh karena masyarakat Minangkabau tidak mempunyai
tatanan kelembagaan di atas tingkat nagari, maka rangkaian goncangan dan
perubahan sosial tersebut hanya diselesaikan secara lokal, dan belum pernah
dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan terencana.

Abad ke-19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah
dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi
rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan
pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi campur tangan kaum

6. Duski Samad, ”Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan dan


Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no. 2, 120
7. Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang
dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar
lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat
Minangkabau juga menganut agama tersebut secara menyeluruh. Lihat Pembaharuan Oleh
Agama Islam dalam http://www.minangkabau.info/ akses tanggal 16 Mei 2011, 09:37 WIB.
kolonialis Hindia Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama,
yang sama-sama menganut agama Islam.

Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusul oleh perang


saudara yang dahsyat antara tahun 1803 sampai tahun 1821, dan dilanjutkan
dengan Perang Minangkabau antara tahun 1821 sampai tahun 1838 untuk
menghadapi kolonial Hindia Belanda8, pada tahun 1832 Tuanku Imam
Bonjol memberikan fatwa ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan
Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, 9 Syarak Mangato
Adat Mamakai10 -yang kemudian dilengkapi dengan Alam Takambang Jadi
Guru- sebagai nilai dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa
Tuanku Imam Bonjol ini kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukit
Marapalam pada tahun 1837 di Bukit Pato, Lintau, dekat Batu Sangkar.11
Peristiwa ini merupakan titik klimaks proses integrasi nilai-nilai ajaran Islam
dengan budaya Minangkabau.

Kesepakatan antar ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam


dalam perang Paderi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan yang
mantap mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu

8. Hamka, Sejarah Minangkabau dengan Islam (Fort de Kock: Miratul Ikhwan, 1929), 113.
Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau ±antara kekuatan paderi yang
berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni dengan kekuatan
Belanda yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau± maka terjadilah ketegangan dan
akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau. Pada akhirnya
rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan
kaum Paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga
mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang
dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata
semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda. Lihat dalam pembahasan Pembaharuan Oleh Agama Islam dalam
http://www.minangkabau.info/ akses tanggal 16 Mei 2011, 09:37 WIB.
9. Sebuah ulasan singkat padat tentang sejarah konsep “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah”I ini dapat dilihat dalam Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (Padang:
PPIM, 2003), 8-10.
10. )Frasa “syarak mangato adat mamakai “ ini selain terdapat dalam berbagai buku
tentang pepatah petitih adat Minangkabau, juga tercantum dalam dictum Kedua Ketetapan
Musyawarah Besar IX LKAAM Sumatera Barat Nomor TAP-10/MUBES/ IX LKAAM/SB/VI/2005
Tanggal 5 Juni 2005 Tentang Aplikasi Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah. Propinsi
Sumatera Barat memiliki satu lembaga adat yang amat berwibawa, yang terkenal dengan nama
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau atau LKAAM. Lembaga ini memiliki wewenang
besar dalam menentukan masalah-masalah adat dan kebudayaan dalam masyarakat
Minangkabau. Karena itu sungguh tidak mengherankan kalau seseorang yang dipercayakan untuk
memimpin lembaga ini dianggap memiliki satu kelebihan tersendiri sebagai seorang tokoh yang
diterima kaum adat.
11. Duski Samad, “Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan, dan
Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no. 2, 121.
diperkuat rapat urang ampek jinih12 yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952
dan dipertegas lagi oleh kesimpulan seminar hukum Adat Minangkabau yang
diadakan di Padang pada bulan Juli 1968.

Eksistensi penjajahan kolonial Hindia Belanda yang melancarkan politik


adu domba dan politik tanam paksa, yang disusul oleh dua kali perang dunia,
dua kali perang kemerdekaan, serta serangkaian konflik dalam negeri yang
berkepanjangan, maka nilai dasar dan ajaran adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah tersebut belum sempat terhimpun dan disatukan secara
terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama oleh masyarakat
Minangkabau.

Dengan adanya hubungan timbal balik adat dan gama dalam kebudayaan
Minangkabau yang kemudian dilengkapi dengan dibangunnya institusi
keagamaan yang diterima luas dalam struktur masyarakat adat maka kemudian
ia dapat mendorong dinamika keagamaan masyarakat Minangkabau yang
berjalan dengan cepat dan mendasar.13 Pada abad ke-20, masyarakat
Minangkabau telah aktif dan ikut serta, baik dalam pergerakan kemerdekaan
nasional seperti halnya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
maupun dalam pembelaan negara menghadapi ancaman dari dalam dan dari
luar negeri. Baik sistem hukum nasional maupun instrumen hukum
internasional hak asasi manusia pada dasarnya menghormati, melindungi,
memfasilitasi, dan memenuhi hak suku bangsa dan masyarakat hukum adat.
Pengakuan konstitusional terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia ini
tercantum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara.

12. Urang ampek jinih adalah istilah bagi empat fungsional adat dalam suatu suku di
Minangkabau, terdiri dari; penghulu, manti, malin dan dubalang. Mereka bertanggungjawab
dalam pembinaan masyarakat sukunya. Penjelasan lebih lanjut lihat Alirman Hamzah, “Urang
Ampek Jinih” , Ensiklopedi Minangkabau, ed. Duski Samad (Jakarta: Gebu Minang, 2003).
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Alirman Hamzah, “Surau dan Pembahasruan Islam:
Gelombang Pertama, Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no. 2, 143.
13. Duski Samad, “Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan, dan
Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003), vol 6, no. 2, 121.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Temurun adat tersebut mencakup aturan-aturan yang mengatur berbagai


aspek kehidupan, seperti adat perkawinan, adat pembagian warisan dan adar
pengangkatan pemimpin. Selain itu, masyarakat Minangkabau juga menganut
agama Islam, yang telah mempengaruhi adat-istiadat bahwa masyarakat tersebut
memiliki sistem adat yang kuat yang diwariskan secara turun-temurun dalam
kehidupan sosial mereka. Meskipun demikian, integrasi antara agama Islam dan
adat Minangkabau tetap terjaga dan dihormati, sehingga masyarakat Minangkabau
memiliki identitas dan budaya yang unik. Selain itu, masyarakat Minangkabau juga
dikenal memiliki kearifan lokal yang tinggi, seperti nilai kesederhanaan,
kekeluargaan, dan gotong-royong. Hal ini telah membentuk budaya yang harmonis
dan inklusif di masyarakat Minangkabau. Dalam sejarahnya masyarakat
Minangkabau juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan telah
memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia.

B.saran

Makalah ini dibuat untuk memeberikan motivasi terhadap pembaca agar


memahami tentang sejarah sosial yang ada di Minangkabau. Penulis mengetahu.
bahwa makalah ini masih jauh dari kata cukup, maka dari itu penulis menerima
kritik dan saran dan pembaca untuk penyempurnaan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat


Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 233.

Duski Samad, “Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan, dan


Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003),
vol 6, no. 2, 120.

Nasrun, Dasar Filsafat Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 13.

Sidi Gazalba, Konflik Antara Adat, Agama dan Pengaruh Adat (Padang: Seminar
Islam di Minangkabau, 1969), 3.

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat


Minangkabau (Desertasi UIN Jakarta, 1982), 245

Duski Samad, ”Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan dan


Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003),
vol 6, no. 2, 120

Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (Padang: PPIM, 2003), 8-10.

Duski Samad, “Tradisionalisme Islam di Minangkabau: Dinamika, Perubahan, dan


Kontinuitasnya” Tajdid: Jurnal Nasional Ilmu-ilmu Ushuluddin (Juli 2003),
vol 6, no. 2, 121.

Anda mungkin juga menyukai