Anda di halaman 1dari 6

Rogoselo merupakan nama sebuah desa di kawasan selatan Kabupaten Pekalongan,

tepatnya di Kecamatan Doro. Dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Pantura
Kota Pekalongan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Letaknya yang berada di
kawasan pegunungan, membuat udara di daerah Rogoselo terasa sejuk dan dipenuhi
oleh berbagai jenis pepohonan. Desa ini juga dikenal sebagai sentra Durian yang
terkenal, dan hampir setiap tahunnya diadakan festival durian yang selalu ramai
didatangi oleh pengunjung
Tak hanya karena duriannya, Rogoselo juga terkenal karena di sana terdapat
beberapa situs sejarah, diantaranya yaitu makam Syeh Abdullah atau yang lebih
dikenal dengan nama Syeh Wali Agung Rogoselo atau Ki Ageng Rogoselo serta
petilasan Sayyidi Muhammad Abdussalam yang lebih dikenal dengan julukan Ki Gede
Penatas Angin. Kedua tokoh ini memiliki andil besar dalam sejarah Islam di kawasan
Rogoselo ini. Dari kisah perjalanan kedua tokoh ini pula lah nama desa Rogoselo
berasal dan dikenal sampai sekarang ini. Selain itu di kawasan Rogoselo juga terdapat
situs sejarah patung batu Baron Sekeber yang letaknya tidak jauh dari kedua situs
tersebut. Baron Sekeber ini merupakan tokoh antagonis yang terdapat dalam sejarah
Rogoselo di masa silam.
Memang tidak dapat dipungkiri, terdapat beberapa versi cerita mengenai asal-usul
desa Rogoselo yang berkaitan dengan tokoh-tokoh tersebut di atas. Baik latar kejadian
maupun alur kisah dari masing-masing versi ada yang memiliki perbedaan yang cukup
mencolok. Selain dikarenakan situs sejarah di desa Rogoselo ini yang tergolong berusia
tua, sehingga cukup sulit untuk mendapatkan data otentik yang berkaitan dengan
sejarah situs-situs tersebut, juga dikarenakan masih minimnya penulisan sejarah
mengenai tokoh-tokoh ini. Kebanyakan masih berupa cerita dari mulut ke mulut, yang
jelas saja dapat menimbulkan berbagai versi kisah, entah ketika yang menceritakan
tersebut kurang teliti dalam membawakan kisahnya, atau bisa juga karena yang
mendengar kisah tersebut salah paham dalam menangkap alur cerita yang bisa jadi
dikarenakan keterbatasan orang itu sendiri. Tak ayal, hingga saat ini terdapat banyak
versi yang menceritakan kisah tokoh-tokoh sejarah di desa Rogoselo ini, yang mana
antara satu versi dengan versi lainnya bisa saja tidak saling koheren.
Versi pertama yang menceritakan asal-usul nama Rogoselo ini bersumber dari
salah seorang juru kunci makam Syeh Wali Agung Rogoselo yang letak tempat
tinggalnya tidak jauh dari makam, yaitu bapak Maulana Sholeh[2]. Beliau bercerita
bahwasannya sejarah asal muasal nama Rogoselo sudah terjadi sebelum masa
Walisongo yang masyhur mulai berdakwah di pulau Jawa.
Kisah bermula saat Pangeran Cokrobuwono yang merupakan putra Prabu
Siliwangi dari kerajaan Pajajaran diutus oleh gurunya, yaitu Syeh Quro, untuk
bersemedi di atas sebuah batu lemper atau batu yang berbentuk gepeng yang berada
di sebuah daerah di hutan Gambiran, atau sekarang lebih dikenal dengan nama
Pekalongan.
Setelah melakukan pertapaan, tiba-tiba muncullah seorang bayi di atas pangkuan
Pangeran Cokrobuwono yang masih duduk bersilah di atas batu lemper tadi. Akhirnya
pangeran Cokrobuwono menyudahi semedinya dan meninggalkan bayi tersebut di atas
batu lemper tempat ia bersemedi semula, untuk kemudian melapor kepada sang guru
yang memerintahnya untuk melakukan ritual bertapa tersebut.
Ditemuilah sang guru dengan tujuan untuk menceritakan apa yang telah
dialaminya selama melakukan semedi serta meminta penjelasan mengenai maksud
dari peristiwa-peristiwa yang telah dilaluinya tadi.
Tanpa banyak kata, sang guru memerintahkan Pangeran Cokrobuwono untuk
kembali ke tempat ia meninggalkan bayi tadi untuk kemudian merawat serta
membesarkanya, sang guru juga berpesan agar Pangeran Cokrobuwono berguru
kepada sang anak ketika sudah saatnya tiba. Menurut penuturan sang guru, bayi yang
muncul dalam pertapaannya di atas batu tadi kelak akan menjadi ulama besar yang
akan menyebarkan ajaran Islam di kawasan tersebut. Bayi tersebut kemudian dikenal
dengan nama Syeh Wali Agung Rogoselo, karena diambil dari peristiwa munculnya
sang bayi, yaitu Rogo yang berarti badan atau tubuh, dan Selo yang berarti batu. Yaitu
tubuh yang muncul di atas sebuah batu.
Jadi, menurut versi ini nama Rogoselo diambil dari peristiwa munculnya bayi di
atas sebuah batu lemper tempat bersemedi tadi. Disebutkan oleh sang juru kunci
bahwa lokasi tempat bersemedi tadi berada di kawasan sekitar masjid Rogoselo yang
terletak di dekat makam. Dan jika dilihat dari waktu terjadinya peristiwa semedi yang
masih berlatar kerajaan Pajajaran ini, maka dapat dikatakan jika Syeh Wali Agung
Rogoselo ini melakukan dakwahnya sebelum masa dakwah dari Walisongo yang
masyhur atau sebelum berdirinya kesultanan Demak pada abad 15 M. Sehingga dalam
versi ini Syeh Wali Agung Rogoselo dan Ki Gede Penatas Angin tidak hidup dalam
kurun waktu yang sama, karena dikisahkan dalam versi ini jika Ki Gede Penatas Angin
merupakan seorang tokoh yang memiliki ilmu kanuragan luar biasa dari kesultanan
Mataram Islam yang singgah di daerah Rogoselo dalam rangka melakukan pengejaran
terhadap Baron Sekeber yang membuat onar di wilayah kekuasaan Mataram Islam.
Dalam versi lain yang cukup berbeda disebutkan bahwa Syeh Agung Rogoselo
dan Ki Gede penatas Angin hidup pada masa yang bersamaan, yaitu ketika
Panembahan Senopati Sutawijaya masih menduduki tahta kesultanan Mataram Islam.
keduanya merupakan orang kepercayaan Panembahan Senopati. Versi ini juga pernah
dibuat film dokumenter yang dipakarsai oleh BappedaKabupaten Pekalongan dengan
judul “Film Legenda Rogoselo”
Dikisahkan pada suatu ketika datanglah seseorang berkebangsaan Spanyol yang
memiliki ilmu kanuragan yang tinggi di daerah kekuasaan Mataram Islam dengan tujuan
untuk menguasai serta menaklukkan kawasan tersebut. Dialah Baron Sekeber.
Panembahan Senopati kala itu mengutus Ki Penatas Angin yang juga terkenal
memiliki kesaktian untuk mengatasi kekacauan yang dibuat oleh Baron Sekeber.
Dikejarlah Baron Sekeber hingga memasuki daerah Pengangsalan, yaitu nama daerah
Pekalongan pada masa kesultanan Demak sampai Mataram Islam. Dengan bantuan
dari Ki Ageng Rogoselo, Ki Penatas Angin dapat dengan mudah mengalahkan Baron
Sekeber dan pasukannya.
Dikisahkan bahwa Baron Sekeber setelah kekalahannya melawan Ki Penatas
Angin, ia kemudian menjelma menjadi arca batu yang kini terletak tidak jauh dari
makam Ki Ageng Rogoselo maupun Petilasan Ki Gede Penatas Angin.
Memiliki alur dan latar yang hampir mirip, versi berikutnya menyebutkan jika yang
datang ke tanah Jawa untuk menguasainya bukan hanya Baron Sekeber saja,
melainkan dengan saudaranya, yaitu Baron Sekender beserta beberapa pasukannya.
Mereka sama-sama berasal dari negara Spanyol dan sama-sama berkeinginan untuk
menaklukkan wilayah-wilayah di tempat lain untuk dijadikan bawahan Spanyol kala itu.
Namun nahas, dalam perjalanannya menuju Jawa, kapal yang mereka naiki karam
diterjang ombak ketika hampir sampai di pulau Jawa. Beberapa awak kapal mati
tenggelam, sedangkan kedua bersaudara, Baron Sekeber dan Sekender terpisah.
Setelah beberapa saat terombang-ambing di lautan, rombongan Baron Sekender
berhasil diselamatkan oleh penduduk pribumi yang merupakan pasukan Mataram.
Sedangkan Baron Sekeber sendiri terdampar di wilayah Kadipaten Pati.
Baron Sekeber melakukan pertapaan di Pantai Pati untuk mendapatkan kesaktian,
sedangkan Baron Sekender memilih untuk menyamar sebagai abdi di istana Mataram
dengan niatan akan merebut kekuasaan dari sang raja jika saatnya sudah tepat.
Setelah dirasa cukup menimba kesaktian dengan bersemedi di pantai Pati, Baron
Sekeber kemudian melaksanakan aksinya dengan membuat kerusuhan-kerusuhan di
Kadipaten Pati. Namun sayangnya, sebelum misinya untuk menguasai daerah yang
dilaluinya tersebut berhasil, ia dapat dikalahkan oleh penguasa setempat, yaitu Adipati
Pragola atau Adipati Jayakusuma yang merupakan adik ipar dari Panembahan
Senopati Sutawijaya sang penguasa Mataram kala itu.
Mendengar kekalahan saudaranya, Baron Sekender kemudian melakukan
pemberontakan di wilayah Mataram. Dengan bantuan dari Belanda, Baron Sekender
dapat menimbukan kegaduhan-kegaduhan di wilayah Mataram. Hingga akhirnya
diutuslah Ki Gede Penatas Angin beserta pasukannya untuk menumpas
pemberontakan Baron Sekender tersebut.
Jika di versi sebelumnya Syeh Abdullah Rogoselo merupakan abdi istana
bersama Ki Penatas Angin, dalam versi ini kisahnya sedikit berbeda, Syeh Abdullah
merupakan juru dakwah yang berada di wilayah tempat Ki Gede Penatas Angin singgah
dalam upaya pengejaran terhadap Baron Sekender. Ki Gede Penatas Angin sempat
singgah di sebuah masjid dimana di sana sedang dilakukan sebuah pengajian. Di
sanalah didapati Syeh Abdullah yang sedang melakukan aktifitas dakwahnya di
hadapan para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak.
Setelah acara pengajian selesai, Ki Gede Penatas Angin memutuskan untuk
menemui Syeh Abdullah. Ki Gede Penatas Angin Kemudian menceritakan
keperluannya datang ke kawasan itu, yaitu untuk menumpas pemberontakan Baron
Sekender beserta pasukannya. Mereka berdua akhirnya mencapai kesepakatan untuk
bekerjasama mengalahkan Baron Sekender yang juga bersekutu dengan pasukan
Belanda.
Setelah kesepakatan tercapai, pasukan Mataram bersama dengan para pengikut
Syeh Abdullah berlatih bersama dalam persiapan mereka untuk menyerbu pasukan
lawan. Para pasukan Mataram juga ikut rutin menghadiri ceramah-ceramah keagamaan
yang disampaikan oleh Syeh Abdullah di kala luang seusai berlatih.
Dan pada waktu yang telah disepakati, akhirnya pasukan Mataram dibawah
pimpinan Ki Gede Penatas Angin bersama dengan para pengikut Syeh Abdullah
dengan dibantu oleh penduduk pribumi yang menyediakan stok logistik untuk keperuan
perang, mereka menyerbu pasukan Baron Sekender dan sekutunya sehingga pasukan
Baron Sekender kocar-kacir karena mendapat serangan mendadak dengan jumlah
pasukan lebih banyak dari perkiraan sebelumnya.
Dalam pertempuran tersebut, Pasukan Baron Sekender banyak yang mati
terbunuh. Baron Sekender sendiri pada akhirnya dapat ditaklukkan setelah tubuhnya
terkena tusukan senjata oleh Ki Penatas Angin. Tak lama kemudian, Baron Sekender
pun meregang nyawa di dekat sungai. Dan berakhirlah rangkaian kekacauan-
kekacauan yang dilakukan oleh dua Baron bersaudara tersebut.
Jika dalam versi sebelumnya Baron Sekeber menjelma menjadi patung pasca
kekalahannya melawan Ki Gede Penatas Angin, dalam versi ini diceritakan bahwa
patung yang kini berada di tempat bekas pertempuran itu bukanlah jelmaan Baron
Sekeber, melainkan arca hasil pahatan dari batu yang dibuat oleh para penduduk
setempat sebagai pengingat atas peristiwa terbunuhnya Baron Sekeder yang
merupakan saudara dari Baron Sekeber yang sebelumnya telah dikalahkan oleh adik
ipar dari Panembahan Senopati Sutawijaya yang berkuasa di daerah Kadipaten Pati.
Dalam versi ini, peristiwa pembuatan patung dari batu ini lah yang merupakan asal
muasal nama desa Rogoselo, yaitu diambil dari sesosok tubuh yang terbuat dari batu
atau arca yang merupakan penggambaran tokoh Baron Sekeder. Dan kemudian Syeh
Abdullah pun mendapat julukan Syeh Wali Agung Rogoselo sebagai tanda bahwa ia
adalah ulama besar yang menyebarkan ajaran Islam di kawasan desa Rogoselo
tersebut.
Satu lagi kisah mengenai Syeh Abdullah Rogoselo serta Sayyidi Muhammad
Abdussalam Ki Gede Penatas Angin, disampaikan oleh salah satu tokoh ulama
kharismatik dari kalangan Habaib yang cukup terkemuka sekaligus salah satu ulama
yang dijadikan rujukan utama di daerah Pekalongan khususnya. Beliau adalah Maulana
Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya
Pekalongan. Beliau tersohor karena kedalaman ilmunya yang mencakup area yang
cukup kompleks, baik dalam bidang aqidah, fiqh, tasawuf, sejarah, maupun berbagai
cabang keilmuan lainnya.
Ra`ís ‘Aam Jam’iyyah Ahlu Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdhiyyah (JATMAN)
sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah ini mengisahkan
bahwasannya Syeh Abdullah al-Maghrobi serta Sayyidi Muhammad Abdussalam
merupakan bagian dari rombongan besar al-Maghrobi Jama’atil Qubro atau yang lebih
sering dikenal dengan sebutan Jumadil Kubro yang datang ke Nusantara dengan
membawa misi dakwah Islam dari berbagai negeri yang terlebih dahulu tersinari cahaya
Islam. Rombongan besar itulah yang merupakan generasi awal dari Walisongo yang
banyak dikenal oleh orang-orang sampai sekarang ini.
Secara lengkap rombongan al-Maghrobi tersebut terbagi atas empat generasi,
yakni generasi Jamaludin al Husen atau Jamaludin Kubro, diteruskan dengan generasi
Ibrohim Asmoroqondi, diteruskan lagi oleh generasi Maulana Malik Ibrohim, dan yang
terakhir adalah generasi Sunan Ampel, yaitu generasi Walisongo yang masyhur sampai
saat ini.
Beliau juga mengisahkan bahwa Ki Gede Penatas Angin termasuk ke dalam
jajaran Walisongo angkatan awal. Pendapat ini menguatkan teori jika Walisongo
merupakan nama sebuah organisasi dakwah yang berjumlah sembilan orang, maka
tatkala salah seorang anggota dari Walisongo yang meninggal atau berpindah tempat
tugas berdakwah, akan digantikan oleh tokoh lain untuk menggenapi jumlah
sebagaimana nama dari organisasi dakwah itu sendiri, yaitu berjumlah sembilan orang.
Dikisahkan pula bahwasannya Ki Gede Penatas Angin merupakan salah satu
tokoh yang memiliki andil besar dalam mempertahankan wilayah Pekalongan dari
serangan Portugis kala itu.
Jika dilihat dari beberapa versi yang telah disebutkan di atas, meskipun banyak
alur cerita yang memiliki perbedaan yang cukup mencolok, namun semuanya sama-
sama mengisahkan dua tokoh ulama yang memiliki peran besar dalam sejarah
penyebaran agama Islam di daerah Rogoselo dan sekitarnya. Tidak heran jika situs-
situs di desa Rogoselo itu selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah pada waktu-waktu
tertentu. Karena selain memiliki nilai sejarah yang penting, situs-situs tersebut juga
diyakini memiliki unsur-unsur magis yang dipercayai oleh beberapa golongan
masyarakat, baik yang berasal dari kawasan setempat maupun yang berasal dari luar
daerah Rogoselo.
Setiap tahunnya selalu diadakan acara peringatan khaul Syeh Wali Agung
Rogoselo pada pertengahan bulan Suro menurut hitungan kalender Jawa, atau bulan
Muharrom menurut hitungan Hijriyyah. Untuk tanggalnya tidak ditentukan kapan
tepatnya, hanya saja acara peringatan khaul Syeh Wali Agung Rogoselo ini biasanya
dilakukan pada pekan ke dua atau ke tiga pada bulan Muharrom. Sedangkan acara
peringatan khaul Ki Gede Penatas Angin biasanya dilakukan setiap hari Kamis setelah
hari raya Idul Adha di bulan Dzulhijjah.
Untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada acara khaul di desa Rogoselo ini
tidak jauh berbeda dengan acara khaul-khaul pada umumnya, seperti pengajian akbar,
pembacaan tahlil, manaqib, tausiyah dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai