Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEBUDAYAAN ISLAM DI LOMBOK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di


Indonesia

Dosen Pengampu :M. Fairus Kadomi, M.Hum.

Disusun Oleh Kelompok 6:

1. Ika Witantri 53010210055


2. Syahril Azwan Tantowi 53010210049
3. Uswatun Hasanah 53010210134

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN


ADAB DAN HUMANIORAUNIVERSITAS NEGERI ISLAM SALATIGA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-nya sehingga penyusunan makalah kebudayaan Islam di Bugis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tidak lupa Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah sejarah kebudayaan Islam di Indonesia dengan dosen pengampu Bapak
M. Fairus Kadomi, M. Hum. Sehingga makalah ini nantinya dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini, semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Salatiga, 15 November 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. Sejarah Awal Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok .................. 3
B. Islam Wetu Telu Dan Islam Wetu Lima Di Lombok................................. 6
C. Pengaruh Bali Terhadap Kebudayaan Islam Di Lombok ........................ 8
BAB III .................................................................................................................... 10
PENUTUP ............................................................................................................... 10
A. Kesimpulan .................................................................................................. 10
B. Saran ............................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pulau Lombok mempunyai sejarah yang sangat dinamis, diperintah


oleh lima penguasa berturut-turut. Kerajaan Majapahit menjadi penguasa
pertama, disusul Kerajaan Makassar, kemudian Kerajaan Kareng Asem Bali,
kemudian pemerintah kolonial Belanda dan terakhir Dai Nippon (Jepang).
Pulau Lombok juga diwarnai dengan pengaruh agama Islam yang dibawa
dari Makassar dan Pulau Jawa khususnya Jawa Timur, baik melalui
perdagangan maupun penguasaan. Kehadiran agama Islam di Pulau Lombok
menimbulkan konflik baik langsung maupun tidak langsung dengan budaya
yang berkembang di pulau tersebut (Hindu dan Majapahit Budha).
Ajaran Islam yang ada di Lombok memiliki dua varian, yaitu ajaran
Islam Wetu Telu dan ajaran Islam Wetu Lima. Dari masing-masing varian
tersebut memiliki ajaran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Selain itu, di Lombok juga mendapatkan pengaruh dari Bali yang pada saat
itu melakukan invasinya terhadap Lombok pada abad ke-17. Pengaruh Bali
ini pun melahirkan adanya akulturasi antara kebudayaan Bali dengan nilai-
nilai islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Awal Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok?

2. Bagaimana Islam Wetu Telu dan Islam Wetu Lima Di Lombok?

3. Bagaimana Pengaruh Bali Terhadap Kebudayaan Islam Di Lombok?

C. Tujuan Penulisan
4. Untuk Mengetahui Awal Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok.

5. Untuk Mengetahui Dinamika Sosial dan Budaya di Lombok.

6. Untuk Mengetahui Pengaruh Bali Terhadap Kebudayaan Islam


Di Lombok.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok

Lombok dikenal sebagai pulau 1001 masjid, masyarakat Lombok dikenal


religius. Islam menjadi seipirit kemajuan peradabaan Lombok hingga kini, tapi
tidak banyak yang tau bagaimana Islam masuk dan berkembang di Lombok.
Untuk itu kami akan membahas mengnasi masuknya Islam di Lombok.

Islam masuk ke Lombok kira-kira abad ke 16 M, penyebarnya yang


terkenal adalah salah satu ekspedisi dari Jawa yang di pimpin oleh Susan Prapen
(putra Sunan Giri). Berdasarkan mitologi lokal ada pula babat yang ditulis di
pohon palem. Disebutkan bahwa Sunan Giri berdatanggung jawab atas
masuknya Islam di pulau ini pada tahun 1445 M. Masuknya Islam ke Lombok
merupakan babagan sejarah baru dalam merubah keyakinan keagamaan etnis
sasak menjadi pemeluk agama islam. Sunan Prapen tiba di pelabuhan care pantai
anyer yang sekarang menjadi Kecamatan Bayan. Terlepas dari berbagai versi
masuknya Islam ke Lombok yang jelas bahwa Islam datang melalui Jawa dan
tiba pertama kali di Lombok bagian utara, inilah pendapat mayoritas ahli sejarah
terkait masuknya Islam di Pulau Lombok.

Menurut babat lombok Sunan Giri memerintahkan tiga orang dari


mjuridnya yaitu Lembu Mangkurat untuk mengislamkan Banjarmasin, Datuk
Bandar mengislamkan Makasar dan Sunan Prapen (putra Sunan Giri) ditugaskan
untuk mengislamkan Pulau Lombok, Sumbawa dan Bali. Sunan Prapen tiba di
Lombok dengan membawa sejumlah pengiring dan ulama ulama dari Jawa.
Diantaranya ada yang pandai memainkan wayang, oleh karena itu Agama Islam
menyebar di Lombok melalui komunikasi pewayangan. Orang pertama yang
bersedia menerima ajaran islam saat itu adalah Raden Maspahit, di Lombok saat
itu tengah berkuasa raja-raja kecil yang merdeka dan berdiri sendiri meskipun
secara formal. Raja-raja kecil itu tergabung dalam dua buah hegemoni yakni
kerajaan Bayan dan kerajaan Selaparang tercatat dalam sejarah bahwa dinasti

3
selaparang yang pertama kali menerima islam. Upaya mengislamkan raja-raja
islam di Lombok tidak mengalami kesulitan karena dengan menceritakan bahwa
raja-raja di Jawa sudah memeluk islam maka mereka dengan senang hati juga
memeluk agama islam hal ini disebabkan raja-raja di Lombok mempunyai
hubungan pertalian darah dengan dengan raja-raja di Jawa terutama kerajaan
Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya nama beberapa desa dan kota
di Lombok yang sama dengan desa dan kota di bekas wilayah Kerajaan
Majapahit di Jawa.

Adapun ada tiga teori yang menjelaskan tentang masuknnya Islam di


Lombok, yaitu: Pertama Islam masuk ke Lombok pada abad ke-13 M, bersamaan
dengan masuknya para pedagang Gujarat ke Perlak, Samudra Pasai, juga dari
Arab, yaitu adanya seseorang mubaligh Shaihk Nurul Rasyid yang kemudian
menikah dengan Dende Bulan (Dewi Anjani) dan melahirkan anak bernama
Zulkarnain, yaitu cikal bakal Syaid Duhri Haddab al Hadami yang
mengembangkan Islam pada masa kerajaan Selaparan (abad 17 M).1

Teori kedua menjelaskan bahwa Islam di Lombok dibawa dari Jawa oleh
Sunan Prapen (1548-1605) yang lebih dikenal dengan Sunan RATU Giri
keempat, beliau datng ersama cdengan Pangeran Sangapati pada abad ke-16 M,
melalui jalan utara, hal ni ditandai dengan adanya Lokal Jawa, Ampel Duri, dan
Ampel Gading di Bayan Lombok Utara melalui pelabuhan carik. Teori Ketiga
menyebutkan bahwa Islam masuk ke Lombok pada abad yang sama, yakni abad
ke-16, namun melalui jalur timur, yakni pulau Sumbawa yang kemudian
disebarkan para pedagang dan pelaut dari Makasar. Sebagaiman diketahui,
kerajaan Selaparang Islam Semua di Labuan Lombok, Kabupaten Lombok
Timur yang kemudian sekarang dipindahkan ke bekas ibukota Kerajaan
Selaparang Hindu, yaitu waktu perang Lombok. Dan teori yang ketiga ini adalah
sebagaimana Islam di Bima yang datang dari Makasar kemudian menuju
Lombok.2

Dari ketiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam masuk di Pulau
Lombok pada abad ke-16 dan berkembang pesat sampai abad ke-17, dua diantara
1
Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak : Sebuah Potret Dialektika Haji dan Kebudayaan
Lokal. Ciputat: IMPRESSA Publishing,2013
2
Jamaluddin, Islam Sasak : Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok ( Abad XVI-XIX), jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2004, hal 73
4
ketiga teori masuknya Islam di pulau Lombok menegaskan hal tersebut, yakni
dari dua jalur yang berbeda yaitu dari arah Barat yaitu Jawa dan dari arah Timur
yaitu Makasar melewati Bima dan Sumbawa baru kemudian ke Pulau Lombok,
walaupun tidak dapat menutup mata juga dari teori yang pertama.3

3
Syakur, Isllam dan Kebudayaan Muhammad Ariadi, Haji Sasak, Sebuah Potret Dialektika
Haji Kebudayaan Lokal, Ciputat: IMPRESSA Pubblishing.2013

5
B. Islam Wetu Telu Dan Islam Wetu Lima Di Lombok

Istilah Wetu Telu adalah suatu ajaran yanag muncul dari tiga prinsip dasar.
I Gde Parimartha, menyebutkan bahwa prinsip Wetu Telu adalah penyatuan dari
tiga ajaran, yaitu petangan Jawa (Siwa Budha), petangan Arab (ajaran Islam), dan
petangan Kudus (ajaran asli Sasak atau yang dikenal Boda). Dalam Wetu Telu,
mereka melakukan sembahyang hanya di tiga waktu, yaitu pada saat kematian,
hari raya, dan dari Jum’at. Menurut Guru Mustaji, menyebutkan bahwa orang
Islam Sasak melakukan sembahyang tiga kali, yaitu Subuh, Isa dan magrib.
Kewajiban melakukan sholat lima waktu dianggap sebagai ajaran agama, dan
orang Sasak yang memadukan antara budaya dengan ajaran agama disebut dengan
Islam Kultural. 4
Penganut Wetu Telu identik dengan praktek kehidupan sehari-hari yang
berpegang kuat dengan adat istiadat nenek moyang. Di dalam ajaran Wetu Telu
juga terdapat banyak nuansa keislaman, namun diartikan sebagai adat. Dalam
ajaran ini, agama bercampur dengan adat yang sejatinya adat tidak selalu sejalan
dengan agama. Adanya percampuran ini membuat Wetu Telu menjadi ajaran yang
sangat sinkretik. Di dalam ajaran Wetu Telu juga mengadakan ritual upacara
(sejak lahir hingga menikah) yang bernama gawe urip, diantaranya yaitu:
1. Buang Au (upacara kelahiran), pembuangan abu dari arang yang dibakar
oleh dukun beranak setelah persalinan. Dilaksanakan satu minggu setelah
melahirkan, dan sekaligus mengumumkan nama dari anak tersebut.
2. Ngurisang (potong rambut), upacara pemotongan rambut anak yang berusia
1 sampai 7 tahun.
3. Ngitanang (khitanan), dilakukan saat anak berusia 3 sampai 10 tahun. Hal
ini disimbolkan sebagai peng-Islam-an dari anak tersebut.
4. Merosok (meratakan gigi), menandai adanya peralihan dari masa anak-anak
ke masa dewasa.
5. Merari/Mulang (mencuri gadis) dan Metikah (perkawinan).
Selain gawe urip, Wetu Telu juga menjalankan ritual-ritual kematian,
yaitu gawe pati. Dimulai dari hari penguburan (nusur tanah), hari ketiga
(nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari ke empat puluh
4
Seramasara, I Gusti Ngurah. “Wetu Telu Sebagai Identitas Etnis Sasak Dalam Tekanan
Universalisme di Lombok”. Documentation. ISI Denpasar. 2017.
6
(matang puluh), keseratus (nyatus), dan hari keseribu (nyiu). Ritual ini
bertujuan untuk menyatukan jiwa orang yang telah meninggal dengan dunia
leluhur. Hal ini erat kaitannya dengan persepsi di kalangan penganut Wetu Telu
bahwa kematian merupakan suatu tahapan yang menjamin suatu tahapan yang
lebih tinggi yaitu keluhuran (lingkaran leluhur) dan ritual-ritual yang menjamin
tercapainya tahapan tersebut.

Lalu, terdapat pula ritual-ritual atau upacara-upacara yang berkaitan


dengan hari-hari besar Islam, yaitu:

1. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at


2. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
3. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
4. Lebaran Topat
5. Lebaran Pendek
6. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
7. Maulud5
Sementara Islam Wetu Lima atau Waktu Lima adalah bentuk ajaran
Islam di Lombok yang lebih menikuti praktik-praktik keislaman sesuai agama,
seperti sholat lima waktu dan mematuhi lima rukun islam. Ajaran Islam Waktu
Lima ini sama halnya dengan ajaran Islam yang ada di luar pulau Lombok.
Penganut ajaran Waktu Lima ini, menjalankan ajaran Islam sesuai dengan Al-
Qur’an dan Hadis Nabi SAW. terutama dalam aqidah, syari’ah, muammalah dan
akhlaq. Para penganut ajaran ini terdiri dari masyarakat Sasak yang
dikelompokkan dalam Islam tradisionalis dan modernis. Mereka juga tergabung
dalam organisasi-organisasi sosial keagamaan.

Para penganut ajaran Waktu Lima menganggap bahwa model


peribadatan orang-orang Wetu Telu itu kurang sempurna, yang dimana dalam
Islam Wetu Telu masih mencampurkan agama dengan adat istiadat mereka.
Islam Waktu Lima berpandangan bahwa ajaran yang dibawa oleh orang-orang
Wetu Telu masih kurangnya praktek-praktek Islam yang baku, melainkan adanya
kemiripan dengan agama Hindu. Cukup banyak perbedaan pandangann antara

5
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika Islam dan Budaya
Lokal”. Akademik: Jurnal Pemikiran Islam. Vol 17. No 2. 2012.
7
orang-orang Wetu Telu dengan orang-orang Wetu Lima. Wetu Lima cenderung
menggunakan ajaran dengan standar ideal Islam, dan Wetu Telu yang
menggabungkan antara ajaran agama dengan adat istiadat kuno yang telah ada di
Sasak sejak lama.6

C. Pengaruh Bali Terhadap Kebudayaan Islam Di Lombok

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku


Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat
apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan
kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga
masyarakat. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah.7

Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok. Salah


satunya tradisi yang unik dan masih kental di masyarakat Lombok yaitu tradisi
merariq. Merariq secara etimologi diambil dari kata ”lari”. Merari’an berarti
melai’an: melarikan. Kawin lari adalah sistem adat pernikahan yang masih
diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merariq. Secara
terminologi, merariq berasal dari bahasa Sasak ”berariq” yang artinya berlari dan
mengandung dua arti: Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua,
keseluruhan pelaksana perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan
tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orangtua serta
keluarganya.8

Perkawinan dengan bentuk merariq muncul dari pengaruh Hindu-Bali


setelah melakukan invasi terhadap Lombok pada abad 17, intimidasi kekuasaan
dilakukan Bali dengan semena mena dalam memberikan sikap terhadap wanita
Sasak, yakni sebagai pemuas nafsu, perlakuan ini memunculkan inisiatif dalam
diri orang Sasak terutama para pemudanya, dari pada wanita Sasak ini diambil
6
Basaruin. “Sejarah Perkembangan Islam di Pulau Lombok Pada Abad Ke-17”. Sangkep: Jurnal
Kajian Sosial Keagamaan. Vol 2. No 1. 2019.
7
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq Wajah Sosial Masyarakat Sasak. IAIN Mataram: Lembaga
Pengkajian-Publikasi Islam dan Masyarakat. (2012), hal. 9.
8
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq Wajah Social Masyarakat Sasak, hlm. 49.
8
oleh orang Hindu-Bali untuk dijadikan gundiknya maka lebih baik mereka atau
pemuda Sasak yang membawa lari wanita Sasak untuk menyelamatkan dan
dinikahinya. Pada awalnya merariq merupakan sebuah bentuk kepedulian serta
keberanian pemuda Sasak untuk menyelamatkan para wanitanya dari perlakuan
Bali. Dari sini terjadi dua arus akulturasi kebudayaan antara nilai kebudayaan
Bali dan nilai Islam yang mana merupakan obyektifitas yang melahirkan realitas
yakni merariq.9

Tradisi merariq ini memiliki gambaran bagaimana terjadinya dalam suatu


perkawinan mempunyai berbagai ritual adat yang memiliki pesan moral dan nilai
sosial yang erat dan diyakini dalam masyarakat. Tradisi merariq juga mempunyai
gambaran di mana suatu tradisi yang menjadi pegangan hidup dalam
melaksanakan kehidupan. Merariq merupakan adat istiadat dalam suatu
pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang dimiliki oleh masyarakat suku
Sasak. Merariq ini merupakan prosesi turun temurun yang sudah menjadi
identitas suku Sasak. Yang melatarbelakangi seseorang dalam melakukan prosesi
ini adalah:10

1. Karena adanya paksaan dari pihak pengantin laki-laki.

2. Karena tidak adanya persetujuan dari orang tua kedua belah pihak baik laki-
laki maupun perempuan.

3. Karena prosesi pernikahan merariq merupakan kebiasaan yang lalu menjadi


suatu adat istiadat yang menjadi wajah dari masyarakat suku Sasak.

Fenomena dari budaya merariq pada kehidupan masyarakat Sasak yaitu


tidak lain untuk suatu perwujudan dalam hal kearifan lokal, di mana di dalamnya
juga ada keyakinan masyarakat untuk menunjukkan suatu keberanian seorang
laki-laki untuk calon istri yang akan dipinangnya.

9
Lalu Darmawan, Sistem Perkawinan Masyarakat Sasak (Interpretasi atas Dialetika Agama
dengan Tradisi Merarik Masyarakat Lombok Nusa Tenggara Barat), Skripsi UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakrta, 2006, h. 125.
10
Jurnal Interpretasi Hukum Vol. 2, No. 3, 2021, hlm. 481
9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Islam masuk di Pulau Lombok pada abad ke-16
dan berkembang pesat sampai abad ke-17,dua di antara ketiga teori masuknya Islam
di Pulau Lombok menegaskan hal tersebut, yakni dari dua jalur (arah) yang berbeda
yaitu dari arah Barat yaitu Jawa dan dari arah Timur yaitu dari Makasar melewati
Bima dan Sumbawa baru kemudian ke Pulau Lombok.
Secara umum sering dinyatakan bahwa corak Islam yang berkembang
dalam masyarakat Sasak di Pulau Lombok ada dua varian, yaitu Islam Wetu Telu
dan Islam Wetu Lima. Berdasarkan kebiasaan keagamaan mereka, Sasak Waktu
Lima mempercayai rukun Islam yang lima dan menerapkannya secara keseluruhan
sebagai kewajiban bagi setiap individu muslim yang akil dan balig. Adapun Islam
Wetu Telu cenderung hanya menerapkan tiga rukun Islam, yaitu syahadat, shalat,
puasa.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok. Salah
satunya tradisi yang unik dan masih kental di masyarakat Lombok yaitu tradisi
merariq. Fenomena dari budaya merariq pada kehidupan masyarakat Sasak yaitu
tidak lain untuk suatu perwujudan dalam hal kearifan lokal, di mana di dalamnya
juga ada keyakinan masyarakat untuk menunjukkan suatu keberanian seorang laki-
laki untuk calon istri yang akan dipinangnya.

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga bermanfaat untuk semua.
Kami yakin bahwa di dalam makalah ini tentunya masih ada banyak kekurangan.
Maka dari itu, kami berharap mendapatkan saran dan kritik yang bersifat
kontruktif dari pembaca untuk kesempurnaan selanjutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak : Sebuah Potret Dialektika Haji dan
Kebudayaan Lokal. Ciputat: IMPRESSA Publishing,2013

Jamaluddin, Islam Sasak : Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok ( Abad XVI-


XIX), jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2004, hal 73

Syakur, Isllam dan Kebudayaan Muhammad Ariadi, Haji Sasak, Sebuah Potret
Dialektika Haji Kebudayaan Lokal, Ciputat: IMPRESSA
Pubblishing.2013

Seramasara, I Gusti Ngurah. “Wetu Telu Sebagai Identitas Etnis Sasak Dalam
Tekanan Universalisme di Lombok”. Documentation. ISI Denpasar. 2017.

Zuhdi, Muhammad Harfin. “Islam Wetu Telu di Bayan Lombok: Dialektika


Islam dan Budaya Lokal”. Akademik: Jurnal Pemikiran Islam. Vol 17. No
2. 2012.

Basaruin. “Sejarah Perkembangan Islam di Pulau Lombok Pada Abad Ke-17”.


Sangkep: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan. Vol 2. No 1. 2019.

M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq Wajah Sosial Masyarakat Sasak. IAIN


Mataram: Lembaga Pengkajian-Publikasi Islam dan Masyarakat. (2012),
hal. 9.

M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq Wajah Social Masyarakat Sasak, hlm. 49.

Lalu Darmawan, Sistem Perkawinan Masyarakat Sasak (Interpretasi atas


Dialetika Agama dengan Tradisi Merarik Masyarakat Lombok Nusa
Tenggara Barat), Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakrta, 2006, h. 125.

Jurnal Interpretasi Hukum Vol. 2, No. 3, 2021, hlm. 481

11

Anda mungkin juga menyukai