Anda di halaman 1dari 5

Rahyang Boros Ngora (Seikh Haji Abdul Iman

Latar belakang sejarah Sanghyang Borosngora berawal dari terbentuknya


Kerajaan Panjalu yang berasal dari gabungan dua kerajaan, Gunung Bitung (Soko
Galuh) dan Karangtenan Gunung Sawal. Kerajaan Gunung Bitung, awalnya dipimpin
Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Kerajaan tersebut
kemudian diwariskan kepada Batara Babar Buana, lalu Ratu Galuring Sajagat, Prabu
Sanghyang Cipta Permana Dewa.

Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa memiliki tiga anak kembar yaitu
Sanghyang Bleg Tambleg Rajagulingan, Sanghyang Pamonggang Sangrumanghyang
dan Sanghyang Ratu Permana Dewi. Di antara ketiga anak raja tsb memiliki karakter
berbeda. Sanghyang Ratu Permana Dewi memiliki karakter lembut dan
mengembangkan kerahayuan/kedamaian sewaktu memimpin.

Sanghyang Ratu Permana Dewi menikah dengan Raja Gumilang. Ia keturunan


dari Kerajaan Karangtenan Gunung Sawal. Raja pertamanya Prabu Tisna Jati, lalu ke
Batara Layah, Karimun Putih dan Marangga Sakti. Raja Marangga Sakti inilah
ayahanda dari Rangga Gumilang.

Karena rakyat sangat mencitai Sanghyang Ratu Permana Dewi yang


memimpin kerajaan bernama Soka Galuh, maka rakyatnya memberi gelar tambahan
yaitu Soka Galuh Panjalu. Arti Panjalu ini adalah wanita. Kata itu berasal dari "jalu"
adalah laki-laki, sedangkan tambahan "pan" itu berarti wanita. Ikin menambahkan,
kata pan bisa berarti papan untuk laki-laki. Jadi panjalu mengandung arti istri.

Gelar Panjalu untuk Sanghyang Ratu Permana Dewi, yang dimasukan dalam
nama kerajaannya, karena kecintaan rakyatnya atas kepemimpinan sang ratu.
Selama kepemimpinannya telah mewariskan sejumlah falsafah hidup, yang dipegang
warga Panjalu hingga sekarang.

Di antaranya, ”Mangan Karena Halal. Pake Karena Suci. Ucap Lampah


Sabenere”. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, falsafah itu memiliki arti
sangat dalam untuk kehidupan orang Panjalu. Mereka (warga Panjalu) harus makan
barang yang halal. Bahkan makan disini tidak hanya semata memasukan barang
yang padat ke mulut, tapi semua yang bisa ditangkap dan dirasakan pancaindra,
baik itu mata, tangan dan sebagainya. Mata misalnya. jangan melihat yang tidak
pantas dilihat.

Falsafah tersebut sebenarnya untuk mengingatkan warga Panjalu. Semua


yang dipakai dan dimakan harus merupakan hasil jerih payah yang baik atau kerja.
Semua tindakan dan ucapan mesti mengacu kepada kebenaran.

Kemudian dari pernikahan Rangga Gumilang dengan Sanghyang Ratu


Permana Dewi itu, lahirlah Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu Luhur I.
Kerajaan tersebut diturunkan lagi kepada anaknya yang bernama Prabu Sanghyang
Cakradewa. Cakradewa dianggap salah seorang raja yang maha sakti. tetapi yang
menonjol, ia kabarnya termasuk raja yang ragu dengan keberadaan dewa, sehingga
arti "cakra" pada namanya bermakna menolak dewa. Ajaran yang dikembangkan
pada waktu itu ialah Sunda Wiwitan.

Raja ini memiliki enam orang anak yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur
II, Prabu Sanghyang Borosngora, Sanghyang Panji Barani, Mamprang Kancana Artas
Wayang, Ratu Punut Agung dan terakhir Angga Runting. Putri kedua terakhir ini,
kabarnya menikah dengan Prabu Siliwangi.

Di antara keenam bersaudara Prabu Sanghyang Borosngora dikaruniai


kegagahan dan dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia tidak mempan senjata,
tidak panas terkena api dan bepergian pun tidak perlu menapak di tanah atau di air.

Karena ketidakpercayaannya atas keberadaan dewa, Prabu Cakradewa


memerintahkan putranya Prabu Borosngora untuk mencari ilmu yang bisa menjawab
keraguan yang menyelimuti dirinya. Pada awalnya, Prabu Borosngora mencari ilmu
bela diri. Tetapi, ilmu yang telah dikuasainya ternyata bukan yang diharapkan
orangtuanya. Akhirnya, Borosngora kembali pergi keluar dari kerajaan. Tetapi kali
ini, Prabu Cakradewa memberi syarat. Borosngora harus membawa gayung untuk
membawa air saat pulang. Tetapi gayung itu harus dilubangi, sehingga tidak
memungkinkan Borosngora berhasil membawa air.

Meski sedih karena tugas ini terlalu berat dan nyaris mustahil, Borosngora
menyanggupi permintaan ayahandanya. Ia kemudian menjelajah nusantara untuk
mencari guru yang lebih luhur ilmunya dari dia, yaitu bila sudah bisa memberikan
ilmu membawa air di dalam wadah yang bolong tanpa menumpahkan airnya.

Untuk melihat tingkat kesaktian calon guru-gurunya, Borosngora sengaja


mengajak mereka berduel satu lawan satu dan hasilnya Borosngora selalu menang.
Akhirnya Borosngora mengembara ke Asia Barat melalui negara-negara India,
Pakistan dan sebagainya hingga ia tiba di Padang Arafah, Arab Saudi.

Rute perjalanan Borosngora ini pernah diteliti oleh para ahli sejarah dan
berdasarkan penelitian tersebut, ia memang pergi ke Padang Arafah di Arab Saudi.
Konon di sana, Borosngora bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang
merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga berstatus menantu sekaligus
sepupu Nabi. Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya
untuk mencari guru yang punya ilmu tinggi.

Mendengar penuturan tersebut, Borosngora diajak berjalan-jalan. Di sebuah


tempat, orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta untuk
diambilkan. Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya
sebagai hal yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang
tongkat yang ditancapkan tidak begitu dalam. Tetapi, kenyataannya di luar dugaan.
Meski sudah berusaha sekuat tenaga, bahkan hingga mengucurkan keringat, tongkat
tersebut jangankan berhasil dicabut, bergoyang pun tidak. Borosngora akhirnya
menyerah.

Orang yang mengaku sebagai salah seorang sahabat Nabi itu mendekati
Borosngora. Sambil membaca ’Bismillah’, hanya dengan satu tangan, ia dengan
mudah mencabut tongkatnya. Melihat pemandangan diluar dugaannya, Borosngora
kaget, bahkan memutuskan untuk berguru. Borosngora pun kemudian dibawa ke
Makkah dan menjadi seorang muslim.

Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi,


sama dengan masa Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan mereka memang nyata
terjadi. Setelah sekian lama berguru pada Ali, Borosngora diminta pulang ke
negerinya, sebab Ali merasa ayah dan ibu Borosngora sudah merindukan anaknya.
Borosngora sendiri menyatakan sudah ingin pulang, namun tidak berani bila belum
bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya tersebut.

Dengan enteng Ali meminta agar Borosngora mengambil air zamzam sambil
melafalkan doa. Atas izin ALLAH SWT, air tersebut tidak tumpah dan Borosngora bisa
membawa air zamzam itu hingga tiba di Panjalu. Ali juga memberikan cenderamata
berupa pedang dan jubah bagi Borosngora dengan amanat agar Borosngora
menyiarkan agama Islam di Panjalu.

Karena kekagumannya atas salah seorang sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib
itulah, maka kemudian tatkala kembali ke Pulau Jawa beliau menggunakan nama
Sayyid Ali bin Muhammad.

Setiba di Panjalu, ayah Borosngora sudah tidak lagi menjadi raja tapi sudah
menjadi begawan, sementara kedudukan raja diberikan kepada kakak Borosngora,
yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II. Ayah Borosngora yang memang
menunggu-nunggu kehadiran anaknya ketika melihat anaknya sudah pulang dengan
membawa air di dalam canting yang bolong tanpa menumpahkan airnya sedikit pun,
kemudian mengatakan pada Borosngora untuk membuat danau di daerah Legok
Jambu.

Borosngora kemudian membendung kawasan Legok Jambu dengan batu yang


sampai sekarang masih bisa dilihat susunannya yang berupa batu-batu hitam seperti
batu yang terdapat di Candi Borobudur, air zamzam itu ditumpahkannya di Legok
Jambu dan jadilah Situ (Danau) Lengkong.

Kemudian Borosngora membuat bendungan dan memindahkan kerajaan di


tengah pulau yang berada dalam danau tersebut. Setelah bisa membendung danau
dan membuat kerajaan di dalam pulau, Borosngora kemudian diangkat jadi raja
Panjalu. Kakak Borosngora, kemudian pindah ke Gunung Tampomas Sumedang dan
memerintah di sana, dan sama dengan ayahnya yang bijaksana, raja Tampomas ini
juga bergelar Siliwangi.
Sementara itu, Borosngora yang sudah memeluk agama Islam kemudian
memerintah kerajaannya dengan ajaran kearifan Islam dan masuk dalam Kerajaan
Panjalu. Karena titah raja adalah undang-undang, maka ketika Borosngora
menganut Islam, rakyatnya pun menganut agama Islam. Itulah sebabnya, kenapa
orang Panjalu sangat bangga pada rasa kesundaan dan ke-Islamannya, karena tak
lain karena merasa bahwa raja mereka dulu berguru langsung dari sahabat Nabi dan
membawanya ke sini, jauh sebelum para pedagang dari Persi dan Gujarat mendarat
di Indonesia dan para Walisongo mengajarkan Islam.

Hingga kini, pakaian Borosngora (yang juga dikenal oleh anak keturunannya
dengan sebutan Kyai Haji Penghulu Gusti) yang merupakan hadiah dari Ali bin Abi
Thalib masih tersimpan di Bumi Alit, begitu juga dengan pedang berukuran panjang
berbentuk lengkung dan berlafal Arab yang artinya pedang milik Ali. Namun, saat ini
tulisan di atas pedang sudah hilang karena tiap tahun pedang tersebut diasah,
dicuci, dan dibersihkan melalui satu tradisi yang bernama Nyangku.

Sedangkan makam Prabu Borosngora sendiri tidak ditemukan, yang ada


hanya makam putra pertamanya, yaitu Prabu Hariang Kancana. Ada yang
menyebutkan bahwa seseorang yang bergelar Sanghyang, memang tidak
meninggalkan jasad saat meninggal, berbeda kalau gelarnya Hariang, maka ia
meninggalkan jasad.

Selama hidupnya, Borosngora ternyata tidak hanya memerintah Panjalu. Ia


diketahui menjelajah beberapa tempat di Nusantara dan mendirikan kerajaan Islam
dengan nama yang berbeda-beda. Dari Panjalu, ia pindah ke Sukabumi dan
mendirikan Kerajaan Jampang. Ia mengganti namanya menjadi Sanghyang Jampang
Manggung. Kemudian pindah ke Gebang Pandeglang, Banten, dan mengubah
namanya menjadi Prabu Sanghyang Gebang. Setelah Gebang besar, ia pindah ke
Sumatera mendirikan kerajaan di sana dan kemudian menjelajah hingga ke Siak,
kemudian ke Kalimantan.

Tak lama di Kalimantan, ia kembali ke Jawa, yaitu ke Cilamaya dan


mengganti namanya menjadi Syekh Syaifulloh, terakhir ia tinggal di Gunung
Sembung dan mengganti namanya menjadi Syekh Abdul Iman. Selama masa
pengembaraannya, Borosngora selalu mendirikan kerajaan yang bernafaskan Islam
sehingga bisa dikatakan tunas kerajaan Islam di Nusantara tidak lain berkembang
karena jasanya.

Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Hariang Kancana. Makamnya


berada di tengah situ atau lebih dikenal dengan Nusa Gede. Keturunan lainnya dari
Prabu Hariang Kancana yaitu Parbu Hariang Kuluk Kunang Teko, Prabu Hariang
Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu turun lagi ke Prabu
Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang ditemukan di beberapa
tempat di daerah Panjalu.
Kerajaan Panjalu bubar sekitar tahun 1250. Lalu bergabung masuk ke wilayah
Keraton Cirebonan dan raja berganti menjadi Bupati. Keturunan dari kerajan ini
adalah Bupati Sembah Dalem Arta Sacanata, Dalem Wiradipa. Diteruskan lagi oleh
Sembah Dalem Cakranagara I, Sembah Daleh Cakranagara II, Sembah Dalem
Cakranagara III yang juga merupakan bupati terakhir yaitu tahun 1819. Bupati
terakhir ini juga dimakamkan di tengah situ.

Keturunan bupati terakhir yaitu Demang Prajadinata yang disebut sebagai


pemilik Situ Lengkong. Dari Demang, turunannnya berikutnya yaitu R.H. Muh Nur
Tjakrapraja, lalu R.H. Nur Rohman Galib Tjakradinata dan keturunan sekarang yaitu
H. Atong Tjakradinata.

Anda mungkin juga menyukai