Anda di halaman 1dari 227

Dari Penulis

Tulisan ini berisi sebuah cerita, sebagian ku ambil dari perjalanan hidupku sendiri, pengalaman yang
ku rangkai dengan keterbatasan dan kedunguanku akan makna hikmah suatu proses perjalanan, ini
sebenarnya ku tujukan sebagai pengingat bagi diriku sendiri, ku tulis agar aku tak lupa, karena
lemahnya akalku, sehingga jika aku ingin mengingat, aku cukup membuka kisahku.
Dan yang ku tulis ini boleh dianggap suatu hayalan semata, karena aku orang yang suka
menghayal.
Siapa saja yang ingin menghayal sepertiku, bisa membuat tulisan seperti yang ku buat, tak usah meributkan
hayalanku ini benar atau salah, ini juga ku tulis dari huruf A sampai Z dan dari angka 0 sampai 9, juga tanda
petik dan koma, dan titik, jadi pasti semua orang juga bisa melakukannya, apalagi kalau nulis pakai komputer
juga tak butuh meributkan membuat m itu akan beda satu dengan yang lainnya, m m m, 3 saya jejer, hasilnya
sama, jadi mari silahkan menulis karya, berkarya dari yang kita tau, menulis dari yang kita mampu, jika tidak
bisa untuk orang lain, maka pasti akan berguna untuk diri sendiri.
Aku pribadi, menulis ini, tak ingin orang percaya dengan kisahku, sebab aku sendiri bukan tipe orang yang
mudah percaya pada orang lain, maka aku juga menyarankan, jangan percaya pada apa yang aku tulis.
Juga jangan baca, jika tidak senang, sebab aku menulis bukan agar disenangi siapa saja. Ini ku tulis, biarlah ku
baca sendiri.
Dan siapa yang ikut membaca, supaya jangan mengganggu konsentrasiku menulis.
Aku juga tidak mengharap dikomentari, walau jika ada yang komentar aku juga tak menutup mata.
Siapa saja punya hak menulis, sebab kenyataannya semua punya jari sama, ini tulisanku, mana tulisanmu?
Ini karyaku, mana karyamu?
JIKA TIDAK MAMPU MEMBANGUN RUMAH, JANGAN MEMBAKAR RUMAH TETANGGAMU.
Jika tidak bisa berkarya, maka jangan merusak karya orang lain,
JIKA TAK BISA BERBUAT BAIK, MAKA JANGAN BERBUAT DOSA, JIKA TETAP BERBUAT DOSA,
MAKA JANGAN YANG MERUSAK ORANG LAIN.
JIKA HARUS MATI BUNUH DIRI, MAKA GALILAH TANAH, LALU PENDAMLAH DIRI, JANGAN
BUNUH DIRI DENGAN CARA MENGGANTUNG DIRI, MENYEBABKAN ORANG LAIN SUSAH
MENURUNKAN MAYATMU,
ITU NAMANYA SUDAH MATI, MASIH MENYUSAHKAN.
Bukan maksudku menyuruh bunuh diri, tapi maksudku jangan menyusahkan orang lain.
Berkaryalah, menulislah tulisan yang kamu tau, jangan menulis yang kamu tak tau, lantas menyulitkanmu
dalam menjelaskannya.
Mari berkarya.
wassalam
FEBRIAN
(Kiyai Nur)
Mursyid Thoreqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah Wasyattariyah 
Majlis Alhusaini Sendang Senori Tuban
Sang Kyai 
EPISODE: 01. BAYANGAN HITAM MELAYANG
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kiyai Nur
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk
tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur.
Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak
sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang
dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan
terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk
melingkar khusuk dalam wiridnya.
Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai
mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid
semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang
tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya
putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden
sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.
Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai,
yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa
dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak
banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki.
Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.
Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya
kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik
perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri,
seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur
sama kedudukannya.
Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering
dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke
Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing,
janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang
mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat
dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.
Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya,
sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab
teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu
jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak
sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung,
apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya
berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi
yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.
Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu
maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air
putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong
yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak
ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan
nasi pun tak ada.
Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah,
daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami
mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari
Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal,
menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat
Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh
meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang
di hutan, sawah juga kuburan.

Sang Kyai 
EPISODE: 02. BAYANGAN HITAM MELAYANG II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kiyai Nur
Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di
jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu
dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari
korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan
mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang
terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan
tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.
Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam
di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang
melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu
melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah
turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut
menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang
itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa
ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan
mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau
film di televisi, arahan imajinasi.
Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang,
aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas
membentak,
“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”
“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.
“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak
memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah
berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya,
setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang
kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami
tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri
pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan
bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.
Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini
adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita
yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti
ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila,
sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba,
semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi
presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian,
aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga
perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu
kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara
sebelum Iqbal ngomong.
Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan
maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu
habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling.
Begitu saja mengalir.
Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan
tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan
si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas
membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu
membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

Sang Kyai 
EPISODE: 03. PENGUASA GUNUNG PUTRI
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kiyai Nur
“Sudah.” kata Kyai.
“Saya mau… mau…” sahut Iqbal gugup.
“Iya sudah saya isi, mau ilmu kebal senjata kan?” Iqbal manggut.
Aku yang waktu itu membereskan gelas minuman, juga ikut heran, apalagi Iqbal. Karena memang Kyai belum
menyentuh Iqbal sama sekali. Melihat Iqbal ragu, Kyai segera memanggil Kunto, santri dari Sumatra yang
tubuhnya gempal.
Setelah kunto menghadap, “Kunto, ambil golok!, kau tes si Iqbal ini.” kata Kyai tenang.
Iqbal pucat, kulihat keringat dingin membasahi jidatnya, tubuhnya gemetar, aku tak berani membayangkan apa
yang dipikirkan Iqbal, mungkin dia menyesali telah datang kesini, atau mungkin membayangkan kulitnya
sobek sampai ke tulangnya kelihatan memutih lalu darah mengucur dari lukanya, lalu tubuhnya ambruk mati.
Kunto telah datang membawa golok, semua santri memiliki golok, senjata khas yang dipakai santri untuk
mengambil kayu bakar di gunung putri. Di pondok ini para santri makannya ditanggung Kyai, kalau Kyai
ngasih beras, maka nasi yang dimakan, tapi bila adanya ubi maka ubi yang dimakan, bahkan tak jarang
berhari-hari kami makan daun singkong yang direbus saja, tapi alat perebus yaitu kayu bakar, kami harus
mencari di hutan.
Kedatangan Kunto dengan goloknya yang berkilat-kilat membuat Iqbal makin gemetaran, tamu-tamu yang lain
telah minggir, sebelum Kunto datang mungkin takut kecipratan darah, apalagi tamu-tamu wanita makin jauh,
tinggal Iqbal yang duduk sendirian di depan Kyai, keringatnya membanjir, apalagi Kunto datang tanpa kata-
kata lagi meloncat menebaskan goloknya berkelebat ke arah leher Iqbal yang duduk menunduk di depan Kyai,
para tamu perempuan menjerit.
Kontan Iqbal menoleh. Bias, wajahnya seputih kapas, golok Kunto mendesing ke arah lehernya. Memejamkan
mata saja Iqbal tak sempat apalagi menghindar, nyawanya rasanya sudah lepas ketika suara ngek!, terdengar di
lehernya, tapi segera aliran darah merah mengaliri seluruh permukaan kulitnya yang memutih, menyegarkan
kembali urat-uratnya, dan kelegaan menggantikan keterkejutan, ketika mendapati kepalanya tidak
menggelundung lepas.
Bahkan ia tak merasakan sakit sama sekali ketika ketajaman golok menyentuh kulitnya, seperti bantal kapuk
yang empuk saja. Semua mata yang menatap lega, dan suasana segera dicairkan dengan ketawa Kyai, yang
menyuruh Iqbal melanjutkan ujicoba kekebalannya di luar, karena Kyai mau menerima tamu yang lain.
“Oh engkau rupanya nyai Bundo.” kata Kyai, diiringi senyum.
“Maaf nyai aku tak bisa menyambutmu yang mendadak ini,”
“Ah banyak bacot amat!” bentak nyai Bundo.
“Terima serangan ku!”
Seketika perempuan tua itu mengangkat tangan kanannya setinggi pundak, sedang tangan kirinya diarahkan ke
pusar. Dengan hitungan detik tapak tangannya menyala, dari menyala merah biru kemudian putih keperakan.
Terdengar olehku suara Kyai mendesis, “Pukulan saripati bagaspati.” Tangan Kyai mendorong lututku
sehingga tubuhku meluncur seperti beroda dan mentok di tembok. Kulihat tangan nyai Bundo dipukulkan ke
depan. Terdengar suara bersiutan seperti suara mobil yang jalan kencang lalu direm mendadak.
Ketika cahaya itu lepas dan menghantam dada Kyai, semua orang di situ matanya melotot, udara terasa panas,
rasanya seperti dalam oven. Cahaya yang menghantam Kyai begitu mengenai dadanya, cahaya itu langsung
amblas. Kyai tetap duduk tersungging senyumnya. Seperti tak terjadi apa-apa, bahkan pakaian putih yang
dikenakan samasekali tak berkibar. Jelas hal itu membuat nyai Bundo makim marah, dan mengulang
pukulannya sampai berulang kali, tapi hasilnya sama, Kyai tetap duduk tak bergeming.
“Bedebah cilik, sihir apa yang kau pakai?”

Sang Kyai 
EPISODE: 04. PENGUASA GUNUNG PUTRI II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kiyai Nur
“Bedebah cilik, sihir apa yang kau pakai?” nyai Bundo seperti tak percaya, ilmu yang selama ini
dibanggakannya seperti tak punya kekuatan apa-apa. Padahal biasanya yang terkena pukulan yang
telah dilambari aji saripatibagaspati, jangankan manusia, kerbaupun akan hangus terbakar luar
dalam, tinggal mengasih bumbu sudah matang tak perlu dimasak lagi. Tapi ini orangnya masih
hahak hihik, jelas membuat nyai Bundo panas hatinya kicat-kicat.
“Sareh nyai, ayo duduk sini.” kata Kyai masih terus ketawa. Walau masih mbesengut nenek itupun
akhirnya duduk di depan Kyai, lalu Kyai mengangkat tapak tangan kirinya seraya berkata,
“Nyai, nanti apa yang keluar dari tapak kiriku, dan engkau bisa mengambilnya maka itu menjadi hak
mu.” nyai Bundo penasaran matanya menatap ke tapak tangan Kyai yang terpentang.
Nyai Bundo memandang tak berkedip kearah tapak tangan Kyai yang perlahan tapi pasti mulai
memerah dan semakin merah bercahaya, ketika dari dalam telapak tangan itu keluar batu mirah
delima, batu itu terlihat merah menyala-nyala, sampai lengan baju putih Kyai ikut menyala. Segera
tangan kiri nyai Bundo meraih punggung tapak tangan Kyai, sementara tangan kanannya mencoba
mengambil mirah delima yang menyala-nyala itu, tapi alangkah terkejutnya karena batu itu seperti
lengket di telapak tangan Kyai.
Lebih lengket daripada lengketnya perekat raja lem sekalipun. Nyai Bundo mencoba mengambil
dengan segala daya kekuatannya. Sementara Kyai terkekeh-kekeh, keringat nyai Bundo membanjir,
dan asap putih tipis mengepul dari rambutnya menunjukkan bahwa nyai itu telah menggunakan
kekuatan tenaga dalamnya. Malah batu sakti itu tak bergeser sedikitpun, dan lagi ketika batu itu
masuk lagi kedalam telapak Kyai tangan nyai Bundo ikut terbetot masuk kedalam. Sontak nyai
Bundo membetot tangannya, setelah batu itu lenyap.
“Itu mungkin bukan rizkimu nyai, mungkin yang ini rizki mu,” lagi-lagi dari dalam tapak tangan Kyai
yang terbentang, perlahan muncul gagang keris berukir burung garuda, keris itu perlahan keluar dari
tangan Kyai yang sama sekali tak berlubang apalagi berdarah. Separuh keris itu masih menancap di
tapak tangan Kyai, nyai Bundo pun lekas memegang gagang keris dan mengerahkan semua tenaga
dalamnya di salurkan ke tangannya yang menggenggam keris. Dengan mudahnya keris itu dicabut.
Sreet, seperti mencabut rambut dari adonan roti.
Ketika keris telah tercabut betapa nyai Bundo matanya melotot terkejut, dia benar-benar mengenali
keris yang sekarang ada di genggamannya.
Segera ia bersujud mohon ampun dan menyembah-nyembah ke Kyai, Kyai cuma terkekeh-kekeh
sambil membelai rambut putih perempuan tua yang sedang bersujud. Lalu Kyai menyuruh nyai
Bundo duduk dengan tenang. Dan Kyai mengajakku dan yang ada di situ sholat berjamaah karena
memang waktu magrib tinggal sedikit. Setelah sholat selesai dan dzikir setelah sholat, Kyai segera
menemui nyai Bundo yang masih duduk sambil tangannya masih memegang keris dan tak ikut
menjalankan sholat karena memang nyai Bundo bukan orang Islam. Ketika Kyai duduk di depannya,
nyai itu segera meraih tangan Kyai menyalaminya, membungkuk dan meletakkan tangan Kyai di
jidatnya.
“Maafkan aku guru, yang bodoh ini, tak tau tingginya gunung di depan mata, bimbinglah aku guru…”
suara nyai Bundo mengiba, tak seperti pada saat kedatangannya, yang menantang-nantang.
“Nyai dari mana engkau tau akan diriku.” tanya Kyai lalu nyai Bundo menceritakan.

Sang Kyai 
EPISODE: 05. PENGUASA GUNUNG PUTRI III
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kiyai Nur
Nyai Bundo adalah orang Kalimantan pedalaman, dia murid seorang sakti bernama Wong Agung
Sahlunto, ketika gurunya itu moksa di depannya. Sebelum moksa gurunya itu berpesan, sambil
mengacungkan keris yang sekarang ini ada di genggamannya.
Lalu katanya, “Muridku kalau kau nanti menemukan orang yang memegang keris ini, maka
tunduklah padanya ikuti ajarannya dan masuk agamanya.” setelah berkata seperti itu Wong Agung
itu sirna beserta kerisnya. Bertahun-tahun berlalu namun nyai Bundo tak menemukan keris yang
dipegang gurunya di tangan orang lain. Dia mencari ke segala penjuru, namun tetap tak
menemukan, dalam pencariannya itu nyai bertemu dua orang pertapa sakti dari orang Dayak,
namanya Luh Bajul dan Luh Landak.
Dan mereka bertiga mengikat persaudaraan, pada waktu terjadi kerusuhan sampit Luh Bajul dan
Luh Landak mengamuk, membunuhi orang Madura. Sepak terjang dua orang sakti ini begitu
menakutkan, tak jarang seorang bayi yang digendong ibunya, tanpa ketahuan sang ibu, telah
kehilangan kepalanya.
Sungguh gerakan dua orang ini tak diketahui, sehingga banyak korban binasa di tangan dingin
mereka. Di suatu senja, Luh Bajul dan Luh Landak tengah mengaso di tepi hutan. Setelah selesai
menumpas habis dua keluarga, mereka berdua tengah duduk-duduk santai di bawah pohon randu
alas. Tiba-tiba ada suara keras dan berat memanggil nama mereka berdua, …
Tiba-tiba ada suara keras dan berat memanggil nama mereka berdua, mereka segera mendongak
ke atas karena suara itu dari atas dan mereka terkejut sekali melihat perwujudan besar tinggi hitam
legam, lebih tinggi dari pohon randu alas, matanya merah menyala seluruh tubuhnya ditumbuhi
bulu.
Serempak mereka berdua bersujud menyembah, karena mereka tau itulah Jadsaka, jin yang
mereka sembah, yang memberikan berbagai ilmu sihir dan ilmu kesaktian. Kata jin itu dengan
suaranya yang membuat bumi yang dipijak kedua orang itu bergetar “Jebleng..! Jebleng..!, celaka,
celaka, Sang raja akan datang kesini, kalian sambutlah dia, dan ikuti apa yang dikatakannya,
sebelum dia marah dan menghancurkan bangsaku maka aku akan membinasakan kalian berdua.”
Setelah menemui sang raja itu kedua pertapa dayak itu menceritakan pada nyai Bundo, perempuan
itu yang tak ada hubungan dengan Jadsaka tanpa takut. Dengan petunjuk dari Luh Bajul dan Luh
Landak segera mencari keberadaan sang raja.
Aku jadi ingat pada satu malam setelah wirid malam aku tertidur pulas dalam tidur aku bermimpi
Kyai mengajakku, “Mas Ian ayo temani aku jalan-jalan.″ begitu kata Kyai, lalu Kyai menggandengku.
Tubuhku terasa ringan seperti kapas, melayang cepat laksana kilat, melintasi pohon melewati
gunung, melayang seperti superman dalam film, melintasi laut menuju pulau, perjalanan begitu
cepat. Lalu tubuh kami melayang sebatas pinggang, nampak olehku dua orang duduk bersimpuh,
menyembah-nyembah.
“Ampun raja apa yang paduka inginkan?”
“Aku hanya ingin kalian hentikan membunuh orang.” kata Kyai masih memegang pergelangan
tanganku.
“Baik paduka… kalau boleh tau siapa gerangan paduka?”
“Aku Kyai Lentik penguasa gunung Putri.” setelah berkata itu maka Kyai pun segera menarik
tanganku kembali, melesat cepat, dan aku terbangun, hari sudah pagi, kejadian malam itu aku
menganggapnya hanya mimpi saja, ternyata kini aku tau bahwa itu nyata, apalagi setelah
menguasai ilmu raga sukma melepas sukma itu adalah hal yang biasa saja, terbang kemana saja
sekehendak kita.

Sang Kyai 
EPISODE: 07. TAMU SI GADIS CANTIK
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Matahari pagi bersinar dengar ceria, wajahnya berbinar sumringah seperti merahnya para gadis
desa yang mau pergi ke sungai untuk mandi, embun di atas rerumputan bagai permadani manikam,
berkilauan bahagia seakan tak takut sebentar lagi sari indahnya akan hilang berbarengan siang
yang mulai menggarang.
Nampak beberapa tamu menunggu Kyai menemui ada yang ngobrol, ada juga yang duduk
bermalasan. Nampak sebuah sedan BmW hitam dop. Berhenti di tempat parkir, lalu menempatkan
ke parkir jauh dari pohon kelapa yang memang mendomisili tumbuhan di sekitar pesantren. Selain
kopi pesitan, picung, dan cecek juga ada pohon mlinjo.
Setelah mobil berhenti, keluarlah tiga orang, satu pria dan dua wanita, nampaknya tiga orang itu,
seorang gadis dan ayah ibunya. Duilah cantiknya, bener-bener gadis yang cantik, walau di pondok
ini sering kedatangan artis, tapi memang gadis ini benar-benar cantik, mata yang indah wajah yang
sempurna hidung mancung sekali, bibir yang merekah tapi tipis, alis mata yang melengkung seperti
pedang orang Arab, dagu yang lancip, uh kulitnya putih bersih tapi mengeluarkan cahaya, mungkin
sering mandi susu dan madu. Tubuh yang tinggi tapi padat berisi.
Wah jadi membayangkan yang enggak-enggak, ternyata bukan aku saja yang terpukau, si Jauhari,
Kholil dan Mujaidi, yang sedang menyapu halaman, terbengong-bengong, sapu di tangan mereka
terlepas. Dan air liur menetes dari tepi mulut mereka, wah bisa malu maluin, aku segera
menghampiri mereka, dan mengingatkan mereka. Mereka bertiga segera menyadari, dan cepat-
cepat melanjutkan menyapu. Aku sebenarnya juga keluar air liur, tapi dikit, tak sebanyak mereka.
Ketertarikan wanita dan lelaki juga kekaguman kesempurnaan ciptaan Alloh, adalah wajar, wanita
memandang lelaki, juga sebaliknya, kemudian kagum, itu wajar, asal tidak meneruskan
pandangannya ke dalam pandangan perzinahan mata. Yang tidak wajar itu kalau lelaki lihat
kambing betina, lalu timbul birahi.
Inilah hidup kita ini diberi nafsu binatang, tapi kita juga diberi pikiran, nafsu membuat kita hina, tapi
dengan menempatkan pada tempatnya sungguh nafsu tak membuat manusia hina.
Gadis cantik dengan kedua orang tuanya itu menghampiri salah seorang santri yang sedang
menyapu halaman. Kebetulan yang didekati si Kolil, Kolil masih pura-pura sibuk menyapu, keringat
dingin keluar membanjir, gemetar dengkulnya bergemelatukan.
Lalu si gadis bertanya, “Mas, Kyainya ada?” tanya gadis itu.
Sebenarnya yang ditanyakan hanyalah pertanyaan yang biasa saja, yaitu pertanyaan bagi tamu
yang baru datang dan ingin bertemu Kyai. Tapi karena Kolil sudah keder duluan, dan suara gadis itu
seperti suara seruling dari alam lain, maka Kolil pun gelagapan, seperti orang tenggelam di danau
yang dalam “nga…ngu.. uit…nguk…”
Melihat gelagat yang kurang baik, aku segera menghampiri.
“Mau ketemu Kyai ya?” dijawab anggukan oleh ketiga orang itu. “Mari ikuti saya.” sayapun berjalan
duluan, sambil berpikir, pastilah si Kolil nanti malam tak bisa tidur, kalaupun bisa tidur, pasti
semalaman akan mengigau, sampai pagi.
Setelah sampai di tempat, Kyai masih sibuk mengobati seorang tamu, sementara tamu yang lain
masih mengantri, segera tiga orang itu kuminta mengantri. Yang ditangani Kyai bernama Bapak
Saipudin, dia seorang jaksa daerah Banten, karena menangani suatu masalah bapak Saipudin
disantet orang. Tiba-tiba lelaki tinggi, umur empatpuluhan tahun itu memuntahkan darah kental, dari
mulutnya, sementara Kyai mengobati lewat tangan Kyai ditempel di punggungnya.
Lalu Kyai memanggilku, “Suruh si Tarsan mengambil kelapa hijau.” kata Kyai, yang langsung
kufahami maksudnya.
Aku segera memanggil Tarsan. Nama Tarsan adalah nama panggilan kepada seorang santri,
karena trampilnya memanjat. Tarsan adalah santri dari Bojonegoro, umurnya duapuluh tahunan,
tubuhnya kecil tapi kekar, berotot, Tarsan segera memanjat kelapa, tubuhnya sama sekali tak
menempel pada pohon kelapa, kaki tangannya lincah menempel pada pohon kelapa, seperti tangan
dan kaki itu milik spiderman, tak sampai lima menit tiga buah kelapa didapat tanpa dijatuhkan,
karena memang kelapa itu perintah Kyai.
Setelah kelapa itu diisi oleh Kyai, satu kelapa diminum bapak Saipudin, dan yang dua dibuat mandi.
Setelah tamu-tamu dilayani, sampailah pada giliran gadis itu dan kedua orang tuanya. Lelaki itu
mulai mengenalkan diri bernama Purnomo, dan istrinya dan gadis cantik itu adalah anak angkat pak
Pur, yang bernama Evo, aslinya ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, sejak umur 12
tahun ibunya telah meninggal dunia, dan papanya kembali ke negaranya, sehingga pak Purnomo
yang mengasuhnya.
Pak Pur menarik napas, lalu melanjutkan ceritanya. Namun sayang agamanya Kristen, mengikuti
agama ibunya. Tampak Kyai merenung sebentar kemudian berkata ditujukan kepada Evo,
“Tidakkah engkau ingin tau keadaan ibumu di sana.”
“Bagaimana aku bisa tau, ibuku telah meninggal.” jawab gadis itu polos.
Kyai lalu menyuruhku memanggil …

Sang Kyai 
EPISODE: 08. TAMU SI GADIS CANTIK II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Kyai lalu menyuruhku memanggil Jauhari, santri asal Madura, yang wajahnya agak kotak, tinggi
sedang yang suka mandi berlama-lama tapi kulitnya tetap hitam juga. Tapi memang Jauhari
orangnya baik, bertemu siapa saja ia akan tersenyum, atau mungkin sengaja tersenyum karena
mau menunjukkan pada semua orang bahwa ia punya gigi yang putih. Jauhari segera menghadap
Kyai masih dengan senyum khasnya, tapi ia tak berani menatap gadis cantik yang duduk di situ,
takut ilernya tak bisa ditahan dan membanjir, tentu akan membuat malu Kyai.
“Ada apa Kyai?” katanya, masih tersenyum.
“Hur.! Sini duduk menghadap kesana.” kata Kyai, menyuruh Jauhari duduk membelakangi Kyai,
yang segera dilakukan Kyai.
Perlahan tangan kanan Kyai terangkat tinggi-tinggi telapaknya terbuka, kemudian telapak itu
tergenggam. Mata pak Pur, istrinya, dan Evo memandang tak berkedip, tiba-tiba tangan Kyai seperti
melempar sesuatu ke punggung Jauhari. Tiba-tiba secara mengejutkan tubuh Jauhari bergulingan di
galar bambu, suaranya mengaduh-aduh, tapi bukan suara Jauhari yang terdengar melainkan suara
wanita.
“Aduh… tolong, ampun, sakiit.. jangan pukul lagi, ampun.. huhuu..” suara Jauhari yang menjadi
suara perempuan itu merintih-rintih kadang merangkak, tapi seperti ada yang memukulnya dari
belakang, punggungnya sampai meliuk, lalu bergulingan, seperti tak kuat menahan derita sakit yang
tiada tara.
Pak Purnomo dan istrinya terkejut, heran, dan berbagai pertanyaan kumpul jadi satu. Tapi yang
lebih tekejut lagi adalah Evo, wajah gadis cantik itu, putih pucat seperti kapas, tanpa sadar ia
menjerit, “mama!”
Mendengar suara Evo, Jauhari yang masih bergulingan itu bangkit lalu merangkak mendekati Evo,
masih mengaduh dan menangis,
“Kaukah itu Evo?” suara perempuan yang ada di tubuh Jauhari bertanya, “Evo Yulianti Dousand.”
Evo beringsut mundur, wajah Jauhari yang hitam makin jelek saja, mungkin itu yang membuat Evo
mundur, aku jadi berpikir kenapa tadi yang jadi medium bukan aku saja, setidaknya lebih cakep
daripada Jauhari.
“Tak mungkin, mama sudah meninggal…, tak mungkin.” Evo beringsut mundur.
“Anak durhaka, setelah ibumu meninggal, kau tidak mengakui ibumu, aduuh..” tubuh Jauhari
terjengkang lagi, seperti ada yang menyambuk punggungnya. Kyai terlihat mengangkat tangan
seperti menahan seseorang yang tak terlihat supaya tidak memukul lagi, dan Jauhari pun tak
mengaduh lagi.
“Apa buktinya kau mamaku.” tanya Evo masih ragu.
Lalu suara perempuan itu nerocos menceritakan Evo dari kecil sampai saat mamanya meninggal,
tentang Evo yang suka bubur kacang hijau, tak pernah mau minum susu, sejak kecil rambutnya
suka dikepang. Belum sampai ceritanya habis, Evo menjerit mau menubruk Jauhari tapi segera
ditahan oleh ibu angkatnya.
“Oh mama…” tangis Evo menyayat, “Bagaimana keadaan mama di sana? huhuu…”
“Oh aku disiksa terus… dicambuk terus, menyesalpun percuma, kenapa kau tak pernah mendoakan
ibumu ini.”
“Aku selalu mendoakan ibu…”
“Tapi doamu tak sampai, kenapa kau tak masuk agama Muhammad, aku tak kuat lagi disiksa…”
“Mama…huhu..” Evo masih menangis.
“Aku pergi anakku …masuklah agamanya Muhammad..”
Tiba-tiba tubuh Jauhari melemah, dan ambruk.
“Mama… mama jangan tinggal Evo ma… Mama.” Evo menjerit lalu tubuhnya gelosor pingsan lama
Evo pingsan, sementara Jauhari telah lama sadar, tapi masih kelihatan bingung, kayak orang habis
dinyalain petasan tepat di depan hidungnya.
Sementara setelah Kyai menyalurkan tenaga prana dari jauh, Evo mulai bergerak-gerak sadar,
karena peristiwa itu Evo kemudian masuk Islam, mempelajari doa anak kepada orang tuanya.
Setelah sholat ashar, keluarga Evo meninggalkan pesantren, wajah Evo sudah tak sedih lagi,
nampak jelas ada gurat-gurat harapan yang kuat di dasar hatinya, sehingga wajah cantiknya
berpendaran.

Sang Kyai 
EPISODE: 09. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Belum sampai setengah jam mobil Evo dan keluarganya pergi, datang lagi dua mobil, satu mobil
toyota model lama, satu lagi mobil sedan polisi. Setelah mobil itu parkir, orang-orang yang ada di
dalam mobil segera keluar, dari mobil toyota kijang, nampak keluar dua lelaki satu berperawakan
sedang bajunya warna coklat susu, umurnya sekitar empat puluhan tahun, orang ini bernama
Setiono, sering dipanggil pak Nono, adalah kepala desa Pasir Seketi.
Yang keluar dari mobil bersamanya adalah carik Sanusi, orangnya berperawakan tinggi gagah,
kumis melintang sangar. Sementara mobil yang satu lagi adalah mobil polisi, berisi tiga orang polisi.
Kelima orang itu segera menemui Kyai di rumahnya.
Aku tak mengerti masalahnya, sampai Kyai memanggilku, karena aku sedang masak di dapur
menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Merebus singkong, dan membakar ikan asin. Bau ikan
asin yang terbakar segera memenuhi udara, memanggil cacing dalam perut bergerak-gerak
sehingga menimbulkan suara berkerutan, rupanya bau ikan asin pun sampai ke rumah cacing-
cacing dalam perut itu.
“Feb, dipanggil Kyai..” suara Majid yang wajahnya melongok dari balik gedek yang sebatas dada,
pemisah dapur dengan dunia luar, yang memanggil Feb cuma Majid, dia adalah teman sekolahku di
SMA. Karena tau aku di pesantren lalu dia menyusul, Majid sama denganku dari Tuban cuma beda
kecamatan, dia dari Bangilan, perawakannya biasa malah agak pendek, tingginya setelingaku,
wajahnya paspasan, ganteng kagak, jelek ia, karena wajahnya berlubang-lubang bekas jerawat
batu, tapi memang hobynya mencet jerawat, kalau sudah mencet jerawat, maka ia akan berusaha
sekuat mungkin supaya jerawat itu kena, kalau sudah kena, senangnya seperti mendapatkan harta
karun terpendam.
“Gantiin di dapur ya?”
“Udah sono, biar aku yang ngurusin”
Akupun melangkah meninggalkan dapur menuju tempat Kyai menerima tamu. Nampak di situ juga
Mujaidi, rupanya dipanggil juga, Mujaidi adalah santri dari Bekasi. Sebenarnya awalnya bukan
santri, tapi berobat karena kecanduan narkoba, setelah sembuh, kemudian memutuskan menjadi
santri.
Mujaidi perawakannya tinggi kurus, aku aja sepundaknya, umurnya masih delapan belasan, bibirnya
tebel hitam, sering sariawan, lalu dikelotoki kulitnya, wajahnya agak lonjong, sama dengan Majid,
wajah Mujaidi juga berlubang-lubang karena bekas jerawat batu, hobinya sama dengan Majid,
memenceti jerawat, kalau Mujahidi sudah memenceti jerawat maka ia akan lupa waktu, lupa makan,
bedanya dengan Majid kalau Majid mencet jerawatnya kalau sudah meletus, bekas letusannya
diusap-usapin ke tembok, tapi kalau Mujahidi lebih profesional mencetnya aja dia pake kain,
sehingga kalau jerawatnya meletus, letusannya tak kemana-mana, kainnya juga dibasahi cairan
antiseptic.
Peralatan pencet memencet jerawat milik Mujahidi juga lumayan lengkap. Yang aku pernah lihat,
ada batu kali, manfaatnya adalah kalau batu dijemur di matahari, dan setelah panas maka
ditempelkan, ke jerawat yang belum matang, maka akan segera matang, ada lagi amplas nomer
2000, gunanya untuk mengamplas tempat jerawat yang terlalu dalam. Ada juga jarum jahit, untuk
ngorek-ngorek jerawat yang sudah terlalu berakar.
Aku segera duduk di sebelah Mujahidi, yang melemparkan senyumnya kena mataku,
“Mas Ian.” kata Kyai.
“Iya Kyai.”
“Entar malem, bareng Mujahidi ikut ronda sama orang Pasir Seketi. Mereka membutuhkan bantuan
kita, untuk menangkap pencuri yang meresahkan warga.”
Akupun mengiyakan, sambil melirik Pak Lurah dan rombongannya. Maka setelah sholat maghrib,
dan menjalankan wirid wajib, aku dan Mujahidi pun berangkat setelah berpamitan kepada Kyai.
Gelap mulai merayap, kampung Pasir Seketi dari pesantren jaraknya kira-kira empat kiloan, cuma
harus melewati hutan kopi yang panjang serta grumbul-grumbul yang gelap mengerikan, tapi kami
menganggapnya biasa, karena memang kami biasa hidup di alam bebas. Jam delapan lebih kami
tiba di desa Pasir Seketi. Di hadang pemuda-pemuda desa yang membawa golok arang.
“Siapa?” tanya pemuda gempal memakai topi coklat. Di belakangnya berdiri pemuda yang lain
siaga.
“Aku Ian.” jawabku keras untuk menghilangkan kecurigaan. Dan rupanya pemuda itu mengenaliku.
“Oo mas Ian, ayo mas ke rumah Pak Lurah, Pak Lurah sudah menunggu, tadi berpesan kalau mas
Ian datang supaya langsung dibawa ke rumah.” kata pemuda itu seraya menggandengku. Diikuti
oleh anggukan hormat dari sepuluh pemuda, di mata mereka memancarkan kekaguman ketika
memandangku dan Mujahidi.
Memang kisah pesantren kanuragan Pacung, lereng gunung Putri, sudah menjadi buah bibir,
tentang Kyai dan santrinya yang sakti-sakti, itu membuatku bangga sekaligus takut, takut satu saat
cerita mereka terbukti, dan kami tak sakti, lemah, tentu akan kecewa mereka dan nama pesantren
Pacung hanya isapan jempol belaka.

Sang Kyai 
EPISODE: 10. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Kami bertiga sampai di rumah Pak Lurah, dan memang di serambi depan Pak Lurah telah
menunggu kedatanganku. Melihatku dan Mujahidi datang, Pak Lurah segera menyongsong
kedatanganku.
“Ah saya sudah berharap-harap cemas, jangan-jangan nak mas Ian gak datang, mari-mari.″ kami
diajak masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi.
Sementara di meja terhidang beraneka macam buah, gorengan, dan entah makanan apa lagi, aku
yang tiap hari makan singkong rebus, tentu ingin mencicipi buah semangka yang telah dipotong-
potong warnanya ada yang kuning dan merah. Aku melirik Mujahidi, tentu dia juga merasakan apa
yang kurasakan, oh benar sekali, kulihat jakunnya naik turun amat cepat. Karena ludah yang
ditelannya, dan tanpa sadar dia mengulurkan semangka kuning, aku menyodok kakinya dengan
kakiku. Kebetulan Pak Lurah ke dalam sebentar, memanggil istrinya, dan anaknya diminta
menyediakan minuman, semangka kuning yang telah di tangan Mujahidi, segera cepat dilahap,
ketika Pak Lurah keluar, semangka itu telah hilang termakan tak tersisa sampai kulit-kulitnya.
Pak Lurah keluar bersama istri dan anak perempuannya, sambil membawa minuman di nampan.
“Ini lo bu murid dari Pesantren Pacung, anak-anak muda yang sakti-sakti.″ terdengar suara Pak
Lurah yang benar membuat aku jengah, serba salah, tapi aku berusaha bersikap wajar.
Anak Pak Lurah bernama Anggraini, wajahnya ayu wajah polos anak desa, tapi aku kaget ketika
Anggraini meletakkan minuman matanya mengerling, bagaimanapun aku lelaki normal wajarlah
kalau berdesir hatiku. Setelah kenal-kenalan, istri dan anaknya Pak Lurah ke dalam, tinggal aku,
Mujahidi, dan Pak Lurah. Sementara satu pemuda dan dua orang desa yang sebelumnya menemani
Pak Lurah telah melanjutkan ronda. Aku melanjutkan pembicaraan sambil sekali-kali mencicipi tahu
isi dengan cabe kesukaanku.
“Sebenarnya ada pencurian yang bagaimana sih pak, kok sampai meminta bantuan Kyai?”
“Begini lo nak mas Febri,” Pak Lurah mulai bercerita, setelah menarik napas panjang.
“Desa Pasir Seketi adalah desa yang damai, tak pernah ada pencurian, kehilangan. Sampai satu
hari… Anak perawan desa ini ada yang hilang, namanya Nining. Sehari dua hari Nining tak muncul,
kedua orang tuanya menyangka Nining pergi ke kota menyusul abangnya yang bekerja di Jakarta,
jadi orangtuanya kemudian menghubungi abang Nining yang ada di Jakarta, tapi abangnya
mengatakan, Nining tidak menyusul ke Jakarta, semua orang bertanya lalu kemana Nining, sampai
seminggu kemudian tubuh Nining ditemukan di sungai pinggir desa sudah tak bernyawa. Semua
orang geger, siapa yang tega melakukan kekejian seperti itu? Setelah diperiksa forensik ternyata
Nining diperkosa sebelum dibunuh, Polisi berusaha menyelidiki tapi hasilnya tak ada. Pembunuh
Nining tak bisa ditemukan. Sampai sebulan kemudian, lagi-lagi Melati perempuan desa ini pun
menghilang, malah menurut ibunya Melati malam itu menghilang dari kamarnya, karena memang
jendelanya terbuka, seluruh desa telah diubeg-ubeg tapi Melati tak ditemukan, sampai seminggu
kemudian mayatnya ditemukan di sungai dulu Nining ditemukan. Ini jelas bahwa penjahat yang
menculik adalah penjahat cabul belaka. Tapi kami tak tau bagaimana dia beraksi.” Pak Lurah
berhenti bercerita, dia mengambil rokok Dji sam soe dan menyalakannya, aku dan Mujahidi pun ikut-
ikutan mengambil rokok dan menyalakannya, selama ini kami ngerokok tingwe alias ngelinteng
dewe. Itu pun tembakau puntung, maka rokok Dji sam soe terasa nikmat sekali, asap mengepul-
ngepul bergulung.
Pak Lurah melanjutkan ceritanya.
“Kami tak mau kecolongan lagi, maka perondaan ditingkatkan, dibantu para Polisi, sampai seminggu
yang lalu, kami meronda, salah satu rombongan peronda melihat bayangan dalam gelap malam,
“berhenti.!!” tapi bayangan itu, malah berlari, dan ternyata menggendong karung di pundaknya, tak
salah lagi, penculik, sebagian rombongan segera mengejar, yang lain memukul kentongan
memanggil bantuan, semua orang berlarian ke arah suara kentongan, dan setelah tau semua
mengejar, saat itu Pak Lurah sendiri dan tiga Polisi ikut mengejar. Betapa saktinya orang itu, dengan
masih menggendong orang yang diculiknya dia melesat meloncati pagar meloncat ke wuwungan
atap rumah, lalu meloncat ke atap yang lain, Polisi mau menembak tapi takut mengenai perempuan
yang dipanggul, lalu penculik itu berhenti dan menoleh, seperti mengejek. Lalu melesat cepat, dan
hilang di telan gelap malam. Tempat sekitar penculik itu menghilang sudah kami aduk-aduk tapi
kami tak menemukan apa-apa, dan yang hilang kali ini gadis bernama Tunik, seminggu kemudian
kami menemukan nyawa Tunik dibuang begitu saja di sungai ujung desa. Maka setelah kami
adakan rapat, kami memutuskan meminta bantuan Kyai Lentik …,” belom lagi Pak Lurah
menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba terdengar jeritan istri Pak Lurah dari dalam.
“Anggraini..! Anggraini pak.” Pak Lurah segera lari ke dalam, aku dan Mujaidi segera mengikuti,
nampak bu Lurah menangis.
Sang Kyai 
EPISODE: 11. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA III
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Anggraini hilang pak,”
“Hilang gimana?”
“Tadi di kamar, sekarang nggak ada..”
“Sudah dicari kemana-mana?″
“Sudah pak tapi kgak ada.”
Tiba-tiba ditabuh kentongan bertalu-talu. Aku segera menghambur ke arah suara kentongan, disusul
Mujahidi.
“Kejar..!” “penculik tangkap…!”
Aku berlari cepat, Mujahidi menyusul di belakangku, orang berserabutan mengejar. Tubuhku terasa
ringan, aku dapat menyusul yang lain, malah aku tak sadar ada paling depan di antara pengejar.
Kulihat bayangan meloncati sebuah pagar, di pundakya kelihatan karung, tentunya berisi, ah pasti
Anggraini, aku makin cepat mengejar, semangat, meloncati pagar, meloncati sungai kecil,
menerobos kebon pisang. Aku berhenti membungkuk mengatur napas, mengusap keringat yang
membasahi jidatku. Aku baru sadar kalau aku sendiri, kemana yang lain, aku tengak tengok tak ada
orang, yang lain pada kemana, tapi aku tadi benar-benar melihat orang itu lari ke sini, dengan sinar
bulan yang seperti kuku, kucoba mengenali tempat sekitarku.
Perlahan pandanganku mulai jelas. Kuburan. Benar tempat ini kuburan, mungkin pemakaman orang
desa Pasir Seketi, tapi semakin ku perhatikan ini pemakaman tua, terlihat yang tak begitu terurus,
dan batu nisannya dari batu yang menyerupai batu candi, semua hitam berlumut. Segala pohon
melintang kesana kesini, rumput setinggi lutut, pohon besar di tengah pemakaman, sungguh tempat
yang angker, mungkin dulu aku kalau tidak digembleng Kyai mengitari pulau Jawa dan tidur di
sembarang tempat yang lebih serem dari tempat ini, tentu aku akan takut.
Aku melangkah berhati-hati sambil kaki meraba-raba, sekali waktu mataku menengok ke arah aku
datang mengharap ada yang menyusulku, tapi keadaan teramat sepi, aku mau memutuskan tuk
kembali, tiba-tiba terdengar, suara daun kering terinjak,
”Siapa?” kataku, tak yakin. Muncul di depanku bayangan manusia, pakaiannya hitam-hitam dan
memakai penutup wajah hitam.
“Heh cuma mas Ian ha ha ha.” suara orang itu dan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, aku seperti
pernah mengenalnya.
“Hah kau penjahat cabul…” kataku sambil masih tengak tengok, mengharap orang yang datang.
Sebab kalau sampai aku berhadapan dengan lelaki ini sendirian bisa berabe. Apakah begini
rasanya kalau mau berkelahi, tubuh gemetar. Bagaimana aku menghadapi orang ini, kulihat
tubuhnya tinggi besar, berotot, kalau dibandingkan denganku tubuh kecil ceking, tangan kecil kurang
gizi, jangankan berkelahi salaman aja kalau tanganku diremasnya tentu seperti meremas kobis.
Apalagi sampai berantem, aku takut membayangkannya.
Terus terang selama ini belum pernah aku berkelahi, pernah juga mau berkelahi, waktu aku kelas
SD, kelas dua, kursi yang ku tempati ditempati sama anak lain, lalu ku suruh dia pergi, tapi tak mau
malah ngajak berantem, lalu dia memegang hidungku, akupun menangis sekencangnya. Tanpa
sadar ku pegang hidungku yang mancung. Wah bagaimana kalau nanti hidungku dipukul sampai
patah, pasti tak bisa ku banggakan lagi, apalagi kalau sampai aku mati.
Ah aku kan masih punya hutang ama teh Ipar, warung yang dekat pondok, apa aku lari aja ya, eh
pembaca jangan mengira aku ini pengecut, aku lari cuma mau bayar hutang, apa aku jujur aja ya
sama orang di depanku. Aku pergi dulu bayar hutang, nanti balik ke sini, dia bisa nunggu sambil
ngrokok-ngrokok, kuraba sakuku, tadi sebelum pergi aku sempat menyambar rokok Djisamsoe yang
ada di meja pak Lurah, tapi alangkah kecewaku, rokokku hilang pasti terjatuh saat kejar-kejaran tadi,
ah pupuslah harapanku, tapi kalau dipikir-pikir kalau untuk bayar hutang saat ini aku sendiri tak
punya uang.
Eh kamu jangan hiha hihik kalau baca, pasti kamu mengira aku pengecut, bener aku mau bayar
hutang tak bermaksud lari, ini pilihan sulit tak seperti yang kau kira, aku hanya takut kalau mati
masih menanggung hutang. Dan aku tak takut berkelahi, soal aku di terminal Pulogadung ditodong
preman kemudian semua uangku diminta lalu ku berikan, itu memang karena aku tak mau berkelahi
dan tak suka berkelahi, kalau mau orang di depanku ini, daripada berkelahi mending main gaple,
atau skak, atau macan-macanan, atau yang lebih gampang lagi, suit.
Yang kalah harus mengakui kalah, jadi gak ada yang terluka, eh pembaca jangan ketawa-ketawa
aja, aku tahu kalian menganggapku pengecut, lagian kalau aku mati, kalian kan gak tau kelanjutan
cerita ini, oke aku ngalah memang aku pengecut, lalu kalian mau apa?
Bingung, terjadi pergolakan dalam pikiranku. Ah aku masih berharap ada pemuda kampung yang
datang kesini membantuku, repotnya kalau menjadi orang udah terlanjur dianggap sakti, keringat
mengucur, dari semua pori-pori tubuhku, bahkan punggungku basah.
Padahal udara sangat dingin sekali. Sesaat hatiku lega, ketika kulihat bayangan mendekati. Tempat
aku dan orang bertopeng itu berhadapan. Tapi rasa legaku segera sumpek lagi, karena yang datang
ternyata Mujahidi, wah sama aja, parah. Bisa tambah runyam ini urusan. Gimana gak runyam,
Mujahidi ini lebih pengecut lagi, mungkin embahnya pengecut. Sama ulat aja takut, jangankan ulat,
di tubuhnya dirambatin kecoak aja gindrang-gindrangnya aja tak henti, merinding terus.
“Hua ha ha, rupanya pendekar dari pesantren Pacung lagi yang datang, sungguh bangga bisa
bertarung dengan orang gagah.” kata orang bertopeng itu dengan nada menghina, mungkin dia
sudah tau kalau kependekaran kami cuma cerita saja,
“Heh Muja, kenapa kamu kesini..?” tanyaku berbisik, setelah dia ada di dekatku.
“Aku cuma ngikuti mas Ian, soalnya tadi arah larinya kesini. Dia tuh siapa mas?”
“Ya ini orangnya yang suka nyulik gadis.”
“Waduh bahaya kalau begitu mas, mending lari aja mas..” Mujahidi beringsung sembunyi di
belakangku, itu sudah aku kira, jadi aku tak terkejut melihat tingkah Mujahidi. Lalu bisikku,
“Eh apa enggak perlu pake alasan?”
“Ya enggaklah ya lari, lari aja,” aku baru saja mau menyetujui usul Mujahidi, tiba-tiba orang
bertopeng itu telah bicara,
“Ah jangan banyak bacot, terima seranganku.”
Sang Kyai 
EPISODE: 13. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA V
Aku berhenti di sebuah nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai matanya, juga
telinganya yang keatas sudah patah, aku bersandar, tapi ketika aku sandari nisan kepala kuda itu
bergeser, aku terkejut, karena tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan aku pun jatuh ke sebuah
tangga semen, menuju ke bawah. Sebentar aku terkejut, rupanya di makam ini ada ruangan
rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau dikejar orang kampung.
Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku turuni tangga, golok kukeluarkan, untuk berjaga-jaga dari
sesuatu yang tidak kuinginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, karena disemen walau asal-
asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang cahayanya bergoyang-goyang
karena tertiup angin yang masuk. Wah gila juga si carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini,
ruangan bawah tanah ini ada dua aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga meter,
ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini rupanya dapur dan tempat
makan, aku ke ruangan satunya lagi, rupanya yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu.
Ku dekati ranjang kayu, dan aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah mengira
Anggraini ada di situ.
Mata gadis itu melotot, tubuh Anggraini digeletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga
aneka warna, pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, aku merinding juga
membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku, meminta keadilan, atas
kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa. Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku
mengalir, deras menuju jari telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan
yang ada di tubuh Anggraini, aku masih tak mengerti apa yang bergerak di tubuhku, sampai di
pondok pesantren nanti aku akan bertanya kepada Kyai.
Anggraini setelah bebas dari totokan segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-
jadinya. Aku sempat gelagapan, maklum aku tak pernah dipeluk wanita, kringetan juga, gemeter.
Apalagi meluknya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun juga, walau imanku kuat, pasti
imron kgak bakal kuat. Sebelum setan membisikkan yang enggak-enggak, aku segera melepaskan
tubuh Anggraini dari tubuhku.
“Sudahlah, sekarang sudah aman.”
“Tapi aku takut sekali kak.” katanya mengiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.
“Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan
keselamatanmu.” Anggraini mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam
lengan kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, ah tak taulah, aku kasihan, gadis muda begini,
mengalami pengalaman yang mengerikan, tak terbayangkan bagaimana dia diperkosa dan dibunuh
seperti gadis-gadis yang telah mati menjadi korban carik Sanusi.
Kami berjalan pulang ke Pasir Seketi, di tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para
pemuda yang semalam ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa
ditemukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka kukatakan penculik
yang selama ini membuat resah warga desa adalah carik Sanusi. Sontak para pemuda itu kaget tak
percaya, tapi setelah Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong
mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujaidi melanjutkan perjalanan mengantar Anggraini. Sampai di
rumah bu Lurah yang sangat kuatir keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak
semata wayangnya. Tangis-tangisan ramai terdengar.
Sementara istri dan anaknya bertangis-tangisan pak Lurah mengajakku dan Mujahidi ke ruang
depan, ku ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mau mendatangi rumah carik
Sanusi. Ketika tau yang menjadi biang segala pembunuhan adalah Sanusi, pak Lurah terkejut dan
menggeleng-gelengkan kepala tapi segera mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum
terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti pak Lurah yang melangkah tergesa,
namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terimakasihnya.
“Sekali lagi aku dan segenap warga desa, khususnya aku pribadi sangat berterima kasih dengan
nak mas Ian, kalau tak ada nak mas Ian, apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal menunggu
mayatnya ditemukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil menangis haru.
“Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” aku mencoba bersikap bijak, walau
kedengarannya wagu.
Yah bagaimana kata bijak keluar dari mulut pemuda seperti aku, rambut panjang sepunggung,
walau selalu ku ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip perempuan,
yah mungkin karena pergaulanku, sebagai pelukis motor airbrush. Sehingga tampang cuek dekil,
seenaknya, semua melekat begitu saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari
mulutku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang karena tak punya bobot mati.
Sampailah kami di rumah carik Sanusi.
Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.
“Bakar saja rumahnya, seret saja keluar, lalu bacok rame-rame. Dirajam saja, terlalu enak kalau
mati cepat.” tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi. Karena
setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah ada dua pemuda yang terluka
lengan dan pahanya kena sambitan paku.
“Bagaimana ini nak mas?” tanya pak Lurah.
Aku menggeleng tak tau.
“Hei Sanusi ayo keluar serahkan dirimu!” Tiba-tiba pak Lurah berteriak, dan teriakan pak Lurah
dijawab dengan meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…! Sepuluh
paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.
“Bagaimana ini mas?” tanya pak Lurah kawatir, aku menggeleng.
“Tak tau lah pak,” sementara waktu telah beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini,
orang-orang sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga keadaan
hening.

Sang Kyai 
EPISODE: 14. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA VI
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Kulihat rumah carik Sanusi, rumah yang besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan
kayu tanpa dicat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang dianyam, sedang lantai
rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada
tangga kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar dua kali empat meter. Tiba-tiba terdengar suara mobil
datang, rupanya mobil Polisi. Dua polisi keluar dari mobil, lalu menghampiri pak Lurah,
“Bagaimana pak keadaannya?” tanya Polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.
“Wah sulit pak.”
“Sulit bagaimana.”
“Yah setiap orang mau maju langsung dihujani paku, sudah ada korban dua orang.”
“Bagaimana kalau kami menyerbu?”
“Apakah itu tak berbahaya sekali?” aku maju menimpali.
“Pak Polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding carik sanusi?”
“Lho anak muda ini siapa?” tanya Polisi itu ditujukan pada pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku,
yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.
“Oh dia murid Kyai Lentik, yang kami mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah karena semalam
telah bertarung dengan nak mas Ian.”
“Oh maaf saya tak tau.” wajah Polisi itu menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit
membungkuk, sementara temannya manggut-manggut.
“Bagaimana menurut nak mas?” tanya Polisi itu ditujukan padaku.
“Yah gimana seandainya aku maju mengajaknya berunding, sementara pak Polisi menghadang dari pintu
belakang, kalau-kalau dia lari?”
“Yah patut dicoba.” Dua Polisi itu pun kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut
pistolnya, aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.
“Wah apa kgak terlalu berbahaya mas? Nanti kalau mas Ian disambitin paku, aku kgak bawa tang tuk
nyabutinnya.” Mujahidi menerima golokku dengan ragu.
“Udahlah berdo’a aja.”
“Kalau menurut saya dikepung aja, yang satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti
kelaparan dan mati.”
“Ah kamu ini.” aku menepuk pundak Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap ke arahku,
orang-orang kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga dari desa-desa tetangga,
mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap aku
melangkah maju.
Semua mata tegang menatapku, aku berhenti dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi,
sambil menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang aku berkata, “Carik Sanusi, aku tak
bersenjata, aku mau berunding,” kataku seraya membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari
dalam maka akan melihatku tanpa senjata, lalu aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.
Suasana masih hening tak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa menit aku melanjutkan melangkah maju.
Melewati anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari balai-balai rumah itu, “braak!!”
Pintu depan rumah itu lepas, melayang cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan, di
belakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.
“Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” aku yang
terpelanting karena hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi menghantam kepalaku,
semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun pucat. Ah mati aku ! Tapi, “prak!!” Golok Sanusi telak
mengenai kepalaku, tapi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam tubuhku,
menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit dari timpaan daun pintu tau-tau telah berdiri di
belakang Sanusi, dan melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu yang jatuh
dahulu.
Tubuhnya kaku, karena totokanku yang tak ku sadari telah mencabut semua ilmu yang dimiliki, seketika
semua orang bersorak. Lalu terdengar suara berteriak, “Habisi penjahat cabul…” kontan semua orang
menyerbu. Pagar pun roboh diterjang orang-orang kampung yang marah, aku tak bisa menahan ketika tubuh
Sanusi dihujani golok, batu, pentungan, massa rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru berhenti setelah
terdengar suara tembakan.
Semua orang kampung yang mengeroyok mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, aku yang berdiri di atas
balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah tak dikenali lagi, terlalu hancur, juga
tubuhnya sudah tak karuan, darah seperti dituang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara, aku berjalan
meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga terbengong, aku segera menarik tangannya tuk
segera meninggalkan tempat itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.
“Nak Ian, mampir dulu ke rumah dan tunggu aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” aku manggut aja,
lalu menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi selalu menyanjungku.
“Ah bener-bener kagak nyangka saya, kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, uh uh, apa kgak sakit
mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, ngira kepala mas Ian pasti belah, ee, ternyata
kgak apa-apa.”

Sang Kyai 
EPISODE: 15. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA VII
“Eh, eh, apa apaan ini?” aku berusaha mengangkat lengan Anggraini, tapi gadis itu menangis
sesenggukan.
“Hu hu, mas Ian, kalau tak ada mas Ian apalah jadinya aku… hu… aku pasti tak sanggup membalas
budi, dan pertolongan mas Ian… hu… aku siap mengabdikan diriku… hu…”
“Sudah-sudah ayo berdiri, tak baik dilihat orang, ayo berdiri.” kataku sambil menyalurkan tenaga
prana lewat lengannya supaya dia tenang. Perlahan gadis itu berdiri, dan tegak di depanku.
“Jadi mas Ian mau menerima pengabdianku?” Aku yang tak mengerti, manggut aja. Dari pada
masalah yang tak ada ujung pangkalnya berkepanjangan. Setelah aku manggut, gadis itu wajahnya
kelihatan ceria, dan mengusap air matanya kemudian melangkah ke dalam.
Beberapa detik kemudian bu Lurah keluar dan mempersilahkan kami menikmati hidangan. Mujahidi
kulihat mulutnya telah penuh makanan, bakwan, mendoan, tahu goreng, uh cabe yang di piring yang
udah aku incer udah ludes. Mujahidi, enak aja mulutnya manyun kesana kemari, mengunyah
makanan yang penuh di mulutnya sambil omong, “Hm…, semaleman bertarung, laper mas.., hm,
hm, enak..” lalu setelah makan dia mengeluarkan sebatang Djisamsoe yang udah gepeng dan
melengkung. Kemudian menyalakannya, asap mengepul dari bibirnya yang hitam kayak habis
ditonjok orang, juga asap keluar dari lubang hidungnya yang lebar karena sering dikorek-korek dicari
kotoran upilnya. Aku makin jengkel aja melihat tingkah Mujahidi, tanpa memandang sebelahnya
yang jakunnya naik turun. Sebenarnya aku ngiler pada rokok yang diisepnya, tapi aku tak mau
merengek-rengek, minta satu dua isepan, walau kalau dikasih, aku gak bakal menolak.
Karena melihat Mujahidi, kelihatannya rokoknya tak akan dibagi, aku segera pamitan kepada bu
Lurah untuk pergi ke musholla, sekalian nunggu waktu sholat duhur, sambil selonjoran karena
semalaman belum tidur, aku langsung tidur, jam menunjukkan jam sepuluh lewat lima menit.
Wah kalau ingat jam jelek yang selalu melingkar di tanganku ini, heran juga, yah walau jam tangan
bermerek Casio ini menurut aku jelek, tapi awet banget, juga tahan air, aku malah mengira jam ini
tak pakai batre untuk menopang jalan angkanya. Soalnya sampai tiga tahun kgak mati-mati, padahal
semenjak kubeli, belum pernah aku melepasnya. Mandi, tidur, kemana aja jam ini kubawa. Sampai
bentuknya buduk banget. Kaca mikanya jaret-jaret kesana sini. Penunjuk waktunya yang cuma
angka-angka itu memudahkanku.
Apalagi kalau ingat waktu mendapatkannya, saat itu aku dari Serang Banten mau pulang ke Tuban
nyampai terminal Pulo Gadung. Setelah membeli tiket bus malam jurusan Senori Tuban. Aku segera
mencari tempat duduk, karena terlambat sedikit saja aku pasti tak akan dapat kursi, karena siapa
cepat dapat. Untung aku masih kebagian kursi di tengah, walaupun bus yang kutumpangi jauh dari
nyaman, aku berusaha menyamankan diri, bus masih menunggu penumpang penuh dan menunggu
jam keberangkatan.
Para pedagang asongan berseliweran, sehingga menambah keadaan makin ribut. Tak jarang para
pedagang itu menawarkan dagangannya disertai paksaan. Terdengar seorang pedagang jam
tangan menawarkan dagangannya, sampai di depanku dia menawarkan dagangannya kepadaku,
tapi aku menggeleng.
“Dilihat dulu mas, ngelihat kgak bayar kok.” kata pemuda penjual jamnya. Aku pun melihat, walau
aku tak tau tentang jam tangan, tapi menurutku semua jam tangan yang dijualnya tak bagus. Maka
ketika dia menawarkan kepadaku untuk membeli satu, aku menolak, lagian aku tak punya uang.
Tapi dia maksa malah memakaikan jam tangannya ke pergelangan tanganku.
“Ayolah mas dibayar, cuma limapuluh ribu aja kok.” aku mau melepaskan jam tangan dari
pergelangan tanganku, tapi pemuda itu menahan.
“Ayo dibayar,”
“Maaf, aku tak mau dan tak ingin punya jam tangan.” kataku, “Kamu jangan maksa.”
“Eh kamu udah ngelihat-lihat udah make jam tanganku tapi kgak mau bayar, kamu ngajak
berantem?!” nadanya menantang. Sementara bus sudah jalan.
“Heh yang makekan kamu, kamu jangan memutar kata-kata ya, aku bilang aku tak punya uang.” aku
juga mulai emosi.
Dia tersenyum mengejek, “Heh, oke aku akan ambil semua uang di sakumu, sebagai pengganti jam
tanganku.”
Aku diam saja ketika dia merogoh uang di sakuku, karena memang aku tak punya uang. Sementara
kondektur telah menyuruhnya turun. Dia tak menemukan apa-apa kecuali uang lima ribuan.
“Ah kere…!” katanya sambil bergegas turun, karena kondektur yang sudah membentaknya turun.
Dan jam tangan ini sampai sekarang ada di tanganku. Aku berharap pemuda penjual jam itu insaf
dan melakukan jual beli dengan wajar, dan aku juga berharap, jam tangan ini setiap ku pakai
beribadah maka pemuda itu mendapatkan pahala.
Dalam tidur aku merasa ada banyak orang yang duduk berbisik-bisik di bawah kakiku. Aku pun
membuka mata dan mengangkat sedikit kepala untuk meyakinkan prasangkaku. Ternyata benar,
banyak sekali pemuda kampung Pasir Seketi. Dan yang aku kenal namanya ada yang namanya
Jejen, Maman, Nono, Safi, Imam dan banyak lagi yang aku tak tau namanya, aku segera bangkit
duduk.
“Eh, apa sudah saatnya sholat?” tanyaku karena menyangka, pemuda-pemuda ini mau sholat.
“Belum.” jawab mereka serempak.
“Lho, lalu kenapa kalian duduk di sini?” tanyaku heran, sambil membetulkan rambut panjangku yang
ikatannya kendor, sehingga yang rambut pendek lepas, agak membuatku risih, kulihat Mujahidi tidur
mendengkur di sebelah kananku, sekali waktu mulutnya berkriutan, mungkin makan emping atau
daging yang agak liat, kulihat semua pemuda saling memberi isyarat untuk mewakili bicara.
Akhirnya yang bicara pemuda bernama Jejen.
“Jadi, anu…,” pemuda itu rikuh, sehingga dia susah mengeluarkan kata-kata. Jejen, pemuda ini ku
taksir umurnya duapuluh dua tahun, tubuhnya kecil, tapi berotot karena biasa kerja di kebun.
Wajahnya juga kecil tapi kelihatan tua. Jejen pernah ke tempat Kyai, tapi disentil Kyai, supaya
jangan sering nonton video porno, lalu malu sekali, sehingga tak berani datang lagi.
“Anu mas Ian, maaf kalau kami mengganggu tidur mas Ian, kami semua pemuda desa meminta
dengan sangat supaya mas Ian bersedia membimbing kami, menjadi guru silat di desa Pasir Seketi
ini.” seperti telah melepaskan beban di dadanya, Jejen menarik napas lega. Aku tak terkejut, biasa
saja, sementara kulihat para pemuda yang kebanyakan umurnya di atasku itu, tegang menanti
jawabanku.
“Aku mau-mau saja menjadi guru kalian, tapi apakah kalian sanggup untuk menjadi muridku?”
“Sanggup…!” terdengar suara serentak.
“Kami sanggup disuruh apa saja,” kata Jejen menambahi. Karena waktu itu sudah masuk waktu
sholat maka aku mengajak mereka semua sholat berjamaah. Setelah selesai menjalankan sholat,
para pemuda itu duduk melingkariku, mungkin semua sekitar tigapuluh orang.
“Saudaraku semuanya,” aku membuka pembicaraan.
“Perlu kalian ketahui, ilmu yang akan kuturunkan kepada kalian ini, dinamakan ilmu laduni, dasar
amalannya adalah wirid. Sementara kalian harus menjalani puasa, untuk memiliki ilmu ini, kalian
harus membeli ilmu ini dengan puasa, semakin banyak kalian puasa, maka akan semakin banyak
ilmu yang kalian dapat….” aku menjelaskan panjang lebar tentang ilmu laduni, dan setiap
pertanyaan aku jawab sampai mereka puas.

Sang Kyai 
EPISODE: 17. LAKU PUASA DASAR (RUMAH BERHANTU)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Aku benar-benar pulas tidur sambil tanganku masih memegang kaki Kyai, dan kaget karena
mendengar suara adzan keras seperti ditempel di telingaku, kontan aku bangun, mengejap-
kejapkan mata, melihat kanan kiri, betapa terkejutnya aku, karena aku ada di dalam suatu masjid,
dan banyak orang di sekitarku, ada yang berdiri, ada yang sedang sholat, dan ada yang menatapku
aneh. Karena aku tidur sambil memegang kaki Kyaiku, membelakangi kiblat.
Ah malunya aku, “Mas Ian wudhu dulu…” kata Kyai karena melihat kebingunganku, aku segera
beranjak, masih tak habis mengerti, lalu pergi ke tempat wudhu, di tempat wudhu aku mencoba
mendekati seseorang yang sama-sama mau wudhu.
“Paman, ini desa namanya desa apa, daerah mana?” lelaki setengah baya itu memandang heran
kearahku.
“Adik ini bukan orang sini ya?” tanyanya menyelidik.
“Bukan pak.”
“Oo, ini desa Kalianyar Kuningan dek.”
“Makasih pak.”
“Sama-sama dek.”
Aku tak habis pikir, kenapa bisa sampai di Kuningan. Aku segera wudhu. Dan kembali ke tempat di
mana Kyai duduk. Aku selama sholat jum’at masih tak habis pikir dengan yang kualami, benar-benar
tak masuk akal, bagaimana bisa terjadi, ini jelas-jelas bukan mimpi, kalau dulu aku diajak ke
kampung dayak oleh Kyai tapi dalam mimpi, walau akhirnya aku tau itu adalah nyata, sekarang ini
bukan lagi mimpi, semua nyata adanya, wajar sewajar-wajarnya. Selama sholat sampai selesai aku
tak berani meninggalkan Kyai, takut kalau ditinggal bagaimana aku pulang nanti, sampai sholat
jum’at selesai dan semua orang pergi, aku duduk menyanding Kyai.
“Ini namanya ilmu rogo sukmo, tingkat menengah, tingkat di atasnya lagi bisa melipat bumi,
sehingga bisa sholat di Makkah, di atasnya lagi bisa menjadikan diri menjadi banyak sesuai
kehendak hati, sehingga bisa sholat di berbagai tempat, dan tingkatan paling rendah yaitu melepas
sukma, meninggalkan raga. Pejamkan matamu mas.” aku segera memejamkan mata, beberapa
detik kemudian, terdengar lagi suara Kyai, “Sudah. Buka mata.” aku pun membuka mata dan aku
heran karena telah kembali di rumah Kyai.
“Bisakah saya mempelajari ilmu itu Kyai?”
“Semua orang bisa mempelajarinya, harus menjalankan puasa dan laku yang berat, sebenarnya
ilmu Alloh itu teramat banyak, jikalau semua air dibuat tinta, semua pohon dibuat pena, umur kita
panjang dari masa nabi Adam diciptakan, sampai sekarang, lalu setiap waktu kita menulis ilmu
Allah, kemudian mempelajari, dan mengamalkan, niscaya ilmu itu tak akan habis, walau umur kita
berlipat lipat lagi, orang Islam saja kalau mau sungguh-sungguh ilmu Alloh, maka sebetulnya tak
perlu merasa takut kelaparan, dan tak akan pernah merasa sedih, tak membutuhkan pesawat. Tapi
karena telah terjajah oleh kepentingan dan tersihir oleh nikmat dunia, jadi ilmu Alloh tak diperdulikan
lagi, iman cuma diucapkan di lisan tak melewati tenggorokan, jangankan mendapatkan ainul haq,
mata telanjang aja menjadi buta.” aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan Kyai, saat
mengalami itu aku masih menjalankan puasa empat puluh satu hari.
Memang ilmu dari Kyai ini aneh, jadi tak pernah diajari, tak pernah ada pengajaran kanuragan, tak
pernah ada pengajaran pengobatan, tak pernah ada pengajaran apapun, hanya ada pengamalan,
amalan-amalan untuk menjernihkan hati, dan mendekatkan diri pada Allah dengan segala laku,
tanpa mengharap balasan dari Alloh, bahkan tanpa menganggap amalan itu ibadah. Dibiarkan
mengalir begitu saja. Wajar seperti air sungai yang mengalir melewati celah-celah batu kadang
membentur karang menikung membalik berpencar berkumpul untuk menuju muara laut makrifat,
hikmah, dan kesempurnaan, di antara para santri mungkin aku yang paling getol puasa, aku ingat
waktu puasa pertama kujalani dua puluh hari, karena mondok sambil kerja, jadi aku bekerja di
Jakarta. Untuk makanku di pondok. Ada tawaran kerja melukis airbrush. Di Cipinang Indah. Aku pun
berangkat ke Jakarta, dan mencari rumah kontrakan.
Kesana sini aku mencari kontrakan, tapi kebanyakan, harganya di atas isi kantongku, padahal aku
harus ngirit, seharian aku jalan, naik angkot, tanya sana sini, sampailah aku di daerah Duren Sawit,
Jatinegara, karena lewat petunjuk orang ada rumah kontrakan yang murah, tapi hati-hati mas, pada
kgak krasan, banyak hantunya. Kata ibu-ibu yang ngasih tau sambil wajahnya dibuat mimik ngeri.
Akupun segera menemui pemilik kontrakan, lalu aku diajak ke rumah yang mau ku tempati.
Rumahnya cukup besar, bertingkat di belakang, ada kamar mandi, wc, dan tiga kamar serta ruang
tamu, cuma sayang tak di urus, jadi amat berdebu.
“Kalau mau nempati ditempati aja mas, kagak usah bayar, gratis.” kata pemuda sepantaranku, anak
yang punya kontrakan.
“Lho kok bisa gitu.”
“Yah selama ini kami repot, karena setiap yang ngontrak di sini selalu tak krasan, ya alasannya ada
hantunyalah, ada setannya, kemudian uang kontrakan diminta lagi, ya kami yang repot, karena
uangnya terlanjur kepakai.”
“Apa emang bener ada hantunya?” tanyaku sambil jalan melihat kamar-kamar.
“Wah kalau saya kgak percaya hal kayak gituan mas, cuma takut kalau bener ada trus saya dicekik.”
aku heran dengan penjelasan pemuda ini, wong tak percaya tapi kok ya takut.
Akhirnya aku menyetujui, rizqi emang tak kemana, kalau udah dicap untuk kita, ya untuk kita, aku
pun menempati rumah itu gratis, padahal kalau ngontrak rumah segede ini paling enggak empat
ratus ribuan per bulan, wah kalau disuruh nempati gratis kayak gini ya jelas enak lah. Aku segera
bekerja membersihkan rumah, menguras bak mandi, mengepel, untung juga di ruang tamu ada
televisinya, wah bener-bener bisa kerasan. Tapi aku cuma mau nyari tempat tinggal sampai kerjaan
di Cipinang Indah selesai. Besoknya aku mulai kerja membuat motif granit di tembok dan tiang
rumah, juga membuat lukisan-lukisan di titik tertentu sesuai permintaan, juga aku puasa di siang hari
dan wirid di malam hari, wiridnya tak terlalu banyak macamnya, walau hitungannya mencapai
puluhan ribu. Karena sambil kerja waktu tak terasa berlalu.
Tak terasa duapuluh hari telah berlalu, ini adalah puasa hari ke dua puluh satu, dari ilmu yang
diajarkan Kyai ini hanyalah puasa dasar, setelah ini aku puasa empat puluh satu hari, lalu setelah
selesai aku puasa tiga bulan, kemudian tujuh bulan, kemudian sembilan bulan, satu tahun setengah,
tiga tahun, lima tahun, tuju tahun, semua harus dilakukan berturut, artinya misal mau puasa empat
puluh satu hari, selama empat puluh satu hari harus puasa, nah kalau sudah selesai, baru berhenti,
mau satu atau dua tahun lagi baru puasa yang tiga bulan terserah.
Selama aku menempati rumah kontrakan ini adem ayem aja, tak terjadi apa-apa, aku lebih memilih
menempati kamar atas tepat di atas kamar mandi karena lebih dekat ke kamar mandi, walau kadang
aku ketiduran di ruang tamu, karena keasyikan nonton tivi.
Malam ini wirid terakhirku, setelah sholat isya, aku duduk bersila, tasbih di tangan kananku, dan
counter di tangan kiriku. Dudukku kubuat sesantai mungkin, karena wirid ini baru bisa kuselesaikan
dalam tiga jam. Napas kutarik panjang dan kusimpan di perut, berbarengan terus aku membaca
aurad setelah perutku penuh, dan aku tak kuat menahan napas, napas perlahan lahan kukeluarkan,
sangat perlahan, sampai aku tak mendengar desah tarikan nafasku. Mulutku tertutup rapat, dan
mataku terpejam, sementara hati ku terus membaca wirid tanpa henti. Setelah napas kukeluarkan
semua, diam sejenak, aku mengulang pernapasan seperti awal, begitu terus sampai wirid selesai,
dalam mata batinku aku melihat gelap yang pekat, semua gelap tak berujung tak berpangkal, lalu di
jauh sekali kulihat setitik cahaya, aku seperti meluncur ke arah cahaya itu, dan masuk ke dalamnya,
semua serba cahaya putih menyilaukan mata hatiku silau lalu ada cahaya merah, hijau, kuning, biru,
dan banyak lagi berpendaran, lalu aku terseret dalam satu cahaya melesat berputar, sampailah aku
di satu ruang yang terang tapi lembut, damai, aku tak tau ruang apa itu, kurasakan dari pusarku
mengalir hawa dingin yang sedang, mendamaikan mengalir ke semua tubuhku, kadang alirannya ku
arahkan ke bagian tubuhku yang pegal-pegal, seketika hilang rasa pegalku.
Tiba-tiba angin keras menerpa di sekitarku, aku tetap duduk tenang, angin semakin keras, sampai
pakaianku berkibar-kibar, sekejap konsentrasiku buyar, karena sejenak aku berpikir, bagaimana
mungkin ada angin yang keras masuk sedang jendela dan pintu terkunci. Tapi aku cepat
berkonsentrasi lagi, dan sampai wirid selesai tak terjadi apa-apa, setelah melipat sajadah akupun
pergi ke ruang tamu dan nonton tivi sambil tiduran di sofa. Tak terasa aku telah lelap, kira-kira jam
tiga malam terdengar ledakan di atas genteng, suaranya keras, sampai aku yang lagi tidur terjaga,
ah mimpi pikirku. “Duar..!,duar…!” terdengar ledakan keras di atas genteng, suaranya seperti
petasan, atau seperti suara pespa yang distarter lalu meledak dan copot kenalpotnya, aku sempat
terbangun karena ada percikan api di atasku, kukira konsleting listrik, tapi kenapa lampu kamar
sebelah tak mati? Memang lampu di ruang tamu tempat aku tidur di sofa, kumatikan, tapi bias
cahaya dari kamar sebelah masih, bisa membantu mataku mengenali setiap benda di ruang tamu
ini, ah perduli amat, besok aku kerja maka malam ini aku harus beristirahat cukup.
Aku segera membetulkan letak tubuhku agar nyaman, dan segera memejamkan mataku, tapi baru
beberapa menit aku memejamkan mata, kudengar suara dekat di telingaku, walau kata-katanya tak
jelas tapi benar-benar membuatku kaget, aku pun membuka mata, uh! Betapa terkejutnya aku, tepat
tiga jengkal dari wajahku, seraut wajah yang menyeramkan melihatku, wajah orang tua jelek sekali,
wajahnya keriputan penuh bisul menggelambir di sana sini, kepalanya botak, dan rambutnya hanya
tumbuh di belakang kepala. Wah celaka kalau ini orang gila yang masuk ke kontrakanku, melihatku
membuka mata dan bangkit, orang tua itu mundur.
“Hei siapa kau? Orang edan dari mana?!” tanyaku membentak, orang itu mundur dan mengoceh
dengan bahasa yang tak ku mengerti. Tanganku terkepal maju mau melayangkan bogem ke wajah
orang itu, ku lihat wajahnya ketakutan dan mundur-mundur, aku segera berlari melayangkan
pukulan ke orang itu.
Namun dengan cepat tanpa ku sangka-sangka orang itu melompat kearah tembok, dan hilang
dalam tembok. Aku melangkah maju ketembok di mana orang itu hilang, kuraba tembok semen, ku
getok-getok dengan jari, keras, bagaimana mungkin orang tua itu bisa nembus tembok, apa
mungkin jin, setan, siluman? Tapi kenapa kalau memang jin atau sebangsanya kok malah takut
kepadaku, padahal kalau melihat mukanya jelek banget, mestinya aku yang takut sama dia,
bukannya dia yang takut kepada wajah kerenku. Aku kembali ke sofa, membaringkan diri, kulihat
jam tanganku menunjukkan pukul 3 dini hari, aku sudah tak bisa tidur lagi, mataku sekali waktu
melihat tembok di mana orang tua jelek itu hilang.
Kisahku ini kuceritakan kepada Kyai, tapi Kyai hanya ketawa, dan mengatakan kalau menjalani
puasa tingkat pertama memang akan bersentuhan dengan dunia gaib, jadi tak masalah.

Sang Kyai 
EPISODE: 18. PUASA 41 HARI (MELUKIS RUMAH MAKAN)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Di puasa yang keempat puluh satu aku juga mendapatkan tawaran melukis di sebuah rumah makan
besar di daerah lintas jalan raya Serang-Pandeglang, rumah makan itu besar sekali, panjangnya aja
sampai hampir mencapai seratusan meter, di bawah rumah makan itu ada pemancingan, pemilik
rumah makan itu memintaku melukisi semua rumah makannya, tapi aku menolak karena mungkin
setahun bekerja juga tak akan selesai, padahal aku bekerja hanya untuk sekedar buat makan di
pondok, beli sabun dan pasta gigi, apalagi aku orangnya cepat bosan, dan melukis juga kalau lagi
mud ya seneng tapi kalau lagi males, ya males.
Jadi ku katakan aja kalau aku nanti mau melukis pasti akan datang, tapi kalau lagi tak mau aku pun
pulang ke pondok, dan oleh pemilik rumah makan itu pun disetujui. Aku tinggal di musholla yang ada
di tengah-tengah rumah makan itu, sebenarnya aku diminta untuk tinggal di rumah pemilik rumah
makan itu, tapi aku lebih memilih tinggal di musholla.
Rumah makan itu kalau siang penuh dengan pengunjung, jadi aku memutuskan melukis di malam
hari agar tidak mengganggu pengunjung rumah makan, juga konsentrasiku saat melukis tidak
terganggu, dan saat itu aku diminta melukis pakai kuas, jadi tidak lukisan airbrush, sehingga tak
perlu terdengar suara ribut mesin compresor. Aku mulai kerja jam sembilan malam, yaitu setelah
rumah makan tutup, dan pelayan telah membereskan semua. Di hening malam tanganku segera
menuangkan bongkahan beku imajinasi, mencoret sana sini, mengambil satu demi satu gambaran
pikiranku, menuang dalam bentuk warna yang lebih nyata, untuk dinikmati siapa saja. Seperti
menyeret orang ke dunia hayalku, tanpa batas tanpa tepi.
Malam bekerja dan siang puasa, Sangat nikmat sekali, dan wirid kulakukan di siang hari, wirid masih
tahapan ringan, kalau dibanding tahapan puasa di atasnya, walau menurut orang yang tak pernah
menjalankan wirid, wirid adalah berat. Tapi dibanding puasa yang tuju bulan, di samping wirid aku
harus menghatamkan Alquran selama seminggu, apalagi yang puasa sembilan bulan, disamping
wirid aku harus menghatamkan Alquran selama satu hari, yaitu dari matahari terbit, sampai matahari
tenggelam, pertama aku membayangkan bahwa itu tak kan mungkin, tapi setelah Kyai menjelaskan
tentang ilmu melipat waktu, dan aku mengalami sendiri, ternyata itu hal biasa, imam syafii aja
menghatam Alquran sehari tujuh kali.
Sudah tujuh hari aku bekerja di rumah makan ini, pak Kosasih pemilik rumah makan ini, seorang
DPR, MPR, Cilegon, orangnya supel, ulet dan pandai bergaul, kadang pak Kosasih ini memintaku
berhenti bekerja dan mengajak ngobrol tentang agama.
“Mas Ian, sini-sini ngaso dulu, kita ngobrol.” katanya sambil duduk di kursi, memangilku, aku pun
meletakkan kuas besar yang kupakai membuat lukisan rumput. Dan aku menghampirinya.
“Duduk dulu.” katanya lagi. “Wah mas Ian ini hebat, jadi pelukis juga seorang santri.”
“Ah biasa aja pak.”
“Ah ya enggak biasa lah, apa ada di Indonesia ini, atau mungkin di dunia satu sisi, sementara sisi
yang lain adalah seorang calon Kyai, tentu sebagai santri ini mas Ian ilmu agamanya pinter?”
“Wah bapak ini, karena saya tak tau ilmu agama inilah saya mondok pak, kalau saya udah pinter
mungkin saya jadi tukang ceramah, kalau pekerjaan melukis, ya karena orang tua saya tak kaya,
jadi kalau saya mau mesantren harus cari makan sendiri, bisanya nglukis, jadilah kerjaan ngelukis
dijalani.”
“Ck..ck..hebat, hebat, memang jadi pemuda itu harus mandiri, tak hanya menjagakan orang tua.”
“Wah kalau saya karena kepaksa aja.”
“Wah udah hebat masih bisa membawa diri.”
“Ah jangan terlalu dilebih-lebihkan lah pak, nanti saya gede kepala.”
“Ngomong- ngomong apa menurut mas Ian tentang sholat?”
“Sama dengan yang ada di Alquran dan hadis, sholat itu tiang agama, siapa yang mendirikan sholat
maka menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan sholat merobohkan agama, karena sholat
itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Seperti obat yang menyembuhkan penyakit, tentu efek
sembuh di sini bukan saat mengkonsumsi obat itu, tapi setelah mengkonsumsi obat itu, begitu juga
pada sholat, dikatakan bisa mencegah perbuatan keji tentu adalah setelah orang menjalankan
sholat. Kalau sudah sholat ternyata masih korupsi, masih ngomong jelek, masih iri, dengki, sombong
dan segala macam perbuatan buruk dilakukan, ya diyakini aja sholatnya tak bener. Sholat itu ada
syarat, rukunnya, luar dalam harus dipenuhi. Seperti orang mandi aja, harus ada kamar mandi, ada
air ada sabun, semua semakin baik, akan semakin bagus hasilnya, walau cuma mandi, kalau bisa
ada kamar mandi yang baik, tidak mandi di tengah lapangan, ada sabun yang baik, bukannya pakai
lumpur, airnya juga harus bagus, air yang keruh penuh kuman, atau air got tentu setelah mandi
bukannya bersih tapi akan malah kotor, begitu juga mandi tak bisa dibolak balik, habis diguyur air
pake sabun diguyur air lagi, kalau sabun kita pakai belakangan, lalu pake baju, tentu diketawain
orang. Jadi tak bisa seenaknya sendiri, juga ada syarat dalam niat mandi itu mau mejeng atau mau
agar bersih, agar sehat. Dan orang yang mandinya bener tidaknya tentu dilihat setelah orang itu
keluar dari kamar mandi, kalau coreng moreng tentu mandinya tak bener, tapi kalau baunya wangi,
bersih tentu mandinya benar.”
“Lalu menurut mas Ian gimana kalau ada orang mengatakan, sholat itu yang penting hatinya, lalu
orang itu tak mau sholat.”
“Kata-kata orang itu benar tapi dia tak mau sholat itu yang tak benar. Maksud saya kata-kata orang
itu benar, kebenarannya sebatas kata-kata, seperti orang mengatakan motor itu yang penting
mesinnya, tentu kata itu benar, karena mesin bagus lari motor jadi kenceng, tapi apa yang sudah
nempel di motor itu semua tentu penting, tanpa roda motor tak bisa kemana, roda ada unsur pelek,
ger, jeruji, rantai, ban dalem ban luar, semua penting, satu aja tak ada motor tak akan kemana,
kecuali dituntun, gitu juga sholat, satu aja rukun tak ada maka sholat itu walau masih dianggap
sholat tapi tak sah, jangankan dapat pahala, sholat diangkat ke langit aja kgak. Seperti motor tak
bisa kemana-mana, sekalipun mesin motor bagus, tapi tak ada roda, tak ada rem, tak ada onderdil
yang lain, orang tak akan mau menyebut mesin motor itu adalah motor.”
Begitulah pak Kosasih, hampir tiap hari mengajak dialog tentang agama, dan aku selalu berusaha
untuk menanggapinya dengan memberi contoh yang bisa dinalar dengan rasio masuk dalam logika,
sampai-sampai orang itu menganggapku sebagai adiknya sendiri, dan mau menghadiahiku rumah
tingkat di belakang rumahnya harapannya agar aku bisa diajaknya selalu membahas agama. Tapi
walau aku miskin tapi aku tak mau hidup terjerat budi, seperti kata Kyaiku, yang selalu terngiang
sampai kini saat itu aku mau bekerja di rumah orang yang masih ada hubungan saudara dengan
Kyai, aku bertanya, apakah harus minta bayaran pada saudara Kyai itu.
“Mas Ian ini gimana, kalau kerja itu tak ada yang ikhlas, lha kalau beramal itu harus ikhlas. Semua
ada tempat dan bagiannya masing-masing. Kalau mas Ian kerja ya harus minta gaji, nabi sendiri
mengatakan: bayarlah gaji pegawaimu sebelum kering keringatnya, kalau amal kan banyak caranya
ada sedekah dan lainnya. Jadi jangan dicampur-campur.”

Sang Kyai 
EPISODE: 19. PUASA 41 HARI (DIPERKOSA JIN-JIN PEREMPUAN YANG NAKAL I)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu aku sendirian melukis, jam menunjukkan jam dua dini hari, keheningan malam terasa
mencekam betul malam ini, udara dingin menusuk tulang, kopi jahe telah habis kutenggak, entah
rokok Djarum yang ke berapa ini kunyalakan di mulutku, untuk mengusir sepi dalam kesendirianku,
dari jauh ku dengar gonggong anjing bersahutan meremangkan bulu kudukku, aku masih mencoba
menyatukan serpihan-serpihan imajinasiku, dan menorehkan kuas di tembok.
Tiba-tiba deretan kursi bambu di belakang, berjarak tiga meter berderit, seperti ada orang yang
menduduki, aku menengok tiada siapa-siapa, aku melanjutkan melukis lagi, mengusir pikiran-pikiran
takut yang mulai membuyarkan konsentrasiku. Tapi tak sampai lima menit, ku dengar ketukan-
ketukan jari di meja bambu, aku masih tetap melukis, sambil menyatukan konsentrasiku ke telinga
dan setelah yakin dengan yang ku dengar, aku cepat menoleh kearah suara. Tiada siapa-siapa,
suara ketukan di meja pun berhenti, mungkin kalau bukan orang yang digembleng berulang kali
telah tidur di kuburan, tentu aku akan lari lingkang pukang. Tapi ini bukannya membuatku takut tapi,
aku jengkel bukan main, karena konsentrasiku diganggu. Aku melanjutkan melukis lagi, setelah
sebelumnya aku mengambil rokok Djarum kuoles-olesi dengan ketek kopi dan kunyalakan, namun
belum sampai lima menit terdengar lagi suara ketukan jari di meja, kali ini dengan nada musik
tertentu, aku masih terus melukis, sampai dengan saat tepat aku membalikkan badan dan mengira
tempat yang tadi diketuk-ketuk, aku menghampiri dan duduk di kursi depan, dan berpura-pura
melihatnya, ku pelototi dia, yah aku yang ilmuku masih dangkal tentu tak melihatnya, dan aku benar-
benar kecele. Karena tiba-tiba jendela rumah makan bergoyang-bergoyang, sialan dia telah
berpindah, aku segera ke jendela, sampai di jendela aku berhenti, tapi tiba-tiba pintu gerbang besi di
depan bergombrengan seperti ditendang orang, aku berlari ke pintu gerbang, tapi tetap tak ada
siapa-siapa. Ah perduli amat, aku memutuskan untuk berhenti melukis dan melangkah ke musholla
untuk berangkat tidur.
Baru saja aku tidur, aku kaget membuka mata, dan nampak dari pintu musholla berjalan
melenggang gadis cantik sekali, bibir tipisnya merah merekah, ada lesung pipi ketika tersenyum,
matanya bening penuh kerlingan dan pakaian dan kerudung yang dipakai dari sutra tipis berwarna
biru, sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Ah aku mau bergerak tapi tubuhku benar-benar kaku.
Tak bisa digerakkan sama sekali, seperti dilem dengan ubin keramik, ah aku benar-benar tak bisa
berbuat apa-apa ketika perempuan cantik itu duduk di sampingku, tangannya mulai memelukku,
kemudian bibirnya yang lembut mencumbuku, ah aku tak berdaya, dicumbuinya dan tak bisa ku
tolak, maka terjadilah…..
Bangun pagi semua tubuhku rasanya ngilu. Seperti orang yang habis bekerja berat, tak ada
perempuan di sampingku. Aku mungkin bermimpi. Untung siang hari aku tak kerja, sehingga aku
dapat beristirahat tidur seharian, kalau mimpi hadas besar kayak gini ini yang repot waktu bangun
tidur dan mau mandi sebelum sholat subuh, soalnya tak ada air, aku jadi pontang panting nyari air di
kampung-kampung, sampai ku temukan sumur dekat musholla jaraknya dari tempatku kerja
mungkin ada sekitar dua ratusan meter, ah tak apalah, aku langsung gebyuran mandi junub. Dan
sholat subuhnya ikut berjamaah di mushola, aku masih duduk wirid memutar tasbih, setelah
menjalankan sholat subuh,
“Assalamu alaikum,” ku dengar suara salam di sampingku, aku segera menjawab salam dan
menengok ternyata orang tua yang tadi menjadi imam mushola.
“Mari nak main ke rumah bapak…” suara orang itu halus sekali. Sambil menjabat tanganku. Aku tak
bisa menolak, tanpa kata mengikutinya dari belakang. Seperti kerbau dicocok hidungnya, setelah
melewati sekitar lima rumah kami pun sampai di rumah lelaki tua itu, ku taksir umurnya sekitar
enampuluhan wajahnya bersih, tenang, tak ada kumis dan jenggot, gurat di wajahnya tak
menunjukkan ketuaan karena tertutup kegemukan, tubuhnya gemuk tapi gemuknya sedang tak
berlebihan. Rupanya orang tua ini, adalah pengasuh pondok pesantren. Itu ku ketahui, setelah
menyaksikan betapa banyak bangunan kamar-kamar santri berderet-deret, dan beberapa santri
sedang beraktifitas. Setelah masuk rumah akupun segera disuruh duduk di kursi, sementara orang
tua itu masuk ke dalam rumah, kemudian duduk berhadapan denganku.
“Kalau boleh tau anak ini dari mana?”
“Dari Tuban Jawa Timur pak.” jawabku singkat.
“Kok saya tak pernah melihat anak ini, tinggalnya di mana ya?”
“Saya bekerja di rumah makan itu pak, lagi membuat lukisan.”
“Oo, begitu rupanya, oh ya kok kita belum kenalan, nama saya Mashuri, orang sering memanggil
Kyai Mashuri.” lelaki itu mengulurkan tangannya, dan segera saya jabat, “Febrian.” jawabku singkat,
karena mataku ngantuk sekali.
“Anak Ian ini dari pesantren ya?”
“Benar pak, saya dari pesantren Pacung.”
“Wah pantes muridnya Kyai Lentik, pantas saya lihat beda.”
“Oh Bapak juga kenal dengan Kyai saya?”
“Ah siapa di Banten ini yang tak kenal dengan guru nak mas?”
Pembicaraan kami terhenti, dari pintu muncul dua gadis membawa dua baki makanan dan
minuman, kemudian ditaruh di atas meja, ketika dua gadis itu mau kembali ke dalam, Kyai Mashuri
segera mencegahnya dan menyuruh duduk di kursi, malah gadis yang satunya diminta memanggil
gadis yang satunya lagi, sehingga di depanku kini ada tiga gadis cantik. Aku yang tak mengerti akan
maksud Kyai Mashuri, duduk cuek-cuek aja.
“Mari nak Ian, sambil dicicipi makanannya…”
“Makasih pak, saya lagi libur.”
“Ah udah saya duga memang murid Kyai Lentik orang gemblengan.” kata Kyai Mashuri memuji.
“Ini lho nak Ian anak-anak saya, sebenarnya ada lima orang tapi yang dua lelaki, yang ini.” telunjuk
Kyai Mashuri menuding ke gadis cantik yang ada di sampingnya.
Gadis cantik berkulit seputih susu, ku taksir umurnya sembilan belasan tahun, wajahnya imut-imut
terlihat lesung pipi ketika tersenyum, bibirnya mungil, hidungnya mancung kecil matanya agak sipit
seperti mata orang Cina, alisnya kecil melengkung, wah kalau dibedaki dikasih pemerah bibir
mungkin akan seperti boneka.
“Namanya Juwita, dia baru kelas tiga SMA, dia anakku yang paling bungsu. Lalu yang sebelahnya,”
Kyai Mashuri menuding gadis di sebelah Juwita, gadis ini bertulang besar, namun tubuhnya langsing
wajahnya tipe keibuan, dan manis sekali dengan kulit agak sawo matang, bibir tipis dan ada tumbuh
kumis halus di bawah hidungnya yang mungil matanya memandang sayu, alisnya tebal melengkung
indah.
“Dia bernama Anisa, dia kuliah tingkat pertama, dan yang itu anak perempuan saya paling tua.” Kyai
mashuri menuding gadis yang tadi terakhir keluar.
Nampak gadis yang mungkin telah berusia matang, wajahnya sederhana penuh kedewasaan
mungkin umurnya lebih tua dariku, postur tubuhnya tinggi semampai, dengan wajah bulat telor,
bibirnya merekah, merah walau tanpa lipstik, janggutnya lancip dengan hidung yang tak terlalu
mancung, tapi menambah pas akan kecantikannya.
“Dia namanya Aliya, nah nak Ian sudah tau akan anak-anak saya, menurut orang Banten kuno,
orang Jawa itu rajanya, dan orang Banten itu ratunya, maksudnya alangkah baiknya kalau orang
Jawa jadi suaminya dan orang Banten jadi istrinya, makanya saya memperkenalkan anak saya,
maksud saya ingin menjodohkan anak saya dengan nak Ian.”
Saya yang siat-siut ngantuk karena semalam dikerjai jin wanita, kontan kaget salah tingkah, serba
salah, tak karuan, pokoknya tak mengerti, harus apa dan bagaimana. Bahkan seluruh tubuh yang
tadinya gatel, sekarang semua gatel, rambutku rasanya awut-awutan, pokoknya rasanya semua tak
pas, sebenarnya kalau dipikir aku ini termasuk orang yang beruntung, bahkan mungkin terlalu
beruntungnya jadinya malah kelihatannya sial, bayangkan saja kalau di depan dijejer bidadari-
bidadari, kemudian ditawarkan lagi untuk memilih, bisa melihat bebas aja sambil ngiler clegak-
cleguk aja sebenarnya sudah untung apalagi malah disuruh milih salah satu, ijenku belum sampai
situ.
“Nak Ian bisa memilih salah satu dari ketiga putri saya ini, tak usah buru-buru, dipertimbangkan
masak-masak, diistiharohi, saya ini kalau melepaskan anak menjadi istri murid dari Kyai Lentik,
sudah yakin dan tak ada keraguan, lagian menurut saya ilmu yang nak Ian terima akan sangat
bermanfaat di pesantren saya ini.” kata Kyai Mashuri panjang lebar, sebenarnya kata sederhana
andai aku bukan pemainnya, tapi karena kata itu ditujukan padaku, maka seperti serangan petinju
kepada lawan mainnya.
“Ah ,..kuk ..ut..ut” ah kenapa mulut jadi kayak habis disuntik obat mati rasa kayak gini. Kelu,
tenggorokan kering, keringet membanjir lagi, ah kenapa juga perut jadi mules.
Melihat kegugupanku, Kyai Mashuri segera bicara, “Tak usah memberi jawaban sekarang, jadi
dipertimbangkan masak-masak dulu.” wah seperti terkena udara ruangan yang berAC dan baru dari
terik yang menyengat, keringatku pun perlahan mulai kering, kami pun membicarakan hal yang lain.
Setelah kurasa cukup, aku memutuskan untuk mohon diri dengan alasan takut dicari-cari oleh pak
Kosasih, setelah keluar dari rumah Kyai Mashuri terasa plong.
Sang Kyai 
EPISODE: 20. PUASA 41 HARI (DIPERKOSA JIN-JIN PEREMPUAN YANG NAKAL II)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Sebenarnya untuk menikah, pemuda seumuranku dua puluh tiga tahun, menurutku juga belum
matang, masih banyak yang harus digapai, sebenarnya alasan itu kubuat-buat sendiri, kalau tak
mau membohongi jawaban yang pas, jawabannya adalah aku takut memberi nafkah, akan ku kasih
makan apa nanti istriku? Kerjaan tetap tak ada, kalau membanggakan sebagai pelukis ah tak
cukuplah, rokok aja aku kadang harus ngelinting dari puntung. Apa jadinya nanti istriku?
Pikiran seperti itu tentu timbul dan ada sebelum aku menjalani laku nggembel, jadi pengemis dan
orang gila untuk melihat dengan ainul haq, bahwa segala rizqi segala mahluq yang bergerak
merayap di atas bumi ini adalah di dalam kekuasaan Tuhan. Kalau aku sudah mengamalkan ilmu
tawakal, tentu aku ditawari nikah he-eh aja.
Aku berjalan cepat karena sudah ngantuknya mataku, jam di tanganku sudah menunjukkan jam
sepuluh siang, aku berhenti ketika mau menyeberang jalan raya, menunggu mobil yang lewat sepi,
tiba-tiba suara kecil merdu terdengar di belakangku.
“Mas Ian, tunggu..!” suara Juwita berlari sambil membawa kresek hijau, menyusulku.
“Ini mas, nanti untuk berbuka puasa.”
“Makasih banyak.” seraya mengulurkan tangan untuk menerima.
Tapi gadis itu menariknya menjauhi tanganku, “Biar aku aja yang bawakan.” kata Juwita, seraya
berlari mendahuluiku, menyeberang, aku pun mengikutinya dari belakang, kulihat Juwita dari
belakang, tak terasa aku menelan ludah, ah dasar setan, sukanya menggoda manusia, tapi tak usah
digoda setanpun, ini nyata benar-benar gadis yang sempurna, lincah, periang, ah glek uhuk, wah
terlalu banyak ludah ku telan, jadi agak tersedak.
“Mas Ian, aku ingin melihat hasil karyanya, boleh kan?” aku ngangguk aja, gimana mau nolak,
senyum yang merekah, gigi yang putih, lesung pipi, mata yang berpijaran, aduh runtuhlah
pertahanan, dadaku benar-benar diaduk seperti bergolaknya lahar menggelegak, tapi tak punya
jalan keluar dari tebing hatiku karena takut dengan jurang dan tebing bayangan buatanku sendiri,
Juwita berjalan di sampingku.
Mungkin lima tahun yang lalu, aku ketemu Juwita, sebelum aku jadi murid Kyai, ah pasti udah ku
pacari, tapi kini keadaannya lain, aku telah jadi murid Kyai, mungkin aku lebih senang kalau orang-
orang seperti Juwita tak ada di dekatku, karena teramat susah melawan nafsu, teramat berat
berperang dengan nafsu sendiri.
“Mas Ian maafkan Abah ya, memang Abah selalu begitu, kalau punya mau ceplas ceplos aja tanpa
dipikir, maen jodoh-jodoh aja, emangnya ini jaman apa?” kata gadis itu mbesengut.
“Ah, tak papa kok.” mungkin Juwita sudah punya pacar di sekolahnya sehingga tak mau dijodohkan,
aku maklum akan gadis sekarang, apalagi gadis secantik Juwita, aku cemburu? Ya enggak lah,
“Tapi kalau memang benar mau milih,” suara gadis itu terdengar manja, “Mas Ian pilih Juwita ya?!”
pletar..! Seperti petasan dinyalakan di telingaku, kaget nginggg, sebebas lepas benar gadis ini.
Hampir aja jantungku copot, untung setelah tarik napas kurasakan masih ada.
Untung Juwita tak lama ada di tempat kerjaku dan berkali-kali dia berdecak mengagumi lukisanku,
aku senyum nyengir aja, sampai saat mau pulang, gadis itu tiba-tiba memencet hidung mancungku,
“Kamu memang hebaaat.” katanya gemes, perbuatannya yang mendadak itu sungguh
mengagetkanku, tapi aku tak bisa menghindar. Ah sudahlah, kulihat ia berlari-lari kecil
meninggalkanku, aku segera pergi tidur mengingat malam nanti aku harus kerja. Malamnya aku
hanya kuat kerja sampai jam setengah dua dini hari, karena siang kurang istirahat, aku pun beranjak
tidur, lampu ku matikan, tapi lampu penerangan di luar masih bisa menerobos masuk lewat lubang
angin. Belum sampai lima menit aku tertidur, kurasakan tubuhku lengket di keramik tak bisa
digerakkan dan dari pintu musholla nampak gadis-gadis berjalan, sekarang ini mereka ada lima
orang. Aku mencoba menggerakkan tubuh, tapi sia-sia. Ah aku benar-benar tiada daya, tak mampu
melawan apa-apa, mereka memperkosaku habis-habisan, mereka ini apa? Aku tak mengerti, jika
aku menangis, kemudian mengatakan aku diperkosa, pasti jadi bahan tertawaan. Maka besoknya
aku pun memutuskan pulang ke pesantren, mau meminta solusi kepada Kyai. Setelah pamit pada
pak Kosasih aku pun pulang.
Sampai di pesantren Kyai hanya tersenyum melihat aku yang loyo, “Gak papa cuma jin-jin
perempuan yang nakal.” kata Kyai,
“Tapi Kyai..”
“Udah nanti ajak aja si Jauhari, sama si Majid, untuk menemani.” kata Kyai menghiburku.
Besoknya aku berangkat lagi ke tempat pak Kosasih. Hari itu aku tak langsung kerja, jadi malamnya
aku disuruh istirahat dulu, setelah ngobrol dengan pak Kosasih sampai jam dua belas malam, kami
pun beranjak tidur berdampingan. Sekarang akan kulihat apa reaksi perempuan itu. Tentu kejadian
yang menimpaku tak ku ceritakan pada ketiga temanku. Rupanya kami bertiga mengalami hal yang
berbeda-beda. Majid kakinya diangkat dan diputar-putar, sementara Jauhari dijatuhi anak kecil kira-
kira umur sembilan tahunan diduduki dadanya dan dipukul sampai wajahnya pada lebam, wajahnya
yang hitam makin tambah hitam, sementara aku masih tetap diperkosa. Sebenarnya kedua temanku
ini sudah takut, dan mengajak aku kembali ke pondok, tapi tanggung lukisanku tinggal sedikit, maka
ku bujuk mereka untuk menemaniku semalam lagi, karena paginya saling bercerita jadi kami tahu
kisah masing-masing. “Entar malem aku yang tidur di tempat kamu aja mas, biar aku ngerasain
bagaimana rasanya diperkosa, masak aku dibikin lebam kayak gini.” Jauhari protes, dan ku iyakan
aja. Maka setelah kerja, kami pun berangkat tidur, dengan perasaan tegang. Sesuai permintaan
Jauhari aku pun menempati tempatnya Jauhari, dan Jauhari menempati tempatku tidur, jam
setengah empat kami semua bangun, kulihat muka Jauhari makin jontor.
Wajahnya yang jelek makin jelek aja, dan aku lemas sekali karena melayani lima wanita,
pinggangku benar-benar sakit, dengkul kayak tak ada olinya lagi, sementara Majid ngos-ngosan
karena semalaman kakinya diangkat-angkat dan diputer-puter. Tapi aku mengajak mereka berdua
untuk neruskan tidur aja karena waktu subuh masih lama, saat itulah aku melihat dari pintu musholla
masuk lima belas wanita cantik, beraneka warna bajunya juga anak kecil bersisik ular, digiring
seorang kakek bongkok membawa cambuk, nampak kelima belas wanita dan anak kecil itu takut,
tunduk. Ctar..! Suara cambuk dilecutkan, para perempuan itu menjerit.
“Ayo minta maaf, kalian telah mengganggu para santri Kyai Lentik, cepat minta maaf.!” bentak kakek
tua itu, dengan takut-takut para perempuan itu minta maaf, kemudian mereka digiring kakek itu,
keluar musholla, aku segera terbangun. Besoknya mencari tempat mandi. Di sumur dekat musholla,
lalu ikut sholat shubuh di musholla, dan ketika Kyai Mashuri mengajakku main kerumahnya aku
menolak dengan halus. Karena pekerjaan telah selesai maka aku dan teman-temanku pun pamit
pulang kepada pak Kosasih.
Aku dipesan kalau membutuhkan pekerjaan harap sudi datang, karena masih banyak yang harus ku
lukis. Saat berpamitan inilah pak Kosasih bercerita tentang riwayat masa lalunya rumah makan ini.
Menurut kisahnya dulu sebelum menjadi rumah makan tempat ini adalah jurang yang lumayan
dalam, dan sering kali terjadi kecelakaan, kadang rombongan pengantin satu mobil masuk jurang,
semuanya meninggal dalam kecelakaan, ada satu keluarga dalam mobil semua meninggal dalam
kecelakaan masuk jurang. Ada juga truk rombongan kampanye masuk jurang, walau tak semua
mati, tapi akhirnya dari orang yang tak mati dalam kecelakaan inilah, diketahui, bahwa setiap mobil
yang celaka sebetulnya jalannya tetap biasa saja, lurus, tapi entah kenapa tiba-tiba mobil ada di
awang-awang dan meluncur ke jurang.
Melihat banyaknya kecelakaan itu, pak Kosasih pun membeli jurang dan tanah di sekitarnya, lalu
dibangunlah rumah makan yang besar, dengan harapan termanfaatkannya tanah yang kosong dan
yang lebih penting tak ada lagi kecelakaan. Tapi harapan pak Kosasih, hanya harapan saja,
buktinya sampai sekarang kecelakaan di daerah itu tetap saja terjadi. Entah berapa kali tembok
pagar rumah makan itu diganti, karena ambrol disruduk mobil yang mengalami kecelakaan. Juga
para pelayan rumah makan itu tak ada yang kuat bertahan lebih dari tiga bulan, ada saja
masalahnya, karena takut, karena kesurupan. Tapi rumah makan itu tetap berjalan dan ramai
pengunjungnya.

Sang Kyai 
EPISODE: 21. MENGOBATI PAMAN MURSID
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Setelah pulang ke pesantren Pacung, aku menyelesaikan puasa empatpuluh satu hari, dan setelah
selesai, aku minta ijin pada Kyai untuk pulang sebentar ke Tuban menengok kampung halaman,
Kyai pun mengijiniku, tanpa menunggu lama aku berangkat pulang, walau telah hampir setahun aku
mesantren di tempat Kyai, tapi aku masih tak tau aku ini mendapatkan apa di pesantren. Sebab Kyai
tak pernah mengajarku apa-apa. Puasa juga baru dua puluh satu hari, dan empat puluh satu hari.
Sampai di desaku sendang rumahku adalah lingkungan pesantren, ada sekitar tujuh pesantren di
sekitar rumahku, kalau dihitung dalam satu desaku ada sepuluh pesantren. Semua pengasuhnya
masih ada hubungan saudara denganku, ada yang pamanku, ada yang saudara sepupu ayahku.
Maka desaku terkenal dengan desa santri. Dan kehidupan masyarakatnya kebanyakan bertani.
Ketika teman-temanku tau, aku datang ke rumah semua pada datang berkunjung, ada yang dari
teman pesantren dekat rumah, tapi ada juga para gank kampung, maklum aku dulu anak yang
paling nakal di desaku, bagiku sebenarnya kenakalan remaja, tapi bagi orang lain kenakalanku
melampaui batas.
Aku ingat bersama teman-temanku mencuri semangka berkarung-karung, dan penjaganya ku ikat
dengan tambang. Ku ingat menguras empang ikan orang yang ada di depan rumah orang
sementara yang punya rumah ku pantek semua pintunya hingga tak bisa keluar. Dulu orang
mending ngasih upeti kepadaku, daripada dihabiskan anak buahku. Siapa sih cewek cantik di
desaku dan desa-desa tetanggaku yang tak pernah ku pacari?, yah itulah masa lalu, tapi apa yang
telah terjadi di masa lalu memang tak bisa hilang dan akan tetap bagian dari lembaran hidup kita.
Habis sholat magrib teman-temanku sudah pada pulang, ibuku memanggil aku pun segera
memenuhi panggilannya,
“Ada apa bu?” ketika sampai di dekat ibuku yang memasukkan buah-buahan ke tas plastik.
“Ayo antarkan ibu ke rumah paman Mursid.”
“Kenapa dengan paman Mursid Bu?”
“Paman Mursid sakit, sudah tiga bulan makannya lewat jarum infus, dokter udah tak sanggup,
makanya dua hari yang lalu dibawa pulang.” aku cuma manggut-manggut dan mengerutkan kening.
Aku segera menuju motor Jupiter, sebelumnya mengambil kunci kontak yang tergantung di balik
pintu kamarku.
Setelah menyalakan motor untuk memanaskan mesinnya aku kembali ke tempat ibuku duduk.
“Sakitnya sebenarnya sakit apa to bu?”
“Awalnya ya tak tau lah nang.” panggilan nang adalah panggilan orang Tuban kepada anak
lelakinya, kalau masih kecil dipanggil cong, kalau sudah gede dipanggil nang.
“Paman Mursidmu itu ditemukan pingsan di pematang sawah dekat dam ratan. Sejak itu ditemukan
ya sampai sekarang ini tak pernah sadar, kasihan pamanmu juga istrinya bibi Asiah, dia sudah
kemana aja untuk mencarikan obat suaminya tapi tak mendapatkan hasil apa-apa.”
“Apa dulu waktu ditemukan tak ada tanda gigitan ular, bekne digigit ular.” tanyaku heran.
“Tak ada, tak ada tanda sakit apa-apa itulah yang aneh.”
“Trus menurut pemeriksaan dokter sakit apa bu?”
“Ah banyak kalau menurut dokter, ada komplikasi, ah pokoknya banyak gitu sisi gak mudeng aku,
mungkin juga karangan dokter, nyatanya pamanmu tak sembuh.”
“Kalau dukun gimana?”
“Udah banyak dukun didatangkan, saratnya aneh-aneh, tapi semua percuma tak ada faedahnya,
malah membuang buang uang saja.”
“Trus paman Muhsin udah nyoba? Kyai Kyai udah dimintai sareat?”
“Udah semua, paman Muhsin juga tak sanggup,”
“Wah kalau gitu ya berat” kataku mengakhiri pertanyaan.
Ku bonceng ibuku menuju rumah paman Mursid, pelan-pelan aku jalankan motor, melewati jalanan
paping blok, di dunia ini yang paling ku sayangi dan ku hormati adalah ibuku, bukan hanya karena
hadis Nabi mengatakan derajat ibu lebih mulia daripada ayah. Tapi karena ibu adalah orang yang
sayang dan paling pengertian kepadaku, dulu saat aku masih nakal-nakalnya ibuku tak pernah
menyalahkanku, tak pernah melarangku, malah kalau aku mau pergi nonton konser musik, ibukulah
yang memasangkan anting di telingaku, yang menyisirkan rambut panjangku, soal cewek ibu selalu
memesanku, punya cewek banyak tak masalah, karena memang aku dulu punya pacar tak pernah
kurang dari sepuluh, tapi kata ibuku, jangan mencemarkan nama orang tua, jangan sampai kau
menghamili wanita, yang bukan istrimu, ibumu juga wanita.
Ah ibu memang bijaksana.
Sampailah motorku di depan rumah paman Mursid.
Setelah mengucap salam, kami segera masuk, nampak di dalam juga banyak orang, dengan para
lelaki aku segera bersalaman, ternyata juga banyak tukang suwuk (mungkin di tempat lain disebut
dukun, tapi di daerahku disebut tukang suwuk, red.) ada kang Nur. Aku sebenarnya lebih mengenal
orang ini adalah pelatih pencak silat, aku ingat waktu kecil orang ini suka menunjukkan
ketrampilannya, berjalan di atas pedang, bergulingan di atas duri salak, makan pecahan kaca dan
melengkungkan besi menggunakan lehernya, di saat keramaian tujubelasan Agustus.
Lalu yang ku salami yang kedua adalah kang Widji, orang ini sering dimintai oleh pemuda desa ilmu-
ilmu pukulan, seperti lebur sekti, lembu sekilan dan lain-lain. Yang ku salami ketiga adalah
pamanku, adik sepupu dari ayahku, namanya Muhsin, dia terkenal di daerahku sebagai orang yang
menyembuhkan penyakit karena kerasukan jin, kesurupan, serta suka memagar rumah, mengambil
wesi aji, yang lain adalah orang biasa. Aku juga menyalami Muhamad anak terbesar dari pamanku
Mursid. Setelah menyalami aku pun mencari tempat duduk yang nyaman. Memang setelah melihat
keadaan paman Mursid, sungguh orang siapa saja melihat pasti akan kasihan karena memang
keadaannya sangat memprihatinkan.
Wajahnya kelihatan tua, padahal umurnya tak lebih dari limapuluh tahun tapi wajah paman Mursid
seperti ketarik ke dalam, pipinya seperti masuk ke dalam, rongga matanya juga menjorok ke dalam,
sampai seperti kubangan hitam, lehernya mengecil, seakan-akan mengkeret. Semua tulang iganya
menonjok keluar, kulihat wajah paman Mursid seperti menahan penderitaan yang tak tertahan.
Karena tubuh paman Mursid tak berbaju mungkin syarat dari dukun, karena banyak kembang aneka
warna di sekitar tubuhnya, jadi aku bisa melihat perutnya. Oh ada gumpalan dalam perut sebesar
kepalan tangan, aku tak berani bertanya, apa itu?
Tiba-tiba tubuh paman Mursid mengejang-ngejang, semua orang ribut, bibi Asiah menangis karena
melihat suaminya seperti merasa sakit yang amat dasyat, para tukang suwuk pun berupaya
menolong dengan segala daya, ada yang mengeluarkan jurus, ada yang meniup-niup, ada yang
menyiprat-nyipratkan air, suasana tegang sekali, dan aku tetap duduk di kursi, melihat dari jauh, oh
nampak olehku gumpalan di perut paman Mursid hidup dan bergerak kesana kemari, paman Mursid
melenguh-lenguh kakinya menjejak-jejak tapi tubuhnya tetap di tempat. Ah ngeri aku. Namun usaha
para tukang suwuk ini sama sekali tak ada manfaatnya.
Bibi Asiah menangis menggerung-nggerung melihat keadaan suaminya, juga Muhamad anak tertua
paman Mursid juga menangis di sebelah kiri paman Mursid. Tiba -tiba bibi Asiah menghampiriku,
dan mencengkeram lenganku,

Sang Kyai 
EPISODE: 27. PENGGEMAR II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Mas, aku telah mencoba menjadi gadis idamanmu, aku yang sebelumnya tak berjilbab, sekarang
telah berjilbab, lihatlah mas. Apakah aku kelihatan cantik, aku siap menjadi pacarmu bahkan
istrimu.” wah aku bertemu dengan penggemar yang tak bisa membedakan dunia fiksi dan dunia
nyata, ah aku harus bisa lepas dan melepaskan dia dari dunia hayalnya. Ah semakin sulit aja.
“Mas, em… aku boleh ya minta ciumnya…” wah semakin ngawur aja, kalau aku tinggalkan gadis ini,
ah betapa tak bertanggung jawabnya aku atas cerita fiktif yang ku buat. Aku berusaha
menenangkan diri.
“Eh, gini ya dek Rosa, soal cium itu nanti mudah dech. Waktu kita kan masih panjang, jadi baiknya
kita ngobrol dulu, jadi pasangan kan harus mengenal lebih jauh calon pasangannya?” kataku
mencoba setenang mungkin.
“Dek Ros, asli orang Jakarta ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, sambil mencari akal untuk
keluar dari krisis multidimensi, ah dibesar-besarkan aja.
“Iya mas, aku dari Cipinang Muara.” katanya kemudian menggelayut, merebahkan kepalanya di
pundakku, ah bisa gawat nih, suara dadaku makin bergeladukan saja.
“Trus tadinya dek Ros ini dari mana?” tanyaku mencoba mengusir keinginan mengambil
kesempatan dalam kesempitan.
“Ih, mas Ian ini, kayak tak tau saja, kan dalam novel itu wanita pujaan mas, mondok di pesantren,
jadi saya ya jelas dari pondok pesantren, dari nama pondok, desanya, kotanya dah aku cocokin
semua, aku akan menjadi gadis yang mas Ian inginkan.” wah sudah sejauh itu? Waduh makin kacau
aja. Ruwet…., ruwet…., walau bus ini ber-AC keringat tak urung membasahi punggungku. AC dalam
bus hanya mengeringkan keringat yang ada di wajahku. Tapi tak mengeringkan keringat di dalam
bajuku.
Sementara gadis di sampingku yang masih memeluk tangan kananku dan kepalanya rebah di
pundakku, tertidur. Ah aku mungkin tak bisa menyelesaikan masalah ini, biarlah aku berserah, pada
penyelesaian Tuhan. Maka akupun membaca wirid dan mencoba tidur.
Aku berharap setelah tidur gadis ini tak ada, atau masalah ini hanya mimpi saja, bagiku terlampau
sulit untuk mencari jalan keluarnya. Aku benar-benar tak menyangka hanya karena cerita fiktif, bisa
menimbulkan masalah sebegini peliknya.
Setelah wirid dan hatiku tenang maka akupun tertidur.
Malam mulai merambat, dan gadis di sampingku masih lelap dalam tidurnya, lagu Setasiun Balapan
mengalun dari speaker mendayu-mendayu, disusul lagu Sri Minggat, lagu Jawa itu kadang
membuatku sedikit tertawa, tapi aku segera memejamkan mata lagi. Ingin sedapat mungkin berlari
dari kenyataan ini, sampai besok saja sampai aku terlepas dari gadis di sampingku ini.
Ah kenapa begitu susahnya, dadaku terasa sesak akan himpitan, aku segera memenuhi illalloh…,
ku ulang-ulang untuk mencari pegangan atas kegelapan yang mulai membutakan mata hati, ya
Alloh lindungi aku dari kenistaan nafsu, dan segala macam tipu dayanya.
Aku telah tertidur lagi dengan lelap. Sampai kurasakan ada tangan menepuk pundak kiriku.
Tepukan itu kurasakan keras, jadi tak mungkin aku bermimpi.
Aku tengak tengok, semua penumpang tertidur, lalu siapa yang menepuk pundakku? Ku menengok
ke kanan kiri ingin tau bus ini sampai di mana, dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat ke sebelah
kiri bus.
Bus ini sedang membelok ke kiri, dan di sebelah kiri ada warung tepi jalan yang kayu gentengnya
menjorok ke jalan, sehingga kalau bus terus membelok tak diragukan lagi kaca kirinya akan
menghantam kayu warung itu.
“Stooop..!” aku menjerit sekencangnya. Sampai gadis di sampingku melonjak kaget bukan alang
kepalang. Tapi rupanya supir bus tak memperdulikanku, mungkin mengira aku sedang mengigau.
Dan tak bisa dielakkan lagi.
“Duar…, kratakkkreek… tar.. tar..!” suara kaca bus sebelah kiri pecah berhamburan. Jerit
penumpang ramai, juga jerit mengaduh dari penumpang yang terkena pecahan kaca.
“Stoop!!!” suara ku keraskan untuk mengalahkan ribut suara panik penumpang, karena aku takut
sopir bus akan memundurkan busnya, tapi kekawatiranku langsung terjawab, mungkin karena
paniknya sopir, bus pun dimundurkan ke belakang, “Dar.., tarrk… kkrrk…!!” kembali terdengar, kaca
bus yang tadi menghantam kayu pojok warung dan kayu yang masuk ke dalam bus begitu saja
menyapu kaca yang tersisa dan masih menempel karena scotlet bening melapisi kaca.
Terdengar lagi jerit penumpang. Sekarang semua orang meminta bus berhenti.
Para penumpang berebut turun, kulihat tiga kotak kaca bobol pecah tak karuan, banyak orang
terluka wajahnya karena terkena pecahan kaca, termasuk suami istri yang sekarang menempati
kursi yang tadinya kududuki, dan mereka berdua lukanya paling parah, sehingga harus dibawa ke
rumah sakit.
Seandainya aku yang masih duduk disitu, apa jadinya aku? Tuhan mempunyai rencana tuk
menyelamatkanku, aku tak membayangkan bagaimana seandainya aku ngotot tak mau pindah
tempat duduk, walau aku mendapatkan cobaan gadis yang duduk di sampingku. Ah, mana gadis
tadi? Aku tak melihatnya, ah kenapa aku harus mencarinya? Bukankah dari rumah awalnya juga
berangkat sendiri-sendiri, aku membetulkan letak tas punggungku, ketika dua bus cadangan datang
tuk menampung penumpang, aku segera masuk ke dalam satu bus, dan mencari kursi yang masih
kosong, karena bus ini telah terisi penumpang.
Bus yang ku tumpangi pun melaju lagi, para penumpang ramai membicarakan kecelakaan yang
terjadi. Jam tangan bututku ku lirik, menunjukkan jam sepuluh seperempat. Aku menyandarkan
tubuh di kursi dan menempatkan badan senyaman mungkin lalu biasa memulai wiridku. Ah rupanya
kecelakaan tadi jawaban atas doaku agar aku selamat dari gadis yang mati-matian mengidolakanku.
Entahlah?
Aku pun tertidur, sampai bus berhenti di rumah makan. Aku segera turun menyusul penumpang
yang lain.

Sang Kyai 
EPISODE: 28. NIKKI Subang
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Ku baca tulisan di rumah makan itu NIKKI Subang, kiranya telah sampai di Subang.
Aku segera mencari arah tulisan yang menunjukkan Musholla. Dan melakukan sholat jamak dan
koshor. Selesai sholat, setidaknya hati tentram. Aku mengagumi mushola dan rumah makan ini
begitu besar sekali. Tiba-tiba seseorang lelaki setengah baya menghampiriku, dan mengucap salam
kepadaku, dan ku jawab salamnya.
“Mas Ian kan?” tanyanya kepadaku, aku jelas kaget karena tak pernah merasa kenal dengan orang
ini. Apa ini penggemarku lagi? Betapa susahnya kalau jadi orang terkenal macam artis. Kemana-
mana tentu tak bebas. Aku mengiyakan.
“Ah sudah saya kira…” wajah lelaki itu sumringah, kemudian menyalamiku.
“Bapak siapa?” tanyaku masih tak mengenali.
“Aku pak Dadang, yang sering ketempat kyai, mungkin mas Ian tak mengenaliku, tamunya kyai kan
banyak.” kata pak Dadang memperkenalkan diri. Lalu pak Dadang memanggil pelayan dan
membisikinya. Dan pelayan itu segera cepat berlalu, sebelumnya membungkuk, rupanya pak
Dadang dikenal dan dihormati.
“Mari kerumah mas.” kata pak Dadang yang membuatku heran.
“Tapi saya ikut bus malem pak, apa rumah bapak ini dekat sini?” tanyaku, takut ditinggal bus.
“Itu rumah bapak di belakang, kelihatan dari sini, mas Ian singgah aja di sini, barang tiga empat hari,
lagian kyai juga tiga hari lagi mau ke sini, jadi nanti ke Bantennya bisa bareng.”
“O, kyai mau ke sini?” pak Dadang manggut.
“Ya kalau begitu saya ngambil tas saya yang masih di bus, sekalian bilang kalau saya tak ikut
melanjutkan perjalanan.”
“Ya sebaiknya begitu.” maka aku pun menuju bus yang diparkir mengambil tas dan bicara pada
supir kalau turun di sini saja.
Aku segera menemui pak Dadang yang masih berdiri di depan Mushola. Dan dia mengajakku
kerumahnya, rumah besar mewah yang didomisili marmer dan kayu jati dipadukan sedemikian
artistik.
“Mas Ian tidur di kamar ini aja.” suara pak Dadang mengagetkanku. Karena aku sibuk menikmati
arsitektur rumah yang dibuat demikian sederhana namun elegan, dengan lemari bifet tinggi
menyentuh plafon. Dan lantai dari marmer yang mengkilap.
Aku segera masuk kamar didahului pak Dadang. Setelah menyuruhku mandi dulu, pak Dadang pun
pergi. Aku segera mencopot baju untuk mandi, kamar ini luas, kurang lebih empat meter persegi,
dua ranjang besar dalam kamar, dengan selimut yang tebal, salah satu dinding kamar tertutup
lemari bifet yang besar, ada tivi dua puluh sembilan inc. Juga Dvd player Aiwa, AC yang selalu
menyala. Sehingga udara terasa dingin, aku segera memasuki kamar mandi yang ada dalam kamar,
bak mandi untuk berendam telah penuh, dan di sampingnya terdapat minuman segar entah apa
namanya, aku terlalu ndeso untuk menjelaskan semuanya. Tubuhku pun ku rendam air yang terasa
hangat. Dan mencicipi minuman, kujilat-jilat dulu, takutnya memabukkan.
Setelah mandi dan tubuh terasa segar, aku segera ganti pakaian, pintu kamar diketuk, lengkap
memakai pakaian ku buka pintu, seorang pemuda berpakaian seragam biru muda dengan krah baju
warna kuning.
“Ini mas silahkan makan, sudah disiapkan..” katanya sambil membungkuk, aku hanya manggut dan
keluar kamar, wah di depan kamarku di depan tivi di atas tikar yang terbentang, beraneka masakan
telah terjajar rapi.
“Silahkan mas dinikmati, saya tinggal dulu…” katanya sambil segera berlalu.
Aku yang ditinggal tingak-tinguk, melihat makanan sebanyak ini, bingung mau pilih yang mana.
Nasi di bakul, sebelahnya ada sotong goreng tepung, pepes ikan laut, pepes jamur, sambel tomat,
lodeh ikan pari, soto sapi, ayam goreng kering, sotong masak hitam, pecel lele, burung dara goreng
renyah, hati sapi goreng kering. Ah masih banyak lagi, aku tak tau namanya, ada juga jengkol
goreng, lalapan petai, terong ungu dan segala macam daun yang aku tak tau namanya. Aku pun
mulai makan, ku cicipi satu-satu, toel sana sini, sampai piringku penuh, ketika aku lagi makan, pak
Dadang muncul,
“Mas Iyan, dikenyangkan lo makannya, jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri saja…”
cuma berkata itu dia pun berlalu.
Seumur-umur baru kali ini aku makan sampai seramai ini, dengan berbagai macam masakan dan
aneka warna lauk, pertama aku begitu bersemangat, karena kecendrungan nafsu, semua pengen
aku embat, tapi setelah kupikir-pikir, ah rasanya tetap itu-itu saja, kenikmatan semu, sebatas
tenggorokan, renyah, gurih, asin, pahit, manis, kecut, kenyal, alot, pedas… ah membosankan, ku
ambil teh poci dan menuang ke cangkir kecil, menyruputnya pelan-pelan. Kuambil hati sapi goreng
dan melangkah keluar, ku ambil rokok Djisamsoe filter, dan kunyalakan, aku duduk di undakan
emperan depan rumah pak Dadang, malam makin larut, tapi mobil yang mengunjungi rumah makan
ini makin rame saja. Khususnya bus malem dari Jakarta ke arah daerah, juga dari daerah ke arah
Jakarta. Juga tak sedikit mobil-mobil pribadi.
Akhirnya ku tau rumah makan ini adalah miliknya pak Dadang, nama Nikki adalah nama pendiri
pertama rumah makan di daerah Subang, sekarang setelah H. Nikki meninggal, maka rumah makan
diteruskan oleh anak dan saudara-saudaranya termasuk pak Dadang. Itu penjelasan dari pelayan
yang melayaniku.
Setelah rokok habis dua batang, aku pun kembali ke kamar dan berangkat tidur. Menunggu kyai
selama tiga hari di rumah pak Dadang, membosankan juga, ketika kyai datang tiga hari kemudian,
aku teramat bahagia, aku segera mencium tangannya, takzimku sebagai murid, seperti biasa, kyai
tidur di pangkuanku, dan minta kupijit kepalanya, oh rasa cinta karena Alloh sungguh nikmatnya.
Aku sangat tahu kyai sangat mencintaiku sebagaimana aku mencintainya karena Alloh. Bila kyai
tiduran di pangkuanku maka sudah pasti, ia akan menanyakan tentang keadaan keluargaku, dan
memperingatkan akan ada orang yang iri dengan keluargaku, akan terjadi begini begitu, dan tak
lupa kyai menurunkan ilmu kepadaku.
Aku kadang terharu akan cinta kyai kepadaku yang teramat besar, sampai kyai hafal betul orang
yang ada di ruang lingkup kehidupanku, walau aku tak pernah menyebutkan nama-namanya, tapi
kyai hapal satu-satu. Sebegitu sayangnya kyai padaku, di manapun aku bekerja, kyai pasti
menjengukku, bahkan kadang menungguiku berhari-hari, karena tak ingin aku didholimi oleh orang
yang memakai jasaku. Pernah kyai mengatakan padaku, jika ada orang yang memusuhimu, maka
akulah yang akan menjadi tameng hidupmu, maka jangan takut berdiri di atas kebenaran.

Sang Kyai 
EPISODE: 29. MACAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Mas Ian…!” kata kyai yang tiduran di pangkuanku, sementara beberapa tamu lelaki perempuan,
mengitari kami, ada sekitar sembilan orang.
“Iya kyai…”
“Nanti mas Iyan kembali ke pondok dulu ya..! Sekalian mampir ke rumah Macan…” kata kyai sambil
memegang tanganku mengarahkan supaya memijit arah di atas kedua mata.
Macan adalah panggilan santri, yang seangkatanku, asalnya orang rusak, suka mabuk, teler, main
perempuan, berantem, jadi raja gank, tapi kemudian ditobatkan, dan menjadi murid kyai, yang
ditugaskan untuk menyadarkan para pemabuk dan preman. Pengikutnya dari para orang-orang
yang rusak di daerahnya sudah banyak, walau dalam keadaan tersembunyi.
“Ada apa kyai, kok saya harus ke tempat Macan?”
“Nanti ajak dia nglakoni nggila, tapi dia tak akan mau, orang udah rusak seperti itu kok masih ada di
sudut hatinya pengen di-wah orang, ah Macan…Macan….!”
“Kalau kyai sudah tau dia tak mau ngedan, kenapa aku ke rumahnya Macan kyai?…”
“Sudah nanti pokoknya kesana aja..! Masih punya uang gak?” tanya kyai, memang begitulah kyai, di
mana-mana rasanya tak ada seorang kyai yang berdialog dengan murid santrinya sedetail itu, kyai
tau uang di sakuku tinggal berapa, tapi dia masih bertanya,
“Masih kok kyai…”
“Ini untuk beli rokok, rokoknya gak punya kan?” kyai mengangsurkan uang dua ratusan ribu,
memang rokokku telah habis, aku ingat kalau di pondok, aku sama sekali tak punya uang dan rokok
juga tak ada, tembakau dari uthis juga tak ada, maka kyai memanggilku, dan memberi rokok yang
anehnya saat itu ku bayangkan, walau kadang aku membayangkan rokok yang aneh-aneh,
misalkan roko Cigarilos. Maka kalau kyai memanggilku akan memberi rokok cerutu Cigarilos.
Pernah satu kali temanku menemukan bungkus rokok Djisamsoe yang dari plastik pak berwarna
hitam, bukan dari kertas, dan kami membicarakan, bagaimana ya rasanya, tiba-tiba kyai
memanggilku dan memberi rokok Djisamsoe dari plastik itu.
Aku segera menerima yang diberikan kyai, kenapa tak ditolak? Nah itulah unggah ungguhnya, tata
kramanya, diperintah apa saja, atau diberi apa saja harus siap menerima, walau kadang tak masuk
akal.
Karena beda dengan kyai biasa, sambil masih tiduran di pangkuanku, kyai pun menanyakan
keperluan tamu satu persatu, dan memberikan solusi.
Setelah tamu semua telah pergi, kyai bangun dari pangkuanku.
“Apa yang dipesankan oleh Syaih Abdul qodir Al jilani….?” tanya kyai. Dan walau aku telah
menyangka akan ditanya soal itu, aku kaget juga, tapi segera maklum kalau kyai tau.
“Anu kyai saya disuruh menyempurnakan ilmu, dan diminta segera baiat Toriqoh kodiriyah
wanaksabandiyah.” jawabku.
“Ya kalau begitu nanti sampai di pondok aku baiat.” kata kyai menepuk pundakku. ”Sekarang segera
saja berangkat ke rumah Macan…!”
Aku segera mencium tangan kyai, dan melangkah pergi, karena tamu-tamu yang lain telah datang
ke depan kyai.
Kyai adalah pembaiat Toriqok kodiriyah wa naksabandiyah yang diserahi baiat dari Abah Anom,
sesepuh pesantren Suryalaya, juga diserahi baiat dari Abuya dari pesantren Syaih Nawawi
Tanahara, Serang. Walau kyai tak mondok di kedua pesantren itu.
Aku segera mengambil tasku yang masih dalam kamar, dan tak lupa pamitan kepada pak Dadang.
Aku pun menyetop bus di depan rumah makan, jam menunjukkan jam sepuluh siang, panas serasa
menyengat kepalaku, untung aku memakai tutup kepala kain coklat susu, yang terbuat dari beludru,
seperti kain sajadah tebal, jadi kepalaku walaupun panas agak nyaman, rambut kuikat kebelakang
dan ku masukkan baju.
Setelah memilih bus akupun akhirnya mendapatkan bus yang jurusan terminal Kampung Rambutan.
Jam tiga siang memasuki terminal Kampung Rambutan. Aku segera mencari ojek di belakang
terminal dan setelah tawar menawar harga aku pun diantar ke daerah Ciracas, tempat tinggal
Macan.
Sebenarnya ada tiga orang murid kyai yang benar-benar seangkatanku yaitu aku sendiri, Macan,
dan Haqi.
Haqi sendiri telah menjadi guru toriqoh di Jawa Timur, selain membuka pengisian badan, memagar
rumah, mengobati orang sakit, dia juga sering dipanggil untuk mengisi orang-orang Pagarnusa.
Ojek menurunkanku di depan rumahnya Macan, rumah yang sederhana, seorang perempuan cantik
istrinya Macan sedang mengasuh anaknya di depan rumah.
Perempuan itu yang memang sangat mengenaliku langsung menyambutku dengan sapaan, karena
dulu dia salah satu kekasihku, ah masa lalu. Dia bernama Idaraya.
“Ee Iyan… sendirian?”sapanya.
“Iya nih Da… Macan ada?”
“Ada, tapi masih tidur.., ayo masuk dulu…”
Aku segera masuk dan duduk di sofa. Sementara Ida masuk ke dalam. Aku jadi ingat, saat itu di
pesantren, aku dan Macan adalah teman yang teramat akrab, kami ini seperti tumbu dan tutup,
kemana ada aku, pasti ada Macan, mandi, masak, dan tidur pun selalu bareng. Kalau soal tidur
Macan ini tak bisa pisah dariku, kami selalu tidur satu bantal, bukan apa-apa, Macan sekalipun
seorang jagoan tapi dia teramat penakut, takut pada hantu.
Karena dulu para santri belum punya kobong sendiri, jadi masih tidur di tempat pembuangan jin,
yang luasnya dua puluh meter persegi, walau tempat itu luas dan bangunan rapi tapi karena sudah
diputuskan untuk tempat membuang jin yang ditangkap, jadi angker banget.
Yah ruangan pembuangan jin ini didiami oleh beribu-ribu jin, bahkan mungkin berjuta, aku sudah
biasa, bahkan kalau lagi tubuh pegel, tak jarang aku minta dipijiti, karena dihuni oleh banyak sekali
jin, maka siang dan malam ruangan luas ini teramat dingin, seperti dalam kulkas saja, kalau siang
pun walau di luar terasa panas, tapi udara di dalam teramat dingin, bahkan kalau tidur tak pakai
selimut, maka tubuh terasa tak kuat, karena dinginnya.
Malam itu Macan ndesel dengan selimut sarungnya dan masih memakai celana levis, karena
memang teramat dinginnya, dia tidur denganku satu bantal, kalau kutinggal dia pasti akan ikut
bangun, apalagi kemaren malam ada tamu yang pingsan karena melihat pocong, kuntilanak dan
tengkorak, itu semakin membuat Macan jerih sekali.
“Ian… Dah tidur belum…?” suara Macan terdengar dari balik sarungnya, karena wajahnya ditutupi
sarung, takut kalau melihat hal-hal yang menyeramkan. Padahal Macan ini orangnya tinggi besar,
wajahnya seram, pipi berlubang-lubang bekas jerawat batu, alisnya tebal, hidung mbengol, bibir
tebal, mata mencorong merah, dan tubuh dempal berotot, kalau ngomong suaranya berat.
“Ada apa?” tanyaku yang memang belum tidur, aku terbiasa memutar tasbih sambil tiduran,
melanjutkan wirid-wiridku.
“Aku ini sebenarnya mau menikah…” memang saat itu Ida belum menjadi istri Macan. Tapi sudah
bekas pacarku.
“Kamu, mau nikah? Apa aku tak salah dengar Can…?”
“Bener, aku tak bohong…”
“Wah kamu jelek gitu, kok laku ya…”
“Ini perjodohan orang tua, sama orang tua, jadi aku sendiri belum melihat ceweknya…”
“Wah kalau belum ngelihat ceweknya, jangan mau Can..!”
“Ya kalau melihat ceweknya di foto sih udah Ian, tapi menatap langsung yang belum…”
“Oo gitu, kamu bawa photonya Can? Kalau bawa, coba aku lihat cakep enggak.”
“Kalau ceweknya jelas cantik.”
“Mana fotonya? Coba lihat?!” aku penasaran.
Masih menutup wajah dengan sarung, Macan kedesal-kedesel mengeluarkan dompet membukanya
dan mengeluarkan foto, lalu menyerahkan padaku, dari balik sarungnya.
Aku menerima foto itu dan melihat, mengarahkan foto itu ke cahaya lampu listrik yang membias ke
arahku.
“Bagaimana Ian, cantik khan?”suara Macan dari bawah sarungnya.
“Entar dulu, aku seperti kenal dengan foto ini……, wah tak salah lagi, ini Idarayya..!” kataku spontan.
“Lho kamu kok kenal Ian?” Macan sudah membuka wajahnya dari tutup sarung.
“Benar khan…?”
“Iya emang bener itu namanya.., tapi kok kamu bisa tau namanya?”
“Dia dulu pacarku Can…”
“Pacarmu Ian, wah celaka aku.”
“Cilaka bagaimana?”
“Udah kamu apakan aja Ian, jangan-jangan udah tak prawan…?”
“Ya tak aku apa-apakan, emangnya ku apakan? Tak prawan gimana? Emangnya aku sebejad itu?!”
“Ya siapa tau…!”
“Wah kamu tega amat Can, berpikiran begitu padaku,”
“Tapi sudah kamu cium?”
“Cuma sedikit…”
“Awas nanti kalau ternyata telah tak perawan, kita tuntaskan dengan golok…”
“Kita lihat aja nanti…”
Begitulah, akhirnya Macan menikah dengan Idaraya, dan sampai sekarang, hubungan dia dan aku
melebihi dari seorang saudara sekandung.

Sang Kyai 
EPISODE: 23. PENGALAMAN DI BOJONEGORO (AKIBAT MEMPELAJARI ILMU SESAT)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Yan…!” suara lek Muhsin memanggilku, ketika ku utak atik internet, melihat pesan di emailku.
“Ada apa lek?”
“Nanti sore temani aku ke Kalitidu Bojonegoro ya?”
“Mau apa lek ? Mau nyambangi saudara apa?”
“Ah, biasa ada orang minta tolong, keluarganya ada yang kesurupan.” aku mantuk aja. Dan selepas
Ashar, aku dan lek Muhsin pun pergi ke Bojonegoro.
Perjalanan ke Kalitidu dari rumahku hanya memakan waktu dua jam setengah, yaitu dari rumahku,
naik angkot, kemudian ganti bus jurusan ke Bojonegoro, trus naik mobil ke Kalitidu, ini kalau lewat
utara, sebenarnya melewati selatan lebih dekat, yaitu dari rumahku ke Cepu, Bato’an lalu nyebrang,
sampai deh, cuma akan makan waktu lebih lama, karena dari rumahku ke Cepu jarang ada
kendaraan, mungkin seharian menunggu belum tentu ada kendaraan.
Jadi untuk lebih gampangnya harus lewat Bojonegoro, walau jalannya muter, tapi kendaraan selalu
ada. Sampai di rumah yang kami tuju, hari sudah sore tapi matahari masih enggan ke peraduan,
suasana amat sepi, kami mengucap salam, berulang kali, baru muncul seorang lelaki setengah tua.
Peci kain bundar bermotif kotak-kotak kain sarung ada bertengger di kepalanya. Wajah lelaki itu
sedikit murung. Namun ketika berhadapan dengan lek Muhsin dia langsung tersenyum.
“Oh lek Muhsin, mari-mari, silahkan dienak-enakkan dulu.” setelah menerima kami berdua dengan
ramah maka lelaki itu pergi ke dalam, menyuruh istrinya mengambilkan minuman dan makanan ala
kadarnya.
Setelah itu kedua suami istri itu pun mengobrol dengan kami, saat berkenalan denganku lelaki itu
bernama pak Soleh. Dan istrinya bernama Hamidah, karena istrinya adalah orang sedesaku maka
mengenal lek Muhsin, kemudian tau lek Muhsin biasa menyembuhkan orang yang kerasukan jin,
jadi lek Muhsin dipanggil.
“Awal-awalnya gimana to di, kok si Marjuki itu bisa berpenyakit seperti itu?” pak Soleh pun bercerita:
“Benar Ki kamu mau mesantren?” tanya pak Soleh suatu malam kepada Marjuki yang sedang
makan.
“Bener pak’e, aku sudah jenuh di rumah terus, tak ada perkembangan.” jawab Marjuki sambil
mengunyah nasi di mulutnya.
“Mondok itu berat lho, kalau kamu mbangkong di rumah bapakmu ini tak ngapa-ngapain kamu, tapi
kalau kamu mbangkong tak mau subuhan, bisa dipecuti sama Kyainya, kalau kamu melanggar
peraturan pondok kamu akan diberi hukuman, apa kamu siap? Tirakat di pondok?”
“Pokoknya aku siap pak’e.”
“Lalu kamu mau mesantren di mana?”
“Bagaimana kalau di Tegalrejo, Magelang, pak’e?”
“Di mana saja tak masalah kalau memang kamu siap.”
Marjuki adalah anak tunggalnya pak Soleh, sifatnya ceria dan rajin bekerja, kadang membantu
orang tuanya di sawah, kadang juga bekerja di tempat orang lain, pekerjaan apa saja, Marjuki siap
melakukan asalkan halal, umur Marjuki telah menginjak sembilan belas tahun. Akhir-akhir ini Marjuki
merasa kesepian, sebab teman-temannya yang selama ini menemaninya nyangkruk telah pergi
semua, mencari pengalaman hidup, ada yang mesantren ada juga yang pergi merantau ke Jakarta,
ada yang ke Malaysia, bahkan ada yang ke Saudi Arabia, Marjuki bingung mau kemana. Tapi
setelah berpikir, maka Marjuki memutuskan mesantren saja, maka dia pun bercerita pada ibunya
supaya keinginannya disampaikan pada ayahnya. Dan terjadilah dialog malam itu, sekarang dia
telah pergi ke Magelang.
Setahun di pesantren, Marjuki pulang keadaannya telah berubah, dulu dia periang dan giat bekerja,
kini sering kelihatan diam dan amat malas, bahkan dia suka pergi menyepi di kuburan-kuburan, dan
melakukan puasa yang aneh-aneh, bahkan kamarnya dicat warna hitam. Pak soleh melihat hal yang
seperti itu, mau menegur, tapi takut Marjuki marah, tak jarang karena kesalahan sedikit saja, Marjuki
marah membanting piring.
Ternyata Marjuki telah terseret mempelajari ilmu sesat, yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul.
Telah beberapa hari, Marjuki tak keluar kamar, tidak makan, tidak melakukan aktifitas apa-apa, dari
dalam kamarnya bau menyan jawa. Tiap malam menyengat hidung, ibunya sangat kawatir, maka
setelah ada lima harian di kamar ibunya mengetuk pintu, memintanya untuk makan karena takut
terjadi apa-apa yang menimpa anak semata wayangnya. Setelah lama mengetuk, terdengarlah
lenguhan dari kamar, dan pintu terbuka. Terkejutlah perempuan itu, melihat Marjuki yang tak seperti
anaknya.
Mata Marjuki semerah darah, di lingkar matanya warna hitam angker, hidungnya mendengus-
ndengus, dari mulutnya keluar air liur yang membanjir.
“Hmmm, siapa kau perempuan tua? Mengganggu saja.” suara Marjuki, berat mendirikan bulu roma.
Sangar!
“Nak ayo makan, nanti kamu sakit…” suara ibu Marjuki, di antara rasa takut melihat keadaan
anaknya.
“Jebleng, jebleng… apa sudah kau sediakan darah ayam dan darah kambing?”
“Udah ibu masakkan sambal terong kesukaanmu.”
“Sialan, memang aku apa? Di masakkan suambel terong mati saja kau…” tiba-tiba tangan Marjuki
bergerak cepat menyambar leher ibunya dan mencekiknya. Untung ibunya masih sempat teriak,
sehingga teriakan itu didengar pak Soleh yang sedang membersihkan rumput di depan rumah, yang
segera berhambur ke dalam rumah, melihat istrinya dicekik anaknya, sampai kelihatan matanya
mau keluar, maka pak Soleh segera memukul tangan anaknya itu sehingga cekikan lepas. Melihat
ada yang memukul tangannya Marjuki pun mengalihkan serangan ke leher pak Soleh, dengan
mudahnya dia menangkap leher pak Soleh dan mencekiknya, tubuh pak Soleh sampai terangkat
dari tanah. Dia mencoba melepaskan dengan segala daya, tapi tangan Marjuki yang kerasukan itu
teramat kuat sehingga pak Soleh hanya menendang-nendangkan kakinya, nyawanya benar-benar
telah di ujung tanduk, sementara istrinya yang tadi dilepas oleh Marjuki, ngos-ngosan di tanah,
melihat suaminya dalam keadaan sekarat, segera mengambil kursi kayu, dan mengemplangkan ke
kepala Marjuki sekuatnya. Sampai kursi kayu patah-patah. Dan untung cekikannya dilepaskan,
sehingga pak Soleh pun menggelosor jatuh di tanah. Aneh, Marjuki sama sekali tidak berdarah,
malah tertawa bergelak-gelak, lalu mengamuk menghantam meja kursi sampai semuanya hancur.
Lalu dia berlari keluar rumah mengamuk di jalan, segera gemparlah semua tetangga, orang yang
lewat segera lari ketakutan, lalu Marjuki meloncat ke atas genteng. Melempar-lemparkan genteng
pada orang yang lewat di jalan. Ibu Marjuki menangis melihat keadaan anaknya seperti itu.
Para orang pintar telah didatangkan untuk membujuk Marjuki turun dari genteng, tapi malah
disambitin pake genteng, dia hanya mau turun kalau diberi minum darah ayam dan kambing. Sudah
dua hari Marjuki ada di atas genteng, dia mau turun kalau ada darah ayam dan kambing disediakan,
dan setelah minum darah itu maka dia meloncat lagi ke atas rumah, dan menyambitin orang yang
lewat. Kelakuan Marjuki yang menyambiti orang yang lewat dengan genteng rumahnya ini benar-
benar membuat panas hati, maka para pemuda kampung pun bermusyawarah untuk menangkap
Marjuki, dan nantinya akan dipasung, setelah dipancing dengan darah, Marjuki pun turun, ketika
sedang menikmati darah yang dikasih obat bius itu, para pemuda pun bergerak meringkusnya, yang
mau meringkusnya dari belakang ada tiga orang itu kecele, walau Marjuki tak melihat kebelakang,
tapi dengan mudahnya dia menjatuhkan diri dan berguling sehingga yang menubruknya dari
belakang hanya menangkap angin.
Pemuda dan orang desa pun melakukan pengepungan, dari kiri kanan, depan belakang, dengan
susah payah tujuh orang dapat memegang tangan kaki, namun semua dapat disentak lepas, dan
banyak yang terpental dilemparkan oleh Marjuki yang kerasukan, yang memang tenaganya berlipat-
lipat, kembali tujuh orang berusaha mendekap memiting kaki tangan Marjuki, namun kali ini para
penduduk tak mau usaha mereka sia-sia, maka segera berbagai macam tambang dijeratkan ke
tubuh Marjuki. Rupanya saat itu obat bius yang dicampurkan darah pun mulai bekerja. Kelihatan
sebentar-sebentar, Marjuki melengut ngantuk siut, lalu meronta lagi, begitu berulang kali, dan orang-
orang tak mau kecolongan tetap mendekapnya erat, sampai akhirnya Marjuki terbius. Perjuangan
yang melelahkan, Marjuki kelihatan tergolek di pelataran rumah pak Soleh, semua orang yang
meringkusnya semua mandi keringat, bahkan ada yang luka berdarah dan salah urat.

Sang Kyai 
EPISODE: 30. MACAN II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Kulihat Macan keluar dari kamar, lalu menghampiriku, di wajahnya masih mengurat cap bantal tidur,
lalu dia menyalamiku,
“Dah dari tadi Ian?”
“Baru aja datang… aku dipesan kyai tuk nemuimu…”
“Kamu baru dari Banten?”
“Enggak, aku dari rumah, aku ketemu kyai di Subang,”
“Dipesan apa sama kyai?”
“Disuruh ngajak kamu ngedan…”
“Byuuh, giak sanggup aku ngedan, kalau mau jadi orang gila, kamu aja sendiri, aku.. kekkekekikik,
apa kata anakku kalau aku menjadi orang gila, kalau kamu ngajak aku mukulin orang, ayo sekarang
juga berangkat, tapi kalau ngajak aku jadi orang gila, aku angkat tangan, aku punya istri, punya
anak, la kamu..?”
Aku tak kaget kalau Macan tak mau, karena kyai telah mengatakan sebelumnya.
“Yah kalau kamu tak mau ya udah….” kataku melemah.
“Terus terang Ian, kalau amalan-amalan lain, aku sanggup menjalani, tapi kalau amalan ngedan,
byuuh, aku tak sianggup Ian, aku tak sanggup orang mengatakan wah si Macan yang hebat itu
sekarang uedan, keberatan ilmu, apa tak malu aku nantinya, lagian menurutku apa gunanya ngedan
itu?”
“Ee kamu ini bagaimana sih Can, waliyulloh syaih Abdul qodir aljailani, melakukan, kok kamu
menyangsikan gimana kamu?”
“Bukan menyangsikan begitu, aku ini kan bekas orang bujad, tentu tak semengerti kamu.”
“Baiklah, memang kyai sendiri tak pernah menjelaskan akan manfaatnya, tapi setelah aku membaca
kitab manakibnya syaih Abdulqodir, aku dapat menarik kesimpulan, bahwa laku ngedan itu
dilakukan untuk membersihkan hati.”
“Membersihkan hati yang bagaimana Ian… aku ndak mudeng sama sekali.”
“Dalam hati manusia, cenderung mempunyai sifat sombong, iri, dengki, membanggakan diri,
dianggap unggul, pengen dianggap gagah, dimulyakan manusia lain, dianggap kaya, dianggap
berilmu dan dianggap-dianggap yang lain, ah apa untungnya dianggap tak ada kan? Juga dalam
hati manusia itu selalu ada perasaan mencela orang lain, perlawanan dari sifat ingin dianggap, hati
manusia juga tak ingin dicela, dan sifat-sifat itu semua mengotori hati, sehingga hati tertutup oleh
cahaya ilmu Alloh Taala, maka jika manusia sadar, harus berusaha menghilangkan segala macam
penutup hati itu, nah jalan yang mencakup pembersihan menyeluruh, adalah dengan cara menjadi
gila..”
“Jelaskanlah lebih detail lagi Ian, biar aku ngerti…” inilah yang ku suka dari Macan, biarpun dia tak
mengerti ilmu agama, tapi dia selalu bersemangat kalau diajak ngomong masalah ilmu.
“Yah dalam diri orang gila apa sih yang perlu disombongkan, dibanggakan, diiri didengki, dipuja, tak
ada orang yang melihat orang gila, lalu bilang orang gila itu hebat, kebanyakan orang pasti
dicemooh, nah saat dihina itulah, kita menempatkan hati, menguatkannya, membuat hilang
perasaan pengen dianggap Wah dan hebat, yang tiada guna sama sekali, dipuja sampai ujung
tenggorokan saja, kamu lihat para pemimpin negara kita, di depan dihormati, tapi di belakang
dihujad, apa enaknya hidup palsu seperti itu. Apalagi tidak dimulyakan tapi pengen dianggap mulya,
bukankah itu palsu di atas palsu. Maka dalam nggila itu, kalau kita sudah mampu menghilangkan
dari hati segala macam sifat, yang menurut manusia itu muliya, tapi teramat tercela itu, langkah
selanjutnya, belajar memasrahkan diri pada takdir Alloh, atas tubuh kita, memasrahkan sepasrah
pasrahnya.
“Kita berusaha sepasrah mungkin, pasrah atas rizqi, pasrah atas nasib, menerima apapun dari Alloh
tiada menolak, kalau sudah dalam tanggungan Alloh hati akan senang, tak ada beban, tak ada
susah, tak ada kekawatiran, sekalipun saat itu nyawa dicabut, karena semua adalah kehendakNya,
kalau sudah begitu pikiran akan tenang, dan hati lapang, karena ilmu Alloh yang masuk ke dalam
hati, tak ada penghalang lagi… ketentraman dan kedamaian haqiqi. Sesungguhnya para wali
ALLAH itu tiada rasa takut, dan tiada susah.”
Kataku mengakhiri pembicaraan sambil menyruput kopi dan menyalakan rokok djisamsoe filter.
“Walaupun begitu aku belum berani menjalankan Ian, kelihatannya berat sekali.” kata Macan sambil
ikut menyalakan rokok djisamsoe kretek.
Aku hanya menginap semalam di rumah Macan, malam itu aku dan dia duduk di samping rumah di
bawah pohon nangka. Di mana ada meja memanjang dan dua kursi kayu panjang, suasana sangat
sepi. Kami nikmati secangkir kopi dan ketela goreng.
Macan mengeluarkan hpnya,
“Ian pernah gak kamu memotret hantu?” tanya Macan.
“Motret hantu Can, emang bisa…?”tanyaku balik heran.
“Aku kemaren motret diri sendiri Ian, tapi ada bayangan orang tua di belakangku, coba lihat ini..?”
Macan mengangsurkan hpnya ke depanku setelah membuka galerinya.
Kulihat wajah Macan, dan memang ada bayangan orang tua, seperti asap tapi jelas.
“Wah kok bisa begitu ya?” kataku, ”Berarti bener bisa dipotret hantu itu.”
“Coba Ian kamu yang ilmunya lebih tinggi, kamu tarik hantu yang ada di sekitar sini, biar aku
potret…” idenya.
“Apa bisa…?” tanyaku ragu.
“Ya namanya juga nyoba, ya belum tau…” katanya sambil tertawa.
Aku mulai mempersiapkan diri, sambil duduk di kursi tubuh ku tegakkan, kutarik nafas panjang,
kusimpan di perut, wirid yang biasanya kubaca puluhan ribu, ku baca tiga kali-tiga kali tanpa napas,
terasa tenaga yang di pusarku bangkit, terasa dingin, mengalir seperti ribuan semut berjalan, juga
kurasakan aliran tenaga di bawah dadaku sebelah kanan terasa panas, mengalir kearah
pertengahan dadaku, bertemu dengan tenaga dingin sehingga terasa ada pusaran, kusalurkan ke
arah tanganku, kedua tenaga itu berpencar yang dingin kearah tangan kanan, dan yang panas
kearah tangan kiri. Ku rasakan tangan kananku dingin seakan mengeluarkan uap dingin, lalu tangan
kananku kuangkat, aku rasakan setiap mengarahkan kearah tertentu, ada getaran halus, seperti
getaran kalau tubuh sedang merinding, atau terasa seperti jutaan semut, atau terasa tapak tangan
menebal, setelah yakin, aku konsentrasikan, tapak tanganku seakan menyedot sesuatu, menahan
dengan tapak kiriku.
Tiba-tiba angin keras menerpa kami dari segala penjuru, sampai baju yang ku kenakan dan yang
dikenakan Macan berkibaran, dan beberapa daun nangka berguguran, hampir menimpa kami.
“Ini Can… kamu photo di depan, sudah berkumpul…”
Macan segera menjepretkan ngawur saja ke depanku, beberapa kali.
“Sudah-sudah cukup…!” katanya karena takut dan memang aku sendiri teramat merinding,
Ku hempaskan tanganku ke depan. Kembali angin bertiup tapi kali ini seperti meninggalkan kami.
Aku mengusap keringat yang membasahi pelipisku, kemudian menyeruput kopi yang tinggal sedikit,
karena tenggorokanku terasa kering.
Ku ambil sebatang djisamsu filter dan menyalakan.
“Gimana Can, berhasil?” tanyaku yang melihat dia memutar-mutar galeri.
“Wah menakjubkan sekali, tak akan percaya kalau tidak mengalami sendiri.” dia menunjukkan
gambar yang diperolehnya, memang kulihat gambar-gambar yang menyeramkan, kulihat ada enam
gambar dalam satu pemotretan. Dan diulang-ulang pemotretan gambar itu sama, tapi susunannya
yang berubah-ubah.
Enam gambar menyeramkan, satu adalah kakek yang juga ada di belakang Macan, wajahnya
teramat tua, karena kerutan-kerutannya, kumis dan jenggotnya memanjang sampai ke dada dan
berwarna putih, juga alisnya memanjang sampai ke pipi, matanya merah mencorong marah.
Kedua adalah lelaki dengan wajah separuh rusak, hingga sebagian wajahnya hanya tengkorak saja,
matanya tinggal satu dan mulutnya terlihat sebagian.
Ketiga adalah perempuan dengan rambut panjang, di sekitar matanya menghitam dan wajahnya
pucat, serta dari sela-sela bibirnya ada taring mencuat.
Keempat wajah tengkorak yang telah remuk, dan wajahnya tak terbentuk lagi, mata telah tak ada,
sehingga tempat mata hanya lubang hitam saja.
Kelima, lelaki berkerudung hitam dan wajahnya hitam semuanya hidung dan matanya hanya
kelihatan seperti bayangan.
Keenam siluet merah membentuk wajah, tapi tak begitu jelas, karena bentuk siluet cahaya. Yang
terus bergerak.
“Wah ngeri juga ya Can….!”
“Makanya aku takut, dan tak mau bertemu yang seperti ini.”

Sang Kyai 
EPISODE: 31. GANGGUAN MAKHLUK HALUS DI PEKALONGAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Kami masih menikmati malam yang sepi, di atas bulan seujung kuku tergantung,
“Ian, kamu sering dapat benda pusaka enggak?” tanya Macan di antara pembicaraan kami.
“Benda pusaka? Maksudmu keris dan sejenisnya?”
“Iya, pernah gak?”
Aku jadi ingat satu kali aku diminta seseorang tuk membersihkan rumah dari gangguan mahluk
halus di daerah Pekalongan, di desa Pring Langu, rumah itu besar dan tua, dan dibeli dengan harga
murah, karena angker.
Aku masuk kerumah itu, ku rasakan hawa wingit memang terasa kuat, rumah ini teramat tua terdiri
dari tiga joglo, jadi teramat besar, lebar semua ada empat ratus meter.
Pemilik rumah menyuruh dua orang menemaniku, bernama Lutfi, pemudanya tinggi, bertubuh
sedang, dan Zamrosi pemuda kurus.
Aku pun membuat air isian tuk membersihkan rumah, air isian selesai ku buat, kedua orang itu pun
kuminta menyiramkannya ke seantero rumah, setelah air selesai disiramkan ke seluruh rumah,
maka aku menunggu reaksi, waktu itu aku duduk di depan rumah dengan kedua orang tersebut,
ngobrol kesana kemari tak juntrung, membicarakan apa saja, namanya juga anak muda, apalagi di
depan rumah adalah jalan raya besar, yang menghubungkan kota Pekalongan dan daerah
Kedungwuni, maka jalan kalau sore teramat ramai, orang lalu lalang tiada henti.
Kalau anak muda nongkrong apa lagi yang dilihat, kalau tak cewek-cewek yang lewat. Kami selalu
membanding-bandingkan kalau ada cewek lewat, ini cakep gak, berapa nilainya… Yah begitulah
sehingga kami bertiga makin akrab.
Tiba-tiba lagi enak-enaknya ngobrol, ada gadis cakep dibonceng motor oleh temennya, siuut begitu
saja gadis itu terlempar dari atas motor dan jatuh di depan kami, terang kami terlongo kaget, kami
bertiga segera menghampiri, juga orang-orang datang mengerubuti, dan gadis itu digotong ke
pelataran rumah dalam keadaan pingsan.
Orang-orang pun sibuk menolong, ada yang mengipasi, ada yang menciprati air, ada juga yang
mengolesi minyak angin, tapi gadis cantik itu tak sadar juga, orang-orang pada ribut, membicarakan
asal muasal terjadinya jatuh dari motor itu, dan semua membuat penilaian sendiri-sendiri, jadi malah
membuat keadaan makin ribut, sementara sudah setengah jam, tapi gadis itu masih belum sadar
juga.
Lutfi menoel pundakku, “Mas Ian mbok ya ditolong, kasihan kan…” katanya.
Aku baru sadar, kenapa dari tadi berdiri. Ikut-ikutan menonton saja, aku segera menyeruak di antara
orang-orang yang berkerumun. Lutfi berteriak-teriak menyuruh orang minggir, sehingga
memudahkanku sampai ke dekat gadis itu, yang tidur di ubin, dengan wajah pucat lesi.
Aku segera berjongkok, tanganku segera ku tempel ke kepala gadis itu. Ku salurkan tenaga yang
mengalir dari pusarku, semua orang yang asalnya ramai, diam sepi.
Tak sampai dua menit kutempelkan tapak tanganku di kepala gadis itu, tubuhnya pun bergerak-
gerak sadar.
Maka suara ribut orang-orang terdengar lagi, aku segera menyuruh Lutfi mengambilkan segelas air,
setelah diambilkan, air itupun ku tiup dan kusuruh meminum gadis itu, yang segera segar kembali,
lalu dibonceng lagi oleh motor temannya. Orang-orang pun bubar, dan aku masuk rumah ditemani
Lutfi dan Zamrosi.
Setelah sholat magrib, karena nganggur aku dan kedua temanku, duduk lagi di depan rumah,
suasana di luar teramat ramai, memang jalan raya Ponolawen Kedungwuni ini ramai sekali,
beraneka macam orang jualan di sepanjang jalan, dari tenda Lamongan, martabak, bakso, kentaki,
mie ayam, sampai penjual ikan hias, dan yang paling banyak adalah penjual tenda lesehan khas
Pekalongan, yaitu sego megono, karena setiap jarak lima meteran ada penjual sego megono, itu
ada sampai sepanjang 10 kiloan, bisa dibayangkan betapa ramainya. Dan semua ada
pengunjungnya karena memang yang harganya murah, yaitu cuma Rp 1000,
Sungguh kota yang ramai, motor bersliweran, mobil juga tak ada habisnya, di depan rumah yang
aku bersihkan dan ku pagar ini, jalan raya sangat lurus, dan aspal sangat halus.
Selagi aku duduk dengan Lutfi, Zamrosi datang membawa tahu aci, dan sambal petis, juga teh, kami
pun makan sambil melihat orang yang lalu lalang. Apalagi ini adalah bulan Agustus, sudah menjadi
tradisi di daerah Pekalongan tiap bulan Agustus, ada acara makan gratis satu bulan penuh. Setiap
malam di adakan di setiap gang bergiliran. Juga ada lomba-lomba yang langsung mendapatkan
hadiah di tempat. Seperti melempar paku pada lingkaran, di lingkaran itu ada tulisannya, kalau
melempar tepat pada tulisan itu maka akan mendapatkan langsung apa yang ditulis, kalau
tulisannya itu jam dinding, maka akan mendapat jam dinding, paku? tinggal minta kepada panitia.
Juga ada memasukkan gelang pada botol dengan dilempar, dan masih ada permainan yang lain.
Jadi jalanan sangat ramai, kalau ada makan gratis seperti ini, tukang bakso, mie pangsit, dan tukang
jualan dorong, tak usah takut tak laku, karena para penjual itu malah semua dagangannya telah
diborong oleh rumah yang memanggilnya untuk melayani orang yang mau makan. Gratis.
Orang-orang berdatangan, tapi karena kami menangani dengan sigap, jadi kemacetan yang
ditimbulkan tidak berlarut-larut, kami bertiga segera nyangkruk lagi, namun tak lama kami nyangkruk
kembali terjadi kecelakaan lagi.
Saat kami sedang enak-enakan duduk ngobrol, tiba-tiba “Sroook..! Braak… praak..!” Sebuah sepeda
motor tanpa ada sebab yang jelas tergelincir, terbanting-banting di aspal, pengendaranya terseret
sampai enam meter. Aku, Lutfi dan Zamrosi segera berlarian kearah kecelakaan itu, Lutfi menuntun
motor ke tepi jalan dan aku memapah pengendara yang babak bundas itu, sementara Zamrosi
memberi isyarat pada kendaraan yang mau lewat.
Kebetulan ada becak lewat, aku pun menyetopnya, dan memintanya membawa pengendara motor
yang kecelakaan ke rumah sakit, sementara motornya yang sudah tak karuan ku titipkan di bengkel
sebelah.
Kali ini seorang pengendara sepeda yang sedang menyeberang di hantam motor roda belakangnya,
sehingga lelaki pengendara sepeda itu terlempar, sementara pengendara motor juga jatuh
menyluruk, keadaan teramat ribut dan memacetkan jalan, yang memang ramai.
Kali ini aku tak ikut menolong, karena tempat kecelakaan telah dikerubuti orang, dan yang
mengalami kecelakaan telah ditolong orang.
Lutfi, yang sebelumnya ikut membantu lancarnya lalu lintas, telah duduk lagi di sampingku.
“Wah apa biasanya di sini sering terjadi kecelakaan seperti ini, Lut?” tanyaku.
“Ah kyaknya tidak tuh, tapi yang lebih tau Zamrosi, dia kan asli orang sini, kalau aku dari
Pekalongan kota, jadi kurang tau persis.”
Zamrosi yang kuminta membelikan rokok baru saja kembali,
“Benar Zam di sini sering terjadi kecelakaan? Seperti hari ini?”
“Setahuku tak pernah tuh mas, ya hanya hari ini, aku juga heran, kenapa hari ini banyak terjadi
kecelakaan? Ada apa ya?” kata Zamrosi.
“Mana aku tau Zam…” kataku yang memang tak menguasai ilmu teropong.
“Tadi juga ada anak kecil umur tujuh tahunan jatuh mas, waktu digandeng ibunya, tiba-tiba saja
tubuhnya terbanting jatuh menghantam bekas tebangan pohon itu, dan giginya tanggal.” kata Lutfi
sembari menunjuk bekas pohon yang ditebang, cuma setinggi mata kaki.
“Ada apa ya..?” tanyaku sendiri.
“Apa mungkin karena rumah ini mas bersihkan, lalu setannya lari ke jalan terus ngamuk?” kata Lutfi.
“Tak taulah….”
“Iya mas bisa jadi begitu..”tambah Zamrosi

Sang Kyai 
EPISODE: 32. GANGGUAN MAKHLUK HALUS DI PEKALONGAN II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam makin larut, jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, aku masuk rumah untuk
melakukan sholat isya, sekaligus melakukan pemagaran secara wirid.
Saat aku melakukan wirid, kedua temanku itu di belakangku sedang ngobrol besenak-besenik,
karena tak mau mengganggu wiridku, Mereka berdua ngobrol sambil ngerokok, tiba-tiba terdengar
ledakan dalam tembok, “Duar..!” Suaranya di tembok bagian kananku.
“Hei apa itu yang meledak?” tanya Zamrosi,
“Iya ya kok ada ledakan dalam dinding, suaranya seperti bohlamp,” jawab Lutfi.
Aku tetap khusuk dalam wirid, dan tak memperdulikan kedua temanku yang mulai memeriksa. Dan
mereka kembali duduk karena tak menemukan apa-apa.
“Aneh wong ada ledakan tapi tak tau apa yang meledak.” kata Lutfi dengan nada heran.
“Apa mungkin kita yang salah dengar?” kata Zamrosi.
“Ah tak mungkin, wong terdengar jelas” yakin Lutfi.
Kembali mereka pun ngobrol, sampai yang ku dengar dengkur kedua temanku itu, karena jam telah
menunjukkan jam satu lebih.
Aku masih meneruskan wiridku, sampai terdengar penjaga memukul tiang listrik dua kali, pertanda
pukul dua malam, kurasakan desiran angin dingin mengitari tubuhku.
Aku tenang penuh konsentrasi, terdengar suara, “kreeet..!” Kontan aku membuka mata karena
suara itu, memandang ternit asal dari suara, kulihat ternit melengkut, seperti terinjak kaki yang
besar, aku kaget… tapi terus melanjutkan wirid,
Dan “krek…nyut…krek nyut…” Ternit memantul-mantul seperti dibuat nyot-nyotan kaki yang besar,
mengingat ternit yang kuat, nampaknya tak mungkin kucing atau tikus. Tapi aku tak bergeming dan
terus melanjutkan wirid sampai selesai.
Ternit mental-mentul itu terjadi hanya sampai setengah jam, kemudian berhenti.
Jam tiga aku baru menyelesaikan wirid, kemudian ikut tidur di dekat kedua temanku. Paginya
setelah sholat subuh aku tidur lagi, karena mata yang masih mengantuk, jam sembilan aku baru
bangun, setelah memakan sarapan yang disediakan, aku menghampiri Zamrosi, yang tengah
menyapu halaman,
“Lutfi kemana Zam?”
“Pulang dulu mas… ada apa mas..?”
“Aku mau naik ke atas ternit..”
“Wah mau ngapain mas, kok repot…”
“Mau melihat ada apa di atas ternit,”
Tanpa menunggu jawaban Zamrosi, aku segera mencari jalan naik ke ternit. Dan ku temukan di atas
dapur, untung ada planggangan di sana-sini, sehingga memudahkanku naik ke atas.
Untung aku ingat membawa senter, sehingga kalau terlalu gelap bisa ku lihat, aku juga membuka
genteng, sehingga penerangan masuk, dan dalam ternit tak terlalu gelap, aku menyusuri kayu
sampai ke arah di atas tempatku semalam melakukan wirid, dan itu melewati satu ruangan, kubuka
genteng lagi, sehingga penerangan masuk, dan suasana terang, kulihat kayu penahan ternit kuat,
ku injak dengan kakiku tepat di mana semalam kayu ini melengkung, sembari berpegangan pada
usuk takut jatuh, tapi aku merasa aneh, memang tanpa pegangan sekalipun kayu ini kuat menopang
tubuhku, bagaimana semalam bisa melengkung-lengkung tak karuan, tiba-tiba mataku melihat dua
benda menggeletak, aku segera memungut.
Benda itu ternyata sebuah batu akik sebesar jempol tangan tanpa emban dan sebuah keris kecil,
dan warangkanya, keris itu cuma sebesar jari kelingking anak kecil, tapi bentuknya amat antik
sekali, walau bentuknya teramat kecil tapi sangat antik sekali, warangkanya terbalut kain rapi, tapi
sudah sangat usang dan kuno, ketika ku tarik lolos keris itu dengan kedua jariku, ah betapa
mungilnya tapi teramat indah, karena keris itu dihiasi ukiran teramat detail, aku tak sanggup
membayangkan bagaimana mungkin, seseorang mengukir dalam keris kecil ini sedemikian
detailnya.
Tapi aku bukan orang yang suka keris dan batu akik, walau banyak beredar cerita tentang batu dan
keris yang mempunyai kesaktian.
Aku hanya orang yang tak punya pikiran neko-neko, bagiku mengamalkan agama sebaik mungkin,
hidup tenang, istri sholehah, anak-anak yang sholeh-sholehah, serta keluarga selamat, sejahtera.
Walau aku percaya keampuhan keris, karena jin yang menghuninya. Tapi aku lebih percaya Alloh
penolongku.
Aku pun turun dari internit.
“Kamu mau keris Zam?“ tanyaku setelah turun.
“Keris? Untuk apa mas?” tanyanya dengan pandangan heran.
“Ini aku dapat keris dari atas, ya kalau kamu mau?”
“Wah kalau saya ini kalau ada di kasih duwit aja, jangan keris, saya ini orang susah mas, butuhnya
duwit…”
“Ya udah kalau tak mau…”
“Coba lihat kerisnya mana mas?”
Keris segera ku keluarkan, dan dilihatnya, setelah dijinggleng dan diteliti, keris diberikan lagi
padaku.
“Wah aku gak ngerti sama sekali tentang keris mas, tapi kok kecil sekali ya, kayak mainan anak-
anak aja.”
“Tapi kalau mas Ian mau, aku punya teman yang sukanya mengoleksi keris, dia pasti mau dikasih
keris,”
“Nanti malem suruh aja datang kesini.”
“Tapi dia preman stasiun mas, gimana?”
“Ya nggak papa, suruh aja datang, siapa namanya?”
“Namanya Gimo mas… baik nanti aku hubungi.”
Siang itu aku mengisi batu untuk ku tanam ke empat penjuru rumah, sebagai pagar gaib. Malamnya
Gimo datang, setelah berkenalan denganku, aku mengajaknya duduk di teras, membicarakan keris
yang aku temukan.
Gimo orangnya tinggi besar, dempal, dan berotot, sangat suka mempelajari ilmu kesaktian, dan
suka mengumpulkan wesi aji dan batu akik.
“Bener nih kang sampean mau ngasih saya keris?” tanyanya setelah duduk di sampingku. Dan Lutfi
juga Zamrosi ikut nimbrung ngobrol.
“Ia mas Gimo, mas Ian ini, mendapatkan keris tadi siang,” sela Zamrosi.
“Dapat dari mana to mas?” Lutfi yang belum tau bertanya.
“Dapat dari internit..” kata Zamrosi, mendahuluiku menjawab.
“Kamu ini mbok ya diam dulu to Zam, biar mas Iyan cerita,” kata Lutfi.
“Iya Zamrosi benar, aku mendapatkannya di ternit,”
“Wah bagaimana itu bisa tau kang? Ah pasti sampean ini orang sakti.” kata Gimo sumringah.
“Ya kebetulan saja…”
“Ah tak mungkin kebetulan, wong tadi pagi tiba-tiba aja pengen naik ke ternit, kan aneh?” kata
Zamrosi nyerocos.
“Gimana to gak sakti mas Gimo? Mas Ian ini kan kesini untuk memagar rumah ini, diminta bos yang
punya rumah ini,” kata Lutfi, menjelaskan.
“Wah semuda ini, masih bocah..!,” kata Gimo.
“Tapi nyatanya begitu…”
“Sudah-sudah, nih mas Gimo keris dan batu akiknya, silahkan diterima…” kataku sembari
mengeluarkan kedua benda, dan menyerahkan pada Gimo, dia menerima dengan gemetar.
“Wah kecil amat kerisnya?” kata Lutfi, yang memang baru melihat keris ini.
“Wah ini keris dan batu tak bisa dipisahkan kang, dan keris ini ampuh sekali.” kata gimo setelah
mengamat-amati sebentar.
Saat kami tengah asyiknya ngobrol, tiba-tiba “Duaar!!, bruakkk..!!” suara ledakan tabrakan motor
dengan motor, kulihat sekilas, sebuah motor Gl pro, menyalip ke kanan mendahului kendaraan lain,
tak taunya ada mobil angkot di depan, maka motor itu membanting ke kiri, untuk menghindari mobil
angkot, dan ternyata di samping angkot ada motor lain yang juga mau mendahului angkot, maka tak
terelakkan lagi kecelakaan pun terjadi, kedua pengendara sampai terpental dan terbanting di aspal.
Pengendara Gl pro langsung tewas di tempat. Keadaan menjadi ribut sekali, jalanan macet total,
karena kecelakaan tepat di tengah jalan, tubuh pengendara Gl pro tergeletak, dan darah meleleh
kemana-mana, mungkin kepalanya pecah.
Orang-orang membludak, karena memang masih berlangsung kegiatan Agustusan, makan gratis.
Ku lihat Gimo tangkas juga, dia segera menggotong pengendara Gl pro, di masukkan ke pikup dan
disuruh membawa ke rumah sakit, sementara pengendara Karisma musuh Gl pro tak apa-apa,
walau luka lecet-lecet, tapi kedua motor hancur sana-sini pecahan onderdil, dan kaca lampu
berserakan di sana sini.
Ah ini benar-benar tak beres, tak bisa dibiarkan, aku segera masuk, mengambil air wudhu,
kemudian duduk dalam kamar, menyatukan rasa dan cipta, membaca semua wirid dalam hitungan
tiga-tiga, kemudian membaca doa hijab yang diajarkan kyai kepadaku. Mengalir kekuatan dari
pusarku, kemudian tersalur ke tanganku. Kubayangkan aku mengitari jalan depan rumah lalu
menangkap semua lelembut, jin, siluman, mengikatnya jadi satu kemudian kubuang ke belakang
rumah dalam keadaan terikat.
Aku bernapas lega, dan mengusap keringat yang keluar mbrendol-mbrendol sebesar jagung dari
pori-pori tanganku, keringat bahkan menetes-netes dari ujung hidungku, juga mengalir dari pori-pori
kepalaku, mengalir ke leherku, dan punggungku sampai lengket, basah oleh keringat.
Aku segera beranjak keluar, tak lupa mengambil keempat batu yang tadi siang kuisi, dan di luar
keadaan sudah sepi, Lutfi dan Zamrosi masih duduk, ngobrol ditemani beberapa tetangga toko
sekitar, aku memanggil mereka berdua, lalu kuajak menanam dua batu di pojok belakang rumah,
dan dua batu di pojok depan rumah.

Sang Kyai 
EPISODE: 35. DIDATANGI KHADAM PUSAKA II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Nak mas…, anak ini kan yang namanya Febrian…?” kudengar suara lembut di belakangku, aku
menoleh, nampak orang tua yang kurus sedang, duduk di belakangku, aneh kenapa aku tak
merasakan kedatangannya.
Kakek ini ku taksir umurnya tujuh puluh tahunan, badannya kurus namun tegap. Wajahnya penuh
kerutan ketuaan tapi bersih, alis matanya sebagian memutih, ikat kepalanya bercorak lurik batik.
Kumisnya dan jenggotnya sedikit, matanya teduh dan bersahabat.
“Kakek ini siapa, kok tau nama saya?” tanyaku heran.
“Itu tak penting nak mas, aku hanya mau menyerahkan warisan nak mas yang selama ini dititipkan
pada saya…” kata kakek itu.
“Warisan apa kek…?” aku teringat dengan mimpiku tadi malam, kakek di depanku ini mengarahkan
kedua tangannya ke balik baju di punggung, lalu mengeluarkan dua buah keris dari balik baju, keris
ditunjukkan di depanku.
Satu keris dan warangkanya panjang kurang lebih empat puluh cm, dan yang satu pendek kurang
lebih tigapuluh cm. Lalu kakek misterius di depanku ini melolos keris yang panjang dari
warangkanya, aku tak tau keris, tapi melihat bentuknya keris ini indah, ada ukiran di pangkal keris,
berwarna seperti emas, keris ini berluk banyak.
“Ini namanya kyai sapto paningal,” katanya sambil mengulurkan keris kepadaku. Kurasakan ada
getaran aneh menjalari tanganku ketika menerima keris itu.
Kemudian kakek itu mencabut keris yang kedua, “Ini namanya kyai condong pamelang.” katanya
sambil mengulurkan keris kepadaku.
Aku mengamat-amati kedua keris di depanku, sekedar menyenangkan pada kakek ini, tapi aku
benar-benar buta dan tak tertarik dengan aneka macam wesi aji. Aku menyerahkan kedua keris itu
kepadanya.
“Karena nak mas sudah ada di sini, maka keris ini kuserahkan padamu…” kata kakek ini,
mengulurkan kedua tangannya terbuka ke hadapanku, dan kedua keris ada di atas tangan itu.
“Nanti dulu kek…” kataku dengan isyarat tangan menahan.
“Kenapa nak mas?”
“Aku ini sama sekali tak tau, seluk beluk tentang keris, dan aku tak tau bagaimana merawatnya, ah
alangkah baiknya kalau keris ini tetap di tangan kakek, mungkin akan lebih baik keris ini tetap di
tangan kakek, aku takut kalau di tanganku akan rusak…” kataku berdalih dengan alasan setepat
mungkin.
“Tapi nak mas, keris ini nak maslah pewarisnya…”
“Begini lo kek, aku ini punya keyakinan, bagiku Allohlah sebaik-baiknya dzat tempatku bergantung
dan tempatku meminta menyelesaikan segala urusanku, aku tak mau menomer duakan Alloh
karena mempunyai kedua keris ini..”
Kakek tua itu manggut-manggut, ”Baiklah aku mengerti, tapi aku tak mau disalahkan oleh orang
yang telah mempercayakan amanahnya kepadaku, maka sudilah nakmas menerima keris ini dan
nanti menyerahkan padaku lagi…?”
“Oh aku mengerti kek, baiklah aku terima keris ini, dengan kelapangan hati…” kataku, sambil
menerima kedua keris. Lalu ku lanjutkan berkata setelah keris ada di tanganku.
“Dan keris ini ku serahkan padamu untuk menjaga dan merawatnya…”
Kataku sambil mengulurkan keris kepada kakek ini, sebagai tanda penyerahan. Kemudian kakek itu
pun menerima lagi keris. Dan menempelkan ke jidatnya, “Akan ku jaga dengan sebaik-baiknya.”
Setelah itupun kakek itu mohon diri.
Aku menarik napas lega, tukang bakso mengulurkan bakso ke depan mejaku, matanya menatapku
heran.
“Ada apa bang, kenapa menatapku begitu?” tanyaku pada tukang bakso.
“Tak apa-apa gus.., saya hanya heran saja..”
“Heran kenapa?”
“Yah saya lihat dari tadi, agus ini ngomong sendiri, jadi saya mau memberikan bakso, saya
urungkan, karena melihat agus ngomong sendiri.”
“Maksud abang tadi saya ngomong sendiri, jadi abang tak lihat saya tadi ngomong sama kakek-
kakek.”
“Kakek-kakek yang mana to gus, wong dari tadi agus di sini sendirian…”
Aku segera turun dari kursi, dan melihat ke arah mana tadi kakek itu pergi, maunya menunjukkan
pada tukang bakso tentang kakek yang ku ajak ngomong, tapi walau jalan raya itu lurus, aku tak
melihat bayangan kakek yang ngomong denganku. Ah pupus harapanku, aku dianggap gila dah.
Cepat-cepat aku kembali ke tempat duduk, menghabiskan bakso, dan dua lontong, lalu cepat-cepat
beranjak pergi, dengan tatapan aneh dari penjual bakso.

Sang Kyai 
EPISODE: 36. MEMBANTU MACAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Aku sering Can, mau dikasih segala macam wesi aji, batu akik, tapi selalu aku tolak, apa pula
perlunya…?” kataku pada Macan.
“Ah kamu ini gimana sih Ian, kalau ada yang ngasih mbok ya diterima, kalau kamu tak mau biar aku
yang mengkoleksinya, aku aja udah mengkoleksi banyak sekali,”
“Wah hebat Can…”
“Ayo aku tunjukkan..” katanya kemudian mendahuluiku berdiri dan masuk rumah, akupun mengikuti
dari belakang.
Kulihat ia menurunkan tiga dus sarimi dari atas lemari bifet. Dah uh banyak sekali, satu dus berisi
aneka macam keris panjang penuh, satu dus berisi berbagai batu akik, setengah, dan satu dus
berisi aneka macam keris kecil, berbagai bentuk dan macam.
“Dari mana semua barang begini Can?”
“Ya ada yang ngasih, kadang juga ketemukan sendiri, macam-macamlah kejadiannya.”
“Wah kamu ini mungkin cocoknya ngumpulin barang seperti ini,”
“Yah semoga saja ini bermanfaat Can.” kataku.
“Ian…, aku ini sebenarnya punya masalah..!” kata Macan menatapku serius.
“Masalah apa?”
“Gini Ian, aku punya anak buah, dari anak-anak nakal yang aku insyafkan, dan aku membuatkan
mereka warung tenda masakan Lamongan, tapi aku menemui kendala, warung yang ku buka itu
sepi pengunjung, nah kalau begitu, aku takut anak-anak muda itu patah arang, melihat warung sepi
begini, mereka akan kembali menjadi pemabuk lagi, bagaimana menurutmu Ian?”.
Aku merenung sejenak.
“Coba Can, kamu bel mereka, sekarang ini warung sepi apa enggak?”
“Maksudmu..?”
“Iya kamu bel aja, tanyakan warungnya sepi apa enggak? Dan bilang nanti kalau warungnya rame,
mereka suruh ngebel kemari, biar aku wirid sebentar.”
“Aku segera duduk menghadap kiblat, berdoa pada Alloh supaya warungnya Macan ramai
pengunjung dan melakukan wirid, baru aku melakukan wirid setengah jam, hpnya macan berdering,
dan terdengar olehku Macan berbicara, aku tetap konsentrasi dengan wiridku.
“Sudah ramai Ian, warungnya, katanya sampai antri, dan terpaksa digelarkan tikar, karena tempat
sudah tak muat.”
“Syukur Alhamdulillah… semoga bermanfaat, dan bisa menjadikan keimanan mereka menjadi kuat.”
kataku mengakhiri wirid.
Malam itu aku tidur di sofa, karena memang rumah Macan sempit, dan cuma ada satu kamar dan
ruang tamu, jadi aku tidur di sofa ruang tamu.
Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, aku mau pamit pada Macan. Dan ternyata Macan telah
menungguku.
“Aku balik ke pesantren dulu ya Can…” kataku sambil meletakkan tasku di dekat pintu.
“Nanti dulu Ian… duduk dulu sini, aku ada masalah serius nih.., nanti aja pulangnya setelah
sarapan…” kata Macan, dengan mimik muka serius.
“Ada masalah apa lagi Can..?”
“Saudara perempuanku ada yang kena musibah…”
“Musibah apa? Apa kecelakaan…”
“Bukan, tapi sakit usus buntu, dan mau dioperasi, wah bagaimana nih ibuku minta kiriman untuk
biaya operasi, tapi aku tak punya uang… Apa kamu punya uang Ian..?”
“Wah aku juga tak punya, ini ada juga paling tiga ratus, dari kyai dua ratus, dan uangku sendiri
seratus, nih pakailah…” kataku mengeluarkan dompet budukku, dan mengambil uang tiga ratusan
ribu. Dan menyerahkan pada Macan.
Kami terdiam sebentar, aku menyeruput kopi yang disediakan Ida istri Macan, lalu kunyalakan rokok
djisamsoe filter, tiba-tiba ada ide kuat terlintas di benakku.
“Ah kenapa kita tak coba obati sendiri Can? Kita mintakan kesembuhan pada Allah, bagaimana?”
Kataku seketika mendapatkan ide, karena aku pernah mendengar kyai mengatakan padaku, jika
ilmu yang ku miliki dan ilmunya Macan digabung, kekuatannya akan teramat dahsyat, karena Macan
diberi ilmu yang bersifat dingin, sebab Macan yang sifatnya gampang emosi, sementara aku diberi
ilmu yang bersifat panas, karena sifatku yang lembek, Macan aja sering mengolokku, kalau aku ini
ditipu orang, maka yang nipu itu akan kesenengan sampai mati karena terlampau seneng.
“Ah kalau mengobati dari dekat biasa, tapi dari jauh itu apa bisa? Masak obat ditransfer?” katanya
ragu.
“Ee kamu lupa, selama ini kita mengobati, hanya dengan doa, doa kepada Alloh, dan Alloh itu
kuasanya tak ada batas, kalau dia bisa menyembuhkan orang yang di dekat kita, tentu tak sulit bagi
Alloh menyembuhkan orang yang jauh dari kita, sebab, Alloh tak dibatasi jauh dan dekat kuasanya,”
“Tapi caranya gimana Ian, aku tak ngerti?”
“Wah kalau itu aku juga tak mengerti, selama ini, kita kan memang tak diajar apa-apa sama kyai,
tapi jangan takut aku ini kan tukang ngayal, moga-moga Alloh melimpahkan rahmatnya, dan
memberikan kesembuhan yang mutlak.”
“Lalu bagaimana Ian?”
“Begini, kamu telfon ortumu, saudarimu yang sakit siapa namanya?”
“Nafisah..”
“Si Nafisah suruh duduk menghadap kiblat, dan di sini aku menghadap kiblat kau mengahadapku,
bayangkan saja Nafisah di antara kita, kau arahkan tanganmu ke perutnya dan aku ke
punggungnya, salurkan tenagamu, selanjutnya serahkan padaku, bagaimana?”
Macan mengangguk, lalu tanpa banyak cakap ia pun menelpon ibunya, dan menyarankan seperti
yang ku katakan.
Sementara itu Nafisah yang dirawat di rumah sakit Aisiyah Bojonegoro, diminta duduk oleh ibunya
menghadap kiblat, aku dan Macan juga duduk berhadap-hadapan, kami berdua berkonsentrasi
membangkitkan kekuatan sirri yang ada di tubuh kami.
Aku rasakan kekuatanku telah bangkit dan mengalir ke telapak tanganku, juga kurasakan ada angin
dingin, menghembus lembut dari arah Macan ke arahku, udara serasa bergumpal-gumpal, aku
membayangkan tubuh Nafisah ada di depanku.
Memang kekuatan anugrah Alloh yang tak terlihat ini begitu dahsyad, aku pernah mencoba pada
temanku Tarsan, saat itu pemuda yang jago manjat kelapa itu di depanku, kami sedang
membicarakan tenaga yang ada di pusar, tapi pemuda itu tak percaya akan ada tenaga sehebat itu,
lalu aku menyalurkan tenaga ke tangan dan mengaduk isi perutnya, padahal jaraknya denganku tiga
meter, Tarsan muntahkan semua isi perutnya, lalu aku coba menulis namanya di udara dengan
jariku, dan kupukul dengan tanganku, walau tanpa menyentuhnya dan Tarsan terpental.
Aku memejamkan mata dan membayangkan tanganku mengambil penyakit usus buntu yang ada di
perut Nafisah, sementara gadis itu yang tengah duduk, merasakan hawa dingin merasuk dari depan
dan hawa panas merasuk dari belakang, lalu dia merasakan seperti ada ribuan semut memasuki
tubuhnya, dan seperti mengambil sesuatu dari dalam tubuhnya.
Nafisah merasakan seluruh tubuhnya seperti kesemutan. Aku dan Macan masih duduk,
menyalurkan tenaga.
“Turunkan pelan-pelan Can, tenaganya jangan disentak…” kataku memberi aba-aba.
Dan selesailah proses pengobatan kami. Aku mengusap peluh di kening dan jidatku, begitu juga
Macan.
Ku sruput kopi yang penghabisan dan menyalakan rokok.
“Selanjutnya bagaimana Ian?” tanya Macan.
“Ya nanti telpon lagi, minta dironsen ulang, moga-moga aja pengobatan kita berhasil, sekarang aku
tak pamit dulu…” kataku.
Macan mengantarku dengan motornya, sampai ke terminal Kampung Rambutan.
Aku berangkat, memilih bus yang langsung menuju Labuhan. Aku mendapatkan tempat duduk, dan
tidur setelah bus berangkat.
Kondektur membangunkanku, meminta uang tiket. Ah aku kaget, pias, setelah ingat uangku yang
tiga ratus sudah ku berikan Macan semua.
Ah sial aku, sementara kondektur itu menungguku, aku bingung, dah merogoh-rogoh saku, dan
serr..!
Di sakuku ada uang tiga ratus ribu, ah pastilah Macan yang memasukkan tanpa ku ketahui.
Ah sudahlah yang penting aku punya uang tuk membayar bus, ku berikan uang seratus ribu kepada
kondektur, dan setelah diberikan kembalian, aku tidur lagi sampai bus nyampai di pertigaan
Pandeglang, aku turun, ojek datang mengerubutiku, aku melihat mang Sofyan, yang rumahnya, di
kampung dekat pesantren,
“Ojek mang..?” Kataku ke arah mang Sofyan.
“Ke rumah kyai ya jang..?” tanyanya.
“Iya mang., berapa?” tanyaku.
“Lima belas ribu jang…”
“Byuuh gak salah mang? Ini kan ojek bukan taksi…”
“Sekarang ini BBM dah naik jang, penumpang jarang.., jadi ya kenaikan berlipat, mau gak jang…”
Terpaksa aku menyetujui. Daripada ribet urusannya, padahal jarak antara pertigaan tugu dengan
lereng gunung putri ini tak terlalu jauh, paling juga tiga kiloan, sebenarnya kalau jalan kaki lewat
jalan kampung malah lebih cepat, tapi sudahlah.
Motor ojek mang Sofyan segera mengantarku, motor itu menggerung-nggerung, karena jalan aspal
yang sudah rusak di sana-sini itu, lubang-lubangnya penuh dengan air bekas hujan semalam.
Jalan yang ku lewati ini sebenarnya telah diperbaiki berkali-kali, tapi uang untuk perbaikan jalan
kebanyakan disunat sini, maka imbasnya jalanan hanya diperbaiki seadanya, jadi ya begini, baru
beberapa hari kelihatan halus, jalanpun akan rusak lagi.
Akhirnya nyampai juga, baru saja ojek ku bayar, dan mang Sofyan berlalu, hpku bunyi, segera ku
angkat, suara Macan dengan nada bahagia.
“Ian syukur, adikku tak jadi dioperasi, dah sembuh, dan sudah diijinkan pulang, makasih ya Ian…”
“Wah jangan berterimakasih padaku, kita kan cuma berusaha, kesembuhan ada di tangan Allah jua.
Bersyukurlah pada-Nya.”
“Iya… iya… wah ceramah terus..”
“Eeh uangku, kamu masukkan sakuku, tanpa setahuku ya Can?” tanyaku ketika ingat uangku ada di
saku.
“Ah enggak, ini masih ku pegang, iya… iya.., nanti aku kembalikan, sekarang ku pinjam dulu..
Jangan kuatir..” nadanya serius, setahuku Macan orangnya tak suka main-main, kalau bilang a ya a
kalau bilang b ya b.
Lalu kenapa ada uang di sakuku..

Sang Kyai 
EPISODE: 37. DIBAIAT
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Para santri segera menyambutku, dan bersalaman mesra, mereka-mereka seperti saudara-saudara
kandungku.
“Mas Ian udah ditunggu kyai.” kata Mujahidi,. Bibirnya masih seperti dulu, dikelotoki karena
sariawan, sehingga kelihatan jontor sana-sini, wajahnya juga makin banyak lubangnya bekas
jerawat batu dipenceti, malah lebih kelihatan seperti kayu dimakan rayap, yah biarlah itu
kesenangannya sendiri.
Aku segera berlalu, kulihat kyai berdiri di bawah pohon melinjo, aku segera menghampiri, dan
bersalaman mengecup tangannya dengan takzim.
“Bagaimana, Macan tak mau?” tanya kyai. Sambil mengajakku duduk di kayu pohon sengon yang
telah mengering, dan telah tumbuh jamur di sana-sini, jamur kecil-kecil berwarna kuning kemerahan.
“Dia tak mau kyai….”
“Ya sudah kalau tak mau, nanti kamu menjalani sendiri, kamu sanggup, menjalani laku gila?”
“Sanggup kyai..” jawabku mantap, “Sekarang pun kalau kyai memintaku berangkat, aku akan
berangkat kyai…”
“Tak usah buru-buru, mungkin sebulan lagi…, nanti setelah sholat ashar, kamu aku baiat, dan nanti
malam mulai melatih ilmu rogo sukmo…”
“Bagaimana aku melatih ilmu itu kyai? Sedang aku tak punya…” tanyaku meragu.
“Ilmu itu telah ada dalam dirimu, hanya kau tak tau, nanti kalau ingin melepas sukma baca ini…”
kyai membisiki telingaku.
“Wah cuma dua lafat itu kyai..” tanyaku heran.
“Iya cuma itu, dan bayangkan tempat yang akan kau tuju…” kata kyai.
“Apakah ada pantangannya kyai?”
“Tidak, tidak ada pantangan, tapi hati-hatilah, karena bila merogo sukmo, kau akan melihat aneka
macam mahluq Alloh, dan kalau bertemu jin fasik, pasti akan berantem, kalau kau merasa tak
mampu lebih baik menghindar, dan jika kau butuh sesuatu di alam sukma, bayangkan saja dengan
hayalmu…”
“Terima kasih kyai, saya mau istirahat dulu…” setelah berpamitan aku pun menuju ruang
pembuangan jin yang luas, untuk tidur siang sebentar, dan aku agak masuk angin, maka aku akan
meminta pijit pada jin.
Pintu gerbang besi bercat hijau kubuka, suara menderit khas besi yang tak pakai oli terdengar. Dan
udara dingin menusuk kontan kurasakan, nyeess! Lebih dingin dari AC karena udara dalam rumah
pembuangan jin ini tak berjalan.
Rumah ini walau tak pernah dimasuki orang, tapi tampak bersih keramiknya. Cat temboknya banyak
yang mengelupas, dulu cat ini aku juga yang mengecatkan, dengan motif whoss, yaitu kain disobek-
sobek seperti kain pita, setelah segenggaman tangan lalu diikat, nah ujung kain itulah yang dibuat
menjadi motif, dicelupkan ke cat dan dikecrok-kecrokkan ke tembok. Untuk hasil yang sempurna, cat
tembok putih dicampur cat pigmen sebagai pewarna. Dan binder sebagai pengikat, maka setelah
kering warna akan menyatu, jadi orang melihat seperti kertas wallpaper yang ditempelkan.
Warna tembok ku motif warna bunga lavender, dan di tembok lain ku motif bunga tulip.
Aku segera mencari tempat untuk tiduran, aku dekati tiang besar, ku cium bau wangi menusuk, aku
tak jadi, karena mengira pastilah jin wanita, nanti bisa-bisa tak tidur, malah main cinta.
Aku memilih di ruang sebelah, ruang ini luasnya delapan kali lima meter, cukup luas, aku
menggeletak di pinggir tembok. Ku eratkan jaketku, untuk mengurangi hawa dingin. Jam tangan ku
lihat pukul sebelas siang.
Kurasakan ada jin yang mendekatiku, dari arah kananku, karena pipiku menebal, kuucapkan salam
dalam hati, dan kukatakan aku ingin dipijat, walau aku belum bisa melihat mereka karena rendahnya
ilmuku, tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka.
Kurasakan tanganku ada yang memegang dan memijid-mijid, juga kepalaku, lalu kakiku juga ada
yang memijid, rupanya dua jin yang memijidiku, aku mulai keenakan dan mengantuk, sebelum tidur
aku minta dibangunkan jam dua, akupun tertidur.
Aku terbangun, ketika kurasakan ada yang menggelitik kakiku, kubuka mata dan kulihat jam
menunjukkan jam dua lebih satu menit.
Aku pun bangun dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Lalu beranjak pergi.
Mengambil sabun yang biasa kuselipkan di bawah para-para, kemudian pergi ke sungai,
“Gak makan dulu mas? Nasinya ada di dapur…” kata Jauhari dan Kholil ketika berpapasan
denganku.
“Ah nanti aja.., ” aku segera berjalan di jalan berbatu yang menuju sungai, dan melompat ke
pematang sawah, setelah melewati dua kotak sawah aku pun sudah sampai di tempat anak-anak
pada mandi, masih ada Tarsan dan Majid masih sibuk mandi, aku pun bergegas mandi, setelah
mengganti sarung dengan celana pendek khusus mandi, aku pun mencebur,
“Awas mas, banyak lintah…!” suara Tarzan memperingatkan, tapi terlambat, karena ada kurasakan
sesuatu menempel di dekat mata kakiku, aku segera keluar dari air dan naik ke atas batu bundar
pipih, sebesar kerbau yang ditempati Tarzan mencuci.
“Wah ketampel lintah nih…” kataku melihat binatang hitam ada garis coklat, yang tak lain lintah.
“Biar mas tak ambilnya mas…” kata Tarzan
Kemudian tanpa jijik, membetot lintah dari kakiku.
“Untuk apa Zan?”
“Biasa mas, untuk memperbesar…”
“Jangan terlalu besar, nanti tak ada wanita yang mau menikah denganmu lo…”
Setelah mandi aku cepat-cepat kembali ke kamar, dan sholat dhuhur, melakukan dzikir setelah
sholat, dan pergi ke dapur, ternyata teman-teman masak urap, yaitu sambal kelapa, karena paling
mudah, kelapa tinggal manjat, lalapan daun pepaya dan daun kopi muda, sedap juga.
Setelah makan terdengar adzan sayup-sayup sampai dari masjid yang teramat jauh. Aku bergegas
mengambil air wudhu dan sholat ashar, setelah dzikir aku pun menghadap kyai, untuk dibaiat.
Teman-temanku semuanya telah berkumpul.
Aku pun diminta duduk menghadap kyai, tangan dijabat dan menerima ijab, dan kobul, seperti
dalam pernikahan. Cuma isinya bukan tentang nikah, tapi siap sedianya diri menjalankan syariat
Islam secara kaffah, dan bersedia menjauhkan diri dari segala macam perbuatan dosa.
Baiat pun selesai, dan kami mendengarkan petuah-petuah kyai, dari bagaimana baiat dilakukan oleh
Rosululloh, dan dijelaskan untung ruginya.
Hari makin sore, para santri melakukan tugasnya masing-masing, aku memilih memasak.
Menggoreng jengkol dan membuat sambel tomat, wah sedap sekali.

Sang Kyai 
EPISODE: 39. MEROGO SUKMO II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Dan Wakman mendorong gerobak baksonya berjalan, saat itulah aku melihat perempuan baju putih
bertengger di atas gerobak bakso,
“Hei siapa kau…!?” bentakku.
Perempuan itu kaget dan melayang pergi. Dengan suara ketawa yang menggidikkan bulu roma. Aku
pun segera mengejar, ah pasti ini kuntilanak… Dia melesat ke arah rumah salah seorang pengasuh
pesantren. Karena melayangnya pelan, akupun dengan mudah menyusul, dan menghadangnya.
“Huu….huuu… jangan tangkap aku… huu..” dia menangis.
“Aku tak bermaksud menangkapmu, tapi aku hanya ingin tau kau ini siapa?” tanyaku dengan
lembut.
Dia menghentikan tangisnya, memandangku, aku dipandangnya begidik juga, perempuan ini
sungguh menyeramkan sekali, jika aku bukan sukma mungkin aku telah lari pontang-panting.
Rambut perempuan ini awut-awutan, dan di sana-sini nggimbal lengket oleh tanah, sementara,
wajahnya putih, tanpa darah, di sekitar matanya menghitam, dan matanya melotot keluar tanpa
cahaya, pipi kanan kirinya berlubang, sehingga giginya terlihat, dan ada ulat-ulat yang keluar dari
pipi…putih, kecil-kecil menggeliat..
“Kau ini siapa nyai?” tanyaku lagi.
“Aku ini istri kamituwo Gerot.” katanya tanpa menggerakkan giginya, sehingga suaranya seperti
suara yang teramat jauh, tapi jelas di telingaku.
Aku mengingat-ingat nama kamituwo Gerot, ingatanku pun tertuju pada sumur gerot, yaitu sumur
yang dibangun sesepuh desa dulu, ada enam sumur penjuru desa, yang dibuat oleh pendiri desaku.
Enam sumur juga disebut sumur gede. Karena memang sumbernya teramat besar, dan menjadi
tumpuan mengambil air bagi semua penduduk yang kekeringan.
Dulu sumur-sumur itu selalu diadakan ngunduh sajen, yaitu acara nanggap wayang untuk
mengucap terimakasih pada danyang penunggu desa, tapi setelah disadarkan oleh kyai Fatah dan
kyai Sidik maka acara-acara itu pun dihilangkan.
Kamituwo Gerot, aku berpikir.
Dan ada kamituwo ya adanya di kampung Degan,
“Sampean dari mana nyi? Dari kampung apa?…”
“Aku dari kampung Degan…” suaranya masih tetap terdengar dalam.
“Kok sampean klambrangan gak karu-karuan begini nyi? Boleh aku tau sebabnya?”
Perempuan ini menjerit melengking kemudian dia menangis hahahuhu…ah perempuan.. jadi hantu
masih juga cengeng.
Aneh begitu saja kisah perempuan di depanku ini, terpampang runtut seperti melihat filem layar
lebar, namanya juga alam gaib, jadi serba gaib, nyleneh dan tak masuk akal.
Perempuan ini bernama Sunti. Seorang ledek dari daerah Tambak Boyo, untuk mendapatkan
penglaris maka dia mencari orang yang mumpuni dalam memasang susuk pengasihan, ada orang
yang menyarankannya ke tempat kamituwo Gerot, maka pergilah Sunti ke tempat kamituwo, yang
umurnya lebih pantas jadi ayahnya, Sunti umur delapan belas tahun dan kamituwo umur empat
puluh lima tahun.
Saat itu kamituwo adalah duda, yang istrinya minta cerai, karena tak tahan dengan kesenangan
suaminya yang suka main perempuan.
Memang ilmu kejawen kamituwo terkenal ampuh, dari ilmu kekebalan, aji kesantikan, sirep,
gendam, pasang susuk pengasihan sampai aji pelet, sehingga jangankan perempuan yang masih
perawan, yang sudah punya suamipun bisa dibuat meninggalkan suaminya.
Melihat Sunti yang cantik, menik menik, tentu saja ki gerot langsung jatuh hati, maka ketika tau
gadis itu meminta susuk pengasihan, maka ki gerot pun memberikan susuk yang terbaik, tapi juga
memelet Sunti dengan ilmu pelet yang paling hebat.
(maaf, sebenarnya ini tak pantas diceritakan, tapi semoga menjadi pelajaran untuk tidak mendatangi
aneka macam dukun dan paranormal.)
Pelet yang dipakai ki gerot adalah kulit kemaluan wanita perawan yang meninggal di rebu wage,
Jika ada perempuan meninggal di saat itu maka ki gerot malamnya akan membongkar makamnya
dan menguliti kemaluannya mayat, setelah itu, kemaluan tadi dikeringkan, dan bila dibutuhkan akan
dicuil sedikit dan dicampurkan dalam minuman, dengan mantra-mantra.
Malang nasib Sunti, dia meminum teh yang telah dicampur ramuan pelet yang ganas itu, seketika
gadis itu mabuk kepayang pada ki gerot, dia seperti telah minum bergalon arak cinta.
Maka ketika ki gerot menuntunnya ke kamar dan mengajaknya berzina, Sunti tak kuasa
menolaknya.
Begitu juga ketika Sunti telah pulang ke rumahnya dan ki gerot melamarnya, maka Sunti pun ho-oh
aja.
Setelah menjadi istri ki gerot, Sunti masih menjadi penari ledek, karena didukung oleh susuk ki gerot
yang ampuh, Sunti pun menjadi ledek yang laris dengan bayaran tinggi, dan uangnya semua masuk
ke kantong ki gerot, membuatnya jadi orang terkaya di kampung Degan.
Tapi sesuatu yang dilakukan di luar sunatulloh atau aturan hidup yang diatur oleh Sang Pencipta,
maka adalah kerusakan.
Alloh Taala melarang sesuatu, bukan untuk kepentingannya, tapi untuk kehidupan tentram manusia,
sebab sesuatu dilarang itu karena bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Seperti memasang susuk, karena Alloh melarangnya, maka itu adalah perbuatan yang
membahayakan diri, dunia dan akhirat.
Disamping tidak bersyukur atas anugrah Alloh, juga terlalu tak menerima kodrat yang telah Alloh
berikan.
Satu ketika, seperti biasa, Sunti ditambah lagi susuk intan di dagunya oleh ki gerot.
Awalnya tak apa-apa, tapi selang tiga hari dagu Sunti membiru, dan Sunti kejang-kejang.
Ki gerot pontang-panting, membawa Sunti ke rumah sakit, tapi pihak rumah sakit tak tau
penyakitnya..
Sementara Sunti sudah berulang kali tak sadar, dan akhirnya Sunti meninggal dengan wajah lebam
membiru.
Hari itu juga Sunti dikuburkan, dengan sederhana.
Namun esoknya semua orang kampung Degan geger karena melihat makam Sunti kosong. Dan
mayatnya hilang tak tau kenapa.
Awalnya yang tau adalah penggembala kambing yang biasa menggembala di area pemakaman.
Ketika dia tau bahwa kubur Sunti dibongkar orang.
Sebenarnya apakah yang terjadi? Malam itu setelah siang tadi Sunti dikuburkan, kira-kira jam satu
dinihari, nampak pekuburan Sunti bergerak-gerak, asap tipis bau daging terbakar menyeruak, tiba-
tiba, “bleg..!” Terdengar ledakan seperti petasan dalam tanah, dan terlemparlah tubuh Sunti, seperti
gedebok pisang tapi langsung melayang pergi.
Sementara itu ketika jam menunjukkan jam tiga seperempat, seorang perempuan tua tergopoh-
gopoh, berjalan melintasi jalan raya dekat pemakaman, orang biasa memanggilnya Nyiyam,
seorang dukun beranak yang mendapat panggilan di desa Karanglor, dia harus melewati pekuburan
Degan, ada rasa merinding di tengkuk Nyiyam.
Perempuan umur enam puluh tahunan itu menguatkan hati, memang dia rasa malam ini terasa
sunyi, suara jengkrik aja tak ada, atau suara katak setidaknya untuk menghiburnya.
Hanya suaru burung hantu, kadang dari jauh terdengar satu, malam yang teramat mencekam, bulan
di atas pun yang tinggal seujung kuku seperti diselimuti warna hitam, walau tak ada mendung, kabut
tebal mulai turun, walau tak menahan jarak pandang, tapi bagi perempuan tua setangguh Nyiyam,
itu bukan apa-apa, walau sebagai manusia, rasa takut seperti menggelitik perasaannya.
Soal digoda hantu, perempuan tua ini pengalamannya sudah tak terhitung lagi, dari ditiup obornya
terus, dilempar ke kali, bahkan pernah ditemukan warga di tengah-tengah pohon bambu, sehingga
warga harus mengeluarkanmya dengan menebangi pohon bambu.
Keadaan teramat sunyi, hanya sandal jepit tipis, yang sebagian sudah berlubang karena gesekan,
terdengar srek-srek, seakan paling berisik sendiri, ah entah telah berapa tahun sandal ini menemani
tugasnya. Melintasi malam, mengukur keihlasannya menolong perempuan yang akan melahirkan,
yang kadang hanya diupah setandan pisang, atau cuma ucapan terimakasih saja.
Nyinyam mengetatkan selendangnya, ketika dia rasakan bulu kuduknya makin meremang, ah
makam juga sudah terlewati, dan di depan adalah pos kampling, apa yang ditakutkan, mungkin
masih ada yang jaga…, tapi kenapa seluruh bulu di tubuhnya berdiri semua, Nyiyam mempercepat
langkahnya, apalagi di pos kamling jarak sepuluh meter dia melihat bayangan orang dari mata
rabunnya. Bajunya putih dan sarungnya putih.
Nyiyam telah memutuskan, dia tak akan menyapa pada petugas ronda, dan kalau dia disapa akan
menjawab, dan kalau tak disapa maka akan berlalu saja, tapi kenapa dia merasakan makin
merinding saja.
Tepat di depan bayangan yang ada di pos,
“Mau kemana Nyi…?” suara perempuan, serrr…! Semua bulu kuduknya berdiri tegak semua,
kepalanya sampai terasa keribo, bukan suara perempuan yang membuatnya merinding, walau itu
juga iya, tapi yang lebih membuatnya merinding adalah suara itu seperti suara dari alam lain, bukan
alam ini, tapi alam kegelapan.
“ss….ssa…s..siapa., k..kau..?” Nyiyam merasakan lidahnya seperti selembar triplex yang
diemutnya, kaku tak bisa digerakkan untuk mengeluarkan ucapan.
Perempuan di depannya ini menunduk, rambutnya gimbal, dan masih ada tanah menempel.
Sebagian rambut menutupi wajahnya hingga tak terlihat.
“hii…hik…hihihh….” terdengar suara tertawa yang teramat aneh, yang membuat kaki Nyiyam
gemetar. Bahkan kencing pun merembes dari jaritnya ketika bau bangkai menyengat terbawa angin,
bau bangkai orang mati.
Walau bagaimana nenek tua ini masih berusaha tabah, untung ia ingat Alloh, setidaknya
mengurangi, ketakutannya.
“Kau ini siapa nduk? Kembalilah ke tempatmu nduk…?” kata Nyiyam yang mulai kuat menahan
batinnya.
“Aku Sunti nyai…, aku tak diterima nyai… tolooong aku nyai… huhuu…” suara perempuan itu
mengguguk.
“Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku ini orang bodo…” kata Nyiyam kemudian dalam hati membaca
ayat kursi berulang-ulang.
“Aduh nyai panas… panas… Aduuuuuh kau apakan aku nyai..?” perempuan itu menjerit dan
tubuhnya seketika melayang ke atas, dan melayang pergi sambil ketawa hahahihi.
Sejak malam itu, rumah ki Gerot pun diganggu dan diteror Sunti yang krambyangan, sampai karena
sudah tak kuat, dukun yang anti ngaji itupun mengundang orang-orang untuk mengaji di rumahnya,
sampai gangguan dari Sunti tiada lagi.
“Maukah kau ku sempurnakan?” tanyaku pada Sunti.
“Hihi…. bocah bau kencur… mau melawanku, hiiihii….!”
Aku tanpa kata lagi jariku kuputar, seakan melingkarinya lalu kutulis bak di tengah, seketika.
“Hai apa yang kau lakukan padaku?” tanyanya, karena tubuhnya terkurung.
Lalu kubaca basmalah tiga kali, tahan nafas, kullu saiin halikun illa wajhah. AllahuAllahu. Allahu
akbar!!, tangan yang telah tersaluri tenaga dari pusarku ku hantamkan berbareng, dengan tapak
tangan terbuka ke arah Sunti, dan “hlukgh!!”, terdengar ledakan kecil, dan sebuah asap mengepul,
bersatu tersedok ke satu titik lalu lenyap.
Mungkin sudah jam tiga pagi, aku segera melesat, di atas desaku, melesat kucepatkan, aku ingin
mencoba paling cepat les.. Kurasakan aku telah ada dalam tubuhku sendiri. Dan kulihat jam
tanganku, jam tiga seperempat.
Aku menata bantal dan tidur, ah pengalaman rogo sukmo pertamaku. Lumayan mengesankan.

Sang Kyai 
EPISODE: 38. MEROGO SUKMO
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu setelah isyak aku disuruh kyai latihan ilmu rogo sukmo dalam kamar.
Pintu kamar ku kunci, deg-degan juga aku, karena aku belum tau akan bagaimana nantinya. Ku
duduk membaca Alfatehah tiga kali, Annas tiga kali, Alfalaq tiga kali, ayat kursi tiga kali, lalu
kutiupkan tangan dan ku usapkan ke seluruh tubuh.
Kemudian aku tiduran, memejamkan mata dan membaca doa yang tadi siang diajarkan kyai, tak
lupa membaca basmalah tiga kali tanpa napas.
Leess!! Aku seperti begitu saja tertidur, tau-tau aku telah di atas tubuhku sendiri. Melayang di udara,
sementara jasad kasarku tergeletak dalam kamar.
Aku segera keluar kamar menembus dinding, bersalto di udara, terbang kesana kemari, hinggap di
pucuk pohon kelapa, lalu terbang lagi, sungguh terasa bebas dan nyaman, aku menghampiri majlis
dzikir, masih melayang-layang, kulihat semua santri selain diriku tengah konsentrasi dengan wirid
masing-masing, sementara kulihat kyai juga tengah duduk memangku bantal tidur, dan tangan
kanannya tak henti memutar tasbih, kyai menatapku dan tersenyum, lalu mengangguk.
Itu sudah cukup sebagai isyarat bagiku, akupun melesat pergi, membumbung tinggi ke angkasa
yang gelap, dan hanya diterangi oleh beberapa bintang yang nampak.
Sebenarnya tujuanku adalah desaku sendiri di kawasan kabupaten Tuban, karena aku selama ini
teramat heran, dengan sebuah sekolah madrasah, yang angker sekali, aku ingin menyelidiki ada
apa sebenarnya di sekolah itu.
Madrasah itu awalnya di sebelah rumahku, tapi karena di sebelah rumahku terkena rencana
perluasan masjid, maka madrasah itu dipindah ke lahan kosong, untuk membangun madrasah itu
tentulah dibutuhkan tanah urukan untuk menyamaratakan tanah, dan tanah untuk batur itu diambil
dari tanah sekitar, maka terciptalah parit, hampir mengitari madrasah, kalau kemarau parit itu sama
sekali tak ada airnya, sampai tanah dasar parit retak-retak, tapi kalau musim hujan datang, parit itu
penuh air, dan anehnya, akan banyak ikan muncul di parit itu, dari ikan sepat, mujaer, lele, bandeng,
dan ikan-ikan yang lain, anehnya kalau ikan itu diambil dan dimakan, maka orang yang memakan
akan keracunan.
Madrasah itu jauh dari rumah penduduk, rumah paling dekat adalah tujuh puluh meteran, sehingga
madrasah tak diberi penerangan listrik mengingat kalau malam madrasah tak digunakan kegiatan
apa-apa, tapi memang ada lampu bohlam dan dulu sudah terlanjur dipasang, tapi belum sempat
diberi saluran kabel listrik, tapi sungguh aneh walau tanpa saluran kabel, kalau malam lampu di
madrasah itu sering menyala sendiri.
Keluarga yang tinggal paling dekat dengan madrasah itu adalah keluarga pak Makrum, yaitu istrinya
bu Rah, anak perempuannya usia sebelas tahun, dan kedua anak laki-laki, yang satu berusia
sembilan tahun, yang satu berusia dua tahun, keluarga pak Makrum adalah pindahan dari desa lain.
Tapi tak sampai setahun tinggal di situ, semua keluarganya meninggal satu persatu, dari si balita
meninggal, disusul kakaknya, kakaknya lagi, kemudian istri pak Makrum, dan terakhir pak Makrum
sendiri meninggal selang satu bulan, anehnya tanpa didahului sakit sama sekali. Yang selamat
adalah anak pak Makrum yang telah menikah dan dibawa hidup di daerah suaminya.
Sekitar lima puluh meter di depan madrasah ada sebuah sumur pompa, dibuat oleh santri, dan saat
kemarau panjang, di sumur pompa ini tak perduli siang maupun malam sumur ini selalu didatangi
orang untuk mengambil air, mengingat sumur lain kering, tapi sumur di depan madrasah ini tak
pernah kering.
Dan pasti di musim kemarau, akan ada cerita-cerita aneh, dari orang yang tunggang langgang saat
mengambil air di malam hari, lalu melihat hantu, macem-macem ceritanya, ada yang melihat orang
yang tinggi tiga meter, ada yang melihat pocong, ada yang melihat orang menggantung di pohon.
Sukmaku melesat cepat, angin menggemuruh di telingaku, dan kibasan angin sampai melepas
ikatan rambutku, sampai rambutku berkibaran. Kulihat ke bawah, kerlip lampu beraneka warna, dan
gedung-gedung menjulang, pasti ini Jakarta, pikirku, karena kulihat dari angkasa, di sana-sini,
lampu-lampu mobil berkelak-kelok, berderet-deret seperti sisik naga raksasa.
Baru beberapa menit terbang aku telah sampai di Jakarta. Ku membumbung tinggi, kadang menukik
ke bawah. Ah betapa enaknya terbang, aku jadi ketagihan, kulihat dari atas kerata api berjalan, aku
menukik turun, dan terbang di samping kereta api, kulihat penumpang di dalamnya, lalu aku terbang
di atas kereta dan hinggap di atasnya. Tapi segera terbang lagi, mendahului kereta api, dan lebih
cepat sehingga rumah, pohon, jalan, desa, berkelebat cepat, hanya nampak bayangan
berkeledepan.
Sekejap saja aku telah sampai di sekolah madrasah yang ku tuju. Sebentar aku berdiri di udara
depan madrasah.
Perlahan aku masuk, keadaan sangat sepi. Aku kitari ruangan demi ruangan.
Ini mungkin jam sepuluh atau jam sebelas, karena aku tak bawa jam, jadi kurang tau waktu.
Kulihat dua orang pemuda, kira-kira umur tiga puluhan, dua pemuda ini wajahnya kembar, kalau
kulihat rasanya bukan dari golongan jin, tapi dari golongan arwah penasaran, wajahnya cukup
ganteng cuma pucat seputih kapas, di kedua lingkar mata mereka ada lingkar hitam.
Aku turun ke tanah, dan berjalan menghampiri mereka berdua.
“Siapa kalian??” tanyaku
“Hei kau bisa melihat kami?” jawab mereka hampir serempak.
“Kenapa tak bisa?”
“Berarti kau juga arwah penasaran seperti kami…?” tanya mereka balik.
Dan prasangkaku tak salah. Bahwa mereka arwah penasaran.
“Oo jadi kalian yang selama ini membuat isu hantu, menakut-nakuti warga sini..?”
“Kami hanya butuh tempat, dan tak mau diganggu, jadi kami takut-takuti warga…”
“Apakah kalian juga yang menewaskan seluruh keluarga pak Makrum?” tanyaku.
“Ah, apalah artinya hidup buat mereka… malah susah aja, miskin, dan kalau mati setidaknya
membantu kami, agar orang takut tinggal di daerah ini..” kata salah satu arwah itu.
“Kalian keji sekali, melihat kalian jadi arwah penasaran, tentu kalian hidup selalu berbuat jahat, tapi
setelah matipun masih melakukan kejahatan…”
Aku jadi ingat kejadian waktu aku kecil teman sekolahku meninggal dengan mata mendelik dan lidah
terjulur keluar ketika pulang dari sekolah.
“Apakah kalian juga yang membunuh Muflida, gadis kecil yang berumur sepuluh tahun?” tanyaku
penasaran.
“Heh gadis itu, aku yang mencekiknya…, karena dia melihatku…” kata salah satu arwah, dengan
senyum mengejek.
“Apakah kalian juga yang membuat anak bernama Saeri, yang tulang kering kakinya patah, dan
sekarang jadi anak pincang?”
“Aku yang memukul kakinya dengan kayu… hahaha..” kata arwah satunya.
“Sekarang juga kalian harus hengkang dari sini, minggat sejauh-jauhnya ….!”
“E,e,e kau ini siapa? Berani melarang kami tinggal di sini, kami di sini sebelum kau lahir,”
“Baiklah aku akan memaksa kalian,” kataku melompat menerjang.
Aku ingat kata kyai kalau di alam gaib supaya membayangkan yang kita inginkan, maka aku
membayangkan tanganku membara, mengelurkan panas yang berlipat-lipat, lalu dengan tangan itu
aku memukul mereka, mereka berdua kaget dan meloncat mundur, tapi tubuhku yang enteng bisa
melayang segera memburu, dan satu pukulan mengenai salah satu dada arwah itu… Dia menjerit
diseret kawannya mundur, karena dadanya telah berlubang, segenggaman tangan, dan
mengeluarkan bau sangit terbakar.
Asap tipis mengepul dari luka yang terbakar itu, dan arwah itu mengaduh-aduh, sementara
temannya segera memanggulnya.
“Tunggu besok di sini kalau berani, guru kami akan menghajarmu…” katanya sambil melesat pergi ,
melompati jendela madrasah yang tinggi.
Aku tak mengejar, aku juga melesat pergi, pulang ke rumahku dan mau melihat jam dinding, ah
ternyata baru jam dua belas kurang seperempat.
Aku keluar lagi melayang ke atas masjid, turun di ujung mustaka, berdiri melihat sekitar, depan
masjid adalah jalan raya, dan tempat angker lagi adalah dekat jembatan, dimana waktu
pembangunannya dulu, mengakibatkan banyak korban, entah korban jatuh dari menara bok, atau
tertumbuk palu paku bumi.
Aku melesat ke arah jembatan yang berjarak dua ratus meter dari masjid, dan hanya tiga detik aku
telah berdiri di atas jembatan, suasana sepi, tapi pandangan mataku menangkap sosok baju putih
melayang malah di jauh sekali di pertigaan jurusan makam, tanpa pikir panjang aku melesat
mengejar sampai di pertigaan aku turun dan clingak-clinguk, aku ingat di pertigaan ini sering terjadi
kecelakaan, ada anak taman kanak-kanak yang dihantam mobil dan seketika meninggal di tempat.
Juga ada seorang petani yang mau pergi kesawah ditabrak mobil dan terseret lima meter, walau tak
sampai mati.
Keadaan masih sunyi, aku tak melihat bayangan putih tadi, kulihat gerobak tukang bakso yang
memang biasa mangkal, orang-orang memanggilnya Wakman, kulihat dia masih duduk di plester
regol, sambil menghisap rokoknya, tiba-tiba ia membuang puntung rokoknya dan menginjaknya
dengan sendalnya, lalu beranjak ke gerobak baksonya.
“Iiih mrinding… ada apa ini..?” keluhnya.

Sang Kyai 
EPISODE: 26. PENGGEMAR
Sekarang aku telah berada dalam bus yang melaju tak terlalu cepat, karena hujan mengguyur deras
di setiap perjalanan. Penumpang dalam bus tak terlalu banyak mungkin sekitar dua belasan orang,
karena bus ini nantinya mengambil penumpang di agen-agen penjualan tiket di setiap perjalanan,
aku duduk di tengah sebelah kiri bus. Dan daripada melamun, aku selalu membaca wirid di setiap
perjalananku. Bus melaju kadang oleng kanan kiri, ketika rodanya masuk ke jalan yang berlubang
dan penuh genangan air hujan, sehingga air di kubangan muncrat menyiram para pejalan kaki atau
pengendara motor, pasti terdengar jiancok!, atau jiamput!, sumpahan khas, ah mengapa tak
subhanallah. Entahlah…
Di daerah Lasem bus berhenti di agen penjualan tiket, para penjual makanan segera masuk
menyerbu, takut pembelinya kedahuluan penjual lain, kulihat pembeli tua melangkah pelan,
menawarkan dagangan, ku lihat makanan kesukaanku, yaitu jagung muda yang diparut kemudian
diuleg dengan bumbu dikasih telur lalu digoreng, dimakan dengan cabe, huh enak sekali, di
daerahku makanan itu namanya pelas.
“Berapa nek?”
“Tiga ribu nak.” ku keluarkan uang tiga ribuan, nenek itu menerimanya dengan jari gemetar.
“Nenek sakit?” tanyaku. Perempuan itu mengangguk. Ku keluarkan uang dua ratusan ribu, lalu ku
jejalkan di telapak tangannya, mungkin uangku ini lebih berguna di tangan nenek ini daripada di
tanganku, ini adalah uang gajiku melukis di rumah makan. Lumayanlah dua minggu aku mendapat
tiga jutaan. Nenek itu terkejut.
Tapi aku segera berkata, ”Sudahlah nek, tak usah terima kasih, sekarang nenek tak usah kerja,
nenek pulang, dan uang itu untuk membeli obat, sana nenek turun, terus pulang.” nenek itu menuruti
kata-kataku kemudian dia turun, sampai di bawah kulihat dia melihat uang yang kuberikan. Lalu
menatapku dari bawah dan air matanya berkaca-kaca. Kulihat dia mengangkat kedua tangannya
berdoa. Sementara aku mulai menikmati apa yang kubeli.
Beberapa penumpang naik, dan juga dua penumpang pasangan setengah tua, ku perkirakan
umurnya lima puluh tahunan, setelah mencari-cari nomer kursi ternyata yang lelaki duduknya di
sebelahku, sementara yang perempuan di kursi dua kursi deretan sebelah kanan arah depan
kursiku.
Bus pun melaju, jam butut di tanganku telah menunjukkan pukul setengah lima sore.
Tiba-tiba perempuan istri lelaki di sampingku, bangkit dari kursi dan berjalan ketempat aku duduk.
“Nak, bisa enggak kita gantian tempat duduk, biar saya duduk di sebelah suami saya, dan anak
duduk di kursi saya.”
“Oh nggak papa bu, silahkan… silahkan.” kataku segera memberesi tas dan barangku. Untuk
pindah tempat duduk.
Aku segera pindah tempat duduk yang ditempati perempuan tua itu. Oh rupanya disitu ada
penumpangnya, seorang gadis berjilbab, cantik? Entah aku belum melihat wajahnya, aku mengucap
permisi lalu duduk, menempatkan tasku, di tempat yang aman.
Nah, saat mengucap permisi itulah gadis itu menengokku dan mempersilahkanku, kulihat wajahnya
terkejut melihatku, tapi aku duduk saja.
Terus terang aku orangnya tertutup, walau ada gadis di sampingku cantiknya sundul langit, aku tak
akan bertanya, juga tak akan mengganggu. Kecuali ditanya. Walau dalam hati dag-dig-dug, tak
karuan, yah namanya tetap juga manusia, ketertarikan lelaki pada wanita, wajar saja, tapi aku bukan
tipe lelaki yang petentang-petenteng membawa pedang asmara, lalu kalau ketemu gadis ayu,
menusukkan pedang ke dadanya, dan memberikan serangan rayuan yang berbunga-bunga, ah aku
hanya pemuda dingin, kadang aku sendiri merasa kedinginan, tapi mungkin karena rambutku
panjang anting ada di telinga, jadi orang lebih mengira aku ini anak nakal. Untuk beberapa saat kami
terdiam, sampai gadis itu bertanya padaku.
“Mau ke mana mas?” pertanyaan yang wajar, tak wajar kalau dia bertanya mau makan apa mas?
Sebab ini dalam bus bukan dalam warung.
“Mau ke Jakarta.” jawabku juga wajar, kalau ku jawab ke Surabaya, tentu aku makin jauh, sebab bis
ini menuju ke barat. Kulihat gadis itu, ah pasti waktu mau bertanya padaku tadi dia berusaha mati-
matian membasahi bibirnya. Sebab kulihat bibirnya basah sekali, seperti dikasih madu. Rasanya
pasti…. ah setan, menggoda saja.
“Mbak sendiri mau kemana?” tanyaku sambil melihat hidung mungilnya yang seperti cabe merah
besar.
“Sama mau ke Jakarta…”
“Oo, kalau begitu bisa sama-sama dong….!” kataku, ah kenapa dialognya tak bermutu begini, tapi
diteruskan juga.
“Boleh kenalan mas? Nama saya Rosalia…” cewek itu mengulurkan jemarinya yang lentik halus. Oh
Tuhan maafkan aku, sebenarnya aku tak boleh menyentuh tangannya, tapi kalau aku tak
menyentuhnya, aku rugi nantinya.
“Iyan.., Febrian.”
“Ah, tak salah dugaanku, pasti mas… orangnya, bener-bener tak nyangka.” tiba-tiba gadis ini girang
bukan main, dan tanganku, ditariknya ditempel ke pipinya yang putih kemerahan, aku buru-buru
menarik tanganku, takutnya digigit.
“Ah, mbak pasti salah orang.” kataku takut, jangan-jangan maniak sex, wah kalau diperkosa, aku
bisa tak perjaka lagi.
“Tak mungkin salah, aku begitu lama menyanjungmu, begitu merindumu, memujamu, tak akan
pernah salah mengenali dirimu…” dia mengatakan bersemangat sampai air liurnya muncrat
kemana-mana, apa mungkin dia ngiler ya ngelihat aku?
“Dulu aku berpikir apakah engkau itu benar-benar nyata? Ternyata engkau benar-benar nyata.”
tangannya yang halus membelai pundakku. Ah sial aku jadi merinding, mengapa jadi serumit ini.
“Bener mbak ini salah orang, nanti mbak menyesal..!”
“Bagaimana aku akan salah orang, fotomu aja selalu ku bawa.” katanya sambil membuka tasnya
dan mengeluarkan sebuah majalah, dan kliping tulisan dan fotoku.
Aduh… aduh… rupanya ini penggemarku, yang begitu memujaku, memang dulu aku aktif menulis di
berbagai majalah. Tapi itu sudah lama aku fakum, kenapa penggemarnya masih ada? Kulihat foto
yang ditunjukkanku, dari pertama aku menulis di majalah Jawa penyebar semangat, sampai majalah
Anita, dan majalah Alkisah. Ah benar-benar deh aku tak nyangka akan ada yang mengidolakan aku.
“Benar kan ini mas Ian…?” tanyanya, matanya yang seperti artis Jeklin itu menyelidik. Dan aku
mengangguk. Aku tak kuasa ketika lenganku tiba-tiba direngkuh dalam pelukannya.
“Mas, aku telah …”

Sang Kyai 
EPISODE: 40. JURUS MENGGODA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Setelah sholat subuh, aku membuat sketsa lukisan dinding, sambil menyelesaikan wirid. Dingin
masih menusuk tulang, teman-temanku habis wirid subuh semua kembali ke dalam selimut sarung,
kamarku terasa dingin apalagi ketika angin masuk dari sela-sela papan kayu dinding kamar, yang
pemasangannya asal-asalan.
“Mas…! Gak nyarap?” suara Khanafi santri dari Cilacap, berdiri di pintu kamar.
“La kamu gak puasa to Fi?” tanyaku balik.
“Wah mutung kang,”
“Halah Fi… Fi… La gimana to, apa kamu mau terus di pondok nyampai tua? Masuk aja Fi, gak
dikunci kok…” kataku sambil terus membuat sketsa gambar.
“Lagi bikin apa mas?” tanya Khanafi setelah masuk ke dalam kamar geladakku, yaitu kamar yang
beralaskan papan kayu.
“Ah, ini Fi lagi bikin sket, buat lukisan di aula belakang, duduk, tunggu bentar, entar nyari sarapan
bareng.” kataku.
Hari makin beranjak siang, dingin pun kian hilang, meninggalkan titik embun di rerumputan, suara
burung ramai bercicit, menyambut matahari yang telah mulai menyembul dari puncak gunung Putri.
Seakan dunia ini betapa damainya, tak ada problem, tak ada dendam iri dengki, tak ada
pembunuhan, kematian hanya terjadi karena kewajaran, seperti daun yang berguguran, seperti
matahari yang terbit kemudian tenggelam. Angin pun mengalir dengan kasih sayang, alam dan
manusia seperti keselarasan yang saling melengkapi, tak ada kejahatan manusia, atau jin, tapi
dunia di luar tak sesempit harapan setiap orang. Aku pun selesai membuat sketsa, ketika jam
tangan butut telah menunjukkan jam 7 pagi.
“Ayolah Fi, kalau mau nyari sarapan…” kataku setelah selesai memberesi buku. Dan kami pun
beranjak untuk pergi ke tempat nyari makan di warung bu Enur, biasa makan nasi uduk, tak mahal
cuma 1500 sudah bisa mengganjal perut, plus teh pahit gratis.
Sebenarnya di warung bu Enur, sudah jadi rahasia umum, bahwa setiap pemuda yang datang
bukan hanya yang dituju makannya tapi anak gadis bu Enur yang cantik, manis dan centil, itu juga
tak ketinggalan si Khanafi, dan aku ujung-ujungnya juga ikut ngelirik. Ah memang syaitan paling
gampang menularkan penyakit menular, yang paling mudah yaitu nafsu. Melewati got-got aliran
darah, dan menghangatkan hati yang kasmaran dengan bisikan-bisikan menghanyutkan. Dan
membumbui sesuatu yang sepele jadi besar, bahkan jadi gunung yang siap meletus. Karena
jaraknya cuma seratus meteran dari pondok, maka kami berdua pun cepat sampai, tapi rupanya
teman-temanku yang ku kira mendengkur di bawah selimut ternyata sudah pada nongkrong di
warung, sembari menggoda Afifah, anak gadis bu Enur yang tak bosan-bosannya melempar
senyum termanis.
“Oalah, kalian sudah pada di sini to?” tanyaku dijawab dengan cengengas-cengenges si Kolil, Udin,
Tarsan, Majid, dan yang lain. Mereka tak segera beranjak padahal semua nasi di piring sudah tak
ada sebijipun. Heran!
“Ah mbok ya gantian to!” kataku agak jengkel, karena kursi penuh sudah tak ada tempat duduk.
Teman-temanku pun segera beranjak, “Udah deh mas, dienak-enakin aja, ku tinggal dulu.” kata
Udin mewakili yang lain. Aku dan Khanafi segera memesan nasi uduk, yang segera dibawa keluar
oleh Afifah, biasa Khanafi pun mengeluarkan jurus menggoda,
“Aduh ini nasinya apa orangnya ya, yang baunya harum?”
“Ih mas Khanafi bisa aja…” jawab Afifah dengan nada kenes.
“Mas Ian, tolong dilukis Afif dong…” katanya manja sambil duduk di sebelahku.
“Kamu minta dilukis?”
“Heeh…”
“Emang kuat kamu musti duduk seharian?”
“Jangankan seharian, bertahun-tahun duduk di depan mas Ian pun aku kuat.” jawabnya makin
kenes dan manja, wah bisa membuatku tak bisa tidur. Sementara Khanafi makin mbesengut melihat
Afifah dekat di sampingku. Afifah memang cantik, wajahnya mirip Bunga Citra Lestari, malah
mungkin lebih cantik, kecantikan yang alami tanpa polesan, sebenarnya beberapa hari yang lalu,
ketika aku belanja sendiri ke warung bu Enur dan Afifah yang melayaniku membeli menanyaiku,
“Mas Ian ini dari Jawa Timur ya?” kata bu Enur.
“Iya bu…” jawabku singkat.
“Belum punya istri kan mas?” tanya ibu Enur lagi.
“Apa bu?” kataku pura-pura tak mendengar.
“Enggak, kalau mas Ian belum punya istri, nyari aja di sini…” wah gelagatnya makin tak baik.
“Afifah ini anak ibu juga sudah besar dan sudah pantas bersuami,” kata ibu Enur tanpa basa-basi.
“Wah saya ini sudah punya istri tiga bu…” kataku berbohong,
“Ah tak mungkin itu, masak masih muda, sudah punya istri tiga,” kata bu Enur sambil tertawa.
“La mau bilang apa bu, kenyataannya memang begitu, kalau saya punya istri 3 lalu bilang masih
perjaka, la nanti kalau ketahuan kan berabe. Mending jujur aja,” kataku meyakinkan.
“Wah kalau tiga tentu masih bisa tambah satu, maukan Fa jadi istri yang ke empat?” kata bu Nur
ditujukan pada Afifah yang sedang ngupas bawang merah, dan Afifah manggut. Edan, aku jadi
melongo, salah tingkah, ibu sama anak kompak banget ngerjain orang.
“Gimana mas Ian? Afifah sudah mau itu,”
“Wah harus ngasih makan empat orang bu, tiga orang aja mumet, apa kuat ya, kalau ditambah
satu?” kataku seakan-akan perkawinan itu akan benar-benar terjadi.
“Mas, Ifah ini makannya sama tempe aja sudah mau, tak perlu yang mewah.” kata bu Enur, seakan
memojokkanku.
“Sudah jangan terlalu dipikir, dijalani aja.” katanya.
Sementara itu Afifah yang masuk ke dalam, tiba-tiba menjerit, “Aduh tanganku terbakar…!” bu Nur
pun lari ke dalam. Dan keluar lagi dengan Afifah sambil ngomel-ngomel.
“Kenapa tak hati-hati, sudah tau panci panas, malah dipegang.”
“Dikasih pasta gigi aja Fa, biar adem. Dan tak melembung.” kataku menyarankan. Afifah pun ke
dalam dan keluar lagi sambil membawa pasta gigi yang disodorkan padaku.
“Oleskan…!” katanya manja, kulihat jarinya memang melepuh, dia mengulurkan jemarinya ke
arahku dan aku pun mengoleskan pasta gigi perlahan. Mata bening Afifah menatapku, yang sedang
tekun mengoleskan pasta gigi, lama ditatap aku jadi jengah.
“Mas, sayang aku enggak.?” tanyanya bergetar.
“Ya jelas aku sayang kamu, aku sayang semua manusia, walau kafir sekalipun, walau jahat
sekalipun, kalau kafir, ya upayakan jadi muslim, kalau jahat ya upayakan untuk sadar, bukankah itu
yang diperjuangkan Nabi, kalau tak bisa ya didoakan, bukankah Alloh menciptakan manusia atau
hewan pasti ada maksud dan tujuannya. Kalau orang jahat dan kafir, itulah ladang amal yang harus
digarap.” kataku panjang lebar.
“Alloh menjadikan ada yang muslim, ada yang kafir, ada kaya ada miskin, dan sebagainya, Alloh
mampu menjadikan manusia muslim semua, tapi kenapa dia juga menjadikan garis manusia kafir.
Alloh juga menjadikan kambing, tapi juga menjadikan srigala, kalajengking, macan.” kataku lagi.
“Wah mas maksudku bukan itu….” sela Afifah,
“Terus apa?” tatapku heran.
“Maksudku sayang antara lelaki dan perempuan?” kata Afifah menunduk.
“Kalau kamu gimana?” tanyaku balik, menutupi kebingunganku menjawab.
“Aku,” katanya sambil menunjuk hidung mancungnya yang mungil,

Sang Kyai 
EPISODE: 41. JURUS MENGGODA II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Ah masak tak ngerti selama ini sikapku terhadapmu.” aku menerawang, memang Afifah selama ini
sikapnya terhadapku teramat beda, cuma aku aja yang membutakan mata, tiap aku belanja di
tokonya selalu dikasih apa-apa yang tak ku beli. Kadang dia sempat-sempatkan datang ke
pondokku untuk memberi cemilan atau makanan. Ku pandang wajah Afifah, mata nan jeli, dan
bening, bulu mata lentik, alis melengkung dan tertata rapi, seperti ditanam satu-satu, hidung
mancung nan mungil, pipi putih seperti susu yang ditetesi setetes perasa strawberi, bibir yang tipis
dan terbentuk seperti mudah pecah memerah tanpa gincu. Di atas bibir bulu kumis halus tumbuh
seakan seperti polesan madu pada ujung es krim, dagu lancip tercetak penuh kehati-hatian,
menunjukkan kekerasan hati.
“Gimana mas? Sayang enggak sama aku?”
“Siapa sih lelaki yang melihat bunga mekar sepertimu yang tak merasa sayang? Termasuk aku, aku
lelaki normal,” kataku satu-satu.
“Makasih mas….” Afifah memotong ucapanku dan lari ke dalam rumah, dan sampai di pintu berhenti
dan mengerling padaku, ah ancur-ancur kalau kayak gini…. bisa yang enggak-enggak, desah
batinku, dan ku ambil belanjaan lalu pergi ke pesantren.
“Mas Ian, aku bener dilukis ya…!” suara manja Afifah memecah lamunanku. Ah kenapa perempuan
lagi-perempuan lagi, yang akan memecah konsentrasi wiridku.
“Iya deh, kapan-kapan aku lukis,” jawabku daripada urusan jadi panjang dan bertele-tele.
“Berapa lama sih untuk nyelesaikan lukisannya?” tanya Afifah lagi.
“Ya tergantung media, dan cara nglukisnya, kalau pake pencil ya seperempat jam pun jadi, ya kalau
pake air brush ya setengah jam jadi, kalau pake kuas, ya sehari jadi. Kamu maunya pake apa?”
jelasku lengkap, kyak mau jual beli.
“Trus kalau air brush, itu nglukis apaan mas?” tanya Afifah serius.
“Ya kalau air brush, itu nglukis pakai pena brush, pake tekanan angin compresor, sebenarnya
biasanya dipake nglukis di motor atau mobil, pernah lihat kan bus yang dilukisin kuda lagi lari?”
Afifah manggut.
“Nah itu nglukisnya pake air brush,” kataku sambil ngelihat Afifah yang melongo.
“Wah berarti wajahku mau dilukis di mobil ya mas?” tanya Afifah.
“Ya enggak lah, di media apa aja kan bisa, maunya kamu di mana, apa di viber?”
“Wah itu apa lagi mas, kok kyak nama susu?”
“Viber ya plastik akrilik, aduh susah deh njelasinnya….” kataku agak jengkel.
“Ya udah deh terserah mas Ian aja dech.” katanya menatapku jidatnya mengkerut.
“Wah aku malah tak kebagian…” celetuk Khanafi. Yang sejak tadi diam aja mengunyah nasi uduk.
“Ini nanti kesiangan, ayo balik dulu…” kataku seperti diingatkan. Kulihat jam tangan sudah
menunjukkan jam sembilan lebih. Kami pun pergi meninggalkan warung, seperti biasa aku dibekali,
kali ini krupuk jengkol sekresek. Lumayan buat cemilan.
Sampai di pondok aku segera mengajak Khanafi membuat adukan semen dicampur alkasit untuk
memperlambat pengeringan semen, guna membuat ukiran kaligrafi semen. Hari berlalu begitu
cepat, kebetulan malam nanti jum’at kliwon, tiap jumat kliwon di pesantren diadakan acara jamiyah
khataman torekoh qodiriyah wanaksabandiayah, sejak sore, tamu yang akan mengikuti khataman
sudah pada datang, selepas magrib mobil-mobil telah mulai memenuhi tempat parkir. Para santri
sibuk menata dan mengarahkan parkir mobil agar mudah kalau mau masuk arena parkir, sementara
santri yang lain menerima tamu, mengumpulkannya di majlis, majlis dzikir yang terbuat dari bambu.
Berdinding kerai, dan beralaskan bambu yang dipecahkan dan dibentang, yah orang-orang yang
datang dengan mobil mewah, dan yang datang dengan angkot, duduk bersama tanpa membedakan
jabatan, atasan dan bawahan. Semua datang dengan niat masing-masing. Banyak yang membawa
air botol aqua, juga berbagai macam senjata tajam semua ditumpuk di tengah-tengah majlis dzikir.
Kyai tak pernah menolak bagaimanapun orang yang datang, bahkan ada juga orang beragama
Hindu dan Budha atau Kristen yang datang, walau ujung-ujungnya juga masuk Islam, tapi Kyai tak
pernah memusuhi mereka, semua patut diajak ke jalan kebenaran dengan kehalusan budi, dengan
kasih sayang, belum tentu yang sekarang jahat, yang sekarang kafir, nantinya malah meninggal
dalam Islam. Dan sekarang yang Islam juga tak sulit bisa saja nanti mati dalam kekafiran.
Jam masih menunjukkan jam 9 malam, tamu sudah berjubel sampai jalan, padahal biasanya wirid
dan dzikir dimulai pukul 11 malam. Aku masih di dalam kamarku, di depan kamar telah penuh orang,
kunyalakan sebatang Djarum Super, dan kunikmati secangkir kopi Kapal Api Duo Susu, saat seperti
ini apa-apa berlimpah, para tamu banyak yang membawa rokok berpak-pak, juga kopi dan
makanan, kami anak pesantren yang jarang makan enak tentu seperti ketiban rizki, walau itu tetap
kami anggap biasa. Kamarku dipakai nongkrong teman-temanku, sampai penuh sambil menunggu
saat wirid dimulai, dan semuanya ngerokok, sampai asap memenuhi ruangan, kalau sudah begini
pakaianku yang kugantung di gantungan baju, yang nantinya baunya kayak baju dukun lepus.
Nampak pak Made kepalanya nongol di pintu, pak Made adalah wartawan RCTI.
“Halah penuh.” katanya pendek.
“Iya pak, penuh asap,” kataku. ”Masuk pak?”
“Enggak lah aku di depan sini aja.”
Aku ingat waktu pak Made pertama ke pesantren rombongan empat orang, pak Made asalnya
beragama Hindu. Saat itu setelah menghadap Kyai. Semua orang dikupas satu-satu, semua
melongo karena Kyai tau mereka habis berzina dengan wanita panggilan di salah satu hotel. Semua
wajah menunduk seperti dihadapkan pada pengadilan Tuhan.
“Aku saja tahu dengan apa yang kalian lakukan apalagi Alloh, apa kalian berani menghadapi
adzabNya?” kata Kyai walau masih dengan nada lembut. Besoknya pak Made disuruh
membersIhkan diri di laut pantai Carita, dan setelah pulang dari pantai, maka pak Made dituntun
membaca dua kalimat syahadah untuk masuk Islam, sejak itu pak Made aktif mengikuti jamaah
torekoh kodiriyyah wankhsabandiyyah, aktif mengikuti jamiyah setiap bulan melakukan khataman.
Jam telah menunjukkan pukul 11 malam, dan dzikir berjamaah pun dimulai dipimpin langsung oleh
Kyai. Para santri termasuk aku duduk di sekitar Kyai, dan para jamaah memenuhi majlis. Keadaan
teramat kyusuk. Semua mengalir pelan, namun penuh ketenangan, sampai jam 3 dini hari dzikir pun
selesai, kami makan bersama dengan nasi yang dibawa dari rumah makan NIKKI dari Subang, dan
orang yang ingin menyampaikan keluhan menghadap Kyai, antri satu-satu.
Masih ada waktu sebelum subuh datang, aku pun pergi ke kamar, menyelonjorkan tubuh dan
melafatkan ilmu melepas sukma. Sukmaku pun melesat, melintasi ruang dan waktu, ke arah sekolah
angker di desaku, mungkin cuma lima menitan aku telah sampai, keadaan sepi, aku segera masuk
ke dalam, tiba-tiba ku dengar suara,
“Nah ini orangnya sudah datang,” suara itu dari 2 arwah yang kemaren berantem denganku.
Tapi dari pintu melompat dua bayangan tinggi besar menghadangku,
“Lho kok sampean kang?” kata bayangan satu ke bayangan yang lain. Seorang berkumis tebal
melintang dengan pakaian ala Madura.
“Aku dipanggil muridku untuk menghadapi pengganggu ketenangan tempatnya,” kata bayangan
satunya berpakaian besar ala warok Ponorogo.
“La sampean dulu meninggalnya kenapa kang?” tanya orang yang berpakaian warok.
“Aku menemukan lawan yang tangguh di, dan dia melukai punggungku sampai sobek melintang,
yang mengakibatkan kematianku.” jawab orang yang berpakaian adat ala Madura sambil
menunjukkan luka menganga tanpa darah di punggungnya.
“La kamu matinya bagaimana di..? Bukannya kamu punya ilmu kebal senjata?” tanya orang yang
berpakaian warok,
“Ah, kang, ilmu kebalku ternyata ada yang mampu menembusnya, lihat ini perutku…” orang yang
berpakaian ala Madura itu menyingkap pakaian penutup perutnya dan luka menganga menyobek
perutnya sehingga ususnya terburai.
“Ya udah lah kang, sekarang kita membereskan orang yang mengganggu murid kita.”
“Duar….!” suara letupan pecut hampir saja merobek telingaku, pecut tambang yang sebelumnya
mengikat kepala warok Wiro Gubras, si Madura itu memanggil, tiba-tiba dilolos dari kepalanya dan
dihantamkan ke arahku yang sedang berdiri mengawang di atas meja, untung aku terpeleset,
sehingga lecutan cambuk tak mengenaiku tapi aku terjengkang di lantai. Tanpa daya. Aryo Lincang
nama orang berpakaian Madura itu melompat menebaskan cluritnya, aku benar-benar tak berdaya,
tubuh kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali. Aku sudah berusaha menggerakkan tubuhku tapi
rasanya tubuhku seperti terhipnotis. Aku hanya bisa mendelikkan mata, ketika clurit Aryo Lincang
menderu ke arah dadaku. Dan “wuuut….!” begitu saja Aryo Lincang terlempar seperti daun yang
diterbangkan angin. Dan bau harum tapi lembut kuhirup seperti melepas kelumpuhanku, nampak
orang berpakaian jubah putih membelakangiku, orang tinggi besar, dengan surban pengikat kepala
ala Mesir, juga berwarna putih.
Singo Gubras dan Aryo Lincang juga kedua muridnya segera melompat dari jendela, saat
mengetahui orang yang datang. Dan segera lenyap ditelan kegelapan. Orang yang datang dan
membelakangiku itupun membalik tubuhnya, ketika aku tau itu siapa, aku pun bersimpuh takzim, ya
Syaih Abdul Qodir Aljailani, ketiga kali ini mendatangiku, dengan idzin Alloh menolongku, aku
segera menyalaminya tanpa berani menatap agung wajahnya.
“Nah inilah ngger, maksudku, kenapa dulu aku menyuruhmu untuk segera berbai’at toriqohku…”
katanya dengan penuh perbawa yang sulit diceritakan dengan kata-kata. Aku masih menyucup
tangannya ketika Syaih telah pergi dari hadapanku.
Perlahan aku bangkit, dalam benakku timbul semangat untuk lebih banyak melakukan amaliyah,
agar aku tak tertaklukkan oleh syaitan dan jin yang durjana. Aku pun segera melesat pulang.

Sang Kyai 
EPISODE: 42. DITAWARI NIKAH
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Sampai di pesantren telah subuh, aku segera mengambil air wudhu dan sholat subuh, habis sholat
aku wirid wajib. Dan kemudian berangkat tidur. Jam 11 siang pergi ke sungai mandi, setelah mandi
aku kembali ke pesantren, ada Macan dan pak Abdulloh tamu Kyai. Aku segera menyalami, pak
Abdulloh bertanya, “Orang mana ni?” tanyanya singkat sambil tertawa.
“Orang Tuban pak.” jawabku juga singkat. Kami pun ngobrol panjang lebar, karena ternyata kami
adalah tetangga desa, satu kecamatan. Sehingga seperti ketemu saudara. Setelah lama kami
ngobrol tiba-tiba pak Abdulloh berkata ditujukan pada Macan.
“Can, Ian ini dikawinkan sama adikku, cocok gak Can?” kata pak Abdulloh yang membuatku kaget.
Aku kaget, bukan apa-apa, terus terang walau aku tak pernah merasa rendah diri karena
kemelaratanku, tapi melihat pak Abdullah yang kaya raya, punya banyak perusahaan, mobil mewah
berderet-deret, masak menghendaki aku jadi adiknya, ah aku bukan tipe orang yang matrialistis, aku
tipe orang yang bahagia dalam kemiskinan, susah dan suntuk kalau kaya, mimpi pun jadi kaya tak
pernah terbayang dalam benakku, karena bukan cita-citaku, cita-citaku sepele, bahagia di jalan
Alloh, ini ditawari kawin milyarder, ah enggak lah…!
“Wah cocok sekali pak,” kata Macan mengerling penuh arti.
“Alah jangan bercanda ah, nanti jadi beneran.” kataku rikuh.
“Bercanda gimana? Ini serius.” kata pak Abdulloh.
“Wah saya belum berani kawin pak,”
“Jangan-jangan kamu mandul, tak bermutu, gak berfungsi, ckakaka…” Macan ngakak.
“Eh jangan kira…. paling kamu yang lembek, harus dibantu pake lidi….” kataku jengkel emang
Macan kalau bercanda suka kelewatan, walau ku akui tak ada temanku sebaik Macan.
“Gimana, mau enggak?” tanya pak Abdul mendesak.
“Wah nanti dulu lah pak, aku pikir-pikir dulu, lagian pak Abdullah kan belum tau siapa aku?”
“Halah jangan banyakan mikir, keburu karatan.” Macan ngakak lagi. Setelah Macan dan pak
Abdulloh pergi aku pun mikir, ah mungkin Alloh lagi mencobaku, sejauh mana aku tahan oleh
godaan. Aku makin serius dalam wiridku, tak ada waktu tanpa wirid sampai-sampai semua wirid
yang dibebankan oleh Kyai selesai semua. Malam itu aku dipanggil Kyai menghadap,
“Ada apa Kyai?” kataku, setelah ada di depan Kyai.
“Ini ada yang nawari,” kata Kyai sambil ketawa.
“Nawari apa Kyai?”
“Nawari nikah, mas Ian ikut saja, nanti dilihat cocok apa enggak, kalau cocok, ya bagus, biar mas
Ian jadi orang sini aja, biar dekat sama Kyai.” lagi orang nawari nikah, aku jadi berpikir apa aku ini
sudah saatnya nikah? Ataukah ini cuma ujian dari Alloh? Entahlah.
Malam itu pun aku ngikuti Kyai naik mobil kijang hidrolik meluncur ke tempat yang dituju, ke sebuah
pesantren Salafiyah, tak jauh amat dari pesantrenku, sekitar 10 kiloan, kami disambut oleh Kyai
pesantren bernama kyai Ghofur, orangnya sudah tua sekali, jenggotnya putih sampai ke dada,
wajahnya putih kemerahan penuh wibawa. Pesantren yang ku datangi, lumayan banyak dan tempat
pemondokan dari bambu beratap daun alang-alang, dan yang lebih mengesankan pesantren sama
sekali tak berlistrik, karena di pesantren ini memang tidak boleh memakai listrik, jadi penerangan
memakai lampu minyak, aku, kyai dan sopir segera dipersilahkan.
Setelah duduk, Laila Aulya gadis yang dijodohkan denganku keluar, membawa makanan dan
minuman, Kyai mencolek lenganku, “Gimana cantik gak?” kata Kyai dengan nada berbisik. Aku pun
tanpa sadar menatap gadis yang meletakkan minuman di depan. Mak deg! Aku terpana melihat
kilauan bintang gemintang di tengah telaga mata Laila. Wah kecantikan yang sempurna, hidung ala
artis India. Membuatku tak sengaja mengelus pipi, karena membayangkan andai pipiku dicium
olehnya aku lebih takut hidungku akan terluka oleh lancip mancung hidungnya. Bibir yang seperti
dibentuk dengan kehati-hatian ranum dan seakan menyimpan berbagai rasa buah, ah aku jadi
ngelantur,
“Udah jangan lama-lama memandangnya.” bisik Kyai. Mak deg! Ketika mata Laila mengerling
padaku, untung aku duduk di atas kursi, kalau berdiri mungkin aku langsung terjengkang pingsan,
aku lelaki biasa, yang masih punya perasaan sebagaimana lelaki pada umumnya, tapi aku juga
Febrian lelaki kerdil dengan segudang kekurangan, salah satu kekerdilanku adalah tak berani
beristri terlampau cantik, takut nanti rusak bila ku sentuh dengan tangan kasarku.
Laila bagiku terlampau cantik dan mahal, ah aku ingin yang biasa, aku tak mau nanti terlalu jatuh
cinta dan mengenyampingkan Alloh, aku tak mau menduakan Alloh, lebih baik tak aku terima,
sebelum cinta ini terhunjam dalam menawan seumur hidupku. Melupakan siapa aku, “Cantik sekali,
Kyai.” bisikku.
“Ya kalau begitu tak usah,” bisik Kyai seakan telah membaca galau hatiku. Dan terasa aku
dibebaskan dari himpitan gunung. Mak plong.
Kami pun ngobrol dengan kyai Ghofur sampai larut malam, dan kembali pulang ke pesantren
Pacung dengan perasaan lega. Pagi baru saja beranjak, aku memasukkan baju dan keperluan ke
dalam tas punggung butut andalanku, untuk pergi ke Jakarta mencari uang untuk keperluanku hidup
di pesantren. Yah beginilah hidupku, hidup di pesantren kalau uang ada, kalau uang habis, ya aku
harus nyari lagi, walau makan sudah dijatah kyai, tapi aku orang yang tak suka terus-terusan jadi
benalu, hidupku adalah aku yang harus menjalani dan membiayai. Untung masih ada uang untuk ke
Jakarta, ke tempat temanku, Macan atau tempat temanku Karim di Cipinang Muara. Setelah
pamitan kepada Kyai aku pun beranjak, baru seratus meteran berjalan ada mobil di belakangku. Pak
Jahru. Bos barang bekas, tamunya Kyai mengklaksonku.
Aku berhenti, dan mobil kijang warna biru berhenti di sampingku, kaca pintu terbuka,
“Ayo naik…!” kata pak Jahru, dengan tawa khasnya.
“Mau kemana mas?” tanyanya setelah aku duduk di kursi jok.
“Ke Jakarta pak.” jawabku enteng.
“Wah kalau begitu mas Ian tak anter aja, Jakartanya mana?”
“Ke Cipinang Muara pak.” Mobil pun jalan, lumayan ada nunutan, jadi gak usah keluar uang.
Sang Kyai 
EPISODE: 43. JUALAN LUKISAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Pak Jahru, adalah pengusaha sukses barang bekas, orangnya pendiam tak banyak bicara, menurut
ceritanya dulu dia orang miskin, sekolah aja mungkin sampai kelas 4 SD. Lalu merantau ke Jakarta
dan menjadi pemulung, suatu hari tengah ia memulung didatangi pemilik pabrik besi untuk
membersihkan besi bekas, nah disaat yang hampir bersamaan datang juga orang minta
dipulungkan besi, maka pak Jahru pun tinggal mengoper. Itulah awal karir pemulungnya menanjak,
sekarang yang dipulungnya sudah alat berat kyak buldoser. Dalam perjalanan sampai Jakarta aku
tak banyak omong dengan pak Jahru, aku diantar sampai ke Cipinang Muara, sebelumnya diajak ke
tempat pak Jahru menginap semalam dan besoknya aku diantar ke kontrakan Karim, teman
sekolahku waktu di MI. Di tempat kontrakan kumpul teman-teman sedesaku. Ada Sengkle, Renges,
Tro, Klewer, ah memang nama panggilan semua, sampai nama aslinya kami sudah lupa, dan nama-
nama itu jadi simbol keakraban, satu nasib sepenanggungan.
“Wah kamu di sini juga Nges.” tanyaku ketika teman sepermainanku di kampung ini menyalamiku,
Renges, pemuda seumuranku 24 tahun, hidung pesek habis, lubang hidung melebar, karena sering
dicongkel-congkel pakai jari, untuk mengambil kotoran hidung, kadang dia mencongkel hidung
ngotot sambil berpegangan pada tiang, kayak sesuatu yang teramat susah diambil dan
membutuhkan tenaga extra, rambutnya panjang sebahu, wajahnya lebih mirip Kaka personel
SLANK.
“Iya Ian, dah datang sebulan yang lalu, kamu ndiri kesini ngapain?”
“Wah, aku mau nyari uang saku untuk di pondok.” kataku.
“Eh Ian, dah lama datangnya.” Karim masuk kontrakan, langsung menyapaku, dia baru datang,
kerjanya di kantor miliknya pak Abdullah.
“Baru aja Rim.” jawabku.
“Trus ada perlu apa?”
“Biasa nyari tambahan modal untuk di pondok alias nyari kerjaan.”
“Iyalah besok aku cari’in kerjaan.”
Begitulah dialog-dialog ringan di antara kami. Tapi setelah itu nyampai seminggu pun aku belum
dapat kerjaan, makan nebeng, ah jadi tambah susah.
“Wah sudah ku carikan pekerjaan, tapi susah tak dapat-dapat tuh Ian, gimana?” tanya Karim pada
suatu sore.
“Wah gimana ya Rim, la aku kalau balik ya lebih repot lagi,” jawabku prihatin.
“Kenapa gak bikin lukisan sendiri aja Ian?” sela Renges.
“Nanti tak bantu njualin deh.”
“Wah kalau itu perlu modal Nges…”
“Biar aku yang modalin, kamu anggep beres aja, butuh berapa?” kata Karim mantep.
“Ya paling butuh 4 ratusan ribu,” kataku.
“Ya udahlah besok beli barang keperluanmu.” kata Karim. Maka besoknya aku pun beli barang
keperluan, aku membuat lukisan kaca, yaitu lukisan kebalik. Melukis dari dalam, jadi bisa dilihat dari
luar. Kelihatan bagus, tiga hari ku selesaikan lukisan besar, enam buah lukisan pemandangan.
Setelah selesai dibingkai, aku dan Renges mulai menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, dari gang
ke gang, banyak yang melihat lukisan, dan menawar tapi tak ada yang mau beli setelah ku kasih tau
harganya, satu lukisan ku tawarkan dengan harga 2 ratus ribu. Untuk mengejar isi perut yang
keroncongan.
“Nges, perasaan kita muter-muter di jalan ini-ini aja?” kataku pada Renges sebagai penunjuk jalan.
“Maksudmu kita bingung?” kata Renges, seakan aku tak percaya atas kefasihannya menghafal jalan
Jakarta.
“Iya.” jawabku, dari pada muter-muter lagi. Karena perut belum keisi dan pegelnya kaki minta
ampun.
“Aku ini sudah hafal jalan di Jakarta, lebih hafal jalan dari pada mata pelajaran di sekolah.” kata
Renges sambil nepuk dada.
“Hafal jalan aja bingung, apalagi tak hafal jalan?” kataku jengkel.
“Kamu itu yang bingung, karena lukisannya tak laku.” kata Renges juga marah.
“Udah gini aja, kita lihat tuh ada toko Sarinah, nah mari kita jalan, apa balik ke toko Sarinah lagi apa
enggak?” kataku menengahi keributan kami, dan kami pun melanjutkan perjalanan. Dan memang
sesuai dengan apa yang aku bilang, kami kembali ke toko Sarinah.
“Heran, kenapa bisa bingung gini ya?” kata Renges sambil duduk di regol.
“Udah nges, mending kita cari masjid, ini waktu dzuhur hampir habis.” kataku sambil lalu pergi
nanya pada orang arah masjid, dan kami pun ditunjukkan masjid yang jaraknya 300 meteran. Kami
pun segera pergi ke masjid dan menjalankan sholat dzuhur. Selesai sholat kami memajang lukisan
di depan masjid, yang kebetulan pertigaan jalan yang ada pohon mahoni tua.
Tapi sampai jam menunjukkan jam setengah lima, tak juga ada yang beli, walau banyak yang
nawar, tapi sebatas nawar, kalau harus pulang ke kontrakan dengan tanpa lukisan terjual sama
sekali, ah betapa jauhnya, kami berdua harus berjalan, belum lagi perut yang lapar karena dari pagi
kami belum makan. Ah kami lebih parah dari pada tentara yang kalah perang, pulang memanggul
senjata, setidaknya mereka punya uang.
“Gimana Ian?” kata Renges, wajahnya yang bertampang suntuk, makin suntuk aja.
“Aku tak kuat, kalau gini, udah jauh, perut lapar, bisa klenger beneran nih,” tambahnya, makin
menambah beban masalah aja keluhnya.
“Ya mau gimana lagi Nges, la emang tak laku,”
“Satu aja dijual 50 ribu aja deh, buat naik angkot. Dan untuk beli nasi bungkus” katanya mengiba.
“Ya udahlah nanti kalau ada yang nawar, kasihkan aja,” kataku agak berat, karena kepikiran untuk
mengembalikan uangnya Karim. Selang beberapa menit, ada sepeda motor menghampiri kami dan
menanyakan harga lukisan, e udah dikasih harga 50 ribu rugi harga produksi, masih tak laku juga,
maunya 30 ribu, ya jelas aku tak mau, memangnya kacang garing, semurah itu, orang bermotor
itupun pergi, meninggalkan harapan kami yang tercabik-cabik.
“Wah..! Udah Ian aku tak kuat lagi, mending sekarang pulang aja, daripada nanti kemalaman.” kata
Renges, kayak mau nangis, rupanya keuletan dan kesabarannya telah memasuki batas toleransi.
“Gini aja, biar aku wirid di dalam masjid sebentar, siapa tau masih bisa laku, kita masih punya Alloh,
aku akan meminta supaya lukisan kita terjual.” kataku masih sabar.
“Ah Jakarta ini keras Ian, tak ada Alloh, Allohan, di sini itu siapa kuat maka jaya.” kata Renges
masgul.
“Tapi ndak salah kan dicoba?”
"Ya udahlah sana, biar aku nunggu di sini, jangan lama-lama…!”
“Setengah jam aja.” kataku sambil berjalan ke dalam masjid
Sang Kyai 
EPISODE: 44. JUALAN LUKISAN II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung aku
telah hafal di luar kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa. Lalu
keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang warna biru gelap berhenti.
Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.
“Mas lukisannya harganya berapaan?” tanyanya.
“Duaratus ribu mas.” jawabku.
“Udah borong aja semua.” suara lelaki dari dalam mobil.
“Udah mas, saya borong semua, tolong diangkut ke dalam mobil.” kata pemuda itu, yang
mengejutkanku, apalagi Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak
orang mau boker.
“Udah Nges, ayo diangkut ke dalam mobil, tunggu apa lagi.” kataku mengejutkannya. Kami segera
mengangkut lukisan ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah baya,
sebentar kami ngobrol dan aku diberi kartu nama, lelaki paruh baya itu bernama bapak Suwandi,
pengusaha mebel dari Jepara.
Ah yang penting lukisanku telah laku, setelah sholat magrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa
makan dulu di warung Padang, pesen rendang kesukaanku, Renges sampai habis tiga piring. Dan
kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, uang ada, rokok di tangan. Ah mau apa lagi, yah
kami butuh istirahat, atas penat beban pikiran karena harapan yang dipaksakan.
“Sekarang menurutmu Alloh ada di Jakarta tidak Nges?” tanyaku pada Renges. Ketika kami ada di
dalam angkot.
“Iya, iya ada…” jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.
“Alloh itu ada, dan selalu ada, tak pernah melupakan kita, kita aja yang melupakan Dia, kuasanya
bisa menggerakkan hati siapa aja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.” kataku setengah
berfilsafat.
“Iya, iya… Kamu memang anak pesantren, jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih, kotbahnya
nanti aja lah, sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat buktinya.”
katanya sambil nyedot rokok Djisamsoe.
Setelah hari itu, aku pun dapat job lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi
menyusuri lorong, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang yang kami temui. Karena
orang yang akan memesan lukisan sudah datang sendiri ke kontrakan di Cipinang muara. Jadi aku
tinggal beli material, dan mengerjakan pesanan, tapi aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka setelah
ku rasa cukup, aku pun kembali ke pesantren dengan uang lumayan.
Pagi itu aku menghadap Kyai, setelah sebulan di pesantren aku ingin pulang sekaligus ngamalkan
‘ngedan’ dari rumah, karena kepasrahanku pada ALLOH, masih butuh penggemblengan, mengingat
masih ada keraguan atas berserahku pada Alloh, kelabilan jiwaku, atas tawakal, yang belum
sebenar-benarnya, dan Kyai pun mengijinkan.
Tanpa menunggu lama aku pun berangkat pulang, dengan naik bus jurusan Kalideres, lalu ganti
metro mini ke Pulogadung, baru naik bus ke Tuban, daerahku. Sampai di rumah aku disambut
pelukan ibuku, ditanya ini itu, dan diceritai tentang pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta
ijin menikah, aneh-aneh aja. Juga lek Mukhsin yang saban hari datang minta ditulari ilmu, kang
Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang datang minta diobati.
Baru seminggu di rumah, aku pamitan pada kedua orang tuaku, pergi dengan alasan menjual
kaligrafi. Untung di rumah ada kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, karena
kaligrafi yang banyak kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya, jadi dalam bulan Syawal,
yang ku tuju adalah Rembang, di taman Kartini, walau aku tak ngomong jujur pada Majid kalau aku
akan ngejalani ngedan.
Sampai di taman Kartini, kami segera memajang lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami
tungguin, tak juga ada yang membeli. Nawar juga cuma satu orang. Ah apakah karena niatku
ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah. Malamnya kami tidur di masjid
Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu,
tapi tak juga ada yang beli. Ah sial amat, sampai siang itu aku dan Majid nyampai di desa
Peterongan. Seperti biasa aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.
“Feb… Febri… Febrian….!” ada 3 cewek cantik berlari-lari dari rumah memanggil namaku, aku dan
Majid yang tengah berjalan pun berhenti. Aku dan Majid berdiri mematung, heran! Kenapa ada
cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, ah bener-bener aneh.
“Iya bener Febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar,
berbibir tipis, setelah ku tau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang
Cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya
paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“Heeh, gak salah, Febri.” kata Karti.
“Buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.” tambahnya.
“Bener kan kamu Febri..?” kata Tia ketika telah nyampai di depanku.
“Bener namaku Febri, tapi mungkin bukan orang yang kalian maksud.” jawabku, takut ada
kesalahfahaman. Sementara Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang
kesambet.
“Ah tak mungkin salah, wong kami ini udah kompak, mengidolakanmu sejak dulu…” kata Karti
ngotot. Oo, rupanya idolaku. Ah ada lagi.
“Wah bener-bener, kalian salah orang…” kataku mencoba menghindar,
“Bener, kami tak salah, dagunya, hidungnya, mulutnya, rambut panjangnya, wah tak salah..” kata
Tia menelitiku satu-satu.
“Udah kita bawa kerumah aja, pasti cocok.” kata Karti yang segera memegang pergelangan
tanganku dan menariknya. Terpaksa aku ngikut aja. Sampai di rumah Tia aku didudukkan dan
ditunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus fotoku, terang aja aku tak bisa menghindar,
kecuali menjawab “iya”. Kontan ketiga cewek berebutan memelukku, menciumku, mencubit pipiku,
aku diserang mendadak, tentu saja tak bisa menghindar, Astagfirulloh, moga-moga tak dicatat
termasuk dosaku. Ya kalau dianggap dosa, diampunkan oleh Alloh.
“Ih Febri, kami gemes..!” kata Tia mencubitku,
“Udah-udah,” kataku kikuk. Emang repot jadi terkenal.
“Mas Febri, sekarang lagi apa nyampek sini?” tanya Karti.
“Wah pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?” kata Tia mengerling.
“Nah masukin dong kita pada cerita terbarunya.”
“Tau aja kalian.” jawabku singkat, agar tak berbantahan, dan untuk Tia, karti, dan Lola, ini kalian
udah ku bawa dalam cerita. Berarti aku udah tak punya hutang harapan pada kalian.
Kami berdua dijamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan,
bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa
yang terjadi andai aku sekaliber Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal.
Sore itu, kami jalan-jalan ke taman Kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di
sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati
daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang
jatuh.
Aku diminta menginap, tapi aku tak mau, bisa berbahaya, maka kami berdua pamit, dan tak lupa
menghadiahkan semua lukisan. Aku dan Majid pulang dengan kegagalan total. Sekarang aku
memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik, maka aku pamitan pada orang tuaku, ku bilang
mau main ke rumah teman, pagi itu aku berangkat ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD
jurusan Jakarta, aku memutuskan turun di daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak
tergantung pada siapa-siapa, uang di sakuku ku berikan pada pengemis semua, aku ingin
kepasrahanku total pada Alloh. Ku pilih turun di Kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman

Sang Kyai 
EPISODE: 45. LAKU ‘NGEDAN’
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan
yang ku usahakan setotal mungkin, ya Alloh inilah aku, aku yang masih tertempeli keakuan yang
menumpuk, aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa lalu, bila Kau tolak aku,
aku sendirian, apapun tanggapanMu, apapun kehendakMu, aku adalah orang yang berusaha
berserah. Jerit hatiku, di sela-sela kaki yang melangkah satu-satu. Aku terus berjalan, hanya
berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke masjid, dan menjalankan sholat, lalu berjalan lagi.
Malam telah tiba, aku yang tau jalan, sama sekali tak takut tersesat, karena tak punya tujuan, jadi
apa yang harus disesatkan. Aku tak punya arah, jadi tak takut kehilangan arah, ku langkahkan saja
kaki yang teramat lelah. Ketika waktu isyak aku coba mencari masjid, ketika bertanya pada orang,
malah tak dijawab, tapi ditinggal pergi, tapi aku akhirnya menemukan mushola kecil, dan ada orang
berjamaah, aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang seharian ku isi air saja,
terdengar berkrucukan saat aku sujud. Setelah sholat, semua orang pergi, tinggal aku sendiri,
mengenang satu-satu perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku. Dan
tanpa sadar aku pun roboh tertidur, padahal nyamuk-nyamuk besar mengeroyokku, tapi tak
menggemingkan dalam tidurku.
Kira-kira jam 2 malam aku terbangun, karena dingin yang menusuk tulang, tapi aku kaget, karena
telah berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang menyelimutiku saat aku
lelap, aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur
lagi, waktu subuh terbangun, saat adzan dikumandangkan, dan mengikuti sholat subuh, lalu
melakukan wirid biasa setelah subuh. Setelah wirid, matahari telah meninggi, aku keluar dari
mushola, di depan mushola ada gadis umur 17 tahun, tengah menyapu halaman.
“Mas, itu ketela goreng dan kopinya dimakan,” kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela
goreng, dan segelas kopi hangat.
“Wah, makasih mbak, jadi ngrepotin aja.” kataku berbasa basi. Ah tanggungan dari Alloh, gak boleh
ditolak, akupun lahap ketela, wah sayang tak ada rokok, yah kenapa, sejak kemaren aku lupa
ngumpulin uthis, untuk sekedar ngerokok, setelah makan aku pun pamitan melanjutkan perjalanan.
Kembali aku melangkah dan melangkah, cuma kali ini dengan harapan baru, harapan nemuin uthis,
atau puntung rokok, harapan baru ini cukup membuatku sibuk, apa sih berharganya puntung rokok,
cuma mungkin karena ada unsur kepentingan dunia, jadi membuatku benar-benar sibuk. Yah aku
kadang sibuk mengikuti seseorang yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit
kemanapun orang itu pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu membuang
puntung rokoknya, yah kalau ternyata puntung yang di buang kecil, kadang sampai habis, aku
menyumpah “pelit amat, kenapa gak dimakan sekalian gabusnya ditelan.” kataku jengkel. Dan kalau
puntungnya panjang, aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku betapa
sibuknya, cuma karena puntung.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang
terpampang di regol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Segera kucari masjid, tak begitu susah, karena adzan yang berkumandang, dan aku pun pergi ke
masjid, mengikuti sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam di masjid ini, batinku, selesai
sholat aku pun duduk di emperan masjid, ku ambil satu puntung rokok dan kunyalakan, dengan
kenikmatan yang tersisa, inilah yang paling nikmat, menikmati ketidak punyaanku, kemiskinan tiada
tara. Kepapaan tiada duanya. Tapi aku tak kawatir, dan tak takut, apapun yang menimpaku,
terburuk sekalipun, aku akan terima dengan kelapangan dada. Aku tak takut karena kehilangan
jabatan, karena aku tak punya kedudukan apa-apa, cuma jadi hansip pun enggak, aku tak takut
kehilangan harta benda, karena uang cuilan satu rupiah pun tak punya, aku benar-benar tak punya
apa-apa yang harus dibanggakan. Lapar? Haus? Aku telah yakin Alloh akan menanggungku, takut
apa lagi?
Untuk menuju Alloh, ikuti sungai-sungai dzikir, walau menabrak batu kebosanan, aliran itu adalah
sabar. Lintasi gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata. Rumputnya
kadang kita cintai. Karena tumbuh dari kesenangan hati. Basuh jubahnya dengan istigfar. Kuatkan
dengan sholawat. Lailahailallah, terbawa ke satu muara, ketenangan jiwa yang merana, khauqolah,
tak ada yang mampu bergerak, dan tak ada yang dapat berhenti, keculi atas idzin-Nya. Tak ada
yang lebih menyenangkan dari pada tenggelam di samudra makrifat. Bercumbu dengan kekasih
yang telah lama dirindukan.
Ah kenapa aku malah menikmati puntung rokok, ah syetan telah hampir menundukkanku, dengan
barang yang sebenarnya dibuang oleh orang lain, yah puntung rokok, apa sih berharganya puntung
rokok? Aku segera membuang semua puntung rokok yang seharian ini ku kumpulkan dengan
kecintaan dunia, dan segera mengambil air wudhu di samping masjid, kemudian duduk bersila
memulai wirid-wiridku, mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan masjid, lelaki
dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.
“Maaf mas, mas ini harus menghadap kepala desa.” kata seorang pemuda umur 17an.
“Lho ada apa?” kataku heran.
“Wah kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti mas disangka maling.”
“Oo.. begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian diikuti sekitar 15
pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku
sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak
pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya,
karena tidur di sembarang tempat. Dianggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih
tepatnya ingin dianggap bukan dari bagian dunia.
Sampai di tempat kepala desa aku pun ditanya ini, itu, ditanya KTP, ditanya langsung dicocokkan
dengan KTP-ku, setelah itu aku diajak nonton latihan silat Kera Sakti. Aku santai saja duduk di kursi,
sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,
“Mas, ayo ke rumah makan dulu.” kata gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di
rumah kepala desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam. Aku pun disuruh duduk, ditinggal
makan sendiri. Malam itu, aku menginap di rumah kepala desa, tak ada yang istimewa, besoknya
aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu
kilometer, berjalan, tiba sebuah sepeda motor Astrea berhenti, seorang gadis berseragam sekolah
pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi gadis itu memanggilku,
“Mas Ian…” aku pun terpaksa berhenti, ternyata anak kepala desa yang waktu berkenalan
denganku namanya Maftukhah.
“Eh embak…” kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.
“La kok jalan kaki mas? Kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“Sebenarnya mau kemana sih?”
“Iya mbak, jalan kaki aja, dan aku tak punya tujuan.” jawabku agak lama, karena bingung, mau
jawab bagaimana.
“Tak punya uang ya?” wah nanyanya yang enggak aja, mau ku jawab punya, jelas aku bohong, mau
ku jawab tak punya, aku diam aja. Dia menyodorkan uang 20 ribuan,
“Ini ambil..!” katanya, tapi tak ku ambil,
“Kurang?” katanya, wah kenes juga nih gadis.
“Bukan, bukan itu maksudku, tak usah… aku…” aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan uang
ke sakuku. Yah udahlah dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.
“Ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku dibonceng…”
“Ah tak usah mbak, biar aku jalan kaki aja,” kataku risih.
“Bener gak mau, kalau gitu, ya udah ku tinggal dulu.” kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan
motornya, sementara aku melanjutkan berjalan, dengan terus dzikir tanpa henti, aku telah tak
perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang aku sampai di daerah Cepu. Segera ku cari warung
makan, sekedar nyari pengganjal perut. Uang dari Maftukhah ku belikan nasi, dan setelah itu aku
mencari masjid untuk sholat dzuhur. Selesai sholat dzuhur aku melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar jam limaan aku sampai di Padangan, kakiku telah pegal, dan butuh istirahat, aku mencari
tempat duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak menumpuk, kulihat regol
depan rumah, tapi ada gadisnya seumuran 16 tahunan, aku gak jadi membelok, ku cari tempat yang
lain saja, aku pun meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu memanggilku,
“Mas Iyan…! Mas Iyan….” apa telingaku yang salah dengar, aku tetap melangkah, tapi suara gadis
itu memanggil lagi, sekarang malah kenceng.
“Mas Iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,
“Bener kan mas Febrian?” tanyanya dengan tersenyum, ah paling-paling penggemarku lagi.
“Benar namaku Febrian,” kataku tak ragu.
“Jadi…, jadi, bener? Ih tak disangka…” katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru
kelas 1 SMA.
“Kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-
tulisanku.
“Wah jadi orang terkenal, kok merendah gitu, ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, aku ini
penggemarmu mas.” Benar memang dia salah satu penggemarku, yah memang manusia tak bisa
lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti, kemanapun kita pergi,
“Ayo ke rumah, wah jadi grogi didatangi penulis terkenal.” katanya menggandeng tanganku.
“Wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya mas, sampai-sampai nggembel gitu.”
“Heeh” kataku sekenanya.
“Ck.. ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya mas..?”
“Ya jadi penulis kan setidaknya harus tau keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa
menjiwai, bisa menyeret pembaca pada alur cerita.” kataku asal aja. Gadis itu bernama Yulianti. Dia
membawaku ke ruang tamunya, dan dikenalkan pada kedua orang tuanya, yang ramah
menyambutku, lama kami ngobrol tentang karya-karyaku.
Setelah sholat magrib aku pun pamitan, walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap
tapi aku tetap melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke Ngawi
saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, ah kenapa rasanya dunia ini sempit, kemana-
mana masih saja ada yang mengenalku. Jam 10 malam aku sampai di stasiun kereta api Cepu. Aku
memutuskan tidur di stasiun saja. Setelah sholat isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu setasiun.
Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku

Sang Kyai 
EPISODE: 46. APAKAH ALLOH MAU MENERIMA TAUBATKU?
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Suasana sangat sepi, hanya satu dua orang lalu lalang, aku tak sadar telah tertidur pulas, aku
terbangun dan kaget, ketika tangan hangat membelai pipiku, aku segera bangun dan melihat
perempuan setengah baya, duduk di dekat kepalaku.
“Ada apa mbak?” tanyaku masih mencoba memperjelas mata yang perit,
“Tak butuh kehangatan mas?” kata perempuan itu yang berbau autan.
“Wah kalau butuh, aku lebih butuh autan mbak, autannya masih ada?” tanyaku tanpa buruk sangka.
Dia mengeluarkan autan dari balik bajunya, dan menyodorkan padaku.
“Minta sedikit ya…” kataku, dia manggut, wajahnya tak cantik walau tak jelek, ku taksir umurnya
empat puluh tahunan.
“Mas tak butuh kehangatan?” tanyanya lagi sambil memegang pahaku, sementara aku masih
mengoles autan.
“Kehangatan apa? Apa aku mau dikasih kopi? Wah aku mending tidur daripada minum kopi, nanti
tak bisa tidur,” kataku nyantai,
“Maksudku tidur denganku…” katanya tanpa malu,
Aku baru berpikir kalau dia pelacur.
“Ah enggak mbak…” kataku mencoba tenang. Walau ucapanku tetap saja rasanya terhenti di
tenggorokan.
“Ayolah mas, tak usah bayar…!” katanya merajuk sambil mencoba meraih pahaku.
“Embak ini punya anak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan dari pikirannya yang kotor,
“Punya.” jawabnya,
“Punya suami?”
“Punya.” jawabnya lagi.
“Lalu kenapa bekerja seperti ini?” tanyaku.
“Yah suami tak bekerja, aku dan anakku butuh makan,”
“Lalu kalau aku tak bayar, mbak tak dapat uang?”
“Gak papalah, kalau untuk mas yang ganteng, aku relakan, tak usah bayar, aku kan juga butuh
kesenangan.” katanya enteng.
“Apa embak ini tau akibatnya kalau embak ini bekerja kayak gini?” tanyaku.
“Yah paling kalau ada razia, kita ketangkap, itu juga kalau Polisinya kita kasih, kita dilepas lagi.”
katanya enteng.
“Wah bukan hanya itu mbak, mbak bisa terkena penyakit kelamin, nanti kalau embak tua juga tak
ada yang mau, nanti mau kerja apa? Kalau tak dimulai dari sekarang merintis pekerjaan yang halal,
dan mbak kalau meninggal akan disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat, kiamat itu masih lama,
dan semua orang sudah pasti mati, andai mbak menjual diri di zaman nabi Adam, sampai sekarang
masih disiksa, bayangkan ribuan juta tahun, apa siksanya, kemaluan ditusuk besi yang membara
tembus sampai ke mulut, mbak tentu bertanya, apa bener siksa itu ada? ya nyatanya semua orang
akhirnya meninggal juga, itu berarti siksa di sana ada,” kataku panjang lebar, untuk menggugah
hatinya yang membatu.
“Lebih baik mulai sekarang, menyadari diri, memutar arah ke jalan yang benar, sebelum terlambat,
kalau orang mau ke jalan yang benar, pintu rizqi akan dibukakan oleh Alloh. Alloh memberi makan
pada semua orang aja mampu, kalau ditambah embak dan keluarga, tentu tak berat bagi Alloh, asal
embak bener-bener berniat menjadi orang baik-baik.”
“Apakah Alloh mau menerima taubatku,” katanya berlinangan air mata.
“Aku ini teramat kotor.”
“Mbak pintu taubat Alloh, itu lebih luas dari langit bumi seisinya, semua orang di dunia yang seperti
embak mau bertobat semua, pintu taubat masih lebih luas lagi,” kataku, dan perempuan itu nangis
mengguguk, lalu berdiri dan lari keluar dari peron.
Aku cuma menatap kepergiannya dan berdoa, agar Alloh membuka dan melapangkan hatinya,
menuju ke taubatan nasukha. Malam itu aku tidur di kursi, dengan mensyukuri kesendirianku,
kesepian, kemiskinan, dan melepas segala beban kepunyaan, kemilikan, betapa damai dunia, jika
kita tak terbebani apa-apa, tak perlu memikirkan dan mengkawatirkan. Lepas seperti bayi yang tak
tau apa-apa.
Pagi setelah sholat subuh aku melanjutkan perjalanan, ke arah Ngawi, melangkah satu-satu,
tenggelam dalam wiridku. Tenggelam teramat dalam, sampai waktu maghrib aku tak tau telah
nyampai di mana? Ku hampiri masjid, untuk mengikuti sholat berjamaah, lalu wirid menunggu shola
isyak, aku telah lupa, seharian perutku tak terisi apa-apa. Setelah sholat isyak, aku masih tenggelam
dalam dzikir, tiba-tiba seseorang menghampiriku, seorang lelaki yang tadi jadi imam di masjid.
Sang Kyai 
EPISODE: 47. INGIN LEPAS DARI INGIN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Assalamualikum..” salamnya sembari mengulurkan tangan.
“Waalaikum salam warokhmatulloh.” jawabku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.
“Anak ini dari mana?” tanyanya setelah duduk di dekatku.
“Saya dari daerah Senori Tuban pak..” jawabku, sambil memperhatikan perawakan orang ini, tinggi
sedang, tubuhnya kelihatan kuat, wajahnya biasa, tapi jenggotnya memanjang sampai ke dada, dan
rambutnya panjang diikat tapi dimasukkan ke dalam baju.
“Jauh dengan daerang Sendang?” tanyanya lagi.
“Wah itu malah desaku.” jawabku yakin.
“Wah kok kebetulan begitu, aku punya kenalan di daerah itu, namanya pak Mustofa, apa kamu tau
dik?”
“Pak mustofa yang mana ya?”
“Rumahnya belakang pesantren Daruttaukhid.” kata orang itu.
“Wah itu ayahku…” kataku juga terkejud dan heran, kenapa jadi kebetulan seperti ini.
“Lhoh kamu Ian? Febrian? Anak pak Mustofa, cucu KH. Khusain.?”
“Benar pak…” seketika orang itu memelukku, dan mengucek-ucek rambutku.
“Walah sudah besar kamu nak, dulu aku terakhir melihatmu masih umur 4 tahun, masih suka
nangis.”
“Bapak siapa?” tanyaku karena sejak tadi tak tau namanya.
“Namaku Fadhol, aku teman sekolah ayahmu.., sudah-sudah, ayo ke rumah, bicara dan ceritanya
nanti saja.” kata pak Fadhol, mengajakku kerumahnya, yang tak jauh dari masjid, hanya melewati
jalan raya dan masuk gang 25 meteran.
“Nah ini rumahku nak Ian.” kata pak Fadhol, rumah yang sederhana, dari kayu tanpa dicat, di depan
rumah juga ada dudukan dari kayu sebesar lengan orang dewasa, terjejer, hingga membentuk
dudukan yang rapi, dan halus bukan karena diplitur tapi karena sering diduduki, di dalam rumah tak
ada perabot yang mewah, cuma meja besar dari kayu tebal, yang kuno sekali juga kursi kayu kasar.
Pak Fadhol segera mempersilahkan aku untuk duduk, sementara dia masuk ke dalam memanggil
istrinya, bernama ibu Zulaikhah. Tak lama kedua orang itu keluar.
“Oh ini anaknya pak Mus? Wah bener-bener sudah besar.” kata bu Zulaikhah.
“Udah bu, sana siapkan makan…” kata pak Fadhol, dan sambil nunggu makan disiapkan aku pun
ngobrol dengan pak Fadhol,
“Kok kamu sampai di sini, sebenarnya mau ke mana nak Ian?” tanya pak Fadhol.
“Yah beginilah pak, saya cuma mengikuti langkah kaki, kemana mau membawa.” jawabku.
“Ee alah wong turunan orang yang suka tirakat, ya jadi suka tirakat…., jadi tak punya tujuan pasti
to? We kalau begitu mau kan nginep di sini barang 3, 4 hari.?”
“Wah jadi merepotkan bapak..”
“Endak, nggak merepotkan kok, mau ya?”
“Baiklah pak.”
“Nah gitu dong.”
Bu Zulaikhah pun memanggil kami untuk makan. Nasi, sayur kangkung, tempe goreng kering tanpa
tepung, sambel jeruk, pindang, wah nikmat sekali untuk perut yang lapar. Semalaman aku dan pak
Fadhol ngobrol.
“Ngger, sebenernya apa yang kamu cari dalam lelakumu ini?” tanya pak Fadhol, sambil
mengebulkan asap rokok Sukun Kretek.
“Ah saya juga tak tau pak…, sebenarnya saya ingin lepas dari belenggu keinginan, tapi kok ya
malah tercebur pada keinginan yang lain.” jawabku, sembari mengambil rokok Sukun Kretek, karena
melihat betapa nikmatnya pak Fadhol ngerokok jadi aku juga kepingin.
“Maksudmu apa to ngger?”
“Maksudku, aku ingin menghilangkan rasa ingin dimulyakan, punya kedudukan, punya kekayaan,
punya derajat dihormati masyarakat, punya istri yang cantik, dan sholeh, juga ingin lepas dari
tindihan nafsu kenikmatan panca indra, tapi aku kok malah terperosok pada keinginan baru, yaitu
keinginan ingin lepas dari ingin, bukannya aku malah lepas, tapi malah tambah saja keinginanku,
yang membuatku makin terkhijab dengan Alloh.
“We ladalah, aku kok malah mumet to mendengar penuturanmu?” kata pak Fadhol, mengerutkan
kening, dan tangannya memegangi kepala.
“Saya aja yang mengucapkan mumet, apalagi sampean..” kataku, dan kami tertawa berdua. Kira-
kira saat itu jam 1 dini hari, tiba-tiba pak Fadhol mengajakku ke kebun jagung belakang rumah, ku
kira mau membakar jagung. Sementara bulan di langit terang mengapung di angkasa. Ini tanggal
19, sehingga bulan masih penuh. Sampai di kebun, tiba-tiba pak Fadhol menghentakkan kaki dan
tubuhnya meloncat seperti belalang, melenting ke pucuk pohon jagung, ringan seperti kapas,
kemudian berlarian di pucuk-pucuk pohon jagung, lalu kembali ke depanku.
“Apa ilmu begini ini yang kamu cari ngger?” kata pak Fadhol masih berdiri di pucuk pohon jagung,
dan daun itu cuma bergoyang sedikit.
Aliran di pusarku mengalir deras, mengalir cepat ke seluruh urat di tubuhku, sehingga seketika
tubuhku terasa enteng. Tapi aku cepat-cepat minta perlindungan pada Alloh, dan minta
disembunyikan siapa aku, dijauhkan dari pamer dan takabur.
“Ah ndak butuh ilmu seperti itu aku pak Fadhol.” jawabku.
“Lho memangnya kenapa? Semua pemuda menginginkan ilmu seperti ini.., kok kamu enggak?” kata
pak Fadhol sambil melayang ringan ke sampingku.
“Punya ilmu kayak gitu juga buat apa kalau hidup susah, hati nggrengseng, yang ku inginkan
ketenangan batin, sehingga saat aku beribadah pada Alloh pikiran dan batinku tak kemana-mana.”
“Weh kamu ini cita-citanya sebenarnya sepele, tapi setelah ku pikir kok teramat tinggi, dan di atas
kewajaran.” kata pak Fadhol sambil melangkah memetiki jagung muda.
“Sebenernya itu keinginan wajar, seperti keinginan orang pada umumnya, tapi…”
“Tapi apa ngger?” tanya pak Fadhol, tangannya tak henti mengupas jagung, dan membersihkan,
lalu menyalakan api pada tempat pembakaran, yang sepertinya sudah biasa dipakai, aku pun
dengan cekatan membantu meletakkan jagung di api yang mulai membesar.
“Ya tapi mewujudkannya dalam nyata yang susah, apa itu cuma ada di batin?”
“Aku sendiri tak tau ngger, dulu aku juga sering lelaku sepertimu, tapi yang ku cari ilmu kanuragan,
aji kesentikan. Eh, besok ayo ke tempatnya H. Ibrahim.”
“Mau apa pak? Apa dia juga kenalan ayahku?”
“Weh bukan kenalan lagi, sudah seperti saudara malah, dia pernah ngomong mau menjodohkan
putri satu-satunya denganmu…”
Ah kenapa lagi-lagi soal jodoh… apa memang aku sudah saatnya menikah?
“Kenapa?” kata pak Fadhol melihatku melamun.
“Ah tak papa kok pak…”
“Kamu ragu ama anaknya pak Ibrahim? Ee.. kalau nanti sudah melihat orangnya kamu pasti bilang
he-eh, orangnya cantik, pinter, jebolan Nggontor, mau apa lagi, kekayaan ada.”
“Ya nantilah pak.” kataku supaya Pak Fadhol tak cerita terlalu banyak.

Sang Kyai 
EPISODE: 48. LAGI-LAGI SOAL JODOH
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu, setelah sholat magrib, aku diajak pak Fadhol ke tempatnya pak Ibrahim, naik motor
Honda cdi, rumahnya tak terlampau jauh cuma 2 km. Sampai di rumah pak Ibrahim, hampir isyak,
pekarangan rumahnya luas, berpagar besi, dan bertutup viber, halamannya luas, aneka pohon dan
bunga tertata rapi, sebagian halaman tertutup batako, dan sebagian tertutup rumput Jepang di
antara beraneka tanaman bunga. Bangunan rumah mewah dan berkelas, dengan tiang besar-besar
dan bundar. Rumah bercat kuning gading, dan lantai dari marmer. Dari situ aja udah membuatku
grogi, bukan karena aku yang miskin, aku hanya berpikir jika anak pak Ibrahim jadi istriku, tentu
mahal biayanya merawat anak orang kaya.
Tapi ya udahlah, tapi aku benar-benar berdoa, moga-moga, dia bukan jodohku. Kami mengucap
salam, dan pak Ibrohim keluar, menyambut, orangnya perawakannya tinggi besar dan gagah,
umurnya mungkin 50 tahun, tak kelihatan tua, juga ibu Aminah, istri Pak Ibrohim keluar menyambut,
orangnya cantik, berkerudung lapis dua, aku jadi berpikir, ah kalau ibunya aja secantik itu apalagi
anaknya. Kami dipersilahkan duduk.
“Wah ada angin apa ini, kok kang Fadhol dolan kemari, padahal sudah lama kami sekeluarga ingin
ketemu.” kata pak Ibrohim dengan suara berat.
“Pertama, ya biasa pengen silaturrahmi, dan kedua… Ini, ngajak putranya pak Mustofa main ke
mari.” kata pak Fadhol tanpa banyak basa basi.
“Anaknya pak Mustofa Tuban maksudmu kang?”
“La iya, pak Mus yang mana lagi?”
“Ini…” tangan pak Ibrohim menunjukku.
“Iya pak…” kataku agak grogi.
“Weh sudah sebesar ini..?” kata pak Ibrohim, entah untuk basa basi atau apa, aku tak tau.
Aku pun ditanya sama pak Ibrohim, seperti Polisi mengintrograsi penjahat, tak satupun pertanyaan
terlewat, seakan aku ini benar akan jadi menantunya, sampai ibu Aminah keluar dengan seorang
pembantu membawakan makanan dan minuman,
“Ini lo bu, anaknya pak Mus…” kata pak Ibrohim ditujukan pada istrinya.
“Weh kok bisa kebetulan… Apa sudah dikasih tau?” kata bu Aminah.
“Ya sudah to bu…” kata pak Ibrahim.
“La kalau sudah, tunggu apa lagi? Mbok yang tua pada ke dalam biar yang muda berkenalan.”
tambah bu Aminah, membuatku makin kikuk aja.
“Laya…!, Kesini…” bu Aminah memanggil. Dari dalam terdengar sahutan, dan keluarlah gadis
jangkung, berjilbab hitam dengan motif bunga, pakaiannya berwarna ping juga dengan motif bunga,
di pergelangan tangannya berhias hitam putih renda.
“Ayo-ayo yang tua ke dalam, mari pak Fadhol, nak Iyan, di sini aja ya, Laya sana nak Iyan ditemani
ngobrol.” kata bu Aminah. Laya panggilan dari nama lengkap Ulfa Nurul Layali.
Gadis itu duduk di kursi depanku, banyu minyak wangi lembut segera menerobos hidungku, ku
pandang sekilas wajahnya rupanya dia juga melirikku, mata yang bening seperti embun, alis mata
yang tebal, pipi kemerahan, hidung yang mancung kecil, bibir nan merah dengan lipstik tipis, dagu
yang lancip. Dia duduk menunduk, kulihat tangannya putih, terkulai di pangkuan, jari jemari lentik
saling bertautan, ah denganku teramat jauh, tentu saat itu aku betapa hitam, karena berhari-hari
berjalan di terik matahari, sempat mandi juga waktu di rumah pak Fadhol, tentu wajahku berminyak,
sepeti wajan dan penggorengan. Ah sudahlah dia tak mau denganku juga Alkhamdulillah apa yang
musti dikawatirkan. Aku juga tak ingin kelihatan gagah di muka dia. Perduli amat, batinku,
memompa rasa percaya diri. Lama juga kami terdiam, seperti radio yang menunggu dinyalakan.
“Kok diam aja?” kataku membuka pembicaraan, kalau saling menunggu, lama-lama bibir bisa
kesemutan,
“Kamu juga diam.” katanya membalas. Wah kayak saling lempar kesalahan.
“Kamu tau, kenapa oleh ayah ibumu kita dipertemukan kayak gini?” tanyaku lagi.
“Ya tau, kan udah dikasih tau ama ayah ibu.” jawabnya.
“Berarti kamu setuju, dengan perjodohan ini?” wah kenapa aku yang jadi Polisinya.
“Aku ngikut ayah ibu aja,”
“Wah apakah itu tak membabi buta? Kamu kan baru kenal aku, lagian pasti kamu ndak cinta
padaku, apa nanti tak nyesal seumur-umur.”
“Pokoknya ayah ibu menilai baik, maka aku akan menilai baik, aku hanya mencoba taat, kan surga
ada di telapak kaki ibu, kalau Nabi sudah bilang begitu, kenapa harus ragu?”
“Wah kamu ilmunya lebih mendalam, kalau aku bodoh banget, kamu sekolahnya lebih tinggi…
dan…”
“Kamu sebenarnya mau denganku apa enggak?” tiba-tiba ku rasakan dia menyerang balik aku.
“Ndak tau.” jawabku dengan tatapan kosong ke wajahnya yang berkerut alisnya.
“Ndak tau gimana? Aku kurang cantik menurutmu? Kamu ndak cinta, kan cinta bisa tumbuh karena
kebiasaan? Apa aku kurang kaya? Ini semua nanti akan jadi milikku, aku cuma anak tunggal.”
katanya seakan mengharuskanku untuk mau.
“Kamu cantik, malah terlalu cantik bagiku, hingga membuatku takut, tanganku yang kasar akan
melukaimu kalau menyentuhmu, kamu pinter, malah terlalu pinter bagiku, sehingga kalau aku di
dekatmu kayak gini perasaan kayak ngikuti perlombaan cerdas cermat. Kaya? Wah itu tak
disangsikan, kalau aku menikahimu, kayak memetik buah apel mateng di pohon.”
“Nah tunggu apa lagi…, soal cinta nanti kan bisa dibangun bersama… please bantu aku taat pada
ayah ibuku.” bujuknya.
“Biarkan aku berfikir dulu Ul…” kataku,
“Apa? Kau panggil apa aku?” tanyanya.
“Iya kupanggil Ul, namamu Ulfa kan?”
“Ih masak dipanggil Ul, gak ada mesranya sama sekali, kayak dengkul kepentok kursi aja suaranya,”
dia manyunkan bibirnya meruncing, kayak pensil habis diraut.
“Ya aku musti panggil apa?” aku jadi keki karena tak biasa bermanis manja ama perempuan.
“Ya panggil Laya kek.”
“Wah kok kesannya kamu sudah tua, kalau pake kek segala.”
“Iiih maksudku Laya aja.” katanya gemes, dan pipinya memerah.
“Wah kalau Laya, kok kayak anak kecil meneriakin layangan putus.”
“Udah deh kamu panggil apa aja… Kamu suka ya kalau aku ngambek.” katanya mbesengut.
“Tapi makin cantik kok.” kataku menggoda, maksudku agar dia makin benci padaku, tapi seketika ku
lihat raut wajahnya sumringah.
“Berarti kamu udah mau?” tanyanya.
“Mau apa?” kataku bego.
“Ah masah gak ngerti, kan yang tadi kita omongin.”
“Yang mana? Tentang aku memanggilmu kakek?”
“Iiih, ya udah…! Dia uring-uringan lalu beranjak dari kursi dan berlari ke dalam. Hatiku bersorak,
kena kau ku kerjai. Dalam hati aku berbisik dalam doa, ya Alloh maafkan aku, Engkau tau bukan
maksudku begitu.
Tak lama pak Fadhol keluar diiringi pak Ibrohim dan istrinya.
“Sudah bicara, dan perkenalannya?” tanya pak Fadhol.
“Jangan diambil hati nak Ian, kalau Laya rewel, maklum anak tunggal, jadi manja.” kata istri pak
Ibrohim.
Sebentar kemudian kami pamit pulang. Di jalan sambil membonceng, pak Fadhol bertanya,
“Gimana ngger, cantik kan orangnya?”
“Iya pak, cantik.” kataku.
“Berarti sudah cocok dong?”
“Ndak tau pak.”
“Ndak tau bagaimana?”
“Cocok enggaknya kan tak bisa dinilai sekilas aja pak.”
“Iya bapak ngerti.”
Setelah sholat isyak dan wirid, aku segera tidur, tak mau masalah Ulfa jadi beban pikiranku, bahkan
tak mau dia masuk dalam mimpiku, sampai pagi datang, suara adzan membangunkanku, aku
segera ambil wudhu dan berangkat ke masjid dengan pak Fadhol. Setelah sholat subuh aku wirid
agak lama, hingga pak Fadhol meninggalkanku. Matahari akan muncul, aku baru pulang ke tempat
pak Fadhol.
Sampai di depan rumah pak Fadhol ku lihat motor Mio di depan rumah. Ah pasti ada tamu. Aku pun
melangkah ke pintu dan betapa terkejut aku, si Ulfa lagi duduk di kursi ditemani istri pak Fadhol.
“Ini pagi-pagi udah main kesini nak Ian, pasti semalam Laya tak bisa tidur.” kata istri pak Fadhol,
“Sana ditemani, ibu tak ke dalam dulu.”
“Kok pagi-pagi udah maen?” tanyaku sambil duduk di kursi kayu, sehingga terdengar kriet karena
tergenjet beban tubuhku.
“He-eh, mau ngajak kamu maen.” katanya.
“Main kemana?” tanyaku.
“Ya kemana aja, supaya kita masing-masing saling kenal.”
“Tadi sudah ijin sama ayah ibumu?”
“Sudah.”
“Diijinin?”
“Ya diijinin lah, masak bisa nyampek sini, kalau tak diijinin?”
“Ya siapa tau kamu kabur.”
“Enak aja, emangnya aku perempuan apaan? Aku itu teramat tunduk pada ayah ibuku.”
“Ih promosi…., “
“Ah jangan goda terus ah, mau enggak kamu ku ajak jalan?”
“Kamu tak takut, kalau ku apa-apakan?” tanyaku sambil ku tatap lekat-lekat ekpresi wajahnya, dan
dia balas menatapku dengan titik embun di matanya, sehingga memaksaku memalingkan pandang
dan berlindung pada Alloh atas godaan syaitan yang terkutuk, tapi juga aku mendesah dalam hati,
mengapa begini berat cobaan yang Kau beri duhai kekasih, apakah aku akan berpaling dariMu.
“Kenapa harus takut? Aku tau kamu bukan tipe lelaki seperti itu.”
“Dari mana kamu tau?”
“Dari tatapan matamu padaku.”
“Emang kenapa tatapan mataku?”
“Kamu tak pernah menatapku dengan tatapan birahi.”
“Ah sok ngerti aja kamu, siapa tau di hatiku aku birahi padamu.”
“Ya bagus, kan nantinya kita jadi suami istri.” katanya sumringah.
“Siapa yang mengatakan begitu?” tanyaku.
“Ah tak usah muter-muter ah omongnya, mau enggak ku ajak jalan?”
“Entar dulu aku tak ijin ibu.”
Aku segera berjalan ke dalam dan ijin untuk pergi. Kami pun berboncengan di motor, aku risih juga
ketika Ulfa menempelkan tubuhnya lekat di tubuhku, dan kedua tangannya melingkar di pinggangku,
seperti memakai sabuk ular aja rasanya.
Sebenarnya pikiranku menerawang jauh, mengingat satu-satu tentang mimpi semalam, padahal aku
tak melepas sukma, kurasa mimpiku itu nyata, tentang Ulfa dengan seorang pemuda bernama
Imron. Ketika sampai di jalan sepi, jauh dari perumahan, nampak sebuah warung, kubelokkan motor
ke warung dan berhenti di depan.
“Mau sarapan?” tanya Ulfa,
“He-eh.” jawabku dan segera turun dari motor melangkah ke dalam warung, kulihat perempuan
setengah baya tengah menaruh gelas piring, aku segera memesan teh hangat, juga untuk Ulfa. Ku
comot gorengan, sembari menunggu teh datang, perempuan pelayan warung itupun membawakan
teh hangat, meletakkan di depan kami dan masuk lagi, tinggal aku dan Ulfa, ku sruput teh, rasa
hangat mengaliri tenggorokanku, ku pandang Ulfa di depanku.
“Heh, kenapa menatapku seperti itu?” jengahnya.
“Kenapa kamu tak terus terang?” kataku.
“Terus terang apaan?” tanyanya jidatnya mengerut.
“Terus terang pada kedua orang tuamu, kalau kamu hamil.” kataku datar tanpa ekspresi.
“Ih ngaco kamu, kamu kesambet ya?” katanya wajahnya memerah, pias dia tak dapat
menyembunyikan keterkejutannya.
“Heh, ngaco? Aku tau semua, tentang Imron, tentang hubunganmu dengannya, perbuatanmu
dengannya, dari a sampai z aku tau…”
“Tau? Tau dari mana? Kamu temannya Imron? Imron yang cerita padamu?” Ulfa panik.
“Aku tak pernah kenal dengan Imron, tapi aku tau semua… Walau aku tak kenal Imron, dan tak
pernah ketemu dengannya, tapi aku tau siapa ayah ibunya, rumahnya bagaimana, bahkan kamu
melakukan dengannya di mana aja, kalau tak percaya, kamu melakukan dengannya pertama kali di
sebuah bugalow di pinggiran Telaga Sarangan, apa perlu ku ungkap semua?”
Wajah Ulfa memerah, menunduk dalam, aku harus tega, kebenaran harus diluruskan, walau dalam
hati ada rasa iba menyeruak, untuk tak menyakiti perempuan secantik Ulfa, tapi kebenaran adalah
kebenaran yang tak mengenal cantik atau jelek, diletakkan di manapun kebenaran tetap harus
berjalan dalam relnya.
“Bagaimana mungkin kau tau?” tanyanya seperti anak kecil bego yang tak pernah kenal sekolah,
atau orang tua yang buta huruf, diberitahu bunyi sebaris tulisan.
“Itu tak penting, yang penting aku tau, aku aja tau apalagi Alloh, Alloh Maha Tahu segala-galanya,
kamu bisa mendustai orang tuamu, tapi tak bisa mendustai, dan menipu Alloh, dan jika Alloh
menghendaki aku untuk tau apa susahnya?” kataku.
“Apakah kau seorang auliya’?” tanyanya dengan wajah takut.
“Auliya’? Aku hanya orang sepertimu, yang hampir kau tipu dan kau perdaya, yang akan kau buat
menutupi aibmu.” kataku dengan senyum sinis.
Seketika tubuh Ulfa gemetar, dan luruh merosot dari kursi, dan bersimpuh di tanah, menangis….
“Maafkan aku, maaf… hu.. hu..” suara tangisnya makin keras, membuat ibu yang menjadi pemilik
warung keluar, tapi kembali ke dalam lagi setelah ku beri isyarat dengan tangan.
“Bukan padaku kau minta maaf, kepada kedua orang tuamu, yang telah kau tipu selama ini,
harusnya kau minta maaf, juga segeralah kau bertaubat pada Alloh,” kataku dengan nada lemes.
“Aku tak sanggup, ayah ibu, selama ini betapa menyanjungku, aku anak yang berbakti, aku tak bisa
mengecewakan mereka.” katanya mengiba.
“Lucu…. lalu kamu mau menunggu apa lagi? Mau menunggu orok di dalam rahimmu lahir?” kataku
lumayan ketus.
“Kenapa kamu tak malu dulu pada saat melakukan? Kamu nikmati tiap inci dosa-dosa, ini baru
hamil, belum akibat lebih buruk, kamu masuk neraka, apa kamu sudah merasa kebal dibakar api?
Atau jangan-jangan tak ada iman di hatimu? Jangan-jangan kamu tak percaya akan adanya
keadilan Alloh?” Ulfa terdiam aku lanjutkan kata-kata.
“Apa kamu menunggu keadilan Alloh tiba? Aibmu dibuka di depan makhluq seluruh dunia, dari
jaman nabi Adam sampai sekarang?” Ulfa masih diam.
Tiba-tiba matanya nanar menatapku, merah, dan ada lingkar hitam di sekitar mata.
“Biarkan aku mati! Biarkan..!” “bruak!” dia menggebrak meja, gelas minumannya sampai terlontar
dan jatuh pecah di lantai warung. Lalu dia lari keluar, seperti orang kesetanan, menuju kebun
belakang warung, ada kebun tebu dan gerumbul hutan kecil, aku segera memburu, ku ikuti arah
jeritannya.
“Biarkan aku mati!” Ulfa lari tak terarah, menerobos semak perdu, ku percepat memburu di
belakangnya, setelah dekat ku sergap dari belakang, aku dilempar, ternyata kuat sekali, ah ada
yang tak beres, masak kekuatan wanita bisa melemparku dengan ganas begitu, menyadari hal itu,
lalu ku baca wirid tiga kali, ku salurkan ke tapak tangan, tangan terbuka ku hantamkan ke
punggungnya, Ulfa terpelanting, jatuh terjengkang. Matanya merah menatapku,
“Siapa kau!?” bentakku,
“Hahaha, aku penghuni pohon mahoni tua…” suaranya berat, suara lelaki.
“Kenapa kau memukulku?” tanyanya.
“Aku tak cuma akan memukulmu, tapi akan membakarmu jadi arang kalau kau tak segera keluar
dari tubuhnya.” kataku sambil membaca wirid, menyalurkan tenaga ke tapak tangan, dan
membayangkan tanganku telah berbentuk api, tapak tanganku mulai ku rasa hangat.
“Heh.! Hehehe…, mau kau bakar aku? Kau bakar dengan apa?” tanyanya.
Tanganku mulai memanas, “Lihat ini…” tangan ku acungkan.
“Ampun..!, Ampun…” katanya lagi.
“Cepat keluar!”
“Iya.., aku keluar.” katanya, dan Ulfa pun mengejang, dan lunglai, aku segera mendekati, ku tempel
tangan ke kepala dan punggungnya, untuk mengambil pengaruh jahat yang masih tertinggal, dan
perlahan dia sadar dan membuka mata.
“Hah… Kenapa aku di sini mas…?” tanyanya, tapi segera ku ajak kembali ke warung, diantar
tatapan kawatir oleh suami istri pemilik warung.
“Tak apa-apa mas?” tanya lelaki paruh baya pemilik warung,
“Tak apa-apa kok pak.” jawabku rikuh, setelah sampai di dalam warung aku minta air putih untuk
diminum Ulfa, tak lupa ku isi, supaya hati dan pikirannya tenang.
Setelah memutuskan, aku akhirnya mengantar Ulfa pulang ke rumahnya, sampai di depan rumah,
bu Aminah ibunya Ulfa menyambutku,
“O… nak Ian, mari-mari, ibu kira Ulfa dengan siapa? Ternyata dengan nak Ian, tadi pagi Ulfa juga
pamitan mau main ke tempat nak Ian.” kata bu Aminah, dengan senyum tak dibuat-buat.
“Maaf bu, bapak ada?” kataku tak bertele-tele.
“Oh ada, sebentar ibu panggilkan, ayo duduk dulu di kursi, ibu kedalam dulu..” kata bu Aminah
ramah. Bu Aminah masuk ke dalam, bersama Ulfa.
Sebentar kemudian pak Ibrahim keluar, disertai bu Aminah, dan seorang pembantu yang
membawakan makanan ringan dan minuman.
“Eh nak Iyan, habis jalan-jalan sama Ulfa ya?” tanya pak Ibrahim sambil menyalamiku.
“Iya pak, sambil sekalian ada perlu sedikit sama bapak dan ibu…” kataku tak menunggu masalah
bertele-tele.
“Wah perlu apa kok kelihatannya sangat penting?” kata pak Ibrahim yang duduk di depanku
berdampingan dengan bu Aminah.
“Begini pak…” wah agak rikuh juga menyampaikannya, tapi kalau tak dijelaskan sekarang malah
akan makin panjang dan tak tau kapan berujung pangkal.
“Itu pak…” aku masih kikuk juga, padahal sudah tarik nafas berkali-kali supaya mantap dalam
menyampaikan, tapi rasanya lidah kelu amat.
“Sudah tak usah ragu, disampaikan saja…” kata bu Aminah melihat keraguanku. Mungkin aku tak
langsung ke pokok pembahasan, tapi cari lorong kecil untuk menuju ke muara,
“Sebenarnya, Ulfa sudah punya pacar.” kataku menunggu ekpresi wajah kedua orang di depanku.
“Wah ku rasa itu biasa nak Ian, siapa sih remaja sekarang yang tak berpacaran, melihat tayangan
televisi zaman sekarang seperti ini, remaja juga pasti ikut terseret, jadi bapak kira wajar,” kata pak
Ibrahim sambil ketawa.
“Iya ibu kira juga apa, kiranya cuma masalah itu, nanti juga kan suaminya cuma nak Ian seorang.”
tambah ibu Aminah.
“Tapi bu, pak, masalahnya Ulfa telah hamil.” kataku dari pada muter-muter tak karuan.
“Apa, hamil?!” suara kedua orang di depanku hampir berbareng. Aku manggut.
“Bruak…!” meja digebrak pak Ibrahim, sampai aku kaget tanpa buatan, soalnya tak menyangka
sama sekali kalau meja bakal digebrak.
“Jangan menuduh sembarangan tanpa bukti kau Ian!” bentak pak Ibrahim, dengan mata merah dan
telunjuknya menuding ke arahku, keder juga aku.
“Kalau tak mau jadi jodoh Ulfa, bilang aja tak mau, jangan terus memfitnah tanpa bukti! Tak ku kira
anak pak Mustofa, berpikiran sekeji itu.” muka pak Ibrahim memerah, urat lehernya menegang.
“Sareh pak..!, Ingat penyakit darah tinggimu.” kata bu Aminah. Walau ku lihat dia juga menatapku
marah, keramahannya yang tadi barusan entah terbang kemana.
“Tapi pak, saya tidak menuduh, bapak kenapa tidak bertanya sendiri pada Ulfa, jadi persoalanannya
akan jelas.” kataku, sudah terlanjur nyebur, basah sekalian.
“Panggil Ulfa bu!” bentak pak Ibrahim sambil menepis tangan istrinya yang memegang lengannya.
“Awas kalau ini cuma fitnah,” kata pak Ibrahim memelototiku.
Bu Aminah ke dalam, dan sebentar kemudian telah keluar lagi bersama Ulfa, belum lagi Ulfa duduk
di kursi, pak Ibrahim telah membentaknya.
“Benar kamu hamil!?” Ulfa terdiam masih berdiri menunduk, air matanya mengalir, hingga jilbab
hitam kembang-kembang yang dipakainya basah.
“Jawab! Jangan nangis aja, kamu hamil atau tidak?!” bentak pak Ibrahim dengan suara
menggelegar.
Ulfah manggut.
“Iya….” suaranya lirih tertindih perasaannya yang berkecamuk.
“Dasar anak sial, tak tau diuntung!” pak Ibrohim berdiri, dan mau mengemplang Ulfa, tangan telah
diangkat, aku segera melompat meja, dan memegang tangannya, dan ku tarik mundur.
“Sudah pak… sabar…” bujukku.
“Tak ada sabar, anak telah mencoreng nama orang tua, musti dihajar! Mau ditaruh di mana
mukaku?!” kata pak Ibrohim berusaha lepas dari peganganku. Segera ku tempel tangan ke
pundaknya untuk menyalurkan hawa mengendapkan amarahnya, tak berapa lama pak Ibrahim
membalik ke arahku dan menangis memelukku.
“Sudahlah pak, sudah terlanjur terjadi, jadi dicari aja jalan keluar terbaik.” kataku sambil menepuk
bahunya. Suasana pun kembali tenang. Tapi bu Aminah masih menangis sesenggukan,
“Laya… Laya… dosa apa ibumu ini, sampai dicoba sedemikian beratnya?” katanya.
“Sudahlah bu, semua orang pasti dicoba oleh Alloh, jadi tak usah dikeluhkan, dicari saja jalan keluar
terbaiknya.” kataku setelah menuntun pak Ibrahim duduk di kursi sofa.
“Dan menurutku jalan terbaik adalah menikahkan Ulfa dengan Imron, lelaki yang menghamilinya,
tapi saya tak mau turut campur dengan urusan keluarga bapak, jadi sekalian saya mau mohon diri.”
kataku.
Pak ibrohim berdiri dan memelukku lagi, ”Maaf nak Ian, bapak telah menuduhmu yang tidak-tidak,”
“Tak apa-apa pak, misalkan saya juga akan merasa terhina kalau anak saya dituduh berbuat yang
tidak benar.” kataku.
“Andai kamu yang jadi suami Ulfa, betapa bangganya aku.”
“Yah kalau tidak jodoh, tak bisa dipaksakan….” Aku pun pamit, dan bu Aminah segera ke dalam
mengambil bungkusan kerdus dan menyerahkan uang dalam amplop, aku menolak tapi bu Aminah
tetap memaksa, terpaksa ku terima, aku pun kembali ke tempat pak Fadhol, sampai di rumah pak
Fadhol, melakukan sholat dzuhur, dan aku pun pamit melanjutkan perjalanan, apa yang diberikan
oleh ibu Aminah ku serahkan semua kepada pak Fadhol, juga uang dalam amplop, yang ku tak tau
berapa isinya, awalnya pak Fadhol dan istrinya menolak, tapi setelah ku bujuk, akhirnya uang dan
bungkusan dalam kerdus pun diterima, hingga aku bisa melanjutkan perjalanan dengan perasaan
enteng tanpa beban.
Angin persawahan, yang membawa aroma lumpur dan harum dedaunan mengantar setiap pijakan
kaki, kuputuskan pergi ke daerah Bojonegoro melewati daerah persawahan dan kedalaman desa
terpencil, yang mata-mata penduduknya menatap aneh padaku, kadang ku sebrangi sungai, kadang
ku susuri pematang, kadang aku nikmati burung-burung yang berloncatan riang di dahan,
mencarikan makan untuk anak-anak mereka yang menunggu di sarang, sambil duduk aku
selonjorkan kaki di bawah pohon yang rindang, melepas lelah.
Sesekali orang di sawah menyapaku, ah ketabahanku kalah dengan mereka, yang tiap hari bergelut
dengan lumpur, menanam padi, merawatnya, sampai panen, dengan kesabaran, panen tak bisa
dipaksakan, betapa tawakalnya mereka, tak memaksakan hasil cepat didapat, walau hasil lama
didapat, tapi mereka dengan sabar datang ke sawah, entah mencabut rumput, mengusir tikus, dan
mengusir burung, layakkah aku mengharap keberhasilan tanpa susah payah? Layakkah aku hanya
duduk ongkang-ongkang, lalu mendadak dekat dengan Alloh, sang kekasih.
Ah aku malu, cepat ku ayunkan kaki, mungkin aku harus lebih semangat dalam pencarianku, hingga
dapat mengeja khaliah dari Robku.
Ya Alloh tuntunlah setiap gerak gerikku,

Sang Kyai 
EPISODE: 49. AKIBAT MEMPELAJARI ILMU TANPA GURU
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Dua hari perjalanan, akhirnya aku sampai di kota Bojonegoro, selama dua hari ini aku tidur di alam
bebas, juga hanya makan jambu hutan dan pisang yang tumbuh di hutan, jadi perut kempes, tapi
aku berusaha untuk tawakal berserah pada yang memberi hidup, sore hari ketiga setelah keluar dari
tempat pak Fadhol aku sampai ke Bojonegoro, aku berjalan terus arah selatan terminal lama, aku
berjalan sampai di satu mushola daerah Pacul, aku berbelok mengambil wudhu kemudian sholat
ashar, setelah sholat aku duduk tenggelam dalam wirid, tiba-tiba di belakangku terdengar piring dan
gelas diletakkan di lantai mushola.
Setelah wirid selesai aku menengok seorang pemuda berambut panjang dan berpeci putih tengah
duduk, di depannya ada nasi lengkap dengan lauk pauk, umur pemuda itu sekitar 30 tahun, dia
tersenyum padaku.
“Mari mas makan dulu,” katanya ramah.
“Wah saya sudah menunggu dari tadi, takutnya mengganggu wirid.”
Aku mengulurkan tangan, mengajak kenalan, “Febrian.” kataku menjabat tangannya.
“Mashur.” ucapnya memperkenalkan diri,
“Sudah ayo makan dulu, ngobrolnya dilanjutkan nanti, sambil makan.” katanya sambil
mengangsurkan piring ke hadapanku, kulihat sayur terong, ikan bandeng, sambal trasi sebagai lauk,
terasa nikmat.
“Mas Ian ini musafir ya?” tanyanya.
“Iya.” jawabku sambil menikmati makan yang nikmat.
“Kok tau aku musafir?” tanyaku.
“Ada seorang pemuda yang dari kemarin telah menunggu mas di rumahku,” katanya.
“Seorang pemuda?”
“Iya mas, katanya dia mendapat bisikan dari gaib disuruh menunggu mas, pokoknya orang yang ciri-
cirinya seperti mas ini, yang akan singgah di mushola ini, itu orangnya masih di rumahku,” kata
Mashur menjelaskan.
“Wah ada apa ya?” tanyaku heran.
“Nanti aja tanya sendiri mas ke orangnya, wah ayo mas, nasinya nambah lagi.”
Kami makan dengan lahap, hampir satu bakul kami habiskan berdua, seakan kami ini kenalan lama,
di sela-sela makan kami bercanda.
Mashur orangnya supel dan ramah, dia hidup dengan istri dan dua anaknya, punya pesantren kecil
di belakang rumah, yang isinya santri-santri yang ada sambil sekolah, juga ada yang sambil kerja.
Muridnya cuma 10 orang.
Setelah makan aku diajak menemui seorang pemuda yang katanya telah menunggu kedatanganku
sejak kemarin di rumah Mashur. Pemuda itu bernama Ilham, ketika masuk ke rumah Mashur
pandang mataku segera menangkap sosok pemuda kurus, ceking, matanya menjorok ke dalam,
pertanda telah mengalami berbagai keprihatinan, tapi setelah sebentar mengamati, aku seperti
pernah melihat pemuda ini, tapi aku mengingat-ingat sebentar….. yah pemuda ini pernah ada dalam
satu mimpiku, entah 3 bulan atau berapa bulan yang lalu, aku telah melihat masa lalunya tanpa aku
tau bagaimana caranya, kami bersalaman, dia mencium tanganku, ku biarkan saja.
“Ilham.” katanya menyebutkan nama. Aku juga memperkenalkan namaku. Aku manggut-manggut
kulihat aura hitam menggumpal-gumpal melingkupi tubuhnya, dan aku benar-benar ingat pada
semua mimpiku.
Dalam mimpi itu aku melihat pemuda ini mempelajari ilmu tanpa guru, jadi dari membaca-baca
buku, tanpa pembimbing, dia mengikuti petunjuk buku itu, dia menyepi di salah satu makam yang
dikeramatkan, berhari-hari dia menyepi, berpuasa dan menekuni amalan dari buku tersebut, entah
di hari yang ke berapa, di suatu malam di makam itu, sendiri dia membaca wirid dari buku, dan
datanglah orang tua berjenggot panjang,
“Ngger, aku akan memberikan ilmu padamu, tapi kau harus menghentikan salat 5 waktu,
bersediakah kau ngger?” tanya orang tua itu. Ilham pun manggut. Maka orang tua berjenggot itu
memasukkan cahaya dari tapak tangannya ke kepala Ilham.
Persis setelah kejadian itu Ilham tak pernah sholat, tapi aneh dia bisa mengobati berbagai penyakit.
Waktu berlalu Ilham masih aktif duduk di makam keramat itu, sambil membaca amalan dari buku.
Entah yang ke berapa malam, dia didatangi bung Karno, presiden RI yang pertama, ”Ngger Ilham,
aku akan memberi ilmu padamu, tapi kau harus mau membakar warung tempat menjual minuman
keras di ujung desa.” pesan bung Karno.
Setelah pulang dari makam, Ilham linglung, betapa tidak, bagaimana harus membakar sebuah
warung minuman? Bagaimana kalau nanti seluruh desa terbakar? Tapi ini perintah presiden RI,
yang akan memberikan ilmu padanya, tiap malam Ilham merenung, tiap hari dia bengong karena
suara bisikan yang berkecamuk tumpang tindih dalam hatinya.
Malam itu jam 2 dini hari, Ilham telah bertekat, berangkat dengan motornya dan berbekal bensin 5
liter, dia mendatangi warung bensin di ujung desa, motor dia setandarkan, dia menghampiri warung
dan menyiram pinggir dan dinding warung dengan bensin, korek api dinyalakan dan wus, warung
pun terbakar, Ilham kabur dan mengawasi dari jauh hasil karyanya, dengan seringai puas,
sementara api menjilat habis warung dan segala isinya, rumah di sebelah warung pun mulai terjilat
api, untung yang punya rumah segera terbangun dan berteriak kebakaran, jadi satu keluarga masih
bisa menyelamatkan diri, orang desa mendengar teriakan kebakaran segera berdatangan bahu
membahu memadamkan api, walau tak urung rumah di sebelah warung ludes terbakar, tapi api
telah dapat dipadamkan.
Pemilik warung, suami istri dan anaknya yang masih bayi hangus terbakar, tak bisa tertolong lagi.
Orang-orang bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab kebakaran, tapi tak ada yang tau,
Sementara Ilham besok malamnya menunggu di pemakaman keramat, dan bung Karno pun datang
menyerahkan sebuah keris. Setelah mendapat keris itu, Ilham makin sakti, kebal senjata, dan dia
makin serius di pemakaman keramat, hari-hari berlalu.
Malam itu, Ilham masih tekun membaca amalan, hio telah beberapa kali padam dan dia nyalakan
hio yang baru, tiba-tiba tercium bau wewangian teramat harum menyeruak memenuhi seantero
pemakaman keramat, baunya amat harum, sehingga membangkitkan birahi, dan perlahan tapi pasti,
nampak bentuk perempuan cantik di depan Ilham, cantik tiada terkira, tak pernah Ilham melihat
wanita cantik sesempurna perempuan muda yang ada di depannya, biar kata semua artis Indonesia
disatukan lalu dikareti, masih tak mampu menandingi perempuan ini, cantiknya sulit digambarkan,
sampai biasanya Ilham yang tak begitu doyan cewek, kali ini jakunnya naik turun kayak gergaji,
seperti kehausan yang teramat sangat di tenggorokannya, kayak jakun itu kurang oli.
“Apakah kau tak ingin jadi suamiku? Dan tak ingin kaya?” tanya perempuan itu, suaranya merdu,
seperti alat musik petik yang dipetik dengan hati-hati takut putus senarnya, atau suling yang ditiup
dengan nafas yang telah berlatih menemukan nada terhalus dari suara,
“Ho-oh mau… mau.. mau..” kata Ilham air liurnya sampai membanjir tak karuan, apalagi melihat baju
biru tipis yang membungkus tubuh si perempuan, sehingga memperlihatkan samar pemandangan
yang membangkitkan birahi.
“Tapi kau harus memenuhi syaratku.” kata perempuan itu, sambil melenggak lenggok di depan
Ilham, yang membuat pemuda itu makin empot-empotan.
“Apa…. apa syaratnya..?” tanya Ilham dadanya sesek, ampek nahan nafsu yang membuncah.
“Syaratnya kau harus membakar pasar kecamatan.” kata perempuan itu dan Ilham terlongong-
longong sampai perempuan itu sirna dari hadapannya.
Setelah pulang dari makam keramat, Ilham pun linglung, membakar pasar kecamatan Bangilan?
Bagaimana mungkin? Tempat orang-orang menggantungkan nafkah keluarga, bahkan ibunya Ilham
berjualan pakaian di pasar itu. Tapi ketika terdengar bisikan merdu merayu, dan tercium harum
memabukkan, tanpa sadar Ilham pun memacu motornya ke pasar yang berjarak dua kiloan dari
rumahnya dengan membawa jurigen bensin, tapi begitu sampai di pasar, kesadaran dan nuraninya
menolak, maka dia pun linglung, menggelosor begitu saja di tengah pasar, dan kalau sudah begitu
orang-orang di pasar pun ramai, yang susah juga ibunya Ilham harus membawanya pulang dengan
becak. Dan hal itu terjadi berulang-ulang, orang pasar pun menganggap Ilham gila, karena terjadi
terus menerus. Ilham pun dikunci dalam kamar, kalau bisikan datang dia menggedor-gedor pintu,
ingin membakar pasar, tapi kalau kesadarannya muncul maka Ilham cuma merenung bengong,
Telah bermacam dukun dan paranormal didatangkan untuk mengobati, tapi malah ada yang
dibanting dan ada juga yang sampai digotong pingsan, itulah yang ku lihat dalam mimpiku.
“Bagaimana kabarnya?” tanyaku setelah duduk di kursi kayu rumah Mashur.
“Ah ndak baik mas.” katanya, dengan pandangan cowong matanya menjorok ke dalam, dan ada
kantung mata di sekitar mata Ilham, menunjukkan dia tak pernah nyenyak tidur.
“Hehe…. Kamu kan yang membakar warung minuman keras?” tanyaku sambil tertawa.
“Iya mas.., tentu mas sudah tau keadaanku.” kata Ilham menunduk.
“Kata siapa aku sudah tau keadaanmu? Tapi udahlah yang penting 3 jin dalam tubuhmu musti
dihilangkan.”
“Saya pasrah saja, apa yang terbaik menurut mas Ian.” katanya mengiba.
“Tapi aku ingin tau dulu, kenapa kok kamu bisa tau aku akan singgah di mushola sini?”
“Ceritanya begini mas, saat aku dikunci terus dalam kamar oleh orang tuaku, waktu antara sadar
dan tidak, maksudku tidur dan terjaga, aku didatangi orang tua, yang mengaku kakek buyutku.”
katanya bercerita, dia menarik nafas dalam. Biar ceritanya tambah lama.
“Kakek itu berpesan, tunggu pemuda di mushola Annur daerah Pacul, minta tolong untuk membantu
masalahmu, apa yang dia katakan turuti saja. Begitu pesan kakek itu, yang mengaku sebagai kakek
buyutku,” kata Ilham mengakhiri ceritanya,
“Lalu bagaimana kamu tau pemuda yang kau tunggu itu aku?” tanyaku.
“Kakek itu juga menyebutkan ciri mas lengkap, dan saya cerita sama mas Mashur juga, jadi ketika
mas muncul di mushola, baru saya yakin mimpi saya bukan mimpi bohong.”
“Begitu rupanya,” kataku, padahal pakaianku uapek banget, juga bauku kulit yang terbakar matahari.
“Terus sekarang bagaimana mas..?” tanya Mashur yang dari tadi diam menyimak.
“Ya jinnya harus dikeluarkan,” kataku menjawab.
“Wah apa perlu kembang setaman, dan menyan mas? Kalau iya, biar saya yang ke pasar, apa aja
syaratnya mas?” tanya Mashur.
“Ya tak perlu syarat apa-apa.” kataku. “Cuma perlu persetujuan Ilham aja.”
“Persetujuan apa lagi mas?” tanya Ilham setengah bengong.
“Ya kamu benar-benar sudah ikhlas, jin yang ada dalam tubuhmu ku cabut?” tanyaku menunggu
jawaban mantep dari raut wajahnya.
“Kan sudah saya bilang, saya pasrah pada mas Ian, apa yang terbaik, jadi saya rela serela-relanya.”
katanya mantep.
“Walau semua ilmumu hilang?” tanyaku.
Ilham sebentar merenung, tapi kemudian berucap, “Sudah saya siap, walau tak punya ilmu, tak apa-
apa, yang penting saya bisa hidup wajar seperti orang lain.
“Baiklah. Sekarang duduk membelakangiku.” kataku, sementara aku berpikir, ah aku ini belum
pernah mencabut ilmu seseorang, juga jin yang menyatu karena seseorang mengamalkan ilmu,
apakah aku bisa dan mampu?
Ku ingat Kyai waktu mencabut ilmu seseorang, cuma seperti mengambil buah dari punggung orang
itu, digenggam lalu dibuang, kalau aku, ah tentu belum bisa setarapan itu, lalu bagaimana?
Pikiranku mencari jalan keluar, tapi tanganku perlahan menempel ke punggung Ilham, wirid ku baca
tiga kali-tiga kali, aliran hawa panas dan dingin segera menggebu dalam pusarku naik mengalir ke
tanganku. Tiba-tiba, tanganku seperti tersedot kekuatan kasat mata di punggung Ilham, karuan
tanganku menempel pada punggung Ilham, ku pejam mata, kurasakan tenang dari tubuhku
menggulung-gulung masuk tubuh Ilham, aku segera membaca doa khijab dan minta pada Alloh,
supaya mukzijatnya Nabi dan karomahnya para wali masuk ke tubuhku, ku rasakan udara dingin,
mendekat sejuk mengalir ke setiap pori tubuhku, tangan ku renggangkan ku sedot apa yang ada di
dalam tubuh Ilham ku genggam dalam satu tangan, dan tangan kiriku membuat gerakan mengikat,
lalu ku lempar jauh-jauh, sementara Ilham menggelosor di kursi, entah pingsan, entah tidur, tapi
wajahnya menyiratkan kedamaian.
Ku ambil teh yang terhidang di meja, untuk membasahi tenggorokanku yang lumayan kering, lalu ku
nyalakan rokok Djarum yang disuguhkan di meja.
“Bagaimana kang?” tanya Mashur.
“Syukur mas, udah beres, udah biarkan dia tidur.” kataku sambil mengusap keringat yang mengalir
di jidat.
“Wah mau minta doanya mas, biar pondok saya ramai.” kata Mashur, ketika kami berdua duduk di
emperan mushola, meninggalkan Ilham yang tengah tidur di kursi.
“Ah kita ini sama kang Hur, kang Hur diberi tangan dan kaki dua, saya juga, jadi pada kenyataannya
kita ini sama,” kataku,
“Kenapa kang Hur tidak berdoa sendiri, minta pada Sang Kholik agar apa yang kang Hur harap bisa
terwujud.”
“Kalau begitu, saya mbok dikasih amalan, biar santri saya tambah banyak.” kata Mashur sambil
menyedot dalam-dalam rokok mlinjo.
Aku pun minta pena dan kertas, dan menulis amalan untuk mendapatkan santri banyak.
“Aku sebenarnya nyari tempat untuk nyepi, mengheningkan diri, apa di sini ada?” kataku setelah
menyerahkan catatan amalan.
Kulihat Mashur menerawang, lama tak menjawab pertanyaanku.
“Mas Ian mau, ada tempat di pasar Pacul, tempatku yang tak terpakai,” katanya kemudian.
“Yah kita lihat aja dulu…” jelasku.
Dengan naik motor GL aku diantar Mashur ke pasar Pacul, yang telah terlantar tak terurus, dan
menunjukkan toko yang telah jebol dinding papannya, yah cukuplah untuk tempatku menyepi, maka
malam itu aku mulai membersihkan bekas toko itu, dan ditinggal sendirian di pasar. Ku ambil air di
sumur pompa belakang pasar, sedang waktu magrib telah tiba, ku ambil air wudhu dan menjalankan
sholat di dalam toko, tapi waktu aku selesai wudhu, seorang jin menghadangku, perawakannya
hitam, pakaian sobek-sobek, dan tubuh hitam legam, seperti mandi oli,
“Ada apa kau menghadangku?” tanyaku, sambil mengusap air wudhu yang mengalir di jenggot
kecilku.
Wajah tirusnya mengguratkan rasa takut, bibir merahnya dan taring yang mencuat, meneteskan air
liur, yang membuatku tak bisa untuk tak meludah, dia mundur, “Ada apa?” tanyaku lagi.
Terdengar suaranya mendengung, seperti suara lebah, tapi dengan nada berat, aku pun membuka
batin.
“Aku mewakili, para penghuni pasar ini, kami minta tuan tidak bertempat di pasar ini….” katanya.
“Memangnya kenapa?”
“Kami merasa panas.”
“Kalau aku tetap bertempat di sini bagaimana?”
“Sungguh kami sangat memohon tuan….” katanya dan perlahan menghilang. Aku pun melangkah
ke dalam dan melakukan sholat magrib, setelah wirid, aku pun beranjak, keluar, ah mungkin aku tak
usah mengganggu keberadaan para jin, aku pun memutuskan pergi, menelusuri jalan sampai ke
setasiun kereta api. Setelah sholat isyak di musola setasiun, aku selonjorkan tubuh di kursi setasiun.

Sang Kyai 
EPISODE: 50. AKU TELAH BERJALAN TERAMAT JAUH
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Seminggu telah berlalu, aku hidup di stasiun Bojonegoro, tak pernah mandi, tidur seadanya, kadang
menggelosor di lantai setasiun aja, jadi tubuh dan lengan panjang, celana jean belel sudah tak
karuan warnanya, karena tertempel debu dan oli kereta, juga rambut panjangku lengket dan gimbal,
hingga tak jarang orang menyebutku gila.
Aku tak perduli, terlalu terlena dengan robul izati, tenggelam dalam wirid-wiridku, tenggelam teramat
dalam, bahkan aku pun tak memikirkan makan, karena memang tak ada sejumputpun rupiah di
saku, aku kadang makan sepotong nasi yang jatuh ke tanah,
Kadang juga cuma minum air wudhu, walau seminggu tubuhku telah teramat kurus.
Hari itu hari minggu, setasiun teramat ramai, aku menggelosor aja di lantai, tenggelam dalam
wiridku, tiba-tiba tangan halus menepukku dari belakang, “Iyan…? Iyan khan?”
Ku buka mataku yang terpejam, dan menengok ke belakang, seraut wajah gadis cantik nan anggun
dengan balutan jilbab coklat tua, membungkuk di belakangku, “Ya Alloh, Ian, kenapa sampai jadi
gini….” kata gadis bernama Eka Damayanti, dia langsung memelukku dari belakang.
Eka Damayanti, nama gadis itu, ku kenal waktu aku kelas 2 SMA dan masih aktif menulis di majalah
remaja, pertama perkenalanku, dia waktu itu mencari rumahku, dan dia salah satu dari penggemar
karya tulisku, aku pulang sekolah ketika Eka berdiri di pinggir jalan menuju lorong rumahku, dia
menghentikanku, “Mas… Mas… berhenti…” tegurnya. Aku baru turun dari Angkot.
Aku pun berhenti, dan menunggunya datang menghampiri, saat itu Eka masih belum memakai
jilbab, rambutnya diikat dengan pita merah, dan wajahnya anggun, menyiratkan kedewasaan.
“Ada apa mbak?” tanyaku.
“Maaf ngeganggu sebentar, mau tanya nih mas…?” katanya dengan nada datar tapi merdu dan
terdengar centil di telingaku.
“Tau alamat ini gak mas?” tanyanya, sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Di situ
tertulis, Febrian, kulon pon pes Al-alawi Sendang,
“Wah itu aku mbak.” kataku setelah membaca sebaris alamat di kertas yang ditunjukkan padaku.
“Ih yang bener?” katanya tersenyum ceria, dan ada binar bintang di matanya.
“Ya benerlah, masak bohong, tau dari mana tentang alamatku? Perasaan aku tak punya kerabat
kayak embak.” kataku menyelidik.
“Aku ini bukan kerabatmu, tapi penggemarmu, kamu penulis khan? Nah aku ini salah satu
penggemar beratmu.” katanya menjelaskan dengan mimik yang lucu, kayak guru TK menerangkan
pada muridnya.
“Wah jadi malu nih, aku cuma penulis kacangan, karyaku juga cuma ngawur aja, gak bermutu.”
kataku salah tingkah.
“Tapi aku benar-benar kagum, sungguh, kamu calon penulis besar.” katanya memuji.
“Wah ini mau ke rumah atau ngobrol di sini aja.” kataku, karena kami dari tadi cuma berdiri di pinggir
jalan.
“Eh iya, kayaknya aku juga belum kenal namamu?” kataku setengah bertanya, saat kami berdua
menyusuri tanggul paping blok jalan di depan rumah,
“Eka Damayanti….” katanya, sembari menyodorkan tangan mungilnya. Aku pun menjabat erat,
penuh persahabatan.
“Febrian, dah tau namaku khan?” candaku.
Dan tak terlalu lama kami pun nyampai depan rumahku. Itulah perkenalanku dengan Eka, dan sejak
saat itu kami menjadi akrab, karena Eka hampir tiap minggu main ke rumahku, rumah dia di daerah
Rengel, jadi masih satu kabupaten denganku.
Setahun telah berlalu, dan aku telah kelas tiga SMA, dan Eka menjadi salah satu sahabat, yang
mengagumiku, dia selalu mensuportku untuk menghasilkan karya-karya tulisku.
Aku teramat terbuka dengan Eka, sampai soal pacar-pacarku Eka juga tau, suatu hari aku dan Eka
jalan-jalan ke Tanjung Kodok, “Yan…” kata Eka, ketika kami duduk di bawah tenda dan menikmati
es kelapa muda, sambil merasakan semilir udara pantai yang membawa bau air laut yang khas,
“Ada apa?” tanyaku sembari mengeluarkan rokok Djarum merah.
“Umpama kita jadian gimana?” katanya dengan tatapan kepadaku, serius.
“Maksudmu mahluk jadi-jadian?” kataku mencandainya, memang aku paling suka kalau dia
mbesengut.
“Ah kamu, aku ini serius.!!” benar juga dia mbesengut, dan dari situ terlihat jelas kecantikannya yang
khas.
“Iya… iya, aku ngerti kamu serius.” kataku buru-buru mencegah kemarahannya.
“Trus gimana? Kamu setuju enggak?” tanyanya.
“Kamu tau sendiri lah Ka…, aku kan ceweknya banyak, aku tak tega kalau kamu jadi kemakan hati.”
“Kenapa semua cewekmu tak kamu putusin aja.!?”
“Wah, aku juga tak setega itu untuk memutusin mereka.” memang waktu itu cewekku ada 18 an, ah
bisa dibilang raja pelet,
“Wah kamu ini tak tega atau kemaruk, tamak, aku heran juga kenapa mereka, cewek-cewek itu
mau-maunya kamu renteng-renteng kayak tasbih.”
“Itu kan urusan mereka Ka,”
“Aku jadi heran Yan…”
“Heran kenapa?”
“Ya, apa mereka semua akan kamu jadikan istri semua…,?”
“Wah la ya enggak lah, mana mampu aku melayani mereka semua, bisa habis darah dihisap dan
aku tinggal tulang.”
“Emangnya cewek lintah? Ngaco kamu.”
“Ya mending ngomong ngaco, daripada diam kayak batu, bisa-bisa dianggap arca, trus digotong
orang ditaruh di Klenteng, ckakakak…”
“Ah jangan ngomong ngaco ah, trus kalau semua tak kamu jadikan istri kan pasti yang tak jadi
istrimu akan sakit hati?”
“Kan aku terbuka, mereka mau jadi cewekku, kan udah aku ceritain semua tentang aku, lagian aku
udah ngenalin antara satu dengan yang lain.”
“Bener-bener tak habis pikir aku Yan.., wah jangan-jangan kamu pakai ilmu pelet? Wah jangan-
jangan juga aku kamu pelet?”
“Pelet semar ngakak? Ya kamu ngerasa dipelet enggak?”
“Bener aku ingat kamu terus.” katanya serius.
“Kalau malam ingat sampai kebawa mimpi?” tanyaku.
“He-eh.” jawabnya manggut.
“Wah kamu dah kena penyakit cinta, ckakakak…” kataku dan Eka pun mencubit lenganku.
Itulah aku dengan Eka selalu terbuka lepas, tapi betapapun Eka sayang padaku, tapi kami tak
pernah menjalin asmara, karena aku tak pernah mau memutuskan sepihak pada pacarku, dan
hubungan kami sebatas sahabat, sahabat yang saling mengerti, sampai aku bertaubat, dan
meninggalkan masa lalu kelam, bayangan Eka pun ikut hilang menjadi masa lalu, masa lalu yang
ingin ku hapus dari ingatanku, masa lalu yang hanya ku ingat ketika aku menangis pada satu
kekasih yaitu Alloh. Menghaturkan hina dan dosaku yang minta diampuni,
“Yan…! Kenapa kamu menjadi begini…” suara Eka memelukku dari belakang, tak perduli pakaianku
yang kotor, tak perduli pandangan aneh semua orang yang ada di setasiun. Aku ingin menjelaskan
pada Eka, aku bukanlah Ian yang dikenalnya dulu, tapi aku ragu apa ia akan mengerti.
“Ka… Kamu tak malu dilihat semua orang?”
“Aku tak rela kamu begini Yan…” katanya, tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dan
mengajakku berdiri, air matanya meleleh membasahi jilbab coklat mudanya. Dulu Eka bukan gadis
yang suka memakai jilbab. Sampai pada pertemuan yang terakhir kami, aku mengantarnya
mendaftar di perguruan tinggi. Kami dalam satu bus menuju Surabaya.
“Yan…! Andai kau menghayal punya istri, kamu mengharap punya istri yang bagaimana?” tanyanya
dengan tatapan serius ke wajahku.
“Aku?” aku menerawang, “Aku membayangkan punya istri yang sholikhah…, ya setidaknya yang
memakai jilbab,” kataku pasti.
“Berarti aku bukan termasuk kategori yang kau harapkan ya?” tanyanya seperti pertanyaan adikku
minta permen.
“Ah sudahlah Ka, jodoh kan di tangan yang kuasa, andai kamu jodohku, aku juga tak kan menolak.”
kataku tandas.
Tapi sampai di Surabaya, Eka mengajakku ke Butik busana muslim dan dia memborong jilbab.
“Wah untuk apa Ka, jilbab sebanyak ini?” tanyaku heran.
“Untuk persediaan aja Yan, siapa tau, aku jadi jodohmu, hehe…” katanya sambil tersenyum manis,
karena salah satu jilbab langsung dia kenakan.
“Hm… Kamu makin cantik aja Ka, kalau makai jilbab.” pujiku tulus.
“Ah yang bener…” katanya dengan pipi bersemu merah.
Dan sekarang, hatiku teriris, Eka menangis di depanku, karena menangisi keadaanku.
“Ya Alloh, ampunkan aku, kenapa kau jadikan hatiku selalu runtuh oleh tangis wanita… Kenapa tak
kau uji aku dengan yang lain saja.” keluh hatiku, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya,
mengikuti saja, kemana Eka menarik tanganku.
Aku diseretnya masuk depot makan, lalu dia memesan nasi dan sepotong ayam panggang, juga
dua gelas es jeruk. “Nih makan… Pasti kamu beberapa hari tak makan….” katanya menyodorkan ke
depanku, seperti seorang ibu menyodorkan nasi pada anaknya,
Ku pandangi nasi di depanku, betapa nikmatnya ayam bakar, sambel kecap, air liur begitu saja
terkuras dari sela-sela gigi membasahi tenggorokan yang tak sabar ingin menikmati kelezatan.
Tapi aku terpaku, hatiku seperti terbang entah ke mana, ke dunia yang penuh asma Alloh.
“Heh makan..!” kata Eka suaranya seakan jauh, walau tepukannya di pundakku.
“Apa kamu sudah lupa cara makan, nih biar ku suapi…” kata Eka yang segera mengambil piring di
depanku, dan mulai menyuapiku, pandangan mataku kosong, aku telah berjalan jauh, jauh, dan
teramat jauh, sampai di kedalaman dunia, dunia yang hanya kedamaian, danau menghijau, suara
airnya melantunkan ayat-ayat suci, pohon-pohon menghijau, tertiup angin singkronisasi,
mengalunkan dzikir dengan suara berirama, embun yang setiap waktu turun dan seakan enggan
sampai ke tanah, karena terlena oleh puja puji pada sang khaliq.
Matahari yang bersinar lembut, dengan kehangatan yang seakan diukur oleh dokter paling ahli,
sehingga seperti selimut yang membuatku teramat mengantuk dan terlena, dan aku tak sadar lagi.
“Yan…!” suara itu mengagetkanku, suara Eka yang menangis dan memelukku, air matanya
membasahi pipi dan bajuku. Aku kaget, segera melepas pelukannya. Ku lihat piring di depanku telah
ludes, juga wedang jeruk telah tinggal gelasnya saja.
“Yan., sadar Yan…!” Eka menepuk-nepuk pipiku.
“Aku sadar…” kataku.
“Udahlah Ka… mending kamu tinggalin aku…” kataku.
“Tak bisa, kalau perlu aku akan ikut denganmu…” katanya tegang.
“Kamu ini aneh-aneh aja, ya tak bisalah, kamu lihat sendiri keadaanku, bagaimana kamu mau ikut
denganku?”
“Kamu mau lari dari kenyataan Yan? Kamu tak menerima keadaanmu, hingga mau pura-pura gila?”
tanya Eka mencari kesepakatan.
“Siapa yang lari dari kenyataan? Bahkan aku sangat menerima kenyataan, sudahlah Ka, jangan
ngajak berdebat, untuk saat ini biarlah aku sendiri.” kataku memelas,
“Tapi Yan, aku tak rela kamu begini….” Eka menangis lagi, tanganku diraihnya dan ditempel ke
pipinya, ada air mata mengaliri punggung tanganku.
“Kadang sesuatu, harus direlakan, aku juga bukan mau mati, kenapa musti kau tangisi.”
Eka melepas tanganku, dan mencopot gelang, cincin, kalung yang dipakainya dan
menggenggamkannya ke tanganku.
“Ini buatlah bekal, jangan lupakan aku.” katanya dan beranjak pergi.
Sekejap aku bengong, tapi segera mengejar ke arah mana Eka pergi, ku lihat dia berdiri di tepi jalan,
mencegat bus jurusan Tuban.
“Ka ini apa-apaan,” kataku mengangsurkan segenggam emas ke tangannya.
“Udah pakai untuk bekalmu.” katanya menampik tanganku.
“Gak bisa Ka, kamu mau aku ditangkap Polisi, dengan tuduhan merampokmu?”
“Siapa? Polisi mana yang mau menangkap, kan itu ku berikan ikhlas padamu.”
“Ka… tak bisa Ka…,” ku angsurkan lagi emas ke tangannya tapi dia tolak.
“Maumu apa sih Yan? Aku ikut denganmu tak boleh, aku tak tega kau begini, aku tak bawa uang,
biar perhiasanku untuk kau jadikan bekal…, tolong Yan… Jangan kau biarkan aku menangis tiap
malam karena mengkawatirkanmu…” Eka menangis lagi.
“Mengapa tak juga kau mengerti, betapa aku menyayangimu, dan teramat menyayangimu…”
katanya sambil berjongkok dan menangis sampai tubuhnya terguncang.
“Baik Ka, sekarang apa yang kau mau? Tapi jangan kau suruh aku membawa perhiasanmu…”
kataku ikut berjongkok.
Dia membuka tapak tangannya yang ditutupkan ke wajahnya.
“Sekarang ikut pulang ke rumahku.” katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Baik, ini terima perhiasanmu dan simpan.” kataku mengangsurkan perhiasan ke tangannya, pas
ada bus jurusan Tuban berhenti, dan kami pun segera naik.
Sampai di rumah Eka, aku pun turun dari bus, masih digandeng Eka, dengan tatapan aneh para
penumpang bus, sampai di dalam rumah, aku langsung digeret ke sumur, ah biarlah, Eka juga tak
akan membunuhku, tatapan bu Asih, dan pak Junaidi, yang ada di kamar tamu, tak digubris, kedua
orang itu cuma sempat ngomong, “Lho Ka, kok sama mas Ian….” tapi kata mereka tak dijawab, juga
tak sempat aku jawab, aku telah digeret ke sumur, dan air satu timba diguyurkan padaku,
“Udah Ka, aku bisa mandi sendiri,” kataku repot, gelagapan.
“Udah biar aku yang mandiin….” katanya sambil mengambil sampo dan mencuci rambut panjangku
yang gimbal.
“Udah Ka… Biar aku mandi sendiri…! Udah ambilin handuk aja.” kataku, ketika Eka mau mencopot
kaos lengan panjangku.
Eka tanpa berkata, pergi meninggalkanku, aku telah selesai mandi ketika Eka datang membawa
handuk dan pakaian ganti, dan tanpa babibu, dia langsung mengelap rambut dan tubuhku.
“Udah aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju.” kataku mengambil baju ganti dari tangan.
“Ku tunggu di kamar tamu ya, tuh ayah nanyain…” kata Eka dari luar kamar mandi.
“Heeh, udah nanti aku ke sana.” jawabku.
Setelah ganti baju, aku segera ke ruang tamu, pak Junaidi, pegawai pemda, orangnya ramah dan
suka bercanda, bu Asih ibunya Eka, seorang guru SMP, mereka berdua pun menyambutku dengan
ramah, aku bersalaman dan duduk di kursi.
“Ketemu di mana, dengan Eka dik Iyan?” tanya bu Asih.
“Wah tadi ku temukan di setasiun, lagi jadi gelandangan,” kata Eka, yang baru keluar dari dalam dan
membawa sisir, lalu begitu saja menyisir rambutku, ku tolak tapi tetep aja Eka menyisir sambil
berdiri di kursi yang ku duduki.
“Udah makan nak Ian? Mbok sana Ka disiapkan makan…” kata pak Junaidi.
“Em… Ku buatkan pecel lele kesukaanmu ya?” tawar Eka masih menyisir rambutku.
“Udah Ka, jangan repot-repot.” jengahku.
“Iya Ka… sana beli lele…” kata bu Asih.
“Dan Eka segera beranjak….”
Tinggal aku dan pak Junaidi, sementara bu Asih masuk.
Sebentar kami terdiam, sampai pak Junaidi membuka pembicaraan.
“Nak Ian, gimana khabar orang tuanya, baik?” tanya pak Junaidi.
“Alhamdulillah baik pak.”
“Ini sebenarnya saya mau tanya ke nak Ian, jangan tersinggung lo ya?” kata pak Junaidi dengan
nada hati-hati.
“Tanya aja pak, tak usah rikuh.” kataku tak enak dengan nada kehati-hatian pak Junaidi.
“Begini nak Ian, apakah sebenarnya hubungan nak Ian dengan Eka?” tanya pak Junaidi, sebentar
terdiam, “Sekedar teman, atau…. pacaran… Maksudku kekasih.”
“Ya selama ini kami cuma berteman akrab kok pak, tak lebih, juga bukan sepasang kekasih.”
jawabku tenang.
“Tapi Eka itu sayang banget sama nak Ian, yang diceritakan tiap hari ke ibunya, hanya nak Ian
aja….” tambah pak Junaidi.
“Saya juga sayang sama Eka kok pak, tapi sayang antara sahabat, tak terkotori nafsu birahi, saya
menghargai dan menghormati Eka, jika ada yang mengganggu Eka, saya akan membelanya
dengan sekuat saya.” kataku masih tanpa emosi.
“Ya kalau begitu bapak mengerti… Silahkan diminum tehnya nak, bapak tinggal dulu…” kata pak
Junaidi meninggalkanku.
Sebentar kemudian Eka telah datang membawa ikan lele segar, dan langsung memasaknya jadi
pecel lele, kami makan bareng.
Sore itu aku pamitan, Eka dan ayah ibunya memintaku tinggal lebih lama, tapi aku memaksa pergi,
Eka mengantarku sampai jalan raya, dan sampai aku mau naik bus, dia memasukkan amplop ke
sakuku.
“Ini untuk bayar bus..” katanya melepasku.
Aku segera naik bus, ketika kondektur minta ongkos bus, aku ingat uang yang dimasukkan Eka ke
dalam sakuku, ku ambil satu dan tanpa melihat ku serahkan pada kondektur.
“Wah mas, apa tak ada yang kecil?” katanya.
Aku kaget ternyata yang ku serahkan uang seratusan ribu.
Aku terima uang dari kondektur itu, lalu kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan
ternyata semua seratusan ribu, wah jadi Eka memberikan uang padaku 1 juta,
“Tak ada yang kecil mas, cuma ini.,” kataku menyerahkan uang seratusan. Di Bojonegoro kembali
aku turun di stasiun kereta api.

Sang Kyai 
EPISODE: 52. DIKEROYOK PREMAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu, sekitar pukul 3 dini hari, aku tidur sendiri di musholla setasiun, tiba-tiba serasa ada yang
membangunkanku. Aku terperanjat dan bangun, tengak tengok tak ada siapa-siapa, aku heran, lalu
siapa yang membangunkanku? Aku bangkit dan keluar dari mushola, di luar segera angin dingin
berhembus, menebar bau minyak pelumas roda kereta yang tercecer, suasana teramat hening, tak
ada seorangpun berkeliaran, ku berjalan ke salah satu kursi tunggu, duduk dan mengeluarkan rokok
Djarum dan menyalakan dengan korek.
Belum sampai lima menit aku duduk di kursi tunggu, kereta barang tiba dari Surabaya, suara
rodanya beradu dengan rel menjerit memekakkan telinga, kereta berhenti perlahan, beberapa
penumpang gelap melompat dari sambungan gerbong, turun, aku tetap santai menikmati hisapan
demi hisapan rokok.
Tiga penumpang, yang turun dari sambungan gerbong ternyata pemuda-pemuda, dan ketiganya
menghampiriku, dan aku kaget, ternyata salah satunya adalah pemuda yang kemarin siang ku
tangkis pisaunya,
“Benar ini orangnya.” kata pemuda yang kemarin ku tangkis pisaunya.
“Wiiit… wiiiet..!” pemuda yang lain bersiul nyaring.
Dan dari setiap gerbong melompat pemuda, dan banyak sekali, dan membuatku tergetar juga,
mungkin sebanyak 20 orang atau bahkan lebih, dan kilauan pedang di setiap genggaman mereka.
“Apa mau kalian?” kataku berdiri dari kursi, dan menikmati sedotan terakhir dari puntung rokok yang
ku pegang. Ah mati aku, tentu mereka akan mengeroyokku, aku membayangkan tubuhku dicacah
pedang dan dibiarkan tergeletak dirubung lalat, dan kemudian dibungkus tikar, lalu tercatat di surat
kabar, seorang gelandangan dibunuh di setasiun, dan ayah ibuku menangisi kematianku, ah betapa
pendeknya usia, berdesir darahku, suara jantungku bledag bledug tak karuan, aku manusia biasa,
yang tak tau kapan akan mati, dan akan mati yang bagaimana?
Ah benar-benar membuat keberanianku kuncup, terbang atau entah kemana?
Aku jadi ingat waktu jadi ketua gank dan dikeroyok 20 orang, dulu aku nekat, tapi sekarang, hidup
dengan iman begitu nikmat dan mengasikkan, andai disuruh memilih mati yang bagaimana? Aku
lebih memilih mati dalam keadaan sholat, tidak mati dikeroyok, tapi apa dayaku, aku coba tenang
dan membangkitkan tenaga yang selama ini mengeram di pusarku, walau ku lihat sudah tidak
keburu, karena kulihat semua orang telah merangsek maju, memburu menikam dan membacok
tubuhku, aku hanya sempat mengucap takbir, melompat maju, membuat perlawanan sekenanya….
Berkelit kesana sini dan melepas bogem, sekenanya, tanpa memilih mana dan siapa yang kupukul,
yang jelas perlawanan karena ditimbulkan dalam kepanikan, tapi hatiku yang telah tiap hari ku
gantungkan padaNya tak lupa berdoa, “Wahai Dzat, wahai Kekasih…, apakah kau biarkan aku
teraniaya mati di sini? Engkau yang lebih kuasa dari segala sesuatu….”
Mungkin baru 2 orang yang kupukul, dan dalam kengerian dan kepengecutanku aku memukul
dengan mata terpejam teramat rapat.
Suasana sepi, aku belum membuka mata, apakah aku telah mati? Membuka mata ku rasa lebih
menakutkan.
Tanganku masih mengepal gemetar, mata masih terpejam, suara kereta api barang telah tak ada,
bau minyak rem, terbawa desir angin, apakah aku yang telah mati dan beginikah rasanya, tapi
kenapa tak kurasakan sakit sama sekali, sakitnya nyawa dibetot dari badan, nyawa yang dibetot dan
karena telah terikat dengan urat-urat maka akan menyisakan sakit di sekujur badan, karena urat-
urat semua akan putus, dan rasa sakitnya akan sampai kiamat masih terasakan, setidaknya begitu
yang kubaca tentang ruh dari kitab kitab kuning,
Tapi ini aku tak merasakan sakit sama sekali, perlahan ku buka mataku sebelah, memicing, sebab
begitu takutnya aku andai menyaksikan kenyataan yang pahit, yaitu aku telah mati.
Ah aku masih berdiri, dan tak ada orang lain yang berdiri kecuali aku, lalu kemana semua
penyerangku?
Aku heran ku lihat semua terkapar, bukan hanya 3 langkah di depanku aja, tapi ada juga yang
kelihatannya baru mau berlari ke arahku juga nyungsep tak bergerak, perlahan ku teliti satu persatu,
semua pingsan.
Heran? Jelas aku heran, dalam angan anganku yang terkapar harusnya aku, mengapa malah para
pengeroyokku? Sambil ku seret tubuh pemuda-pemuda yang pada pingsan itu dan kukumpulkan
menjauhi rel kereta, takut kalau ada kereta yang lewat, dan terlindas, aku memikirkan siapa orang
yang telah membantuku, menundukkan semua pengeroyokku? Tapi andai manusia dan punya ilmu
yang teramat tinggi, dan bisa bergerak demikian cepat, tentu aku masih merasa kehadirannya, tapi
ini kehadirannya tidak kurasakan, ah entahlah mungkin pertolongan Alloh, membuat pingsan orang
satu negara aja bisa, apalagi cuma beberapa gelintir orang, biarlah semua jadi misteri.
Ku kumpulkan beraneka macam senjata yang akan dibuat menyerangku, ada pisau, golok, pedang,
pentungan, semua ku buang ke tempat sampah di pojok setasiun.
Lalu aku mengambil air wudhu dan melakukan sholat malam, terdengar sayup adzan pertama, dari
masjid Muhamadiyyah.
Aku wirid sambil menunggu saat memasuki waktu subuh. Dua hari aku masih di setasiun Babat.
Dan malam berikutnya, mungkin musim kemarau, udara terasa panas, sehingga aku duduk sendiri,
mencari udara yang agak tak terasa gersang di perasaan, malam telah menunjukkan jam 2 dini hari,
sambil memutar tasbih, aku duduk di kursi peron, kulihat seorang wanita tua tidur mendengkur di
pojok dekat pintu, menunggu dagangan pecel, yang akan dijual besok hari, ah kejamnya dunia,
bagaimana orang setua itu masih menanggung kepahitan hidup, kadang anak-anaknya, menunggu
di rumah, untuk meminta uang dengan marah-marah, lalu dibuat hura-hura, aku ingat tetanggaku si
ZUHDI yang selalu mengejar-ngejar orang tuanya dengan parang hanya untuk minta uang buat
mabuk-mabukan, salah siapa sebenarnya, kegetiran hidup dirasakan hampir seluruh lapisan bawah,
rakyat negeri ini?
Jerit rakyat, tindihan keluarga, keadilan yang diputar balikkan, seperti mengikuti tangan penguasa
kemana mengarahkan, ah entahlah, terlalu rumit, kenyataan dan terlalu pahit untuk dirasakan,
moga-moga aja mereka masuk surga, walau di dunia tak dapat kebahagiaan, setidaknya di akhirat
masih ada harapan, ku teruskan wiridku, sambil kaki selonjoran di kursi, malam mulai membawa
angin segar angin pagi… , udara sejuk, mengalir menghembus tubuhku.
Kulihat seorang pemuda berjalan kearahku dari depan setasiun, aku menengok, ketika langkah
kakinya terdengar di telingaku, kemudian dia duduk di kursi, dari dua kursi yang ku duduki, mungkin
umur pemuda itu dua tahun lebih tua dariku, wajahnya mengguratkan keresahan hati, duduknya
serba tak tenang, setidaknya di penglihatanku, saat malam makin mendesirkan kesunyian yang
rindu akan suara, geseran tubuh pemuda itu terdengar jelas, seperti mengganggu ketentraman, dan
konsentrasi wiridku, tiba-tiba dia berjalan ke arahku, dan berdiri di depanku.
“Sendiri mas?” tanyanya sekedar basa basi, atau ngomong sembarangan dari pada tidak ada yang
diomong,
“Iya, ” jawabku singkat, tanpa nada suara yang meledak.
“Apa ndak kuwatir mas sendirian?” tanyanya lagi.
“Kuwatir kenapa?” aku balik bertanya.
“Ya kalau-kalau dirampok orang.”
“Apa yang harus dirampok dariku? La uang seripis aja ndak punya.” jawabku dengan tertawa, walau
tidak tertawa getir.
“Nginap aja di tempatku…!” katanya, dengan nada yang aku mencium, entah apa terasa di
telingaku, kurang berkenan,
“Ah ndak lah, aku biasa tidur di sini, kemaren juga tidur di sini….”
“Nggak mas, di tempatku juga ndak ada orang, jadi kalau mau, nginap dan tidur sepuasnya juga gak
ada yang akan menyalahkan…”

Sang Kyai 
EPISODE: 53. SETIAP ORANG MEMPUNYAI KADAR RASA YANG SAMA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Setelah dibujuk-bujuk akhirnya akupun mau, kami berjalan menyelusuri lorong-lorong dekat pasar
Babat, dan dalam perjalanan pun kami saling ngobrol, dan ku kenal, pemuda itu bernama Hendra.
Rumah Hendra tak terlalu besar, walau tidak bisa dikatakan kecil, cat rumah juga sudah banyak
yang terkelupas, ada kesan rumah yang tak terurus, atau orangnya yang malas ngurus, segala
macam pakaian tergantung, dan menumpuk di sana-sini, yah mungkin Hendra ini, terlalu malas,
setidaknya seukuran orang yang tak punya istri, aku disuruh duduk di kursi, yang teramat apek,
mungkin lebih nyaman di setasiun, aku pun mendudukkan pantat di kursi, yang busanya udah pada
bolong, mungkin dimakan tikus yang nyari makan sudah tidak ada yang lain, jadi busa juga
dimakan, mungkin dibayangkan sebagai roti, ah apakah tikus juga berhayal seperti manusia?
Hendra keluar dari kamar, dan mengajakku masuk, “Ayo mas masuk, maaf, kamarnya berantakan
banget.” ah ndak usah dia bilang berantakan, aku juga sudah tau.
Ah kamarnya juga gelap sekali, lampu bohlamp, cuma 5 watt, dan sudah banyak dihinggapi sarang
laba-laba, benar-benar tak ada nyamannya sama sekali, mestinya kalau tau begini aku tadi tidak
mau untuk diajak ke rumahnya, kulihat tape recorder dan amplier terletak begitu saja di tanah, dekil,
dan kelihatan jarang disentuh, atau yang bersih cuma pencetan playnya, entahlah aku seperti
merasakan suntuk yang teramat sangat, kok kerasan Hendra tinggal di rumah, dan kamar yang
seperti ini…., “Ayo tidur, atau mau ngobrol aja?” katanya mengagetkanku.
Aku tak menjawab, tapi langsung merebahkan diri, ke atas kasur, yang tak berkapuk lagi, mungkin
telah teramat tipis, setipis triplek…, rasanya makin penat aja, tapi ke relakan urat-uratku, yang
sebetulnya tak pegal…, Hendra pun ikut naik ke atas ranjang, sehingga aku yang mepet ke tembok.
Tiba-tiba tangan Hendra memelukku, aku menepiskan,
“Apa-apaan sih Ndra…!” kataku agak jengkel dan risih.
“Ah masak nggak ngerti..” kata Hendra sambil tangannya berusaha didekapkan ke arahku. Ah dah
gila ini orang, kembali kutepiskan tangannya,
“Ayolah mas, kita kan sama-sama dewasa, masak mas ndak ngerti….” katanya dengan nada
merajuk.
“Sialan kamu jangan macem-macem..” kataku jijik.
“Apakah aku harus main paksa…?” kata Hendra dengan tangannya cepat memelukku, tapi tangan
itu segera ku tangkap pergelangan tangannya, dan untung dulu pernah tau ilmu gunting, yang
melatihnya dengan menjepit besi sampai gepeng, begitu tangan Hendra dalam genggamanku, rapal
pun ku ucap, Hendra menjerit,
“Aduuuh sakit masss…!”
“Jika aku ingin mematahkan tanganmu, sama mudahnya mematahkan roti kering…” kataku bukan
sekedar mengancam, dan mempererat cengkeraman, sehingga Hendra menjerit kencang.
“Apa mau ku patahkan?” tanyaku, sementara Hendra telah memelintir, melintirkan tubuh menahan
sakit yang teramat sangat.
“Ampuuun-ampuun mas…, tobat…!” katanya, matanya mulai basah, entah karena rasa sakit yang di
rasakan atau karena memang dia menyesali dengan apa yang telah diperbuat, dan Hendra pun
benar-benar menangis…., akupun melepaskan cengkeraman tanganku, di pergelangan tangannya,
ku lihat pergelangan tangan Hendra membiru,
“Maafkan aku… masss…. aku ndak tau kalau mas orang isi…”
“Memang kalau aku tidak berisi, kamu akan berbuat sekehendak hatimu?”
“Aku ndak berani mas,.. maafkan..” suaranya disela isak tangisnya.
“Aku jadi begini juga karena ada sebabnya mas…, bukan karena kelainan, tapi lebih karena
kekecewaan….”
“Apa maksudmu?” tanyaku yang mulai mengendap kemarahanku.
“Udah nangisnya…!” bentakku karena melihatnya sesenggukan menangis.
“Kamu itu lelaki, masak menangis.” Hendra terdiam, dan menghapus air matanya…
“Aku orang yang malang mas…” katanya.
“Malang bagaimana… apa kamu kejatuhan bom yang mau dijatuhkan di Irak sana…, kulihat
tubuhmu juga masih utuh, ya kalau kamu kejatuhan bom, berarti kamu masih termasuk orang yang
selamat, karena seluruh tubuhmu ndak terluka,” jengekku.
“Mas jangan bercanda..” kata Hendra.
“Bercanda gimana? Kan katamu kamu ini orang yang malang, la malang aja, tubuh kamu masih
utuh, sehat wal afiat tak kurang suatu apa… gimana aku tak heran, yang malang sebelah mana?”
“Yang malang hatiku mas…”
“Wah kalau yang malang hatimu, itu pasti karena polah tingkahmu sendiri, dan tak siapnya kamu
menghadapi kenyataan.”
“Ndra…! setiap orang itu mempunyai kadar rasa yang sama, rasa sakit, rasa senang, duka, kecewa,
enak nikmat, pahit getir, semua mempunyai kadar yang sama, semua diberi keadilan untuk
mengecap rasa itu, tergantung kita sendiri menyikapi, dan membuat ukuran kadar dalam
peluapannya, ada orang mau disuntik dokter, semua pasti merasakan yang sama, jarum nusuk kulit,
tapi ada yang cuma njengkit kaget, ada juga yang teriak, bahkan ada juga belum kena jarum udah
teriak-teriak, jadi tergantung bagaimana, menyikapinya, semua kembali pada diri masing-masing.”
Hendra cuma mantuk-mantuk, tak tau paham apa enggak dengan keteranganku, wong aku yang
menerangkan sendiri aja bingung apa lagi yang mendengar, ya dari pada tidak memberi solusi, lebih
baik ngasih solusi, setidaknya untuk pengalih perhatian.
“Sebenarnya masalah apa yang kamu hadapi?” tanyaku menyelidik.
Hendra menarik napas panjang lalu berkata, “Gini mas, aku pernah mencintai wanita, selama ini dia
yang selalu aku idam-idamkan, selama ini dia yang selalu dalam angan dan pikiranku, selalu aku
pikirkan, siang malam…”
“Trus bagaimana?” kataku tak sabar, mendengar kata muluk berbumbu tumpahan perasaan.
“Ya itu mas … aku mencintai dia, menyayangi dia, bahkan sering memberinya hadiah-hadiah,
karena sayangku padanya.” kata Hendra makin muluk-muluk.
“Iya apa kamu udah nyampaikan atau ngutarakan cintamu padanya?” kataku tak sabaran.
“Itulah mas…”
“Itulah gimana maksudmu?”
“Dah beberapa tahun itu pengutaraan cinta ku tunggu-tunggu, sampai ada waktu yang cocok…”
“Ah njlimet amat, masak ngutarakan cinta pakai waktu yang cocok? Jangan-jangan pakai hitungan
Jawa, pakai hitungan weton, kenapa gak langsung diutarakan…?”
“Ya itu mas susah nyari waktu yang pas…”
“La kenapa gak pakai surat? Jadi waktu pengutaraannya gak usah banyak waktu plintat-plintut, tulis
to the point I LOVE YOU, kan udah, kenapa repot?”
“Ya tak taulah mas, yang jelas saya nunggu setahun sampai bisa mengutarakannya.”
“Lalu bagaimana?”
“Ya saya utarakan… mas..”
“Iya kelanjutannya bagaimana, maksudmu, kamu ditrima atau ditolak?”
“Aku ditolak mas…” jawab Hendra lemes, aku cuma ketawa.
“Kenapa ketawa mas?” tanya Hendra.
“La gimana tak ketawa, la cuma ditolak sekali aja udah lemes, mutung, prustasi, hidup itu
perjuangan Ndra, la orang bikin anak sampai jadi cewek yang kamu demeni itu aja tak sehari-dua
hari, la ditolak sekali, agak jual mahal, agak jinak-jinak merpati, la itu kan sudah sifatnya cewek, la
kalau cewek nyeruduk aja, kayaknya kok tak ada seninya, kurang ada nilai lebih, gak ada gregetnya,
ya gak?”
“Tapi penolakannya itu langsung telak mas, aku dilarang datang, aku dilarang dekat-dekat
dengannya.”
“Woh itu mah wajar,”
“Tapi dia bilang malu mas, kalau aku ada di dekatnya.”
“Ah alasan kan boleh aja dibuat, mau alasan malu-mau alasan kamu bau… ckikikik…, la wong
alasan kok diributkan, dia mau bikin alasan apa aja, kalau kamu gigih, ku kira juga dia akan takluk.”
kataku memberi semangat, sebenarnya maksudku, hanya menarik kembali Hendra dari jalan yang
salah, jalan kepada penyimpangan sex.
“Lalu apa yang harus ku lakukan mas?”
“Wah itu urusanmu sendiri, tapi kalau kamu mau, aku akan memberimu amalan, supaya cewek itu
kau dapatkan, kamu mau?”
“Wah mau-mau mas…, “
“Tapi syaratnya berat Ndra…!” kataku, memancing kesungguhannya.
“Syaratnya apa mas? Apa ngambil tanah dalam kuburan?”
“Wah ndak seberat itu Ndra, malah juga dibilang ini juga berat bagi orang tertentu…”
“Trus apa syaratnya mas?”
“Syaratnya kamu jangan meninggalkan sholat, jangan minum-minuman keras, dan jangan kau pakai
perempuan itu barang permainan…, gimana kamu sanggup?”
“Cuma itu aja mas syaratnya?” kata Hendra,
“La kamu sanggup tidak? Kan selama ini sholatmu jarang-jarang…,”
“La kok mas tau?”
“Wah itu mudah ditebak Ndra..!”
“Aku sanggup mas…”
“Bener sanggup?” tanyaku meyakinknnya,
“Sanggup sekali mas…”
“Baiklah, sini aku minta pena ama kertas, biar ku tuliskan amalannya..” kataku yang segera
dicarikan oleh Hendra dan tak sampai lima menit dia datang membawa pena dan kertas, dan
amalan makhabah pun ku tulis, setelah menyerahkan amalan, dan memberikan pesan cara kerja
dan bagaimana pakainya, aku pun minta diri karena hari telah menjelang subuh. Setelah sholat
subuh, aku ikut kereta barang ke arah Surabaya.
Jam satu siang sampai di stasiun Pasar Turi, aku tak bingung, walau tak pernah ke Surabaya, yah
bagaimana harus bingung, karena bingung adalah hak bagi orang yang punya tujuan, sedang aku
tak punya tujuan sama sekali, jadi aku sama sekali tak mencari alasan untuk bingung, aku duduk aja
di kursi peron, tak seperti orang linglung, walau tak ada uang serupiah pun di kantongku, aku tak
takut, akan dapat makan dari mana, walau aku juga manusia biasa, kalau boleh bilang aku teramat
lapar, walau itu tak jadi beban pikiranku, aku tekuni saja berdzikir, tanpa henti dan tanpa bosan,
karena hanya Robku saja sandaranku, dan yang aku kenal sekarang ini, aku yakin, kasih sayang-
Nya melebihi kasih sayang ibuku, perhatian-Nya melebihi siapa pun di muka bumi ini, aku kemudian
berjalan keluar setasiun.., tapi baru keluar dari pintu seorang perempuan memanggilku,
“Mas sini mas…!” panggilnya. Aku segera mendekat, ku lihat dia membawa banyak jualan, yang
ditenteng, yang dijinjing, juga yang digendong di punggung, tapi mulai diturunkan, ibu itu mungkin
seumur empat puluh tahun.
“Ada apa bu?” tanyaku sambil mendekat, mungkin aku diminta membantu barang bawaannya,
pikirku.
Dia membuka makanan dan meramu pecel, dan meletakkan satu paha ayam di bungkusan yang
dipegangnya,
“Ini makan…!” katanya menyodorkan sebungkus pecel yang diraciknya,
“Ah ndak bu…” kataku mundur.
“Ndak mau gimana? Udah ini dimakan…!” katanya berdiri dan menyodorkan bungkusan padaku,
“Saya ndak punya uang bu… maaf…” kataku terus terang,
“Yang nyuruh anak ini bayar siapa? Ibu hanya minta anak makan ini…”
“Tapi bu…?” kataku masih belum menerima nasi bungkus pemberiannya.
“Udah ini dimakan dulu.” katanya, yang tak bisa ku tolak, lalu ibu itu mengeluarkan kursi dari dalam
keranjang dagangannya dan menyuruhku duduk, dan setelah menyatakan terimakasih, aku pun
makan dengan lahap,
“Nambah?” tanyanya sambil menyodorkan segelas teh di dekatku.
“Ah sudah bu…, sudah kenyang sekali,” kataku.
“Ibu bikinin lagi ya…” tawarnya dengan pandangan kasih nan lembut.
“Udah bu.., bener nih, sudah kenyang sekali,” kataku, sambil meminum teh manis, tapi ku lihat ibu
itu masih membuat racikan pecel juga, dan membungkusnya dalam kresek, lalu disodorkan padaku,
“Ini, untuk bekal dalam perjalanan…” katanya sambil mengansurkan kresek ke arahku, dan
memaksaku menerimanya.
“Kenapa ibu baik padaku?” tanyaku heran.
“Nak… ibu hanya minta kamu mendoakan ibu..,” katanya menatapku dengan serius.
“Mendoakan?” tanyaku heran.
“Ah ibu ini, saya ini dosanya terlalu menumpuk bu, masak disuruh mendoakan? Ya apa diperduli
oleh Alloh, lihatlah pakaianku ini bu kotor banget, dekil, kumal, jarang mandi,” kataku sambil
menunjukkan pakaian yang kupakai.
“Kalau begitu, kamu tak mau ya mendoakan ibu..?” katanya sambil air matanya mulai menetes…
“Oh.., mau… mau, bu, mau..” kataku gelagapaan melihat ibu itu mulai menangis,
“Iya.., iya bu.., kan ku dokan, ibu minta didoakan supaya apa?” tanyaku cepat-cepat supaya dia tak
keburu menangis,
“Ya ibu minta didoakan supaya mati khusnul kotimah.” katanya sambil mengusap air matanya
dengan selendang, untuk menggendong jualan.
“Baik ibu yang mengamini ya…, biar aku yang berdoa,” kataku, kemudian mulai berdoa, aku tak
perduli setiap orang yang lewat menatap aneh padaku, memang sejak pertama, aku tak pernah
perduli dengan orang lain, selesai berdoa, ibu itu menggenggam tanganku, dan mengucapkan
terimakasih, aku juga mengucapkan terimakasih, dan pamit untuk melanjutkan perjalanan,
kemudian meneruskan mengayunkan kaki tanpa arah dan tujuan pasti, karena memang aku tak
mau disibukkan oleh arah, tak mau dirisaukan oleh tujuan, aku hanya ingin mengenal gerak gerik
Alloh dalam membimbingku, menuju pencarian tanpa berkesudahan, melatih cinta dan tak
menduakannya, melatih tawakaal, dan meresapi sunyinya bercumbu dengan kesunyian denganNya
sendiri, walau dalam keramaian, tenggelam dalam samudra kepasrahan, tanpa ingin ditolong oleh
siapa saja, kecuali oleh rengkuhan kasihNya, tanpa embel-embel balas budi.

Sang Kyai 
EPISODE: 54. DIGEBUKI PENJAGA MASJID
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Melangkah, melangkah, dan melangkah, Surabaya begitu luas, aku kadang menyeberang, kadang
berhenti di tepi jalan, tak terasa sandal jepit yang selama ini menemaniku telah tembus, sehingga
telapak kakiku berdarah, karena sering tergores aspal panas jalan, juga mungkin tersandung batu,
sehingga tak ku pikir dan pehatikan, itu ku ketahui, ketika sandalku telah putus, sehingga ku buang,
aku kaget, oh Alloh maafkan aku, kalau hatiku sekejap melupakanMu karena tersita oleh rasa sakit
di kakiku, setelah sandal ku buang aku pun berjalan lagi, tak ku perdulikan sudah lecet di kaki.
Aku sampai di Tunjungan Plaza, di tahun 1994 Plaza Tunjungan mungkin yang terkenal di
Surabaya, setidaknya itu menurut pandanganku, aku duduk aja di sekitar plaza, kalau malam
kadang nongkrong dengan para pelukis jalanan, yang menggelar lukisan di sekitar plaza, kalau hari
telah larut malam, aku pun tidur di emperan toko, menggeletak aja tanpa perduli apa-apa, untuk
makan aku kadang mengorek tempat sampah, ada saja yang ku temukan, entah nasi bungkus,
entah roti berjamur, sekedar untuk mengganjal perut, lalu kalau untuk sholat aku cari musholla atau
masjid di sekitar, itu sampai beberapa hari, sampai suatu siang aku jalan, tanpa satu tujuan, dan
sampai di jembatan merah, plazanya baru dibikin, lalu ada truk berhenti, aku pun naik, dalam
pikirku, tak tau aku akan di bawa ke mana, yang penting truk ini berhenti, maka aku turun, lalu aku
tiduran dalam truk, sampai terbangun dan truk pun sudah berhenti, aku turun, masih dengan kaki
terlanjang, hari telah beranjak malam, aku berjalan, setelah melihat tulisan yang terpampang di
depan toko, maka aku pun tau kalau aku ada di daerah Sidoharjo, aku pun berjalan, sampai kakiku
menendang sesuatu, karena gelap aku teliti, ternyata sebuah sandal, sandal carvil, lumayan bagus
untuk menjadi ganjalan kakiku yang telah lecet.
Aku cepat-cepat mencari pasangan sandal, karena yang ku temukan tinggal satu, ku cari kesana ke
mari, karena gelap lumayan susah juga, walau akhirnya ku temukan, dan ternyata sudah putus
jepitannya, lalu aku pun punya inisiatif untuk menusuk bawah jepitan dengan paku, setelah mencari
paku dan menusuk belakang jepitan dengan palu dari batu, sandal pun bisa dipakai, kelihatannya
lumayan masih baru, mungkin dibuang orangnya karena putus talinya saja, lumayanlah, sehingga
luka di kakiku yang lecet tak sakit lagi karena terkena kerikil, ku lanjutkan perjalanan, sampai juga
aku di depan plaza, Sidoharjo, aku duduk, sebenarnya mau sholat tapi tak tau di mana ada masjid,
aku nggelosor aja di depan plaza, yang sudah tutup karena sudah malam sekali, tanpa sadar,
karena teramat lelahnya aku pun tertidur, sampai terdengar suara adzan subuh, dan aku teramat
heran, karena adzan subuh terdengar dekat sekali, lalu aku menuju arah suara adzan, dan masjid
ternyata cuma di belakang plaza saja, aku pun segera masuk masjid, dan mengkodho sholat yang
ku tinggal, dan mengikuti jamaah subuh, selesai sholat aku pun keluar masjid dan nongkrong aja di
pinggir jalan, sambil wirid dan melihat orang yang lalu lalang, kelaparan perutku aku isi dengan air
yang tadi ku bawa dari masjid, dan itu setidaknya sudah menipu nafsu makan cacing yang ada
dalam perutku, dan tidak berontak lagi.
Hari jum’at, ah sampai tidak berpikir kalau ini hari jum’at, orang berbondong-bondong ke masjid, aku
pun melangkah dengan pelan ke masjid, pertama yang ku lakukan adalah mengisi perut dengan air
sebanyak-banyaknya, lalu wudhu dan masuk masjid, melakukan sholat tahiyatul majid, lalu duduk di
pojok, aku tak mau mengganggu orang lain, yah pakaian yang kumal, gelandangan sholat di masjid,
tentu banyak orang yang memandang dengan pandangan mengucilkan, dan sedikit ada unsur hina,
di setiap percikan mata mereka, bahkan di hati mereka, tapi aku mencoba tenggelam dalam dzikir,
setelah sholat jum’at, dan melakukan dzikir sebentar, lalu aku keluar masjid, memakai sandal dan
melangkah pergi, tapi tiba-tiba, sebuah tangan menarik baju belakangku, dan aku di seret begitu
saja,
“Pencuri sandal…!” bentak orang yang menyeretku, ke kantor pengurus masjid, ku lihat orang itu
tinggi dan berkumis tebal garang, dia menyeretku, terus ke dalam kantor, dan di dalam ada
beberapa orang, aku segera dibanting ke lantai, terduduk,
“Kau maling sandal hina…!” bentaknya lagi.
“Ah…, sampean salah…” kataku, tenang.
“Salah bagaimana, sudah jelas-jelas mencuri sandal.” bentaknya.
“Ayo ngaku…!” aku diam saja. Dan tiba-tiba orang itu menarik sabuk yang dipakai, dan wuuut sabuk
dihantamkan ke punggungku. aku hanya memejamkan mata, ketika sabuk itu mengenai
punggungku, dan tanpa mengeluh, karena entah kenapa aku tak merasakan sakit, tapi itu malah
membuat orang yang menyeretku itu makin beringas mencambukiku.
Karena tidak merasakan sakit, aku ya tetap diam saja, cuma suara cambuk ikat pinggang yang terus
menghujaniku, bak-buk, bak-buk, “Sudah-sudah…!” teriak orang yang ada di ruangan itu, sementara
orang yang ikut jum’atan pun sudah pada berdatangan memenuhi kaca, menatapku, juga dari pintu,
dan segala lubang yang ada, aku seperti pencuri yang dinistakan.
“Ayo ngaku kau telah mencuri sandal.” kata orang yang memukuliku.
“La saya tidak nyuri sandal, gimana mau ngaku nyuri sandal.” kataku masih dengan tatapan heran.
“Benar, kamu tidak nyuri sandal?” tanya salah satu orang yang ada di dalam kantor itu.
“Tidak..!” kataku mantap.
“Gembel…, mau mungkir, kalau sandal yang kau pakai itu bukan sandal curian, apa ada gembel
sandalnya bagus…?!” bentak orang yang memukuliku.
“Ini sandalku sendiri…” kataku.
“Puih, gembel hina… mau dihajar lagi?!” bentak orang yang memukuliku.
“Sudah-sudah…,” kata orang setengah baya yang tadi menyela,
“Benar kamu tidak mencuri sandal?”
“Tidak…!” jawabku.
“Apa buktinya kalau sandal itu sandalmu sendiri?” tanya orang setengah baya itu. Aku sebentar
berpikir, lalu ku ingat,
“Sandal ini bawahnya japit ku kasih paku, karena sudah putus.” kataku mantap. Lalu orang yang
memukuliku, menarik kedua sandal yang ku pakai, dan memandang dengan kecewa, karena apa
yang ku katakan benar adanya. Dia menunjukkan sandal pada orang setengah baya itu,
“Makanya jangan nuduh sembarangan.” kata orang setengah baya itu,
“Kalau begini…, untung tidak sampai luka parah..” kata orang setengah baya itu menggerutu,
sementra orang yang memukuliku, nampak serba salah, sandal kemudian diangsurkan padaku lagi.
“Heh… heh ada apa ini?” seorang pemuda tiba-tiba mendesak kerumunan di pintu dan masuk ke
kantor masjid tempatku dipukuli, seorang pemuda yang seumuran denganku, berkulit kuning dan
berwajah tenang, “Ada apa?” tanyanya lagi.
“Ini salah nangkap maling…” kata orang setengah baya yang melarang aku dipukuli terus, sambil
tangannya menunjuk padaku, dan pemuda itupun memandangku.
“Maling gimana, ini temanku, kenapa dibilang maling?!” kata pemuda yang baru masuk, dengan
nada marah, lalu menggelandangku berdiri.
“Ini temanku, kenapa dibilang maling?” tanyanya lagi, karena tak ada yang menjawab.
“Iya kami salah sangka, maaf…!” kata orang yang memukuliku.
“Maaf gimana? Mbok kalau ada masalah jangan langsung main pukul,” kata pemuda yang
menyerobot masuk, yang terus terang aku pun tak kenal sama sekali, aku tetap diam saja, dan tak
memperdulikan pembicaraan mereka, memang aku sendiri kadang merasa aneh, semakin ditimpa
musibah, maka aku akan semakin tenang, pasrah, atau mungkin kalau dibilang tak terlalu, aku
makin ngantuk, kalau tertimpa musibah, hati langsung terisi dengan Alloh jadi ketenangan teramat
dalam, sampai rasanya mata jadi ngantuk.
Aku makin tak konsen dengan perdebatan mereka, sampai aku digeret oleh pemuda sebayaku, dan
diajak jalan ke dalam Matahari plaza, aku nurut saja… lalu diajak duduk di etalase toko sepatu.
“Mana yang sakit?” tanyanya.
“Nggak ada yang sakit.” jawabku.
“Ah masak, coba lihat punggungmu?” katanya langsung ke belakangku dan membuka kaos kumal
yang ku pakai.
“Heran, kok ndak luka sama sekali? Padahal ku lihat kamu dipukuli sampai ancur-ancuran.” katanya
selesai melihat punggungku.
“Ndak tau ya, aku sendiri juga heran, kok ndak ada yang sakit, juga waktu dipukul ndak sakit.”
kataku menimpali.
“Wah aneh juga, padahal baru seminggu yang lalu juga ada yang ditangkap, dituduh nyuri sendal,
lalu dipukuli sampai hidung dan mulutnya berdarah, dan wajahnya bengep, njerit-njerit ndak karuan.”
katanya menerangkan.
“Masak?” tanyaku heran.
“Iya, emang itu orang yang jaga masjid paling suka mukuli orang, udah nggak kehitung yang
dipukuli.” katanya menjelaskan lagi. Lalu datang seorang lagi mendekat.
“Ada apa Ed?” tanya lelaki yang datang, orangnya juga seumuranku, kulitnya hitam.
“Ini tadi dipukuli penjaga masjid.”
“Wah…, salah apa?” tanya lelaki itu.
“Dituduh nyuri sandal.”
“Wah pasti lukanya parah…” kata pemuda yang baru datang yang ku tau bernama Ikhrom,
“Malah ndak luka sama sekali..” jawab pemuda yang bernama Edi yang menolongku. Mereka
berdua ramai membicarakanku, aku tetap diam sampai Edi bertanya padaku.
“Kamu tinggal di mana?”
“Aku?” tanyaku lagi.
“Iya.., tinggal di mana?” ulang Edi menanyakan pertanyaannya.
“Wah aku ndak punya tempat tinggal.” jawabku enteng.
“La trus kalau tidur di mana?” tanyanya lagi.
“Ya di mana aja…,” jawabku masih enteng.
“Di mana aja gimana?” tanya Ikhrom nimbrung.

Sang Kyai 
EPISODE: 55. BEKERJA! WALAU NIATKU BUKAN MENCARI PEKERJAAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Di mana aja gimana?” tanya Ikhrom nimbrung. Ya aku juga tak heran bila mendengar pertanyaan
orang yang biasa tidur di rumah dengan kasur empuk, dan menyalakan musik pengantar tidur, aku
tak menyalahkan mereka, yang pasti merasa aneh dengan orang-orang yang biasa tidur
sembarangan, mungkin bayangan mereka andai digigit ular gimana? Andai dirampok orang
gimana? Atau mungkin barang pertanyaan yang teramat sepele, wah kalau digigit nyamuk apa bisa
tidur, tapi selama ini aku juga tidur-tidur aja, apa mungkin nyamuknya udah pada kenal, atau
mungkin darahku yang pahit, karena makan dari tempat sampah.
“Ya kadang di jalan, di emperan toko, kadang di musolla, atau bahkan kadang tidur di kuburan…”
jawabku sambil melirik mereka, dan menyalakan rokok Djisamsoe yang disodorkan padaku oleh Edi.
“Wah berani sekali.” desah Ikhrom. Sementara Edi masih terbelalak.
“Yang bener, di kuburan?” tanya Edi dengan nada heran dan kaget,
“Emangnya kenapa?” tanyaku.
“Apa ndak boleh?” sambungku.
“Ya bukan begitu, maksudku berani sekali, apa pernah didatangi pocong..?” tanya Edi.
“Pocong? Ya mungkin aja pernah, tapi kali aja pocongnya ngeliat aku ndak punya uang jadi ndak
ditakut-takuti, mungkin dia malas nakuti aku, ya mungkin bauku lebih parah dari mereka, la mereka
mau nyumpal hidung, tangannya diikat, jadi mending jangan mendekat..” jawabku asal aja. Yang
tiap kata ngawurku pun makin membuat hubungan pertemanan kami pun makin akrab, dan selama
itu aku tetap di tempat penjualan sepatu tempat Edi bekerja, tentunya dengan pandangan orang
yang lewat di koridor merasa aneh padaku, tapi aku cuek aja, toh pandangan mengucilkan dan
menghinakan tak sekali dua kali ku terima.
Malam itu aku diajak ke tempat tinggal Edi dan Ikhrom nginap di tempatnya, yaitu tempat tinggal
bossnya, karena memang mereka berdua ditampung di rumah bossnya, aku dikenalkan, namanya
pak Sugeng, orang dari Jogja, dan orangnya baik sekali, aku ditawari untuk bekerja, atau lebih
tepatnya dicarikan pekerjaan, aku he-eh saja, walau niatku bukan untuk mencari pekerjaan, sehari
dua hari seminggu dua minggu aku masih ikut jaga toko sepatunya pak Sugeng bossnya Edi dan
Ikhrom, dan syukur penjualan meningkat beberapa kali lipat setelah ada aku, jadi pak Sugeng pun
royal memberikan tip padaku, di samping makanku sudah terjamin, karena tiap hari diberi uang
makan.
Pagi itu, aku berangkat kerja, dengan Edi dan Ikhrom, seperti hari biasa, kami mampir ke warung
makan, untuk sarapan nasi bungkus di tempat mbak Asih, penjual nasi bungkus pojok, tiba-tiba,
mbak Asih sudah keluar dari warung menyongsong kami, wajahnya nampak ceria sekali.
“Ayo-ayo cah bagus sini makan,” sambil menggelandang tanganku dan tangan Edi.
“Ada apa mbak?” tanya Edi, sementara aku diam saja.
“Udah ayo makan,” kata mbak Asih sambil menyodorkan nasi bungkus spesial, dibilang spesial
karena pakai daging,
“Wah kami ndak pesan ini mbak..” kata Edi nolak,
“Udah ini gratis kok ndak bayar, malah adik Iyan boleh makan di sini terus nggak usah bayar…” kata
mbak Asih dengan pandangan berbinar-binar.
“Ya ndak bisa gitu mbak..” kataku rikuh.
“La mbak ini kan jualan, kalau aku makan di sini ndak usah bayar, ya mbak Asih nanti yang
bangkrut.” kataku.
“Udah…, ayo dimakan dulu…” kata mbak Asih. Kami pun makan dengan lahap.
“Wah ini pasti ada apa-apanya, kamu apain Yan mbak Asih?” kata Edi melirikku, sementara sejak
tadi Ikhrom cuma mengsam-mengsem kaya makan permen kecut.
Dengan cepat nasi bungkus pun telah pindah tempat di dalam perut kami, tinggal bungkusnya
doang, lalu kami seruput teh manis, mbak Asih mendekatiku dan menyodorkan rokok Djarum
sebungkus, ku trima dan ku buka lalu ngambil satu dan ku nyalakan.
“Udah mbak, berapa?” tanya Edi, sementara Ikhrom telah keluar dari warung duluan.
“Weh dibilang gratis kok ndak percaya…” semprot mbak Asih.
“Udah gak usah bayar.” tambahnya.
“La ada apa to mbak? Apa mbak Asih sukuran?” tanya Edi sambil memasukkan uangnya kembali ke
sakunya.
“He-eh..” jawab mbak Asih sambil memberesi piring dan gelas.
“Sukuran apa mbak?” tanya Edi iseng.
“Sini duduk dulu.., tuh rokoknya diambil dik Ian.., duduk dulu, akan mbak ceritakan, biar nak Ikhrom
yang buka toko.” kata mbak Asih masih dengan wajah sumringah.
Kami pun duduk anteng.., lagian warung juga lagi sepi, jadi kami bisa ngobrol. Setelah mbak Asih
duduk di salah satu kursi, lalu mulai bercerita, dan matanya selalu mengawasiku, si Edi sampai
kelihatan curiga,
“Gini dik Edi…, mbak akhirnya hamil…, setelah sepuluh taun menunggu…, mbak akhirnya bisa
hamil…” kata mbak Asih masih dengan mulutnya dipenuhi dengan senyum bahagia, karena mbak
Asih sambil memandangku, jadi Edi pun ikut memandangku aneh.
“Kenapa Ed…?” tanyaku heran.
“Aku yang musti nanya kenapa.., bukan kamu…, kamu ada apa-apa ya sama mbak Asih?” tanya
Edi.
“Kenapa kamu nyangka begitu Ed?’ tanyaku makin heran.
“Eee.ee.. dengar dulu apa yang mbak akan katakan, kenapa kalian malah ribut?”
“Iya ini harus jelas ini ada apa?!” kata Edi sambil menatapku curiga. Tiba-tiba dari warung muncul
suami mbak Asih, bernama pak Wahyu… dia langsung menyalamiku.
“Makasih doanya adik Iyan…” katanya sambil air matanya mengembang di pelupuk mata, lalu
memelukku dengan erat, jelas Edi makin bingung.
“Ini sebenarnya ada apa…?” tanya Edi setelah pak Wahyu melepaskan pelukannya padaku, dan
kami semua duduk, mbak Asih mulai cerita.
“Gini lo Ed..” kata mbah Asih mulai cerita,
“Kamu kan tau, aku dan mas Wahyu sudah berumah tangga selama hampir 12 tahun tapi ndak juga
di karunia anak,”
“Trus?” sela Edi ndak sabaran.
“Kami juga sudah berusaha dengan berbagai cara, ke dokter ke dukun, ke shinshe, ke paranormal,
tapi hasilnya nihil, sampai rumah tangga kami sudah berumur 12 tahun, tetap saja kami tak punya
anak, nah pada minggu yang lalu, waktu nak adik Ian kemari makan sendiri, iseng-iseng, kami minta
didoakan, supaya mendapat keturunan, lalu nak Iyan mendoakan, dan seminggu kemudian aku
mual-mual terus, lalu ku periksakan ke dokter kemaren, dan ternyata aku dipastikan positif hamil,
jadi kami teramat berterimakasih sama nak Iyan,..” Edi menatapku.
“Wah diam-diam kamu paranormal?” tanya Edi, sambil matanya dipicingkan.
“Wah kalau berdoa., kamu juga bisa, berdoa juga ajarannya Nabi, apakah Nabi itu, nabinya
paranormal?” tanyaku balik, yang memang orang kayak Edi, yang hidup bebas, pemuda yang tanpa
kendali siapa pun, mungkin jangankan berdoa, mungkin sholat aja, setahun bisa dihitung dengan
jari, aku juga maklum, maka aku memilih tak memperuncing masalah.
“Ooo gitu jadinya.”
“Pak Wahyu, mbak Asih, la ndak usah aku musti makan gratis di warung ini to, berdoa itu juga kan
ndak pakai biaya, juga belum tentu, hamilnya mbak Asih karena doaku yang diijabahi Alloh. Jadi
ndak usah memintaku makan di sini gratis, kayaknya kok ndak etis, rasanya juga ndak pantas kalau
mendoakan minta balasan.” kataku pelan.
“Wah ndak bisa, pokoknya dek Ian harus makan di sini terus…!” kata mbak Asih sama pak Wahyu
hampir berbarengan, itu sudah nadar kami…” kata mereka.
“Wah kalau gitu ya susah…” kataku berat.
“Udah kalau kamu ndak mau, biar aku yang gantiin… wong dikasih enak kok ndak mau..” kata Edi
bercanda dan menyeretku keluar warung dan berjalan cepat ke arah plaza.
Pagi itu aku dipanggil pak Sugeng, “Ian, kamu dapat kerjaan di toko sepatu bata, mau nggak?”
tanya pak Sugeng ketika aku ada di depannya,
“Ya mau aja pak..” jawabku.
“Tapi saratnya kamu musti potong rambut, kamu potong rambutmu yang panjang itu, mau kan?”
tanya pak Sugeng lagi sambil melihat rambutku yang panjang sepunggung dan ku ikat ke belakang
dengan karet.
“Ah, kalau syaratnya itu ya ndak usah aja la pak.” kataku berat,
“Lho kok gitu, la apa susahnya motong rambut, tinggal bawa ke salon, potong selesai, ndak sakit.”
kata pak Sugeng bercanda.
“Ya bukan masalah itu pak, tapi ini ada maksudnya sendiri.” kataku berkilah.
“Maksud sendiri gimana? La kalau kamu potong dan kelihatan rapi, juga pasti tambah ganteng.”
kata pak Sugeng ngojok-ojoki,
“Udah lah pak mending gak usah kerja aja aku, dari pada disuruh potong rambut.” jawabku agak
ndumel. La kok sarat kok aneh-aneh, walau dalam pikiran wajarku, ya sebenarnya sah saja kalau
kerja jadi pelayan toko itu harus rapi.
“Lagian aku juga ndak punya baju yang rapi pak, celana juga se blongsong ini aja, yang udah koyak
sana-sini jadi ndak usah lah kalau syaratnya aneh-aneh, nanti dituruti malah saratnya nambah aneh
lagi.” kataku membuat alasan.
“Ya udah kalau gitu nanti tak bilangi sama pak Joko, pemilik toko sepatu bata itu..” pak Sugeng
berlalu sambil menepuk bahuku, menyuruh kembali ke tempat kerjaku.
“Ian dicari mbak Lina…” kata Edi setelah aku sampai di tempat toko tempat biasa aku nongkrong.
“Lina siapa? Aku ndak kenal.” kataku acuh.
“Itu Lina yang punya butik sebelah sana.., “kata Edi nambahin.
“Ah aku ndak kenal kok, malu ah..” jawabku sambil duduk di kursi dan buat TTS biasa tiap yang jaga
toko untuk ngisi waktu luang biasa dipakai ngisi TTS, dan aku juga ikutan keranjingan, kayaknya
waktu tak kerasa cepat berlalu kalau dipakai ngisi TTS.

Sang Kyai 
EPISODE: 33. GANGGUAN MAKHLUK HALUS DI PEKALONGAN III
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu aku tak tidur terlalu malam, mengingat wiridku telah selesai. Esok paginya, setelah subuh
aku mengajak kedua temanku itu jalan-jalan, sekalian mencari sarapan bubur kacang hijau, di
tengah perjalanan kami bertemu Gimo, sedang menggenjot sepedanya,
“Mau kemana kang Gimo?” sapaku. Dia langsung berhenti.
“Ee…kang Ian, kebetulan sekali kang, aku mau ke tempat kang Ian, mau mengembalikan keris dan
akik pemberian kang Ian semalem.” katanya, sembari menuntun sepedanya di sampingku.
“Lho emangnya kenapa? Bukankah kang Gimo ini pengoleksi benda antik…?” tanyaku heran.
“Wah cilaka kang..” katanya masgul.
“Cilaka bagaimana to?” tanyaku.
“Kang Gimo mbok sampean ceritakan yang jelas.” Zamrosi menyela.
Pemuda kekar yang penuh tato di tubuhnya itu menarik napas dalam lalu mulai bercerita.
Semalam setelah terjadi kecelakaan Gimo mencariku, dan menanyakan kepada kedua temanku
tentang keberadaanku, tapi oleh kedua temanku aku dilihat dalam keadaan wirid, jadi Gimo pun
pamit pulang, dia mengendarai sepeda pancalnya pulang, karena memang rumahnya di daerah
Pekalongan utara.
Saat sedang bersepeda itu dia melewati gerombolan pemuda yang nongkrong di gang sambil
ketawa-ketawa, aneh Gimo marah dan menghampiri pemuda yang ada enam orang itu.
“Hei, mengetawakanku!” bentaknya.
“Tidak kang, kami ketawa sendiri.” jawab seorang pemuda yang duduk paling pinggir, menatap
heran pada Gimo.
Gimo maju memegang kerah baju pemuda itu, melihat gelagat yang kurang baik, kelima teman
pemuda yang dipegang kerah bajunya oleh Gimo segera menyerang dengan bogem mentah
bertubi-tubi. Yang kesemuanya dapat ditangkis dan dielakkan oleh Gimo, kini Gimo yang
mengamuk, keenam pemuda itu dihajar semua sampai nyungsep, tak ada yang bangun lagi,
padahal biasanya untuk mengalahkan satu dua orang Gimo takkan bisa mengalahkan dengan
semudah itu. Tapi ini ada enam orang, dengan mudahnya dapat ia robohkan tak sampai sepuluh
menit.
Dia juga heran kekuatannya juga dia rasakan berlipat-lipat. Pasti ini karena keris dan batu akik yang
dibawanya. Gimo pun melanjutkan perjalanan pulang, meninggalkan keenam pemuda yang
terkapar.
Lalu dia sampai di rumah, menggedor-gedor pintu, Gimo cuma hidup di rumah bertiga, ibunya,
adiknya lelaki yang bernama Munsorif dan dia sendiri.
Gimo masih menggedor pintu, tapi pintu tak kunjung dibukakan, darahnya mulai naik ke ubun-ubun,
maka dia menggedor sampai keras.
“Ia sebentar…!” terdengar suara ibunya. Dia makin tak sabar.
Setelah pintu dibuka, ia membentak ibunya.
“Buka pintu lama banget, apa perlu pintu ini aku jebol?”
“Wah jangan begitu to, ibu kan harus jalan dulu…” kata ibunya lembut.
“Buka kan gak perlu ibu, Munsorif mana? Pasti sudah ngorok!!” kata Gimo membentak.
“Dia lagi sholat ngger…, jadi ibu yang harus buka.”
“Ah sholat aja diurusi, hidup tak berbakti, masak ibu disuruh membuka pintu!!”
“Sudahlah ngger, ibu senang kok membukakan pintu untukmu, ndak usah marah-marah, tapi kamu
harus sabar, ibu ini sudah tua, jadi jalannya pelan.”
“Ada apa to kang? Mbok ya sudah, jangan marah-marah, tak enak didengar tetangga,” suara
seorang pemuda yang tak lain adalah Munsorif, pemuda ini sungguh jauh sekali dengan Gimo yang
srampangan ugal-ugalan, pemuda ini lembut, wajahnya bersih, dan bercahaya karena air wudhu,
maklum Munshorif orangnya selalu daimul wudhu, yaitu melanggengkan wudhu, jadi kalau batal
wudhunya dia wudhu lagi, sehingga wajahnya mengeluarkan pancaran cahaya alami, penuh
kelembutan, ditambah baju koko yang dipakainya, berwarna putih kebiruan, dan peci putih yang
bertengger di kepalanya, melihat adiknya keluar, Gimo makin meluap marahnya,
“Bangsat sok alim, mau menceramaiku…!?” katanya dengan mata berapi-api.
“Ya enggak kan, cuma kang Gimo jangan ribut, kan didengar tetangga, malu…” Munsorif suaranya
dipelankan.
“Berani kau melarangku… rasakan ini!!” tiba-tiba Gimo menyerang mengayun bogemnya ke wajah
adiknya.
Sebuah pukulan menderu ke arah kepala Munsorif, pemuda ini pernah juga hidup di pesantren, dan
belajar sedikit ilmu silat, melihat kakaknya menyerang ke arah wajahnya dia melemaskan tubuh ke
belakang dan mundur satu langkah, sehingga pukulan Gimo menerpa tempat kosong, dan itu
membuat Gimo yang merajai stasiun marah, merasa ditantang dan dilecehkan, maka dia makin
membabi buta menyerang adiknya, sementara ibu Duriah, ibunya kedua pemuda itu, menjerit-jerit
melihat kedua anaknya berantem,
“Aduh lub… jangan berantem to lub, kalian ini saudara luuub… aduh piyo to iki yo kok
kebangeten…” kata perempuan tua itu menangis.
Tapi Gimo memang sudah mata gelap, dia terus memburu Munsorif dengan serangan-serangan
mematikan, sementara adiknya itu hanya mengelak dan menangkis serangan.
Satu kali Gimo melakukan tendangan sapuan ke arah perut, dan Munshorif menekuk perutnya ke
belakang, sehingga serangan lewat tiga centi dari perutnya, tapi Gimo menyusul dengan pukulan
tangan kiri menyamping ke arah wajah Munsorif, pemuda itu mengengoskan kepalanya, sehingga
pipinya selamat dari kemplangan. Tapi ternyata itu hanya serangan tipuan, ketika terdengar tangan
kanan Gimo menghantam pipi kiri Munsorif, “prok!!” Pemuda itupun terjengkang. Darah keluar dari
hidung, telinga dan mulut Munsorif, sebentar dia berkejedan dan diam, ibu Duriah pun menghambur.
“Munsorif…! Nak jangan mati nak… nak Munsorif anakku… hu… huu… Gimo, kenapa kau bunuh
adikmu..!? Tak puas-puasnya kau menyusahkan aku…huuk..”
Ibu Duriah yang tak kuat menahan goncangan batinnya itupun pingsan.
Sementara Gimo, tiba-tiba tersadar… ah apa yang kulakukan, suara hatinya…benarkah aku
membunuh adikku.. oh..! Dia menghampiri Munsorif, dan meraba urat leher dan denyut nadinya…
dan dia lega ternyata adiknya itu cuma pingsan saja.
Lalu Gimo yang merasa telah sadar dari pengaruh gaib keris dan batu akik dalam sakunya segera
mengangkat ibunya ke amben. Juga mengangkat tubuh Munsorif ke amben yang lain.
Tetangga Gimo tak ada yang datang, karena sudah jadi adat, Pemuda bengal ini bikin ribut,
tetangganya tak berani ikut campur, bisa-bisa malah kena sasaran. Jadi kalau ada ribut-ribut di
rumah Gimo, mereka lebih memilih menutup pintu rapat-rapat.
Ah mungkin nanti Gimo kalau mati, berangkat ke kuburan sendiri.
Setelah membaringkan kedua orang itu Gimo keluar rumah, lalu mengayuh sepedanya ke arah
pertigaan Ponolawen, jam telah menunjukkan jam setengah dua, biasanya masih ada tukang becak
yang narik malam hari, dan prasangkanya tak meleset, ada beberapa tukang becak yang masih
berjejer.
Gimo langsung membawa salah seorang tukang becak ke rumahnya, sampai di rumah dia
menaikkan adiknya ke atas becak, dan mengantarnya sampai ke rumah sakit. Menyerahkan
perawatan kepada dokter jaga, lalu pulang lagi, sampai di rumah, ibu Duriah, ibunya Gimo telah
sadar dan sedang menangis sesenggukan, melihat Gimo datang, ibunya langsung menghambur.
“Ayo lub, mayat adikmu kamu buang kemana lub… kok kebangeten kuwe to lub. huhuuu…”
“Sudahlah bu… Munsorif tak mati, sekarang dia di rumah sakit…, kalau ibu mau kesana ayo saya
antar…” kata Gimo. “Itu becaknya masih ku suruh nunggu di luar.”
Gimo pun membawa ibunya naik becak, dan mengantarkan kerumah sakit, menunggui Munsorif.
Gimo lelah dia tiduran di atas bangku panjang di depan kamar tempat merawat adiknya, dia berpikir,
satu malam, berapa tangan yang jadi korban tangannya, ah ini pasti karena keris dan batu akik yang
semalem di terimanya, ah dia harus mengembalikan kedua benda itu, maka ketika setelah subuh
itulah dia bertemu denganku.
Memang aku sendiri merasakan perbawa yang jahad, pada kedua benda ini, ketika memegang keris
dan batu akik itu, seakan-akan dada terasa tersumbat, suntuk, sumpeg, dan berbagai perasaan
yang seakan ingin marah.
Setelah pulang, aku segera masuk kamar, dan kedua benda itu ku taruh di depanku lalu kututup
bantal, aku mulai wirid, membaca fatehah kepada Nabi, dan membaca fatihah kepada ketiga hadam
surat ikhlas, membaca wirid tiga kali, menyalami kepada hadam yang mendiami kedua benda
tersebut, dan “Demi kekuasaan Alloh yang mutlak, kembalilah kalian ke asal kalian, dengan izin
Alloh… Allohu akbar,” lalu ketepuk bantal, dan kubuka, kedua benda itu telah tak ada, dan itulah
pengalamanku pertama kali aku mendapatkan wesi aji, dan batu akik, setelah kejadian itu, telah tak
terhitung aku didatangi, khadam-khadam, keris, batu akik, dan aneka macam pusaka, minta dirawat,
tapi aku tak pernah mau menerima.

Sang Kyai 
EPISODE: 34. DIDATANGI KHADAM PUSAKA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Akan aku ceritakan sedikit pengalamanku tentang aku didatangi khadam pusaka.
Waktu itu aku sedang mencari udara segar, dan sedikit hiburan, aku memutuskan pergi ke Nglirip,
yaitu tempat wisata air terjun, di daerah Jojogan Singgahan, Tuban. Sampai di Nglirip setelah
membeli makanan kecil dan minuman ringan aku naik ke atas bukit kecil, yang ada pemakamannya.
Aku duduk di tepi jurang, sambil makan kacang dan menikmati pemandangan.
Sungguh pemandangan yang elok, jauh di bawah sana persawahan terhampar seperti permadani
beludru, rumah-rumah kecil yang cuma terlihat gentengnya saja, betapa kecilnya kita di tangan
kekuasaan ALLOH Taala, pohon-pohon seperti gerumbul kecil saja, lalu kalau mata menghadap ke
timur, nampak bukit kecil, dengan persawahan tumpanp sari, seperti anak tangga raksasa, suara
lenguh sapi yang dibuat membajak oleh petani, seperti suara panggilan lugu alam desa. Jalan tikus
para petani yang akan pergi ke sawah, seperti ular kecil yang memanjang,
Tepat di bawah kakiku, sekitar sepuluh meter, nampak jalan raya, mengitari bukit, di bawahnya lagi
sungai yang mengalir terus sampai ke kampung-kampung dan sawah-sawah, menjadi tumpuan
hidup para petani, satu meter ke bawah ada taman, tempat muda mudi berpacaran, sambil
menikmati alam, saling bercengkrama, atau menghayalkan masa depan. Lalu di bawah lagi ada
penjual makanan kecil. Dan warung minuman juga jalan kampung menurun, nampak anak kecil dan
beberapa perempuan memanggul kayu bakar di punggung, berjalan. Menuruni jalan kampung.
Di belakang warung, sebuah jurang menganga, dan tempat air terjun tercurah, saat begini kemarau
baru mulai, air di bawah kulihat berwarna hijau.
Air yang jatuh dan percikannya tertiup angin, menjadi uap tersedot mentari, ketika cahaya mentari
menyentuhnya, terciptalah bias pelangi, melengkung. Sungguh lukisan alam yang sempurna.
Keindahan yang tumpang tindih, menjadikan mata orang menatap kagum, dan hati berperan,
penilaian mengembalikan pada Sang Khalik bagi yang ada iman di dadanya, dan bagi orang yang
kosong iman, menganggap ini kejadian biasa.
Aku memutuskan ziarah sebentar ke syaih Abdul Jabar. Makam orang yang ada di situ, yang
menurut orang tuaku masih ada hubungan nasab kepadaku, dan sampai kepada Jaka Tingkir, mas
Karebet.
Tapi aku mau berziarah saja, mengingat dia Ulama zaman dahulu, yang memperjuangkan Islam,
karena hari telah sore aku memutuskan untuk bermalam di mushola, sebelah pemakaman, di mana
banyak juga para musafir yang bermalam.
Usai sholat magrib dan isyak berjamaah, aku meneruskan membaca dzikir harianku, sampai malam
kemudian tidur. Dalam mimpi aku merasa ditemui oleh orang tua berikat kepala putih, dan wajahnya
menatap lembut kepadaku.
Kumis dan jenggotnya putih dan tak terlalu banyak, bajunya hitam legam dia berkata.
“Ngger..! Besok tunggulah warisan yang menjadi hakmu, di pertigaan Anjlog..” Cuma itu yang
diucapkan lalu dia menghilang.
Aku terbangun, dan kulihat semua orang tertidur di sana-sini, aku pun melanjutkan tidur lagi.
Paginya setelah sholat subuh, aku mandi di sungai, yang airnya teramat dingin, kabut yang turun
membuat pendek jarak pandang. Hanya sejauh dua meter.
Embun di rumput pun terlihat amat tebal seperti permadani putih tipis terbentang, setelah mandi,
dingin tak begitu terasa lagi menggigit tulang. Karena kabut yang turun teramat tebalnya pohon-
pohon besar seperti bayangan raksasa.
Tapi perempuan-perempuan desa kulihat keluar dari kabut, suara mereka bercanda seakan tak ada
kesulitan hidup yang dihadapi, BBM yang harganya melambung, bahan-bahan pokok yang ikut
melonjak naik, seakan bukan masalah bagi mereka, setiap wajah dihiasi keceriaan, padahal aku
yakin para perempuan itu bukanlah orang-orang kaya.
Mereka hanya orang yang teramat sederhana, masak dengan kayu bakar yang diambil di hutan,
yang mereka masak adalah padi yang mereka tanam dan mereka panen, lalu dibawa ke
penggilingan, lauk mereka juga mereka tanam sendiri, jadi apa yang perlu dikawatirkan lagi,
mungkin pergi naik mobil, belum tentu dua atau tiga tahun mereka naik mobil, jadi walau bensin oleh
pemerintah dinaikkan seliter satu juta, juga tak mempengaruhi mereka, sebab naik mobil bagi para
orang gunung ini adalah siksaan tersendiri, yaitu siksaan mabuk perjalanan. Mereka seperti punya
negara sendiri, yang bernama Republik bersahaja. Hidup tak neko-neko, seadanya saja.
Perempuan-perempuan itu menyapaku ketika lewat di depanku.
“Nderek punten gus…!”
“Manggo… ngatos-atos…” jawabku.
Aku melangkah meninggalkan Nglirip, dan segala keindahannya.
Aku penasaran dengan mimpiku semalam, hanya bunga tidurkah. Pertigaan Anjlog sekitar dua kilo,
jalan menurun, kalau ditempuh dengan sepeda mungkin tak sampai sepuluh menit tanpa dikayuh,
karena jalanan menurun, malah berbahaya kalau tak punya rem.
Aku tempuh jalan itu dengan jalan kaki, disamping hari masih pagi, dan kabut tebal sekali, jalan kaki
tentu menyehatkan.
Sampai di pertigaan Anjlog, matahari telah meninggi, dan kabut tinggal tipis, menyisakan butiran air
di pucuk daun dan rumput, bercahaya berkilauan seperti manik-manik mutiara.
Beberapa anak sekolah bergerombol menunggu bus, ada yang berseragam biru tua, berarti anak
SMP, ada juga remaja berseragam abu-abu, berarti anak SMA, kalau ada SMA di sini ya sekolah
Bukit Tinggi, itu adalah nama sekolah lanjutan yang ada di bukit jadi dinamakan Sekolah Bukit
Tinggi, aku sebenarnya sekalian mau cari sarapan, tapi setiap warung pinggir jalan yang kutanya,
selalu menjawab belum matang, kulihat juga ada gerobak bakso, ah bakso juga tak apa-apa kalau
ada lontongnya, jadi kalau kepedesan ngrokok juga lebih enak, kulihat tukang bakso menata
mangkok, aku dekati.
“Baksonya sudah ada bang?” tanyaku.
“Bentar lagi gus…., silahkan duduk dulu…!” katanya hormat.
“Lontongnya ada bang…?”
“Oh ada-ada, banyak…”
Aku masuk ke dalam rumah-rumahan bambu, yang dibuat serampangan dan seadanya, hanya
untuk melindungi para pemesan bakso agar bisa menikmati bakso pesanannya dengan nyaman.
Saos, kecap, sambal, berjejer di depanku.
“Nak mas…, anak ini kan yang namanya Febrian…?”

Sang Kyai 
EPISODE: 56. GENGSI YANG TAK ADA ISI ATAU JUJUR YANG MEMBUAT SYUKUR
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Kamu yang namanya Febrian?” tanya suara merdu di belakangku.
“Aku pun nengok, dan ku lihat gadis cantik kuning langsat, dengan rambut sebahu, dan aroma
wangi bunga menabur, jadi napas sesek aja, dan wajahnya memang cantik banget, nurut ukuran
aku yang orang desa, juga kulitnya halus mengkilat, kayak biasa mandi susu, bibirnya tipis dipoles
lipstik warna natural, alisnya tertata rapi serasi dengan hidung yang kecil bangir dan mata yang
indah lucu. Sebentar aku terpana, ya maklum kayak ngelihat boneka aja, maklum orang desa.
“He-eh, ” jawabku tanpa eksperi. Dia ngulurin tangannya.
“Kenalin aku Lina…” katanya masih dengan suara merdu. Setidaknya merdu menurut telingaku,
yang kali aja udah diubek-ubek setan, ku jabat tangannya, hm… halus banget kayak megang meg
aja. Kayak ndak kerasa, terus terang bayanganku malah kemana-mana, ya ndak usah munafik,
terus terang belum pernah ku jabat tangan sehalus itu, kali ini tangan ndak pernah dipakai kerja, dan
di rendam sama henbody semalaman, jadi halus banget, ya itu menurut prasangkaku.
“Yuuk main ke butikku..” katanya tanpa basa-basi, wah kalau diserang langsung tanpa tedeng aling-
aling kayak gini aku malah keki.
“Anu.. mbak.. uh.. ak.. aku lagi kerja.. nanti dimarahi pak Sugeng.” kataku mencari alasan
sekenanya. Lagian kalau dekat cewek terlalu cantik aku jadi agak kringetan dingin, entah kenapa
kok gitu, padahal kalau dekat ama nenek-nenek gak sampai kringetan, ini kalau dekat cewek agak
di atas takaran bayanganku tentang cewek cantik jadi kringetan ndak karuan, gupuh, entahlah.
“Udah ndak papa, om Sugeng baik kok sama aku, ndak bakalan apa-apa,” tambahnya
memojokkanku.
“Ya udah Yan sana aja…” kata Edi dari jauh dan lagi ngelayani pembeli sepatu. Tapi aku diam aja.
“Ehm.. gimana ya… nanti aja deh aku main ke sana mbak…” kataku, sengaja manggil mbak,
supaya ada tercipta jarak.
“Bener lo ya.. nanti main, awas kalau enggak..” katanya sambil berlalu. Aku mantuk aja, sambil
pura-pura sibuk menata sepatu.., ampun jadi keki kayak gini serba salah,
Terus terang, kalau dalam itung-itungan kurang tambah, kali bagi, grogiku kepada cewek cantik
bukan karena kurang pedenya aku, tapi lebih dititik beratkan pada mimpi yang sama, yang sering
mendatangi dalam bawah sadarku, seorang tua berkepala gundul dan berbadan gemuk, dengan
wajah wibawanya yang menciutkan nyaliku, orang tua itu selalu mengingatkanku, jangan terlalu
banyak bergaul dengan wanita cantik, karena itu godamu yang utama, jangan terjerumus dalam
nikmat semu yang tak ada nilainya, yang akan meruntuhkan tingkat yang kau buat. Itu kata orang
tua itu, aku paham apa maksudnya tapi aku juga lelaki biasa. Yang ditakdirkan tertarik dengan
lawan jenis, dan ketertarikan itu wajar, setidaknya menurut pikiran pembelaan terhadap nafsuku,
aku mencari pembenaran atas jawaban pertanyaan di sudut hati setiap lelaki sejati, heh lelaki sejati?
Sejati dinilai dari mana? Jiwaku berdebat. Ah ada apa dengan wanita? Kenapa wanita cobaan? Aku
bukan orang suci? Ramai tanya jawab dalam hati. Itu dialog syaitan dan malaikat.
Malam itu toko seperti biasa tutup jam sepuluh malam, aku dan dua temanku Edi sama Ikhrom pun
berjalan keluar dari plaza, tapi sampai di halaman, sebuah mobil avanza berhenti di depan kami,
“Mbak Lina..” kata Edi pelan di sampingku, memang kaca mobil terbuka, dan muncul seraut wajah
ayu, yang sudah bikin aku was-was aja.
“Ayo masuk..!” katanya enteng dan merdu, kami bertiga diam, ndak ada yang nyaut, ya mungkin
kami ini orang yang terlalu miskin, jangankan naik mobil mewah, menyentuhnya aja ndak berani,
karena mungkin sering melihat mobil mewah yang kalau disentuh terus jadi bunyi tit-tit-tit, ribut
banget, jangan-jangan kami sentuh nanti bunyi, itu mungkin pikiran terlalu ndeso ya? Ya setidaknya
itu mungkin salah satu pikiran dari 700 pikiran yang melintas di otak kami bertiga, aku dua temanku
ini berpikir lain aku juga ndak tau, tapi aku lebih memilih pikiran yang simpel aja, aku tak mau nyari
masalah, atau nyari pintu menuju kesuntukan jalan pikiran, nambah beban, mungkin dari orang yang
paling berpikir simpel, aku mungkin adalah orang yang paling mencari pikiran yang paling gampang
dan paling ndak ada unsur njlimet, bukan takut terbeban dengan pikiran, tapi takut membuang waktu
percuma, dan di akhirat nanti setiap tarikan napasku dipertanyakan, lalu aku harus menjelaskan
setiap waktu yang aku lewati, ah betapa rumit, dan lamanya. Simpel kan jalan pikiranku, kalau
menurut orang lain njlimet ya aku mau bilang apa?
“Ayo…!” kata Lina lagi.
“Kok malah pada bengong.” si Edi garuk-garuk kepala, si Ikhrom ku lirik dlengeh senyum dikit aja,
membuka bibirnya yang memang hitam sejak dari sononya, aku mau bergaya apa, juga ndak ingin,
juga ku pikir tak ada gunanya, maka aku manyun aja, tersenyum enggak, apalagi garuk-garuk,
karena ndak punya alasan untuk menggaruk, la ndak ada yang gatal, terpaksa diam manyun aja,
atau tidak terpaksa, tapi memang itu pembawaan orokku, cuwek, ndak perduli, tapi akhirnya kami
pun masuk ke dalam mobil juga, ndak tau siapa yang mulai masuk dan tidak tau siapa yang ngasih
komando, ya yang jelas kami bertiga sudah ada di dalam mobil, aku sama Ikhrom di jok belakang
sementara Edi duduk di depan sama mbak Lina.
Dan mobil pun jalan, ku lihat wajah Ikhrom di sampingku nampak tegang tapi tersungging senyum,
tapi aku biasa saja, apa ketegangan yang disemburatkan di wajah Ikhrom ini karena naik mobil
mewah ini atau karena naik mobil yang disetiri si cewek cantik dan kaya Lina? Atau karena alasan
lain, aku tak bertanya, dan tak ingin bertanya karena itu pasti kan membuatnya tersinggung dan tak
nyaman di sampingku, biarlah kami menyimpan alasan masing-masing, sejahat atau sesadis alasan
apapun asal masih disimpan di dalam hati kurasa tak membahayakan orang lain, dan masih tak
terjangkau hukum dunia manapun, jadi andai Ikhrom punya alasan yang teramat sadis aku tak mau
mempertanyakannya, dari pada alasan itu kalau ku tanya jadi keluar dan teramat berbahaya, ah kok
aku malah nglantur.
Mobil sudah jalan, mungkin aku tak punya bayangan punya mobil mewah, atau mungkin tak punya
keinginan seujung rambut pun untuk naik mobil mewah, malah punya 1 baut aja tak terbayangkan,
dan tak termimpikan, jadi aku biasa-biasa naik mobil mewah, ndak geli, ndak kerasa apa-apa, juga
tidak enak, malah menurutku enakan tidur molor di kasur yang udah kempir karena kapuknya udah
nipis, tidur, dan tidur nunggu pagi.
“Mau kemana nih?” tanya mbak Lina membuka pembicaraan, kayak orang pikun ja, la wong dia
yang ngajak kok bertanya, tapi pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan orang yang lupa jalan.
“La kemana to mbak, mbak Lina kan yang ngajak kita, ya kita ngikut aja.” ku dengar jawaban Edi,
bukan jawaban guru agama atau wakil DPR tapi jawabannya menurutku cukup diplomatis,
setidaknya dalam mobil yang lagi jalan ini, karena ndak ada suara lainnya,
“Gimana mas Ian? Kemana kita?” tanya mbak Lina lagi ditujukan ke arahku, tanpa matanya beralih
ke jalan.
“Ya kemana aja…, la kok malah tanya, dibawa kemana juga kita ndak bakalan ngelawan.”
jawabanku lebih aneh di telinga siapa pun, bahkan di telingaku sendiri, bahkan aku tidak berpikir
kalau jawaban itu kayaknya lebih pantas diucapkan oleh orang yang dalam keadaan di sandera,
“Ya udah ke restoran aja ya…?” tanya mbak Lina lagi, aku cuma mendengus, tapi dalam pikirku, la
daripada ke restoran mending ke warung bakso, atau ke warung mi ayam, mungkin apa yang ku
pikirkan tidak jauh beda amat dengan apa yang dipikirkan oleh Edi atau Ikhrom, ya mengingat
pengalamanku sendiri, mungkin juga pengalaman mereka, kalau di restoran itu kebanyakan menjual
gengsi aja, kalau enaknya makan ku rasa ndak ngalahin enaknya makan bakso, panas asli, atau mi
ayam, habis makan lalu ngrokok, tapi ini kan dalam mobilnya mbak Lina, kayaknya bayangan pentol
bakso harus dibuang jauh-jauh, dasar wong aku ini orangnya ndableg, tetep aja aku bertanya.
“La ada baksonya ndak mbak di sana?” tanyaku kayak anak kecil yang ngerasa kawatir dengan
sesuatu yang tak didapat.
“Ada kok mas Ian, pingin bakso ya?” tanya mbak Lina sekaligus memberi jawaban atas
pertanyaanku, Ikhrom mencolek tanganku, lalu bisiknya,
“Jangan kampungan, bikin malu.” aku cuma mengsem, la orang takut dibilang kampungan, lalu
kelaparan karena mempertahankan gengsi yang tak ada isinya, dan tak ada nilainya, setidaknya
menurut pandanganku, mending jujur aja, dari pada habis makan nggrundel, karena makanan ndak
enak, la kok tidak besyukur itu kok salah satunya muncul dari sikap yang kayak gitu, ndak jujur, jadi
yang diperoleh tidak sesuai takaran yang diinginkan, akibatnya nggrundel, kalau dalam hal
makanan, ya kok kayaknya saru, nggrundeli makanan yang sudah terlanjur ditelan, tapi aku rasa
juga banyak orang yang melakukan hal yang seperti itu, nggrundeli makanan yang sudah di telan, la
kayak makanan yang sudah di telan itu mau untuk tabungan aja, atau mau untuk membuat apa gitu,
la kok menurut aku keterlaluan banget nggrundeli, makanya kanjeng Nabi nglarang banget
nggrundeli makanan yang tak kita sukai, karena makanan itu hanya untuk mencetak kotoran, yang
susah-susah kita cetak juga ujung ujungnya dibuang, ndak ada orang yang kotorannya dipajang di
lemari sebagai hiasan, walau kotoran itu dari barang yang paling mahal sekalipun, yang harga
seporsi mencapai jutaan.
Tak terasa mobil berhenti, dan kami turun semua, ku lihat restoran lumayan mewah, dan kami
masuk berendeng di belakang mbak Lina, nampak pelayan restoran juga sudah akrab sekali dengan
mbak Lina, menunjukkan mbak Lina sering masuk ke restoran ini, kami bertiga pun duduk mojok
kayak orang asing, yah malah kayak tawanan yang telah benar-benar ditaklukkan, mbak Lina yang
wira-wiri, milih makanan,
“Kamu mau milih makanan apa mas Yan?” tanyanya padaku, aku diam, ah repot amat, kali aja di
sini nama makanan jadi aneh-aneh, la mau makan apa juga jadi repot pesennya, pesennya harus
dengan gaya gengsi yang tinggi, mungkin nama bakso juga jadi berubah di sini,
“Mbakso bener ada mbak di sini?” tanyaku, cuma dijawab mantuk oleh mbak Lina, lalu dia
pesankan, dan penilaianku ternyata tidak jauh meleset, baksonya ndak enak. Air kuahnya aja dingin,
la ini bakso apa sirup? Tapi aku ndak ngedumel ku seropot aja, Ikhrom sama Edi pesen nasi
goreng, lah dasar orang kampung di restoran juga tetap pesennya balik-balik nasi goreng.
Acara makan-makan pun cepat berlalu, apa yang dipesan tidak sampai seperempat jam telah
pindah ke perut kami bertiga, dan terakhir ku sruput es kelapa muda, ah memang restoran memang
kebanyakan cuma gengsinya doang, kelapa mudanya juga enakan yang bikinan pinggir jalan,
bukannya aku ndak terima dengan apa yang telah aku telan, ini cuma bahan tulisan saja, atau kali
aja lidahku yang lidah jalanan, tapi ndak kok emang ndak enak setidaknya menurut ukuran harga es
kelapa muda di restoran kalau dibelikan kelapa muda di jalan, kayaknya dapat sejerigen, berlebihan
ya, yang ku buat perumpamaan? Ya kalau ndak gitu nanti tidak ada yang diomongkan, nyatanya
orang lebih suka menjual gengsi dari pada nilai suatu kejujuran, juga lebih suka bangga membeli
gengsi dari pada makan yang sesuai di lidah, yah itulah perputaran kehidupan, kami segera naik
mobil lagi, dan kami minta turun di lorong arah menuju ke tempat kami menginap yaitu di rumah pak
Sugeng.

Sang Kyai 
EPISODE: 57. SEPERTI ROBOT
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Yan.., mbak Lina itu naksir kamu habis..” kata Edi saat kami berjalan bertiga di gang arah rumah
menginap,
“Kok tau mas Edi..” kataku, sambil menyalakan rokok, yang selama di mobil ini aku tahan ingin
ngrokok, minta ampun lebih kebelet dari pada orang yang mau ke toilet,
“Kita ini sudah enam tahun, baru sekarang mbak Lina ngajak kita makan-makan, la kalau ndak
naksir kamu, apa alasan lain yang lebih masuk akal?” tanya Edi juga ikutan nyalain rokok. Ikhrom
yang tidak ngrokok memang dia tidak merokok, itu aja bibirnya sudah hitam banget, mungkin alasan
dia tidak ngrokok juga agar bibirnya tidak malah hitam, tapi aku tak pernah bertanya ke situ,
“Bisa saja karena alasan lain..” kataku sekenanya, karena juga aku bukan orang yang ingin ditaksir
oleh mbak Lina, walau menurutku dia cantik lebih cantik dari setandar ukuran cantik yang ku pakai
ukuran,
“Kita lihat aja nanti.” kataku menambahkan, sambil nyedot rokok kuat-kuat, biar agak mantepan dikit.
“Mbak Lina itu habis putus pacar lo Yan.” kata Ikhrom nambahi,
“Masak?” kataku agak neleng, kayak serius menanggapi,
“Iya.., cowoknya yang dulu ditendang, katanya ndak setia.” tambah Edi, kayak makin seneng aja
ngomongin orang.
“Lah mbak Lina secantik itu masak cowoknya bisa ndak setia?” tanyaku asli merasa heran bukan ku
buat-buat, karena memang aneh juga kalau orang cantik kok ada cowoknya yang ndak setia,
“Sebenarnya itu sih alasan aja, mbak Linanya sendiri yang udah bosen.” kata Edi menutup
pembicaraan, karena kami sudah sampai pintu rumah pak Sugeng.
Setelah sholat isyak kami pun berangkat tidur, waktu telah menunjukkan jam 12 lebih lima menit,
seperti biasa, aku dan Edi tidur satu kamar, dan Ikhrom tidur di kamar lain,
“Yan kalau mbak Lina naksir kamu beneran, kamu mau jadi cowoknya?” tanya Edi berbisik, padahal
tidak usah berbisik juga suara Edi kurang keras, karena kebiasaan Edi kalau mau tidur nyalain tape
recorder, dari tape mobil yang sudah bodol, dan yang diputer lagu itu-itu saja, lagunya Kus Plus
kalau ndak salah judulnya Telaga Sunyi, dan urutannya yang aku sampai hapal itu lagu Mari Nyanyi
Bersama, yah kalau didenger-denger lagu itu makin bosen, tapi lama-lama enak juga untuk
pengantar tidur, tapi malah membuatku tidak konsentrasi untuk wirid dalam hati,
“Apa?” tanyaku karena memang suara Edi yang tak jelas,
“Ya kalau mbak Lina beneran naksir kamu, kamu mau gak jadi cowoknya?” tanyanya mengulang
pertanyaannya dengan nada yang tak sama,
“Kalau nurut kamu aku mau apa ndak?” tanyaku.
“Lhoh ini kan yang jalanin kamu Yan kok malah tanya aku lagi?” rungut Edi.
“La aku sendiri tidak tau, aku baiknya mau apa nggak? Udahlah besok aja dibicarakan lagi,
sekarang tidur..” kataku sambil menutupkan tangan pada atas mata.
Hari berlalu seperti melewati lingkaran yang berputar dalam satu poros, kami ini seperti tikus yang
berlari dalam putaran roda, makin lama kami berlari, maka tetap saja kami ada di jalan yang sama,
Matahari departement store, jalan rumah nginap, kok aku pikir makin jenuh saja, pagi jam sembilan
berangkat kerja, jam sepuluh buka toko, sebelumnya sarapan dulu, menghadapi pembeli, sore
pulang, kayaknya kalau kami pikir seperti robot saja, terus terang kalau aku ndak berjiwa muda,
artinya masih anak muda, jenuhnya minta ampun, untung aku ini anak muda, sekali waktu nggodain
cewek cantik yang jalan-jalan ngelewati toko kami, atau kadang kala aku iseng nggoda cewek,
supaya membeli sepatu yang ku pajang, ku goda sampai akhirnya beli, padahal asal ngecap saja,
kubilang kalau pakai sepatu yang ku pajang itu malah cakep, malah kelihatan modis, padahal aku
ndak ngerti modis itu apa, dan kadang yang bikin aku ketawa, cewek yang jelas-jelas wanita,
namanya juga cewek ya pasti wanita, ku godain supaya beli sepatu yang bergaya lelaki, dan ku
bilang malah cuantik, dan akhirnya beli dan dipakai, padahal jelas nyalahi, tapi kok ya mau aja..,
Ah kalau di pikir emang makin ngawur dunia, kebanyakan remaja itu ngikuti kata orang, ndak tau
kalau orang yang diikuti itu ngawur bicaranya ya mereka tetap saja ngikuti.
“Yan,.. sini.” tiba-tiba pak Sugeng manggil aku.
“Ada apa pak?” tanyaku setelah ada di depannya,
“Ya udah besok kamu kerja di sepatu bata, ndak usah potong rambut.” kata pak Sugeng.
“Oh gitu ya pak?” tanyaku.
“Iya.., orangnya bilang, kamu yang rapi aja, rambutnya di ikat ke belakang yang rapi, besok mulai
kerja di sepatu bata ya..” tambah pak Sugeng jawab tanyaku.
“Iya pak..” kataku hormat, mengingat pak Sugeng banyak menolongku. Toko sepatu bata tak jauh
dari tempatku kerja sekarang, dipisah empat toko, toko jam tangan, toko emas, butik bak lina, dan
toko es krim, jadi toko sepatu bata pas sebelah toko es krim dan roti.
Waktu istirahat aku sempatkan nyamperi ke tempat toko sepatu bata, lalu berkenalan dengan
pemiliknya dan dua gadis pelayannya yang nantinya jadi teman keseharianku,
“Mas ini ya yang besok kerja di sini?” tanya gadis bernama Mona, wajah gadis itu biasa saja, kayak
gadis desa, rambut sebahu, tampang malu-malu, kulit sawo matang, tingginya pun paling seratus
enampuluhan, dia memakai seragam, dan gadis yang satunya bernama Anna, cantik juga, lumayan
tinggi mungkin tingginya seratus enampuluh enam, wajah cantik, bibir tipis, rambut lurus
sepunggung, kulit kuning langsat, hidung mungil, cuma bedaknya rada tebal, mungkin untuk
menyembunyikan jerawat yang ada di pipinya, padahal nurut aku makin banyak bedak, makin
mudah jerawatan, karena pori-pori tertutup, itu juga menurut pendapat ndesoku.
Setelah kami melakukan perkenalan sebentar aku pun kembali ke tempat kerjaku setelah sholat
dzuhur di masjid belakang plaza, esoknya pagi-pagi aku berangkat lagi sama Edi, walau mulai
sekarang aku tak kerja lagi bareng Edi, tapi tetap tidurku bareng sama Edi di tempat pak Sugeng.
Kami berjalan, melewati lorong panjang pasar pagi dadakan, yang buka tiap pagi menjual sayur di
jalur plaza, yah pasar yang entah berapa kali digusur oleh Satpol pp, tapi tetap saja buka tiap pagi,
aku juga tak mau menyalahkan para pedagang yang tiap pagi jualan, mungkin mereka mau
menyewa tempat untuk berdagang secara benar, tidak menggunakan ruas jalan, tapi mungkin harga
sewa kios terlalu mahal, jadi karena modal cekak akhirnya juga tetep jualan di ruas jalan, dan yang
terang saja mengganggu kelancaran lalu lintas, juga aku tak menyalahkan petugas Satpol pp, yang
selalu mengobrak abrik dagangan mereka, karena tuntutan tugas menertibkan kota, tapi hari berlalu
seperti itu akan terulang kalau pemerintah tak bijak mengambil keputusan, seakan pedagang itu
bukan rakyat Indonesia, mereka digusur, padahal dagangan itu mungkin dari modal ngutang, untuk
menghidupi keluarganya, ku rasa kalau ini berjalan terus tanpa adanya suatu solusi bijak, yang
dirugikan akhirnya semua, orang yang lewat, juga pedagang kurasa tak banyak mengambil banyak
untung dari dagangan yang diorat-arit,
Aku hanya menatap pada petugas Satpol pp, yang memakai tampang digarangkan, padahal
mungkin orang tua mereka juga bisa saja salah satu yang digusur, andai orang Satpol pp itu sedikit
berpikir andai mereka yang digusur bagaimana, dan pedagangnya yang sekali waktu disuruh jadi
petugas Satpol pp, yah carut marut ini sebenarnya kuncinya ada di pemerintah, kalau rakyat tak
miskin, kurasa kejadian seperti kejar-kejaran pedagang dan petugas tak mungkin terjadi.
Tapi inilah yang terjadi, terjadi dan terus terjadi entah sampai kapan?
“Yan…” suara Edi mengagetkanku.
“Ada apa.” kataku sambil menghindari orang yang hilir mudik di jalan yang hampir menabrakku.
“Soal mbak Lina, gimana tuh Yan ?” tanyanya lagi sambil berjalan cepat di sampingku.
“Gimana apanya?” aku balik bertanya.
“Maksudku apa ndak kamu kasih perhatian?”
“Perhatian yang gimana lagi?” aku balik bertanya.
“Ya apa kamu ndak nerima dia?” tanyanya lagi.
“Nerima gimana, la dia juga gak nyatain apa-apa, ndak ngasih apa-apa, aku mau nerima apa?”
kataku dan kami mulai berjalan tenang karena telah melewati pasar sayur.
“Si Lina itu naksir aku, atau suka padaku, itu kan masih perkiraanmu saja, la kenapa harus ribut..”
kataku ku buat dengan nada mangkel, tapi mulutku masih tertawa.
“Ya ndak gitu Yan, ya emang ini masih perkiraan, tapi andaikan ini bener-bener terjadi, dia jatuh
cinta padamu, ini misalkan lo ya.., kalau dinilai dari sudut pandangmu, dia termasuk cewek tipe
idamanmu gak?” tanyanya.
“Ya… ku akui si Lina tuh cantik, kaya, malah cantik dan kayanya sudah di atas bayanganku, tapi
terus terang bukan aku takut apabila nanti aku jadi cowoknya, dia bosan, lalu aku dibuangnya kayak
buang ingus, dicampakkannya kayak nyampakkan sampah ke tong sampah, bukan takut seperti itu,
tapi jujur dia bukan typeku, terlalu muluk la bagiku, atau mungkin entahlah, walau aku jujur, aku juga
lelaki normal, yang jelas tertarik dan merasa wah dengan kecantikannya dan keunggulannya, tapi
kalau ditanya hati nuraniku, aku tak ingin jadi kekasihnya, hanya bikin kebat-kebit aja, nyiksa hati..”
kataku panjang lebar, tak tau apa Edi paham dengan yang ku maksudkan.
“Wah kenapa kebat-kebit kuwatir Yan?”
“Banyaklah alasannya, kalau diuraikan satu persatu, akan makan waktu lama,” kataku singkat, tak
terasa kami berdua telah sampai di belakang Plaza,
“Aku ndak ikut ke tempat mbak Ningsih ya.” kataku langsung masuk ke Plaza,
“Lhoh ndak sarapan?” kata Edi berhenti,
“Gampanglah nanti saja.” kataku nyelonong masuk lorong depan etalase kerja di sepatu bata, dan
melakukan kesibukan tiap hari, membersihkan barang dagangan, menawarkan dan merayu pembeli
yang datang, apalagi kalau gadis yang datang, pasti kena ku rayu untuk beli sepatu, kadang
padahal aku rayu untuk beli sepatu pria, tapi karena rayuanku pas jadi ya akhirnya mau juga,
apalagi aku copot sepatunya dan ku pakaikan sepatu baru, kayaknya ku lihat berbunga-bunga
wajahnya pertama ada rasa senang.
Tapi mulai satu minggu bekerja ditemani pelayan wanita yang ada, membuatku bosan, walau dua
wanita pelayan sering mengajakku ngobrol, ah kayaknya duniaku bukan di sini, aku seperti orang
yang tersesat saja, monoton dan tak tau jalan, gelap dan teramat bisu dari perkembangan, aku
seperti robot yang dipakaikan pakaian manusia, suntuk mulai menggelayuti pikiranku, untung ada
hari jum’at libur giliran, jadi aku bisa menelaah diri, mengurai dan memikirkan apakah ini jalan yang
ku ingini?
Seperti hari jum’at itu, aku libur dan ku pakai jalan, mengobati rasa rinduku, dari pagi aku sudah
berangkat, bilang pada Edi dan Ikrom untuk jalan-jalan, karena liburan, aku tak mau suntuk dalam
kamar, aku jalan saja, tak tau arah, dan tak memilih arah, jam sepuluh sudah sampai di pintu tol
Porong, aku belok ketika ku lihat sebuah masjid, ah kurasakan batinku lebih tenang kalau aku jalan
seperti ini lebih bebas dan tanpa terikat siapapun, lebih bebas merenungi dan menangkap segala
gerak-gerik Alloh atas dunia ini, ku ambil wudhu dan masuk masjid lalu setelah sholat takhiyatul
masjid, aku pun tiduran selonjoran, ah betapa damainya, dunia tanpa beban……
Seseorang setengah tua, menghampiriku, lalu mengucap salam, ku jawab, dan bersalaman dengan
ku dia memperkenalkan diri bernama pak Teguh.
“Dari mana mas?” tanyanya sopan.
“Jalan aja pak, saya kerja di Matahari Plaza…” jawabku juga ku buat halus.
“Kok di masjid ini, apa gak kerja?” tanyanya lagi.
“Lagi libur pak…, ini lagi jalan-jalan, nyari suasana baru….” jawabku ringan.
Kami pun berdialog, yang asalnya membahas tentang perkenalan kami, sampai membahas tentang
kesukaanku jalan kaki ternyata pak Teguh juga orang yang suka jalan, walau tak sesering sepertiku,
dia juga cerita kalau dia asalnya bekerja di jawatan kereta api, sampai waktu azan kami ngobrol,
dan adzan dikumandangkan, kami pun sibuk dengan diri masing-masing, aku mencari Al-qur’an ku
baca sambil menunggu imam naik ke mimbar, untuk khotbah jum’ah.

Sang Kyai 
EPISODE: 58. SEPERTI ROBOT II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Setiap manusia itu selalu merasa cepat bosan bila berdiri dalam dunia yang tidak disukainya atau
dunia yang bukan sama sekali dunianya, begitu juga aku, walaupun di dunia baruku itu semua
materi selalu ada dan tercukupi, tapi hati yang dalam pencarian selalu cepat bosan dan seakan
semuanya hambar sama sekali tak ada rasa manis yang bisa dikecap.
Aku telah pindah kerja di sepatu bata, kemaren malam bos sepatu bata yang dari Belanda datang
menemuiku dan menawarkanku, untuk dijadikan kepala bagian pemasaran di Bali.
Jika dikumpulkan dengan orang bodoh, maka aku mungkin adalah barisan terdepan, sebab orang
paling bodoh sekalipun pasti masih ingin uang banyak, tapi kenapa aku sama sekali tak
menginginkan uang seperti orang lain.
Jika jalan kaki itu sama cepatnya dengan naik bus, maka aku lebih memilih jalan kaki, apapun yang
tidak membutuhkan uang itu pasti jadi pilihan terdepanku, selalu terbersit dalam pikiranku, jika tidak
memakai uang bisa, kenapa harus memakai uang, dan kenyataannya hidup di dunia ini
bersebrangan dengan pola pikirku yang ngawur, sak karepe udele dewe, yah setidaknya itu yang
selalu terlintas di pikiran dangkalku.
Terus terang menurut pendapatku, bila aku mempunyai uang, batinku akan terasa tak tenang, selalu
ingin mencari lebih, dan selalu tak kerasan di tempat yang sama pada kesempatan yang sama,
selalu ingin makan yang enak-enak, selalu ingin membeli apa saja yang nilai kemanfaatannya perlu
diragukan untuk saat ini, jika haji ke Mekkah bisa tidak memakai uang, maka aku akan memilih
barisan paling depan kloter penerbangan, tapi kenyataannya semua harus memakai uang.
“Aku tak kerasan Ed..” kataku kepada Edi.
“Maksudmu kamu mau pulang?” tanya Edi sambil berjalan menyusuri jalan rel kereta api.
“Iya, aku ingin pulang.”
“Bukannya kamu sudah dipercaya yang punya pabrik sepatu bata?”
“Tapi aku merasa ini bukan duniaku.”
“Lalu bagaimana kelanjutannya?” tanya Edi hambar.
“Ya aku pulang lah…”
Tiba-tiba urat leherku menegang, aku tak tau kenapa, tanganku mengepal, dan semua urat-uratku
sulit ku kendalikan.
“Mas…! Kenapa…?” tanya Edi terkejut, ketika aku berguling ketika melintasi rel kereta api, Edi
memburuku dan berusaha membangunkanku, tapi aku tepiskan, sehingga dia terlempar, lalu aku
setengah sadar setengah tidak, mencoba melawan kekuatan yang berusaha menguasai alam
bawah sadarku, aku melihat seperti ada bayangan hitam yang berusaha menguasaiku, aku pukul,
aku tendang, tubuhku seperti orang yang kerasukan, Edi hanya memandang, aku kadang memukul
kerikil yang ada di sekitar rel kereta, kadang seperti membanting sesuatu, Edi tak berani mendekat,
sampai setengah jam berlalu, baru aku berhenti, duduk terengah-engah di tanah, lima menit
kemudian baru Edi mendekatiku.
“Ian… kenapa kamu..?” tanya Edi masih setengah takut-takut.
Aku terdiam beberapa saat,
“Gak tau Ed…, kayak ada yang berusaha menguasaiku, aku tak tau itu apa…” kataku dengan heran
dan melihat tanganku yang perih, ternyata tanganku lecet-lecet dan berdarah…
“Ayo… ayo kita pulang…” kata Edi sambil membimbingku bangun.
Aku tertatih, badan serasa letih, masih tak habis pikir, apa sebenarnya yang berusaha menguasai
alam bawah sadarku.
“Ya udah kalau kamu dah pengen pulang, gak papa, tapi jangan ngamuk gitu, aku jadi sakit dadaku
kena kamu pukul.” kata Edi sambil berjalan di sampingku.
“Aku gak marah kok Ed…, bener aku ndak sadar, kayak ada yang berusaha menguasaiku…” kataku
menjelaskan, walau penjelasanku aku yakin, Edi tak akan mau mengerti.
Aku sendiri tak habis pikir, apa sebenarnya yang berusaha menguasaiku, ku lihat bayangannya tak
jelas, hanya seperti warna hitam.
Sampai di rumah pak Sugeng, aku mandi karena tubuh kotor penuh debu, dan ketika tubuh ku guyur
air, serasa perih semua, karena tubuh banyak yang lecet. Edi cerita pada Ikrom, sambil memuter
lagu kesayangannya “mari bernyanyi bersama” aku ndak tau siapa yang nyanyi, moga bukan tukang
siomay, sebab ku rasa suaranya gak seperti suara tukang siomay yang cempreng. Habis mandi,
tanganku diberi obat merah sama Edi. Edi memang sudah menganggapku seperti saudara
kandungnya.
“Ian ini ada titipan dari mbak yang jualan di warung tikungan,” kata Ikrom, sambil memberikan
kresek berisi nasi bungkus.
“Mbak yang mana?” tanyaku.
“Itu mbak Ajeng apa mbak Endah sih kok lupa namanya?” kata Ikrom,
“Ah aku juga lupa namanya..” kata Ikrom.
“Heran Ian, kenapa orang-orang pada suka padamu ya…, gak yang jual es krim, gak yang jual
sepatu, gak orang warung, kenapa pada kasihan padamu?”
“Gak tau, kali aja wajahku kayak pengemis, hahahaha…”
“Aku malah lihat si Sita, yang penjaga toko emas, perasaan wira wiri entah sehari ada berapa kali di
depan toko kita.” tambah Edi sambil membuka bungkusan tas kresek, ternyata isinya ayam
panggang,
“Eee, perasaan mbak yang jual nasi di tikungan itu gak jual ayam panggang?” kata Edi sambil
mengangkat potongan paha ayam.
“Tadi dia cuma bilang, untuk mas Ian, jangan-jangan dia naksir kamu Ian…?” kata Ikrom sambil
mencomot ayam di bungkusan.
“Ngaco kamu Ik, dia kan dah punya suami,” bantahku,
“Kali aja mau dijadi’in simpenan, hahaha…” ejek Edi.
“Emang potonganku kayak uang receh, hahaha…” candaku.
“Terus terang aku ngiri Ian, la aku di sini sudah bertahun-tahun, masak gak ada yang sayang sama
sekali.” kata Edi.
“Ya tampangmu aja kali kayak kriminal,” ejek Ikrom,
“Udah makan… enak juga ayamnya.” kata Ikrom sambil memotong sayap ayam.
“Ya namanya juga dikasih, ya enak lah…” kataku ikut makan tapi memang lumayan enak ayam
kampung panggang, pasti udah rebus dengan bumbu, kerasa banget bumbunya, juga gak alot.
Taqdir, jika kita ditaqdirkan menjadi A bukan B, maka jalan ke arah A akan terbuka lebar, dan
seakan kita akan seka saja ke arah A, dan jalan ke B akan seakan tak membuat kita senang.
Menjadi penjaga toko sepatu, rasanya benar-benar bukan jalanku, aku begitu bosan, pandangan
kosong, dan serasa aku seperti robot, yang tak akan berkembang lagi menjadi manusia baru, hanya
menjadi robot penjaga toko sepatu, seakan aku sudah mati terkubur dengan sepatu, hati sesek,
padahal belum genap 2 bulan, dan ada saja kejadian yang membuatku tak kerasan, seperti saat itu,
aku lagi memasang tulisan discount digantung, sejak berangkat kerja aku sudah tak enak, seperti
mau terjadi sesuatu yang membuatku malu tapi aku tak tau apa itu, pagi berangkat memakai celana
pemberian pak Sugeng, aku merasa celana itu tak enak, walau ukuran pak Sugeng gendut, dan aku
agak kurusan, jelas celana pak Sugeng longgar ku pakai.
Tapi gara-gara kerja tak boleh memakai celana levis, padahal aku tak punya celana, selain celana
levis yang menemaniku kemana-mana dan sudah sobek sana sini, celana levis saja sudah tidak
boleh, apalagi yang sudah sobek sana sini, malah tak boleh lagi, maka Ikrom, pak Sugeng, Edi,
semua memberi celana padaku, sekarang pas celana pak Sugeng yang ku pakai.
“Kenapa Ian?” tanya Edi yang sedang memakai hasprey.
“Ini Ed, aku gak nyaman aja sama celana ini.” jawabku sambil nunjukin celana warna coklat tua
yang ku pakai.
“Ya pakai aja lah, wong yang dua juga belum kering.” kata Edi beranjak keluar kamar.
Dan apa yang ku kawatirkan terjadi juga.
Pas menaiki tangga stainles untuk memasang tulisan aku biasa saja, tapi pas kaki ku angkat ke
arah tangga, terdengar kraaaak…! Celanaku robek memanjang, pas di tengah selangkangan, dari
lutut kiri ke lutut kanan, aku cepat-cepat turun, walau memasang tulisan discount ku selesaikan tapi
aku segera mepet ke tembok setelah turun, untung belum banyak orang yang lewat, juga belum
banyak toko yang buka, aku berjalan dari toko sepatu bata, ke toko tempat Edi bekerja, tiap
berpapasan sama orang aku menatap ke atas, supaya orang ikut menatap ke atas, tidak menatap
ke celanaku yang robek tengah kayak rok, setelah orang lewat, aku berjalan beringsut-ingsut lagi ke
arah toko tempat Edi bekerja, ku lihat Edi sedang menata sepatu jualannya, aku nyelonong saja, ke
geladak penyimpanan sepatu…
“Eee ngapain kamu Ian??” tanya Edi.
“Anu…, celanaku robek.”
“Robek? sebelah mana?”
“Ini pas selangkangan sampai ke lutut.”
“Wah gimana?”
“Ya tolong ambilin celana yang di rumah.”
“Kan belum kering, jauh lagi.”
“Ya tolong deh Ed… masak aku kudu pakai celana kayak gini, gak lucu kan?”
“Tapi Ian… yang jagain tokoku siapa?”
“Ya aku kan bisa dari dalam kotak sini.”
“Iya deh, tunggu sebentar.”
Edi pun berlalu dengan cepat, aku jaga dagangan dia, dari dalam gerobak, cuma kelihatan kepala,
geladak gerobak itu untuk menyimpan sepatu, sekaligus menata sepatu, bentuknya undak-undakan
kayak tangga, di dalam ruangannya lebar, tapi aku terus berdo’a semoga tak ada yang beli,
mengingat jika harus melayani, sementara aku seperti ini.
Kebetulan Ikrom datang sambil membawa ember dan alat pel, dia celingukan karena Edi tak ada,
tempat kerja Ikrom beda toko, walau kedua toko adalah toko sepatunya pak Sugeng, dia melihatku.
“Ngapain di situ Ian..??” tanyanya dengan senyum khas bibir hitamnya. “Mana si Edi?”
“Si Edi pulang bentar.”
“Wah sembarangan si Edi, kalau pak Sugeng datang, dia tak ada, bisa dimarahi habis-habisan.”
“Dia lagi ngambilin celana untukku.”
“Lhah memang celanamu kenapa?”
“Robek Ik…”
“Wah bahaya…”
“Bahaya kenapa?”
“Di tokomu tadi mbak Lina nyari-nyari kamu.”
“Yang bener Ik??”
“Ya bener lah, napa aku bohong.”
“Nah tuh dia kesini tuh..”
“Ssst bilangin kamu ndak tau.”
“Ndak tau gimana? La jelas aku lihat gini, aku bohong dong.”
“La kan bohong demi kebaikan juga dibolehkan Ik.”
Aku langsung menyembunyikan diri di kotak.
“Lihat mas Ian gak Ik?” suara khas Lina yang lembut, setengah centil terdengar renyah kayak
kacang sanghai waktu dikunyah.
“Ian….?” dug..dug.. aku khawatir pasti si Ikrom akan omong apa adanya.

Sang Kyai 
EPISODE: 59. AURA CINTA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Tadi aku melihat, tapi sekarang aku tak melihat,” jawab Ikrom.
“Ya udah, ntar bilangin ya kalau aku nyari dia.”
“Kenapa ndak bilang sendiri aja.” jelas Ikrom.
“Iya deh…” kata Lina sambil berlalu.
“Sst… sst..! orangnya dah pergi..” kata Ikrom setelah Lina berlalu.
Pas kebetulan Edy pun datang membawa celana, dan akupun lekas memakainya, lalu cepat-cepat
kembali ke tempat kerja.
Ternyata Lina sudah nunggu di tempat kerjaku toko sepatu bata.
“Kemana aja? ku cari-cari kemana-mana ndak ketemu.” sapanya dengan nada manja.
Aaah perempuan, bener-bener bisa membuat hati bercabang-cabang, herannya juga kenapa selalu
lelaki normal suka sama perempuan, dan aku termasuk lelaki normal, tapi di dasar hatiku yang
tengah bergulat selalu ada perang batin, perang antara menyenangkan nafsu, dan berusaha tak
dikendalikan nafsu, dan terus terang kelemahan terbesarku adalah tak bisa tidak suka pada
perempuan, karena aku lelaki, dan perempuan lawan jenisku, jika aku dicoba keimanan, maka aku
akan memilih jangan dicoba dengan perempuan, sebab kebanyakan aku pasti yang kalah, tak bisa
menolak cinta mereka, tak bisa menyakiti mereka.
Benar kalau Nabi sendiri menekankan, seakan ada unsur ancaman di dalamnya: MENIKAHLAH,
MENIKAH ADALAH SUNNAHKU, SIAPA YANG TIDAK MENIKAH BUKAN TERMASUK
GOLONGANKU.
Aku merasakan seakan Nabi mencintai Ummatnya dalam penekanan itu, agar umatnya tidak
tergoda dengan lawan jenisnya, sebab beratnya godaan itu, sehingga Nabi menekankan ancaman
yang tidak menikah bukan golongannya.
“Ada apa mbak nyari aku? Mau ngajak nikah ya..” aku mengucapkan dengan kata enteng.
“Eh kamu ngigau ya…?” kata Lina dan matanya menatapku dengan jeli, dan bening matanya seperti
kilatan-kilatan listrik yang menggetarkan nadiku.
“Kenapa memandang aku seperti itu? Apa di wajahku telah tumbuh bunga?” kataku asal.
“Hm… kamu cakep.” katanya seperti dengan ketidaksadaran, karena pandangan matanya tak lepas
dari wajahku seperti mata pisau yang mau mengoperasi kulit wajahku lalu menguraikan dagingku
untuk mencari di dalam ada apanya.
“Kamu serius?” katanya kemudian dengan juga seperti seorang penantang, dadanya dibusungkan.
“Serius apa?” tanyaku, kubuat bloon, sebab aku sendiri tak berani menerima kenyataan, misal
sampai terjadi menikah sama Lina.
“Ya soal nikah.” jawabnya setengah menggantung.
“Aku kan cuma nanya, Mbak Lina nyari aku, ada apa?” jawabku sambil membetulkan sepatu di
jejeran rak pemajangan.
“Udah sini lihat aku.” katanya menarik tanganku.
“Maas…! Mas Ian..! ” panggilnya memaksaku mengalihkan perhatian dari deretan sepatu.
“Iya ada apa? Kita kan bisa omong sambil menata sepatu, soalnya ini tanggung jawabku, kerja di
sini,” jelasku.
“Pindah aja kerja di tempaku, bagaimana?” katanya lembut.
Wah setan itu kalau kita mau berbuat dosa, nyatanya peluang ke sana dibuat semulus mungkin, ya
mungkin saja jika di depan ada pohon perdu, setan akan berusaha menebanginya, kalau jalan dosa
itu belum teraspal, setan akan berusaha mengaspalnya.
“Gak ah, ntar malah terjadi yang enggak-enggak.” kataku membuat batasan.
Aku bukan orang suci, dan hatiku amat pekat dilapisi nafsu, pandanganku saja jika melihat
perempuan masih selalu terfokus pada kesempurnaan bentuk tubuhnya, jelas aku orang yang masih
mudah sekali tergoda, jika aku tak membuat kendali sendiri, apa aku harus menunggu orang lain
membuat kendali di leherku?
“Mas…!”
“Iya… ada apa? Bicara aja.” jawabku sambil tetap menata sepatu, anehnya dia malah memiringkan
sepatu yang tatanannya udah ku benarkan, dia buat miring sehingga kami berdua muter-muter di
situ-situ saja, padahal toko sepatu bata ini luas sekali.
“Terus terang, aku sayang, cinta, tak bisa melupakan mas…, siang malam selalu ku ingat, sehari tak
bertemu, serasa kangeeen minta ampun, aku tak tau, tak sebelumnya aku dengan cowok lain
seperti ini, aku merasa mas inilah yang terbaik untuk hidup dan masa depanku, yang pantas
menjadi imamku, yang pantas membimbingku.” Lina mengutarakan semua unek-unek di hatinya,
dan jongkok di depanku, karena aku juga sedang jongkok menata sepatu yang di bawah.
Aku menatap wajahnya, dan kulihat matanya menatapku dengan penuh cinta menggelora, tatapan
yang seakan ada ribuan bintang di setiap inci matanya, dan aku amat tahu, jika aku menatap lama-
lama, pasti akan membuatku hanyut oleh keindahan, wajah yang dibalur aura cinta memang adalah
lain daripada yang lain.
Tapi aku menatapnya, malah ingin aku bisa tidak, sanggup tidak melawan tarikan kumparan
magned gaib yang disebut kasih sayang.
Dadaku berdentuman, ada rasa sesak, ketika tarikan itu mencoba menarik dan meremas-remas
jantungku, aku berusaha bertahan dalam logika totalitas kesadaran, dan perlahan gelombang
magnet yang ada di wajah Lina terlihat biasa di mataku. Ku lihat masih ada getaran kecil di bibirnya
karena luapan perasaannya.
“Kau kan belum tau siapa aku, terlalu jauh penilaian yang kau berikan, aku tak mau kau akan
menyesal nanti, sebaiknya pikirkan dengan pikiran jernih.” kataku meredakan gejolaknya.
Orang yang mudah terseret pada satu keadaan, maka sulit bila menjadi pengayom dan pelindung
orang lain, dan aku harus berlatih mengendalikan perasaanku sendiri.
“Mbak Lina ini kan belum tau secara keseluruhan, jadi dipikirkan dulu, sebab banyak sifat burukku,
nanti jangan sampai penyesalan akan terjadi, dan itu sudah terlambat.” jelasku.
“Ya kita kan bisa pacaran dulu.” jelasnya juga tak mau kalah.
“Hm pacaran? Walau aku sendiri suka pacaran, tapi aku sekarang jika menyukai perempuan, maka
akan ku nikahi saja, tak pakai pacaran.”
“Nah tu kan.!”
“Tuh kan kenapa?” tanyaku.
“Ya kelihatan, mas bukan lelaki yang jelek budinya.”
“Haha… bilang begitu, kamu anggap sudah baik budinya, wah dangkal dong nilai suatu budi pekerti
yang baik, semua lelaki juga bisa mengucapkan seperti yang aku ucapkan, suatu budi pekerti yang
baik itu perlu menjalani perjalanan panjang, untuk tau jelek atau baik budi pekerti seseorang,
seseorang yang budi selalu memberimu barang berharga saja belum tentu dia budi pekertinya baik,
sebab bisa saja dia ada maksud di balik pemberian-pemberiannya, orang yang selalu menemanimu,
kesana kesini, membantumu, selalu kelihatan di depanmu murah senyum, bisa jadi di belakang dia
menikammu, jadi budi pekerti seseorang itu tidak bisa ditentukan dengan sekali dua kali pertemuan,
seseorang itu bisa diketahui baik atau tidaknya, jika kau telah mengumpulinya dalam bersama
mengecap keprihatinan, dan bersama memetik kebahagiaan, bisa saja seseorang itu jika dalam
keprihatinan bisa seiya sekata, tapi jika ada emas di tanganmu, maka dia tak segan-segan
menghunjamkan belati di jantungmu, jika kau maju, bisa saja dia iri dan berusaha menjatuhkanmu,
aku jadinya kok banyak omong ya..!” kataku.
“Gak, aku suka, setahun sekalipun jika mas Ian bicara di depanku, aku akan rela duduk selalu
mendengarkan.”
“Ah kau ngaco aja…, udah ah, tuh pemilik sepatu bata liatin kita, kamu balik ke butikmu sana gi…”
kataku,
“Ntar istirahat siang, ke tempatku ya mas…, aku dah sediain makan siang spesial.”
“Iya entar aku kesana, sama Edy, juga Ikrom ya..?” tanyaku.
“Nggak mas sendiri.”
“Iya…, ntar habis sholat dzuhur aku kesana.” biasanya setiap siang ada istirahat 1 jam, dan penjaga
toko bergiliran.
Rasanya dunia seperti ini benar-benar bukan duniaku, kalau aku tidak segera pergi
meninggalkannya, sepertinya aku akan terseret pada pusarannya, aku harus mengambil keputusan
final.

Sang Kyai 
EPISODE: 61. NIKAH? 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Aku kembali dulu ke tempat kerjaku ya… dan terimakasih atas makan siangnya.” kataku sambil
bangkit dari kursi.
Lina mencium tanganku, ku biarkan saja dan menempelkan tanganku ke pipinya. Aku segera
beranjak kembali ke tempatku bekerja.
—————————————–
Pulang kerja, aku dan kedua temanku mampir di warung bubur kacang hijau,
“Aku besok jadi pulang.” kataku.
“Pulang? La trus kerjaanmu di toko sepatu bata bagaimana?” tanya Edy.
“Aku sudah keluar, tadi waktu tutup toko.” jelasku.
“Wah jadi besok pulang betul? Sudah pasti?” yakin Ikrom.
“Ya sudah pasti.” jelasku.
“Trus Mbak Lina bagaimana?” tanya Edy.
“Bagaimana apanya?” tanyaku balik.
“Apa kamu sudah pamit dengannya?” tanya Edy lagi.
“Ya nanti kan kamu yang pamitkan kan bisa, ya itu juga kalau dia nanya, kalau tidak nanya ya ndak
usah, kan aku ndak ada hubungan apa-apa sama dia.” kataku menjelaskan.
“Ya udah nanti aku yang omong.” sela Ikrom.
“Aku minta maaf, jika aku menyulitkan kalian selama ini, juga terima kasih atas kebaikan kalian
berdua padaku, aku amat berhutang budi pada kalian berdua.” kataku ketika kami sudah masuk
gang menuju tempat kami berdua tinggal.
Tiba-tiba kedua temanku itu memelukku dan menangis,
“Tidak Yan.. kami yang merasa berhutang budi amat banyak, selama ini kami telah kamu bimbing
tanpa kamu pernah memerintahkan kami melakukan suatu ibadah apapun, tapi kamu
mencontohkan, bagaimana berbudi pekerti, sehingga kami melihat hasil, bukan sekedar bicara
omong kosong, kami selama hidup belum pernah menemui teman sebaik dirimu, aku yang biasanya
males sholat, sekarang sudah tak pernah ku tinggalkan, kami berterima kasih sekali Ian.” kata Edy.
“Iya bener, kamu telah memberi contoh, bagaimana kami harus berbuat, sehingga manusia
disayangi manusia lain.” tambah Ikrom sambil sekali-kali menyedot ingusnya yang mbeler.
“Sudah-sudah, pemuda gagah macam kalian masak nangis, tuh gak enak dilihat orang yang lewat.”
kataku segera berjalan duluan melepas pelukan mereka berdua.
Esoknya setelah sholat subuh, aku naik bus jurusan Surabaya-Gresik, turun di Terminal
Osowilangun, dari terminal Osowilangun ganti bus jurusan Bojonegoro, sampai rumah sudah hampir
magrib.
Pagi esoknya, Karim mencariku, Karim adalah pegawainya pak Abdullah.
“Sudah seminggu aku mencarimu yan…, semalem tau kabar kamu pulang, jadi aku langsung ke
sini.” jelas Karim.
“Wah sampai seminggu, memangnya ada apa, kayak penting banget?” tanyaku heran.
“Aku disuruh pak Abdullah, ini ku bel kan,” kata Karim menyerahkan Hp nya kepadaku.
“Assalamualaikum, bagaimana kabarnya nih?” suara Pak Abdullah di Hp.
“Waalaikum salam Pak, Alhamdulillah baik.” jawabku.
“Ku dengar baru pulang dari Surabaya? Sedang apa di sana?” tanya Pak Abdullah.
“Ah biasa nyari-nyari yang belum dapat.” jawabku sekenanya.
“Kenapa masih nyari-nyari juga, itu adikku mbok dinikah.”
“Hm gimana ya…”
“Kok gimana- gimana, wah jangan-jangan tak bisa bangun.” kata pak Abdullah, memang kalau
bercanda suka omong apa adanya.
“Weh kata siapa gak bisa bangun?” celetukku.
“Ya siapa tahu, nyatanya gak berani nikahi adikku.”
“Siapa yang bilang gak berani?”
“La buktinya..” wah kayaknya aku mau dipojokkan.
“Jangan-jangan sudah jadi ikan asin, mengering, hahaha…”
“Udah-udah… mana adikknya biar ku nikahin.” kataku terpancing dengan pancingannya.
“Ya datang aja ke Jakarta.”
“Ya kapan?”
“Besok biar diantar Karim.”
“Baik, siapa takut?”
“Udah kasihkan Hp nya ke Karim biar aku omongi dia.”
Hp ku kasihkan Karim, dan sebentar dia bicara.
“Besok disuruh mengantermu ke tempat Pak Abdullah.”
“Iya.. aku siap.” jawabku.
Esoknya aku berangkat dengan Karim ke Jakarta, naik mobilnya Karim, sampai di Jakarta menginap
di kontrakannya Karim, di daerah Cipinang Indah, malamnya Pak Abdullah menjemputku untuk
sowan dan minta ijin ke Kyai, sampai di pesantren jam 3 dini hari, hanya sebentar ketemu kyai,
meminta do’a kelancaran pernikahan, dan setelah sholat subuh, aku dan pak Abdullah, yang saat itu
disopiri Macan, kembali ke Jakarta. Sampai di Jakarta rasanya penat sekali, aku tidur, sampai waktu
asar ada kakak perempuannya Karim main ke kontrakan.
“Denger-denger kamu mau nikah sama adiknya Pak Abdullah ya Yan?” tanya Mbak Ainun, nama
kakaknya Karim.
“Belum pasti mbak, aku juga belum pernah lihat orangnya.” jawabku santai.
Kakaknya Karim mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya, lalu meletakkan di meja depanku.
“Apa ini mbak?” tanyaku heran melihat bungkusan kecil.
“Itu dua cincin emas, ku hadiahkan padamu..” kata mbak Ainun menjelaskan.
“Wah apa ndak salah mbak?” tanyaku heran.
“Salah bagaimana? La kamu kan mau nikah? Kan bisa kamu jadikan mas kawin.”
“Nikahnya belum pasti kok mbak, la ketemu dan melihat orang yang mau ku nikahi saja belum.”
“Ya ndak papa, ini udah ku berikan padamu, siapa tau nanti ada gunanya.” paksa mbak Ainun.
“Aku yang seharusnya berterimakasih, adikku Karim sejak berteman denganmu, sholatnya jadi
rajin.”
“Itu kan hidayah dari Alloh mbak, tak ada hubungannya denganku,” elakku.
“Tapi kan semua ada sababiahnya to, sudah, itu cincin diterima.”
“Terimakasih sekali mbak, semoga Alloh membalasnya, dengan balasan beribu kali lipat.”
“Amiin.., udah aku pamit dulu, moga pernikahannya lancar.” kata mbak Ainun beranjak dari tempat
duduk.
Malamnya, malam rabu, kami berlima, aku, Pak Abdullah, Macan sebagai sopirnya, dan Karim,
berangkat ke Pekalongan, dalam mobilnya pak Abdullah sudah ada perempuan, katanya dia kakak
dari perempuan yang akan ku nikahi, ku lirik perempuan yang ada di sampingku, mencari gambaran
gadis yang akan kunikahi, tapi mobil lampunya tak dinyalakan sehingga gambaran tak ku dapat.
Ah sudahlah pasrah saja, dari pada mencari gambaran yang tak jelas, aku sudah dari awal pasrah,
bahkan uang 1 perak pun tak ada di sakuku, segala kebendaan malah menakutkanku, membuat
hatiku bercabang dari ketawakalanku pada Alloh, tapi yang jelas aku memang tak gableg duwit.
Jika dibilang nekad, maka aku lebih pantas dibilang nekad.
Tapi dalam hatiku, aku hanya ingin membuktikan gerak gerik kehendak dan perbuatan Alloh
mengarahkan dan menempatkanku, jika harus gagal, maka biarlah gagal, berarti aku harus belajar
bertawakal lagi, tawakalku, kepasrahanku berarti hanya omong kosong belaka.

Sang Kyai 
EPISODE: 62. MENIKAH!
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Sampai di Pekalongan sudah subuh, kami sholat subuh di masjid di luar kota Pekalongan, dan
sarapan pagi di pasar Banyu Urip, tak ada perasaan apa-apa mau sampai di tempat tujuanku,
daerah Bligo, sampai di Bligo kami berbicara sekedarnya, dan aku dipertemukan dengan gadis yang
dijodohkan denganku.
Dia terdiam, wajahnya biasa, bukan perempuan berjilbab, juga tak ada yang istimewa.
“Sudah tau kalau kita ini dijodohkan?” tanyaku simpel.
Dia manggut, dan menatapku sesaat, padahal dia ini semalaman kabur dari rumah, karena menolak
perjodohan ini, dan mati-matian tak mau dijodohkan, tapi setelah dibujuk dengan berbagai hal juga
diberi pengertian kalau menolak kan boleh-boleh saja, jadi tidak harga mati, baru dia mau pulang.
Dan sekarang duduk di depanku. Tentunya aku tak tau kisah itu. Dan tau setelah kami menikah.
“Lalu bagaimana? Kamu mau dijodohkan denganku?” tanyaku langsung ke poin masalah.
Aku itu selalu ke poin masalah, kalau mau omong lain nanti itu bisa menyusul, kalau mau bercanda
juga kan bisa dilakukan kapan saja, jadi pokok masalah harus selesai dulu, jadi orang yang
berhadapan denganku kadang kaget, karena selalu seperti itu, yang ku tanyakan tanpa basa-basi,
baru kalau mau bercanda belakangan kan bisa.
“Aku terserah saja, jika masnya menerimaku, ya aku nurut saja.” jawab Husna calon istriku itu.
Mendapat jawaban seperti itu sama sekali tidak membuatku bahagia, atau sedih, la ditolak sekalipun
aku tidak kecewa, sebab tujuanku bukan soal ditolak atau diterima, tapi aku melihat bagaimana
Alloh itu menggerakkan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Dan aku bisa melihat segala gerak
gerikNya terhadap segala sesuatu.
Kejadian baik buruk adalah proses, seperti membuat roti, kadang adonannya dikocok, kadang juga
dibakar dioven, jadi menuju kenikmatan itu kadang kita harus dibakar dengan diberi ujian yang
meluluh lantakkan hati, lalu tercapai kesabaran yang lembut.
Setelah mendapat jawaban, maka aku diajak Pak Abdullah ke Tuban untuk mengurus surat
numpang nikah, ke tempat Lurah dan ke tempat sekertaris KUA, semua dilakukan secara marathon,
dan anehnya juga semua mendukung, jadi pengurusan surat amat cepat, lalu kembali ke
Pekalongan, malah ketika Ibuku nanya, aku tak memberitahu, hanya ku bilang lagi usaha.
Seorang lelaki tak butuh wali, maka aku tak perlu memberitahu mereka, aku tak ingin mereka
disibukkan dengan pernikahanku.
Jum’at pagi diadakan acara ijab qobul, anehnya yang diriku tanpa ada persiapan sama sekali,
bahkan masih tak memegang uang sama sekali, kecuali dua cincin yang akan ku jadikan mas
kawin, itu saja pemberian dari orang, dari jas untuk pengantin, sampai peci hitam, soalnya aku biasa
memakai peci putih, jadi peci hitam jelas tak punya, semua tersedia tinggal pakai, acara dilakukan
dengan sederhana, dan semua berjalan lancar.
Dan setelahnya dilakukan walimatul ursyi, aku mau didandani sebagai penganten pria.
Aku diminta buka sarung untuk diganti dengan kain perlengkapan yang dibawa perias penganten,
aku bilang tak memakai celana panjang, si perias penganten terkejut.
“La bagaimana ini..?” kata dia sambil mondar mandir kayak orang bingung.
Lalu dia keluar sebentar, dan menemui seseorang, sebab aku dirias jauh dari rumah tempat acara,
karena rencananya akan diiring hadroh,
Perias penganten masuk membawa celana panjang selutut.
“Untung di sini ada yang jual celana, ini dikasih sama yang jual celana.” katanya perias penganten
menyerahkan celana kepadaku, dan ku pakai.
Acara walimah semua lancar tanpa halangan apapun.
—————————————————————–
Seminggu selesai pernikahan, ku ajak istriku ke Tuban ke rumah orang tuaku, semua merasa heran
dengan perempuan asing yang ku bawa.
“Ini siapa nang, kok bawa anak perempuan orang? Nanti kalau hamil kan jadi urusan,
mempermalukan keluarga.” tekan ayahku.
“Ini istriku” jawabku santai.
“Jangan sembarangan, perempuan diakui istri, itu ndak boleh dalam agama, namanya kumpul
kebo.” kata ayahku yang memang orangnya keras dalam memegang syare’at.
Ku keluarkan surat nikah,
“Kalau memakai ini dibilang kumpul kebo tidak pak?” kataku sambil meletakkan surat nikah di meja.
Ayahku memeriksa dengan teliti.
“Kapan nikahnya, kenapa tidak memberitahu orang tua?”
“Ya aku ndak mau membuat orang tua repot.” kataku,
——————————————-
Beberapa hari di Tuban, aku kembali ke Pekalongan, baru beberapa hari, para kyai sepuh desaku
semua datang ke rumahku,
“Maaf… ini ada keperluan apa, kok pada ramai-ramai datang ke rumah?” tanyaku pada orang-orang
tua.
“Begini pak ustadz, kami sudah bermufakat, kalau pak ustadz menjadi imam masjid, dan kami minta
memberi pengajian setiap selesai sholat subuh.” jelas Pak Sodiqin, yang biasa menjadi ta’mir
masjid.
“Wah apa tidak salah, saya ini bukan orang ngerti soal agama.” jelasku.
“Hehehehe…” semua tertawa.
“Lhoh kok pada tertawa to..?” tanyaku.
“Orang pinter itu kan terlihat di pancaran wajahnya, kelembutan sikapnya, dan segala sesuatunya
mengalir tidak dibuat-buat.” jelas pak Sodiqin lagi.
“Bagaimana ya…? Ini berat bagiku, soalnya aku sendiri belum punya pekerjaan tetap, jadi masih
mencari maisyah kehidupan untuk anak istri.” kilahku.
“Tapi mbok kami diberi ilmunya to pak kyai.” kata salah seorang lagi. Waduh malah dipanggil kyai
segala.
“Ya nanti saya coba, semoga Alloh mengijinkan dan meridhoi, tapi saya ndak janji, soalnya saya
belum istiqomah, juga masih mencari rizqi.” kataku.
“Iya kami maklum.” kata mereka dan setelah semua beres, mereka meminta diri.
Dari acara penganten, dan sisa uang dari tamu, istriku cuma memegang uang 300 ribu, sungguh
uang yang minim.
“Gimana mas, kita usaha apa?” tanya Husna.
“Bagaimana kalau membuka toko?” tanyaku balik.
“Zaman sekarang uang segitu dibelikan juga akan dapat apa?” kata Husna mengutarakan logisnya.
“Ya kita jangan membuat ukuran yang logika dulu, sebab itu tak mungkin, melihat keterbatasan kita,
aku yang tanpa modal, kita menjalankan saja dulu dengan kesungguhan.” jelasku.
“Ya kalau tidak diakal lalu kita memakai apa? Segala sesuatu kan harus dirancang dengan akal.”
bantah Husna.
Memang tak mudah menjelaskan sesuatu yang tak bisa dilogika manusia, yaitu gerak gerik Alloh
dalam mengatur hambaNya, satu penggalan ayat sedikit saja sulit mengimaninya, kalau manusia
masih membuat sandaran akalnya.
WAMA MIN DABBATIN ILLA ‘ALALLOHI RIZQOHA.
Semua apa yang melata dan hidup di bumi itu rizqinya di tangan Alloh, kalau menurut hemat
pemikiran dangkalku, maka karena yang membagi rizqi itu Alloh di samping usaha, maka kita juga
berupaya untuk meminta pada Alloh, dan kalau meminta itu agar cepat terijabah maka mendekatkan
diri pada Alloh.
Dan pemikiran itu ku tanamkan pada istriku, teramat sulit. Sesulit menancapkan tonggak tumpul
pada sepotong batu, sehingga malah yang sering terjadi percekcokan.
“Begini saja daripada kita berdebat tak ada ujung pangkalnya, bagaimana kalau kita buktikan, kita
jualan, apa juga boleh, asal barang halal, lalu aku berdo’a bagaimana, kalau nanti tak laku, ya
berarti tentang teoriku itu salah kaprah, bagaimana?” tanyaku yang lelah meyakinkan.
“Ya kita buktikan.” jawabnya, karena ingin membuktikan apa yang ku utarakan itu salah.
Maka kami membuka toko kecil bekas toko keluarganya, dan diisi dari uang yang cuma 300 ribu, ya
isinya bisa dibayangkan, cuma apa. Dengan kesungguhan hati, aku pun mulai menjalankan
permintaanku pada Alloh, dan sungguh di luar dugaan, toko berkembang amat pesat, setiap hari
penuh orang membeli, dan tak sampai sebulan isi toko penuh isinya.
Istriku mulai senang, tapi tetap dia merasa itu kebetulan.
“Bagaimana dik, apa yang ku katakan benar kan?” tanyaku.
“Ah itu hanya kebetulan saja.” katanya.
“Begini saja, biar ketahuan ini kebetulan atau tidak, besok aku tidak minta rizqi pada Alloh,
bagaimana keadaan toko kita, lalu besok besoknya lagi aku minta, bagaimana perbedaannya.
bagaimana?”
“Ya ndak papa dibuktikan.” otot istriku.
Dan aku malamnya tidak minta lagi supaya Alloh memberi rizqi, dan esoknya toko sepi sekali,
mungkin sehari cuma ada 2 orang yang beli. Dan malam setelahnya aku meminta rizqi, dan toko
ramai lagi.
“Bagaimana dik? Kan sudah lihat sendiri?”
“Wah itu masih belum membuktikan, sebab pas sehari itu mungkin sedang ada apa sehingga toko
sepi.” bantahnya.
Hmm.. aku memang harus pelan-pelan menanamkan keyakinan yang sebelumnya tak diketahui dan
tidak dipahami Husna.
Gak papa. Seseorang itu pertama yang harus dibimbing adalah keluarganya, kalau membimbing
keluarganya saja gagal, maka bagaimana mau membimbing orang lain???
“Biar aku meminta modal pada Kak Abdullah, sepuluh juta juga gak besar bagi mereka yang kaya
raya.” kata Husna.
“Ingat…! Jangan sampai kita punya sandaran pada manusia, apalagi kakakmu, dia itu manusia,
manusia itu lupa, sakit, mati, dan penuh keterbatasan, kalau Alloh itu tidak mati, tidak lupa, tidak
sakit, tak terhalang oleh apapun, jadi jangan menyandarkan diri pada manusia, bahkan setengah
rupiahpun, karena kalau diri menyandarkan pada manusia maka Alloh akan menyerahkan nasib kita
pada manusia tersebut.” jelasku panjang lebar.
“Ya apa kita tak bisa seperti orang pada umumnya? Ya kalau ndak minta, minjam kan juga gak
papa.” kilah Husna tak mau kalah.
“Cobalah menghilangkan pikiran dan harapan kepada manusia, dan berusaha sekali saja
menggantungkan diri pada Alloh, fatawakkalu Alallohi, waman yatawakal ‘alallohi fahua khasbuhu.
Bertawakallah pada Alloh, siapa yang bertawakal pada Alloh maka Dia yang akan mencukupi.”
kataku menjelaskan.
“Tak taulah.”
“Ya jangan tak tau gitu, sekarang kita buktikan lagi bagaimana, biar selama seminggu toko tak ku
do’akan, lalu seminggu ku do’akan, masak kebetulan kok seminggu.” kataku menekankan.
“Ya kita buktikan.” katanya lagi. Karena apa yang ku bicarakan itu dia ingin hanya omongan
kosongku saja.
Maka selama seminggu, aku sama sekali tidak minta supaya diberi rizqi, dan selama seminggu
benar-benar toko sepi, sampai apa yang jadi isinya toko menyusut kembali, karena tak ada uang
untuk membeli barang.
“Sudah-sudah dido’akan, semua barang sudah mau habis untuk makan.” katanya.
“Ya ndak bisa, perjanjiannya kan seminggu,”
“Iya aku sudah percaya, sana dido’akan.”
“Ya tak bisa harus selesai seminggu, mau habis juga gak papa, makanya jadi orang mbok jangan
ngeyel, coba mana logika yang kau banggakan itu?” kataku menuntut.
Setidaknya aku telah menyelesaikan mengarahkan Husna dalam satu langkah.
Sementara hariannya aku mulai menjadi imam masjid, dan mengisi pengajian waktu subuh.
Sementara hidupku amat santai, dan semua lancar-lancar saja.

Sang Kyai 
EPISODE: 60. ANASIR JAHAT
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Jam setengah satu siang, berarti ada setengah jam waktu aku berada di tempat Mbak Lina, dan aku sudah
duduk di kursi rotan yang ada di ruangan belakang Butik, ruangan dengan luas 5 meter persegi, ditata dengan
artistik, setidaknya menurut pandanganku, dinding satu tembok dilapis wallpaper bermotif kembang, dipadu
dengan warna cat bermotif warna bedak yang lembut, dibatas garis warna putih, pencahayaan ruangan di buat
terang tapi dalam arah tertentu menyorot, sehingga ruangan kelihatan setengah redup.
“Mas Ian duduk saja yang manis, biar aku yang melayani makannya, ya itung-itung belajar menjadi istri mas.”
kata Lina dengan tanpa canggung, nadanya dipenuhi kebahagiaan.
Di atas meja di depanku yang berbentuk bundar dari bahan kayu jati dan dilapis fiber ada berbagai makanan,
tapi pandanganku hanya tertuju pada makanan yang ku suka, ada soto, dan paru goreng, juga begedel kentang.
Tercium bau harum minyak wangi yang lembut ketika Mbak Lina memasangkan sapu tangan kecil di
pangkuanku, hmm, ribet amat, kalau menurutku makan ya makan, langsung santap, langsung selesai, kalau
pedesen dirokoki, udah gitu aja, kenapa pakai repot.
“Lin…” panggilku, ketika dia menata sendok dan piring di depanku, karena melihat dia seperti itu, bisa-bisa
acara makan belum selesai, waktuku istirahat kerja sudah habis.
“Ada apa mas?” tanyanya, sambil masih meletakkan garpu, dan kertas tissu.
“Udahlah… kamu duduk kita makan.., aku ndak usah dilayani.” kataku sudah tidak sabar.
“Mas Ian ndak suka ya dengan pelayananku?” tanyanya, sambil berhenti bergerak.
“Bukan begitu, tapi waktu kita pendek, coba lihat, ini sudah 10 menit aku duduk di sini, tapi makannya belum
juga mulai, ntar nasi baru aku masukkan mulut waktu istirahatku sudah habis, nanti saja kalau kita sudah
nikah, kamu menunjukkan pelayananmu yang paling top, sekarang kamu duduk kita segera makan bareng.”
kataku menjelaskan.
“iya… iya aku duduk.” katanya sambil mulut dimanyunkan. Dalam hitungan menit, apa-apa yang ingin ku
makan segera pindah di perutku, aku bukan orang yang suka bertele-tele, selalu apa adanya, tak suka banyak
unggah ungguh asal dalam kebenaran dan tidak menyalahi agama, maka lakukan dengan tanpa ragu,
mengambil yang perlu dan meninggalkan yang tidak ada manfaatnya.
Dan tak sampai lima menit makan selesai.
“Bagaimana mas, enak makanan bikinanku?” tanya Mbak Lina.
Aku acungkan jempol dan tak komentar, dan dia tertawa, kadang bahasa isyarat itu lebih mewakili dan lebih
mendalam, apalagi kalau jempolnya digoyang berulang-ulang, itu menunjukan penekanan yang amat sangat,
bahasa seperti itu orang tuli juga tahu, kecuali orang buta, kalau orang buta mungkin harus jempol ditempel di
hidungnya, pakai jempol kaki juga dia gak ngerti, paling bilang jempolmu kok bau trasi ya…
“Mas… apa mas Ian gak menembakku?”
“Apa? Menembak?” tanyaku heran.
“Iya , menembak, kan kalau mau pacaran mau jadian ditembak gitu.”
“Ooo maksudnya jadian?”
“Iya, kan kata kerennya pakai kata menembak.” jelasnya.
“Kok kata menembak keren, aku jadi ingat dulu di desa suka menembaki bangau putih di pohon tertinggi
desaku, perasaan kata menembak biasa saja.” kataku sambil menerawang.
“Ya, apa mas Ian gak mau kita jadian sekarang.” kata dia sambil menggenggam tangan kasarku.
“Sebaiknya kamu pertimbangkan lagi Lin…, kamu kan belum tau betul siapa diriku.”
“Apa aku yang harus menembak mas…” katanya sambil menatapku dengan tatapan tak sabar.
“Memangnya ada perempuan yang menembak lelaki?” tanyaku membiarkan tangannya yang lembut
memainkan jemariku.
“Ya adalah…”
“Tapi menurut hematku jangan dulu, aku tak mau kau menyesal di kemudian hari.”
“Gak, aku tak akan menyesal, aku sudah yakin seyakin yakinnya, hanya mas yang pantas menjadi imamku,
menjadi pembimbingku, menjadi pendamping sepanjang hidupku.” katanya bersemangat.
Jelas membuatku juga tergetar, karena aku juga lelaki normal, mungkin jika yang mengatakan kambing yang
bisa bicara, aku tak akan perduli, sekarang yang mengatakan seorang gadis yang sempurna, sedang mimpi dia
mengatakan seperti itu saja tak pernah terlintas di benakku.
Tapi aku jadi ingat, orang kalah itu adalah orang yang menjadikan nafsunya sebagai Tuhannya, yang selalu
terseret dan dituruti apa dan kemana nafsu itu menyeret.
Cepat-cepat aku tulis Asma Alloh di hatiku, ku pejamkan mata sesaat untuk menyempurnakan bentuknya,
terasa aliran hangat mengaliri setiap nadi, menyadarkan dan membersihkan anasir jahat yang mulai mau
menguasai, dan terasanya sangat nyata.
Siapa yang membaca boleh mempraktekkannya, dan akan merasakan apa yang aku rasakan, jika mengalami
hal yang menimpa sepertiku.
Itu yang dinamakan, ja’al haq wa zahaqol batil.
Syaitan itu mengalir di aliran darah, lalu jika kita menghadirkan Asma Alloh, saat syaitan itu hampir
menguasai dan mengalir di setiap darah kita, maka Asma Alloh yang kita konsentrasikan itu akan menetralisir
kekuatan syaitan di tubuh, dan efeknya, alirannya bisa dirasakan benar-benar nyata.
Tanganku yang digenggam Lina sekarang tak bedanya, aku menggenggam kaki kursi atau meja yang patah, tak
ada getaran apa-apa.
“Ku rasa kamu terlalu muluk-muluk, begini saja, kita biarkan seminggu, nanti kalau sudah seminggu, jika
kamu masih suka denganku, aku yang akan menembakmu, dan kita langsung saja nikah. Bagaimana?” kataku.
“Bener mas?”
“Bener lah,”
3 Komentar

Sang Kyai 
EPISODE: 63. DITAKLUKI SEMUA JIN PENGUASA PEKALONGAN I
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Taqdir itu adalah ketentuan Alloh, telah digariskan dan tak siapa mampu mengelak, dan siapa saja
tak tau taqdirnya, bahkan jika ditaqdirkan buruk, tak ada yang tau, tapi perlu diingat taqdir itu Alloh
yang membuat, maka Alloh juga yang mampu merubah, kita manusia jika tidak menyandarkan diri
pada Alloh, bagaimana jika kita ternyata ditaqdirkan buruk, maka do’a kita, permintaan kita supaya
Alloh menjadikan yang buruk menjadi baik.
Do’a itu pedangnya orang Islam, Addu’a'u syaiful muslimin, coba kita bayangkan pedang yang
belum jadi, pedang itu kalau ingin dijadikan pedang, maka dipilih besi yang unggul, kuwalitas
terbaik, lalu besi dibakar agar mudah dibentuk, dipukuli sampai besi menjadi bentuk yang
diinginkan. Jika besi itu tak dibakar tentu akan susah dibentuk, dan jika sudah dibentuk maka diasah
berulang-ulang, agar besi menjadi pedang yang bila dipakai memotong apapun akan dengan mudah
terpotong.
Antara kita yang pedang sendiri, dengan kita memegang pedang tentu beda, manusia yang telah
menjadi pedang, maka pandangan matanya adalah pedang, hatinya pedang, tangannya pedang
dan kehendaknya adalah pedang.
Kita ini pedang, kitalah yang akan dipakai berdo’a, bukan orang yang membaca do’a,
“Berdo’alah pada-KU”, kata perintah berdo’a dan do’a seperti satu kesatuan yang tak terpisah.
Jadi kita inilah yang seharusnya dibentuk menjadi do’a yang tajam.
Nafsu kita dibakar, nafsu keinginan yang menyala-nyala pada apa yang kita inginkan, itu dibakar,
agar keinginan hati itu bisa diarahkan pada yang bukan keinginan nafsu, kita bakar dengan lelaku,
kita tempa dengan ibadah tiada henti, agar kepribadian yang terarah pada kehendak Sang Khaliq itu
terwujud pada segala gerak dan tingkah laku, sehingga orang telah tak bisa membedakan lagi, kita
ibadah atau bukan sedang menjalankan ibadah, sebab setiap gerak telah semuanya ibadah, seperti
orang sudah tak melihat bentuk besi, semua telah menjadi bentuk pedang.
Pembentukan diri menjadi sebuah pedang yang mumpuni, maka diserahkan pada empu yang
mumpuni, jangan diserahkan pada tukang membuat roti, bisa jadi nanti menjadi pedang yang
lembek.
Diri dibentuk menjadi do’a ruh dan jasadnya, maka diri diserahkan kepada guru yang matang di
bidangnya.
Sehingga pembentukan diri dicapai dengan maksimal, setelah diri menjadi do’a, kemudian diasah,
melihat kan orang yang mengasah pedang, tangannya maju mundur, sama diri melakukan
istiqomah, dzikir dilakukan berulang-ulang, jika cuma digerenda maka pedang walau tajamnya
cepat, juga akan menjadi besi muda, mudah patah, tapi jika diasah, maka akan terjadi penumpukan
elemen, menjadi pedang yang kuat dan tajam.
Jika diri diasah dengan amaliah yang berulang-ulang ikhlas, maka diri akan setajam pedang dalam
berdo’a.
Teori itulah yang ku praktekkan, dan tak henti, siang malam menjalankan laku. Suatu lelaku maka
tidak berarti tidak berimbas pada sekeliling kita, amat besar imbasnya.
Pertama, mulai ada khodam dari benda bertuah yang mulai datang ada yang lewat mimpi, ada juga
yang langsung datang dengan perwujudan seperti manusia.
Sampai aku hafal di mana saja letak berbagai wesi aji, atau batu bertuah, bahkan jika aku lewat, ada
saja yang jatuh biar aku ambil, tapi sayangnya aku orangnya sama sekali tak tertarik dengan hal-hal
seperti itu, sekalipun keris paling ampuh diberikan padaku, maka tak sedikitpun ada ketertarikan di
hatiku, bagiku cukup Alloh menjadi penolongku.
Segala jin, malaikat, itu semua sama mahluq-Nya, ciptaan-Nya, semua terbatas oleh keterbatasan,
tapi kalau Alloh tak terbatas dan tak berhalangan.
Sehingga semua khodam yang mendatangi ku tolak, sampai pada suatu malam aku mencoba
mengitari daerah Pekalongan.
Baru saja keluar dari daerahku, dalam meraga sukma, aku dihadang oleh seorang perempuan
bercadar biru, dengan perut terbuka, mirip penari perut Mesir.
Aku tau betul dia bangsa jin,
“Jangan lewat daerahku.” katanya menghadang.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kau tau, karena kedatanganmu, semua anak buahku kepanasan,” jelasnya sambil marah.
“Kepanasan itu kan bukan urusanku, jika tak ingin kepanasan, kenapa tak menyingkir?”
“Aku dan semua kaumku telah ratusan tahun tinggal di sini, dan tak terganggu, tapi setelah kau
datang, kami amat tersiksa.” tandasnya.
“Hm… jadi maumu apa?”
“Kau harus meninggalkan daerah ini.”
“Mana boleh begitu..!”
“Kalau tak mau pergi maka kau akan ku hancurkan.”
“Kalau memang mampu silahkan” kataku.
Lalu dia menyerangku dengan kibasan selendangnya, tapi entah tak tau selalu saja selendangnya
mental, dan selalu dia menjerit, padahal aku tak berbuat apa-apa.
“Kau rupanya punya ilmu, tunggu akan ku panggil ayahku.” katanya.
“Ya silahkan, aku akan tunggu di sini.” kataku tenang.
Dia pergi… dan sebentar kemudian datang lagi, bersama lelaki pendek, berkepala gundul, dan
hanya bercawat, sementara dadanya telanjang.
“Ini ayah, lelaki yang membuat daerah kita menjadi panas.” jelas perempuan yang sebelumnya
menyerangku.
“Ini orangnya?” kata lelaki tua itu, tiba-tiba, dunia seperti gelap gulita, seperti matahari padam.
Dan aku mengucap dzikir, maka dunia nyala kembali.
“Hm memang dia lumayan berilmu.” kata lelaki itu pada anaknya,
“Kau menyingkir, biar bopo yang menaklukannya.” kata lelaki tua itu, sementara aku diam
menunggu.
“Anak muda, kau tau, keberadaanmu di daerah ini telah membuat panas daerahku, maka kau akan
ku tawan dan ku bawa ke penjara duniaku.” kata pak tua itu yang belakangan ku ketahui bernama
Kyai Cempli.
Kyai Cempli itu panggilan penguasa Desa di sebelah desaku, jaraknya kira-kira dari desaku satu kilo
meter, di batas sawah.
Tiba-tiba kyai Cempli menyerangku dengan serangan yang aneh, tangannya seperti mulur
memanjang, dan menangkap tanganku, lalu tubuhnya sekejap telah ada di belakangku, sehingga
tanganku tertarik ke belakang bersilangan antara tangan kiri dan tangan kanan. Juga kakiku
berpalitan tertarik ke belakang.
Anehnya ragaku juga dalam kamar seperti itu, sehingga Husna berusaha membetulkan letak tangan
dan kakiku yang menekuk-nekuk.
Sementara aku berusaha melakukan perlawanan sebisaku, namun berbagai dzikir yang biasa ku
lafadzkan tak juga bisa membebaskanku, bagaimanapun aku berusaha melepaskan diri tetap
tangan dan kakiku terkunci, sampai ku rasakan bisikan dari Kyaiku, aku harus melafadzkan satu
dzikir.
Dan akupun mengikuti anjuran, ku lafadzkan dzikir itu, dan seketika pegangan Kyai Cempli terlepas,
dan dia bergulingan di tanah minta ampun, dan berulang kali jika ku lafadzkan lafadz itu maka kyai
Cempli menjerit-jerit minta ampun,
“Ampuuuun…! Jangan dilafadzkan asma a’dzom itu aku tak kuat, ampuuun..!” kata kyai Cempli
menjerit-jerit.
“Kau menyerah tidak?” tanyaku.
“Iya aku menyerah, kalah, takluk.” jawabnya sambil bersujud.
“Biasanya bangsamu suka menipu, suka mengambil kesempatan, di saat aku lena maka kau akan
memanfaatkan kesempatan.”
“Ampuuun…! saya tak berani tuan..”
“Apa janjimu?” kataku mencari kepastian, sebab yang ku tau bangsa jin sejak jaman Nabi Sulaiman
tak bisa dipercaya, selalu mengambil kesempatan bila manusia lena.
“Tuan minta apa, akan ku berikan, aku punya Jala sutra, wesi aji, batu bertuah, harta benda, emas
perak, Tuan minta apa?” tanya Jin penguasa Desa itu mencoba mencari kelemahan hatiku.
“Kau kira aku tertarik dengan aneka benda macam itu?”
“Lalu tuan minta apa?”
“Aku tak minta apa-apa, aku hanya minta kau beserta bangsamu takluk padaku.”
“Iya saya siap… jika tuan membutuhkan bantuan, maka saya akan siap diperintah.”
“Aku juga ingin kau tak mengganggu manusia.” kataku.
“Ya saya siap tuan.”
“Sekarang apa di daerah sini ada tidak yang angker?” tanyaku.
“Ada tuan…”
“Di mana itu?”
“Di daerah bernama Secino,”
“Di mana itu?”
“Di daerah sebelah timur desa.”
“Kenapa kok bisa angker?” tanyaku.
“Karena di sana ada isi keris pusaka yang lepas,”
“Apa bentuknya?”
“Bentuknya macan loreng tuan.”
“Kenapa kau biarkan, tidak kau perintahkan agar tak mengganggu manusia?” tanyaku.
“Kekuasaanku tak meliputi sampai ke situ.”
“Dimana tempatnya, tunjukkan padaku.” kataku memerintah.
“Silahkan tuan mengikutiku.” katanya sambil berjalan mendahuluiku disertai anak perempuannya.
“Apa yang dilakukan oleh macan itu?”
“Dia sering meminta korban manusia, dan sering kadang manusia disesatkan, kadang manusia
dimasukkan ke tengah gerumbul bambu, sehingga akan sulit keluar.” jelas Kyai Cempli.
“Lalu sekarang kerisnya di mana?” tanyaku sambil jalan di belakang Kyai Cempli.
“Ada di rumah seseorang.” jawab kyai Cempli.

Sang Kyai 
EPISODE: 65. HANTU BERPAKAIAN PASTUR
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Perjalanan manusia untuk mendekatkan diri pada Alloh sebagai Robbnya, sebenarnya tak jauh,
menjadi jauh karena semakin beragamnya keinginan nafsu, semakin banyak lagi yang diinginkan
oleh nafsu, kesenangan-kesenangan yang bersifat kepuasan, entah kepuasan dzahir atau kepuasan
batin, maka makin jauh perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Alloh.
Sekian tahun, yang dilewati oleh manusia itu gelora samudra kepuasannya, yang dilewati manusia
itu padang gersang ketamakannya akan kesenangan. Andai saja manusia itu mau melepaskan
segala macam keinginan, ingin dipuji, ingin diagungkan, ingin dihormati, ingin punya kedudukan dan
pangkat, pangkat di hadapan manusia, maupun pangkat di hadapan Alloh, maka jika semua telah
tak ada yang bersemayam segala macam keinginan, ketika Nur makrifat itu melintas di lapangan
hati manusia yang bersih dari keinginan, maka cahaya itu akan menumbuhkan aneka macam
tetumbuhan ilmu dan hikmah.
Tak perlu manusia itu menjadi sakti, atau belajar agar sakti, Alloh itu lebih sakti dari semua yang Dia
ciptakan, dan wafadholallohu ba’dokum ala ba’din, Alloh itu akan memberikan berbagai anugerah
keutamaan, kepada hamba yang satu dari hamba yang lain, sesuai kadar ketaqwaannya, dan
ketaqwaan itu terukur sesuai kadar keikhlasannya, dan keikhlasan itu ada karena paham dan tau,
jika dia tidak ikhlas itu maka tak ada nilainya suatu kadar bobotnya ibadah, dan untuk menjadi
mukhlisin atau orang yang ikhlas itu tidak cukup sehari dua hari hati digosok, karena kecenderungan
nafsu menguasai hati, dan ditambah dengan khotir atau bisikan-bisikan syaitan yang menanamkan
bibit virus, akan subur berkembang, jika apa yang dimakan manusia kemudian adalah sesuatu yang
diharamkan.
Tak ada seorangpun yang ma’sum dan terjaga dari tipu daya, kecuali Nabi Muhammad SAW. dan
kita sebagai manusia biasa, seringkali mudah tertipu.
Tertipu oleh prasangka dan ketidakpastian.
Seperti Nabi Muhammad ketika ditemui Jibril dalam berbagai bentuk, lalu Nabi tak tertipu dengan
perubahan bentuk yang satu pada bentuk yang lain.
Sementara kadang kita jika ditemui oleh bayangan di dalam mimpi, seorang yang memakai jubah,
lalu kita menyangka itu seorang wali, padahal syaitan amat mudah menyerupai dalam bentuk
apapun, untuk menipu daya manusia, agar kita kemudian menjalankan amaliyah bukan lagi karena
mencari ridho Alloh, tapi karena menuruti orang yang berjubah itu.
Malam itu aku meraga sukma lagi, kali ini arah ke utara dari desaku.
Melayang-layang di atas kota, lalu aku lihat seperti sesuatu aura amat hitam menggantung di udara,
melingkupi suatu daerah, aku coba mendekat, dan aku masuk ke rumah itu ternyata sebuah rumah
sakit, sebab banyak sekali pasien, yang aku heran banyak sekali hantu bergentayangan di rumah
sakit itu, dari gambar salib yang tergantung di dinding, aku menyangka ini pasti rumah sakit kristen.
Aku lewati lorong demi lorong rumah sakit, dan setiap hantu yang bertemu denganku menjerit lalu
kabur, ada perempuan berbaju putih, ada hanya kepala, ada orang yang tubuhnya penuh darah,
dan lain-lain, jika ku sebut satu persatu rasanya tak akan selesai seharian.
Tiba-tiba seorang hantu berpakaian pastur jaman dulu atau jaman sekarang aku tak tau, yang jelas
dia berpakaian hitam, dengan selempang di pundak, dan ada kerah putih di lehernya.
Dia menghadangku.
“Berhenti, enyah dari sini, kau membuat penghuni sini semua kepanasan.” ujarnya, sambil
mengacungkan batang salib kearahku.
“Aku hanya lewat disini, bagaimana kau anggap aku membuat penghuni sini kepanasan?” tanyaku.
“Nyatanya seperti itu.” bentaknya.
“Bagaimana mungkin aku menjadikan kalian menjadi kepanasan?” kataku masih heran.
“Kenyataannya seperti itu, aku juga tak tau, apakah kau ini arwah orang mati?” tanya pastur itu.
“Aku? Aku belum mati.” kataku.
“Lalu kenapa kau bisa masuk alam kami? ” tanyanya.
“Aku melepas sukma.” jelasku.
“Sudah sekarang kau pergi, kau membuat seluruh tempat ini seperti terbakar.” katanya seperti
menahan sakit.
“Jika aku tak mau?”
“Maka aku akan mengusirmu.” katanya sambil jari telunjuknya terangkat.
Dan aneh dari jari telunjuknya keluar kilatan listrik seperti kilat kecil, menyerangku, untung aku ingat
aku ini sukma, aku pun melompat melayang menghindari serangannya, yang menghantam dinding
dan menimbulkan dentuman dahsyad.
Wah sakti juga pastur ini, aku jadi ingat, kata Kyaiku, kalau di alam gaib itu jika ingin mengeluarkan
apa maka tinggal mendzikirkan salah satu dzikir dan membayangkan apa yang kita inginkan keluar
dari tangan.
Maka aku pun melakukan itu dan membayangkan petir keluar dari tanganku, dan subhanalloh,
benar-benar petir yang menyilaukan mata keluar dari tanganku, melesat seperti pijaran kilat di langit
menerjang ke arah pastur itu, dia menghindar sampai bergulingan di lantai, dan ujung bajunya
tersambar segera menjadi bubuk debu.
Aku terheran-heran, dan melihat tengah tapak tanganku yang mengeluarkan asap.
Tiba-tiba beberapa pastur datang, ada sekitar tujuh orang, dan serempak menyerangku..
Aku terdesak sampai ke pintu besi dan tempat penjagaan satpam.
Aku masih melakukan adu kekuatan, dan saling serang dengan petir, sampai aku akhirnya terdesak
keluar pagar.
Ah percuma juga ku lawan, tak ada manfaatnya, lebih baik aku pergi.
Aku pun pergi, melesat ke udara, dan melayang-layang pelan meninggalkan tempat itu, sambil
melihat kota dari atas.
Sampailah aku di persawahan, di mana banyak pohon pisang, dan kembang krokot, aku berhenti
sebab mendengar ada yang mengucap salam.
“Assalamu alaikum..” ku dengar suaranya serak seperti suara perempuan tua.
“Wa alaikum salam…, siapa ya..?” tanyaku sambil berhenti berdiri di atas daun pisang.
“Aku Ibu Dewi… aku minta kalau tuan mengirim fatekhah, aku dikirimi juga.” katanya…
Aku tak sempat menanyakan lebih lanjut, karena adzan subuh sudah berkumandang, dan aku harus
segera pulang untuk mengimami sholat subuh di masjid.
Siangnya aku berpikir, siapa gerangan perempuan itu yang memintaku mengirimi fatekhah? Aku
hanya melihat sebuah rumah, berundak-undak, dindingnya dari kayu, tanpa cat. Rumah siapa? Kok
dia tau keberadaan sukmaku, bahkan dari dalam rumah, tentu dia jika seorang manusia, maka pasti
manusia yang mempunyai ilmu tinggi, sebab jarang-jarang aku menemukan seseorang yang bisa
melihatku ketika meraga sukma, jika dia bisa melihat sungguh berarti bukan orang sembarangan.
Baiknya nanti malam aku datangi dia, mungkin bisa ku perjelas siapa sesungguhnya dia.
Maka malamnya lagi aku meraga sukma lagi, dan langsung menuju rumah itu. Rumah yang di
depannya ada bunga kerokot.
Aku langsung turun di pekarangan rumah yang diratakan dengan kerikil, dan ditumbuhi rumput di
sela-sela kerikil.
“Assalamualaikum…” ucapku dari luar rumah.
“Waalaikum salam,” terdengar jawaban dari dalam tapi kenapa suaranya seperti suara seorang
perempuan muda, padahal kemaren seperti suara perempuan tua yang serak.
“Maaf, kemaren ada yang ingin dikirimi fatekhah, tapi aku kurang jelas siapa namanya? Maaf jika
saya ingin memperjelas biar tak salah alamat.” kataku dengan sopan.
Lalu dari dalam rumah, keluar seorang perempuan, memakai cadar penutup wajah, tubuhnya tinggi
langsing, dan semua pakaiannya memakai warna biru.
“Iya saya yang minta dikirimi fatekhah, namaku Dewi, dan orang sering menyebutku Dewi Lanjar.”
jelasnya.
“Dewi Lanjar?” aku heran, aku sendiri tak tau siapa itu Dewi Lanjar.
“Maaf Nyai saya bukan orang asli Pekalongan, jadi saya tak tau Dewi Lanjar.” kataku jujur.
“Aku penguasa Laut Utara.” jelasnya.
“Ooo…”
“Mari ku ajak ke tempat kekuasaanku.” katanya, sambil menggandeng tanganku. Dan kami
membumbung cepat ke arah utara, ke tengah laut, aku lihat aku melayang di tengah laut, sampai
pada suatu pulau kecil, lalu melintasi jembatan, aku heran karena jembatan itu dari manusia yang
dijejer seperti ikan asin, dan ku lihat banyak orang ramai bekerja, yang membuatku heran, ada
orang yang berkepala ikan dan bertubuh manusia, juga ada manusia yang berkepala manusia tapi
bertubuh ikan, ada juga orang yang memukul-mukul mereka dengan cambuk.

Sang Kyai 
EPISODE: 12. MISTERI HILANGNYA ANAK PERAWAN DESA IV
“Ah jangan banyak bacot, terima seranganku.” kaki orang itu lurus menendang ke perutku,
gerakannya begitu cepat. ngehg.! Perutku kena tendangan telak.
Aku tak sempat lagi mengelak, atau lebih tepatnya tak tau cara mengelak, karena memang tak tau
bagaimana bertarung, perutku mulas bukan main, tapi aku masih untung jatuhku menimpa Mujahidi
yang ada di belakangku.
Aduh perutku mules banget. Ah mungkin bisa jadi alasan aku beol dulu, tapi setahuku dalam cerita
silat tak ada yang menghentikan pertempuran untuk beol dulu, apa nanti tak malu-maluin. Tiba-tiba
bruuuet…! Angin keluar tanpa bisa kucegah lagi, Mujahidi mendorongku, “Ah kentut, beuh baunya
seperti kentut gendruwo…” Mujahidi memegangi hidungnya seakan-akan yang kukentuti hidungnya.
Dia berbangkis-bangkis. Aku segera berdiri, setidaknya mulas di perutku berkurang.
Tiba-tiba kudengar bisikan halus di telingaku, jelas aku tau itu suara Kyai. “Mas Ian, baca
Basmalah.” panas seperti balsem cap lang, mengalir deras ke setiap urat-uratku, mengalir ke ujung
jari kaki tangan dan kakiku. Sehingga tubuhku makin lama makin ringan, dan kakiku serasa tak
menapak lagi ke bumi, mengalir ke kepala sehingga mataku makin lama makin jelas melihat, tempat
ini pun menjadi seperti siang di penglihatanku. Bahkan seekor nyamuk yang terbang kian kemari
tampak nyata sekali, suara nyamuk yang hinggap pun terdengar kakinya menapak di nisan.
Aku tak tau apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.
“Huahaha…., pendekar, jawara tai ayam, curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara
orang bertopeng itu memecahkan sunyi yang menyelimuti pemakaman tua itu.
“Mati saja kalian.” setelah mengatakan itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki dihantamkan lurus ke
arahku, kaki satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam gerakan
lambat.
Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke
arahku, ku cengkeram dan ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan
tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.
Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya, kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang
kepalanya sementara tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget bukan
main.
“Hah carik Sanusi…!” orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget, tutup wajahnya lepas.
Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan seranganku. Cepat beruntun, telak, aku sendiri kaget, dan
tak tau apa yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai seperti jurus
taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak terjangku.
“Setan alas. Bajulbuntung, tai kebo, jiampot, rupanya punya simpanan hah.” umpat carik Sanusi
panjang pendek, lalu segera mencabut goloknya.
Aku pun segera mencabut golokku. Golokku ini dibilang golok biasa ya memang golok biasa, karena
sering kupakai memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa ayam
termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, karena memang aku tak punya uang untuk
membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik, dibuat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat
golok paling punya nama di tlatah Banten.
Sebelum membuat golok besi ditancapkan di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru diambil
bulan purnama kemudian, sehingga besinya menjadi besi kuning tahan karat dan tua. Ilmu
kekebalan yang bagaimanapun akan terluka tersentuh golok ini, karena diisi oleh Kyai. Tapi aku tak
mau terbawa oleh cerita mistik tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.
“Suing…!” terdengar desingan ketika Sanusi menyerangku dengan ilmu goloknya, aku tak mengerti
ilmu golok, tapi yang jelas serangan Sanusi tak bisa dianggap remeh, goloknya menderu menjadi
beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti menggerakkanku, aku mengikuti saja.
Ketika tubuhku juga berkelebat yang jelas di seluruh tubuhku seperti ada sentakan-sentakan kecil
seperti setrum listrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat cepat dan tak
terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut, betbetbet. Begitu suara nya.
“Trang…!” Golokku berbenturan dengan golok Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi
terlepas dan dia memegangi tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun
melayang seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang. Kulihat Sanusi
terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan, beberapa detik kemudian terlihat di
sana sini tubuh Sanusi penuh luka sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak
karuan, Sanusi melenguh lalu melemparkan sesuatu ke arahku, ku kira itu sebuah tulang kecil-kecil,
dan “bulz” asap mengepul tipis.
Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong mengurungku, aku kaget dan ngeri melihat empat
pocong yang wajahnya ada yang cuma tengkorak, ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji
mata yang satu keluar seperti mau jatuh. Sementara tempat hidung telah gerowong, juga rahang
dan giginya hilang, aku pontang panting karena pocong itu tak mempan dibacok, golokku membal
ketika mengenai kain pocong itu sehingga aku panik, dan hanya bisa menendang tuk menjauhkan
pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti memantul, tegak lagi.
“Hai Mujahidi bantu aku.” aku berteriak panik karena sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan
tubuhnya menyender ke pohon sambil berdiri. Ah rupanya aku harus berjuang sendiri, tenaga di
dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto
dua kali dan hinggap di dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin
pingsan saat melihat pocong-pocong itu, uh matanya sampai melotot dan mulutnya terbuka lebar.
Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di telingaku, “mas Ian kalau membacok pocong itu baca takbir.”
Mendapat pesan seperti itu aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah lepas dari
gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca takbir, dan memang golokku bisa
merobek kain ules mereka. Dan blesss.! Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu
yang ditaburkan ke udara. Hilang.
Aku berdiri sejenak memandang berkeliling, carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang
kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, ah enak-enakan dia pingsan, ku coba
membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, aduh nih orang nambah kerjaan aja.
Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun sudah mulai turun. Aku berpikir pasti Anggraini di
sembunyikan di pemakaman tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi aku pertama kali aku
melihat carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa terang, sehingga aku dapat melihat jelas
sekitarku.
Nampak makam-makam yang aneh berbatu nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno,
pohon kemboja, randu alas, dan pinggir makam ditumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti di
sebuah nisan 

Sang Kyai 
EPISODE: 64. DITAKLUKI SEMUA JIN PENGUASA PEKALONGAN.II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Di dekat barisan gerumbul bambu nampak seekor macan sebesar anak kerbau tengah berdiri
menatapku, kubuat lingkaran tangan di udara, lalu ku tepukkan tangan dengan tenaga menyedot, jin
yang berbentuk macan itu seperti gambar yang tersedot mesin penyedot debu, mengecil dan masuk
dalam genggamanku.
“Di mana keris tempat jin macan ini?” tanyaku pada Kyai Cempli.
Kyai cempli melangkah mendahuluiku, menuju satu rumah, dan masuk ke dalam kamar, lalu
membuka lemari kuno, di mana tergeletak keris tua. Ku masukkan jin berbentuk macan itu ke keris,
dan ku ikat dengan kekuatan gaib.
Terus terang hal seperti itu sama sekali aku awam dan tak tau, segalanya seperti ada yang
menuntun, apa yang ku lakukan aku sendiri sama sekali tak mengerti, hal yang ku lakukan
berurutan itu seperti sudah ada yang merancang, dan aku cuma menjadi wayang, sedang tanganku
terikat oleh yang menggerakkan, hatiku mendapat petunjuk apa yang harus aku lakukan.
Tugasku ku rasa selesai, “Ku rasa aku sudah cukup di sini, sekarang aku akan kembali ke tempatku,
lalu bagaimana jika aku ingin memerintah membantu keperluanku, aku memanggilmu apa?” kataku.
“Hamba kyai Cempli, siap diperintah, jika dibutuhkan.” jawab pak tua itu sambil membungkuk.
Aku segera kembali ke ragaku dan bangun, dimana Husna istriku bercerita kalau dalam tidur telah
terjadi badanku menekuk-nekuk, dan menggereng-gereng, dikembalikan susah, kok akhirnya
kembali sendiri.
Aku masih berusaha mengitari daerah Pekalongan dengan Raga Sukma.
Dalam kehidupan sehari-hari, aku bukan termasuk orang yang suka kumpul sama tetangga, bahkan
aku kumpul sama orang hanya saat mengisi pengajian, mengimami masjid, dan kalau tetangga ada
hajadan, selain itu aku sama sekali tak kumpul dengan orang, karena waktuku habis untuk
menjalankan lelaku.
Biji itu kalau ingin menjadi besar, maka tanamlah dengan dipendam yang dalam di dalam tanah, jika
dia tumbuh, maka akarnya akan jauh tertanam di dalam tanah, sehingga kuat mencengkeram, jika
telah menjadi pohon yang rindang, dan dapat ditempati berteduh, jika diterjang angin, pohon tak
tergoyahkan, karena kuatnya akar tertanam di dalam tanah.
Begitu juga manusia, jika manusia tidak menyembunyikan dulu, untuk menguatkan akar diri, maka
untuk menjadi dipakai orang berteduh tak akan kuat bila diterpa angin cobaan, orang-orang yang
besar itu tak akan sibuk nongkrong di gang-gang, dan ngomong ngalor ngidul membicarakan
sesuatu yang tak ada manfaatnya.
Sebagaimana Nabi kita sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rosul, beliau menyepi di gua Hiro’
selama lima tahun.
Karena menyembunyikan diri, dan tak jarang kumpul dengan masyarakat, maka bertahun-tahun
secara pribadi tak ada yang mengenal diriku.
Pada suatu hari aku mengantar istri ke dukun pijat di Desa yang pernah ku datangi lewat ngeraga
sukma untuk mengurutkan perutnya, biasa orang desa kalau mengandung selalu ditata perutnya
agar pas.
Dukun itu dukun perempuan tua yang sudah amat terkenal sehingga pasiennya dari mana-mana,
sampai ada memakai nomer antrian, untuk mendapatkan pelayanan, waktu aku datang dengan
Husna, nampak dari luar rumah Dukun urut itu ramai sekali orang sudah mengantri, padahal aku
berusaha datang pas selesai sholat magrib.
Tapi tiba-tiba mbah Dukun keluar rumah menyibak antrian.
“Hari ini pijat ditutup, tidak melayani tamu..” kata mbah Dukun bernama Nyai Sari.
Orang-orang yang asalnya antri pun bubaran, termasuk aku mau balik pulang.
“Wah mungkin lagi tak untungnya kita mas, baru datang malah mbah Sari tak melayani tamu.” kata
Husna.
“Ya ndak papa, besok-besok kan bisa.” kataku menghibur, dan ku putar motor untuk kembali.
Tapi mbah Sari malah menghampiriku lalu menggandeng tanganku, dan berbisik di telingaku.
“Ngger mari masuk…” kata mbah Sari, menggandeng tanganku.
“Lhoh bukannya pijitnya diliburkan to mbah?” tanya Husna.
“Oo itu untuk orang lain nduk, bukan untuk suamimu.” jelas Mbah Sari.
Aku dan Husna pun mengikuti masuk ke rumah Mbah sari.
Nyi Sari umurnya 60 tahun, orangnya setengah pendek, dan gerak geriknya cekatan, sudah terkenal
di mana-mana soal kandungan, bahkan mungkin sudah sangat terbiasa soal kandungan, dia sering
pas jika seseorang itu kapan pasnya melahirkan, jika sudah menginjak kandungan tua.
Masuk rumah mbah Sari, rumahnya sederhana, terbuat dari bangunan kayu yang lama, tanpa cat
berwarna, hanya dilapis kapur, jika masuk orang akan mendapat kesan yang punya rumah amat
sederhana, walau Mbah Sari ini sudah berangkat haji ke tanah suci, tapi secara penampilan hanya
biasa-biasa.
“Mari-mari ngger bagus.. mari duduk.” kata Mbah Sari sambil membersihkan tempat yang akan ku
duduki. Aku amat rikuh dihormati seperti itu.
“Sudahlah nyai… tak usah repot-repot.” kataku.
“Ndak kok… ndak repot, ini sudah selayaknya, malah saya minta maaf, kalau pelayanan saya tidak
berkenan di hati panjenengan.” katanya yang membuatku makin bingung.
“Mbah.. sebenarnya ada apa to mbah, kok panjenengan jadi bingung gitu, aku ini orang biasa.”
jelasku, soalnya aku orangnya tak suka dihormati.
“Orang biasa? Panjenengan itu kok pinter menyembunyikan diri.”
“Menyembunyikan apa to mbah, la ndak ada yang aku sembunyikan kok.”
“Aku ini tau ngger, semua penguasa desa ini mengiringmu dari belakang, sekarang semua berbaris
ta’dzim di belakang rumahku, bahkan Kyai Cempli yang penguasa desa juga ada, jadi saya itu tak
bisa dibohongi.”
“Ooo soal itu to mbah??”
“Iya.. juga karena panjenengan desa ini yang sebelumnya angker, sekarang adem ayem, saya
sangat berterima kasih, walau panjenengan menyambunyikan diri, tapi mata batin saya tak bisa
dibohongi.”
“Ya sudah kalau gitu mbah, ndak usah disebar luaskan, jadikan rahasia panjenengan wae, monggo
istri saya ini dipijit.” kataku menentramkan suasana.
“Ooo nggih-nggih, monggo nduk, saya pijit, besok-besok kalau mau dipijit, mbok manggil saja, pasti
saya datang.” jelas mbah Sri.
“Yo tak bisa begitu to mbah, panjenengan yang tua, sudah selayaknya yang butuh, yang muda
datang.”
“Ya tak bisa seperti itu, itu namanya saya ndak punya unggah ungguh, la panjenengan penguasa
Desa saya, masak saya yang andahan, rakyatnya didatangi pemimpin desanya. Ya namanya tak
takdzim, ndak hormat.” jelas mbah Sri sambil tangannya lincah memijit Husna.
Repot juga, aku terdiam.
Memang sejak sa’at itu Mbah Sri sering datang ke rumah, menawarkan diri memijit keluargaku, dan
kadang datang membawa pisang satu tandan. Sudah ku larang, tapi tetap saja datang.
Pernah lama dia tak datang, dan aku mau memijitkan Husna, aku pun datang ke rumahnya, ternyata
dia sakit, sudah ada dua bulan terbaring saja di ranjang, melihat aku datang dia langsung bangun,
lalu berkata. “Obatku sudah datang, monggo ngger, saya pijit.” katanya.
“Ndak aku yang mau dipijit, yang mau ku pijitkan istriku,”
“Ndak kok ngger, ini untukku, aku sakit, dan obatnya itu mijit panjenengan,” kata mbah Sri.
“La kok aneh mbah?” tanyaku heran.
“Apa njenengan tak melihat, saya sudah dua bulan tak bisa bangun dari ranjang karena sakit, ini
panjenengan datang, saya langsung brigas.” jelas Mbah Sri sambil menunjukan badannya.
“Wah kok aneh begitu?” heranku tak habis pikir. Aku terpaksa mau dipijit, walau tak masuk logikaku,
tapi memang setelah itu mbah Sri sehat segar bugar.
Dia sering meminta diijinkan memijitku, agar dia sehat, ya aku turuti saja, asal aku bisa bermanfaat
untuk menolong orang lain, dipijiti juga enak.

Sang Kyai 
EPISODE: 24. PENGALAMAN DI BOJONEGORO (MARJUKI PUN DIPASUNG)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Orang-orang yang tidak ikut meringkus Marjuki, telah membuatkan pasung dari kayu sebesar
sedekapan manusia, Marjuki pun dipasung. Tangannya masih dirantai, para dukun paranormal
didatangkan, para Kyai dimintai tolong, untuk membantu penyembuhan, sawah lima petak pun telah
terjual sebagai biaya pengobatan, tapi kesembuhan tak kunjung datang. Sampai hampir setahun
Marjuki dipasung. Tapi penyakit gilanya makin parah saja.
Kami berdua diajak melihat keadaan Marjuki, ternyata pemuda itu diletakkan di ruangan terpisah di
belakang rumah dalam satu ruangan.
Berdinding gedek, pintu dibuka dan bau busuk segera menampar hidung, bangunan berukuran lima
meter persegi itu gelap, karena tak ada jendela juga tak ada penerangan, penerangan hanya dari
lampu ublik yang dibawa pak Soleh, nampak lapat lapat seorang pemuda dewasa tengah duduk
terpasung, wajahnya mengerikan, matanya yang hitam ke atas, tapi yang putih mencorong merah
menatap kami, wajah pemuda itu tak bisa dibilang bersih lagi, wajahnya menghitam penuh daki,
rambutnya awut-awutan kribo panjang, bagian atas tubuh tak berpakaian dan nampak bekas darah
ayam dan kambing yang mengering menempel di tubuhnya. Orang yang melihat keadaan Marjuki,
pasti akan ngeri sekaligus iba, siapakah orangnya yang mempunyai cita-cita menjadi orang gila.
Karena penerangan yang tak memadai, maka oleh pak Soleh kami diminta mengobatinya besok hari
saja, malam ini kami menginap, beristirahat.
“Yan bagaimana menurutmu, gila kerasukannya Marjuki?” tanya paman Muhsin, ketika kami berdua
telah rebahan dalam kamar.
“Ya gilanya karena mempelajari ilmu, tanpa dasar yang kuat, tarekat misalkan, juga karena
mempelajari ilmu tanpa guru pembimbing, sungguh berbahaya sekali, karena belajar ilmu tanpa
guru, maka gurunya adalah syaitan, bagaimana menurut lek Muh sendiri?” tanyaku balik.
“Apa yang kamu katakan, tepat sekali, tapi terus terang aku ragu akan bisa menyembuhkannya…”
nampak lek Muhsin mengerutkan keningnya.
“Yah sebelum kita mencoba, kenapa harus ragu lek? Itu sama saja dengan kita kalah satu langkah,
kita hanya berusaha, kesembuhan hanyalah di tangan Tuhan semata, jangan sampai kita tertindih
oleh keharusan, seakan akan sembuh dan sakit itu kuasa kita, hidup dan mati kuasa kita, kita hanya
berusaha saja…” dan kami pun tidur tanpa beban.
Esoknya, kami berdua diantar pak Soleh ke tempat Marjuki dipasung, jam di tanganku baru
menunjukkan jam tujuh seperempat, matahari yang kuning keemasan memantulkan sinarnya yang
hangat, terasa hangat di tubuh yang baru mandi, membayangkan hal yang seperti itu, betapa damai
dunia, seakan di dunia ini tak ada kejadian yang seperti dialami Marjuki.
Setelah masuk ke tempat Marjuki, uh jijik sekali, rupanya bau yang menyengat di malam itu, adalah
baunya kotoran dan kencingnya Marjuki, juga bau bangkai tikus dan binatang-binatang lain yang
dimakan mentah-mentah oleh Marjuki. Oh, sungguh menggidikkan bulu roma. Rupanya di tempat
pemasungan, telah berjejal-jejal orang desa yang ingin menonton, tua muda, prawan, janda, remaja,
jejaka, duda, semua pada datang menonton, sampai kebun belakang rumah pak Soleh bener-bener
lebek, ah kyak ada tontonan dangdutan aja, atau bioskop misbar, gerimis bubar, orang-orang itu ada
yang mengintip dari gedek, ada yang berdesakan di pintu masuk, dan ada yang dari luar pagar saja,
rupanya pengobatan Marjuki, tanpa disiarkan dengan mikropon keliling kampung, telah terdengar
dari telinga ke telinga.
Lek Muhsin mulai mengobati, sementara aku mempersiapkan yang diperlukannya. Lek Muhsin
memang sudah profesional, segala macam cara mengobati orang kesurupan dia kuasai. Dari yang
model kejawen, ilmu tao, ilmu tenaga dalam, dan ilmu rukyah. Lek Muhsin mulai mengobati dengan
ilmu tao, bajunya diganti jubah kuning, dan ada simbol tao di punggungnya, semua mata menatap
tegang ketika dia beraksi, dengan uang logam Cina kuno yang dengan cepat dibentuk pedang, dan
tangan kirinya memegang pedang dari kayu setigi, tubuh lek Muhsin mulai berloncatan kesana
kemari, membuat jurus mengelilingi Marjuki, tiba-tiba Marjuki yang sedari tadi diam, menatap
kosong, serentak ramai, “Ayo… ayo menari…, bang Roma menarinya kurang seru, kenapa tak
pakai gitar…?” semua yang ada di situ kontan ketawa, karena memang lek Muhsin adalah
penggemar Roma Irama, jadi biasalah kalau dari potongan rambut, jenggot, dia upayakan mirip
dengan Roma.
Tapi lek Muhsin ini tak terlalu, malah ada tetanggaku yang mirip sekali, namanya Joni, sangking
ngidolain banget sama Roma, bukan hanya rambut dan jenggotnya yang dibuat mirip Roma tapi
juga suaranya, pernah kulihat Joni lagi naik sepeda, ee ada lagunya Roma diputar kenceng-
kenceng, maka si Joni turun dari sepeda, lalu sepedanya disandarkan di pohon, ia nyamperin ke
rumah yang lagi muter lagu, “bang, numpang joged ya?” kata si Joni, tanpa nunggu jawaban si Joni
langsung joged, sampai lagu selesai, dan setelah lagu selesai, dia pun permisi, tak lupa
mengucapkan terima kasih, dengan dialek Roma.
Karena dengan jurus tao tidak ada perubahan apa-apa, lek Muhsin pun segera mengubah
pengobatan dengan tenaga dalam dan ilmu kejawen, tapi juga tak menghasilkan apa-apa, malah
Marjuki bilang katanya permainan sandiwara lek Muhsin untuk menghiburnya teramat
membosankan, Marjuki minta diganti lakon yang lain saja, dan disambut ketawa oleh penonton yang
menyaksikan, karuan saja membuat lek Muhsin malu bukan kepalang. Dan keringatnya mengalir
deras sampai lehernya basah, dan pakaiannya juga basah. Seperti orang yang habis nyangkul di
sawah, aku memahami perasaan lek Muhsin.
Kali ini lek Muhsin mengobati dengan rukyah, membaca ayat-ayat Alqur’an, ayat satu digabungkan
dengan ayat yang lain, tapi pengobatan rukyah ini rupanya juga tak begitu ada hasilnya, Marjuki
malah siat-siut mengantuk, ayat-ayat Alqur’an itu seperti menina bobokannya, melihat gelagat yang
tak baik ini, aku segera ikut membantu, seluruh wirid yang biasa ku baca, ku baca dalam hati tiga
kali, sambil menahan napas. Serasa hawa aneh mengalir bergeletaran dari pusarku, ku salurkan ke
tanganku ku arahkan ke tubuh Marjuki, ku bayangkan tubuh jin yang ada di tubuh Marjuki terlingkupi
dan berusaha ku sedot ke tanganku, tiba-tiba tubuh Marjuki yang siat-siut ngantuk itu membuka
matanya, liar dan “krimpying..!!, kretekkriet..!!,” Marjuki berdiri tegak, kayu yang dipakai
memasungnya sebesar dekapan manusia itu berderak membalik. “Hah, siapa yang mencoba
menarikku keluar dari tubuh ini, hrrr..brr…bedebah, belum tau siapa aku?!”
“Aku iki panglimane Nyai Roro kidul, ayo sopo pengen adu ilmu…huahaha…” aku grogi juga
mendengar yang masuk ke tubuh Marjuki adalah anak buah ratu pantai selatan, keringatku pun
mulai keluar, aku segera meminta tikar kepada pak Soleh, sementara keadaan semakin
menegangkan. Sementara lek Muhsin rupanya juga takut, dia mencengkeram lenganku.
“Bagaimana ini yan?’
“Tenang lek, aku akan berusaha… nanti bantu wirid Basmalah sebanyak-banyaknya…” kataku,
sambil melihat wajah lek Muhsin yang ketakutan. Setelah pak Soleh datang membawa tikar. Akupun
menggelar tikar di tempat yang bersih, mengingat lawan yang berat, aku pun berinisiatif membaca
fatihah kepada Nabi dan silsilah tarekat kodiriah nahsabandiah, sampai ke Kyaiku, Kyai Lentik.
Sementara Marjuki masih ketawa sesumbar. Tiba-tiba salah seorang penonton, seorang setengah
baya kesurupan, dan maju ke depan ke arah Marjuki yang masih tertawa bergelak.
Mendadak saja tertawa Marjuki berhenti, aku masih membaca wirid, dengan khusuk, tak urung
suara orang yang kesurupan itu terdengar di telingaku. Suara itu suara Kyai.
Aku pun membuka mata, nampak orang yang kesurupan itu petentang petenteng, di depan Marjuki
yang tertunduk, takut-takut.
“Kau tau siapa aku?” suara Kyai berwibawa.
“Ampunkan saya, saya tau tuan Kyai Lentik…” suara Marjuki dengan nada takut.
“Lalu kalau kau tau siapa aku kenapa tak cepat keluar, apa aku sendiri yang akan mencabutmu, dan
menjadikanmu debu..!!” suara Kyai membentak. Tiba-tiba tubuh Marjuki lemas. Dan menggelosor ke
tanah. Kyai yang ada di tubuh orang lain itu segera mengusap tubuh Marjuki yang segera sadar.
Dan memanggil ayah ibunya. Sementara Kyai mendekatiku dan membisiki telingaku.
“Kalau mau kembali ke pondok, kalau sakit biar sembuh dulu.” lalu orang desa yang kerasukan itu
sadar. Lelaki yang sebelumnya dipinjam wadagnya oleh Kyai itu tak mengerti dengan apa yang
terjadi.
Hari itu Marjuki benar-benar telah sembuh, dan segera dimandikan, aku dan lek Muhsin pun mohon
diri.

Sang Kyai 
EPISODE: 66. DEWI LANJAR (PENGUASA LAUT UTARA)
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Maaf Nyai, yang berkepala ikan, bertubuh manusia, juga sebaliknya itu bangsa jin atau bangsa
manusia?” tanyaku.
“Itu bangsa manusia.”
“Lhoh kok aneh, apa ada bangsa manusia seperti itu?”
“Lalu yang melintang di jembatan itu apa juga manusia? Juga yang bekerja sambil dicambuki itu?”
tanyaku.
“Iya itu juga bangsa manusia.” jawab Dewi Lanjar.
“Wah kok aneh sekali Nyai…, bagaimana bisa terjadi seperti itu?” tanyaku tak mengerti.
“Mereka itu orang-orang yang menjadi wadal atau tumbal, juga orang-orang yang melakukan
perjanjian meminta kekayaan pada bangsa jin.” jelas Dewi Lanjar.
“Berarti panjenengan menerima perjanjian dengan mereka begitu Nyi..?”
“Sama sekali bukan, itu hanya jin-jin yang mengaku-aku diriku, aku sendiri seorang mukminah, hal
seperti itu sirik, haram,” jelas Dewi Lanjar.
“Tapi nyatanya ada yang menjadi tumbal begitu?”
“Itu hanya perbuatan jin-jin yang mengaku-aku diriku.”
“Maaf Nyai… sebaiknya aku memanggil apa padamu?”
“Panggil saja Ibu, ibu Dewi..” katanya sambil menatapku dengan pandangan sayu.
“Mari ngger.. mari masuk ke kerajaanku..” kata Dewi Lanjar.
Dan aku mengikuti di sampingnya, di setiap jalan banyak sekali taman-taman dan perempuan-
perempuan yang menjadi dayang, semua menunduk ketika kami berdua lewat.
“Itu perempuan dari bangsa jin apa dari bangsa manusia bu…?” tanyaku, sambil berjalan di
sampingnya.
“Itu dari bangsa jin.”
“Oh ya kalau orang yang melakukan pesugihan itu, jika bukan perbuatan ibu, dan itu perbuatan para
jin, kenapa ibu tak melarangnya?”
“Aku ini siapa to ngger, itu kan kemauan manusia itu sendiri, yang mau diperbudak syaitan, yang
tamak, dan rakus terhadap harta.” jelas Dewi Lanjar.
“Lalu ibu ini sebenarnya bangsa manusia atau jin ?” tanyaku.
“Aku ini manusia anakku..” jawabnya yang mengejutkanku.
“Lhoh kok bisa ibu sebagai manusia lalu menjadi orang yang menguasai laut dan membawahi para
jin?” tanyaku heran.
Dan kami berdua duduk di sebuah meja dari kayu tai, yang mengkilap, di dalam ruangan yang indah
dan megah, ramai dengan berbagai ornamen dan lukisan, dengan pencahayaan yang serasi,
beberapa pelayan menatakan makanan.
“Rumah tempat ananda ketemu denganku itulah rumah asliku…” jelas Dewi Lanjar.
“Ooo, lalu kok sampai ibu menjadi penguasa laut utara, bolehkah anak tau ceritanya.?” kataku
berhati-hati bicara.
Dewi lanjar menerawang, seperti mengingat kenangan lama.
“Dulu aku ini seorang yang bersuami, tetapi aku tak mau dikumpuli suamiku, maka setiap malam
dari magrib sampai malam aku tak mau tidur dalam rumah, jadi selalu di luar rumah.
Pada suatu malam aku didatangi perempuan, wewe gombel aku menyebutnya, dia mengajakku,
sampai di Alas Roban, waktu itu zaman peralihan kekuasaan dari Pajang ke Mataram, sampai di
tengah hutan, aku disuruh duduk bertapa di sebuah batu, akupun menuruti, duduk bertapa di atas
batu, sampai aku sendiri sudah tak tau sudah berapa lama aku duduk di atas batu itu, dan Ibu Nyai
Roro Kidul penguasa laut selatan mendatangiku, lalu mengangkatku sebagai anak angkatnya, dan
menyerahiku kekuasaan laut utara.” jelasnya.
“Beginilah nasibku…”
“Lalu apa ini tidak menyalahi kodrat manusia?” tanyaku.
“Walau seperti ini juga adalah sudah tertulis di taqdir yang Alloh Yang Maha Kuasa ngger…, jangan
menanyakan kodrat manusia, ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, hal itu terjadi, dan tidak
menunggu akal agar percaya, baru hal itu terjadi, sekalipun akal tak percaya maka itu tetap terjadi.”
“Memang ibu, saya di sini, di kerajaan ibu ini, saya juga tak percaya jika telah berada di sini, walau
saya jelas-jelas berada di sini, tapi akal saya tetap menolak, karena keterbatasan akal saya.” kataku
yang memang tak percaya dengan apa yang aku alami.
“Ngger, kalau angger mau, biar ku bantu berjuang, memperjuangkan agama, dan biar aku dukung
dengan segenap bala tentaraku, dan segenap harta bendaku.” kata ibu Dewi.
Aku terdiam, terlintas di pikiranku, ingat ketika Nabi Muhammad ditawari Alloh, gunung Uhud dan
pasir tanah Mekkah dijadikan emas, untuk memperjuangkan agama, tapi Nabi menolak, dan bagiku
Nabi adalah sebaik-baiknya tauladan, tak ada tauladan yang melebihi Nabi.
“Maaf bu…, aku amat berterima kasih, atas perhatian ibu, tapi sesuai ajaran Nabiku, dalam
perjuangan itu ada sulitnya menjalankan proses perjuangan, dan ada berbagai pengorbanan, dan di
dalamnya tersimpan kesabaran penempaan diri, sehingga diri kukuh kuat, tak tergoyahkan, dan
semuanya ada pahalanya, jadi atas tawaran ibu, terpaksa dengan berat hati saya menolaknya…,
sekali lagi maafkan saya bu..” kataku ku ucapkan dengan hati-hati agar tidak menyinggung.
“Ya tak apa-apa, kebersihan hati manusia itu tercermin pada sikapnya, tapi jika nanda ingin aku
membantu, entah tentara atau harta benda, maka aku siap selalu membantu, kirim saja fatekhah
padaku satu kali tahan nafas, dan minta yang anak maui, maka aku akan memerintahkan anak
buahku segera melaksanakan.”
“Sekali lagi terima kasih ibu.. atas kebaikan hati ibu, anak hanya berharap jika suatu kali anak ingin
main ke sini, ketempat ibu, ibu menyambut saya dengan terbuka.” kataku.
“Oh tentu-tentu… kapanpun anak mau, kerajaanku ini terbuka seluasnya.”
“Terima kasih bu.. sebaiknya aku mohon diri.” kataku sambil beranjak dari kursi.
“Mari ku antar sampai pintu gerbang.” kata Dewi Lanjar.
Dan akupun diantar, sampai pintu gerbang, dan ternyata kerajaan itu telah tak nampak, aku telah
ada di jembatan besi, di bagian arah utara kota Pekalongan, aku segera melesat pulang.
Aku merasa pengalamanku itu suatu proses, dalam pikiran dan penilaianku, jika kita mau
menguasai atau menjadi suatu penguasa suatu daerah, dalam artian menaklukkan dzahirnya, maka
taklukkan dulu batinnya, dan aku sangat berterima kasih dengan Kyaiku, yang telah membekaliku
dengan ilmu raga sukma, yang ku rasakan amat banyak manfaat yang dapat ku ambil.

Sang Kyai 
EPISODE: 67. SANTET
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Malam mendekati pagi, baru saja aku masuk lagi ke tubuhku, setelah ngeraga sukma, ada mobil
travel berhenti di depan rumah, sedang menurunkan penumpang. Ternyata adalah kakak
perempuan Husna, istriku. Dia baru sampai pulang dari Saudi Arabia, bekerja sebagai TKW,
namanya Asrifah. Aku tak begitu perduli, rumah Asrifah tepat di samping rumah yang ku tinggali,
sebelumnya jelas aku tak kenal ada kakak perempuan Husna, yang bekerja di Saudi.
Setelah ku tau ternyata Mbak Asrifah telah berkali-kali menikah dan cerai, entah sudah berapa kali,
selalu tak cocok dengan suaminya, yang jelas saat itu sedang menjanda. Aku bukan orang yang
perduli dengan urusan orang lain, sekalipun itu adalah saudara istriku. Dan juga urusan mbak
Asrifah, aku juga tak perduli. Sampai suatu hari ku lihat kok sering ada lelaki yang keluar masuk
rumahnya, padahal dia hidup sendiri, maka aku pun mulai risih, lalu aku datang ke rumahnya ketika
ada lelaki di rumahnya.
Ku peringatkan agar jangan membuat aib keluarga, dan jika saling suka supaya cepat menikah,
jangan sampai digrebek orang kampung. Aku tak perduli lelakinya marah, atau mbak Asrifah
tersinggung, jangan sampai sesuatu sudah terlambat, sementara aku diam saja.
“Mbak, mbok sampean jangan sampai membuat hal yang memalukan keluarga, jika memang niat
nikah, menikahlah dengan baik-baik, niatkan mengikuti sunnah Nabi, dan mencari ridho Alloh..”
kataku setelah yang lelaki pulang.
“Ah itu urusanku…, kau ini kan adikku, tak sopan menasehati aku sebagai kakakmu.” katanya sinis.
“Yo ndak papa sampean tak mau ku peringatkan, aku kan cuma menyampaikan, ingat segala
sesuatu yang menyalahi aturan itu pasti akan membuat diri susah.” kataku mencoba sabar dan
sehalus mungkin.
“Sudah kamu urusi keluargamu, jangan mengurusi diriku, jangan sok pinter, aku ini lebih tua, lebih
mengerti hidup, daripada kamu yang anak kemaren sore.” katanya masih sinis.
Ternyata walau sudah ku peringatkan tapi Mbak Asrifah tetap dengan lelaki itu tapi tidak bersama di
rumah, seringnya janjian di luar rumah, dengan meminjam motorku, tapi dengan alasan lain.
Hari itu seperti biasa, meminjam motor, lalu pergi, tapi baru setengah jam pergi, dia sudah kembali,
dalam keadaan motor dan orangnya diangkut becak, karena kecelakaan, kakinya kesleo dan luka-
luka, tapi ada baiknya juga akhirnya dia tak pergi-pergi lagi.
Sampai pada suatu malam, tiba-tiba Mbak Asrifah menjerit-jerit kesakitan, jeritannya sampai keras
sekali, kira-kira jam 3 dini hari, semua tetangga kaget, termasuk aku yang dekat dengan rumahnya.
“Haduuuh..! haduuh..! aku ini kenapa!? aku ini kenapa? aduuh..!” begitu berulang-ulang.
Aku yang sedang dzikir, tenang-tenang saja, Husna dan saudara yang lain menengok, sebentar
kemudian Husna memanggilku.
“Mas.., itu mbak Asrifah dilihat kenapa..!” katanya kelihatan panik.
“La kenapa?, “
“Ndak tau…”
“Ya sudah, disuruh diam saja, jangan teriak- teriak, besok dibawa ke rumah sakit, wong besok
rumah sakitnya juga belum pindah.” kataku, yang memang agak dongkol karena tingkah lakunya.
Aku tak menengok, sampai besoknya dibawa ke rumah sakit, aku juga males menjenguk, apalagi
aku ini lelaki dan mbak Asrifah itu perempuan, cukup Husna yang menengok, dan menunggui di
rumah sakit.
“Mas.. kok dirontgen tidak ada penyakitnya?” kata Husna waktu pulang dari rumah sakit.
“Ya mungkin rumah sakitnya kurang canggih..” jawabku sekenanya.
“Iya memang ini juga disuruh ke Semarang…” jelas Husna.
“Ya sudah dibawa saja…” kataku.
Akhirnya mbak Asrifah dirujuk ke Semarang, di Semarang katanya penyakitnya tumor kelenjar, dan
harus disinar x agar tumornya hilang. Dan saran dokter pun dijalankan, tapi ternyata setelah
melewati tahapan itu tetap saja Mbak Asrifah tidak sembuh, dua minggu di rumah sakit, lalu pulang
tetap saja kesakitan mengaduh-aduh, membuat tetangga pada mengeluh karena kerasnya suara
mengaduhnya. Karena tidak bisa diobati di rumah sakit dan keadaannya makin mengaduh-aduh,
maka keluarga pun mengusahakan lewat penyembuhan alternatif, sementara aku hanya melihat
saja.
Didatangkan berbagai paranormal, dengan berbagai cara menyembuhkan, ada seorang wanita tua,
yang menyembuhkannya dengan menggigit punggung dan bagian yang sakit, disaksikan banyak
orang, perempuan tua itu membuka mulutnya, sebelum mengobati.
“Kalian lihat semua, lihat mulutku ini, tak ada apa-apanya,” kata perempuan tua itu, sambil
membuka lebar-lebar mulutnya.
Setelah dia rasa semua orang melihat, dia lalu menggigit tubuh mbak Asrifah, dan dia membuka
mulutnya, maka dari mulutnya perempuan tua itu keluar kerikil sebesar kelereng. Begitu berulang-
ulang, gigit sana-gigit sini, dan ada sekitar 6 batu kerikil dikeluarkan. Aku ndak mengerti pengobatan
seaneh itu, ya aku diam saja, tapi Mbak Asrifah setelah diobati tetap saja masih menjerit-jerit
kesakitan. Semua orang jadi bingung.
Tiap hari selalu datang orang yang mengobati Asrifah, tapi semua tak ada yang membuahkan hasil,
tetap saja Asrifah menjerit-jerit kesakitan, memang ku lihat juga kenyataannya amat kesakitan,
sampai rambutnya pada rontok, jika sakit sampai seperti itu tentu amat sakit sekali.
Didatangkan lagi seorang paranormal tua, dari Jogja, mengakunya dia masih anak angkat Nyai Roro
Kidul. Orangnya tinggi, umurnya mungkin 80an tahun, ketika mengobati aku disuruh menemani.
“Bagaimana penyakitnya mbah?” tanyaku.
“Ini memang disantet orang,” kata lelaki tua itu.
Aku yang saat itu sama sekali awam dengan ilmu santet, hanya berharap Asrifah bisa sembuh. Lalu
lelaki itu mengeluarkan cambuk dari emas, sepanjang setengah meter, tubuh mbak Asrifah
dicambuki, setelah itu tangannya disuruh mengulurkan, dan dari setiap jari mbak Asrifah dikeluarkan
paku, juga jari kaki dikeluarkan paku. Aku tak kaget, juga tidak heran, cuma ku lihat saja paku
dikeluarkan, lalu paku diberikan padaku.
“Ini nanti ditanam di pekuburan.” katanya memerintahku.
“Baik nanti ku tanam.” jawabku.
Lalu pengobatan pun selesai, dia mengatakan besok akan mengambil jin-jin yang dikirim seseorang.
Aku hanya mengiyakan, dan mengucapkan terima kasih.
Besoknya, kakek yang kemarin mengobati datang lagi, kali ini datangnya malam hari, dia membawa
kendil, aku merasa aneh juga, anehnya waktu sebelum kakek itu datang, aura di rumah Asrifah
pekat sekali, bahkan lampu rumah kelihatan dilapisi kabut hitam, sehingga cahayanya gelap seperti
kalau waktu siang, mendung di langit amat pekat. Tapi aku tak memperdulikan itu, sepertinya ada
serombongan jin yang mendatangi rumah Asrifah, yang aku tak tau ini jin dari mana?
Kakek itu telah memulai pengobatan, dia membakar kemenyan, bau kemenyan membumbung
memenuhi udara, lalu dia membaca mantra minta jin supaya masuk ke kendil dan seketika warna
gelap seperti menyatu membentuk asap, lalu meluncur masuk ke dalam kendil, dan kendil pun
ditutup, dan pengobatan selesai, kemudian kendil dibawa untuk dibuang ke laut.
Berbagai macam keanehan dalam mengobati. Tapi Asrifah tak ada perubahan sama sekali, atau
sebentar kelihatan tenang tak mengaduh-aduh, tapi sebentar kemudian sudah mengaduh-aduh lagi.
Aku memutuskan menghadap Kyaiku, di Banten, tapi aku bukan mau meminta obat, sebab aku
sendiri tak ingin membebani Kyai, karena apapun yang terjadi dan ku alami, aku berusaha mencari
solusi pada apapun yang ku hadapi. Aku menghadap Kyai.
“Kyai… bagaimana cara mengobati orang yang terkena santet?” tanyaku.
“Nanti kalau sudah saatnya bisa, kamu akan bisa sendiri.” jawab Kyai, dan aku mengiyakan.
Aku pulang lagi, dan beberapa hari kemudian aku berangkat ke Jawa Timur, di desaku ada orang
yang biasa mengobati sakit kena santet, dengan metode dipindah penyakitnya ke kambing.
Kebetulan yang mengobati itu ayahnya temanku waktu di pesantren Sarang Rembang.
Aku pun kesana, walau dulu mbak Asrifah tak baik denganku, menolong orang kalau bisa
melepaskan diri dari ego pribadi yang pernah kecewa, aku yakin setiap amal perbuatan walau
sebesar biji sawi, akan diberi balasan sebesar keikhlasan orang yang melakukan amaliyah, semakin
seorang itu ikhlas, akan makin tak terbatas balasan pahala yang diterima.
Sampai di tempat yang ku tuju, yang menemui temanku yang di pesantren itu.
“Bagaimana kabarmu Yan..? Ku dengar-dengar kamu sekarang di Pekalongan.” tanya temanku itu,
setelah dia mempersilahkanku duduk.
“Alhamdulillah baik Lil…, iya aku mukim di Pekalongan.” kataku kepada temanku yang bernama
Kholilulloh.
“Ada apa Yan.. kok tak biasanya kamu main ke rumahku.” tanya Kholil.
“Maaf aku merepotkan.” kataku
“Ah kamu ini tak biasa-biasanya basa-basi, ada apa?”
“Anu Lil, aku mau minta obat kepada ayahmu untuk mbak istriku yang sakit.” jelasku.
“Sakitnya apa Yan?”
“Ndak tau juga Lil, kata dokter sih sakit tumor kelenjar, kata dukun sakit kena santet, jadi ndak tau
mana yang benar.” jelasku.
“Tunggu aku panggilkan ayah..” kata Kholilulloh masuk ke dalam.
Ayahnya kemudian keluar, bernama pak Mahrus, perawakannya pendek kecil, pak Mahrus
termasuk idolaku, waktu kecil jika aku menelusuri kisah pak Mahrus sangat memotifasiku dalam
menjalankan suatu amaliyah.
Dulu pak Mahrus ini orang teramat miskin, bisa dikatakan untuk makan sehari-hari pun sangat
kekurangan, padahal saudara-saudaranya adalah orang kaya, pernah karena sudah dua hari tak
makan, istrinya pak Mahrus, yang bernama Ibu Zulaikhah pergi ke rumah saudaranya untuk
meminjam beras, tapi oleh saudaranya tak diberi hutangan, malah diberi beras segenggam yang di
taburkan ke lantai.
“Itu beras ambil di lantai, itu ku berikan cuma-cuma, jika ku hutangkan maka kau pasti tak akan
sanggup membayar, jadi ku berikan cuma-cuma, maka usaha dikumpulkan, orang ingin enak makan
itu harus usaha, jangan asal minta-minta.” kata saudaranya.
Ibu Zulaikhah pun pulang dengan beras segenggam yang dia terima, dan menangis di depan pak
Mahrus, dan menceritakan yang dialami.
“Sabar…Sabar, dalam sabar itu ada pahalanya..” kata pak Mahrus menghibur istrinya.

Sang Kyai 
EPISODE: 70. PUSAT GETARAN KEIMANAN 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Penyakit iri dengki itu seperti panu, yang bisa tumbuh di kulit siapa saja, iri dengki itu bisa tumbuh di
hati siapa saja, jika panu tumbuh jamurnya karena kita tidak suka menjaga kebersihan kulit, maka iri
dengki itu tumbuhnya karena kita tak suka menjaga kebersihan hati.
Dan sebab tumbuhnya penyakit itu karena MA AGNA ‘ANHU MALUHU WAMA KASAB, karena tak
terima dengan hartanya dan keberadaan pekerjaannya, jika kita tidak mensyukuri kenikmatan,
sehingga mempunyai harta bagaimanapun kurang, punya ilmu merasa kurang, punya kedudukan
merasa kurang, punya apapun merasa kurang, maka ujung-ujungnya akan timbul iri dengki dengan
apa yang dimiliki orang lain, tak perduli orang lain itu memiliki lebih sedikit dari apa yang kita miliki.
Dan jika iri dengki itu telah tumbuh maka persifatan kita akan seperti KHAMALATAL KHATOB,
orang yang membawa kayu bakar, yang membakar sana membakar sini.
“Mas Ian, yang sabar ya…, nanti di rumah akan ada yang iri dengki, disabarkan, nanti dia akan
meminta pertolongan pada mas Ian…,” kata kyai memperingatkanku ketika aku pamitan pulang.
“InsaAlloh kyai, do’akan saya bisa kuat dan selalu diberi kesabaran oleh Alloh. ” jawabku.
Memang benar, sampai di rumah namaku telah dijelek-jelekkan oleh kyai lain, bahkan tak tanggung-
tanggung menjelek-jelekkannya lewat speaker masjid.
Pertama mendengar, diriku merasa kaget dan tak pada tempatnya, tapi setelah ingat pesan Kyai,
maka aku tak perduli, ku biarkan saja apa yang dikatakan.
Mulut, dan anggota apapun di tubuh itu adalah penerjemah isi hati, jika hatinya ikhlas, maka apapun
yang dilakukan oleh tubuh akan menuju pada kebaikan, dan jika hati itu buruk, maka hati apa yang
dilakukan oleh tubuh, termasuk apa yang diucapkan oleh lisan itu akan buruk, hati itu sumber
utama, jika sumbernya kotor maka semua aliran akan kotor.
Aku berpikir, orang yang menjelek-jelekkan tanpa adanya suatu kenyataannya, orang tak akan ada
yang percaya, malah orang akan bersimpati denganku, dan membenci yang menjelek-jelekkan, juga
akan meroketkanku semakin tinggi dalam kedudukan, sebab dia telah berusaha mengambil dosa-
dosaku, sebenarnya secara teori aku harus membayarnya, karena telah mengambil dosaku.
Dan apa yang menimpaku ini belum seujung kuku, dari apa yang menimpa Nabi Muhammad. Maka
pemikiran itu malah membuatku bukan cuma bukan hanya rasa hati lapang, tapi malah kayak ada
rasa ketagihan. Apalagi diambil dosa dengan gratis, artinya walau orang itu sudah bicara kesana
kesini, kalau lapar dia makan nasinya sendiri, aku tak perlu memberi makan.
Padahal dia sudah payah-payah menjelekkanku, maka kadang aku do’akan supaya rizqinya lancar,
karena dia sudah aktif membersihkan dosaku, walau kelihatan secara lahirnya menghujad dan
menjelekkanku.
Mungkin sudah berusaha menjelek-jelekkanku dalam setiap pengajiannya, kyai Askan, nama kyai
tersebut akhirnya ke rumahku.
“Ada apa kang?” tanyaku ketika telah bertatap muka dengannya.
“Aku mau bicara,” katanya dengan nada tinggi.
“Silahkan, apa yang mau dibicarakan?” kataku ku buat serendah mungkin nadanya.
“Kau kan orang pendatang, aku orang sini, maka tak selayaknya kau merebut popularitasku di desa
ini.” jelasnya masih dengan nada orang marah.
“Lhoh popularitas mana milik kang Askan yang ku rebut, tolong dijelaskan.”
“Itu orang-orang banyak yang ikut pengajian jika kau yang ngajar dan banyak yang ikut ma’mum jika
kau mengimami.”
“Lhoh bukannya itu kemauan mereka sendiri? La saya juga ndak memerintah, ndak ada satupun
orang yang ku suruh, semuanya atas kemauan mereka sendiri.” kataku masih dengan nada pelan.
“Ndak bisa.”
“Ndak bisa bagaimana kang?”
“Ndak bisa, ya ndak boleh kau merebut jama’ahku..”
“Oo maksud sampean mungkin saya tidak usah ikut pegang masjid?”
“Iya..”
“Ya ndak masalah, malah saya senang, jika sampean mau mengurusi semua, berarti melepaskan
kalung rantai amanah yang diserahkan padaku, saya malah senang sekali dan berterima kasih pada
sampean kang.” jelasku dengan senang.
“Jadi sekarang bagaimana?” tanya dia.
“Ya mulai nanti silahkan sampean yang mengimami, juga pengajian saya sampean yang mengganti,
sungguh saya berterima kasih kang.” kataku.
“Baik..” katanya dengan semangat.
Maka sejak saat itu, aku tak ikut pegang menjadi pengurus, imam, pengajar di masjid, setiap
pengurus lain menanyakan kenapa? Maka ku jawab, karena aku sering tak di rumah, sehingga tak
mau nantinya tak bisa bertanggung jawab.
Padahal biasanya Kyai Askan itu juga jarang-jarang dia datang ke masjid dalam sholat lima waktu,
dan kalau misal aku datang ke masjid, maka ustad atau kyai yang lain tak mau maju jika ada diriku
datang, jadi serba runyam juga posisiku, biasanya sampai aku mau maju, baru sholat berjama’ah
bisa dimulai, dan kalau aku maju, dan kyai Askan tau maka dia akan marah-marah.
Apalagi makmum yang telah tua-tua, kebanyakan akan sampai nangis-nangis jika aku yang menjadi
imam.
Memang itu sudah sejak aku memimpin di pesantren tahfidzul qur’an dulu, jika aku yang menjadi
imam, maka akan banyak yang menangis, bahkan ada yang sampai menjerit pingsan, hal itu bukan
tanpa sebab, karena memang jika seseorang itu membaca qur’an dengan pendalaman kepahaman
dan penerapan yang pas akan menimbulkan efek yang menggetarkan hati.
Awalnya kisah ini ku alami, aku ini sebelum menjadi orang yang berusaha mendekatkan diri pada
Alloh, diriku seorang yang dapat dikatakan nakal, seorang yang senang berkelahi, hobby tawuran,
rambut panjang sepantat, dan setiap hari memakai anting, dimana ada konser rock pasti datang.
Pada waktu itu ada konser power metal di daerah Bojonegoro, aku dengan teman-temanku pun
datang, entah memang sudah diatur oleh Alloh, kok konser dibatalkan, aku kecewa. Dan untuk
mengobati kekecewaanku, aku jalan-jalan sama temen-temenku keliling kota Bojonegoro, kok pas
kebetulan ada pengajian akbar, dan pas pembaca saritilawahnya dari Mesir, ya aku nongkrong aja
di situ. Ee pas yang baca Qur’annya tampil ke panggung, tak ada sama sekali maksud mendengar
bacaan qur’an orang itu, tapi kan pakai soundsystem tetep saja aku mendengar, dan ketika orang itu
membaca qur’an, dadaku rasanya diaduk, bergetar, bergolak, aku yang asalnya berdiri dan
bersandar pada tembok, sampai sampai karena getaran yang ku rasakan aku tak kuasa berdiri,
mataku berlinang, ingin rasanya menjerit, melolong, minta ampun atas semua dosaku, diriku
rasanya hina, tak berharga, munafik, fasik, kafir, pendosa, aku seperti merasa ditelanjangi di
mahsar, sampai tanpa sadar aku mengguguk, menangis, meminta ampun atas semua dosaku, aku
merasa sangat berdosa lebih berdosa dari orang yang paling berdosa, air mataku terkuras, dan itu
bukan diriku saja, teman-temanku, semua orang yang hadir pun menangis, padahal itu hanya
bacaan al-qur’an, yang aku juga temanku, juga orang yang hadir pasti tak semua tau arti satu
persatu isinya, tapi kenapa semua menangis?
Pulang dari kejadian itu, aku telah berubah seratus delapan puluh derajad.
Tentang bacaan Qur’an itu selalu terngiang di pikiranku, siang malam selalu membayangi
langkahku, dan otomatis kemudian menjadi perenunganku, sampai aku seperti terseret pada
pemahaman tentang kenapa orang, bahkan Nabi sendiri jika dibacakan Al-qur’an sampai menangis.
Orang-orang utama kenapa bila membaca Alqur-an itu mereka menangis, seperti Abu bakar, ketika
membaca qur’an itu akan terdengar suara air direbus di hatinya, bagaimana jika Umar bin Khotob itu
membaca Qur’an akan tercium bau daging terbakar, karena terbakarnya hati takut pada Alloh.
Mata adalah mata airnya hati, jika mata menangis karena hati yang takut pada Alloh, seperti tanah
yang keluar airnya, karena menunjukkan tanah yang subur, mata yang keluar airnya karena hati
yang takut pada Alloh menunjukkan menyalanya iman dalam hati, iman menyala sehingga
menerangi yang sebelumnya tak terlihat menjadi terlihat, yang samar menjadi jelas, juga arti
alqur’an yang lembut-lembut itu tertangkap dari pembaca kepada pendengar, seperti orang yang
menggoyang meja, orang yang duduk dengan orang yang menggoyang meja, maka akan ikut
goyang mejanya, sebab meja itu hanya satu, orang yang hatinya tergetar karena membaca Al-
qur’an, maka akan menggetarkan orang yang ada dalam satu jama’ah sholat. Getaran itu terkirim
oleh kabel yang tak terlihat. Hanya orang yang telah tergetar hatinya, bisa menggetarkan orang lain.
Lalu bagaimana mungkin hati bisa tergetar? Hati tergetar atau wajilat qulubuhum, karena jika
membaca Alqur’an itu diri memahami dan meyakini seyakin-yakinnya kalau Al-qur’an itu adalah
surat dari Alloh, untuk diri kita, sebagai orang Islam, maka walaupun isinya tentang cerita orang
munafik, orang kafir, orang yang tersesat, orang yang dzolim, maka maksudnya Alloh ya kita itu,
bukan orang lain, karena Al-qur’an diturunkan untuk kita bukan orang agama lain.
Jadi penyadaran diri, kita dalam lahirnya dalam KTP nya orang Islam, tapi masih selalu bertingkah
laku sebagai orang ingkar seperti kafir, pembohong seperti orang munafik, selalu tak menempatkan
sesuatu pada tempatnya seperti orang dzolim, ngeyel seperti Bani Israil, melakukan perbuatan
ngawur seperti orang tersesat, jadi penyadaran diri akan kemelekatan sifat buruk dalam diri, lalu
Alloh menegur kita. Dzat yang bisa membalik dunia, dan menghancurkan kita menjadi bangkai yang
tak berkubur, itu memperingatkan kita, pasti orang beriman yang menyala imannya akan tergetar,
dan merasa diri itu benar-benar terlekati sifat buruk.
Sebab jika diri makin merasa suci, maka diri itu makin kotor, sebab walau telah penuh menempul di
tubuh aneka macam kotoran, tetap saja merasa suci.
Dan orang yang paling merasa lurus, maka akan paling tersesat, karena sudah tersesat tetap saja
merasa lurus, sebab perasaan lurus itu telah mendarah daging.
Juga orang yang paling bodoh itu adalah orang yang paling merasa pintar, karena jelas telah salah,
tapi akan selalu yang dilakukan itu adalah kepintaran dia.
Orang yang paling munafik, adalah orang yang merasa sifat nifak tidak melekat pada dirinya, jadi
berulang kali berdusta, maka akan dianggap tidak dusta, sebab menganggap dustanya itu suatu
kebenaran.
Jadi seseorang yang ingin menjadi baik, maka tak segan-segan mengkoreksi diri, jika ada kekotoran
maka tak segan mengakui lalu membersihkannya, agar ketenangan hati yang bersih didapat.
Dan ketika hati telah bersih, saat mana Qur’an itu dibaca, maka cahaya hidayahnya Qur’an itu akan
menyinari hati, memperjelas yang samar, mengurai arti dan makna yang lembut-lembut, seperti
orang yang terseret merasa takut ketika membaca novel horor, dan tertawa ketika membaca novel
humor, dan seakan menjadi pendekar ketika membaca cerita silat.
Ketika dalam qur’an itu ada cerita tentang neraka, maka diri itu merasa telah jatuh kedalam lautan
apinya, ketika Alqur’an itu menceritakan surga, maka diri merasa rindu akan kedamaian dan
keindahan di dalamnya.
Orang yang telah tergetar hatinya oleh qur’an, maka ketika mengimami jam’ah sholat, akan
menggedor juga hatinya makmum, seperti orang yang menggoyang meja teman duduk dalam satu
mejanya.
Semakin mendekati pusat getaran yaitu Alloh, maka getaran itu akan makin terasa, jadi getaran
antara satu orang dengan orang lain itu beda, sebab bedanya kedekatan antara satu orang dengan
orang lain dengan Alloh, pusat segala getaran keimanan.
Sama seperti ketika membaca cersil, lalu seseorang tergeret oleh alur cerita, artinya orang yang
membaca itu akan merasa sedih ketika nasib malang menimpa tokoh yang disukainya, begitu juga
jika seseorang telah terseret getaran qur’an akan merasa iba dengan keadaannya karena telah
tersesat, jika membaca Waladzoliin, dirinya itulah yang tersesat, dan ingin kembali memperoleh
hidayah. Rasa takut itu akan muncul membayangkan andai saja diri tidak mendapat hidayah dari
Alloh, lalu diri menjadi orang yang merugi selamanya, dan masuk neraka tidak ada masa habisnya.

Sang Kyai 
EPISODE: 72. KADANG PENGOBATAN ITU TAK LOGIS
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Magrib baru saja berlalu, selesai dzikir waktu sholat, seperti biasa aku duduk santai menikmati
secangkir kopi dan rokok. Kang Din menghampiriku dengan seorang pemuda, tapi ku lihat pemuda
itu wajahnya berwarna hitam. “Ada apa kang?” tanyaku. “Ini Yan, ada orang mau minta tolong..” kata
kang Din tetangga rumahku. “Minta tolong kenapa kang?” “Ini teman kerja di kantorku, dia itu sakit
kok aneh,” “Anehnya di mana kang?” tanyaku heran. “Anehnya, ini kalau istrinya melihat dia, itu
melihatnya seperti kera, jadi istrinya takut, lalu kalau mau berangkat kerja kaki dan tangannya tak
bisa digerakkan, jadi kayak lengket di ranjang.” jelas Kang Din. “Wah aneh juga kalau begitu.” “Apa
menurutmu sakitnya diguna-guna? atau dikerjai orang?” tanya Kang Din. “Wah kalau itu aku ndak
tau kang,” “Soalnya kemaren sudah diobati pakai telur, jadi telur dijalankan digelundungkan di atas
tubuhnya, dan setelah itu telurnya dipecah, dan ternyata di dalam telur ada jarumnya.” jelas Kang
Din. “Terus kemaren juga dibawa ke orang paranormal, katanya dari tubuhnya dikeluarkan ada
paku, jarum, gumpalan tanah.” jelas kang Din lagi. “Wah aneh juga…, tapi aku gak bisa ngobati
kang..” “Tolonglah diapakan gitu, kasihan dia, wong ini juga sudah dibawa kemana-mana tapi
hasilnya nihil.” “Lha apa waktu dikeluarkan pakunya ndak sembuh?” tanyaku. “Yah begitulah tidak
sembuh.” Sebenarnya seminggu silam, aku telah diberi tau tentang orang ini yang dibawa kang Din,
bagaimana cara mengobatinya maka aku tinggal mengobatinya, dengan petunjuk yang ku peroleh.
“Bagaimana Ian…?” tanya Kang Din. Sementara lelaki yang dibawa sama sekali tidak berbicara,
hanya mendengarkan pembicaraan kami. Jadi aku hanya perlu mengucapkan petunjuk yang ku
terima lewat mimpi. “Masnya ini namanya siapa?” tanyaku kepada orangnya yang sakit itu. “Saya
bernama Muhajir mas..” jawabnya singkat. “Binnya siapa?” “bin Abdul Munir mas..” jawabnya lagi.
“Yakin tidak sampean jika aku yang mengobati?” tanyaku lagi. “Yakin mas.” “Mau menjalankan
syarat yang akan ku berikan?” “Siap mas, asal saya bisa sembuh, syaratnya apa mas?” tanyanya.
“Syaratnya sampean harus mengambil kelapa hijau, tapi jangan sampai kelapanya jatuh ke tanah,
soal caranya itu terserah sampean bagaimana agar kelapanya tak jatuh ke tanah, entah memakai
tambang atau bagaimana, sanggup?” “Sanggup mas.” “Nah besok kalau sudah mendapat kelapa itu
sampean bawa kemari kelapanya.” jelasku. “Ya mas.. kalau begitu saya mohon diri.” “Ya silahkan.”
Memang kadang secara logika, kadang pengobatan itu tak logis, tapi sesuatu terjadi itu tak
menunggu akal kita menerima baru terjadi, tapi segala sesuatu itu terjadi karena Alloh mengijini
untuk terjadi, bahkan syetan saja tau itu, makanya ketika dulu iblis mau menyesatkan anak turun
Adam, dia meminta ijin dulu pada Alloh, agar diberi ijin menggoda anak turun Adam, sebab jika Alloh
tak mengijinkan maka bagaimanapun remehnya, sesuatu tak akan terjadi. Besoknya Muhajir datang
lagi, dengan membawa kelapa hijau tiga butir, lalu ketiga kelapa hijau ku do’akan, dan yang satu ku
suruh meminum, yang satu ku suruh memakai mandi, yang satu ku suruh memakai untuk mengepel
rumah. Dua hari kemudian Muhajir datang disertai istrinya, dan mengucapkan terima kasih karena
istrinya tidak lagi melihat pada yang lelaki seperti melihat kera, juga penyakitnya Muhajir telah tuntas
tak dirasakan lagi. Tapi malamnya di atas genteng rumahku terdengar ledakan seperti petasan, ada
beberapa kali ledakan, terjadi kira-kira jam 1 dini hari. Aku segera melepas sukma, mencari arah
cahaya api dari mana datangnya, sukmaku melesat ke arah Cirebon, dan berhenti di sebuah rumah.
Aku pun melesat ke dalam rumah, bau menyan serasa menyengat, dan di dalam rumah seorang
lelaki berpakaian batik bertubuh pendek, tengah melakukan ritual tenung, ku buat lingkaran
membentengi ruang gerak kekuatan lelaki itu, sebentuk seperti lingkaran balon tembus pandang,
lelaki itu mencoba berulang-ulang mengirim santetnya, tapi selalu mental mengenai dirinya sendiri,
dia heran, dan mengulangi, tapi tetap saja jarum, paku, silet yang dikirimkan tetap membalik
mengenai dirinya sendiri. “Ada apa ini? Sial siapa yang memberi pertolongan kepada sasaranku..”
dengus lelaki itu, aku hanya menggeleng melihat tingkah lakunya. Lalu aku pulang ke rumah,
kembali ke dalam ragaku.
Sang Kyai 
EPISODE: 71. DIBERI HATI MINTA JANTUNG
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Ketika aku pulang dua minggu sekali ke rumah dari tempat usahaku, Kyai Askan datang ke rumah.
“Ada apa Kang?” tanyaku. “Lha sampean ini bagaimana, masak waktu aku menjadi imam sampean
tidak ikut menjadi makmumku.” katanya dengan nada marah. “Lho saya kan seringnya ada di
tempat kerja saya to kang, jadi jarang pulang, bagaimana saya bisa ikut?” jelasku. “Ya harus tetap
ikut, ya disempat-sempatkan ikut.” katanya memaksa. “Lha tempatnya kan jauh to kang, kalau saya
wira wiri, apa ndak ngabiskan bensin banyak?” kataku, aku mulai ndak sabar juga, kalau ada orang
yang diberi hati malah minta jantung. “Lalu apa kata orang, itu si kyai Askan jadi imam, kyai Ian tak
pernah mau menjadi makmum, pasti karena bacaan kyai Askan tidak fasih.” katanya. “Lha sampean
ini kok ya aneh, apa ada orang bilang begitu?” “Ya belum ada, tapi nanti kan juga ada.” Aku geleng-
geleng kepala, “Sesuatu yang belum ada kok sampean ada-ada, itu namanya su’udzon, sampean
ini kyai…” kataku. “Juga apa urusannya bacaan fatekhah sampean sama kehadiran saya, lha kalau
saya itu lidah sampean, misal saya ndak hadir otomatis sampean jadi cedal, hu-ha-hu-hu kayak
orang bisu, lha saya kan orang lain, mau saya hadir atau tidak kan ndak pengaruh sama sholat
jama’ah, la sampean ini ikhlas apa endak to sebenarnya? Kok selalu ngajak ribut dan meributkan
saya, saya kan juga punya keluarga, perlu mencari ma’isah, perlu makan, nyari uang, sampean itu
udah tak kasih minta semua, lha kok masih kurang, sebenarnya maunya apa?” Dia berdiri, dan pergi
begitu saja tanpa pamit, aku hanya menatapnya dengan heran, kok ada orang kayak gitu, mau
mengatakan tidak ada juga, kenyataannya sudah dihadapi, mau bagaimana. Penyakit iri dengki
memang super sulit mengobatinya, jika seseorang tak mau menyadari bahwa penyakit itu memang
benar-benar ada dan membakar hati pikiran orang yang memiliki penyakit itu. Sebenarnya dalam
pemikiran dangkalku, mengobati penyakit hati itu tak bedanya seperti mengobati penyakit lahir.
Seperti kita kalau pergi ke dokter, kan diperiksa dulu, tidak asal disuruh nungging, trus jarum suntik
ditancapkan, tapi didiagnosa, dokter akan bertanya apa keluhannya, lalu mengelompokkan dalam
suatu penyakit. Keluhan itu disesuaikan dengan kebiasaan penyakit, jika pasien bilang giginya
senut-senut, tak akan dibilang itu penyakit ambaien atau susah buang air besar, dibilang dokter itu
sakit gigi, kalau dokternya seperti itu pasti dokternya yang sakit. Sebuah diagnosa akan menentukan
penyakit, lalu akan ditemukan penyakitnya dan obat yang tepat, sakit gigi, obatnya pasti obat untuk
meredakan sakit gigi, jangan mau dikasih salep ambeien, dioleskan di lubang gigi. Begitu juga sakit
yang mengenai hati, maka didiagnosa, apa penyakitnya, yang jelas manusia yang mengidap
penyakit harus menyadari kalau dirinya sakit, kalau tak mau menyadari ya makin susah untuk
diobati. Dan obat itu selalu bertentangan dengan penyakit, jika punya rasa sombong, ya bersikaplah
tawadhu’, kalau perlu bayar orang suruh meludahi kita di tengah pasar, biar sombongnya hilang.
Sebab namanya juga penyakit, dirasa atau tidak dirasa itu akan mengganggu. Khususnya
mengganggu dalam pendekatan diri pada Alloh, dan amal ibadahnya tak akan diterima, dengan kata
lain, seumur-umur orang yang berpenyakit hati itu ibadah, maka tak akan mengecap manisnya
ibadah, dan nikmatnya terijabahnya do’a. Ternyata Kyai Askan masih tetap menjelek-jelekkanku di
setiap pengajiannya, aku dibilang tak bertanggung jawab diberi amanat di masjid, nifak, dan lain-
lain, tapi ku biarkan saja. Itung-itung mengurangi dosaku, aku tetap santai menjalankan aktifitasku
tiap hari. Sampai pada suatu hari, aku mendengar anak dari Kyai Askan yang sudah bisa jalan tiba-
tiba lumpuh, dan kakinya mengecil, tiap malam selalu menangis sampai pagi, sudah dibawa ke
dokter, tapi tak ada perubahan sama sekali. Anaknya tetap dalam keadaan lumpuh, dan tiap mulai
magrib menangis sampai suaranya habis, karena sebelum ada adzan subuh, anaknya itu tak mau
berhenti menangis. Sehingga Kyai Askan dan istrinya dibuat pusing, karena tiap malam harus
begadang menjaga anaknya yang menangis terus, tiap hari dicarikan obat kesana kemari tapi
semua tak sanggup mengobati, sampai dibawa ke Kyai Sepuh. Di katakan oleh kyai Sepuh itu kalau
anaknya itu digandoli dua jin lumpuh, dan bahkan kyai Sepuh itu tak sanggup mengambil, dan yang
sanggup mengambil hanya seorang pemuda berkaca mata, rumahnya depannya ada pohon
mangganya, dekat balai desa Bligo, itu ku dengar setelah istrinya bercerita padaku. Sudah sebulan
anak Kyai Askan seperti itu, mau dibawa ke rumahku, jelas gengsi, mencoba dibawa ke paranormal,
atau kyai, dukun, semua tetap hasilnya nihil. Sampai mungkin sudah tak ada jalan keluar, maka
istrinya jam 2 malam disuruh ke rumahku membawa anaknya yang lumpuh dan digendong, dalam
keadaan menangis, mengetuk rumahku. “Siapa?…” tanyaku yang waktu itu masih dzikir. “Saya dik..
istrinya Askan..” jawab istrinya Askan. Aku keluar membuka pintu, dan kulihat anaknya digendong
dalam keadaan menangis. “Mari silahkan masuk.” kataku mempersilahkan. Anehnya ketika
melangkah ke pintuku, maka anaknya langsung diam, tak menangis. Memang di luar ku lihat dua jin
lumpuh, tengah bersembunyi dari tatapan mataku. “Ada apa mbak?” tanyaku. “Ini Anakku, lumpuh
dan rewel terus.” jelasnya. “Lha tidak rewel gitu kok mbak, anteng saja,” kataku menunjuk anaknya
yang tidur dalam gendongannya. “Iya ya…, tapi tadi rewel.” katanya. “Kalau gitu saya mohon diri.”
tambahnya. “Ya silahkan…” ku antar sampai pintu, dan pintu ku tutup, tapi baru berjalan sampai 50
meteran, anaknya nangis lagi. Aku juga mendengar, dan ku tunggu ternyata dia datang lagi, ku
bukakan pintu. “Siapa mas…?” tanya Husna yang bangun. “Ini istrinya pak Askan” jawabku. Dan
lagi-lagi ketika anaknya dibawa masuk ke rumahku, maka tangisnya pun terhenti. “Ini bagaimana …,
kok kalau masuk rumah anakku jadi ndak nangis?” katanya. Tak ku katakan kalau ada dua jin
lumpuh yang mengikuti dan dua jin itu tak berani masuk rumahku, takutnya malah membuat istri pak
Askan takut. “Wah aku ndak tau mbak, wong saya ini orang bodo.” jawabku. “Sudah tidur di sini saja
mbak, wong anaknya juga sudah anteng gitu tidurnya, sana bawa tidur di kamarku.” kata Husna.
Dan Husna pindah ke luar tidur di lantai. Paginya Kyai Askan datang dan mengajak pulang istrinya.
Hanya Husna yang menemui. Siangnya istrinya datang lagi, juga ditemui Husna. Dia cerita soal aku
yang dikatakan orang yang bisa mengobati anaknya, lalu Husna memanggilku. “Ada apa mbak?”
tanyaku, “Ini soal lumpuhnya anakku, kata orang pinter sampean yang bisa mengobati.” katanya.
“Wah orang pinternya itu mengada-ada mbak, wong saya ndak bisa apa-apa.” jelasku. “Ya mbok
sampean kasih air atau apa, biar lumpuh anakku ini sembuh.” “Dik tolong ambilkan aqua,” kataku
pada Husna. Lalu air ku bacakan basmalah, dan ku tiupkan ke air, “Ini nanti airnya dipakai
memandikan si kecil ya mbak.., semoga Alloh memberikan kesembuhan.” kataku. Lalu istrinya Kyai
Askan mohon diri, aku hanya berharap semoga semua menjadikan kebaikan ke depan, walau aku
tak banyak berharap. Dan memang besoknya anaknya Kyai Askan benar-benar sembuh. Tapi
kemudian malah dalam pengajiannya aku disiarkan di speaker bahwa aku telah mengerjai anaknya.
Yah biarlah, aku juga tak berharap pekerjaanku dinilai dengan penghargaan, kok kemudian malah
membuatku karena menolong orang lain aku makin dijelek-jelekkan, mungkin akan membuatku
makin meningkat derajadku di sisi Alloh, Dan saat cerita ini ku tulis, sekarang malah bukan kyai
Askan saja yang memusuhiku, tapi juga istrinya, sampai berusaha dengan daya upaya, dan
membakar ke sana-sini untuk menjatuhkan namaku. Tapi segala kebaikan pasti harus ada yang
dengki agar kebaikan itu seperti terdorong. Dan keikhlasan manusia akan teruji, serta terukur,
keikhlasan tertinggi menurut dangkalnya pikiranku adalah ketika kita telah tak merasa bahwa
perbuatan baik apapun yang kita lakukan adalah perbuatan kita, tapi itu adalah perbuatan Alloh, kita
hanya lapangan tempat Alloh melakukan perbuatan baik, bagaimana tidak, kan semua anggota
tubuh yang kita punya adalah milik Alloh, bahkan sebuah niat baik melakukan perbuatan baik yang
menempatkan di hati adalah Alloh, dan pemikiran untuk melakukan perbuatan dengan segala
bentuk kejlimetan proses teorinya yang memberi ilham agar terealisasi dengan sempurna adalah
Alloh, bahkan kemudian suatu perbuatan yang asalnya dalam bentuk teori dan rencana kemudian
menjadi gerak dan kejadian yang mengijinkan dan memberi tempat, waktu, peluang, semua yang
memberi adalah Alloh, maka tak ada satupun hak kita mengakui kalau satupun adalah perbuatan
kita, walau bila dilihat seperti perbuatan kita. Coba saja kalau satu saja itu merupakan perbuatan
kita, contoh saja waktu, jika kita merasa itu waktu kita, maka coba hentikan waktu, berarti kita harus
menghentikan semua, menghentikan waktu yang berjalan, seluruh manusia di seluruh dunia yang
bergerak, seluruh jantung mahluk, dari semut, sampai hiu, manusia dan jin yang berdetak, angin
yang berhembus, dari denyut nadi sampai pergerakan matahari. Cuma mau menghentikan waktu
saja begitu beragam dan majmuknya yang harus kita hentikan bersama penghentian waktu. Dan
jangankan menghentikan seluruh dunia, bahkan menghentikan diri sendiri, aliran darah, degup
jantung, kita tidak bisa menghentikan, apalagi harus menghentikan seekor hiu yang berenang,
bukankah kita akan mati sendiri. Berarti kalau kita munafik, maka waktu itu bukan milik kita, juga
kesempatan, sampai detilnya semua kejadian, hanya Dzat Yang Maha Sempurna dan tanpa cela
juga kekuranganlah yang mampu mengatur. Jadi hanya Alloh yang berbuat baik, kita hanya menjadi
tempat Alloh melakukan perbuatan baik, karena hanya menjadi tempat perbuatan baiknya Alloh,
maka tak pantas kita mengharap suatu balasan dari perbuatan baik yang tak pernah kita lakukan,
jika kita masih mengaku-aku, maka perbuatan baik kita itu tak ada nilai dan timbangannya.
Fadholallohu ba’dokum, Alloh memberi keutamaan, jadi bila keutamaan itu kita sadari dan kita yakini
adalah PEMBERIAN, bukan dari daya upaya, atau kelebihan kita menjalankan laku tertentu, maka
kita baru dikatakan bersyukur, kalau menggunakan keutamaan atau kebisaan yang kita miliki untuk
dipakai sesuai dengan guna kelebihan yang kita miliki, maka kita baru dikatakan orang yang
bersukur, dan jika kita bersyukur, maka Alloh akan menambahi fadhilah atau kelebihan lain yang
Alloh anugerahkan. Bukan sebagai suatu alasan tertentu, tapi sebagai kewajaran kejadian, sebab
sudah sunatulloh, peraturan dari Alloh, bahwa kejadian atau sesuatu yang terjadi itu akan menjalar
pada kejadian yang lain, makanya dikatakan Lain sakartum la azidannakum, apabila kamu
bersyukur maka kami akan menambahi untuk kalian, sebab sesuatu yang terjadi itu akan
menimbulkan kejadian baru, dan kejadian baru itu membutuhkan kelengkapan waktu, ruang, materi
pendukung terjadinya. Contoh sepele saja, kita mau makan, jika kita pergi ke warung nasi, jika
tempatnya jauh kita butuh jalan, dan jalan harus ada yang membangun, jika jalan raya, maka harus
ada kerikil, aspal, kontraktor, krikil itu harus ada yang mengangkut, ada kejadian sampai terjadinya
berbentuk kerikil, dll. Jika sampai di warung, maka warung itu berdiri, harus ada yang mendirikan,
dibangun dari kayu, maka harus ada kayunya, penebang kayunya, yang mengangkut, tukang kayu,
dan kelengkapannya. Contoh kita ambil jika ada tukang kayu, maka tukang kayunya harus dalam
keadaan sehat, hidup, kuat, bisa menukang, punya peralatan lengkap dari ukur sampai gergaji, lalu
kita ambil lagi tentang gergaji, harus ada besi, ada pembuat gergaji, ada kikir. Itu belum sampai ke
nasinya, baru dalam perjalanan ke warung nasi, begitu banyak dan sambung menyambung suatu
kejadian, dengan kejadian lain. Jadi kata simpelnya, jika kita melakukan sesuatu sesuai dengan
cara dan teori yang benar, maka Alloh akan memudahkan terjadinya pendukung lain dari yang
menyangkut yang berhubungan dengan perbuatan yang kita lakukan dengan benar. Semua
dijadikan mudah, mau kemana, jalannya mulus, prosesnya lancar, tak ada macet, antara kejadian
yang satu dengan yang lain sepenuhnya saling mendukung. Sebab semua seratus persen dalam
kendali Alloh, jika kita menjalankan sesuatu tidak sesuai aturan Alloh, katakanlah menyalahi aturan
yang benar, maka laingkafartum inna adzabi lasadid, jika kamu ingkar maka adzab Alloh itu teramat
pedih, itu juga suatu kejadian wajar, jika kesalahan satu akan menimbulkan kesalahan yang lain.
Contoh, pembangunan jalan raya, uang pembangunannya dikorupsi, jalan dibangun dengan
mengurangi ini itu, jalan berkuwalitas rendah, maka jalan menjadi cepat rusak, berlubang, lalu
banyak terjadi kecelakaan, macet, kerusakan mobil, pemborosan bahan bakar, unjuk rasa, anarki,
pengrusakan, dan terus menyambung pada kejadian-demi kejadian.
Catatan: Sebagian nama dan tempat dalam kisah "Sang Kyai" bukan yang sebenarnya atau
disamarkan.

Sang Kyai 
EPISODE: 68. SANTET II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Salah satu amalan pak Mahrus adalah membaca sholawat pada Nabi sebanyak sepuluh ribu, entah
bagaimana awalnya, Alloh selalu memberi anugerah pada hamba yang disayanginya. Dan pak
Mahrus mempunyai kelebihan bisa mengobati orang dengan memindah penyakit ke kambing.
Perlahan tapi pasti Pak Mahrus makin terkenal, dan pasiennya dari segala penjuru, sampai jalan
jarak satu kilo meter macet jika hari minggu, karena banyaknya orang yang datang berobat, dan
cepat sekali pak Mahrus menjadi kaya raya, rumahnya yang kecil pun dibangun seperti hotel, tamu-
tamu yang menginap pun bisa mendapatkan kamar yang nyaman. Dan dia tak pernah memakai tarif
dalam mengobati pasiennya, berapa pun dia diberi maka akan diterima, jika seseorang berpenyakit
parah, dan orangnya kaya, lalu sembuh, tak jarang yang diberikan adalah mobil mewah sebagai
rasa terima kasih.
Aku segera menceritakan tentang keadaan Asrifah, pak Mahrus pun memberikan air dan kalung dari
bundelan rajah.
“Dik… nanti kamu beli kambing di rumah, kalung ini kalungkan ke kambing, dan nanti setelah 3 hari
dikalungi, kambingnya kamu potong, dan kamu kuliti dan kamu lihat apa saja di dalamnya itu ada
luka atau hal aneh apa, nanti kamu datang kesini lagi, guna melaporkan” jelas Pak Mahrus.
“Lalu air ini untuk apa pak?” tanyaku menunjukkan air yang di jerigen lima liter.
“Itu untuk minum mandi si sakit.” jelas pak Mahrus.
“Oh ya pak, terima kasih.” kataku sambil memberikan amplop berisi uang.
Dan aku pamit pulang, sampai di Pekalongan akupun segera membeli kambing, dan mengalungkan
rajah ke kambing itu. Sehari tak apa-apa, wajar wajar saja kambing itu keadaannya. Tapi saat
malamnya, kambing menjerit-jerit, sampai suaranya serak, ku lihat tak ada apa-apa, tapi kambing
terus mbak-mbek tak henti-henti dan tak jemu-jemu, hehehe jadi kayak lagu.
Esoknya ku lihat bulu-bulu kambing pada rontok, di saat tertentu juga begitu kambing menjerit-jerit,
jika dia dapat bicara mungkin masalahnya akan lebih mudah, dan kambing bisa ditanya, apa
masalahnya, sampai ia menjerit-jerit, tapi kambing ya tetap kambing, tetap tak bisa bicara.
Aku sebenarnya kasihan juga sama kambingnya, sampai bulunya semua rontok, itu menunjukkan
kalau sakitnya tidak main-main, masak kambing pura-pura sakit juga ndak mungkin, tapi pesen pak
Mahrus kambing harus dipotong setelah tiga hari memakai kalung, jadi aku tetap menunggu sampai
hari ketiga.
Sampai aku sering mendekati kambing dan ku elus kepalanya, ku bilang agar sabar, sebentar lagi
kalau nyampai tiga hari akan ku potong dan dia bisa bernafas lega, karena pasti tak akan
merasakan sakit lagi.
Anehnya Asrifah sudah tidak menjerit-jerit lagi, hanya kambing yang menjerit dengan suara itu-itu
saja sampai suaranya serak.
Sampai hari ke tiga, pagi-pagi sekali cepat-cepat kambing ku potong, dan ku kuliti. Dan sungguh
mencengangkan, perut kambing telah bocor, ada lubang sebesar jari di segala tempat, sehingga isi
perut keluar dari penampungannya, dan di dalam perut kambing berisi gedebong pisang yang
dicacah, aneh kayaknya kambing tak makan gedebong pisang, juga ada rambut manusia, ada taring
sebesar jempol tangan orang dewasa, ada irisan ban mobil dan ada banyak kerikil sebesar telur
puyuh, kayaknya barang-barang itu tak mungkin ada di dalam perutnya kambing, pantesan kalau
kambingnya kesakitan.
Barang-barang itu ku masukkan plastik, rencananya ku bawa ke rumah pak Mahrus. Kalau organ,
paru-paru dan hati kambing telah membusuk, bahkan telah berbau tak sedap.
Aku hanya geleng-geleng kepala, merasa amat aneh. Dan barang yang ada di dalam tubuh kambing
itu ku bawa ke rumah pak Mahrus, dan aku kembali diberi air untuk diberikan pada Asrifah.
Aku bersukur Asrifah sudah tidak mengaduh-aduh lagi, tapi rasa senangku dan anggapanku akan
kesembuhan Asrifah hanya tinggal harapan, hanya seminggu Asrifah tenang, dan setelah itu
menjerit-jerit kesakitan lagi. Ah aku sudah kehabisan akal, mau bagaimana lagi, terpaksa akhirnya
ku diamkan.
Sebulan – setahun sudah, pas genap Mbak Asrifah sakit, dia pun meninggal dunia. Awalnya ketika
akan meninggal susah sekali, maka aku mengambil Al-qur’an dan ku bacakan surah Yasin, belum
sampai surah Yasin selesai Mbak Asrifah telah pulang ke rahmatulloh. Rasanya seperti melepas
beban di pundak, mungkin meninggal lebih baik daripada berlarut-larut merasakan sakit yang tak
berkesudahan.
Semoga kisahnya bisa menjadi orang yang membaca menjadi sadar, dan seseorang hati-hati dalam
bertindak, sebab tak ada manusia itu tidak sakit, tak ada manusia itu tidak mati, sekalipun saat sehat
bisa membanggakan diri dan merasa punya uang kemudian merasa bisa melakukan apa saja, jika
diberi sakit sama sekali tak berdaya.
Tak ada manusia hebat, selama masih sebagai manusia, kecuali dia telah menjadi Tuhan, yang tak
pernah sakit, tak lemah, tak menyandarkan pada sesuatu selain pada dirinya.
Jika manusia itu sudah tak butuh lagi makan, tak butuh lagi minum, tak butuh udara untuk bernafas,
di mana mana tempat ruang dan waktu tak menghalangi gerak geriknya, dimana keterbatasan-
keterbatasan itu tak membatasinya, selalu kekal dan abadi, maka manusia telah pantas untuk
membanggakan diri, tapi nyatanya manusia tak ada yang seperti itu, maka jelas manusia tak ada
yang pantas untuk membanggakan diri.
Seminggu telah berlalu, setelah pemakaman mbak Asrifah, aku sendiri telah beraktifitas seperti
biasa. Dan malam ku isi dengan dzikir. Saat itu jam dua dini hari, aku masih duduk memutar tasbih
malam terasa amat sepi, sekali waktu terdengar gerimis, dalam suasana yang sepi, lamat-lamat ku
dengar suara memanggil.
“Maaak…!, maak..!” begitu suara itu, tapi suaranya seperti suara mbak Asrifah.
Apa aku yang salah dengar, dan suara itu berulang-ulang. Tapi aku masih merasa seperti
mendengar itu dari halusinasiku sendiri, tapi aku bukan berhalusinasi, memang mata rasanya
ngantuk, jadi sampai berulang kali aku tidur sambil duduk.
Aku benar-benar merasa aneh dengan suara Mbak Asrifah, tapi aku benar-benar bukan mimpi,
“Siapa itu?” tanyaku dari tempat aku duduk dzikir.
Tiba-tiba terdengar suara cring-krincing… seperti suara besi yang diseret, dan berdiri di hadapanku
Mbak Asrifah, yang wajah dan rambutnya dipenuhi tanah, wajahnya menghitam, dan pakaian mori
yang dipakainya compang-camping seperti bekas cambukan yang sampai membekas di mori,
tangan dan kakinya dirantai dengan rantai hitam.
“Setan dari mana kau…!? ” bentakku.
“Aku kakakmu Yan.. Asrifah, aku ndak diterima di sana, tolong aku Yaaan… aduh panaaas…”
katanya memelas dan kepanasan karena aku dalam keadaan dzikir.
“Benar kau mbak Asrifah? Jangan-jangan kau setan yang menyaru-nyaru belaka?” kataku dengan
pertanyaan yang bernada tinggi.
“Benar Yaan aku Asrifah, maafkan kesalahanku padamu, aku tak mengindahkan nasehatmu..,
sekarang aku tak diterima, lihat aku disiksa seperti ini, dirantai, apa kau tak kasihan padaku..?”
Terus terang aku sendiri takut setengah mati, melihat perwujudan yang amat menyeramkan,
rambutnya yang tinggal sedikit dan acak-acakan, pipinya yang seperti habis ditampar, dan bau
tanah kuburan berbaur dengan bau bangkai sangat kuat tercium, tapi aku berusaha bertahan,
sebagai orang yang yakin pada Alloh, la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wala fissama’, tak ada
yang berbahaya jika kita berpegang teguh pada Alloh, apapun yang di bumi dan di langit.
Seperti ada yang membisikiku, agar memutuskan rantai dengan akhir surrah Taubah.
“Kesinikan rantainya.” kataku.
Lalu dia menyeret rantai dan menyodorkan rantai kepadaku, lalu ku pegang rantai dengan membaca
akhir surrah Taubah, Alhamdulillah rantai lepas, lalu rantai di kakinya, dan sama seperti ku lakukan
pada rantai di tangannya, dan rantai pun lepas.
“Lalu bagaimana nasibku Yaan…!, Aku tak diterima, bagaimana ini?” katanya memelas.
“Sudah tak usah banyak ribut, besok akan ku coba menolong, sekarang pergilah.”
“Tak bolehkah aku tinggal di rumahmu… aku di sana dipukuli..”
“Tak boleh, nanti kau menakutkan keluargaku, sudah sana pergi, besok aku tolong.” kataku.
Lalu dia pergi tersaruk-saruk, tubuhnya membungkuk-bungkuk menahan sakit. Aku meneteskan air
mata karena kasihan dengan nasibnya, manusia tetap hanya mampu berusaha, hidayah itu bulat-
bulat milik Alloh.
Paginya Jum’at aku kirimi mbak Asrifah, ku bacakan sholawat nabi 10 ribu kali, ku mintakan pada
Alloh agar ruhnya diterima dan dibebaskan dari siksaan. Aku yakin dengan apa yang ku kirimkan
pasti sampai.
Malam aku sengaja menunggu, aku dzikir duduk di kursi ruang tamu, kira-kira jam 1 dini hari,
terdengar suara pintu rumah diketuk dan suara salam.
“Waalaikum salam, masuk saja tidak dikunci.” kataku.
Ternyata mbak Asrifah, di belakangnya ku lihat empat anak kecil mengiring, sekarang pakaiannya
pakaian seorang penganten. Dan wajahnya yang kemaren menghitam seperti bekas tempelengan,
sekarang warna hitam itu sudah tak ada, tapi ada bekas kayak kulit mengelupas bekas terbakar,
rambutnya tersisir rapi, dan bau wewangian semerbak.
“Bagaimana mbak?” tanyaku.
“Alhamdulillah Yan, terima kasih atas segala pertolongannya, sekarang aku akan berangkat ke alam
sana, aku mau pamitan, aku benar-benar berterima kasih, jika tau kau orang seperti itu, sungguh
dulu aku melayanimu pun mau…”
“Sudah mbak…, semoga engkau mendapat tempat yang enak di sana.”
“Terima kasih Yan…, aku mohon diri, wassalamualaikum.” kata mbak Asrifah melangkah pergi
diiringi ke empat anak kecil.
Setelah berbagai kejadian, aku merasa betapa masih banyak yang di luar pengetahuanku, dan rasa
ingin menuntut ilmu makin menggebu. Ku putuskan untuk ke pesantren lagi dan menuntut ilmu lagi.

Sang Kyai 
EPISODE: 69. CARA MEMETIK ILMU SERATUS KALI LIPAT
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Di pesantren, santri-santri lama sudah tak ada lagi, memang selalu begitu di tempat kyai, tahun ini
dan tahun besok santri sudah lain, apalagi ini aku sudah lama tak kembali ke pesantren, kembali
kemaren juga sebentar hanya menanyakan soal cara mengobati orang yang terkena santet.
Cara yang ku lakukan dalam mencari ilmu tidak sama dengan cara orang lain mencari ilmu, dan
cara yang ku lakukan itu secara lahirnya tidak seperti orang yang mencari ilmu, tapi hasil yang
dicapai, mencari ilmu sebulan maka akan sama saja dengan mencari ilmunya orang umum dalam
masa sepuluh tahun. Makanya aku selalu di manapun tak pernah mencari ilmu atau mondok dalam
jangka waktu lama, hanya butuh masa beberapa bulan, dan ilmu kyainya sudah ku serap semua.
Cara yang ku lakukan pertama adalah, aku berusaha memberi makan pada semua santri, dengan
uangku, dan tenagaku sendiri, disamping aku ikut menyerap ilmu, maka tanpa disadari santri yang
lain, aku meminjam tenaga mereka untuk diriku mendapat pahala.
Semua santri yang puasa, aku beri makan, maka disamping puasaku sendiri, maka aku akan
mendapat pahala semua santri, bahkan aku memasaknya dengan tanganku sendiri, dengan penuh
kerelaan, sebab aku mau mengambil pahala mereka kenapa harus malu dan risih, aku sama sekali
tak malu, bahkan jika masakanku matang aku bangunkan satu persatu, untuk makan sahur, dan di
saat aku buka, ku tatakan dengan rapi makanan, tempat cuci tangan dan minumnya, kan mereka
tak tau kalau sebenarnya aku mengambil bagian pahala mereka, siapa yang memberi makan orang
puasa, dzikir, beribadah, maka akan mendapatkan pahala sama seperti pahala yang didapat yang
puasa, tanpa mengurangi pahala yang diberi makan.
Bahkan aku rela mencari pekerjaan di luar, kalau nanti mendapatkan uang maka santri lain ku
masakkan lagi, begitu berulang-ulang. Sehingga aku seperti orang satu tapi memakai akal orang
banyak dalam menyerap ilmu.
Yang ku lakukan kedua, aku selalu berusaha mempunyai apapun peninggalan di majlis dzikir, atau
apapun yang dapat dipakai orang banyak, sehingga jika aku pergi sekalipun, maka aku tetap
mendapat bagian jika apa yang ku tinggalkan di pakai dzikir. Sehingga sekalipun aku sudah tak di
pesantren itu, maka aku tetap seperti orang yang selalu hadir.
Jadi waktuku tak aku sibukkan hanya melakukan dzikir, atau menjalankan amaliyah, tapi lebih
banyak berusaha melakukan sesuatu yang mempunyai nilai ganda.
Yang ketiga aku akan berusaha menyenangkan Kyaiku, apapun yang membuat kyaiku senang dan
ridho maka akan ku lakukan, karena ilmu itu dari guruku, jika guruku senang, dan ridho, maka
berbagai macam ilmu akan dengan senang hati diturunkan guruku kepadaku, dan guruku tak
merasa rugi atau enggan menurunkan ilmu itu, sekaligus jika ilmu itu diturunkan maka aku dengan
semangat menjalankannya, agar guruku melihat aku ini orang yang seperti orang yang diberi
pakaian lalu hanya dibuang sebagai kain usang. Tapi aku akan menunjukkan penghargaanku pada
ilmu itu, agar guruku merasa ridho pada ilmu yang diberikan.
Tak masalah bagiku waktuku habis ku pakai menyenangkan guru, sebab di pesantren itu waktunya
menimba, bukan waktunya mandi, waktunya menimba ilmu bukan waktunya memakai ilmu. Di
situlah penyerapan-penyerapan lebih yang ku peroleh. Karena cara aku mencari ilmu itu beda
dengan orang lain.
Memang kadang diriku akan direndahkan dan diremehkan oleh santri lain, santri lain merasa diriku
ini pelayannya, melayani mereka, dan dipandang sekilas seperti orang yang tak punya derajad, jika
seandainya semua tau apa yang ku peroleh, pasti berebutan ingin menempati posisiku, tapi
kebanyakan orang kan tidak berpikiran sejauh itu, yah tak apa-apalah direndahkan, bagiku yang
penting nantinya, aku memetik ilmu paling banyak lebih banyak seratus kali lipat dari santri lain.
Apalagi tawadhu’ dan keta’atan pada guru, aku sangat mengutamakan itu, bahkan lebih utama dari
santri manapun, sampai aku sendiri karena tawadhu’nya pada guru, maka tak pernah meminta
apapun dari guru, dan bahkan tak pernah sms atau telpon, takut guruku pas lagi tak mau diganggu
maka aku malah mengganggu, jadi selamanya tak pernah menghubungi guruku, sampai tak pernah
menyampaikan maksud hatiku pada guru, kecuali yang berhubungan dengan kepentingan guruku
atau jama’ah, tak pernah sekalipun berhubungan dengan keperluanku, yang ada di kamusku adalah
sami’na wa ato’na, mendengar dan menta’ati.
Sedang santri lain minta ini minta itu, maka aku malah tak pernah sekalipun minta apa-apa, aku tak
mau membebani guru, bagiku guru telah memberikan ilmu, maka aku tak pantas meminta yang lain.
Dan tak sekalipun aku mengeluhkan amalan, jika aku di beri amalan 1 maka akan ku amalkan 5 x,
sebagai bukti keseriusanku, dan tak sekalipun aku meminta amalan baru, sampai kyaiku memberi
amalan padaku.
Maka aku tak pernah butuh waktu lama di manapun aku mesantren, sebab cara mesantren yang
aku jalani tidak sama dengan cara yang dipakai orang lain.
Di Banten aku diminta kyai selama 9 bulan, dan selama sembilan bulan itu ku habiskan waktu untuk
memperbagus majlis, dan melakukan amaliyah yang telah ku sebutkan, dan selama sembilan bulan
berlalu dengan cepat.

Sang Kyai 
EPISODE: 73. KENA BATUNYA 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Aku sedang melakukan kerja sama dengan Mahmud, dia yang menanggung segala penerimaan
pembayaran usaha kami, dan aku yang menjalankan usaha, di awal-awalnya pembayaran yang dia
berikan lancar, tapi heran ini sudah sebulan berlalu tapi pembayaran tak kunjung dia berikan,
padahal secara perhitungan bagian yang ku terima 6 juta kadang ada dalam satu minggu, sebab
pendapatan memang tak pasti karena tergantung jalannya usaha yang ku jalankan. Aku mendatangi
Mahmud, dia orang kaya yang banyak usahanya, ada toko elektronik, ada penjualan sepeda motor,
juga usaha yang ku tak tau apa lagi. “Mas Mahmud, ini soal pembayaran bagian saya bagaimana
kok tidak ada ku trima pembayaran.” kataku ketika berhadapan dengan mas Mahmud. “Itu Ian untuk
bulan ini tak ada uang, semua uangnya habis untuk pembelian bahan.” jawab dia. “Lhoh bahan apa
lagi, kan aku yang mengerjakan, jadi melihat beli tidaknya bahan.” kataku heran dengan
pernyataannya. “Ya nyatanya uangnya sudah habis.” katanya ngotot. “Ya kalau begitu caranya, ya
saya yang rugi, mana ada bekerja tidak dibayar, mana ada orang mau.” kataku, karena sudah
merasa di akali. “Ya kenyataannya seperti itu, mau bagaimana lagi.” “Sudah kalau seperti itu, kita
hentikan saja kerja sama kita, sebab ini jelas merugikan saya, kalau sistimnya tidak saling
menguntungkan.” jelasku. “Ya kalau sampean ingin membatalkan ya sampean tidak mendapat
bagian apa-apa.” katanya. “Tak papa jika saya tidak dapat apapun, daripada nantinya kita lanjutkan
saya akan makin dirugikan.” kataku agak jengkel juga menghadapi orang seperti itu. Aku pun
pulang, tapi dua malam kemudian aku merasa aneh, rumahku seperti suntuk, sumpek, toko ku juga
sama sekali tak ada yang membeli, bahkan satu orang pun tak ada yang membeli, seperti toko tak
terlihat oleh orang yang lewat saja, dan serasa udara dalam rumah serasa suntuk. Ada apa
sebenarnya, ku coba meraga sukma, melihat apa sebenarnya yang terjadi, ternyata di gaib rumahku
seperti dikurung aura gelap sekali. Kelebihan meraga sukma itu bisa melacak ke masa yang lewat,
kita bisa menelusuri ke dunia masa yang lewat, tinggal meraga sukma ke waktu yang kita tuju, tapi
dengan cara awal berangkat, jadi tak bisa dilakukan setelah meraga sukma, tapi bisanya dilakukan
dengan tujuan waktu yang dituju sebelum meraga sukma. Aku segera kembali ke tubuh, dan mulai
lagi melacak siapa yang berbuat membuat rumahku dilingkupi aura hitam, segera sukmaku melesat
ke arah waktu dan tempat, dimana Mahmud dan istrinya sedang duduk di hadapan seorang dukun,
dan sedang mengerjai rumahku. Aku jadi tau, kenapa Mahmud tak mau membayar pembagian uang
kerja sama kami. Aku kembali lagi ke tubuhku. Dan besoknya meminta seseorang untuk
memperingatkan kepada Mahmud, supaya menarik kekuatan jahat yang dipakai untuk mengganggu
rumahku. Ee malah Mahmud marah-marah, dan malah menuduhku memakan uangnya, mencuri
uangnya. Aku berusaha sabar, tapi anehnya, setelah mahmud menjelek-jelekkanku, ada seorang
gila yang meminta rokok. Sebenarnya di dekat Mahmud ada banyak orang, tapi yang dimintai kok
kebetulan Mahmud, dan Mahmud tak memberi lalu orang gila itu marah dan memukul Mahmud,
dipukul sampai giginya lepas tiga. Aku tak perduli pada cerita orang yang ku suruh, soal orang gila
yang memukul Mahmud itu, aku meminta pada orang yang ku suruh memperingatkan Mahmud lagi,
agar menarik kekuatan jahat yang dikirimkan ke rumahku itu, sampai peringatan yang ku berikan
telah tiga kali. Lalu aku berinisiatif mengembalikan kekuatan jahat kepada pengirimnya. Malam itu
telah ku rencanakan untuk mengembalikan semua kekuatan jahat pada Mahmud. Maka aku duduk
bersila menghimpun semua dzikir, meminta pada sang pemberi kekuatan yaitu Alloh, lalu setelah
semuanya kekuatan terkumpul, bumi ku gedor, serasa pusaran kekuatan dasyat membuyarkan
kekuatan yang melingkupi rumahku, dan terdengar jerit “Ampuuun..! ampuuuun..” dari puluhan jin
yang dikirim ke rumahku. Segera ku lepas sukma, karena memburu, bicara dan menangkap jin
dengan badan wadak tanpa mediator amatlah sulit, sementara aku sendirian, aku melompat, dan
menghadang berbagai jin yang mencoba lari dari gebahanku, yang paling tinggi berbentuk raksasa
dan berbadan hitam ku hentikan, dia langsung menekuk tubuh sujud minta ampun, padahal
tanganku sudah ku isi cahaya dari ya latif, sehinga berwarna putih keperakan, jika ada yang
melawan, aku sudah siap meleburnya lumer menjadi cairan. Tapi ternyata tak ada yang melawan,
semua langsung bersimpuh takluk, aku melayang menunggu, semua terdiam. Ada tiga belas jin,
beberapa berbentuk cebol kecil, dengan telinga lancip dan dagu kecil serta tubuh katai, yang paling
aku perhatikan adalah yang bertubuh tinggi, mungkin tingginya ada lima meteran, tubuhnya hitam
legam, dan tak memakai pakaian sama sekali, tapi tubuhnya dipenuhi bulu. “Kalian tau kesalahan
kalian?” tanyaku ku buat kereng. “Ampuuun… ampun, kami hanya diperintah…!” kata jin yang
bertubuh besar, dan berbibir tebal. “Aku tau kau dan teman-temanmu hanya diperintah, maka dari
itu, aku ingin kalian kembali pada yang memerintah,” kataku. “Kami tak berani…” kata jin yang
bertubuh besar. “Hm… kalau begitu, kalian tau apa yang ada di tanganku ini? Jika ku hantamkan
kalian, apa yang terjadi,” kataku mengancam. “Ampuuun…!” kata semua serentak, dan bersujud-
sujud. “Bagaimana, apa kalian mau kembali ke pengirim kalian, atau kalian memilih lebur musnah
…” kataku sambil menambah konsentrasi lafadz ya latif ke tangan kananku, sehingga warna terang
keperakan makin menyala. “Baik, kami akan kembali kepada pengirim kami, lalu apa yang harus
kami lakukan?” kata jin yang bertubuh besar. “Kalian lakukan saja apa yang pernah diperintahkan
oleh pengirim kalian kepada kalian, untuk melakukan sesuatu hal buruk padaku, nah kalian sanggup
kan?” “Ya kami sanggup.” jawab mereka serempak. “Nah sekarang kalian boleh pergi.” kataku
sambil menyingkir. Dan semua jin kemudian beranjak pergi, akupun kembali pada raga yang ku
tinggalkan. Yang terjadi kemudian sungguh membuatku amat tercengang. Pertama yang terjadi
rumah Mahmud jadi angker, istri dan anaknya takut tinggal di rumah, sehingga minta pulang ke
rumah istrinya. Bahkan orang yang lewat di sekitar rumah Mahmud pun jadi takut lewat samping
rumah itu. Jika malam kadang terdengar suara seram, kadang terdengar tembok digedor-gedor,
berbagai paranormal sudah berulang kali dan berganti-ganti didatangkan untuk membersihkan
rumah itu, tapi ujung-ujungnya, kalau tidak pingsan ya lari kabur dari rumah itu. Entah bagaimana
prosesnya, Toko Elektronik nya Mahmud kesandung masalah, dan semua Elektronik disita oleh
pihak yang juga telah bekerja sama dengan Mahmud. Juga Dealer motor, juga kesandung masalah,
sampai kemudian ketahuan kalau Mahmud banyak menanggung hutang pada Bank. Dan rumah
yang pernah ditinggalinya ditawarkan mau dijual seratus lima puluh juta, tapi orang hanya mau
menawar seratus juta, beberapa hari kemudian akhirnya Mahmud mau menjual rumahnya seharga
seratus juta, tapi yang menawar hanya berani limapuluh juta, Mahmud tak mau, tapi beberapa hari
kemudian dia mau menjual rumahnya limapuluh juta, tapi yang menawar hanya mau duapuluh lima
juta, begitu terus terjadi, sampai akhirnya rumah terjual tiga juta, dan itupun setelah ada perjanjian
Mahmud akan merobohkan rumahnya sendiri. Dan bukan cuma sampai di situ, istri mahmud minta
cerai, dan anak-anaknya tak ada yang mau tinggal dengannya, Mahmud tinggal di bekas kandang
sapi tetangganya. Semua itu terjadi dalam masa cuma tiga bulan, aku membayangkan bagaimana
jika seandainya hal itu menimpa diriku dan keluargaku. Kadang aku sendiri merasa kasihan dengan
keadaan Mahmud, tapi seandainya tidak begitu pasti yang dia lakukan pada orang lain tak akan
berhenti, dan sampai pada diriku pasti orang sebelum diriku yang dikerjai Mahmud sudah banyak
korbannya, dan pas kebetulan dia ketemu batunya. Segala perjalanan apapun yang terjadi, maka itu
tak ada artinya jika kita tidak bisa mengambil sebagai pelajaran, menyerap kandungan hikmah apa
yang tersimpan di dalamnya. Sehingga segala keputusan dan apa yang seharusnya dilakukan
ketika menghadapi hal yang sama. Begitu juga bagi diriku sendiri, apapun yang dihadapi, kepanikan
sekali-kali bukan jalan keluar, ketenangan mengambil sikap, akan menghasilkan keputusan yang
terbaik. Jika kita menyandarkan diri pada Dzat yang paling kuat yaitu Alloh, maka kita akan menjadi
kuat. Dan jika kita menyandarkan pada selain Alloh, siapapun selain Alloh itu pasti mati, terhalang,
tak ada manusia atau apapun ciptaan Alloh itu sakti, dan punya kelebihan kecuali Alloh yang
memberi kelebihan, seperti burung yang terbang, atau ikan yang tahan di dalam air.

Sang Kyai 
EPISODE: 75. MENUJU DUNIA BARU 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Lalu apa yang harus saya lakukan mas?” tanya Tejo dengan wajah senang, dan bersemangat.
“Sekarang ambil air wudhu,” kataku.
“Oo baik-baik mas…” kata Tejo segera beranjak menuju kamar mandi.
Bagiku di manapun tempat, kalau kita bisa, maka berbuat baik, dan selalu berusaha berbuat baik,
belajar selalu mengikhlaskan segala perbuatan.
Sebab menurut hematku, jika amal baik itu menyandarkan pada amal baik diri sendiri, aku ragu jika
amalku bersih, suci dari penyakit, dan lolos bisa tembus langit tujuh, dan diterima oleh Alloh
mendapat ACC, kalau amalku itu akan pantas mendapat balasan, mungkin amalku baru sampai di
langit 1 atau 2, telak tertahan oleh malaikat penjaga pintu langit, karena aku yang penuh dosa dan
kotor, maka aku perlu amal yang dengan sisitim tanam modal, aku mengajak orang lain untuk
melakukan laku ibadah, dan dengan sendirinya aku akan mendapatkan bagian jika orang yang ku
ajak menjalankan ajakanku. Semakin banyak orang yang kita ajak, maka akan makin banyak pahala
yang kita peroleh, malah bagian kita pasti langsung kita terima utuh, entah ikhlas atau tak ikhlas
orang yang kita ajak dalam menjalankan ibadah, dan tentu saja tanpa mengurangi pahala orang
yang kita ajak.
Teori ini tak bedanya dengan seseorang yang mendirikan pabrik, misal pabrik pakaian, jika dia
menjalankan pabrik itu sendiri, maka bisa jadi 1 baju bisanya terjual 1 bulan ke depan, beli bahan
sendiri, diukur sendiri, dipotong sendiri, dijahit sendiri, dan dipasarkan sendiri. Maka akan lama
prosesnya, tapi jika dia mengajak banyak orang menjadi karyawannya, mengerjakan rancangannya,
dan ada yang mengukur, ada yang tukang memotong, ada yang tukang menjahit, ada yang bagian
pemasaran, bisa dipastikan pabrik itu akan maju dan banyak omsetnya.
Nah itulah yang selalu ku lakukan, membangun perusahaan, mempunyai banyak karyawan, yang
akan mengamalkan motif yang ku arahkan, jika ingin melesat cepat dalam kesuksesan, maka hal itu
bisa diterapkan siapa saja, dan rasakan buah manisnya amal.
Jika mengandalkan amal perbuatan sendiri, maka kita akan lama sekali berkembang, dan amal kita
mungkin bertahun-tahun baru menuai hasil.
“Sudah mas, saya sudah wudhu,” kata Tejo.
“Coba duduk membelakangiku.” kataku.
Tejo pun duduk membelakangiku, lalu ku tempelkan tangan di punggungnya, dan ku salurkan hawa
murni ku padukan dengan do’a dan dzikir, semua kekuatan yang ada di tubuhnya ku sedot semua,
lalu ku buang.
“Wah rasanya ada yang keluar dari tubuhku mas…” kata Tejo.
“Wah sedang pada ngapain ini?” tanya Arif Rahman yang tiba-tiba muncul.
“Ini mas lagi membereskan masalahnya kang Tejo.” jelasku.
“Gimana mas, apa bisa dimulai membersihkan penampungan?” tanya Arif.
“Udah dari sini juga bisa, biar ku tariknya dan kumpulkan di sini, nanti ku omonginnya biar pada
pergi.” kataku, yang saat itu duduk di tempat duduk depan penampungan.
“Harus dengan sarat apa mas?” tanya Arif.
“Nggak pakai sarat apa-apa, cuma supaya jangan ribut, biar saya konsentrasi.”
“Ooo silahkan-silahkan mas…” kata mereka berdua.
Aku segera duduk bersila dan berkonsentrasi, menarik semua jin yang ada di dalam rumah, hawa
gelap menggulung, makin pekat, dan rasa merinding mulai menjalari tubuh, pertanda mereka yang
tertarik mulai mendekat.
Ku rasakan ada beberapa jin berkumpul kebingungan di depanku, lalu ku beritahu semua, agar
meninggalkan tempat penampungan itu.
“Mereka semua di sini, di depan sini.” kataku pada Arif dan Tejo.
“Iya mas kami merinding, tapi ndak melihat.” kata Tejo.
“Coba kamu berjalan ke depan.” kataku pada Tejo, dan Tejo pun berjalan, lalu jatuh menggrasuk
kayak ada yang menghalangi kakinya.
“Waduh…!” kata Tejo yang segera ketakutan.
Aku katakan pada semua jin yang ada enam jin itu untuk keluar dari penampungan, ku persilahkan
mau menempati pohon atau apapun, asal jangan mengganggu penampungan, dan semua mau
pindah, tanpa syarat.
Setelah semua beres, kami mengobrol sampai malam.
——————————————
Paginya setelah sholat subuh berjama’ah dengan Arif dan Tejo, kami sarapan pagi bareng.
“Alhamdulillah badan saya enak banget mas, semalam tidur juga enak, bangun rasanya enteng,
biasanya saya kalau mau tidur resah banget, biasanya bolak-balik ada dua jam an baru bisa tidur,
alhamdulillah sekarang enak banget.” kata Tejo yang wajahnya kelihatan sudah tidak ada aura
hitamnya.
“Ya syukur kalau begitu, jangan lupa sholat lima waktunya dijaga, soalnya itu juga menjadi modal
rizqinya akan lancar berkah atau akan susah, sebab orang yang rajin sholat akan berkah rizqinya.”
kataku.
“Iya mas, do’akan saya, biar bisa hidup dengan islami.” kata Tejo.
“Ya jangan do’a-do’a aja, seseorang itu harus punya keinginan kuat untuk merubah jalan hidupnya,
menempuh rel jalan yang diridhoi Alloh, orang tak ada ceritanya bisa bahagia jika tidak menempuh
jalan yang diridhoi Alloh, diterima atau tak diterima kita ini ciptaan Alloh, maka jika ingin bahagia
maka tempuhlah jalan yang sudah ditunjukkan Alloh.” jelasku dengan perlahan.
“Maaf mas, bisa kami minta diberi pegangan dzikir, untuk kami istiqomahkan, agar kami bisa
membiasakan menggantungkan diri pada Alloh.” kata Arif, yang memberesi piring kami.
“Ada kertas gak biar ku tuliskan amalan, ingat diistiqomahkan,” kataku yang segera diambilkan
kertas oleh Arif Rahman.
“Oh ya mas, nanti ku anter pakai motor untuk ikut medical.” kata Arif sambil menyerahkan pena dan
kertas. Segera ku tulis amalan.
“Nanti setelah medical balik ke sini atau ke penampungan pusat.” tanyaku sambil nulis amalan.
“Ke penampungan pusat aja mas, soalnya pak Daud sama pak Amir ingin juga dilihat rumahnya.”
jelas Arif.
——————————————
Tempat medical suasana ramai sekali, tapi kebanyakan TKW, aku ditinggal oleh Arif setelah
didaftarkan dan menerima nomer urut, tes urin, ditimbang, diambil darah sudah, tinggal difoto sinar
x, sama pengecekan badan, itu saja sudah seharian, setelah selesai sholat asar aku ke warung
tegal, di dalam ada dua orang lelaki.
“Makan bu…” ku bilang pada penjaga warung, lalu memilih lauk, dan mulai makan.
“Mari pak…” kataku menawari orang yang juga makan di dalam warung.
“Silahkan…” jawab mereka berdua.
“Bapak ini juga ikut medical?” tanyaku pada dua orang yang keduanya sudah umur, ku perkirakan
yang satu berumur 50 an tahun, yang satu berumur 45 tahun.
“Iya…” kata mereka berdua hampir serempak.
“Mas ini juga ikut medical?” tanya yang tua.
“Iya pak.. la bapak ini mau kerja di mana?” tanyaku.
“Kerja di Saudi, di pabrik semen.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga di pabrik semen, trus bapak ini dari mana asalnya?” tanyaku.
“Kami dari Tuban.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga dari Tuban, Tubannya mana?” tanyaku.
“Wah pasti ini anaknya pak Mustofa…, aku sudah mengira,” kata yang tua.
“Iya aku anak pak Mustofa, wah bapak kok bisa tau, bapak ini dari mana?” tanyaku makin heran.
“Aku ini iparnya mak Mudi, yang rumahnya di belakang rumahmu.” jelas orang yang tua.
“Wah aku kurang paham… gak tau kalau kang Mudi punya ipar yang sudah tua kayak sampean,
hahah.” kataku bercanda.
Kami segera akrab dan bicara ngalor ngidul, karena ketemu orang sedesa. Kami jadi bareng
medical, dan bareng pulang ke tempat penampungan bersama.
——————————————
Besoknya kabar medical sudah bisa diterima, tapi aku belum bisa dibilang fit, karena ternyata foto
sinar x ku tidak ada kelihatan gambarnya, jadi harus difoto ulang, tapi setelah difoto ulang, tetap saja
tak bisa, tak ada bentuk gambarannya sama sekali.
Sebenarnya aku juga tau, khodam yang ada di dadaku berusaha menutup dadaku, karena memang
aku punya penyakit asma, yang sudah lumayan akut, karena sering mengecat dengan kompresor
jadi plak cat menempel di jalur pernapasanku, apalagi kalau nyemprot vernis, rasanya jalur napasku
lengket. Wah bisa gak jadi berangkat ke Saudi. Aku akhirnya dirujuk ke tempat medical lain. Dan
Alhamdulillah setelah otot-ototan karena foto sinar x ndak ada gambarnya juga, akhirnya diluluskan.
Karena wira-wiri, terpaksa waktuku habis, sehingga masa terbang dan jeda istirahat sangat pendek.
Menunggu panggilan, aku terbang pada pemberangkatan pertama rombonganku yang ada 30an
orang, disuruh siap-siap besok akan ke Bandara.
Akupun menyiapkan semua barang yang akan kubawa, malam sudah tak bisa tidur karena
membayangkan di pesawat, tapi esoknya waktu di absen, namaku tak tercantum, aku jadi bingung.
Tapi ya udahlah.
Tapi malam jam 10 malam, ada kabar pesawat terbakar satu sayapnya, dan terpaksa turun di
bandara Singapura, dan semua penumpang diinapkan di hotel.
Wah ternyata ada maksudnya juga Alloh menahanku tak ikut terbang, baru paginya aku mendapat
panggilan bersama TKI yang tersisa untuk terbang.
Ketika memasuki bandara Soekarno Hatta Cengkareng, rasanya seperti mimpi, setelah boking tiket,
maka kami menunggu di ruang tunggu, dan jam 3 siang pesawat diberangkatkan.
Semoga selamat sampai tujuan. Dan pesawat tinggal landas, menuju dunia baru yang tak ku
ketahui bagaimana nasibku di sana, tapi Alloh selalu di hatiku, sebaik-baik penjagaku.

Sang Kyai 
EPISODE: 74. NASIB TKI: TKW DAN TKL 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Kakak iparku Abdullah menelpon. “Ada kesibukan apa di rumah?” tanya Abdullah. “Ya nganggur,
ndak ada kesibukan apa-apa.” jawabku. “Bagaimana kalau bekerja di Saudi Arabia? ya itung-itung
bisa hajian,” kata dia. “Ya ndak papa, karena kalau di rumah terus kok kayaknya gak banyak
pengalaman, lalu bagaimana sistimnya?” tanyaku yang memang awam soal kerja di Saudi. “Besok
datang saja ke PT, karena besok ada manager dari sana yang langsung melakukan survei.” jelas
Abdullah. “Baik nanti malam aku berangkat dengan travel.” Malamnya aku berangkat ke PJTKI
untuk ikut wawancara. Sampai di PJTKI aku ketemu Macan, yang menjadi bapak asuh penjaga
semua TKI. “Ngapain ke sini?” tanya Macan. “Bekerja di Saudi.” jawabku. “Hahaha, kamu mau kerja
di Saudi?” “Apanya yang salah, kodok itu harus keluar dari tempurung Can, biar tak mengira kalau
dunia itu hanya dalam tempurung.” kataku berdalih membela kepentinganku. “Ya kau memang
paling bisa membuat alasan.” “Tapi kenyataannya kan kayak gitu…, kalau mau ikut jangan malu-
malu..” “Byuh aku ini kalau pisah sama istri seminggu saja nekak nekuk gak karuan, kalau setahun
apa ndak nanti pulang dari Saudi ndak dalam keadaan setres?” “Ya kalau gitu jangan ikut, daripada
kamu setres, aku juga yang ngurus…” Di PJTKI aku berkenalan dengan seorang TKI suami istri
yang sudah lama bolak-balik kerja di Saudi, namanya Najib. Dia dan istrinya ketemunya juga di
Saudi, dan pulang ke Indonesia kemudian menikah. Najib dari Ciamis dan istrinya orang Makasar.
“Mas ini ya yang katanya adiknya pak Abdullah..?” tanya Najib. “Iya… ada apa mas?” “Maaf,
kenalkan dulu mas, namaku Najib,” kata Najib memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya.
“Namaku Febrian,” ku jabat tangannya. “Lagi main ke PJTKI ya mas?” tanya dia. “Oo tidak, aku mau
ikut wawancara kerja di Saudi.” “Wah kerja di sana berat mas.” jelasnya, “Saya ini sudah 6 kali
bolak-balik ke Saudi, jadi tiap dua tahun pulang, jadi di sana sudah 12 tahun mas.” “Wah lama juga
ya. Berarti sudah banyak dong uangnya.” “Uangnya habis di jalan mas.” “Lho kok bisa gitu?” “Ya
uang dari sana itu kayak ndak berkah mas, mudah habis, tak tau kenapa kok gitu, ya uang kayak
menguap begitu aja.” “Trus kamu sama istri kerja di sana ini kerjanya apa?” “Saya jadi sopir, dan
istriku jadi pembantu rumah tangga mas, ini menunggu dapat Visa yang butuh suami-istri dalam
satu majikan, la mas sendiri kerja apa?” “Aku juga belum tau kerjanya apa, dan di mana, katanya
denger-denger kerja di pabrik semen, kurang tau pasnya.” jelasku yang memang kurang tau. Tiba-
tiba Najib mengeluarkan kertas dari tasnya, “Maaf mas, ini kertas perjanjian kerja saya, saya juga
belum tau ini majikannya baik atau tidak, entah bagaimana orangnya, saya minta mas mau meniup
kertas ini, biar saya mendapat majikan yang baik.” kata Najib menyerahkan kertas perjanjian kerja
padaku. “Maksudnya niup itu bagaimana?” tanyaku tak mengerti. “Istriku tau dari banyak TKW,
kalau mas sering dimintai do’a kalau ada TKW mau berangkat ke Saudi, supaya diberi keselamatan,
mendapat majikan yang baik, dan pulang dengan selamat.” “Ooo itu, iya sih memang banyak yang
minta ke rumah, dan memang kebetulan juga kabarnya selalu mendapat majikan yang baik.”
“Makanya saya minta ini ditiup mas…, biar saya juga dapat majikan yang baik.” jelasnya. Kertas ku
ambil lalu ku tiup, dan sebentar kemudian aku telah berpisah dengan Najib, karena dia dipanggil,
sebab pesawat keberangkatannya jamnya sudah sampai. Malam pertama, setelah sholat isya’ aku
memilih nongkrong di pos penjagaan, tidak kumpul dengan para TKL, tempat TKL ada di
penampungan bagian depan, di samping ada penampungan lain, di daerah Cipinang, sementara
penampungan belakang diisi para TKW, jadi ingat waktu di pondok ramai wanita, kalau ini ingin
merubah jalan hidupnya, merubah ekonominya, sementara di pesantren para santri ingin mendapat
ilmu. Tiba-tiba seorang pegawai kantor menemuiku dengan tergopoh-gopoh. “Mas… mas Ian ada
TKW yang yang kerasukan…!” kata petugas itu. “Di mana?” tanyaku. “Ya di penampungan putri.”
jawab dia sambil tangannya menunjuk penampungan putri. “La si Macan kemana?” tanyaku. “Mas
Macan keluar.., tolong mas kasihan.” “Aku pun ke dalam penampungan putri, diiringi satpam dan
petugas kantor yang jaga.” Masuk ke dalam, di dalam ramai sekali perempuan dengan berbagai
macam, ribut mengerungi yang kerasukan. Tapi baru sekitar jarakku dengan yang kerasukan masih
lima meteran, yang kerasukan sudah tersadar. “Permisi-permisi, tolong dikasih jalan, biar yang
kerasukan ku lihat.” kataku meminta agar perempuan yang mengerubuti menyingkir, bau khas
perempuan amat pekat. Ku lihat yang kerasukan, ku dekati, sudah tak ku rasakan getaran jin, ku
pagar tubuhnya. “Sudah-sudah ndak papa, ayo dibawa ke kamar.” kataku, kepada yang
mengerubuti, dan tubuh perempuan itupun dibawa masuk ke kamar. Sementara aku kembali ke
depan, ke pos satpam, ngobrol sama yang lain yang ikut nongkrong di pos. “Apa sering terjadi
kerasukan kayak gitu? ” tanyaku pada satpam. “Sering juga mas…, ” jawab satpam. “Harusnya
Macan memagar tempat ini, jangan dibiarkan angker, soalnya ini kan tempat kumpul para orang
yang punya latar belakang beda-beda, ada yang setres, ada yang punya kasus di rumah, jadi akan
amat mudah kerasukan.” jelasku. “Mas mau besok membersihkan tempat penampungan yang
satunya, soalnya di sana juga banyak yang menampakkan diri hantunya.” “Ndak papa, nanti
dibersihkan, tentunya kalau aku ada waktu.” Malam makin larut, sudah sekitar jam 12 malam, aku
memilih sholat isya’ dan kemudian dzikir di dalam ruang tidur pos satpam, yang terletak di belakang
pos penjagaan. Hujan rintik-rintik, baru setengah jam duduk dzikir, pintu gerbang penampungan ada
yang mengetuk, aku tetap dalam dzikirku, tak tau tamu mana yang masuk, baru seperempat jam
tamu masuk, tiba-tiba petugas dari dalam mendatangiku. “Mas-mas tolong mas, ada TKW
ngamuk…” kata petugas itu. “Lhoh apa yang kerasukan tadi?” tanyaku. “Bukan mas, ini yang baru
datang tadi…” kata satpam yang menyertai. “Ngamuknya kenapa?” tanyaku. Wah kok malah aku
yang ngurusi TKW… “Dia di dalam mas, sedang dipegangi orang banyak, soalnya kepalanya
dibentur-benturkan ke tembok, sampai berdarah-darah, katanya mau bunuh diri.” jelas satpam. Aku
segera beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dari dalam ada perempuan yang berlari, dikejar sama TKW
lain. Semua segera berusaha menangkap, seperti mau menangkap kambing kurban yang lepas,
karena ogah disembelih, aku melihat saja, sampai TKW itu ditangkap. “Coba bawa ke pos satpam.”
kataku. Lalu TKW itu pun dibawa ke pos satpam, dan tetap berusaha berontak. Ku tempelkan
tanganku ke kepalanya, dan ku salurkan hawa penenang ke pikirannya. Perlahan perempuan muda
itu mulai tenang. Lalu nangis sesenggukan. “Ya Alloh berdosanya aku, aku perempuan kotor,
bagaimana suamiku, bagaimana dia mau menerima aku, ya Alloh…!” kata perempuan itu meracau,
nampak di jidatnya berdarah. Mungkin jidatnya itu yang dibentur-benturkan ke tembok. “Aku mati
saja…, mati saja.. huuu..huu..” kata perempuan itu berulang-ulang, di antara tangisnya sampai
tubuhnya terguncang. “Ada apa to mbak, ada masalah bisa diselesaikan, apa mati itu bisa
menyelesaikan masalah? Apalagi kalau mati bunuh diri, bisa jadi di sana akan disiksa sampai hari
kiamat, apapun masalah itu, maka ada jalan menyelesaikannya.” hiburku masih tetap menempelkan
tanganku ke kepalanya, agar tenaga prana menenangkan pikirannya dan memang perlahan tapi
pasti dia mulai berhenti menangis. “Kau tak ikut merasakan yang aku alami di Saudi mas… jadi tak
merasa sedih.” katanya yang mulai tenang, sementara beberapa lelaki di pos satpam tetap berjaga,
takutnya perempuan itu kabur. “Ya aku mungkin tak ikut mengalami, tapi kalau mbak mungkin punya
pengalaman pahit dan tak tahan memendamnya sendiri, bisa diceritakan padaku, jika aku sanggup
membantu mencarikan solusinya, maka akan ku bantu dengan sekuat tenagaku.” kataku, dengan
nada datar takut mengejutkan kejiwaannya yang terguncang, pasti tak ringan yang dialaminya di
sana. “Aku ini baru berangkat ke Saudi sebulan kemaren mas, dan sampai di majikanku, dan mas
tau aku di sana cuma dijadikan pelampiasan nafsu digilir tiap hari oleh, ayah, anak, paman dan
keluarga mereka, yang aku tak tau, aku selalu disekap, dipegangi, diperkosa ramai-ramai, huuu…
huuu… betapa malangnya nasibku… cabutlah nyawaku ya Alloh.. bagaimana dengan suamiku,
dengan kekotoranku ini…” Aku ikut menitikkan air mata, tak terbayangkan akan yang dialami oleh
perempuan di depanku, wajar bila jiwanya terguncang. “Ya tenangkan diri mbak, mbak mengalami
itu bukan karena keinginan sendiri, jadi mbak orang yang didzolimi, bukan orang yang dengan
sengaja melakukan perbuata keji, lalu bagaimana mbak bisa pulang?” “Aku kabur mas, kabur
melewati jendela, ini lihat tanganku bekas diikat.” katanya sambil menunjukkan tangannya, dan
memang ada bekas luka ikatan. “Lalu sampai di Indo?” “Aku kabur ke kedutaan mas, dan
dipulangkan.” jelasnya. “Sudah sekarang tenangkan diri, yang menimpa nanti diurus.” kataku
menenangkan. “Aku ingin ganti baju mas.” katanya, memang tadi bajunya kotor karena lari-larian
jatuh bangun. Seorang TKW segera menyerahkan tas berisi baju pada perempuan itu, dan
perempuan itu diantar ke kamar mandi yang ada di belakang pos satpam. Aku masuk lagi ke dalam
kamar satpam. Sepuluh menit berlalu, seperempat jam berlalu, di luar adem ayem saja. Aku keluar
kamar, dan ku lihat satpam juga petugas PJTKI masih ngobrol. “Lhoh mana perempuan tadi?”
tanyaku. “Ya masih di kamar mandi mas.” jawab satpam. “Lhoh, gimana to, yaaa kabur pasti, ”
kataku memperingatkan. Kamar mandi segera digedor, tapi tak ada sahutan. “Udah didobrak saja.”
kataku. Kamar mandi pun didobrak, dan dalam keadaan kosong, nampak jejak di dinding, pertanda
perempuan itu telah kabur. Aku hanya geleng-geleng kepala, tak taulah, apa yang terjadi, padahal
sudah jam 2 dini hari. Paginya wawancara dengan manager pabrik semen berjalan lancar, aku dites
membuat aneka motif aliran kaligrafi dan aku dinyatakan lulus, aku tinggal ikut medical, BAP, dan
menunggu terbang. “Ayo ke penampungan lama mas.” kata seorang pegawai PJTKI. “Jadi mau
dipindah di penampungan baru ya?” tanyaku. “Wah mas Ian lupa, kan mas mau bersihkan tempat
itu dari gangguan jin?” kata pegawai yang bernama Arif Rahman. “Di penampungan itu kosong kok
mas, ndak ada penghuninya, cuma ada sopir suami istri, juga yang mau berangkat ke Saudi.” jelas
Arif rahman. “Oo kirain mau dipindah…” “Mari mas, berangkatnya ku bonceng motor.” ajak Arif.
Akupun dibonceng Arif, meliak liuk di antara mobil yang terjebak kemacetan Jakarta, kadang harus
masuk gang sempit, dan becek, juga menyerempet tong sampah, memang begitulah Jakarta,
kebersihannya dan tak macetnya terlanjur menempel di lidah para gubernur dan walikotanya,
sehingga mengurainya harus mengelupasnya dari lidah mereka. Dua jam perjalanan akhirnya
sampai, mungkin sebenarnya jika ditarik garis lurus, dari awal perjalanan yang ku tempuh dengan
tujuan yang ku tuju, paling berjarak 1 km, tapi jadi jauh, karena kemacetan. Sampai di
penampungan sudah sore, memang di penampungan ada penghuni suami istri saja, selain penjaga
penampungan, karena penampungan ini penampungan lama, yang sudah tidak dipakai lagi. Sedang
TKL yang bertemu denganku bernama Tejo, aku tak tau nama istrinya. “Katanya mau
membersihkan penampungan ini dari pengaruh jahat ya mas?” tanya Tejo yang duduk bicara
denganku setelah magrib. “Iya..” “Wah kebetulan.” kata Tejo. “Kebetulan kenapa?” “Ya kebetulan
ketemu orang pinter.” “Wah orang pinter mana? Ketemu di mana?” tanyaku heran. “La mas ini kan
orang pinternya…” jelas dia sambil tertawa, Tejo orangnya kurus kekar, ku lihat dia biasa bekerja
keras, dan bicaranya juga ceplas ceplos. “Wah saya ndak punya kelebihan apa-apa, jika ada ilmu itu
juga anugerah dari Alloh, saya cuma dititipi, jadi bisa kapan saja diambil.” jelasku. “Maaf mas, mbok
saya ini dilihat kenapa,” “Kenapa apanya?” “Begini mas… sejak saya remaja, saya ini sudah bekerja
sebagai sopir truk kontainer, awalnya sih saya kenek, tapi lama-lama saya belajar dan bisa,
kemudian saya jadi sopir, sudah sekian tahun, sampai saya punya istri, kok ndak ada sama sekali
rizqi yang nyantol, saya malah miskin ndak punya apa-apa, padahal sekali kirim barang, uang 4
ratus ribuan pasti saya dapat, tapi kok ya seperti hilang gak tau kemana, trus kalau sama istri saya
selalu bertengkar, kalau sudah bertengkar, apa-apa bisa saya banting, sepertinya saya merasa
hilang kendali.” jelas Tejo panjang lebar. Ku raba tubuhnya indraku… “Sampean habis bacok orang
ya di kampung?” tanyaku. “Kok sampean tau?” tanya Tejo balik. “Iya apa enggak?” tanyaku. “Iya
mas… ceritanya begini, di kampung ada maling yang dikejar-kejar orang kampung, waktu itu aku
lagi di sawah, ee kok malingnya lari ke arahku, mau ku tangkap ngelawan, ya terpaksa ku bacok
kakinya.” cerita Tejo. “Kamu pernah Nyupang di Laut Selatan ya?” tanyaku lagi. “Kok tau juga
mas…” “La iya apa ndak?” “Iya mas…, tapi awalnya aku cuma nganter orang, yang mau nyupang
ngambil pesugihan di pantai laut selatan, ceritanya begini.” kata Tejo mulai berccerita. “Saat itu aku
karena sopir travel, aku mendapat rombongan penumpang mengantar rombongan orang yang mau
mengambil pesugihan ke laut selatan, ya aku awalnya ndak tau, ku kira orang yang mau rekreasi,
aku mengantar mereka, sampai di pantai kok aku diminta mengantar ke juru kuncinya, dan aku
antar, ya aku pengen tau juga apa sebenarnya yang mereka lakukan, maka sekalian aku ikuti,
sampai kemudian semua pada melakukan sesaji di laut selatan, di Parangtritis, malam-malam, aku
juga ikut, nah dalam melakukan sesaji dan persembahan itulah, dari laut muncul ular besar sekali.”
cerita Tejo. “Kamu melihat ularnya.?” tanyaku. “Ya melihat mas., ular besar sekali dan anehnya
wajahnya wajah nenek-nenek, dia menggigit sesuatu benda, lalu benda itu dilepas, ternyata berupa
bambu yang diikat, banyaknya sesuai banyaknya kami yang hadir, lalu sama juru kunci bambunya
diterima dan dibagikan pada kami, lalu kami disuruh berjanji untuk mempersembahkan bayi sebagai
ganti permintaan kami jika sudah berhasil, ya aku ndak mau mas, tapi bambu tanda permintaan
kami sudah diberikan, setelah ular besar berkepala nenek-nenek itu memberi pesan kepada kami,
maka ular itu masuk lagi ke dalam air, dan kami semua pulang, dan bambu milikku ku buang, ya
walaupun aku bukan orang yang beragama, tapi aku ndak mau masuk neraka, mempersembahkan
bayi, lalu sampai rumah bambu sebesar jari itu ku buang, nah sejak saat itu hidupku amat susah,
keluarga selalu cekcok, malah aku seperti sering hilang kendali, juga istriku hilang kendali, rizqiku
juga sama sulit, sementara orang yang ku antar itu semuanya menjadi orang yang kaya raya.” Tejo
mengakhiri kisahnya. “Kamu pernah menjalankan amalan kejawen?” tanyaku lagi. “Waduh mas kok
tau semua to…” “Ya dijawab, iya apa enggak.” kataku. “Iya mas, ceritanya begini mas, aku ini kan
sopir, sopir kontainer, mas tau sendiri, kontainer itu membawa barang kadang berharga, la tak
jarang kami itu dihadang bajing loncat, belum lagi kami sering dimintai polisi-polisi nakal di jalan,
sehingga pendapatanku sering tinggal seratus ribu, karena diminta polisi-polisi itu, kami kan juga
punya keluarga, anak yang perlu dihidupi, pada suatu hari temanku bilang biar tidak dihadang bajing
loncat, atau polisi nakal, maka aku disarankan meminta keselamatan pada seorang yang linuweh di
daerah dekat Alas Roban, maka aku diantar ke sana, dan aku diberi isi dan amalan, lalu ku
amalkan, memang dalam perjalanan kami selalu aman, teman-teman yang lain dihadang bajing
loncat, tapi aku tak pernah dihadang, juga tak pernah dimintai polisi-polisi nakal, sehingga uangku
utuh.” “Hm gitu…” “Iya mas itu kisahnya.” “Kalau ilmu kejawen, jin yang dari pantai selatan itu semua
ku ambil dari tubuhmu, dan nanti kamu tobat, terus menjalankan hidup yang islami mau?” tanyaku.
“Mau-mau mas, asal hidupku tentram… Alhamdulillah aku dipertemukan dengan mas, Alloh telah
mengirimkan mas padaku.”

Sang Kyai 
EPISODE: 76. AWAL KISAH DI SAUDI ARABIA 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Sampai Bandara Riad rombonganku transit ke penerbangan domestik, menuju Jijan. Sampai di
bandara Jijan, turun dari pesawat, panas langsung menampar wajah, keluar dari bandara sudah ada
mobil penjemput dari Perusahaan, dan kami diantar ke perusahaan, sampai di perusahaan semen
kami ditempatkan di Barak yang ada 60 kamar, setiap kamar ditempati satu orang, tapi karena kami
baru datang, dan rencana sebagian akan dioper ke pabrik baru, maka satu kamar diisi dua orang,
aku dengan orang yang tak ku kanal, walau sama-sama dari Indonesia.
Badan lelah, tapi pagi jam sepuluh kami datang, kami harus cepat menghadap ke kantor pabrik,
untuk mengurus administrasi, dan besok langsung kerja, langsung mendapat pakaian seragam.
Urusan administrasi selesai, kami tetap harus masuk kerja, walau belum kerja, hanya berkenalan
dengan para pekerja lain. Dan bagusnya berarti langsung di catat gaji.
Jam 4 sore pulang kerja, kamis – jum’at libur, jika masuk maka dihitung overtime.
Malam, aku memilih tidur sore, sebab badan rasanya lelah setelah perjalanan jauh belum istirahat.
Di malam aku tidur lampu ku matikan, dan lampu dari kamar mandi menyorot. Temanku sekamarku
tidur di ranjang lain di sampingku, karena memang ada dua ranjang dalam kamar.
Di saat aku tidur, aku merasa ada yang mengawasi di atasku, aku membuka mata, dan aku kaget,
karena ada kepala dengan pengikat kepala putih, dan berambut panjang, tengah melayang di
atasku.
“He… siapa kau…!” dalam kagetku.
Dia juga kaget, mungkin kaget karena aku bisa melihat dia, dia langung melesat kabur dan
menabrak pintu.. “jedak…!” dan kepalanya mental, menengokku yang bangun dengan pandangan
panik dan takut, lalu melesat lagi menembus pintu.
Aku membetulkan selimutku, karena kamar serasa dingin sebab ber AC, heran juga baru pertama
sampai sudah ada arwah orang mati penasaran yang mendatangiku. Sepertinya akan ada kejadian
yang lain yang akan menjadi kisah panjangku di Saudi Arabia.
Hari kedua, ternyata pabrik ini sangat besar, mungkin luasnya di Indonesia, seluas satu kecamatan
lebih, dan banyak dikelilingi gunung, yang kerja di bagian peledakan gunung untuk diambil batunya
harus diantar jemput bus, karena jauhnya, dalam hitungan ini hari pertama aku bekerja, asalnya
salah aku dikirim bekerja sebagai cleaning servis tapi kemudian dipindah ke tempat kerjaku sendiri
sebagai penulis kaligrafi.
Aku punya ruangan sendiri, berupa gudang, ah pokoknya dijalani aja, dan tetangga kerjaku servise
jok kursi, ada juga orang Indonesianya, aku kaget ketika melihat orang Indo yang kerja di sebelahku,
karena aku sudah pernah secara tak sengaja menolong orang itu.
Memang garis taqdir itu melintang-lintang kadang kita tanpa sadar bertemu dengan garis taqdir
orang lain.
Ketika menolong orang ini yang bernama Sarno, saat itu tak sengaja aku meraga sukma, dan
terseret pada tarikan kekuatan, sampai ke suatu daerah Malang, tepatnya Gondang Legi, aku
melihat Sarno yang waktu itu belum ku kenal, Sarno memasuki sebuah rumah mewah, dan di dalam
rumah mewah itu ada dua orang perempuan ibu dan anak, yang sedang membicarakan kalau Sarno
akan dikorbankan kepada Nyai Blorong, aku heran kok aku ketarik ke rumah itu,
“Ah aku tak mau bu… wong Sarno itu orangnya jelek.” kata si anak gadisnya.
“Udah jangan mikir soal itu, yang penting kamu pura-pura saja nikah sama dia, nanti kan dia cuma
dijadikan tumbal.” jelas ibunya.
Aku heran mendengar percakapan mereka. Dan Sarno masuk lalu aku keluar melayang ke suatu
tempat, tempat itu adalah warung nasi, yang di depannya ada pohon mangga, aku berdiri di atas
pohon mangga, dan melihat ke warung tak mengerti. Di dalam warung ada dua orang gadis sedang
makan nasi sambil ngobrol.
“Apa kamu suka sama kang Sarno?” tanya gadis satunya.
“Iya…, aku terlanjur berbuat dengannya, jika aku tak nikah dengannya aku akan dukunkan dia,”
jawab perempuan satunya.
Aku heran kok balik-balik Sarno. Tiba-tiba aku terseret lagi ke sebuah rumah, di dekat tikungan
nampak Sarno berlarian, menggedor-gedor rumah, aku masih kebingungan karena tarikan yang tak
bisa ku lawan. Aku ikut masuk ke rumah, di mana seorang lelaki setengah tua membukakan pintu
dan Sarno diajak masuk ke dalam, dan di dalam ku lihat berbagai sesaji.
“Musuhmu sekarang No..,” kata lelaki setengah tua itu.
“Iya saya tau mbah kyai.” jawab Sarno. “Makanya saya minta tolong ke mbah kyai.”
“Aku mau saja menolongmu no…, tapi taruhannya nyawa, apa kamu mau menjaga dan menikahi
anakku.” kata orang setengah tua itu, “Soalnya bisa saja aku kalah dan taruhannya nyawaku.”
“Iya mbah, saya akan berusaha.” kata Sarno.
Tiba-tiba di luar terdengar suara mendesis, dan suara kook.. kok.., aku segera melesat keluar, dan
melayang di udara,
“Sudah No, kamu lari dari pintu belakang.” kata lelaki setengah tua, dan dia sendiri keluar rumah
sambil membawa keris.
Sementara di luar rumah, seekor ular sebesar manusia, tengah melata di tanah, anehnya tubuhnya
cuma sepanjang tubuh manusia, dan gerak geriknya seperti sudah berjalan, dan dia berhadapan
dengan lelaki setengah tua itu, aku melayang di atas pohon tebu, tegang juga karena ingin tau apa
yang akan terjadi, ular itu mulutnya yang besar tiba-tiba memakan tanah, dikunyahnya dan
disemburkan, berupa bola api yang meluncur mengarah pada lelaki tua yang memegang keris.
Lelaki itu melompat, dan bola api lewat, tapi ular itu bertubi-tubi menyerang dengan api, maka ada
satu dua bola api menghantam lelaki tua itu sehingga tubuhnya terjengkang.
Ular sebesar manusia itu yang di tengah kepalanya ada satu tanduk di antara rambutnya yang
kemerahan, mau mendekati si orang tua yang mungkin sudah mati, aku segera melesat, dan ku
hantamkan kakiku ke kepalanya, ular itu bergulingan menjerit, suaranya suara perempuan, dan dia
mencorong matanya menatapku heran, lalu mulutnya memakan tanah dan tanah disemburkan ke
arahku berbentuk bola, aku melompat dan pohon besar di belakangku segera terhantam dan
terbakar, ganas juga serangannya, serasa udara sangat panas, aku mundur, sekali waktu ku serang
dia dari udara dengan hantaman petir dari tanganku, dia menjerit, sisiknya sangat tebal, sehingga
seranganku walau bisa melemparkannya tapi sama sekali tak bisa melukainya, hanya tubuhnya
sekedar berasap. Aku terus mundur, dan terbang, dia berusaha mengejar, aku melesat ke arah lebih
tinggi, di kejauhan ku lihat sebuah bendungan, aku turun lagi memancing ular itu ke arah
bendungan, sampai di tepi bendungan yang lumayan berkedalaman, ku hantam tubuhnya kuat-kuat
dengan beberapa kali hantaman petir, yang membuat ular itu menjerit dan melengking, dan
terlempar ke udara, aku hantam lagi dengan beberapa kali hantaman tangan kanan kiri, dan ular itu
jatuh ke dalam bendungan.
Alhamdulillah, aku segera kembali, tubuh rasanya penat, pertarunganku dengan ular itu cukup
menguras tenaga.
“Aku bernama Sarno.” kata mas Sarno.
“Sampean jadi kawin sama anak orang yang menolong sampean,” kataku langsung.
“Lhoh kok sampean tau?” tanya dia heran.
“Hehehe, ya tau saja,” “Ooo jadi perempuan yang wajahnya seperti ini dan ini itu istri pertama?”
kataku menggambarkan istri pertamanya.
“Iya itu istri pertama, sedang anak orang yang menolongku itu istri kedua.”
“Ooo begitu rupanya ceritanya…”
“Rumah istri sampean kan di depan ada pohon besar yang terbakar kan?”
“Iya..”
“Jadi akhirnya mertua sampean itu meninggal?” tanyaku.
“Iya waktu dia menolongku meninggal.” jawab mas Sarno bengong karena aku tau detail
keadaannya.
“Kok sampean bisa tau saya semuanya to?”
“Ya kebetulan saja.” jawabku.
“Wah sampean ini dukun apa gimana kok bisa tau semua.” tanyanya.
“Ndak, cuma kebetulan.”
“Kalau ku bilang, misal kalau ke rumah istri sampean harus melewati pasar, habis itu jembatan, lalu
pertigaan, lalu ada masjid yang berpagar besi, lalu jalaaan terus melewati tikungan yang banyak
pohon bambunya, lalu kalau masuk ke arah depan rumah istri sampean maka harus belok kanan, di
depan rumah istri sampean ada pohon tebu, di belakang ada sungai kecil yang airnya sering kering,
ada pohon pisang dan pepaya, bagaimana detail gak?”
“Wah aneh banget bisa tepat semua…, aku jadi takut.”
“Ya kebetulan saja Alloh menunjukkan padaku.” kataku.
“Wah.. aku tak habis pikir, sungguh aneh banget.” kata mas Sarno sambil ketawa dan kebingungan.
“Nanti main ke kamar ya mas, aku mau curhat, nanti malam atau nanti setelah pulang kerja.” kata
mas Sarno.
“Iya insaAlloh.” kataku.

Sang Kyai 
EPISODE: 78. ALLAH SEBAIK-BAIKNYA PENJAGA
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“O, mas ini yang katanya adiknya pak Abdullah?” tanya orang yang bernama Muhsin. Dia kerja di
Saudi sudah hampir 16 tahun.
“Iya mas…” jawabku. Di dalam kamar banyak pekerja lain yang berangkatnya lebih dahulu dariku
sedang berkumpul.
“Kata temen-temen mas ini banyak punya kelebihan.” kata Muhsin lagi.
“Kelebihan? Kelebihan hutang kali, la telingaku juga dua, tangan dua, punya kelebihan apa?” kataku
heran.
“Kamarnya sebelah mana mas?” tanya Muhsin.
“Aku di D 1-1,” jawabku, “Kalau ndak salah.”
“Nanti saya main ke sana boleh ya mas…” kata Muhsin.
“Boleh, silahkan saja.”
——————————————-
Muhsin main ke kamarku.
“Anu mas kalau boleh mau nanya.” kata Muhsin.
“Nanya apa mas?” tanyaku balik.
“Nanya soal istri saya di Indo.”
“Wah mending jangan, saya gak enak mencampuri urusan rumah tangga orang lain.”
“Tolong dilihatin istri saya bisa kan mas?”
“La sekarang nelpon pakai 3G kan bisa video call??”
“Ya maksudku biar tau keadaannya di rumah gitu.” kata Muhsin.
“Kadang tak tau keadaan istri itu lebih baik, dan menyerahkan segala urusan kepada Alloh, meminta
Alloh menjaga istri, itu lebih baik, dan Alloh itu sebaik-baiknya penjaga.”
“Soalnya saya pernah mendengar kabar kurang enak soal istri.”
“Itu ndak usah diperduli, ada orang pengen mengganggu rumah tangga orang di kala si lelaki tak di
rumah itu wajar, la yang suaminya ada di rumah saja kadang istrinya digoda, apalagi suami tak ada
di rumah, hal seperti itu biasa, menunjukkan setan berupa manusia itu ada di mana-mana.”
“Iya… iya mas, penjagaan Alloh memang melebihi penjagaan siapa saja.” jawab Muhsin.
“Nah begitu baru benar.”
“Iya mas, terima kasih atas sarannya, kalau saya sering main ke sini, boleh kan mas?”
“Boleh silahkan saja.”
Lalu Muhsin minta diri.
Hari-hari pertama di Saudi, sibuk mengurus surat-surat, wira-wiri ke accounting, mengurus ATM dan
KTP atau aqomah, tanda diri mukim, dan urusannya yang membuat sibuk itu bukan masalah
sulitnya tapi masalah orang Saudi yang malas, misal ngurus kartu ATM ke bank, sudah nyerahin
data, besoknya disuruh kembali lagi, kadang kesiangan sedikit maka ditolak, padahal jaraknya kan
jauh, naik taksi, taksinya juga tak ada, nunggu taksinya di bawah panas terik, ya belum apa-apa
memang kerja sudah kesiksa.
Di Saudi itu kerja mungkin 10 kali lipat beratnya kerja di Indonesia, walau dalam bentuk pekerjaan
yang sama bentuknya, la belum kerja sudah keringetan, apalagi kalau sudah kerja, baju bisa basah
kayak dicelup ke air lalu diangkat dan dipakai, keringet mengucur seperti pancuran, dan tentu saja
kalau tidak banyak-banyak minum, maka dijamin dehidrasi. Badan lemes, karena kehabisan cairan.
Nyatanya banyak orang tetep mau jadi TKI, sebenarnya bukan masalah kerja di Saudi enak, tapi
nilai rupiah itu besaran nilai real mata uang Saudi, jadi walau digaji rendah, tapi kalau ditukar
dengan mata uang Indonesia masih banyak bentuk uangnya jika dipakai di Indonesia.
Jika berurusan dengan orang Saudi, apalagi soal pengurusan surat, ku jamin akan gondok, suntuk,
apalagi sifat orang Saudi yang kebanyakan suka meremehkan orang lain, padahal kalau menurutku
orang yang meremehkan orang lain akan nantinya diremehkan.
Kali saja aku ini yang lagi apes, tiap ketemu orang Saudi kebanyakan kok ya ketemu yang jarang
jarang mandi, jarang sikat gigi, sampai giginya menghitam, kalau tersenyum seperti orang yang
kebanyakan makan tembakau.
Badan penat habis ngurus Kartu ATM, tes kesehatan, tes darah, memberi data di klinik dan rumah
sakit, foto untuk KTP.
Masuk ruang kerja, ee ada yang marah-marah, orang Pakistan bernama Kumar datang ke tempat
kerjaku, aku sih gak ngerti bahasanya, kalau pernah nonton film India, ya seperti itu bicaranya,
tangannya ke sana-sini, lehernya geleng-geleng tak mau berhenti, Kumar bicara kalau melihat
wajahnya dan sinar matanya juga bicaranya yang pakai gebrak meja, aku yakin dia lagi marah, tapi
aku heran juga, kenapa dia bisa marah denganku, sayang aku tak tau dengan bahasanya, apa dia
salah orang ya? Atau mungkin aku dikira orang yang punya hutang sama dia? Mungkin lebih baik
kalau bicara dengan bahasa India dia diterjemahkan dengan gambar, misal kalau aku nyuri
kucingnya, digambar orang membawa kabur kucing, bukankah lebih mudah dipahami.
Untung Sarno masuk ke ruanganku, karena mendengar ribut-ribut.
“Ada apa mas?” tanya Sarno yang masuk disertai orang India yang bekerja dengannya.
“Gak tau mas Sarno, la ini orang masuk-masuk ke ruanganku, langsung marah-marah, gak tau ini
orang kesambet di mana.” jelasku.
Lalu orang India yang masuk dengan Sarno menanyakan masalah kenapa Kumar marah, kemudian
diterjemahkan ke bahasa Arab pada Sarno, dan Sarno mengucapkan dalam bahasa jawa kepadaku.
Jadi bicara dalam tiga bahasa.
“Orang ini, Kumar marah karena mas kerja di sini, ini kan ruangan kerja ayahnya, sekarang sedang
dikirim ke pabrik baru, dan karena mas kerja di sini maka nantinya ayahnya Kumar akan dipecat,
makanya dia marah-marah, karena mas membuat ayahnya Kumar dipecat.” jelas Sarno.
Lalu ku jawab yang jawabanku diterjemahkan Sarno dalam bahasa Arab kepada orang India yang
bernama Jabir lalu diterjemahkan dalam bahasa India kepada Kumar. Jadi proses 1-2 kata saja
bicara jadi lama dan berbelit-belit.
“Bilang mas, aku kerja di sini tak kenal dengan bapaknya, apalagi satu sekolah, aku kan orang baru,
penempatan kerja juga tergantung managernya, soal bapak dia dipecat atau bukan itu bukan
urusanku, tapi urusan manager.”
“Dia tak perduli, pokoknya mas Ian ini menurutnya sebagai penyebab dipecatnya bapaknya.”
terjemah Sarno.
“Ooo berarti dia ngajak ribut..?” tanyaku.
“Pokoknya mas tidak boleh bertempat di ruang kerja bapaknya, kalau perlu pulang lagi ke
Indonesia.” terjemah Sarno.
“Ooo begitu…” jawabku.
Kumar pergi sambil menendang kursi, dan semua barang yang ada diambil takutnya ku pakai.
——————————————-
Tapi seminggu kemudian Sarno bilang padaku.
“Mas…! Orang yang bernama Kumar yang marah-marah di sini itu, sekarang kecelakaan, tak tau
bagaimana nasibnya, soalnya dia naik taksi dan mobil taksinya masuk ke bawah truk gandeng dan
dilindas truk gandeng.” kata Sarno.
“Kok bisa?” tanyaku heran.
“Ceritanya dia mau umroh naik taksi, lalu kecelakaan, menurut cerita mobilnya dilindas truk
gandeng, jadi roda truk gandeng sampai naik ke atas taksi.” jelas Sarno.
“Wah kayak di film aja…”
“Kalau menurut cerita si Kumar lehernya patah, tak tau mati apa masih hidup, tapi sekarang di
rumah sakit.” jelas Sarno.
Sebagaimana biasa tiap malam Muhsin main ke kamarku.
“Mas, ada orang Indonesia yang ingin minta tolong, apa mas mau?” tanya Muhsin.
“Mana orangnya kok ndak ke sini saja, kalau aku bisa menolong ya akan ku usahakan menolong,
kalau aku tak mampu ya aku minta maaf.” jawabku.
“Orangnya bukan bekerja di pabrik sini kok mas, tapi bekerja di luar sini.” jelas Muhsin.
“Ya suruh saja dia ke sini sendiri, lalu masalahnya apa… dia cerita, kalau aku bisa menolong, akan
ku usahakan.”
“Oh ya bagaimana soal istri saya mas…, apa ndak bisa dilihat?”
“Wah balik lagi ke istri, istri sampean ndak ada masalah apa-apa, gini saja, bagaimana kalau ku
katakan di dalam sumur sampean ada belut putihnya, sampean percaya tidak?”
“Tidak percaya.”
“Makanya kalau ku bilang ada belut putihnya, aku bohong gak?” tanyaku.
“Ya kalau ada gak masuk akal juga, soal bohong apa tidaknya kan perlu bukti.” jawab Muhsin.
“Makanya segala sesuatu itu perlu bukti, jangan percaya dengan kata siapapun sebelum kita
membuktikan sendiri, Alloh saja berfirman, wa’budulloha khatta a’tiyakal yaqin, jadi segala sesuatu
itu harus yaqin, dan keyakinan itu ada karena ainul yaqin, melihat dengan yaqin, sebab melihat
dengan mata kepala sendiri, bukan kata si A, atau kata si B, juga bukan karena kata saya, seperti
saya mengatakan ada belut putih di sumurmu,”
“Aku pernah masuk ke rumahmu tidak?” tanyaku pada Muhsin.
“Tidak pernah Mas.” jawab Muhsin pasti.
“Apalagi melihat sumurmu, kira-kira pernah tidak?”
“Tidak pernah mas.” jawab Muhsin lagi.
“Berarti kataku mengatakan di dalam sumurmu ada belut putihnya mengada-ada kan?” tanyaku lagi.
“Iya mas…”
“Makanya jangan percaya, apalagi kamu bertanya soal istrimu padaku.., lebih-lebih hal pribadi lalu
menyandarkan suatu jawaban dari orang yang tidak tau permasalahan, itu namanya ngawur.”
——————————————-
Pagi-pagi Muhsin nelpon,
“Ada apa?” tanyaku.
“Istriku pas nimba di sumur, mendapatkan belut putih di timbanya.” kata Muhsin.
“Hm… lalu…”
“Kan berarti kata mas benar, di sumurku ada belut putihnya, mas… saya dijadikan murid ya…?”
“Jadi murid saya itu berat, harus puasa, harus dzikir, harus nurut sama kata guru.”
“Gak papa mas, saya siap.”
“Ya kalau siap, silahkan saja.”
“Ya nanti malam saya ke kamar mas.., “

Sang Kyai 
EPISODE: 77. BERKACA DI AIR YANG JERNIH 
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Setelah pulang kerja, aku ke kamar mas Sarno, sebelum kami datang ada 8 orang Indonesia yang
bekerja di pabrik itu, semua orang yang sudah bekerja lama, ada yang sudah 16 tahun dan bahkan
ada yang sudah 20 tahun.
Di tempat tinggal pabrik ada terbagi menjadi A, B, C, D, misal A ada dalam kelompok rumah
manager, B kelompok rumah mandor dan insinyur, C barak , D juga barak, dan misal D1, ada 60
kamar, D saja sampai ada beberapa nomer, jadi untuk hafal daerah-daerah itu harus diingat-ingat,
agar tak salah, aku mencari kamar mas Sarno di barak yang ditempati kebanyakan orang Filipin,
memang setiap barak biasanya ditempati kelompok negara tertentu, ada yang kebanyakan ditempati
orang Filipin, ada yang kebanyakan ditempati orang Pakistan, India, Arab, Sudan, Yaman,
Banglades, Maroko, jadi kebanyakan membuat komunitas tempat tinggal, dan Indonesia yang belum
punya komunitas, sehingga orangnya masih terpisah-pisah tempat tinggalnya.
Maklum masih baru, aku heran juga sebab bahasa Arab yang ku dengar sama sekali bukan bahasa
Arab yang aku ketahui di pesantren, tapi bahasa Arab pasaran, kayak orang luar yang belajar
bahasa Indo, ‘kamu sedang apa?’ bareng datang ke Indo ditanya ‘lu ngapain?’, jadi bingung karena
tak ada di kata yang selama ini dipelajari, kalau bahasa Arab, khoir jadi khois, khaifa khaluka jadi
kaif hal, jadi harus belajar dan tau kata seperti orang yang belajar pertama bahasa Arab, aku malah
lebih cocok kalau bicara dengan bukan orang Arab tapi memakai bahasa baku, atau bahasa Al-
qur’an, misal dengan orang Mesir, Maroko, atau Yaman, yang orangnya memakai kata baku, atau
kata lebih asli, jadi aku cukup mengucapkan kata dari bahasa kitab kuning yang selama ini aku
pelajari.
Sebab kalau orang Arab asli, malah bahasanya yang tak karu-karuan, karena orang Arab sendiri
yang oleh pemerintah semua orang miskin memperoleh jatah bulanan oleh pemerintah, menjadikan
orang Arab malas sekolah, sampai-sampai nulis nama sendiri kebanyakan tak bisa karena buta
huruf, yang buta huruf amat menyeluruh dari yang tua sampai yang muda, ironis memang ketika
Raja sangat kasih sayang pada rakyatnya, korupsi tidak ada, sekolah semua gratis, orang miskin
mendapat jatah bulanan, dan bahkan orang mau nikah pemerintah berapa tahun sekali membagikan
uang, menjadikan orang malas sekolah, la miskin saja mendapat jatah, untuk apa sekolah, biasanya
orang sekolah kan punya alasan atau tujuan, agar mudah mendapat kerja, atau agar mudah
mencari kehidupan, tapi kalau sudah kehidupan mudah, dan bukankah akan membuat orang malas,
untuk apa repot-repot menjadi pinter, kalau bodoh, miskin, juga sudah bisa hidup berlebih karena
ada jatah dari pemerintah, maka jadinya negaranya jadi negara bodoh, memang kadang kayak di
Indonesia misal negara bisa memberi jatah kehidupan layak, orang miskin mendapat jatah tiap
bulan dari pemerintah, belum tentu akan baik kedepannya, karena orang jadi malas mengejar cita-
cita, orang jadi lebih memilih hidup ongkang-ongkang kaki, wong tidur tiap hari sudah dapat jatah
dari pemerintah, jadi kadang yang kelihatannya baik, belum tentu jika dipraktekkan akan menjadi
baik pada akhirnya.
Juga orang Arab itu kebanyakan bisa membaca Qur’an bukan karena belajar membaca, tapi dari
kaset yang diputar berulang-ulang, sehingga lama-lama mendengar beberapa kali maka akan hafal,
soal tajwid atau tanda baca ya asal-asalan, namanya juga hafalan karena mendengar dari kaset,
makanya jarang yang menjadi imam Masjidil Haram itu orang Arab asli, kebanyakan dari Mesir,
jebolan Al Azhar, atau dari Pakistan, dan tak sedikit yang dari Indonesia, yang seumur-umur menjadi
imam Masjidil Haram, seperti Syaikh Sambas, Syaikh Karim, Syaikh Nawawi, yang selama hidupnya
menjadi imam Masjidil Haram.
Kalau yang ngimami orang Arab kebanyakan bacaannya acak-acakan, ya maklum hafalan
qur’annya bukan dari belajar tapi dari mendengar kaset diputar, sehingga kalau lupa ya ndak bisa
melanjutkan.
Arab itu bagusnya mungkin kalau jama’ah sholat lima waktu, diwajibkan, sehingga pas waktu sholat
berjama’ah, ada polisi yang patroli di jalan-jalan, jika ada orang pas waktu sholat jama’ah kok terlihat
berkeliaran di jalan, lalu ditanya polisi, ternyata agamanya Islam, maka akan ditangkap, dibawa ke
kantor polisi, kayak naik motor tak pakai helm, jadi ada razia sholat berjama’ah.
Tapi ada juga jadinya menjadi kekurangan, orang sholat jadinya karena takut kena razia, makanya
kalau sholatnya jadi asal-asalan, misal kalau lagi sholat suka malah sibuk sendiri nyari upil di
hidung, maklum di Arab kan berdebu, jangankan upil hidung, telinga saja kalau tak sering
dibersihkan akan jadi budeg karena banyak debu yang masuk ke telinga.
Jadi orang sholat pada sibuk mencongkeli upil itu amat biasa, atau bawa hp, kalau hpnya bunyi ya
sempat-sempatnya hp diangkat.
Kalau sholat di samping orang Arab jadi was-was, takutnya upilnya di oleskan ke kita, hehehe…
Kelebihan orang Arab lagi, suka bicara kayak perempuan, ngrumpi gak ada ujung pangkalnya,
soalnya kan orang lelaki yang belanja, orang perempuan ngendon aja di rumah, karena yang tukang
belanja, ya tak heran juga, jadinya suka ngerumpi.
Setelah mencari kesana-kesini ketemu juga kamar mas Sarno, aku ketuk dan dia membukakan,
mas Sarno di Arab mungkin sudah 16 tahunan, di pabrik ini, tiap tahun karyawan naik gajinya, kalau
gajinya sudah 16 tahun bisa dibayangkan berapa ribu dalam real Arab, dan otomatis kalau sudah
lama gajinya mungkin di Indonesia sama dengan gaji DPRD, ya akibatnya kalau sudah lama bekerja
di Arab, akan sangat berat meninggalkan Arab, karena gaji sudah besar, dan kalau di Indonesia
juga mendapat gaji segitu juga belum tentu bisa, ujung-ujungnya di Arab sampai tua, jika ijin tinggal
habis ya memperbaharuinya.
Semua barak, kamarnya sama, tempat tidur, dan kamar mandi ada di dalam,
“Ayo-ayo, silahkan duduk,” kata mas Sarno sambil menuangkan minuman jus buah.
Di Pabrik semen yang ku tempati itu, semua kebun ada, dari kebun pisang, jeruk, jambu, mangga,
dan buahnya juga lebat, karena ada bagian perkebunan yang merawat, sebenarnya Arab itu kalau
penduduknya tak malas dan mau mengolah tanahnya, tanahnya juga tak tandus amat, malah tak
ada kisahnya kalau Arab itu padang pasir, aku malah berpikiran kalau Arab jarang ada pohon dan
tandus itu bukan karena asli tandus, tapi karena penduduk miskin yang miskin sekalipun mendapat
jatah dari pemerintah, maka untuk merawat tanah jadi malas, ya jadinya tanah jadi tandus, karena
tak ada tumbuhan yang di tanam, hujan sekalipun tak ada serapan air, karena tak ada pohon.
Di manapun jika kita membawa kebeningan hati, maka orang lain akan merasa nyaman dan tenang
di samping kita, kecuali orang yang takut bayangan buruknya terlihat di kebeningan air yang tenang.
Hati dan kebeningannya itu bisa melihat segala sesuatu dengan jelas, sejelas orang yang berkaca di
air yang jernih, dan air hati yang jernih itu akan dikeruhkan oleh kemauan-kemauan yang berlapis-
lapis, keinginan yang bertumpuk-tumpuk, seperti kopi, jahe, teh, bakso, santan, itu seperti keinginan
baik, yang dimasukkan ke air yang jernih, dan oli, tinta, comberan, dan segala kekotoran, yang
dicampurkan ke air jernih itu seperti air yang kotor.
Kesederhanaan cara pandang itulah yang selalu ku pakai di manapun aku berada, dan berusaha ku
lekatkan setiap gerak-gerik.
Tapi ada yang kadangkala di luar perhitunganku yang amat dangkal, kadangkala karena suatu
kejadian membuat anugerah yang diberikan Alloh padaku tercabut, juga kadangkala yang telah jelas
kita ikhlaskan melakukan, tapi dijadikan orang lain mengambil kesempatan, untuk mengambil
keuntungan kesenangan nafsunya, sehingga tak jarang membuatku yang berusaha mengalir seperti
air jernih, malah masuk dalam ruang lingkup air comberan, dan suatu nilai air jernih yang
bermanfaat pun hilang, itu menjadikanku semakin berhati-hati melangkah, segala sesuatu kadang
harus matang dipertimbangkan, sebab yang menurut kita baik, belum tentu akan baik kita terapkan
kepada orang lain.
Golok yang mungkin bagi kita sangat berguna untuk memotong kambing, tapi ternyata dipegang
orang lain malah dipakai memotong leher manusia.
Jadi tak cukup kita punya niat berbuat baik, sebab baik menurut kita, belum tentu akan baik bagi
orang lain, setiap hati itu beda, dan hati yang kadang telah pernah dijadikan perang, ditanami
ranjau, dipagar kawat berduri, dan banyak ditumbuhi pohon beracun, maka akan mengalirkan
perbuatan dan ucapan keji, juga niat keji yang tak segan-segan dibungkus dengan tingkah yang
baik.
Tapi di dalam pepatah jawa ada istilah: becik ketitik olo ketoro, perbuatan baik akan tertandai, dan
perbuatan buruk akan terlihat walau disembunyikan.
Wamaiya’mal mitsqola dzarrotin khiro yaroh, wamaiya’mal mitsqola dzarrotin sarroiyaroh.
Siapa yang melakukan perbuatan baik, walau seberat semut pudak maka Alloh akan melihatnya,
dan barang siapa berbuat keburukan seberat semut pudak maka Alloh akan melihatnya.
Berbuat baik tak usah takut tak akan terbalas, hanya keikhlasan kita yang menentukan kita ini
menjalankan segala gerak tanpa beban, tenang dengan segala tindakan, karena tak punya maksud
tersembunyi.
Semua berlaku dengan kewajaran, dan keikhlasan itu harus teruji dan diuji. Agar diketahui suatu
perbuatan itu ada nilai dan tidaknya jelas terlihat.
“Ada apa to mas…? Mau share masalah apa?” tanyaku,
“Ini masalah istriku di rumah mas…” kata mas Sarno.
“Memangnya istrinya kenapa mas?” tanyaku.
“Ndak tau mas, aku ini kan sudah lama to di Saudi, tiap setahun juga pulang, la orang lelaki pulang
kan tentunya yang paling utama kan urusan kasur sama istri.” jelas mas Sarno.
“Apa istrinya di rumah jualan kasur mas?” tanyaku setengah melucu.
“Halah masak ndak tau..”
“Iya… iya tau.”
“Terus masalahnya apa mas?” tanyaku.
“Ini masalahnya istriku ndak bisa ku kumpuli.” kata Sarno.
“Wah kayak istri dari bangsa lelembut aja ndak bisa dikumpuli, apa istrinya lari kalau mau diajak
kumpul?” gurauku.
“Bukan, tapi…..( Sarno membisikiku: pakai password )”
“Ooo itu…, ” kataku paham.
“Apa itu dibikin orang? Soalnya sebelum nikah sama diriku, dia juga sudah punya pacar, juga aku
sendiri juga sudah pernah punya istri.” jelas Sarno.
“Bisa jadi, dikerjai orang, tapi bisa jadi mungkin punya penyakit tertentu, baiknya kita
mengedepankan berbaik sangka.”
“Trus bagaimana? Bisa dibantu tidak?” tanya Sarno menatapku dengan tatapan harap.
“insaAlloh bisa, dengan ijin Alloh tak ada yang tak bisa.” kataku meyakinkannya.
“Terus apa yang aku lanjutkan mas?” tanya Sarno.
“Bisa tidak istrinya diminta menyediakan air? Nanti malam atau kapan bisa sedia airnya, nanti ku
transfer obatnya.”
“Oo kalau gitu biar ku hubungi dulu.” kata Sarno.
Sarno berbicara dengan istrinya, aku santai memakan cemilan kripik kentang yang ada di atas meja,
sampai Sarno selesai bicara dengan istrinya.
“Bagaimana mas?” tanyaku kepada Sarno yang sudah selesai bicara dengan istrinya.
“Wah di sana sedang diobati orang.” jelas Sarno.
“Oo ya kalau begitu biar diobati sama orang itu dulu.”
——————————————
Pulang dari kamar Sarno aku mampir ke kamar-kamar orang-orang yang sudah lebih dulu tinggal di
Saudi, rupanya kebanyakan adalah orang tetangga desaku, sehingga kami lebih mudah akrab,
karena sama-sama merasa senasib di negeri orang.

Sang Kyai 
EPISODE: 79. SANG KYAI KU TULIS
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Jam sembilan pagi, ada istirahat sebentar dan para pekerja menyebutnya dengan SAE, atau
ngeteh, orang Arab biasanya berangkat kerja membawa sarapan pagi, roti kubus, kubus terbuat dari
tepung diuleni dengan air dan garam, lalu dipipihkan dan ditempel ke tembikar tanah, makannya
disobek dan dicocolkan ke kare, rasanya? ya kalau aku gak doyan.
Jam 9 aku menghadap manager administrasi, soalnya waktu berangkat dari Indo aku dijanjikan mau
dinaikkan gajiku kalau sudah di Saudi. Sebenarnya sudah sering ku dengar kata-kata JANGAN
PERCAYA DENGAN UCAPAN ORANG SAUDI, kata itu sering ku dengar dari teman-temanku yang
pernah bekerja di Saudi, selalu bilang, JANGAN PERCAYA UCAPAN ORANG SAUDI, JANGAN
MAU DIBERI JANJI TANPA ADA HITAM DI ATAS PUTIH, JANGAN MAU DISURUH KERJA YANG
BUKAN TERMASUK YANG TELAH DISEPAKATI WALAU DIJANJIKAN UPAH LEBIH.
Tapi aku langgar semua kata itu, pertama aku percaya pada manager yang mengatakan : nanti
setelah di Saudi gaji ku naikkan.
Dan jam 9 itu aku menghadap ke manager untuk mengkonfirmasi janjinya. Tapi dia bilang, sekarang
masa training, nanti setelah 3 bulan, setelah masa training, gaji ku naikkan. Begitu katanya
meyakinkan.
Setelah 3 bulan aku menghadap lagi, dan ternyata dia bilang: kenaikan gaji itu bukan hakku, itu hak
kantor pusat di ABHA, jadi aku tak bisa memberi kenaikan.
Aku geleng-geleng kepala, ah dia telah salah memilih orang untuk didzolimi.
Ku katakan pada Muhsin, “Managermu telah salah memilih orang untuk didzolimi, ini ingat kata-
kataku sebentar lagi pabrik akan mengalami kebangkrutan, perlahan akan hancur,”
Dan belum sampai setahun, pabrik benar-benar mengalami kebangkrutan, export ditutup
pemerintah, biasanya yang beli semen sampai ngantri berkilo meter, jadi sepi, karyawan mulai
dipecati, yang tua dipulangkan, lembur diwajibkan tapi tak dibayar, manager sudah kayak orang
setres, tukang kayu disuruh jadi tukang kebun, tukang kebun disuruh jadi tukang kayu, apalagi
ditambah perang yang terjadi di sekitar pabrik antara pemberontak kuti Yaman, dengan tentara
Saudi, keadaan pabrik makin merosot.
Profesionalisme memang bukan sifat orang Saudi, maka jangan percaya dengan kata orang Saudi.
——————————————-
“Katanya sudah menghadap manager soal kenaikan gaji, bagaimana hasilnya?” tanya Muhsin.
“Ya dia janjikan nanti setelah masa training.” jawabku.
“Ya nanti ditunggu saja, lalu bagaimana syaratnya menjadi muridnya mas?”
“Tak ada syaratnya, harus ikhlas saja menjalankan amalan yang ku berikan, ini amalannya sudah ku
tuliskan.” kataku sambil menyodorkan kertas bertuliskan amalan.
“Ini hitungannya 10 ribu ya mas?” tanya Muhsin.
“Iya.”
“Apa ndak salah nulis nolnya?”
“Salah di mananya? Nolnya empat kan?” tanyaku.
“Iya empat.”
“Kalau empat berarti benar, kan sepuluh ribu enolnya empat,” jelasku.
“Iya kali saja tiga aja nolnya…, “
“Lhoh itu wirid sepuluh ribu, wirid paling ringan.” tekanku.
“Kan sudah ku katakan menjadi muridku itu berat, kalau mau menjadi orang ampuh ya harus kuat
duduk, itu kan melawan kehendak nafsu, menyelesaikan dzikir, seseorang itu diijabah atau tidak
diijabah do’anya hanya melewati lapisan nafsunya, dibuka hijab tutup makrifatnya sehingga diberi
pengetahuan ilmu-ilmu Alloh, ya hanya melewati lapisan nafsunya, semakin seseorang itu sibuk
meladeni nafsunya, maka makin jauh orang dengan Alloh, artinya orang itu menjadikan nafsunya
sebagai Tuhannya, ILAHAHU HAWAHU, segala macam amaliyah itu hanya dengan maksud kita
bisa menundukkan nafsu dan menempatkannya pada kerangkeng yang bernama mutma’inah, nafsu
menjadi tenang, tidak bergejolak ingin dipenuhi, orang itu jika masih punya keinginan mulia di sisi
manusia, jangan harap punya pangkat di sisi Alloh, orang itu kalau masih mengharap pada manusia
dan kebendaan maka jangan harap do’anya diijabah Alloh, karena sebenarnya dia tidak meminta
kepada Alloh, tapi meminta kepada ketakutan dan harapannya sendiri, kadang seseorang merasa
telah benar ibadahnya, dan tanpa disadari ibadahnya telah melenceng jauh, sehingga bukan
fadhilah atau anugerah buah ibadah yang diterima, tapi yang dirasakan adalah kesesakan hati,
suntuk dan makin jauh dari Alloh, lalu berlari ke kubur-kuburan, mencari jawab atas kemandekan
ibadah yang selama ini dilakukan tidak mendapat apa-apa.”
“Iya mas…”
“Sebenarnya ibadah yang menghasilkan buah ibadah itu tak sulit, amat simpel, dan tak bertele-tele,
tapi manusia punya nafsu, dan manusia harus menaklukkan nafsunya, Nabi saja mengatakan
perang uhud itu perang kecil, kita akan pergi dari perang kecil ke perang besar, dan perang besar itu
adalah memerangi hawa nafsu, dikatakan besar karena kita memerangi diri sendiri, dan umumnya
tak ada orang yang mau menahan keinginan yang menggebu-gebu, yang ada manusia yang selalu
ingin keinginannya dipuaskan.
Padahal kepuasan, ketamakan itu tak ada ujung pangkalnya, puasnya ya MATI, orang punya istri
satu, pengen dua, punya dua ingin tiga, orang punya rumah satu ingin punya dua, punya dua ingin
punya tiga, dan terus berkelanjutan, punya sapi satu ingin dua, punya dua ingin tiga, punya mobil
satu ingin punya yang paling mewah dua, dan seterusnya, kalaupun punya pulau satu, maka ingin
dua pulau, punya dua pulau ingin punya tiga pulau, makanya sejak dulu kerajaan saling ingin
menguasai yang lain,
Dan tak ada cara mencegah berkobarnya nafsu kecuali dengan memperkecil nyalanya, bukan
memadamkan tapi menyalakan di tempat yang semestinya, kalau nafsu sahwat padam, kasihan istri
kalau suaminya impoten, jadi keinginan atau nyalanya nafsu itu ditempatkan sesuai tempatnya,
seperti api ditempatkan di lilin atau kompor, sehingga bisa dimanfaatkan, nafsu sahwat ditumpahkan
pada istri, dan nafsu itu hanya bisa ditenangkan dengan mengenali jalur-jalur keluarnya, jalur
keluarnya nafsu itu dinamakan latifah, kelembutan sumber keluarnya nafsu, dan sumber itu kita
sumbat perlahan dengan dzikir, ala bi dzikrillahi tatma’inul qulub, ingatlah hanya dengan mengingat
Alloh lah hati itu bisa tenang. Bagaimana siap tidak menjalankan?”
“Ya mas saya siap..”
“Tidak ada manusia, wali, Nabi sekalipun, jin, juga malaikat atau setan itu hebat, kecuali Alloh
mengijini dan menganugerahkan kehebatan, maka jangan sekali-kali menyandarkan pada selain
Alloh, orang alim, kyai, nabi, jin, malaikat, semua itu ciptaan sama dengan kita, kalau kita
menyandarkan pada sama-sama ciptaan yang punya kekurangan, maka jelas salah kita, bertawakal
dan bersandarlah hanya pada Alloh, semua ciptaan selain kita, itu tidak bisa memberi manfaat dan
bahaya, kecuali Alloh mengijinkan menjadikannya memberi manfaat, dan bahaya.”
“Hm… mumet mas…”
“Hehehe ya ndak papa, besok dilanjut lagi.” kataku,
Setiap gerak, setiap kejadian, dan setiap apapun yang bergerak dan berhenti itu tak lepas dari
kehendak dan taqdir berlaku di dalamnya, mungkin aku akan terlihat lebih diam dari pohon mati dan
lebih tak bergerak dari batu yang keras, karena aku sering tenggelam dalam penyelaman dunia
hatiku, di saat orang bercanda dan tertawa-tawa, aku mungkin akan seperti manusia yang tak ada,
tak terseret oleh candaan siapapun, dan lebih suka menyendiri menyelami tentang ilmu Alloh,
rasanya setiap waktu ku gunakan kepahaman walau telah berhari-hari aku menyelam, namun dasar
kepahaman tak juga ku capai, hanya keheningan tanpa aksara, dan aku mencoba menghindari
menyalahkan siapapun manusia, sebab aku amat yakin semua telah diprogram menempati taqdir-
taqdirnya, seperti layangan yang ditarik benang, dan diterbangkan dengan arah angin yang
dikehendaki kemana hembusannya.
Bahkan aku mendapat teman sekamar, karena kunci hanya satu, dan dibawa temanku, sehingga
hampir tiap hari aku harus masuk kamar lewat jendela atau aku harus sering ketinggalan kerja
karena teman yang mandinya berjam-jam, semua adalah proses, semua manusia punya sisi buruk,
dan pasti tak jarang orang tak suka denganku, karena sisi burukku yang mengemuka, dan
cenderung aku tak menyadari keburukan diri sendiri.
Alloh selalu menciptakan orang lain bisa jadi untuk melatih kesabaran orang lainnya, seperti
menciptakan syaitan, guna dijadikan penguji bagi manusia, agar keimanan tertempa, agar
keteguhan teruji, dan siapa yang pantas dan tak pantas mendapat anugerah dan pahala akan
terlihat jelas.
Kerja di pabrik semen mungkin sama dengan kerja di pabrik lain, soalnya aku tak pernah kerja di
pabrik manapun. Di pabrik semen yang ku tempati, ada sistim kerja yang namanya drama, lhoh kok
bisa? Aku sendiri pertama kaget ada kerja model kayak gitu, tau kan drama? Drama berarti ya gak
bekerja beneran, pura-pura kerja tapi tak menghasilkan apa-apa tapi kelihatan paling sibuk.
Contoh, misal nancepkan paku, paku ditancepkan separo, lalu sibuk mukul, tapi yang dipukul kanan
kiri paku, jadi tak dikenakan pakunya, sebentar istrirahat, nanti kalau ada mandor datang, pakunya
dipukul beneran, tapi juga jangan sampai ambles, ya satu paku jatahnya satu hari lah, malah bisa
juga diambil lemburan dalam rangka menancapkan satu paku itu.
Aku sendiri kaget, aku penulis kaligrafi, dalam menyelesaikan kaligrafi ya menurutku sih santai saja,
ee ternyata di Arab yang ku selesaikan dalam sehari itu bisa diselesaikan oleh penulis sebelumnya
dalam masa sebulan, jadi karena pabrik membuat ukuran sebelumnya, jadi aku diberi tugas
menyelesaikan tugas tulisan untuk satu bulan, ya aku selesaikan dalam sehari, karena tak tau,
akhirnya dalam masa sebulan aku nganggur, berangkat kerja, cuma ngisi absen, dan duduk
seharian waktu dzuhur pulang, jam satu balik kerja, lalu duduk sampai jam 4 sore, dan pulang,
lama-lama jenuh juga, maka mulai itulah tulisan SANG KYAI ku tulis, apalagi aku bisa menjadikan
internet Saudi gratis, walau dengan hp tulisan sang kyai mulai ku tulis sedikit demi sedikit, padahal
di Saudi internet amat mahal, sekali masuk 4 real, satu real sama dengan dua ribu empat ratus
rupiah, untung aku bisa menjadikan internet gratis, semua teman menganggap aku gila, ngayal,
karena mengatakan internet bisa gratis, padahal aku katakan ke yang lain, aku sendiri telah
menggunakan gratisan ada setengah tahunan, tapi setelah semua ku ajari caranya, maka semua
mengikuti.
Drama, ya memang sudah jadi kebiasaan kerja drama, aku tidak ikutan drama maka disalahkan
yang lain, padahal jelas itu amat tak sesuai dengan nuraniku, uang itu ku makan, dimakan anak
istriku, menjadi darah, mencuci hati, menjadi daging, aku membayangkan, jika anak istriku ku beri
makan dari hasil kerja mendrama, yang tak halal, aku membayangkan anakku akan susah ku
nasehati, istriku akan jadi orang keras kepala, ah tak sanggup aku membayangkannya, dan rasanya
ingin pulang saja.
Tapi aku sudah di Saudi, belum hajian lagi, apalagi keberangkatan ke Saudi uangnya harus ku
ganti, karena biaya keberangkatanku di tanggung PJTKI.
Hari kamis, libur, paling enak tidur, di hari biasa saja di tempatku sudah tak ada kerjaan, maka
jangan harap aku mendapat lembur, sementara yang lain pada lembur.
Setelah sarapan pagi, siap-siap untuk tidur, hp bunyi.
“Lagi apa mas?” suara Muhsin.
“Ya biasa tidur.” jawabku malas karena sudah setengah tidur.
“Gak lembur?”
“Ah mana ada lembur, apa yang mau dilemburkan?”
“Umroh yuuk..”
“Umroh? Ah ndak punya uang, mau umroh pakai apa?” jawabku.
Bagaimana mau umroh, gaji saja belum diterima, ah ada-ada aja si Muhsin. Aku melanjutkan tidur
lagi, tapi sebentar hp bunyi lagi, ku angkat.
“Mas aku sudah di depan kamar.” suara Muhsin.
“Iya sebentar ku bukain.” karena kamar ku kunci, aku telah pindah kamar dari sekamar dengan
orang yang cuma punya satu kunci, pindah ke kamar yang punya dua kunci, barengan orang
Madura. Kamar ku buka.
“Ayo mas umroh…, masih tidur?” tanya Muhsin.
“Iya…” jawabku dengan mata memicing, karena silau oleh cahaya masuk ke kamar, maklum di
Saudi itu kalau pagi matahari sudah terik kayak di Indonesia di waktu siang tengah hari.
“Ayo siap-siap.” ajaknya.
“Aku ndak punya uang..” kataku.
“Tinggal berangkat aja kok mas.., itu taksinya sudah nunggu di depan.”
“Wah ini serius.?” tanyaku.
“Ya iyalah..”
“Tapi aku ndak punya pakaian umroh.”
“Udah ku sedia’in semua, tinggal bawa pakaian ganti.”
“Ya kalau gitu aku ambil pakaian ganti.” kataku sembari berjalan ke lemari, ambil tas dan
memasukan pakaian ganti, sabun dan pasta gigi.
“Trus besok sabtu kerja bagaimana itu?” tanyaku.
“Kan berangkat dari sini pagi, besok jam segini sampai di Makkah, lalu siang hari jum’at berangkat
ke Mekkah, malam jam tigaan kan sudah sampai di sini, istirahat sebentar kan sabtunya sudah bisa
kerja.” jelas Muhsin.
Ternyata taksi sudah ada di luar, dan di dalam taksi sudah ada Munif, orang Indo dan sopir Raju,
sopir taksi juga pekerja pabrik, yang juga mau umroh.

Sang Kyai 
EPISODE: 22. MENGOBATI PAMAN MURSID II
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
“Dek Ian, ayolah bantu dek Ian huhuu… jangan melihat saja… siapa tau kesembuhannya dititipkan
kepada dek Ian…, huhu… dek Ian kan dari Banten pasti bisa mengobati…” aku kaget.
“Aku?” seperti orang bego menunjuk hidung dengan jari telunjukku sendiri.
“Aku tak bisa apa-apa, wong di Banten itu tak diajari apa-apa…” kataku jujur, tapi mana mau orang
panik mendengar. Aku main tarik-tarikan dengan bibi Asiah. Tiba-tiba kudengar suara ibuku di
dekatku, “Cobalah nang… Tak ada salahnya dicoba…” aku tak pernah membantah ibuku maka aku
pun maju ke tempat paman Mursid ditidurkan, tubuhnya masih mengejang-ngejang.
Sungguh aku tak tau, harus berbuat apa? Pura-pura mencak-mencak, ah kayaknya kurang bijak, di
tempat orang sakit.
Ku ingat-ingat aku sering melihat Kyai mengobati orang, ah salah satu cara aja yang kupakai,
setidaknya ada yang kulakukan.
Andai tak berhasilpun, aku tak akan disalahkan, wong orang yang telah punya nama sebagai tukang
suwuk aja, tak berhasil apalagi aku yang bekas bocah ndugal.
Tanpa ragu aku melangkah maju, duduk di samping kanan paman Mursid, sementara di sebelah
kirinya paman Mursid adalah anaknya yang bernama Muhamad.
Aku segera duduk bersila, wirid yang selama ini kubaca, satu per satu kubaca tiga kali dengan
menahan napas, segala cipta rasa kukerahkan, akal kukonsentrasikan, rasa getaran halus
berpendaran mengalir dari pusarku ke arah tapak tanganku, kupikirkan keluar dari tapak tanganku
masuk ke tubuh paman Mursid membelitnya, mengikatnya kemudian menarik keluar, kugenggam
dalam tanganku, lalu kubuang. Buk…! Suara gedebukan dari tubuh Muhamad yang tadi ada di
samping kiri paman Mursid, tempat aku membuang apa yang kuambil, aku tak menyangka akan
berakibat seperti itu. sekarang pemuda itu terjengkang ke belakang, kemudian berdiri dan tertawa-
tawa, suaranya berat menyeramkan,
“Hua haha..keluarga ini akan ku habiskan, huahaha.”
Aku tak memperdulikan Muhamad yang kerasukan dan diurusi oleh para tukang suwuk, termasuk
pamanku Muhsin, ku salurkan energi lagi, menyalurkan energi? Ah lebih tepatnya aku menghayal
seakan-akan menyalurkan energi, hayalan tingkat tinggi. Tubuh paman Mursid sudah tidak kejang-
kejang, gumpalan di perutnya juga sudah tak ada, jangan dikira walau cuma ngayal menyalurkan
energi, tapi huh keringatku sebesar kacang polong, luber sampai bajuku basah, tanganku yang
kanan, ku arahkan ke atas dada berjarak sepuluh senti, tanpa menyentuh kulit, yang kiri kuarahkan
ke kepala juga tanpa menyentuh kepala, terasa energi bergulung-gulung kearah kedua tanganku,
perlahan tapi pasti, kedua mata paman Mursid terbuka, lalu melihatqu. “Oh dek Ian, terimakasih..”
suaranya pelan tapi, efeknya semua orang yang ada di situ menangis, bibi Asiah memelukku erat
sekali, menangis nggugak guguk, dia tumpahkan syukurnya yang tiada terkira, betapa selama ini ia
pontang-panting mencari obat untuk menyembuhkan paman Mursid yang tak pernah sadar selama
tiga bulan, bahkan dokter juga telah tak sanggup, eh tanpa kusentuh bisa begitu saja sembuh.
“Kenapa tak dari kemaren-kemaren dek Ian, dek Ian, sudah habis air mataku…” kata bik Asiah,
masih menangis, dia melepaskan pelukannya, kemudian mencium pipi kiri kananku, lalu bersimpuh
di tepi ranjang suaminya, memegang erat tangan suaminya yang lemah. Baru sekarang aku tau
sebenarnya dalam tubuhku telah mengalir ilmu pengobatan yang aku tak tau bagaimana dan dari
mana ilmu itu ada dalam diriku. Aku masih berfikir ketika tiba-tiba paman Muhsin menepuk
pundakku,
“Itu bagaimana si Muhamad, semua orang kuwalahan!” ku lihat wajah pamanku itu kawatir.
Memang Muhamad yang sedang kerasukan benar-benar mengamuk, kursi meja pada patah, kang
Wiji dan kang Nur yang ahli beladiri, serta dua pemuda dimentalkan begitu saja, kang Nur coba
menerjang dengan menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh Muhamad, tapi segala serangannya
seperti mengenai batu, hingga jari-jarinya terasa nyeri. Bahkan kakinya ketika menendang kena
ditangkap Muhamad, dan dia diputar bagaikan gasing, lalu tubuhnya dilempar, untung kang Nur
orangnya jago sehingga ketika menghantam tembok ia dahulukan punggungnya, dan ketika mental
kembali dia berputar miring dan jatuh di tanah tangan dan kakinya menahan hempasan badannya.
“Hua haha ilmu kroco macam itu dibanggakan di depanku.” kata Muhamad dengan suara dalam dan
berat.
Kang Wiji pun tak mau kalah, dia maju menyerang dengan bogem yang telah dilambari aji lebur
sekti, tangannya yang besar berotot menderu, tapi plep! Pergelangan tangannya dapat ditangkap
Muhamad. Dan oleh Muhamad kepalan kang Wiji diadu dengan bogemnya . Dugh! Kang Wiji
menjerit, jari-jarinya seperti patah semua, lalu tangan kang Wiji yang masih digenggaman Muhamad
itu diangsurkan ke mulutnya yang terbuka menganga, “Sudah mateng huahaha..” tangan kang Wiji
digigit, aku sudah sampai disitu “Hentikan!!” bentakku tak sadar. Muhamad kaget, tangan kang Wiji
dilepaskan, yang segera dipeganginya dan wajahnya meringis-ringis, sementara Muhamad
melihatku, dia mundur-mundur. Takut, aku beranjak maju, dan Muhammad mundur-mundur. Untung
saja aku mempunyai daya hayal yang tinggi karena setelah ku pelajari, ilmu dalam tubuhku ini perlu
dibangkitkan dengan memerlukan daya hayal yang tinggi, melihat Muhamad yang kerasukan
mundur-mundur takut padaku, bertambahlah keberanianku, tanganku terangkat dengan jari telunjuk
membuat coretan-coretan di udara kearah tubuh Muhamad, setelah itu tapak tanganku terbuka,
kubayangkan aku menyedot jin yang ada di dalam tubuh Muhamad, dengan menggunakan telapak
tanganku, hasilnya, tubuh Muhamad lemas menggelosor ke bawah, pertanda jin telah keluar.
Saat yang menegangkan telah berlalu, Bibi Asiah tak menangis lagi, dan Muhamad juga telah sadar,
sementara tak hentinya orang-orang memberikan ucapan selamat atas keberhasilanku mengobati.
Para tukang suwuk memuji-muji ilmu yang ku miliki.
“Mas Ian, benar-benar luar biasa, belum pernah saya melihat ilmu sehebat itu, mengeluarkan jin dari
seseorang tanpa jurus-jurus.” kata kang Nur.
“Ah jangan dilebih-lebihkan, biasa saja.” jawabku yang memang belum tau pasti akan ilmu dalam
tubuhku.
“Benar sampean kang Nur.” tandas paman Muhsin, “Aku saja kalau mengeluarkan jin harus pakai
sarat atau jurus tertentu, setidaknya harus pakai bacaan Ayat tertentu dari Alquran.” kang Nur dan
kang Wiji manggut-manggut. Kang wiji nampak memegangi tangannya yang biru lebam.
“Kenapa kang tangannya?”
“Ini mas tadi, beradu jotos dengan Muhamad yang kerasukan.” jawab kang Wiji meringis menahan
sakit.
“Coba lihat.” tangan kang Wiji yang lebam segera diangsurkan kepadaku.
“Saya akan coba obati, kalau sembuh ya syukur, kalau tak sembuh ya sabar.” kataku, karena
sekalian mau mencoba ilmu yang ada di dalam tubuhku.
Kusuruh kang Wiji meletakkan tangannya yang lebam membiru di atas tapak tangan kiriku yang
terbuka, lalu tapak tangan kananku ku taruh di atas tangan kang Wiji, berjarak sepuluh sentian,
kubayangkan tenaga mengalir dari pusarku hangat bergulung berkumpul di tapak tanganku,
menyerbu masuk ke tangan kang Wiji mengangkut segala sakit derita, nyeri terangkat seperti udara
hitam berkumpul terangkat dan ku tangkap di tapak tanganku, kemudian kubuang.
“Sudah..!” kataku, sambil melepaskan penahanan napasku, semua mata yang memandang pun ikut
bernapas lega, yang saat aku mengobati kang Wiji semua menatap tegang.
“Bagaimana kang rasanya?” tanyaku yang tak yakin akan ilmuku sendiri.
Kang wiji menggenggam lalu membentangkan jarinya, dilakukan berulang-ulang, “Sudah enak, tak
sakit lagi.” katanya girang.
“Ah yang benar kang?” kata kang Nur tak percaya.
“Tadi apa yang kau rasakan, saat diobati?”
“Seperti banyak semut yang masuk ke dalam tubuhku, lalu seperti ada yang terbetot keluar dari
tanganku, wah, makasih banyak mas Febri…!” kata kang Wiji haru.
Malam itu aku benar-benar tak habis-habisnya dipuji.
Besoknya jadi pembicaraan di setiap mulut, sekaligus menambah keyakinanku akan ilmu
pengobatan dari Kyai. Dan di malam aku mengobati itu, dalam tidurku tiba-tiba aku mendengar
ledakan teramat keras membahana. Aku kaget dan terbangun. Betapa terkejutku, karena kamarku
penuh asap. Dan ternit kamarku jebol. Yang lebih menakutkanku apa yang ku lihat. Ku lihat tubuh
yang teramat besar dalam kamarku, aku beringsut mundur, melihat penampakan yang memiriskan
hati, tubuh yang tinggi besar sampai kepalanya tembus ke internitku, padahal ternit dalam kamarku
tingginya empat meter dari tanah.
“Kau siapa?” tanyaku gemetar.
“Ampun tuan, mohon saya dilepaskan dari belenggu ini tuan..!” kata suara mahluk besar itu
memelas, mengiba-iba. Baru kuperhatikan tubuh mahluk besar itu terbelit-belit rantai yang hampir
membungkus tubuhnya.
“Hei, siapa yang membelenggumu?” tanyaku keheranan.
“Oh kenapa tuan lupa? Bukankah tuan yang membelengguku? Huhu…, tolong tuan lepaskan saya,
ampuni saya tuan, huhu…” kata mahluk itu menangis.
“Hus..,cengeng, masak begitu saja nangis…” aku mulai berani.
“Tapi tuan, kalau belenggu ini tak dilepas, saya akan sengsara seumur-umur, huhu…, bagaimana
kalau saya makan, bagaimana saya buang air besar, huhu…, bagaimana aku pipis? Tak ada yang
memegangi, pasti kencingnya kemana-mana, huhu…”
“Nanti dulu, nanti dulu.., aku mau melepaskanmu, tapi kau tunjukkan dulu asalmu dan kenapa
sampai di tubuh paman Mursid, awas jangan bohong!!, udah jangan nangis…! Jadi jin cengeng
amat sih…” kataku agak jengkel juga karena jin itu nangis hahahuhu.
“Tuan, aku ini adalah jin penghuni Telogo Wungu, daerah Pati, aku sampai di tubuh Mursid karena
aku dikirim orang.”
“Dikirim lewat pos? atau paket kilat?”
“Ya enggak lah, masak jin dikirim lewat pos hu..hu..hu..” lalu jin itu menceritakan tentang siapa yang
mengirimkan dan karena masalah apa. Aku pun melepaskan rantai yang membelit tubuh jin, dengan
menjulurkan tanganku, dan bilang “lepas!”, maka rantai yang membelenggu jin itu pun hilang, entah
kemana.
Setelah belenggunya tak ada, tiba-tiba jin itu menggelosor bersimpuh di depanku, aku kaget tapi
ingin ketawa juga, karena melihat ukuran jin itu duduk aku masih sepinggangnya kalau berdiri, yang
membuat aku pengen ketawa karena wajahnya yang tak menyeramkan dan lucu. Mata jin itu bulat
besar, mengerjap-erjap, kepalanya gundul, tapi bekas cukurannya kurang bersih, hidungnya
mbengol, dan bibirnya tebal sekali, seperti bibir keledai.
“Hei kenapa kau belum pergi?” tanyaku heran.
“Apakah tuan tak ingin menjadikanku pelayan?”
“Ah pelayan apa? Aku tak biasa dilayani, aku biasa nyuci baju sendiri,”
“Bukan itu maksudku tuan, tapi kalau tuan mau aku bisa mengambilkan nasi gandul dari Pati, enak
lo tuan.”
“Ah apa enaknya nasi gandul tak usah promosi, lagian aku tak punya kerjaan tetap, tak kan sanggup
membayarmu, udah sana pergi!”
“Baiklah tuan, kalau begitu aku mohon diri.”
“Eh tunggu dulu, betulkan dulu ternitku yang kau jebolkan.”
“Baik tuan.” lalu jin itu menjentikkan tangan dan ternitku kembali seperti semula.
Begitulah, setelah kejadian aku menyembuhkan paman Mursid, aku makin dikenal dan tiap hari ada
saja yang datang dari anak yang rewel, orang sakit gigi, sakit kepala, penyakit dalam, penyakit luar,
semua datang minta diobati, juga aku sering diajak lek Muhsin untuk menolong orang yang
kerasukan jin. Namun aku sudah janji kepada Kyai bahwa aku hanya di rumah dua bulan, aku sudah
kangen pada Kyai dan kedamaian pondok lereng gunung Putri. Apalagi setelah mengalami suatu
kejadian yang membuatku amat merasa betapa masih dangkalnya ilmu yang kumiliki.

Sang Kyai 
EPISODE: 25. DI SEMBUHKAN SYAIKH ABDUL QODIR AL JILANI QS
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Setelah mengalami pengalaman di Bojonegoro, aku pun memutuskan untuk kembali ke pesantren,
setelah selang dua hari di rumah aku pun memutuskan kembali kepesantren. Maka aku
mempersiapkan segala sesuatunya, karena besok siang aku pergi dengan bus malam jurusan
Kampung Rambutan.
Tapi malam harinya tiba-tiba tubuhku terserang demam teramat tinggi, batuk, kepala pening, dada
ampeg, perut seneb. Dan nafasku sesak sekali, sampai kalau aku menarik napas akan terdengar
suara ngiik, ngiik, suaranya seperti sempritan atau sumur pompa.
Yang jelas aku merasa tersiksa dan seakan aku telah dekat kepada mati.
Bahkan ketika aku bangun dan mau keluar kamar, tubuhku begitu saja terbanting ke belakang, dan
tanganku yang mencoba menahani tertindih punggungku sendiri, dan salah urat, makin lengkaplah
penderitaanku.
Aku ingat kata-kata Kyai waktu di Bojonegoro, kalau aku sakit, keberangkatan ke pondok ditunda
dulu. Rupanya Kyai memperingatkanku. Dan kini, aku tergeletak begitu saja. Tiada daya, Dokter
dipanggil untuk mengobatiku, aku disuntik dan diberi obat yang banyak sekali macamnya, tapi tak
membuatku sembuh. Tanganku juga dibawa ke dukun pijat tapi, sama saja masih salah urat.
Aku belum pernah mengalami penyakit separah ini, paling-paling biasanya pusing, atau sesak
napas, karena terlalu banyak cat yang kuhirup, karena melukis air brush, yah cat yang partikelnya
teramat kecil tetap saja masuk ke hidungku, dan melekat di rongga hidung dan rongga mulutku,
sehingga kalau meludah akan serwarna dengan cat yang ku semprotkan, dan hidungku kaku karena
terlalu banyak cat yang menempel.
Tapi sekarang penyakit ini lain, kalau mau wudhu aja kakiku gemetaran, dan tangan harus
berpegangan.
Ketika ibuku menangis di sampingku, ”Bu, jangan menangis….” kataku yang lemah tidur tak
berdaya, “Kalau Tuhan memang telah memanggilku, nanti tolong pada Hanni, pintakan maaf, aku
tak bisa menikahinya…, katakan pada Diyah, supaya mencari lelaki yang lebih baik dariku….” aku
nyerocos tak karuan menyebut semua bekas pacarku, yang telah ku kecewakan, seakan aku ini
terlampau banyak dosa, telah menyia-nyiakan banyak wanita, tak mensyukuri atas ketampananku,
tak mensyukuri kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan padaku.
Kalau Dokter dipanggil berkali-kali tapi tak ada perubahan pada penyakitku, semua makanan yang
ku telan, ku muntahkan kembali, lalu siapa lagi yang ku harapkan mengobatiku.
Kalau orang lain sakit, begitu mudahnya aku memberi solusi, tapi ketika aku sendiri yang sakit, ah
memang berat kalau kita mengalami sendiri, seperti teman yang sakit gigi, lalu kita melihat, ah sakit
gigi gitu saja merengek-rengek, e, setelah kita yang sakit gigi, maka kita mengaduh lebih dari teman
kita.
Keadaanku makin kritis, aku sudah sering mengigau, mataku membalik, tinggal kelihatan putihnya
saja, ibuku tiap hari menungguiku dengan sabar, mengompresku, tidur di sampingku, ku dengar
ayahku marah-marah,
“Ini karena sering bermain dengan jin, jadi dapat balasannya, mungkin anaknya jin yang ia tawan
atau bunuh, telah membalasnya.” Yah begitulah ayahku, selalu menyalahkanku, seakan aku berdiri
salah, duduk juga salah, bahkan aku mungkin setahun ngomong dengan ayahku bisa dihitung
dengan jari, tapi memang harus begitu satu sisi ada yang selalu menyayangiku yaitu ibuku, juga ada
yang selalu ada yang menyalahkanku yaitu ayahku, jadi aku ada kendali kadang melaju, kadang
juga berhenti, jadi tak manja. Walau ayahku selalu bersikap seperti itu, aku tetap mencintainya,
karena tak ada ayah yang ingin anaknya sengsara, jadi maksud ayahku itu demi kebaikanku juga.
Malam telah larut, mungkin saat itu jam dua dini hari, aku mendengar ada suara memanggilku,
menyuruhku bangun, dan kubuka mata, kulirik ibuku masih tidur miring di sebelahku. Ah, lalu siapa
yang tadi membangunkanku? Aku mau memejamkan mata lagi, terdengar jelas di sampingku.
“Iyan… bangun ngger…!” karena suara itu kudengar di samping kiriku, aku pun membuka mata, dan
mencoba menengok orang itu dengan leher yang sakit, ngilu.
Aku heran ada lelaki teramat tua duduk di sampingku, tersenyum, dan senyumnya terasa
mendamaikanku. Wajah lelaki itu lembut seperti bayi, dan ada cahaya kuning tipis menyelimuti,
sejuk dipandang seperti matahari mau tenggelam. Juga memancarkan wibawa yang menyilaukan,
alis orang tua itu tebal melengkung indah, kedua matanya bening lembut memandangku, seakan-
akan menembus sampai dasar hatiku.
Hidungnya mancung, seperti hidung orang-orang Arab, kumis dan jenggotnya tebal memutih,
namun terawat rapi, ikat kepalanya seperti gambar di wali-wali songo. Berwarna putih juga bajunya
berwarna putih.
“Siapakah tuan?” tanyaku.
“Apakah tuan yang akan mencabut nyawaku? Baiklah aku sudah siap.” lalu ku pejamkan mata dan
melafadkan dua kalimat sahadah.
“Anak baik…, aku bukan malaikat yang akan mencabut nyawamu…, Alloh mencintai orang-orang
yang bertaubat.” kata lelaki itu lemah lembut.
“Lalu siapakah tuan ini?” tanyaku, kembali membuka mata.
“Ngger, aku Abdul Qodir…”
Gemuruh rasa dadaku, takdim, takut, cinta, rindu, semua teraduk dalam dadaku, bagaimana tidak,
manusia yang ku cintai ku kagumi akan amaliahnya, kuyakini akan karomahnya, selalu kukirimi
fatihah, karena bersyukur atas ilmunya, sekarang ada di depanku, aku mencoba bangun tapi tak
kuasa, tubuhku terlampau lemah.
“Sudah ngger…, tak usah bangun, kau sedang sakit, biar aku mencoba menyembuhkanmu,” tangan
Syaikh diulurkan ke atas tubuhku, aku seperti merasakan hawa damai tiada tara, ku dengar letupan
kecil halus, dari dalam tubuhku, dan semua sakitku serasa hilang tak tau entah kemana, tubuhku
nikmat, ringan, dan seketika aku bersujud mencium tangannya, menumpahkan cintaku, rinduku…,
“Sudah ngger, sebaiknya engkau jangan memberikan pertolongan di atas kemampuanmu,
sempurnakanlah ilmumu, nanti nabi Isa alaihi salam akan mengajarkan ilmu pengobatan padamu,
sebagaimana dia mengajarkan kepada Kyaimu.., aku pergi ngger.” terdengar suara salam, dan
tangan yang ku pegang telah hilang, meninggalkan bau harum yang tiada tara.
Aku segera menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan menjalankan sholat dua rakaat,
kemudian melakukan sujud syukur.
Ibuku terbangun, melihatku sedang sholat, setelah aku selesai, ia bertanya.
“Lho udah sembuh to nang?”
“Alhamdulillah sudah bu.”
“Wah bau apa ini nang kok wangi sekali..? Kamu makai minyak apa nang, kok baunya harum?” kata
ibu sambil hidungnya kembang kempis lucu.
“Jangan-jangan, ah tak mungkin, dulu aku juga mencium bau harum seperti ini waktu kakekmu
meninggal, tapi kau kulihat sehat, seperti tak sakit lagi?” wajahnya kawatir.
“Ah, ibu jangan berfikir yang aneh-aneh.” Besoknya aku pun kembali ke pesantren, naik bus malam
PAHALA KENCANA. Ibuku sebenarnya tak mengijinkanku kembali dulu ke pesantren, tapi aku
memaksa, karena rinduku kepada Kyai.

Sang Kyai 
EPISODE: 80. HIKMAH DARI TERSESAT JALAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Mobil melaju dengan kencang, penunjuk kecepatan sampai mentok, yang ku suka di Saudi adalah
tak ada macet, jalan lurus, dan tak banyak belokan, dan tak ada jalan tol, semua jalan lebih tol dari
jalan tol di Indonesia.
Jika bicara jujur, memang pemerintah Saudi yang kenyataan tanahnya tandus, keunggulan melebihi
Indonesia, dari yang tak ada korupsi, mobil murah karena tanpa pajak, BBM juga seReal dapat dua
liter, berarti seliter kalau dihitung rupiah cuma seribu dua ratus rupiah, tak ada cerita pom bensin
dijaga polisi, juga tak ada polisi cepek di jalan, orang paling miskin dan udik saja punya mobil,
apalagi orang kaya.
Pemerintah Saudi memang sangat perhatian sama rakyatnya, tak ada dan tak mungkin orang luar
bisa usaha atau membuka usaha di Saudi tanpa menggunakan nama kepemilikan orang asli Saudi,
tak bisa orang luar bebas mempunyai tanah atau usaha. Sebab Raja tak mau rakyatnya dijajah
bangsa asing, yang hebat semua orang mempunyai ATM, dan uang dari pemerintah langsung
sampai ke tujuan orang yang akan diberi, tanpa melewati siapapun.
Pas bulan puasa, jadi banyak orang yang pergi umroh, di jalan kami temukan banyak rombongan
keluarga.
Malam makin larut, mobil taksi masih melaju, tiba-tiba ban meletus, untung mobil langsung keluar
dari jalan raya, dan di tepi jalan hanya pasir, dan untungnya juga pas di dekat kami ada bengkel
penggantian ban, di Saudi itu tak ada tukang tambal ban, adanya bengkel penggantian ban, jika ban
kempes, lansung diganti yang baru, dan hebatnya penggantian semua dari pencopotan baut sampai
pelepasan ban semua memakai mesin otomatis, jadi pencopotan sampai ban terganti ban baru
waktunya paling enam menit, malah Muhsin yang ke kamar kecil, kedahuluan ban terganti dan mobil
siap jalan.
Di Saudi juga kepentingan rakyat soal jalan amat diperhatikan oleh pemerintah, dari banyaknya
gunung yang di-bor untuk jalan tembus menjadi terowongan di lambung gunung tak terhitung,
sehingga jalan bisa diperpendek tak perlu mengitari gunung, dan jalan mulus, lancar, bagus, tapi tak
ada jalan tol, tak ada tarikan sana-sini, jalan antar kota, bisa ngebut sengebut-ngebutnya, tak pakai
macet sama sekali.
“Ini ada dua orang TKI yang datang dari Indonesia, asalnya melalui bandara Riyad, tapi dialihkan ke
bandara Jeddah.” kata Muhsin
“Kok bisa begitu?” tanyaku heran.
“Iya soalnya ini berbarengan banyak orang umroh di bulan puasa, baiknya bagaimana mas?” tanya
Muhsin.
“Terus ada penjemputan dari pabrik tidak yang di Jeddah?”
“Tidak ada mas, ya harus naik bus sendiri dari Jeddah.”
“Wah kalau seperti itu ya repot, TKI itu pasti tak punya uang real kan?”
“Iya juga mas…, makanya aku bingung..,”
“Punya teman gak yang di Jeddah? Yang agak dekat bandara?” tanyaku.
“Ada sih mas, coba ku hubungi.”
“Iya baiknya begitu, suruh dia membelikan tiket bus ke Jizan, pasti dua TKI itu juga belum bisa
bahasa Arab, beli tiket sendiri pasti juga tak bisa.”
“Iya mas…” jawab Muhsin, yang menghubungi temannya lewat hp.
“Sudah mas, temanku sudah sanggup menjemputnya ke bandara, dan membelikan tiket, nanti biar
tiketnya diganti sama perusahaan.”
“Ya sukur kalau begitu, moga saja ndak ada halangan.”
——————————————-
Jam delapan pagi kami sampai di Yu lam-lam, dan berganti pakaian umroh, di kamar mandi antrian
sampai panjang, harus sabar, kekurangan Saudi mungkin tak ada WC yang membayar seperti di
Indonesia, karena tidak bayar, maka WC jadi tidak ada yang membersihkan, sepanjang jalan semua
WC kotor banget, bahkan tak disiram, atau dalam keadaan tersumbat, jadinya ngeri kalau ke kamar
kecil, jadi harus nahan selama perjalanan.
Ya semua yang gratis memang tak selamanya baik, jika mungkin berbayar, WC jadi ada yang
membersihkan.
Sampai di Masjidil Haram kami segera towaf, dan cepat-cepat menjalankan rukun umroh, sebab
setelah sholat jum’at rencana langsung pulang kembali ke pabrik, karena mengejar waktu dengan
kembali bekerja besok paginya.
Selesai sa’i aku cepat-cepat ke tempat di mana kami janjian, jika kami terpisah maka selesai
menjalankan ibadah kami akan ketemuan di depan toko asir, tapi semua tak ada, aku menunggu
sambil duduk melepas lelah, sebentar kemudian Munif nongol,
“Ian dah selesai?” tanyanya tiba-tiba di sampingku.
“Sudah… tinggal potong rambut.” jawabku.
“Ini ada gunting, biar ku potong sedikit rambutmu, sebagai sarat aja.” kata Munif mengeluarkan
gunting dari tas pinggangnya.
“Iya ini potongin. Tadi pisahan sama Muhsin di mana?” tanyaku sambil membiarkan rambutku
dipotong Munif.
“Ya tadi waktu towaf putaran ketiga, tapi kok tadi hpnya dititipkan ke aku.” jawab Munif sambil
merapikan potongan rambutku.
“Lhoh gimana to…, ya kan seharusnya hp dibawa sendiri-sendiri, la kalau pisahan kita ndak ketemu
gimana?” tanyaku kaget.
“Ndak tau tadi hp nya dititipkan, ini hp nya.” kata Munif sambil mengeluarkan Hp nya Muhsin.
“Wadoh… gimana ini, la dia mau ngubungi kita pakai hp siapa?”
“Lha kamu juga mau to Nif dititipin hp.., harusnya kamu jangan mau.”
“Ya pikirku dititipin hp juga gak berat-berat amat, kenapa gak mau…”
“Yo bukan masalah beratnya to Nif, la kalau kita mau ngubungi Muhsin pakai hp siapa hayo… coba
nyalain hp nya, kali aja dia ngubungi kita pakai hp si sopir itu.”
“Wah gak bisa dihidupin.” kata Munif mencat mencet hp.
“Oalah, hp pakai di-PIN segala, jan repot banget si Muhsin” kataku yang coba membuka hp ternyata
pakai PIN.
Satu jam menunggu, tapi Muhsin tak juga muncul.
“Nif gimana kalau kita ke mobil yang diparkir, kamu tau kan di mana mobilnya diparkir?” usulku,
yang lama-lama mumet melihat orang yang wira-wiri. “Ya siapa tau mobilnya kita bisa ganti baju,
soalnya pakai baju umroh terus risi juga.”
“Iya, aku tau tempatnya, ayolah daripada diam…” jawab Munif yang langsung berdiri.
Kami pun berjalan menuju mobil yang diparkir berjarak tiga kiloan dari area Masjidil Haram, dalam
perjalanan waktu sholat dan di tengah perjalanan waktu sholat jum’at pun mulai, kami berdua
menjalankan sholat jum’at di jalan, selesai sholat jum’at kami sebentar istirahat tidur di rerumputan
taman, lalu melanjutkan mencari mobil yang diparkir, sampai di mobil, ternyata mobil terkunci.
“Wah bagaimana mobilnya terkunci.” kataku kecewa, sebenarnya aku yakin kalau mobil terkunci tapi
aku berharap entah kebetulan si sopir pas kembali ke mobil.
“Gimana sekarang Nif? Kita kayak orang hilang gini…?”
“Kalau balik lagi ke tempat kita janjian ngumpul bagaimana?” tanya Munif kayak orang bingung.
“Ya gak papa, aku jalan jauh juga dah biasa, tapi kamu sendiri yang setengah tua gitu apa ndak
pegel…?” tanyaku kepada Munif yang ku lihat wajahnya memelas.
“Ya aku ndak pegel…, tapi kita tiduran bentar di taman tadi ya…”
“Yaah itu namanya pegel…”
“Udah kalau ndak kuat puasa, batalin saja…, kita kan musafir,” kataku menghibur. “Bener-bener
risih pakai pakaian umroh jalan wira-wiri, tiap orang-orang ngelihatin kita, kita jadi kayak badut,
mungkin malaikat pada ngetawain kita dari atas, sampai giginya copot melihat kita jalan wira-wiri
kayak orang bingung.”
“Memangnya malaikat punya gigi? Bukannya dia gak doyan makan? Apa di tempat malaikat ada
jualan bakso balungan yang harus dimakan pakai gigi, atau keripik singkong?”
“Ya kalau daging kurasa ada, kan Nabi Ibrohim waktu mau nyembelih Nabi Isma’il didatangkan
kambing oleh malaikat.” jawabku sekenanya.
“Oh iya…ya. ” kata Munif.
“Eh tidak ding… itu kambing kurbannya Habil yang dikasihkan ke Nabi Ibrohim…, tapi untanya nabi
Soleh, atau buroknya Nabi Muhammad kan juga dari alam malaikat, berarti ada kayaknya di sana
binatang.”
“Ah bingung aku, udah tiduran bentar saja…” kata Munif yang segera tiduran di rumput taman.
“Nif, kamu bawa uang gak?” tanyaku.
“Bawa tapi di ATM,” jawab Munif.
“Ya kalau begitu kita bisa pulang.”
“Tapi aku tak bisa ngambil.” jelas Munif.
“Lhoh kenapa…?”
“Aku tak tau caranya…”
“Lalu selama ini kamu ngambil gaji bagaimana? Kamu di Arab kan sudah empat tahun, masak
ngambil uang di ATM saja kamu ndak bisa, wong tinggal mencet, ah sama dengan orang badui Arab
kamu, udik, gak bisa ngambil uang di ATM.”
“Ya nyatanya aku ndak bisa, aku takut salah pencet, malah ATM nya rusak.”
“Ah bener-bener dah… apes bener kita,”
“La kamu ndak punya uang di ATM?” tanya Munif.
“ATM ku kan baru jadi kemaren Nif, gajian juga belum, siapa yang mau ngisi.”
“Kamu hafal nomer ATM mu?” tanyaku.
“ya tak hafal, tapi aku selalu bawa nomer pinnya.” jawab dia sambil mengeluarkan kartu ATM yang
di bungkus amplop yang ada tulisan nomer pinnya, lalu menyodorkan kepadaku.
“Aku sendiri juga belum pernah ngambil uang lewat ATM, tapi daripada bengong, mending kita
coba.” kataku meyakinkan.
“La nanti kalau kartuku nyangkut di dalam bagaimana?” katanya takut.
“Memang ada kayak gitu?”
“Ya ada, banyak,”
“Terus kalau kartunya ketemu orang, nanti uangku di kuras semua.”
“Kan ada PIN nya.”
“La kalau pinnya ketahuan?”
“Ah seribu banding satu lah, nomer pin ketahuan orang.”
“Kartunya dipegangi ya, atau diikat benang, kalau ngangkut di dalam kan bisa ditarik.”
“Aaah gak-gak kalau nyangkut, jadi gak kita ngambil uang, nanti kalau terpaksa kita ndak ketemu
Muhsin, kita pulang pakai Bus aja.”
“Dengan pakai pakaian umroh gini, di bis apa tak diketawain orang sampai giginya tanggal?”
“Ya tanggal juga gigi mereka sendiri, yang penting kita kan tidak nyuri pakaian umroh..” jelasku.
“Udahlah kalau dapat uang kita beli baju.” kata Munif.
“Ya kan celana juga, ini aku ndak pakai celana dalam.”
“Ya sama…, iya nanti beli baju sama celana.”
“Ayo cari ATM.” kataku bangkit dari tidur.
Dan kami berjalan, untung di Saudi di perempatan dan di setiap gang atau keramaian ATM selalu
ada, dan aku masukkan kartu ATM di salah satu ATM.
“Hati-hati mencetnya, jangan sampai salah.”
Ku ganti bahasa dengan bahasa Inggris, walau aku sendiri belum pernah ngambil uang di ATM, tapi
nyatanya gak sulit.
“Ngambil berapa?” tanyaku ketika di dalam menanyakan uang yang akan dilakukan transaksi
penarikan.
“Seribu aja dulu.” jawab Munif.
“Wah uangmu banyak juga.”
“Iya aku ambil sekali kalau mau pulang, jadinya ngumpul.” jelas Munif.
Setelah mengambil uang dari ATM kami berjalan kembali ke Masjidil Haram. Tapi baru sampai
pasar di sekitar Masjidil Haram hp Munif bunyi. Munif segera mengambil hp yang ditaruh di tas
pinggangnya, lalu diangkat.
“Si Muhsin..” kata Munif berbisik.
“Kamu di mana?” tanya Munif.
“Di tukang cukur.” jawab Muhsin.
“Tukang cukur di mana? Kan tukang cukur banyak.”
“Di bawah jembatan.” jawab Muhsin.
“Ini aku juga di bawah jembatan, jembatan sebelah mana?”
“Jembatan sebelum pasar.”
Aku yang tengak-tengok, melihat Muhsin pas di belakang Munif, hanya dipisah jalan raya, tapi
kedua orang itu saling membelakangi. Aku tepuk pundak Munif, dan ku tunjukkan arah, dimana
Muhsin sedang menelepon. Munif nengok dan melihat Muhsin.
“Iya kami sudah melihat, kami akan kesana.” kata Munif.
Maka kami pun menyeberang jalan, dan bertemu Muhsin.
“Lhoh belum cukur rambut mas?” tanya Muhsin.
“Aku cukup potong sedikit, tadi sudah dipotongin Munif.” kataku.
Dan kedua orang itupun saling menyalahkan soal hp, aku hanya melihat, bagiku tersesat dan
kehilangan kontak sangat penting, karena bisa tau dan sedikit hafal jalan-jalan Makkah, sehingga
suatu saat jika datang ke Makkah setidaknya sudah setengah hafal.
Dan banyak sekali hikmah yang bisa ku dapat, dan ini akan menjadi kenangan bagiku dengan
temanku si Munif yang telah lebih dahulu menghadap Alloh karena kecelakaan di perjalanan
kerjanya, semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.

Sang Kyai 
EPISODE: 81. JANGAN MEMAKSAKAN KEYAKINAN
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Suara sirene polisi memberi peringatan, agar setiap mobil segera meninggalkan parkir di tepi jalan,
jika tidak akan segera diderek, menandakan kami harus segera pulang, kembali ke pabrik, dan
bekerja seperti biasa, dan tak pernah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Taqdir telah dalam tergurat, baik buruk siapapun tak ada yang akan tau akhirnya, kita seperti
pejalan kaki yang melintasi gelap, tak ada yang memberi cahaya kecuali Sang Maha pemberi
cahaya, dan Alloh hanya memberi cahaya pada siapa yang dikehendaki, dan kita berharap kita,
khususnya aku sendiri mengharap cahaya itu menjadi penerang di hati, memperoleh sedikit sudah
cukup menjadi panduan, agar aku bisa melewati kegelapan hidup yang penuh tipu daya, sebab
ketertipuan yang halus lebih menakutkan karena diri tidak merasa, dan selalu merasa benar walau
jelas telah salah jalan, itu lebih menakutkan dari masuk ke jurang secara nyata, sebab telah jauh
amal dilakukan bukan menambah kita menuju kebenaran, walau sisa umur habis sudah di
perjalanan panjang yang sia-sia, tak pernah bijak memaknai sepi, dan tak pernah mengerti tujuan
perjalanan yang sejati.
Sampai di pabrik, masih ada waktu istirahat, dua orang TKI sudah ada di kamarku. Kami bicara
tentang cerita masing-masing, dan tentu saja rokok Indonesia kebiasaan bagi TKI yang datang dari
cuti atau baru datang dari Indonesia, sebab rokok di Saudi harganya selangit untuk rokok Indonesia.
Dua orang TKI baru itu bernama Yatno dan Umam.
Karena sudah teramat lelah aku pun tertidur. Hari-hari kerja seperti biasa, Alhamdulillah aku
mendapat lemburan membersihkan masjid, walau waktunya setengah hari, tapi cukup lumayan
untuk tambahan membeli rokok.
Biasa jam 9 istirahat, karena kerja di masjid sendiri, aku memilih tempat menyendiri untuk menulis
pakai hp N75, sambil menyalakan rokok.
“Haram… hada duhon haram…!” seorang mutowak (kyai) membentakku. Dia seorang Arab.
Maksudnya, “Haram, ini rokok haram.”
“Siapa yang mengatakan haram?” tanyaku.
“Aku.”
“Siapa kamu berani menentukan hukum tanpa dasar.” elakku.
“Aku kyai.”
“Kyai bukan Nabi, Al qur’an saja tidak mengatakan haram, bagaimana kamu mengatakan haram.”
“Aku mengatakan haram, ya haram…” bantah Mutowak.
“He… di mana-mana haram itu sudah jelas, alqur’an juga sudah menetapkannya, zina, mencuri,
mabuk-mabukan, riba, membunuh, itu sudah jelas di-nas, ditentukan oleh qur’an, kalau rokok
makruh iya, karena tidak ada manfaatnya, tapi kalau haram tidak, bahkan tak ada wala taqrobu
duhon, jangan mendekati rokok juga tak ada, jadi jangan membuat hukum tanpa ada dasar
hukumnya, kalau Alloh tidak mengharamkan maka jangan diharamkan, kalau melarang dalam ruang
tertentu ndak papa.” kataku juga ngotot.
“Pokoknya kalau haram, ya haram, ” Mutowak juga tak mau kalah, walau dia tak punya dasar.
“He… aku tau kamu mutowak, dan aku orang bodoh, tapi tidak bisa seseorang itu memaksakan
kehendaknya pada orang lain, kecuali hal itu benar-benar berbahaya untuk orang lain, seperti
seorang dokter melarang orang darah tinggi makan daging kambing, tapi untuk orang lain daging
kambing kan bukan larangan, pemerintah saja tidak melarang rokok, la kok kamu melarang,
sekarang kalau gad (sejenis rumput yang bisa menambah stamina dan jika dikonsumsi bisa
menjadikan orang yang mengkonsumsi ketagihan, dan di Saudi itu dilarang sebab hampir seperti
ganja, walau efeknya aku sendiri tak tau apa bisa sakau) apa itu halal kok kamu mengkonsumsi?”
tanyaku.
“Kalau itu halal.” jawab Mutowak.
“Tapi itu kan pemerintah melarang?”
“Ya itu kan urusan pemerintah.” jawab Mutowak.
“Lo yang rokok ndak dilarang, kamu haramkan, kok gad yang dilarang pemerintah kamu makan?
Bukankah firman Alloh, ta’atlah pada Alloh, ta’atlah pada Rosul, dan ta’at pada pemimpin kalian,
bukankah itu malah menyalahi Al-qur’an?”
“Kamu sok pinter.”
“Lhoh itu kan sudah ada di Alqur’an, bukan aku sok pinter.” elakku.
“Begini saja menurutmu ayat yang menyatakan: “wa anzalna minassama’i ma’an” [dan Aku (Alloh)
turunkan air hujan dari langit], menurutmu ayat itu benar tidak kalau Alloh yang menurunkan hujan
dari langit?” tanyaku.
“Ya benar itu kan Qur’an.” jawab Mutowak.
“Nah karena yang menurunkan hujan dari langit itu Alloh, jika yang kamu katakan benar, coba kamu
berdo’a minta hujan pada Alloh, kalau kamu benar tentu Alloh akan menurunkan hujan dari langit,
bagaimana? Aku akan berhenti merokok sekarang juga.” kataku.
“Ya tidak bisa seperti itu.” kata Mutowak.
Karena di Jizan sendiri setahun memang belum tentu ada hujan, bahkan telah berulang kali
dilakukan sholat minta hujan di lapangan, tetap saja panas amat terik. Dan dari kyaiku aku sudah
dibekali sendiri cara meminta hujan, memindah mendung, dan memerintah angin, maka aku berani
menantang kyai dari Saudi itu.
Walau sebenarnya aku tak ingin apa yang diberikan kyaiku itu untuk membenarkan atau mendukung
hujahku, aku hanya ingin orang Arab itu tidak terlalu selalu menganggap ucapan dia adalah hukum,
dan kebenaran, sementara ucapan orang di luar Arab itu salah.
“Nah kamu tak berani kan? Anak kecil juga bisa ngomong ini itu, netapkan sesuatu dengan ukuran
udelnya sendiri.” kataku memanasinya.
“Coba kamu…” kata Mutowak itu yang sudah termakan siasatku.
“Kalau turun hujan bagaimana?” tanyaku.
“Tak mungkin.”
“Bener aku yang berdo’a?”
“Iya kalau turun hujan bagaimana?” tanyaku lagi.
“Kamu boleh ngerokok semaumu, bebas di mana saja.” kata Mutowak itu yakin kalau aku tak akan
bisa meminta hujan.
“Baik ku pegang ucapanmu.” kataku.
Aku segera ke luar dan melihat ke jauh, di mana ada setitik mendung jauh, lalu aku berkonsentrasi,
meminta kepada Alloh, memadukan dengan dzikir dan do’a, juga tenaga prana, angin lima menit
kemudian berhembus keras, dan mendung bergulung mendatangi, aku tetap konsentrasi, dan
menyatukan permintaan dengan kesungguhan, dan sepuluh menit kemudian hujan deras, aku
berlari ke tempat teduh, menghindari hujan.
“Bagaimana?” tanyaku pada Mutowak.
“Itu sihir…” kata Mutowak.
“Lhoh kamu ini bisa dipegang kata-katanya tidak, jelas-jelas di qur’an Alloh yang menurunkan hujan,
ini bukan aku yang menurunkan, bagaimana kau anggap sihir, la coba saja airnya disentuh, tanah
basah gitu, kalau sihir mampu melakukan seperti itu, sampai tanah basah, air mengalir, wah hebat
benar sihir itu.” kataku agak jengkel.
Memang tak ada gunanya otot-ototan sama orang Arab, sebab kebanyakan mereka
memperdebatkan sesuatu tanpa dasar, dan hanya memakai dasar agar diri dianggap benar.
Aku tinggalkan Mutowak Arab itu, dan kembali bekerja.
Esoknya lagi Mutowak itu mendatangiku, dan memberikan rokok padaku.
“Apa ini?” tanyaku.
“Aku hanya ingin mengatakan, kamu jangan menunjukkan kelebihanmu di hadapan orang lain,
karena kamu bisa dibawa polisi, dituduh melakukan sihir, dan akan dipancung.” kata Mutowak.
“Lhoh aku sama sekali tak melakukan sihir.”
“Iya, aku tau, tapi di Saudi seperti itu tak ada, kamu memiliki ilmu haq, tapi di sini, Saudi, seperti itu
tak ada, pemerintah mempunyai mazhab wahabi, yang bersandar pada ibadah yang logika, masuk
akal, dan wajar, jadi kalau minta hujan ya pakai istisqo’, do’a itu ada kalanya diijabah di akherat
sana.”
“Hehehe… aneh.”
“Apanya yang aneh?”
“Coba bayangkan, kalau semua do’a minta hujan diijabah di akherat, apakah akheratnya ndak
kebanjiran, apa itu namanya tak aneh, di akherat bukannya orang yang masuk surga sudah
disediakan semua kelengkapannya, kalau do’a minta rizqi diijabah di sana, apa ndak aneh? Di surga
bukannya ndak ada orang sakit? Kalau do’a minta disembuhkan diijabah di sana, apa ndak aneh?”
kilahku.
“Wah kamu terlalu mengerti banyak, itu akan membahayakanmu.”
“Lhoh bukannya itu hal yang masuk akal.”
“Ijabah Alloh itu tidak mesti dalam bentuk sesuatu yang kita minta.” jelas Mutowak.
“Iya tapi Alloh kan tidak terhalang dalam memberi ijabah.” kataku.
“Sudah-sudah aku mumet bicara denganmu, hanya pesanku, jangan kamu perlihatkan kelebihan
yang kamu miliki, kepada orang lain, itu demi keselamatanmu.”
“Baik-baik…” jawabku.
“Damai.” kata dia mengulurkan tangannya.
“Damai.” jawabku menyalaminya.
Semua orang berpegang pada keyakinan masing-masing, sekalipun kita yakin seyakin yakinnya
kepada apa yang kita yakini, maka itu untuk kita sendiri, dan semua orang berhak ada dalam apa
yang diyakini, selama apa yang diyakini itu tidak mencedrai keyakinan orang lain.
Sesuatu apapun itu menjadi salah atau kebenaran sekalipun jadi salah jika dipaksakan kepada
orang lain. Kecuali itu telah disetujui menjadi hukum suatu negara, maka negara berhak
memaksakan kehendaknya pada rakyatnya. Jika rakyat tak mau, turunkan saja pemimpin yang
memaksakan kehendaknya pada rakyat itu.
Sebagai pribadi, maka tak selayaknya kita memaksakan kehendak atau keyakinan kita kepada
orang lain, sekalipun apa yang kita yakini itu telah terbukti kebenarannya, cukup wa’mur bil urfi
wanha ‘anil mungkar, memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran, hidayah atau petunjuk itu
di tangan Alloh, jika kita telah memaksakan keyakinan diri pada orang lain, maka berarti kita telah
berusaha menjadi TUHAN.
Aku amat percaya, jika seseorang berusaha menjadi Tuhan, yaitu yang memaksakan kehendak
pada orang lain, supaya mengikuti apa yang diperintahkan dan dikehendakinya, maka selamanya
tak akan sukses, sejak dulu banyak orang yang berusaha menekankan dan memaksakan
kehendaknya pada orang lain, juga sejak dulu tak ada satupun yang berhasil, malah akan
menimbulkan pertengkaran dan perselisihan baru, permusuhan yang tiada ujung pangkalnya.
Menurutku kita ikuti saja perintah Alloh, Alloh memerintahkan kita kepada kebenaran, maka
kebenaran itu kita sampaikan, tak perlu menggurui, tak perlu menunjukkan diri berilmu, bahkan
kadang kita tak perlu berbicara lebih, cukup menjadi contoh dan mencontohkan, lisanul khal afsokhu
min lisanil maqol, lisannya perbuatan itu lebih fasih berbicara dari lisan ucapan.
Kejernihan hati itu akan berimbas pada orang yang memiliki kejernihan itu, dan berimbas pada
orang yang melihat, suatu ketenangan akan merambat menjalari hati siapa saja yang bertemu
dengan orang yang kejernihan hati, seperti orang yang berdiri di tepi danau, dan akan merasa
tenang ketika melihat danau yang tenang, angin yang lembut menyegarkan menerpa pipi, dan
damai dengan sendirinya akan merasuk ke hati, walau dia tak menyentuh danau yang tenang itu.

Sang Kyai 
EPISODE: 82. PENYAKIT TELPON MENELPON TKW
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Hari-hari biasa, jika sudah malam, kamarku sering didatangi teman-teman yang sekedar nongkrong,
duduk ngobrol, juga banyak yang belajar internet gratis.
Yatno termasuk yang sering main ke kamarku,
“Kamu punya masalah ya No..?” tanyaku suatu hari.
“Kamu punya masalah ya No..?” tanyaku suatu hari.
“Kok tau kang?” tanya Yatno heran.
“Ya kan bisa dilihat dari wajah yang kelihatan sumpek, dan suntuk.” jawabku.
“Aku mau nanya soal perempuan kang…, kalau boleh.” kata Yatno.
“Lhoh bukannya kamu sudah punya anak bini?”
“Iya kang…, tapi aku sudah gak kumpul, dan aku punya pacar baru..”
“Wah jangan teruskan No…, percayalah kamu akan menyesal nantinya” jelasku.
“Wong aku cuma bantu kang…”
“Hahaha… mbantu? Aah gak usahlah banyak alasan, aku tau semua, pokoknya ingat kata-kataku
ini, kamu akan menyesal kalau kamu teruskan, nanti kalau ada apa-apa jangan minta tolong padaku
lo…”
“Wah mbok sampean jangan nakut-nakuti aku to kang.”
“Lho nakuti gimana to, sesuatu perbuatan itu ya No, jika keluar dari jalur kebenaran pasti akan
celaka, menyesal, makanya karena aku merasa kita senasib di Saudi ini, kamu aku ingatkan, agar
tak menyesal nantinya.”
“Ya… aku jalani dulu kang…”
“Kamu ini kok ya lucu..”
“Lucu bagaimana kang.”
“Yang kamu jalani itu ya apa enaknya.”
“Maksudnya kang?”
“Kamu itu kan di sini, pacarmu di Indonesia, coba apa kamu nyentuh, nyium? La apa enaknya
pacaran kayak gitu, kalau aku orang gak bener, ngapa juga pacaran kayak gitu dilakuin.”
“Ah ndak tau lah kang..”
Mungkin di Saudi itu orang kesepian, apalagi kami yang terkungkung seperti di penjara, melihat
perempuan ibarat seperti barang langka, melihat perempuan mungkin kalau pas beruntung lagi
pergi ke kota, itu juga perempuan yang cuma kelihatan matanya, tak tau kalau pas dibuka ternyata
perempuan tua.
Kesepian itu merajut hati siapa saja, dan memenjarakan kehendak, tentu saja seperti nafsu itu
seperti kuda yang lama dipasung di kandangnya. Bahkan sebelum aku mengajari cara berinternetan
gratis, semua orang pada terseret pada penyakit telpon menelpon TKW, tiap habis kerja semua
pada sibuk mojok, telpon telponan dengan TKW, tak tau orangnya jelek, hitam, jerawatnya batunya
numpuk, asal terdengar suaranya yang merdu manja, semalaman pun kuat bicara, dan kebanyakan
gaji habis untuk telpon-telponan, aku melihat merasa kasihan juga, sebab jelas semua orang jauh-
jauh ke Saudi bukan untuk enak-enakan rekreasi, tapi mau memperbaiki ekonomi, mau agar taraf
hidup jadi lebih baik, lalu kok gaji habis cuma untuk nelpon cewek yang tak jelas juntrungnya,
perawan apa janda juga masih tanda tanya, juga sudah tua atau muda juga masih perlu dibuktikan,
tapi semua karena kodrat, lelaki itu membutuhkan wanita, dan wanita membutuhkan lelaki.
Walaupun aku tak sampai ikut-ikutan, dan maklum akan kebutuhan teman-temanku mengisi sisi
hatinya yang kosong, apalagi yang punya istri mau telpon istri di Indonesia juga mahal, aku maklum,
kalau masih nelpon cewek, dan tidak nelpon kambing, kan kalau nelpon kambing jadinya kan
kelainan, tapi aku juga kasihan mengingat tujuan ke Saudi adalah mendapat uang untuk
memperbaiki taraf hidup, jadinya uang dihabiskan, malah ada yang sampai habis uang 3 ribu real
perbulan, atau tujuh juta setengah dalam rupiah, uang segitu hanya dihabiskan untuk haha-hihi
dengan cewek yang tak jelas.
Kayak pemuda bernama Tony, dia selalu telpon-telponan di dekatku, sambil sayang-sayangan,
suara perempuannya sih kedengaran manja merayu.
“He Ton…!”
“Apa mas…”
“Kamu itu telpan telponan tiap hari, apa sudah lihat ceweknya?”
“Ya belum mas…”
“Setahuku cewek yang suaranya merdu begitu, apalagi mau bicara gak genah jorok gitu, biasanya
jelek.”
“Ah mana mungkin jelek, la suaranya saja merdu gitu.” elak Tony.
“Lha kenapa kamu ndak minta fotonya, dibuktikan kata-kataku, daripada sudah yang-yangan gak
karuan ceweknya malah lebih tuwir dari emakmu, apa ndak menyesal.”
“Dia sudah ku mintai foto, tapi tak punya hape yang ada kameranya.”
“Nah ketahuan, apalagi pakai alasan segala, sudah jelas jelek amit-amit itu orangnya.”
“Lha kalau memang dia tak punya hape yang berkamera gimana?”
“Kan bisa pinjem hape orang lain, bilang saja kalau tak mau memberikan kamu foto, dia kamu
putusin.”
“Iya deh ku minta fotonya lagi.”
“Sekalian bilang kalau dia ndak ngasih foto sekarang juga, kamu putus sama dia, tak mau telpon-
telponan lagi.”
“Iya ku bilang.”
Tony pun nelpon lagi, dan meminta foto, juga mengatakan akan memberi foto.
“Gimana sudah mau ngasih?” tanyaku pada Tony yang sudah nelpon.
“Iya, setelah ku ancam mau ku putusin dia mau, dan mau minjam hape temennya.” jawab Tony.
“Nah itu baru bener.”
——————————————-
Suara pintu diketuk.
“Masuk, tak dikunci.” kataku mempersilahkan masuk yang mengetuk pintu.
Ternyata Muhsin dengan temannya, yang tak ku kenal karena bukan dari salah satu di antara
pekerja pabrik semen.
“Wah ramai sekali, pada ngumpul.” kata Muhsin sambil masuk.
“Mari silahkan, desak-desakan,” kataku karena memang kamar sudah agak penuh orang.
“Ini mas… orang yang pernah aku ceritakan mau minta tolong.” jelas Muhsin setelah duduk
memperkenalkan namanya Mabrur.
“Lha ada masalah apa mas?” tanyaku.
“Itu mas, saya membeli tanah di rumah di daerah Cirebon.” cerita Mabrur.
“Trus ada apa?” tanyaku.
“Nah itu, ceritanya begini mas, yang punya tanah itu dulunya pernah nyupang, bekerja sama dengan
sebangsa buto ijo atau apa gitu, yang jelas kan di tanah yang ku tempati itu ada pohon sawo tua,
nah sering kejadian orang lewat di sekitar sawo tuwa itu menjadi korban.”
“Maksudnya menjadi korban?” tanyaku.
“Ya kayak tiba-tiba mati tercekik, dan orang yang ada di sekitar pohon itupun pada satu persatu
mati, dan memang di dekat sawo itu juga tempat saya mau tinggal nantinya, ini masih belum ku
tinggali, sebab saya dan istri masih kerja di sini.” cerita Mabrur.
“Lalu…”
“Ya kalau bisa, mau minta tolong dipindahkan atau mau diapakan agar buto itu tidak meminta
korban lagi…” kata Mabrur.
“Hm… ” aku merenung.
“Ini sudah ku mintakan orang pinter, atau paranormal untuk memindah mas, tapi tak ada yang kuat,
malah ada yang sampai mati tercekik.” jelas Mabrur.
“Wah ngeri juga ya…” kataku asli merasa ngeri juga. Biasanya jin kalau sudah diajak kerja sama
dengan manusia memang sudah kuat.
“Iya coba nanti ku usahakan, moga-moga Alloh memberi ijin dan kekuatan padaku untuk
mengusirnya.”
“Makasih sebelumnya.” kata Mabrur.
“Lalu yang kedua mas..” tambah Mabrur.
“Wah kayak buku saja ada yang kedua, hehehe…” candaku.
“Ya sekalian mas, soalnya jauh-jauh sudah sampai di sini.”
“Apa itu yang kedua?” tanyaku.
“Ini soal majikanku mas, aku punya majikan, nah aku sudah lama bekerja sama istri di tempat
majikanku itu, tapi gaji gak dikasih-kasih…”
“Siapa nama majikannya?” tanyaku. Lalu Mabrur menyebutkan nama.
“Ya insaAlloh nanti ku bantu do’akan.”
Teman sekamarku namanya Safi, orang Madura, dibilang lucu ya lucu juga, kerjanya tukang potong
rambut, jadi di dalam perusahaan semen ini seperti layaknya kampung, semua bidang pekerjaan
ada, dari sopir, satpam, tukang kayu, tukang batu, tukang listrik, mekanik, sampai tukang cukur juga
ada, semua di bawah naungan pabrik semen, jadi orang tak perlu kemana-mana, semua sudah
tersedia di dalam, bahkan lapangan bola, lapangan basket, kolam renang, juga mini market yang
lumayan lengkap juga ada, dari pabrik seminggu sekali ada bus yang siap mengantar karyawan ke
kota untuk belanja, dengan gratis.
Di dalam juga ada kantin, jadi mau makan tinggal potong gaji, mau masak sendiri juga boleh,
dengan belanja sendiri tentunya.
Safi teman sekamarku itu orangnya suka bercanda. Malam-malam dia mendekatiku, sambil nelpon,
“Ada apa?” tanyaku heran karena dia nelpon dengan suara perempuan.
“Ssst…! Jangan keras-keras mas, aku lagi ngerjain mas Widji.” kata Safi,
“Ngerjain apaan?” tanyaku heran.
“Ngerjain nelpon dia, aku pura-pura jadi perempuan, biar kapok, masak orang kok sukanya telponan
sama perempuan.” kata Safi.
Walau aku mengerti maksudnya tapi aku kasihan juga sama yang dikerjai, karena sampai mau
mengirimi pulsa, dikiranya Safi yang memakai nama perempuan itu benar-benar perempuan,
sehingga sampai malam larut masih ngobrol sayang-sayangan, juga masih perawan, sakitlah, aku
jadi tidak konsen nulis di hp.
Besoknya yang dikerjai orang lain lagi, bernama pak Bunawi, pak Widji dan pak Bunawi itu juga
orang tua yang sudah ubanan, la heranku kok bicara yang sayang-sayangan. Anehnya lagi nanti
setelah nelpon pada ke tempatku, dan cerita sama Safi kalau habis telpon-telponan sama cewek,
dan yang-yangan, kayak anak baru remaja saja, gak tau kalau yang barusan nelpon orang yang
sekarang diajak bicara, ah bener-bener sudah edan semua, gara-gara pada kesepian.
Aku tinggal saja melepas sukma, pergi ke Cirebon ke daerahnya Mabrur.

Sang Kyai 
EPISODE: 06. PENGUASA GUNUNG PUTRI IV
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu nyai Bundo, disuruh mandi oleh Kyai, setelah diberi petunjuk-petunjuk, setelah mandi nyai
Bundo di tuntun membaca dua kalimah sahadah, dan nyai Bundo pun telah menjadi seorang
muslimah, terlihat wajahnya memancarkan kebahagiaan, dan matanya berkaca-kaca karena
bahagia.
Malam itu nyai Bundo menemani Kyai menemui para tamu-tamu yang tiada habisnya sampai adzan
subuh, nyai Bundo teramat kagum kepada Kyai, yang begitu dengan telaten mendengar keluh
kesah para tamu, lalu memberi solusi, berbagai macam keluhan tentang kesempitan hidup, tentang
segala macam penyakit.
Kyai dengan sabar melayani, tanpa meminta imbalan apapun, karena memang Kyai tak
membutuhkan apa-apa. Aku sangat tau pasti itu, kalau soal rumah mewah, aku sangat tau Kyai
punya di mana-mana, yang sering aku diajak menengok rumah mewahnya yang dibiarkan kosong,
di Pondok Indah, di Kelapa Gading, di Tangerang, di Parung, semua rumah-rumah yang mewah,
juga mobil Kyai punya banyak, sampai akupun tak tau jumlahnya, yang aku tau pasti ada mobil
mercedes, karena aku pernah mengecatnya dengan lukisan airbrush, lalu ada mobil land cluser
yang dibeli dari uang daun.
Saat itu Kyai mengajar kami tentang kemulyaan ilmu, dan banyaknya ilmu Alloh, sehingga ilmu Alloh
teramat banyak sampai jika ilmu Alloh itu digali dari masa nabi Adam as. sampai sekarang maka
ilmu itu masih lebih banyak lagi, lalu Kyai juga menyinggung tentang kebersihan hati dari penyakit
nafsu, serakah, sombong, egois, iri, dengki, berburuk sangka, tiada bersyukur, menjauhkan sifat-
sifat dan budi pekerti yang tercela, apa yang kau lihat, jika orang lain melakukan maka kau tak suka,
maka apabila kau lakukan seperti itu orang lain pun tak suka.
Itu harus dijauhi, dan jauhkan diri dari memandang sesuatu itu punya kekuatan melebihi
kekuatannya Alloh. Upayakanlah di dalam hati yang ada Allah semata. Maka hatimu nanti
menginginkan, sebenarnya itu keinginan Alloh. Tiba-tiba Kyai menyuruh para santri mengumpulkan
daun kopi sebanyak-banyaknya, kami segera bertebaran mengambil daun kopi, yang pohonnya
tumbuh di sekitar pondok, setelah dirasa banyak, kamipun segera kembali ke depan Kyai, kemudian
Kyai menyuruh mengikat daun-daun kopi itu degan tali dari gedebong pisang, dijadikan bundelan-
bundelan, lalu Kyai menyuruh semua daun disatukan di atas sorban, dan sorban itu diikat, kemudian
Kyai mengucap, ”Ini adalah suatu contoh jika engkau menginginkan daun jadi uang, jika hati telah
diliputi hanya Alloh, maka daun pun akan jadi uang.”
Kami semua menatap dengan pandangan kurang yakin, bagaimanapun itu pengalaman yang belum
pernah kami alami. Lalu Kyai menuding pada bungkusan daun. Dan berkata, “Jadilah uang.”
Lalu Kyai menyuruh kami membuka ikatan sorban itu, dengan hati berdebar-debar kami buka ikatan,
dan betapa terkejutnya kami, semua daun kopi yang kami kumpulkan telah menjadi uang semua,
masih terikat tali gedebong pisang. Kami semua memandang takjub, termasuk para tamu yang ada,
lalu Kyai memanggil salah seorang tamu yang dikenal baik oleh Kyai. Namanya pak Wisnu.
“Pak Wisnu, tolong pak Wisnu bawa pergi uang ini dan saya minta dibelikan mobil landcluser.” kata
Kyai. Pak wisnu he eh aja kemudian pergi membawa uang itu. Besoknya datang mobil yang masih
kinyis-kinyis sesuai permintaan Kyai.
Pagi itu sebelum matahari keluar dari peraduannya, nyai Bundo telah pergi, sebelumnya mohon diri
kepada Kyai, lalu berjalan ke halaman, membentangkan karpetnya, berdiri di atasnya, membaca
mantra, tubuh dan karpetnya pun melayang terbang, nenek itu melambai kepada Kyai yang
mengantarkan sampai pintu rumah gubugnya. Wajah nenek itu demikian bercahaya penuh
kedamaian.
Begitulah di pesantren ini tiap hari ada saja orang yang diIslamkan, penyakit yang disembuhkan,
pecandu narkoba yang disadarkan, bromocorah yang ditaubatkan, preman yang disadarkan,
dengan kelembutan dan kasih sayang juga kelebihan-kelebihan Kyai.

Sang Kyai 
EPISODE: 51. APA GUNANYA AMALIYAH SEGUNUNG KALAU TIDAK MUSLIM
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
Malam itu kembali aku menginap di setasiun, besoknya aku ikut kereta api KRD ke Surabaya,
setelah dapat tempat duduk, aku pun tenggelam dalam wiridku, kereta belum juga berangkat, walau
jam telah melewati waktu jadwal keberangkatan, di sebelahku kursi kosong, datang seorang
pemuda kurus ceking dan duduk di sebelahku,
“Assalamualaikum mas…” sapa pemuda kurus di sebelahku.
“Waalaikum salam….” jawabku acuh, karena masih tenggelam menulis lafad Alloh di kalbuku.
“Maaf mas, mengganggu….” katanya.
“Tak apa-apa, wong tempat duduk ini disediakan untuk penumpang.” kataku tak acuh.
“Bukan itu mas, maksudku mas kan yang gila di setasiun Bojonegoro? Sebab tadi saya tanya para
pedagang asong, kalau yang selama ini jadi orang gila di setasiun itu mas.” kata lelaki ceking itu,
dan membuatku terperanjat.
“Ada apa sampean mencari saya?” tanyaku heran.
“Anu mas, biar saya ceritakan saja diri saya, saya dari keluarga berbagai macam agama, di
keluarga saya ada yang Hindu, Budha, Kristen, dan saya bingung mau milih agama apa? Saya
pernah mencoba berbagai agama, selain Islam, tapi saya tak pernah merasa sreg dan cocok, nurani
saya mengatakan semua tak benar, nah seminggu yang lalu saya ke salah satu kyai di Kediri minta
petunjuk, lhoh kok dia malah menyuruhku minta petunjuk pada orang gila yang masih muda,
berambut gondrong yang ada di setasiun Bojonegoro, kemaren saya sudah datang di setasiun tapi
orang gila yang dicirikan oleh kyai Kediri itu tidak ada di setasiun Bojonegoro, lalu saya malamnya
menginap di seorang kenalan, lalu tadi pagi saya datang lagi ke setasiun, saya cari-cari, juga tak
ada, lalu saya tanya pada penjual asongan ciri-ciri orang gila yang ada di setasiun, pasti mereka
pernah melihat, lalu mereka pada menunjukkan mas, yang saat itu tengah duduk di bangku, saya
ragu, sebab mas tak seperti orang gila, maaf, pakaian, tubuh, juga tampang bersih, jadi saya ragu,
lalu mas naik kereta jurusan Surabaya, ya daripada pencarian saya tak mendapatkan hasil, maka
saya samperin aja mas, dan inilah yang terjadi.”
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Saya, Arifin mas, dari Jombang. ” jawabnya.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku minta petunjuk dari mas, apa yang harusnya ku lakukan?” katanya, sementara kereta mulai
jalan.
“Kau sudah mendapat hidayah dari Alloh, memeluk agama Islam, adalah hidayah yang lebih mahal
dari nyawa, karena apa gunanya amaliyah segunung, kalau tidak muslim, maka tidak akan
mendapatkan apa-apa kecuali kebaikan di dunia, di akhirat hanya menerima rentetan siksa demi
siksa tanpa ujung dan perhentian, maka jika kamu bisa menjadi Islam, sungguh suatu karunia yang
tiada terkira, di suatu daerah aku pernah melihat anak kecil seorang anak keluarga Kristen, tapi
aneh walau anak itu baru berumur 10 tahun, dia telah masuk Islam, tanpa ada yang mengajak,
waktu ulang tahun yang diminta ke orang tuanya apa? Peci, baju taqwa, dan sajadah, lalu dia ikut
jamaah di masjid, orang tuanya tau itu kemudian marah, dia dipukul sampai babak belur, disiksa,
tapi tetap saja dia ke masjid, nah itulah hidayah dari Alloh,”
“Aku jadi merinding mas, lalu apa yang harus ku lakukan mas…?”
“Pergilah ke kyai Maimun Zubair, Sarang Rembang, ceritakan keadaanmu, dan mintalah
diIslamkan.”
“Prak… bug… prak..!” tiba-tiba terjadi ribut dalam kereta, tepat di depanku dua preman berantem,
dan terjadi pergumulan yang seru, karena entah merebutkan apa, nampak pemuda yang satu sudah
benjol wajahnya karena dipukul, para penumpang menjerit, tiba-tiba pemuda yang benjol mencabut
pisau dan dihujamkan ke pemuda musuhnya, sepersekian detik aku tak sadar begitu saja melompat,
tanganku menangkis pisau, hingga pisau mental, dan otomatis aku di tengah jadi sasaran pukulan
kedua preman yang telah gelap mata, kedua tanganku ku bentang menangkis kedua pergelangan
dua pemuda itu, “krak..!” Kedua pemuda itu mengaduh dan mundur memegangi pergelangan
masing-masing, keduanya menatapku, heran dan ada pandangan takut, padahal bodi keduanya
besar jauh di atasku,
“Kalau bikin ribut dalam kereta, ku lempar kalian keluar…!” bentakku.
“Enggak mas…! Enggak.,” jawab mereka berdua mundur-mundur, dan sebentar datang kondektur
menenangkan suasana, dan aku pun duduk di tempat dudukku semula.
“Wah mas berani, aku sudah takut kalau sampai ada yang terluka,” kata Arifin.
“Ah tak apa-apa, cuma anak berandalan.” kataku tenang.
“Lalu bagaimana mas, tentang saya?”
“Iya kamu pergi aja ke pesantren Sarang Rembang.” kataku menerangkan agak keras, karena suara
rem kereta yang berderit keras, dan kereta perlahan berhenti di setasiun Babat.
“Aku turun sini aja.” kataku pada Arifin.
“Lho ndak ke Surabaya to mas?” tanya arifin.
“Enggak” jawabku sambil lalu berdesakan dengan para penumpang yang mau naik kereta.
Setelah turun kereta, aku pun mencari warung untuk sarapan pagi, ku masuk sebuah warung dan
memesan pecel khas Lamongan, makan dan sambil memandang orang yang lalu lalang.
Seharian tak ada aktifitas yang ku lakukan, kecuali diam di mushola setasiun menjalankan wirid
sampai tertidur, lalu sholat dzuhur dan wirid lagi, tenggelam di dasar suara hati.

Sang Kyai 
EPISODE: 87. HATI YANG TENANG
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Pabrik Tahamah adalah pabrik baru yang sebelumnya katakanlah daerah tanpa penduduk, hanya
wilayah gunung mati, jadi entah salah satu gunung dipangkas, diledakkan, didatarkan, kemudian
dibangun sebuah pabrik, dan segala macam kebutuhan yang diperlukan pabrik, sehingga jika mau
ke kota maka amat jauh, di kanan kiri depan belakang, dan kemana arah mata memandang yang
ada hanya gunung dan deretan gunung-gunung batu, pabrik ini seperti sebuah koloni di dunia antah
berantah, tak seperti di Indonesia yang gunungnya terdiri dari pepohonan dan hutan, kalau di Saudi,
maka gunungnya hanya terdiri dari batu dan batu. Bahkan gunung itu seperti batu yang utuh.
Beberapa hari di Tahamah, bingung juga pertama sebab ternyata soal pekerjaan sama sekali tak
ada, barang-barang yang ku butuhkan sama sekali tak tersedia, di Tahamah hampir-hampir dikuasai
oleh orang India, insinyur dan teknisinya juga orang India, taulah orang India jika insinyur sekalipun
belum tentu insinyur beneran artinya ijazah dari beli, jadi soal kerja sama sekali tak mengerti.
Bahkan aku sendiri ikut dipekerjakan melayani tukang batu, memang apes kalau bekerja dengan
India, apalagi orang Saudi yang tak mengerti ijazah palsu atau bukan, jadi ingat orang India yang
kerja di klinik, sakit apapun diberi obat parasetamol, padahal ijazahnya dokter. Ah tak taulah yang
penting tak menyalahi aturan Alloh, mau orang lain menyalahi aturan bukan urusan diri.
Untung ada tukang-tukang dari Maroko, sehingga aku tak diminta bekerja berat, karena tau menjadi
pelayan tukang batu bukan bidangku.
Sementara untuk mulai bekerja di kaligrafi entah harus menunggu kapan, untuk meminta meterial
dan peralatan yang ku butuhkan prosesnya sangat ribet, tak ada yang mengurus, dan aku harus
mengurus sendiri, mengajukan permintaan kepada bagian yang anehnya semua tak merasa
membawahi pekerjaanku, aku jadi ketawa sendiri, la aku harus minta pada siapa? Sungguh pabrik
besar yang semrawut.
Padahal material yang ku butuhkan tak seberapa harganya.
Daripada nganggur, mending aku jadi tukang sapu, aku tak rela memakan gaji buta, walau ini
pabrik, tak rela rasanya tanpa mengeluarkan keringat lalu menerima gaji, biarlah aku menyapu
gudang tiap hari, sampai sebulan dua bulan, aku hanya menyapu ruangan yang panjangnya hampir
limapuluh meter persegi.
Sampai Muhsin telpon, menanyaka kabarku,
“Bagaimana pekerjaan di sana?” tanya Muhsin.
“Kerja apaan… di sini sampai sekarang cuma jadi tukang sapu..” jawabku.
“Lhoh kirain sudah mulai kerja kaligrafi?” tanya Muhsin.
“Ya aku ngajukan minta material yang ku butuhkan juga belum dikasih, malah sampai sekarang
ndak jelas, ini aku ikut general services apa ikut welfare section, semuanya tak jelas, jadi aku cuma
jadi tukang sapu.”
“Wah memang kalau dipegang orang India semua pekerjaan semrawut, nanti aku menghadap
manager.” kata Muhsin.
HP pun ditutup, sebenarnya aku sudah perduli, mau kerja apa juga, asal tak terlalu berat.
Selama di pabrik baru aku, ternyata semua orang Indonesia juga terkena penyakit telpon-telponan
sama TKW, malah ada yang sampai ketemuan, janjian, padahal di Indonesia punya anak dan istri,
nyatanya semua orang tak tahan banting.
Dulu aku merasa kaget waktu di Jakarta, melihat teman pesantrenku tak pada sholat, padahal
mereka jebolan pesantren Lerboyo, ada juga yang jebolan pesantren Sarang Rembang, tapi begitu
di Jakarta, sholat sudah ditinggalkan.
Yang baru ku sadari, ternyata setiap tempat itu mempunyai karakter cobaannya sendiri-sendiri, di
Saudi mungkin saja sholat dilakukan tapi keluarga kemudian dihianati.
Aku tak ambil pusing dengan apa yang mereka lakukan, karena aku tau betul jika aku mengingatkan
mereka maka itu sama sekali tak akan membuat mereka sadar, malah bisa jadi aku malah akan
dimusuhi.
Ada beberapa orang yang tak terseret oleh godaan saling telpon dengan TKW, dan ada dua
kelompok yang tak suka main telponan dengan TKW, yang satu berkumpul di kamar yang ada TV
nya, yang lain yang sering main ke kamarku, ya kalau di kamarku paling ku setingkan internet gratis
dan sedikit ku ajak ngobrol tentang ilmu.
Dan sebagian meminta amalan, dan menjalankan puasa. Ada salah satu orang meminta satu kamar
denganku namanya Lukman, katanya ingin biar bisa lebih dapat ku bimbing.
Aku tau Lukman mempunyai banyak masalah, di keluarganya, dan aku tau kalau dia ingin sekamar
denganku hanya ingin agar bisa ngobrol berdua membicarakan masalahnya. Dan dugaanku tak
meleset, saat semua orang sudah tak ada main di kamarku. Lukman mulai mengungkap unek-
uneknya padaku.
“Mas…! terus terang aku punya masalah yang ingin ku sampaikan ke mas Ian…” kata Lukman yang
kurus dan tubuhnya ceking, tapi tinggi semampai.
“Masalah apa? Ya kalau aku bisa membantu, insaAlloh akan ku bantu mencarikan solusinya, tapi
jika aku tak bisa membantu, ya aku minta maaf.” kataku, yang tidur di ranjang satunya.
“Ini yang bisa membantu hanya mas Ian…, “
“Wah kok bisa gitu? Kan yang lain banyak teman-teman kita, kenapa musti aku?” tanyaku heran.
“Kan mas Ian yang punya ilmu trawangan, melihat dari jarak jauh.” kata Lukman.
“Wah kata siapa? Itu mengada-ada…”
“La buktinya kan banyak, misal soal mas Sarno, trus kemaren kan ada tukang kayu yang pasahnya
hilang, kan juga yang nunjukkan ditaruh di atas lemarinya orang Arab kan juga mas Ian, akhirnya
pasahnya ditemukan.”
“Ah itu sih kebetulan, pas tukang kayu orang Indo pasahnya hilang, dan dia habis ngerjain
rumahnya orang Arab, ya ku bilang saja pasahnya di atas lemarinya orang Arab, dan pas kebetulan
dicari di atas lemari pas ketemu, jadi bukan berarti aku bisa trawang atau melihat dari jarak jauh.”
“Ah mas aja yang merendah.”
“Bukan, memang aku tak punya ilmu seperti itu, jika pas kebetulan itu juga kan bukan berarti aku
punya ilmu seperti itu.”
“Jadi mas Ian tak mau membantu masalahku?”
“Bukan tak mau, aku mau saja membantu jika aku mampu, kenapa tak mau membantu orang lain,
tapi itu jika mampu, kalau tidak mampu lalu membantu bukankah akan malah menambah susah
saja.”
“Baik begini mas, aku punya istri, punya anak satu yang masih kecil.”
“Lalu?”
“Kalau bisa dilihatkan bagaimana istri saya? Soalnya hati saya tak enak sekali.” kata Lukman.
“Lebih baik bekerja dengan baik, dan tak terlalu menyangka yang tidak-tidak, hanya akan membuat
hati tak tenang.” nasehatku.
“Ya tolong dilihatkan mas..” Lukman merajuk.
Lukman lalu mengeluarkan foto istri dan anaknya.
“Ini mas, foto istriku…” Lukman menyodorkan foto ke arahku.
“Kamu itu hanya rindu pada keluarga, dan semua orang yang bekerja di Saudi itu pasti mengalami
cobaan itu, namanya juga jauh dari keluarga, jadi jangan kemudian menjadikan diri terseret pada
prasangka dan bayangan yang membuat diri tak tenang.”
“Tidak mas, ini masalahnya lain…”
“Sudahlah tenangkan saja diri, banyak-banyak dzikir, minta pada Alloh agar hati tenang.” kataku.
Malam itu tetap saja tak ku jawab kemauan Lukman, diriku memang serba susah, apalagi
menyangkut rumah tangga orang, aku sama sekali tak ingin ikut campur dalam rumah tangga orang.
Besoknya pulang kerja seperti biasa banyak orang yang berkumpul di kamarku, ada yang tua ada
juga yang muda, dan setiap waktu ada saja orang yang biasanya tak pernah ikut main ke kamarku,
lalu tiba-tiba saja main, pasti ada maksudnya.
Ini ada tiga orang yang biasanya tak main ke kamarku, dan kali ini main, ada Iwan, pak Purwanto,
dan Sodikun, pak Purwanto orangnya sudah umur 50 an tahun, juga Sodikun sekitar umur 50 an
tahun. Iwan masih muda.
“Mas… saya mau ada perlu..” Sodikun mendahului bicara.
“Ada apa pak ?” tanyaku.
“Ini soal anak perempuan saya.” jawab Sodikun.
“Kenapa anak perempuannya?”
“Anak perempuan saya kemaren dibawa ke rumah sakit, dan divonis mengidap kanker rahim.”
“Hm… trus..?” kataku sambil membuang abu rokok mallboro merah di asbak.
“Maksud saya pengen minta bantuan mas, minta dido’akan supaya penyakitnya sembuh tanpa
harus operasi.” jelas Sodikun.
“Ya ndak papa, saya do’akan, wong mendo’akan juga ndak bayar kok, tinggal minta saja sama
Alloh, yang di rumah disuruh saja sedia air, nanti obatnya saya transfer ke air itu…, sana ditelpon
dulu yang di rumah.” kataku.
“Iya mas, makasih sebelumnya.” kata Sodikun kemudian menelpon rumahnya.
“Ini ada apa Wan kok gak biasanya main ke kamarku?”
“Anu mas, saya juga mau minta tolong…” kata Iwan.
“Wah lama-lama aku dianggep dukun ini di Saudi.. ” candaku.
“Ya beda to mas, kalau dukun kan pakai menyan, kembang, sesajen, la panjenengan kan minta
langsung sama Alloh..” sela pak Purwanto.
“Ada apa dengan nenekmu Wan?” tanyaku.
“Nenekku itu sudah lima tahun lumpuh tak bisa jalan, mas…”
“Lalu?”
“Ya saya minta mas mendo’akan nenek saya itu diberi kesembuhan oleh Alloh, soalnya selama ini
sudah diobatkan kemana-mana juga hasilnya nihil, sudah banyak biaya yang kami keluarkan.”
“Ya suruh saja di rumah sedia air mineral, biar obatnya ku transfer ke air itu… sudah sana yang di
rumah dihubungi.” kataku.
“Iya makasih mas sebelumnya.” kata Iwan lalu berlalu menelpon rumahnya.
“Ini pak Pur ada apa?” tanyaku pada pak Purwanto.
“Sama mas, mau minta do’anya untuk anakku yang di rumah, anak lelakiku sebesar mas tapi
pikirannya kayak terganggu.”
“Terganggunya bagaimana pak?” tanyaku.
“Dulu pernah mengalami kecelakaan motor dan sejak saat itu jadi sering diam, kayak orang
bengong gitu…”
“Hm… ya sama kalau begitu di rumah disuruh saja sedia air mineral, biar obatnya nanti ku transfer
ke air itu.”
“Ya mas makasih, biar saya telpon ke rumah.” kata Purwanto.
Sodikun sudah menghadap lagi,
“Sudah saya suruh sedia air mas.” kata Sodikun.
“Bapak tulis nama dan nama bapak di kertas, besok pagi airnya suruh minum ke anak bapak, moga
saja sembuh.” kataku. Dan Sodikun pun menulis nama anaknya dan nama dia.
“Nanti airnya diminum waktu pagi ya mas?” tanya Sodikun.
“Iya minumnya waktu pagi, sebelum makan atau minum apapun, insa Alloh kalau Alloh mengijinkan
sembuh, nanti tumornya akan hancur, terbuang lewat jalan pembuangannya.” kataku. “Jadi kalau
keluar daging dan darah banyak tak usah terkejut dan kaget.”
“Iya mas… makasih..” kata Sodikun, dan minta diri dari kamarku.
“Ini mas, airnya sudah disediakan,” kata Iwan.
“Suruh saja besok pagi diminum nenekmu, dan diusapkan di kakinya, tapi Wan, belum tentu
kesembuhan itu membawa kebaikan.” jelasku.
“Ya mas, asal nenekku sembuh, kasihan dia sudah sakit sejak lama…” kata Iwan.
“Moga-moga saja sembuh.” kataku.
“Makasih mas,” kata Iwan.
“Iya sama-sama.”
“Airnya sudah disediakan mas.” kata pak Purwanto.
“Iya besok, airnya diminumkan ke anaknya, dan dipakaikan mandi.” kataku.
“Besok pagi ya mas..? “
“Iya besok pagi, moga saja diberi kesembuhan oleh Alloh.”
“Makasih banyak mas… semoga Alloh membalas kebaikan mas Ian.”
“Amiin.” pak Pur pun berlalu, dan masih beberapa orang yang ngobrol ngalor ngidul tak karuan.
Aku tertidur, dan tak tau orang-orang sudah pergi, ketika bangun, segera menjalankan sholat isya’,
dan mendo’akan yang minta dido’akan.
Lukman masuk, baru pulang kerja lembur, wajahnya nampak kusut. Aku melanjutkan dzikirku.
Setelah selesai dzikir, aku membuat indomie, karena perut keroncongan. Ku buatkan sekalian
Lukman yang masih mandi.
“Ayo makan indomie.” kataku ketika Lukman selesai mandi.
“Makasih mas, gak nafsu makan.” katanya tak semangat.
“Lhoh jangan gitu, ini sudah terlanjur ku buat dua, sudah, ada masalah bisa dipikirkan dengan perut
kenyang, kalau perut lapar, masalah kecil juga tak akan selesai, jangan karena satu masalah lalu
diri terseret dalam arusnya, tenangkan diri, hanya hati yang tenang yang mampu menyelesaikan
masalah, ayo makan..” akhirnya Lukman mau, dan kami makan.

Sang Kyai 
EPISODE: 86. DOA YANG DIIJABAH
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Pulang kerja aku langsung mandi, setelah mandi sholat magrib, enaknya di Saudi setiap kamar ada
kamar mandi dan WC, jadi setiap orang tak perlu repot antri, cuma kamar cuci yang mesinnya
hanya satu, jadi kalau nyuci harus nunggu yang lain selesai.
Setelah sholat hape bunyi.
“Halo… mas, minuman sama ayam bakar ku taruh di pintu, tolong diambil, tadi ku ketuk-ketuk gak
nyahut jadi ku taruh aja di pintu.” suara Muhsin.
“Oh ya… aku tadi lagi mandi, jadi pintu kamar ku kunci.” jawabku.
Biasa Muhsin membawakanku kalau tidak minuman kaleng, ya ayam bakar atau kepala kambing,
atau babat sapi, atau kepala ikan laut yang jika dimasak seminggu gak habis-habis, sehingga aku
tak makan di kantin dan memasak sendiri, dia juga aktif membawakan indomie sekardus, juga beras
sekarung, kadang meja sampai penuh untuk menaruh makanan.
“Nanti habis sholat isya’ mau kesitu.” kata Muhsin lagi.
“Ya..” jawabku.
Ada yang mengetuk pintu, ku buka ternyata Amir Khan, orang Pakistan, tak biasa-biasanya main ke
kamarku.
“Silahkan duduk.” kataku dengan bahasa Arab. “Kok tak biasanya main ke kamar?”
“Ya maaf mengganggu ustad.” kata Amir Khan, aku tak tau kenapa kebanyakan pada memanggilku
ustad, padahal sama sekali juga aku tak pernah mengajar atau menunjukkan punya ilmu apa-apa.
“Begini ustadz, saya mau minta tolong…, sebab saya dengar ustadz sering dimintai tolong teman-
teman.” kata Amir Khan.
“Soal apa itu? Maaf sebenarnya aku sendiri tak bisa apa-apa, jadi kalau nantinya mengecewakan.”
kataku.
“Ini soal anak saya di rumah,”
“Memangnya kenapa anaknya?”
“Saya sendiri tak tau sebab musababnya ustadz, tiba-tiba sekitar sebulan ini anak perempuan saya
yang berumur 10 tahun lumpuh, dan tak bisa berjalan.”
“Itu awalnya bagaimana?”
“Makanya itu ustadz, cerita istri anak saya itu tak panas juga tak sakit, ketika bangun tidur, begitu
saja menjadi lumpuh…”
“Ooo begitu, apa bisa di rumah disediakan air?”
“Maksudnya air apa ustad?”
“Maksudku air mineral, ya air itu dibiarkan semalam, biar ku transfer obat ke dalam air tersebut,
besok pagi airnya diupayakan diminum, dan dipakai mandi, bagaimana, bisa tidak?”
“Sebentar, saya akan menghubungi istri saya.” kata Amir Khan, sambil mengeluarkan hape dan
menghubungi rumahnya.
“Oh ya sekalian suruh airnya dicampurkan air untuk mengepel rumah.” kataku di antara
pembicaraannya dengan istrinya.
“Iya sudah disediakan air.” jawab Amir Khan.
“Iya nanti ditunggu saja perkembangan selanjutnya.” jelasku.
“Makasih ustad saya mohon diri dulu..” kata Amir khan.
Selang beberapa saat Muhsin masuk kamar membawa bungkusan makanan.
“Apa itu?” tanyaku menanyakan yang dibawa Muhsin.
“Ini nasi jagung plus ayam, titipan dari orang Maroko, bernama Abduh yang ku mintakan do’a
tentang anaknya dulu, Alhamdulillah anaknya sudah baikan dan sehat.” jelas Muhsin. “Ayo di
makan.”
“Wah kalau nasi jagung kurang pas kalau tak disambelkan, biar aku nyambel sebentar.” kataku
segera meramu sambel trasi andalan.
“Kayaknya tadi Amir Khan dari sini?” tanya Muhsin.
“Iya dia meminta dido’akan anaknya sakit di Pakistan sana.” jawabku.
“Ooo… wah enak ya kalau mendo’akan orang sakit di mana-mana bisa sembuh.” celetuk Muhsin.
“Ya semua orang juga bisa, la wong berdo’a saja apa susahnya.” kataku.
“Tapi kan ndak semua diijabah.” jawab Muhsin.
“Semua juga mempunyai hak diijabah yang sama, dan Alloh juga memberi hak diijabah yang sama,
cuma manusia sendiri yang menjadikan do’anya terhalang oleh ijabah, nafsunya sendiri yang
menjadi penghalang terijabahnya do’a, aku sendiri kan juga bukan orang hebat, sama doyan nasi
jagung, sama doyan bakso, dan sama doyan semua yang halal, jadi tak ada bedanya dengan orang
lain, sampean atau siapapun.”
“Itulah yang malah sulit membedakan, karena samanya, jadi sulit dilihat perbedaannya.” kata
Muhsin.
“Kita sebenarnya hanya perlu melakukan cara ibadah yang benar, yang menjauhi yang dilarang
dengan benar, memakan makanan yang terjaga kehalalannya, ya sebenarnya hanya itu.” kataku
sambil memindah sambel yang selesai ku ulek.
Orang Maroko punya tradisi jika hari jum’at mereka memasak nasi jagung, nasi jagungnya sama
dengan masakan Jawa Timur, aku yang memang suka nasi jagung, walau di Saudi, jadi hampir
setiap jum’at mendapat kiriman nasi jagung dari orang Maroko, karena mempunyai murid orang
Maroko.
——————————————-
Besok aku dikirim ke pabrik baru di Tahamah, perjalanan dari pabrik yang ku tempati ditempuh kira-
kira delapan jam, sore hari pulang kerja aku cepat-cepat pulang ke kamar, melewati jalan pintas
gerumbul semak perdu, walau di Arab karena kepedulian pabrik, jadi ada pengolahan air dinamakan
water treatmen di mana air kotor diolah menjadi air bersih, dan sebagian dipakai menyirami
tanaman, sehingga sekitar pabrik semua tanaman tumbuh subur, kebun mangga ada, kebun jambu,
kebun pisang, kebun jeruk, yang paling menyenangkan di sini burung bebas berkeliaran, bahkan di
pohon kadang penuh sarang burung, bergantungan, dan semua tiap pagi bernyanyi ramai sekali,
juga tiap ada tiang lampu jalan, pasti ditempati sarang elang, atau bangau, bahkan di atap-atap
pabrik, penuh sarang merpati, cuma teman-temanku pernah mengambil banyak merpati, karena
kalau di sarangnya ditangkap tak lari, jadi mengambil merpati sampai dapat setengah karung,
herannya dagingnya rasanya langu, mungkin yang dimakan bukan biji-bijian jagung.
Yang aku heran di sini juga ada ayam liar, atau kalau di Indonesia ayam alas, tapi bentuknya kayak
kalkun, cuma sebesar ayam kampung, juga bisa terbang, jadi sulit untuk menangkapnya, banyak
juga ayam liar, kadang mereka berkelompok. Walau tak pernah hujan, tumbuhan tak mati karena
setiap pohon mendapat jatah air dari selang yang dialirkan sepanjang jalan. Jadi suasana amat
rimbun, cuma kalau panas ya tetap panas, walau di bawah pohon, sebab panas terbawa hembusan
angin.
“Ustadz, terima kasih…” kata suara seseorang di belakangku, ternyata Amir Khan orang Pakistan
yang semalam meminta tolong.
“Bagaimana kabar anaknya?” tanyaku masih tetap jalan, dan Amir Khan berjalan di sampingku.
“Alhamdulillah kata ibunya tadi pas istirahat siang telpon, katanya anaknya sudah bisa jalan, walau
pelan-pelan, ibunya juga merasa kaget, tiba-tiba anaknya turun dari ranjang.” kata Amir Khan.
“Ya syukur kalau begitu.” jawabku.
“Ustadz, ustadz mau dibelikan apa? Katakan saja, pasti saya turuti.” kata Amir Khan.
“Aku?” tanyaku.
“Iya..” jawab Amir.
“Wah aku tak ingin beli apa-apa, sudah yang penting anaknya sehat..”
“Tapi saya mau berterimakasih pada ustadz..” kata Amir Khan.
“Berterima kasih saja pada Alloh…, aku hanya meminta pada-Nya,” jelasku.
“Bolehkah saya menjadi murid Ustad…?” tanya Amir Khan.
“Ah aku orang bodoh, tak pantas diangkat menjadi guru, juga pas kebetulan aku berdo’a, dan Alloh
pas menurunkan kemurahannya dan anakmu diberi kesembuhan.” kataku, dan sampai di kamar.
“Terima kasih ustadz..” kata Amir Khan karena aku akan masuk kamar.
“Sama-sama..” jawabku.
Akhirnya berangkat juga ke Tahamah, satu mobil jeep diisi sembilan orang, sepanjang perjalanan
hanya pemandangan padang pasir, batu, gunung, dan rumah-rumah di puncak gunung, sekali waktu
berhenti di tempat makan, untuk mengisi perut, dan di sini ya paling enak makannya nasi minyak,
dan ayam bakar, tanpa rasa apa-apa, beda di Indonesia yang ada aneka makanan pilihan, bahkan
bumbunya ayam bakar juga cuma cabe utuh, itu juga kalau minta, biasanya cuma dikasih kecap
sama irisan bawang bombai. Sebenarnya jika ke pasar aku lebih suka makan roti canai, atau roti
yang kayak martabak tanpa isi telur jadi cuma adonan tepung tapi digoreng, makannya disuwir
dicolek ke kare daging, rasanya sih lumayan, mendekati rasa rendang padang, cuma kebanyakan
kunyitnya, ya daripada tak ada, ya itu termasuk makanan lezat. Biasanya juga di jalan-jalan ada
warung teh plus nyedot sisa, rokok ala Saudi, dan tehnya dari daun menthol yang direbus, di Saudi
namanya daun Nak-nak, rasanya diminum panas ya hangat-hangat semriwing.
Jam 2 siang, aku sampai di pabrik Tahamah, ketemu juga banyak orang Indonesia, dan kumpul
sebagian rombonganku yang dahulu berangkat bersama dari Indonesia, cuma kemudian yang lain
dikirim ke pabrik beda daerah.
Malamnya pada main ke kamarku, ngobrol ngalor ngidul, ya menanyakan kabar dan lain
sebagainya.

Sang Kyai 
EPISODE: 84. IKHLAS ITU SUATU PROSES
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur

Pabrik semen punya tiga cabang tempat, yang dua di daerah Bissa, dan Tahamah. Dan ketiga
pabrik itu penulis kaligrafinya cuma aku, jadi satu saat bisa saja aku dikirim ke Bissa atau ke
Tahamah. Di Bissa menurut teman-temanku daerahnya dingin, jadi biasanya yang pulang dari sana
bibir akan pecah-pecah, dan kulit ari pada terkelupas, karena hawa dingin dan matahari terik, jadi
orang kayak kena penyakit panas dalam.
Sedang di Tahamah adalah pabrik baru yang baru dibangun, juga baru selesai, jadi amat
membutuhkan banyak tulisan kaligrafi, entah untuk pintu kantor, nama-nama manager dan nama
vila, sampai papan rambu jalan.
Sepertinya dalam waktu dekat aku akan dikirim ke Tahamah, teman sepenerbanganku sudah dikirim
ke Tahamah, namanya juga pabrik baru, jadi segala fasilitas belum selengkap pabrik lama, aku akan
sering dikirim untuk mengerjakan pekerjaan kaligrafi, dengan sistim kirim dan balik lagi, tak seperti
yang lain tinggal menetap. Memang resiko pekerjaan, kerjaan ringan tapi wira-wiri.
——————————————-
Muhsin datang ke kamar, sambil menenteng tas kresek.
“Ini mas ada titipan dari Mabrur, dia tadi siang main ke tempatku, dan mengucapkan terima kasih
karena masalahnya sudah beres.” kata Muhsin.
“Oo ya syukur kalau begitu.”
“Saya juga mau mulai puasa mas.”
“Ya bagus, puasa itu untuk tempat lahan ilmu, puasa itu untuk membersihkan tanah hati, jika mau
ditanami ilmu, maka puasa, seperti tanah mau ditanami padi maka dibersihkan dari rumput dan
batu, juga dicangkul, agar didapat kesuburan yang didapat, biji-biji fadhilah dari Alloh akan tumbuh
dengan subur, lalu disiram, dipupuk dan diistiqomahi dengan dzikir, kapan mulai puasa?” tanyaku
kemudian.
“Baiknya kapan mas?” tanya Muhsin.
“Kapan saja tak masalah, ingat ikhlaskan dalam menjalankan, jangan punya pamrih apa-apa, jangan
punya keinginan pengen bisa sesuatu, laksanakan dzikir karena memenuhi perintah Alloh
wadzkurulloha katsiro, ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya, banyak menurut Alloh tak terbilang
menurut manusia, di akherat saja sehari sama dengan lima ratus tahun di dunia, dan jangan
mengeluh waktu dzikir, jangan membuat kalkulasi, dzikir segini selesai segini jam, sebab dalam
dzikir itu tak bisa dikalkulasi, hitungan penetapan itu hanya agar seseorang itu istiqomah, walau di
dalamnya menyimpan banyak rahasia, tapi jangan mengkalkulasi dzikir dengan itungan jam dan
ketetapan waktu, sebab Alloh sendiri membuat penekanan, wayarzuqhu min khaisu la yakhtasib,
Alloh memberi rizqi dalam artian umum, sebab rizqi itu bukan cuma harta, tapi juga waktu,
kesempatan dan berbagai macam, itu dengan arah yang tak dapat diprediksi, dihitung, dikhisab,
makanya ada istilah to’yul wakti, atau melipat waktu, seperti Nabi SAW, mi’roj ke langit tujuh sampai
sidrotul muntaha, hanya memerlukan waktu satu malam, kalau di perhitungkan dengan ilmu paling
canggih di jaman ini, mungkin langit satu saja butuh waktu jutaan tahun perjalanan kecepatan
cahaya baru sampai, cahaya matahari yang sampai ke bumi bukan cahaya yang di hari ini, tapi
cahaya yang ribuan tahun silam, makanya kalau sudah unsur Alloh, maka tidak bisa dihitung
dengan perhitungan manusia, sebab Alloh itu menjadikan yang mustahil di pemikiran manusia
menjadi sesuatu yang nyata, kalau diri masih eyel-eyelan dengan kekuatan akal sendiri, maka tak
akan keluar dari kemuskilan, sebab masih menyandarkan pada kekuatan akal sendiri, jika
mendekatkan diri pada Alloh harus mau menutup indra, dan biarkan Alloh memberikan nur makrifat
kepahaman pada hati, dan menjauhkan diri penyandaran pada akal,” kataku panjang lebar.
“Iya… insaAlloh mas, mohon bimbingannya.” kata Muhsin.
“Jika menemui hal aneh, misal mimpi ditemui oleh orang berjubah putih, ingat jangan mudah tertipu
oleh rupa-rupa syaitan, orang Arab juga semua berpakaian putih, lalu mimpi ketemu orang
berpakaian putih misal kamu kemudian sampai disuruh ini, diperintah itu, maka kamu nurut, berarti
kamu telah disesatkan.” kataku.
“Lho kok bisa mas, misal aku disuruh membaca qur’an, apa aku juga disesatkan, kan itu membaca
qur’an.” kata Muhsin.
“Iya itu disesatkan, kamu sendiri tau kan, orang ibadah itu bagaimana, niat solat itu bagaimana, niat
puasa itu bagaimana? Kan ujungnya lillahi ta’ala, karena Alloh ta’ala, la kok kemudian kamu
menjalankan bacaan Qur’an karena diperintah oleh orang yang kamu temui di dalam mimpi yang
berjubah putih, bukankah kamu membaca Qur’an berarti karena perintah orang dalam mimpi itu,
bukan menuruti perintah Alloh, paham tidak..”
“Oo ya…ya.. baru aku berpikir kesana…”
“Ingat namanya ikhlas dalam toreqoh itu, tak menganggap ibadah yang kita jalankan itu perbuatan
kita sendiri, tapi itu adalah perbuatan Alloh, sebab semua tubuh, jiwa, ruh, hati dan sampai kita bisa
bergerak dan melakukan ibadah dengan cara dan ilmunya, itu tidak ada lain atas izin, kesempatan
dan kekuatan Alloh yang diberikan pada kita, sehingga tubuh mati kita bisa hidup dan bergerak
melakukan ibadah, maka ibadah itu secara hakikinya bukan perbuatan kita, karena bukan perbuatan
kita, maka tak selayaknya kita mengharap balasan, nah baru amal itu bernilai, dan pantas mendapat
balasan yang setimpal.”
“Jika wirid, upayakan hati dzikir, dzikir itu ingat dan dzikir itu hanya Alloh dan nama-namanya,
wadzkurulloh, ala bidzikrillahi, jadi semua berhubungan dengan Alloh, dan dzikir itu di hati secara
umumnya, dan di latifah-latifah secara penempatannya, cukup ketika wirid itu hati menuliskan lafad
Alloh, dan memegangnya dan menahannya dalam dada, sampai dada itu terasa pecah dan
mengalirkan cahaya ilahiyah, serasa dingin seperti aliran air dari kulkas, mengaliri seluruh urat, dan
menenangkan, menunjukkan hati telah mulai subur, setiap waktu cahaya makrifat itu menyinari hati,
tapi jika hati penuh oleh keinginan nafsu, maka cahaya makrifat itu berlalu tanpa efek sama sekali,
seperti kita bercermin di kaca, sementara kaca tertutup berbagai macam barang, itu seperti ketika
cahaya makrifat melintas di hati dan hati tertutup berbagai keinginan nafsu, maka ada ilham yang
sampai di hati tak terbaca.” kataku
“Hm… iya mas..”
“Bagaimana taunya kita ini sudah ikhlas atau belum?” tanya Muhsin.
“Ikhlas itu suatu proses, tak ada batas akhir suatu keikhlasan seseorang, tapi ada batas antara
orang itu ikhlas dengan tidak ikhlas, yang penting kita berusaha beramal tidak mengharap balasan
dan menjauhkan diri dari pamrih ingin mendapatkan segala sesuatu, selain menjalani perintah Alloh,
jadi hilangkan harapan dan tujuan ingin mendapatkan sesuatu, apapun yang dilakukan atas dasar
keinginan maka itu berarti nafsu, jadi jangan menyandarkan suatu perbuatan ibadah karena
keinginan mendapat sesuatu atau menyandarkan keinginan kita, atau keinginan orang lain, tapi
lakukan melulu karena Alloh memerintahkan, tanda seorang itu telah menapaki pelataran ikhlas,
yaitu hati telah tidak berubah, ada atau tidak anugerah yang diterima dari Alloh saat menjalani
ibadah, hati selalu tetap, tidak lalu bersemangat karena adanya fadhilah yang diterima, dan malas
karena tidak adanya fadhilah, semangat karena ada hadiahnya, dan malas karena tak ada
hadiahnya, dan orang ikhlas itu tidak seperti itu, selalu konsisten, istiqomah, dan berubah-rubah
hatinya karena perubahan keadaan yang dihadapi, makanya Syaikh Abdul Qodir mengatakan kalau
Al istiqomatu afdholu min alfi karomah, istiqomah itu lebih utama dari seribu kekeramatan seorang
wali, sebab istiqomah menunjukkan nilai keikhlasan seseorang.” jelasku.
“Wah berarti jarang orang yang bisa ikhlas dalam menjalankan ibadah?”
“Ikhlas itu bukan sesuatu yang diucap, sebab amaliyah hati, tak terlihat, dan tak teraba, bahkan oleh
malaikat khofdzoh yang membawa amal ibadah seseorang ke langit, bisa saja orang yang gembar-
gembor itu ikhlas, bisa juga orang yang diam tidak ikhlas, atau sebaliknya, tapi amaliyah yang ikhlas
atau tidak itu pasti ada efeknya di jiwa, hati, ruh, dan perbuatan orang yang melakukan amaliyah,
sebab amal perbuatan itu kan pasti ada hasilnya, orang masak beras, hasilnya, beras menjadi nasi.
Jika sepuluh taun dimasak kok tak jadi nasi, berarti masaknya tak benar.
Seperti sholat saja, Alloh berfirman dalam Alqur’an kalau sholat itu bisa mencegah yang
menjalankan, mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, perbuatan keji, ya kayak lisan suka
menyumpah, suka membicarakan aib orang lain, suka mencela, menghasut, mengadu domba, dan
tangan suka mencuri, nyopet, pokoknya orang lain tak aman bila di samping kita, maka jelas kita
masih menjalankan perbuatan keji, dan perbuatan mungkar atau perbuatan yang menjadi larangan
agama, kok perbuatan itu masih kita lakukan sementara kita juga sholat, maka sholat kita itu pasti,
bukan mungkin tapi pasti belum benar, sebagaimana orang memasak beras kok sepuluh tahun
dimasak belum juga jadi nasi, bisa jadi kompornya tak nyala, atau hal apapun yang menjadi kendala
perbuatan itu dilakukan dengan benar.”
“Oh ya mas ada temanku dari Maroko mau main ke kamar mas Ian boleh?” tanya Muhsin.
“Boleh saja.”
“Soalnya dia juga mau minta tolong, soal anaknya,”
“Ya ajak saja kesini.”
“Apa perlu anaknya diajak kesini juga?” tanya Muhsin.
“Tak perlu…, juga dilihat masalahnya apa dulu…” kataku.
“Oh ya juga ada orang Pakistan yang sudah sepuluh tahun tak punya anak, apa mas bisa memberi
solusi?”
“Coba saja lelakinya suruh bicara denganku, soal solusi itu nanti dilihat apa kasusnya.”
——————————————-
Karena tak banyak pekerjaan yang ku lakukan, maka aku sering ikut kerja orang lain, kadang
memasang wallpaper, atau memasang ternit, atau karpet lantai, atau mengecat pintu dan kusen,
sehingga aku sering terlihat kerja dengan banyak orang, bahkan di bagian lain yang bukan
bagianku, sebab pekerja itu dikelompokkan dalam bagian atau section, dan bagianku adalah
welfare, dan aku sering ikut bagian general services.
Karena sering bekerja dengan pekerja lain, maka aku cepat banyak teman dan kenalan, dari orang
India, Pakistan, Maroko, Sudan, Yaman, dan Arab, bahkan Banglades.
Walaupun aku orangnya tak banyak bicara, sehari pun bicara bisa dihitung dengan jari, tiap kerja
kebanyakan diam, hanya bicara dengan orang yang ku rasa cocok bisa diajak membahas ilmu dan
tukar pikiran.

Sang Kyai 
EPISODE: 85. TOREQOH ITU JALAN MENUJU ALLAH
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur

Aku dipasangkan bekerja dengan orang Maroko bernama Muhammad, orangnya tubuhnya besar
dan suka berkelahi, baru dua hari lalu dia memukul orang Banggali sampai KO.
Aku lumayan cocok dengan Muhammad sebab kalau ku ajak ngobrol dia memakai bahasa Arab
baku, sehingga pembicaraan kami lancar.
Kami sering bersama entah dalam bekerja juga dalam keseharian, Muhammad juga sering main ke
kamarku.
“Kamu tau ilmu dari kitab syamsul ma’arif?” tanya Muhammad suatu hari.
“Tau…, itu dalam pesantren di Indonesia itu dinamakan ilmu hikmah.” jawabku
“Itu banyak dipelajari di Maroko.” kata Muhammad sambil merontokkan ternit lama karena kami
dapat pekerjaan lembur merusak internit villa, untuk diganti internit baru.
“Ku dengar syamsul ma’arif dilarang dipelajari di Saudi, bahkan kalau ada orang yang membawa
kitab syamsul ma’arif jika ketangkap polisi akan ditangkap dan yang mengamalkan bisa dihukum
pancung.” kataku.
“Iya…, aku dengar juga begitu.” jawab Muhammad.
“Ku rasa peraturan Saudi soal itu ada benarnya juga, karena menyangkut aqidah, lebih banyak
orang yang belajar kitab syamsul ma’arif, abu ma’sar alfalaqi, aufaq, syamsul anwar, jika tidak kuat
aqidahnya, kebanyakan akan tersesat, artinya akan terseret pada penggantungan diri meminta pada
khodam, bukan pada Alloh.” kataku.
“Kok bisa seperti itu?” tanya Muhammad,
“Iya karena khodam yang ada di amalan yang tertera yang akan memberi kekuatan, kekuatan
khodam tuju bintang yang jadi sandaran, jadi kemudian akan dimintai tolong.” jelasku.
“Begitu ya… padahal aku belajar syamsul ma’arif sudah lama.”
“Pantesan kau memiliki pukulan yang ampuh.” kataku bercanda.
“Ilmu paling murni itu ilmu toreqoh…” kataku.
“Apa yang kamu maksud toreqoh yang tasawuf itu.”
“Tasawuf itu tata cara pengalaman ubudiyah soal hati.” jelasku.
“Dan toreqoh itu lebih luas.”
“Bisakah kau jelaskan sedikit padaku, di Maroko juga ada toreqoh tapi kok orangnya kebanyakan
miskin-miskin.” kata Muhammad.
“Toreqoh itu jalan menuju Alloh, yang punya sanad atau sandaran ilmu yang bersambung dari Nabi
Muhammad SAW, jadi ada ketersambungan guru sampai kepada Nabi, itulah keunggulannya,
sebab jika diumpamakan amaliyah, paralon itu sambungan guru, dan pompa air yang menyala itu
diumpamakan amalan kita, jika dari pompa air itu tak menyambung kepada sumur, sumur itu
umpama Nabi, dan sumber air itu fadhilah dan anugerah Alloh, jika kita punya amaliyah, tapi tidak
menyambung pada Nabi, itu seperti sanyo yang kita nyalakan siang malam, kita amalkan siang
malam tapi tidak menyambung ke sumur, maka sekalipun kita amalkan siang malam maka tidak
akan keluar airnya, artinya fadhilah Alloh tak akan keluar, sebab tidak menyambung ke sumur, lalu
syamsul ma’arif itu tak ada menyambung sanad dari Nabi, maka tidak ada fadhilah Alloh akan
keluar, jadi pentingnya sanad ilmu, juga menentukan hasil pencapaian yang diraih, tapi begitu juga,
dalam toreqoh itu sekalipun guru mursyid maka mereka punya kedudukan yang berbeda, seperti
wadah air, guru itu seperti tabung penyimpanan air, jika dari atas hanya sedikit atau kecil
sambungan air, maka akan sedikit juga paralon di bawahnya akan menerima air dari sambungan
atasnya yang sedikit, maka guru mursyid yang punya sambungan banyak amat sangat berpengaruh
pada besar kecil fadhilah yang dihasilkan murid, guruku mempunyai sambungan toreqoh ke atas
sampai kurang lebih 13 jalur, dan tertampung dalam guruku, maka murid di bawahnya akan banyak
mendapat manfaat, karena aliran fadhilah yang besar.”
“Hm masuk akal juga… jadi tertarik aku dengan toreqoh, bolehkan aku belajar lebih banyak lagi?”
“Aku sendiri juga seorang murid, orang yang mencari, dan masih berusaha istiqomah, kita saling
berbagi saja.” kataku.
“Baik, tapi aku tetap mau minta dibimbing.” kata Muhammad
“Dalam toreqoh ada juga kedudukan seorang mursyid itu beda-beda.” jelasku.
“Ada yang seperti itu ya?” tanya Muhammad sambil kami terus bekerja.
“Contoh tau kan Syaikh Abdul Qodir Jailani RA?”
“Iya tau…”
“Syaikh Abdul Qodir itu punya kedudukan sultonul auliya’, ghousil a’dzom, quthub, ahli talkin, ahli
silsilah, ahli tawasul, ahli nasab, jadi berbagai kedudukan itu menjadi satu, makanya banyak
karomahnya, karena setiap seseorang punya kedudukan itu maka akan dengan sendirinya
mempunyai pakaian kebesaran berbagai atribut dari kedudukan yang dimiliki, seperti seorang
jendral dari sebuah ketentaraan dalam suatu negara, jika banyak tanda pangkat disandangnya
maka akan makin banyak kelebihan yang dimiliki, seperti berhak kemana-mana membawa pistol,
membawahi beberapa peleton tentara, jika kedudukannya cuma penjaga keamanan toko tentu
beda.” kataku menjelaskan yang masuk akalnya Muhammad.
“Hm… sepertinya juga masuk akal.” kata Muhammad.
“Dalam toreqoh juga ada wakil talkin, wakil bai’at, jika kita dibai’at atau ditalkin wakil talkin, maka
selamanya kita hanya akan jadi prajurit, dan karena jadi prajurit maka tak akan meningkat pada
kedudukan yang tinggi, sebab hanya prajurit, bisa jadi orang daerahmu, orang toreqoh yang kamu
sebut miskin-miskin itu orang yang tak mempunyai kedudukan. Dalam ketentaraan juga kan orang
yang kedudukannya rendah tak punya gaji tinggi.”
“Iya bisa jadi juga.”
“Kalau ku umpamakan, seorang kalau mau mendapat gaji dari pabrik, maka jangan hanya
mengulurkan tangan di pintu gerbang, tapi masuklah ke pabrik, daftar, dan menjadi karyawan, maka
pasti akan menerima gaji.” kataku.
“Iya itu benar, lalu apa hubungannya dengan toreqoh?” tanya Muhammad tak mengerti.
“Sama pabrik itu ku umpamakan pabrik fadhilah dan rohmat Alloh, jika kita cuma minta dan tanpa
mengikat diri masuk dalam pabrik fadhilah dan rokhmat Alloh, cuma wira-wiri di sekitar pabrik,
berdo’a, maka kita sangat jauh kemungkinan akan diijabah do’a kita, tapi kalau kita masuk ditalkin
dan dibai’at masuk secara resmi ke dalam pabrik, maka sekalipun tak minta, sekalipun tak berdo’a
kita akan tetap mendapat gaji bulanan, apalagi meminta, pasti Alloh tak segan-segan memberi.”
jelasku.
“Hemmm… biar ku pikirkan apa yang kau katakan, soalnya aku kurang paham seluruhnya.”
“Sepertinya pekerjaan kita sudah selesai, apa kita pulang dulu?” tanyaku.
“Tidak, nanti menunggu jam pulang bareng pekerja lain, pas jam enam, ini baru jam lima lebih
sedikit.” kata Muhammad.
“Lalu bagaimana jika aku ingin mengamalkan toreqoh? Apa yang harus aku lakukan?” tanya
Muhammad.
“Sebenarnya harus ditalkin, ditalkin itu penyaringan seorang murid kalau dalam masuk universitas
ya kayak melakukan pendaftaran dan menjalani seleksi, setelah selama seleksi itu seorang murid
dipantau oleh guru dan ternyata tak pernah melakukan dosa besar, maka akan dibai’at, menjadi
murid secara resmi.” jelasku.
“Maksudnya dosa besar itu apa saja?” tanya Muhammad.
“Ya seperti main perempuan, main judi, mencuri/merampok/mencopet, korupsi, semua golongan
yang mengambil hak orang lain, mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkoba,”
“Jika tidak menjalankan dosa berarti kita bisa dibai’at ya?” tanya Muhammad.
“Iya.. tapi kalau jauh sama guru kan juga susah juga.”
“Iya aku juga mau tanya soal itu, kayak aku di Saudi gini kan jauh susah jika mau dibai’at?” kata
Muhammad sambil menyalakan rokok putihan.
“Itu bisa menjalankan amaliyah dulu, jadi misal nanti dibai’at atau ditalkin, diri sudah ada tanah
tempat menanam ilmu, sebab puasa itu kan membersihkan tanah hati, dari segala penyakit disertai
menyuburkannya, dan ditalkin itu guru kita umpama memberi biji ilmu yang kita tanam di hati kita,
jika hati, tanahnya sudah subur maka berbagai macam ilmu yang ditanam akan tumbuh subur.”
“Boleh aku minta amalannya?”
“Iya nanti ku catatkan, sekalipun amalan ini sama dengan amalan dari siapapun, nilainya beda,
bukan karena aku yang memberi, tapi karena amalan ini ada sanad sambungan guru kepada Nabi
Muhammad, dari malaikat jibril, dari Alloh Ta’ala, jadi jelas amalan walaupun sama-sama lafad
Alloh, yang pemberian dari Alloh, beda yang pemberian seorang ulama atau kyai tapi tak punya
sambungan sanad yang menyambung kepada Alloh, ya kayak paralon yang ku contohkan masuk
kedalam sumur dan menyedot air.”
“Lalu apa amalanku yang dari syamsul ma’arif ku hentikan?” tanya Muhammad.
“Ya dihentikan, sekarang gini saja, selama ini amalan itu kamu amalkan apa yang kamu dapat?
Sudah berapa tahun kamu mengamalkan?”
“Iya sih tak ada yang ku dapat, walau sudah lima tahun aku mengamalkannya.”
“Nah nanti rasakan, kamu menjalankan amalan puasa yang 21 hari dariku, bandingkan dengan
amalan yang kamu jalankan lima tahun…”
“Jadi puasanya 21 hari ya?” tanya Muhammad.
“Iya itu paling dasar, di atasnya ada 41 hari, 3 bulan, 7 bulan. dan seterusnya, seperti orang
sekolah, maka setiap meningkat ke tahapan di atasnya, maka akan memiliki kelebihan yang
dianugerahkan Alloh, entah bisa mengobati orang sakit, entah bisa melihat gaib, mengusir jin, dan
lain-lain, dan setiap orang berbeda-beda kelebihan yang akan didapat, tapi ingat dalam menjalankan
jangan mengharap ingin bisa sesuatu, lakukan dengan ikhlas, karena Alloh, amal apapun itu jika
tanpa adanya keikhlasan maka seperti tubuh tanpa ruh, seperti motor tanpa mesin, maka tak bisa
pergi kemana-mana, jika dipaksakan pergi, maka akan menyusahkan orang yang membawa, begitu
juga amal tanpa adanya keikhlasan maka akan menyusahkan orang yang didekat orang yang
beramal, misal memberi uang maka uang nanti kan akan diundat-undat, diungkit-ungkit, diminta
dikembalikan, bukankah itu menyusahkan pada orang yang didekat.”
“Iya…”
“Jadi amaliyah itu ada dzohir ada bathin, keduanya harus saling melengkapi, jika ingin amal itu
sampai pada tujuan, itu namanya asbab, jadi dalam beramal seseorang itu jika masih dalam
kedudukan sebab asbab, maka dia tak lepas dari sebab, musabab, dan akibat, seperti orang sakit
kepala minum parasetamol lalu penyakitnya sembuh, padahal sebenarnya yang menyembuhkan
Alloh, maka orang tersebut namanya masih menetap di maqom atau kedudukan asbab, artinya
segala sesuatunya membutuhkan sebab, kenyang sebab makan, dan segala sesuatunya dikaitkan
dengan sebab termasuk dalam ubudiyahnya, karena dia ibadah, lalu dia menjadi dekat dengan
Alloh, tapi ada juga orang yang sudah tak tergantung oleh asbab, karena sudah memandang segala
sesuatu itu dikehendaki Alloh terjadinya, dan segala sesuatu itu telah ditaqdirkan terjadi, maka
terjadi, sakit juga jika Alloh menghendaki sembuh, maka akan sembuh, begitu dalam pemikiran
orang yang sudah di kedudukan tanpa sebab, karena tak ada selain Alloh itu bisa menjadi sebab
kepada Alloh, karena kesempurnaannya, semua menjadi sebab karena Alloh menghendakinya
menjadi sebab, dan Alloh itu tak membutuhkan sebab agar sesuatu terjadi, juga seseorang itu
ibadah tak akan menambah kekayaan Alloh, jika semua orang maksiat juga tak menjadikan Alloh
menjadi miskin, jadi Alloh tak terpengaruh oleh gerak gerik semua mahluk, karena semua mahluq itu
bergerak dan berhenti atas kehendak Alloh, jadi amal juga tidak bisa mendekatkan atau menjadikan
dekat dengan Alloh, jika seseorang itu mengandalkan amalnya sendiri maka dia tak akan kemana-
mana, karena jika ruhnya dicabut nyatanya berangkat ke kuburan pun harus dipikul rame-rame,
menunjukkan bahwa amal kita itu tidak bisa menjadikan kita dekat dengan Alloh, tapi Allohlah yang
menghendaki kita menjadi dekat.”
“Lalu bagaimana kita tahu, misal aku ini di maqom asbab atau maqom tajrid?”
“Seorang yang menempatkan jati diri itu hanya perlu berusaha istiqomah dalam ibadah, seperti
orang yang kerja di pabrik jika dijadwal jamnya jam 7 masuk dan jam 4 pulang, ya harus konsisten,
mengikuti aturan yang ditetapkan untuk dirinya, tanpa melakukan tindakan yang menjadikan
absensinya merah, soal nanti dinaikkan kedudukan menjadi manager itu bukan urusan dia, sama
dengan seorang yang beribadah pada Alloh, ada ibadah pokok, adalah waktu pokok bekerja, dan
ibadah sunnah adalah waktu lemburan, jika seseorang mengandalkan gaji pokok atau penghasilan
pokok maka dipastikan manusia itu akan merugi, sebab kebutuhan itu selalu ada yang tidak
diprediksi, misal sakit butuh obat, hujan butuh payung, sama dengan orang yang menyandarkan
ibadah pokok, suatu saat bepergian, maka mengqodho sholat, jadi orang yang tak merugi yang
selalu sedia payung sebelum hujan, lakukan amal dengan tekun, maka kemudian seseorang akan
meningkat di kedudukan yang ditentukan Alloh, dengan sendirinya akan menempati pada
kedudukan tanpa sebab, menyembuhkan penyakit tanpa obat, rizqi tanpa mencari, dan menempuh
tempat yang jauh tanpa proses perjalanan.”
“Oh udah habis jamnya..” kata Muhammad. Dan kami pun dijemput mobil pengangkut karyawan
untuk kembali ke tempat bagian kami masing-masing melakukan tanda tangan keluar kerja.
`Tak terasa telah hampir dua tahun aku di Saudi, waktu berjalan amat cepat, dan sudah sekali aku
pulang cuti, hutangku di PJTKI juga sudah ku lunasi, malah uangku dikembalikan lagi oleh PJTKI
dibelikan emas seharga sepuluh juta dan diserahkan pada istriku. Aku sudah mau mengajukan
Resend, berhenti dari pabrik, tapi aku ingin Hajian agar tak percuma aku di Saudi, pas Hajian di
tahun pertama dan kedua aku baru pulang dari Indonesia sehingga tak ada uang untuk biaya hajian,
semoga di tahun ketigaku aku bisa hajian, sehingga aku bisa segera pulang ke Indonesia.
Sebenarnya di tahun kedua Muhammad telah membujukku untuk hajian dengan biaya ditanggung
dia, tapi aku orangnya selamanya tak mau menyusahkan orang lain, walau saat itu Muhammad
memaksa-maksa katanya sebagai tawadhuk murid kepada guru, tapi aku tetap tak mau.

Sang Kyai 
EPISODE: 83. TIPUAN NAFSU
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
Sebagian orang ingin membunuh sepi, dengan tikaman paling sederhana, lalu sepi mati dan tak
pernah datang lagi selama hidupnya, tapi sebagian pejalan pencari hakikat selalu mencari sepi
seperti mencari anak yang hilang, yang sangat dikasihi, yang bisa mencerai beraikan hati, sekaligus
juga manautkannya. Sebab hanya dengan kehilangan yang fana hati bisa menemukan yang kekal.
Sukmaku segera membumbung, melesat melintasi gunung batu dan malam yang membeku, laut
yang mencair, dan perahu yang mencari harapan, setiap nafas itu adalah perjuangan, atau
keterbuangan hembusan tanpa makna, tanpa aksara, sampai juga di satu pemakaman umum, dan
satu makam dikeramatkan, dan orang mencari serpihan harapan yang mungkin ditinggalkan orang
yang telah mati atau ditindih tipuan salah satu tipu daya dari sekian banyak tipu daya setan yang
telah dirancang sedemikian rupa untuk menyesatkan manusia pada puncak ketersesatan.
Aku juga tak tau kenapa aku tertarik ke arah yang tak ku mengerti, lalu aku melesat lagi sampai ke
masjid tua, yang lantainya dari papan kayu, yang sudah halus di-elus kaki-kaki yang mengurai
harapan, dari sisi yang diyakini kebenarannya, ku lihat orang ramai sholat, aku sekalian mengambil
wudhu dan ikut barisan jama’ah, sekalian sholat isya’ yang belum ku tunaikan.
Tak ada seorangpun yang melihatku, selesai sholat aku mengkonsentrasikan tujuanku, tapi aku
malah terseret ke arah air terjun kecil, lalu baru melesat lagi dan berhenti di dekat pohon sawo tua,
ku lihat jin lebih tinggi dari pohon sawo tua, mungkin tingginya ada sepuluh meter lebih, aku
mengitarinya dengan melayang di udara.
Ku lihat tubuhnya biru tua, bukan hijau, tapi biru ke arah ungu, matanya merah menyala, tak ada
taring, tapi lengannya sebesar pohon kelapa, aku yakin perwujudannya seperti itu karena sifat yang
dimilikinya, bibirnya basah oleh darah, entah darah siapa, tiba-tiba tangannya mengibas
menyerangku, aku menghindar, dan berkali-kali aku diserang, aku berkelit seperti burung srigunting,
meliuk di antara ketiaknya yang bau bangkai, dan membuatku merasa mual mau muntah, aku
mencoba mengitarinya dengan ikatan gaib tak terlihat yang ku bangun dengan lafad Ba’, seperti
jaring laba-laba, berulang kali ku kitari tubuhnya, dan setelah dengan susah payah ku ringkus, aku
menyeretnya, ku seret sepanjang perjalanan, dia menyumpah-nyumpah dengan bahasa sunda yang
tak ku mengerti, ku seret terus sampai di pinggir air terjun. Dan ku ikat kuat-kuat di akar-akar pohon
yang menjuntai. Lalu ku pukul telak dengan petir yang ku bayangkan tercipta dari takbir, dia pun
pingsan. Lalu aku pun melesat pergi lagi. Setengah jam ku tempuh perjalanan jauh, dan sampai di
tubuhku, kamar telah sepi, Safi telah tertidur sambil mengigau-ngigau, aku pejamkan mata,
mengucap syukur, Alloh telah mempermudah dan memberi ijin tugasku. Dan aku berangkat tidur,
setelah ku lihat jam di meja menunjukkan jam dua dini hari.
Jika segala masalah selesai semudah pembuat roti mencampur tepung membuat adonan roti, dan
semangat karena hasil akhir yang diharap kenikmatan merasakan setiap gigitan, walau nafsu itu
sesepele makanan melintasi lidah dan semua telah tak bisa dibedakan jika telah dikeluarkan, nilai
nafsu sebenarnya tak sebernilai ketika dibanding perjuangan memuaskan kepuasannya.
Perjuangan yang meneteskan setiap keringat dari pori-pori, dan dinikmati lebih cepat dari kedipan
mata, dan selalu rasa bosan itu meraja, sekalipun seorang lelaki jatuh bangun memperjuangkan
gadis yang siang malam dimimpikan, tak akan lama juga akan bosan jika telah diraihnya.
Dan jika hal itu tidak juga disadari, maka manusia hanya mengulang-ulang kisah yang sama di
waktu dan kondisi yang berbeda.
——————————————-
Toni masuk kamarku dengan wajah yang tak bersemangat seperti biasanya, bahkan ku candai dia
tak tertawa.
“Kenapa, kok murung amat..?” tanyaku datar, sambil memainkan game Bubblet.
Arif, Ibnu, Heri, Fathur, menyusul masuk, semua pada tertawa ngakak.
“Ada apa kok pada ketawa?” tanyaku heran.
“Ini mas si Toni sudah dapat foto dari perempuan yang diajak telpon-telponan.” jelas Arif.
“Bener Ton? Coba sini aku lihat…!” kataku.
“Udah ku hapus.” jawab Toni.
“Hahahahah… jelek banget mas..” sela Ibnu.
“Lebih jelekan dari Kunti, ampun deh, tua, monyong, hitam, aku malah jadi merinding melihatnya,
hahahaha…” canda Arif.
“Ah yang bener, apa separah itu…? Coba mana Ton…”
Toni mengulurkan hape lipatnya, lalu ku buka.
“Di mana kamu nyimpennya?” tanyaku.
“Ya masih di inbox sms.” jawab Toni.
Ku buka inbox dan memang perempuannya jelek banget, sudah hitam, gemuk, mulutnya kayak
omas, rambutnya dilepas memang kelihatan serem.
“Ya kan ada baiknya Ton, kamu tau sebelum terlambat, setidaknya kamu kan tidak yang-yangan
setiap malam, sudah habis pulsa banyak, ee taunya perempuannya kayak gitu, emakmu saja gak
bakal ridho kamu kawin sama orang kayak gitu.” jelasku.
“Diikat di bawah ranjang untuk nakutin tikus mas…” canda Ibnu.
“Ah itu pasti bukan foto asli.” bantah Toni.
Semua terdiam, memang bisa jadi bukan foto asli.
“Ya untuk membuktikan kan mudah, misal itu foto orang lain, ” kataku.
“Caranya bagaimana.?” tanya Toni.
“Ya bilang ke perempuan itu, kalau itu bukan foto asli, lalu minta foto baru, foto yang setengah
telanjang, atau telanjang sekalian, jika itu yang di foto orang lain, apa mungkin mau diminta foto
telanjang?”
“Terus kalau dia tak mau?” tanya Toni.
“Ah gampang itu aku yang atur, dia pasti mau, ya maksudku, biar jelas sekalian, daripada uang
kamu habis untuk hal yang tak karuan juntrungnya, telpon-telponan sama cewek mulu, aku dengar
saja telinga rasanya gatel…”
“Lalu caranya bagaimana?” tanya Toni.
“Sekarang kamu telpon saja, minta foto yang baru, untuk membuktikan foto itu asli, maka kamu
minta foto yang setengah telanjang, atau yang telanjang.” jelasku.
“Kalau dia tak mau?” tanya Toni.
“Ya langsung saja tutup hapenya…, nanti kalau dia nelpon lagi biar aku yang jawab.” jelasku. Udah
ku jamin dia mau ngasih foto yang telanjang. Memang aku kalau lagi ngacau, lebih ngacau dari
siapa saja.
Toni menelpon, dan pasti jawabannya perempuannya marah-marah, dan tak mau memberi foto
telanjang. Toni menjawab akan memutuskan hubungan. Hape ditutup sama Toni.
Aku kasihan sama Toni, dia sudah 4 tahun di Saudi, dia kerja di Saudi karena ibunya bekerja jadi
pembantu di rumah manajer pabrik semen, makanya dia walau umurnya di bawah duapuluh tapi
bisa bekerja di pabrik semen, tapi gara-gara telponan sama TKW, gaji bulanannya ludes, bukan
masalah membeli pulsa, tapi TKW yang selalu ngajak telponan selalu minta dikirimi pulsa, kalau
ndak ngirim akan diputuskan, ya anak muda seumuran Toni ya jelas susah melepaskan kesenangan
walau cuma mendengar suara cewek yang mendesah-desah.
Sebab kadangkala orang yang kesepian cenderung dibisiki syaitan sampai mempunyai kelainan
hayalan. Dari mendengar desahan saja bisa membangkitkan birahi, ya ujung-ujungnya melakukan
onani yang merusak badan dan pikiran, sekalipun aku tak bisa menghentikan kebiasaan buruk
orang-orang itu, setidaknya aku berusaha. Bahkan dari usaha yang buruk sekalipun, jika tidak
tercatat sebagai amal baikku di sisi Alloh, tak apa-apa, asal teman-temanku bisa utuh uangnya, bisa
mengirimkan kepada orang yang lebih berhak, yaitu istri dan anak atau keluarga mereka. Bukan
diberikan kepada orang yang bicara di hp yang ah-uh tak karuan.
Lama juga kami menunggu hape Toni bunyi lagi, tak juga bunyi. Safi masuk, sambil nelpon dengan
suara perempuan, semua tertawa.
“Fi… udah kasihan, jangan seperti itu, matikan hape nya.” kataku. Safi segera mematikan hape nya.
“Coba panggil pak Bunawi ke sini…” kataku pada Arif. Yang segera beranjak ke kamar pak Bunawi.
Sebentar kemudian pak Bunawi muncul disertai Arif.
“Pak Bun… pak Bun suka telpon telponan sama cewek ya?” tanyaku pada orang tua berumur 55
tahun itu.
“Ah gak juga…” jawab pak Bun.
“He pak Bun, cewek yang pak Bun telpon, dan pak Bun kirimi pulsa itu bukan cewek beneran.”
kataku.
“Tidak kok itu cewek, kami malah mau ketemuan kalau aku cuti nanti, kami mau ketemuan di
Indonesia.” jawab pak Bun.
“Wah bisa pedang ketemu pedang, gini pak Bun, yang pak Bun telpon itu sebenarnya Safi.” jelasku.
“Lhoh kok bisa nomer cewek itu ada di Safi?” tanya pak Bun tak mengerti.
“Bukan nomernya ada di Safi, tapi itu ya Safi itu…” jelasku. “Coba Saf, kamu telpon pak Bun biar
aku tak banyak menjelaskan.”
Safi pun menelpon pak Bun, dan hp pak Bun pun bunyi tanda ada telpon masuk, lalu diangkat oleh
pak Bun, dan Safi bicara dengan suara perempuan, pak Bun gemetar.
“Bagaimana pak Bun? Sudah percaya dengan ucapanku? Sudahlah kembali ke tujuan awal, ke
Saudi itu untuk mencari uang, bukan untuk menghabiskan uang untuk mengisi kesepian, ya kalau
sudah jauh-jauh ke Saudi, tapi malah pulang tidak bawa uang, hanya habis untuk telpon telponan,
mending pulang, kerja kumpul keluarga, biar pendapatan sedikit asal berkah, daripada sudah jauh
anak istri, tapi malah hati tak tenang, namanya tak kuat cobaan dan ujian.” kataku dengan halus
menjelaskan.
Pak Bun salah tingkah, ya tak apa-apa daripada terlanjur kemana-mana, aku harus menjelaskan
kebenaran, semoga nantinya dijadikan pelajaran, walau aku sendiri tak berharap banyak, sebab
kebanyakan manusia selalu kalah oleh nafsunya.
Hanya orang yang selalu sadar, dan ingat akan selamat, eleng lan waspodo, sebab tipuan nafsu itu
memang sulit dilawan, nafsu itu seperti duri dalam daging ikan, jika tanpa duri, nyatanya ikan itu
butuh duri, tapi jika memakai duri maka ikan akan sulit jika mau dimakan.
Seperti tulang di tubuh manusia, jika tanpa tulang, jelas manusia itu akan lemes seperti plembungan
kempes, jadi membutuhkan tulang, tapi karena ada tulang maka manusia jadi patah tulang dan
kalau dipukul jadi benjut.
Nyatanya manusia itu butuh nafsu, agar punya semangat hidup, mengejar bayangan yang ingin
diraih, tapi juga karena nafsu manusia punya sifat pembunuh dan suka menghalalkan segala cara
untuk meraih apa yang diharapkannya.
Suara hp Toni bunyi, dan dilihat ternyata ceweknya itu yang nelpon, namanya sih keren, Cintia, aku
angkat.
“Halo mas Toni…” suaranya mendayu-dayu kayak ayunan.
“Maaf mbak ini siapa?” tanyaku.
“Mas Toninya ada?”
“Ada mbak, ini lagi dipegangi temen-temennya.” jawabku asal sambil memberi isyarat jari agar yang
lain jangan ribut.
“Memangnya kenapa?” tanya dari Cintia
“Gak tau mbak, tadi ngamuk-ngamuk, pelernya sendiri dipukul-pukul pakai batu bata, sampai
setengah hancur.” jawabku ngawur. “Ini juga dipegangi berusaha berontak, maunya katanya
ngancurin pelernya sendiri, tadi sih bilangnya sedikit-sedikit katanya biar tak dimiliki perempuan, gak
tau maksudnya apa, kasihan juga, dia jerit-jerit…” ku kasih isyarat pada yang lain agar membantu
membuat suara gaduh.
“Pegangi tangannya, jangan sampai narik pelernya lagi.” kata Arif.
“Kakinya-kakinya jangan dilepas…” kata Safi.
“Darahnya itu jangan netes di kasur.” kata Ibnu.
“Aduuuh, lepas… lepas… biar aku mati saja.” kata Toni.
Suasana jadi ramai, ada yang menggebrak meja, ribut amat, macam menangani orang gila yang
lepas.
“Percuma aku hidup..” kata Toni.
“Awas dia mau gigit lidahnya, janggel giginya dengan sepatu.” kataku menambahi.
“Mas…! Maass.. ada apa sebenarnya?” kata Cintia panik.
“Ya gak tau tadi habis telponan kok jadi kayak orang kerasukan, apa tadi nelpon minta apa ke
ceweknya gak dikasih, jadinya setengah edan gini…. ambil tambang ikat di pohon..” kataku seakan
mengalami hal yang sebenarnya. Di selani teriakan semua temanku ramai, padahal kami lagi
nongkrong santai di dalam kamar.
“Iya… iya mas bilang aku mau ngasih apa yang dia minta, jangan menyiksa diri.” kata Cintia panik.
“Mau ngasih apa mbak?” tanyaku pura-pura tak tau.
“Udah pokoknya bilang sebentar lagi ku kirim..” jawab Cintia.
“Oh iya mbak akan ku kasih tau, he Ton… udah jangan ngamuk, mbak ini mau ngasih apa yang
kamu minta…. hee, jangan biarkan Toni pegang bata itu… ambilkan obat merah.” kataku. Dan hape
Cintia dimatikan.
Sungguh sandiwara yang aneh… memang sesuatu yang serba bayangan harus menyelesaikannya
dengan bayangan.
Sepuluh menit kemudian ada kiriman MMS masuk di hape Toni, dan tetap foto wanita itu yang
terkirim dalam keadaan telanjang.
“Nah sekarang bagaimana Ton, apa mau dilanjut, kamu kirim pulsa ke cewek itu, atau mau kamu
nikahin atau bagaimana, sekarang sudah ku tunjukkan kenyataan.” kataku mengingatkan.
“Rasanya masih tak percaya kalau dia sejelek itu, padahal suaranya merdu habis.” kata Toni lemes,
“Dunia itu tak sesederhana itu Ton, dalam agama saja seorang lelaki tak harus asal cantik saja
mencari pendamping hidup, nabi mengajarkan, kalau mencari pendamping hidup yang bernasab,
nasabnya baik, bukan anak zina yang gak jelas bapaknya, juga kalau bisa yang kaya, kalau bisa
yang cantik, dan kalau bisa yang sempurna agamanya, kalau cantik terus ditinggal sebentar sudah
dibawa kabur lelaki lain kan juga makan hati. Jadi cari yang jelas jangan yang cuma lewat hape,
moroti uangmu, kan uang kamu bisa dibelikan sawah, nanti pulang dari Saudi bisa digarap
sawahnya atau digarapkan orang lain, atau dibelikan sapi atau kambing, disuruh merawat orang,
nanti kan bisa dijual, daripada kamu kasihkan orang yang tak jelas gitu… apa kamu mau di Saudi
sampai tua?”
“Iya mas…, memang aku sudah habis banyak,”
“Iya kamu ngirimi dia pulsa tiap hari, dia jual pulsa itu pada temannya di sana, insaf, mending nanti
pulang cuti, nikah sekalian.” kataku.
“Iya makasih mas…, mungkin kalau mas tidak mengarahkan, aku akan makin habis-habisan.” kata
Toni.

Sang Kyai 
EPISODE: 88. DOA ITU SENJATANYA ORANG ISLAM
(Berdasarkan Kisah Nyata)
Penulis: Kyai Nur
.
“Bagaimana soal istri saya?” tanya Lukman lagi setelah kami selesai makan.
“Hehehe… kembali lagi, mbok gak usah nanyakan soal istrimu…” kataku sambil menyalakan rokok.
“Aku benar-benar belum tenang mas, jika belum tau hal yang sebenarnya.” kata Lukman.
“Perlu kamu tau, aku melihat aib orang lain itu, akan sangat membuat mata hatiku buta, jadi ada
batas-batas mana yang tak boleh aku lihat, dan mana yang boleh aku lihat, apa yang ku miliki ini
anugerah, maunah dari Alloh, jadi tidak bisa diriku asal diriku seenaknya memakai, misal melihat aib
orang lain, atau melihat misal perempuan mandi, bisa jadi apa yang ku miliki ini akan tercabut.”
“Tapi mas, aku minta sekali ini saja, mas membantuku.”
“Ketahuilah, jika kamu tau, ku katakan sejujurnya, itu tak akan menjadikanmu malah semakin baik,
tapi malah akan merusakmu, maka tak tau akan lebih baik.” jelasku.
“Tolong lah mas…” kata Lukman menangis.
“Baik-baik, semoga Alloh mengampuni dosaku, dan suatu saat mengembalikan mata hatiku yang
buta dan semoga kyaiku mema’afkan kesalahan yang akan ku perbuat, ku katakan istrimu
selingkuh.” kataku dengan berat hati.
“Apa benar mas?” tanya Lukman, menatapku mencari kepastian.
“Biar sekalian detail, kamu nanti bisa telpon istrimu dan mencari kejelasan dengan apa yang ku
katakan nanti, dengarkan baik-baik, dia kenal dengan lelaki selingkuhannya di sebuah taman, lelaki
itu bernama Rohman, perawakannya sedang, kulit kuning, dia juga sudah punya istri, awalnya
istrimu curhat, lalu bertemu kembali ketika menonton bola volly, lalu bertemu kembali di hotel, jadi
uang yang kau kirimkan dipakai berdua membayar hotel, malah waktu ke hotel ditemani anak
kecilmu, nah sudah aku tak bisa bicara banyak, ini sudah menyiksaku.” kataku panjang lebar.
Dan Lukman menangis.
“Sebaiknya kau bicara dengan istrimu, menanyakan kejelasan, sebagai lelaki sejati harus tegar,
hadapi kenyataan sepahit apapun itu, jangan cengeng, itu kenyataan, sudah ku katakan tak tau
mungkin akan lebih baik.”
Aku tinggal Lukman tidur, sementara dia menelpon istrinya, dan walau awalnya istrinya membantah,
tapi akhirnya mengakui semua, setelah apa yang ku katakan pada lukman diungkap, sampai istrinya
heran karena suaminya yang di Saudi bisa tau sedetail itu, tapi setelah pengungkapanku itu, mata
batinku seperti tertutup, aku tak bisa melihat lagi kegaiban di sekitarku, tak bisa lagi
menterjemahkan apa yang tersirat di balik kejadian, ah memang perjalananku harus mengulang,
aku meneteskan air mata.
Sore sepulang kerja, dan selesai mandi Sodikun sudah menungguku.
“Maaf mas, kata mas benar, anak perempuanku, seharian ini berak dan kencing mengeluarkan
gumpalan daging yang banyak sekali, ini bagaimana mas… katanya tubuhnya sampai lemas.” kata
Sodikun.
“Ya ndak papa, bagus, ya dibawa ke rumah sakit lagi saja, biar dilihat apa tumornya masih ada.”
jelasku.
“Begitu ya mas? ” tanya Sodikun.
“Ya, sebaiknya begitu.”
——————————————-
Malamnya Iwan juga masuk, membawa beberapa bungkus rokok ditaruh di mejaku.
“Apa ini?” tanyaku.
“Ini mas sekedar terima kasihku.” kata Iwan.
“Terima kasih apa?”
“Nenekku sudah bisa jalan.” kata Iwan,
“Ndak perlu repot-repot wan.”
“Gak papa mas…”
——————————————-
“Aku mau pulang ke Indonesia mas…” kata Lukman.
“Cuti?” tanyaku.
“Tidak mas, aku berhenti kerja di pabrik.”
“Lhoh kok gitu?”
“Iya mas, apa perlunya kalau aku kerja jauh-jauh di Saudi, kalau rumah tanggaku hancur.”
“Kamu sudah mengajukan berhenti?” tanyaku pada Lukman.
“Sudah mas.” jawabnya singkat.
“Ingat segala sesuatunya apapun kejadian di dunia ini sudah digariskan oleh Alloh, jangan
menyalahkan keadaan dan apapun yang terjadi, sadari diri kenyataannya mengalami itu, lalu
kembalikanlah kepada Alloh, hati itu kadang harus terluka, seperti tanah itu kadang dicangkul
dibajak, agar tanah menjadi subur, dan mau kembali ingat kepada Alloh, jika kita tidak melakukan
kehalusan diri membajak hati kita sendiri maka Alloh akan memperingatkan kita dengan kasar, dan
lewat cobaan-cobaan yang maksudnya agar kita ingat, hati menjadi subur, dan kembali ke jalan
yang tak mengutamakan ego, manusia itu dalam kenyataannya dibuat menjadi mahluk yang lemah,
tapi bisa jadi karena suatu ilmu atau kekuasaan maka kemudian merasa diri kuat, dan egois, maka
Alloh kemudian memperingatkan kembali keberadaan manusia kembali sebagai diri yang lemah,
Alloh ledakkan gunung, Alloh goyangkan bumi dengan gempa, Alloh tumpahkan laut dengan
tsunami, Alloh perintahkan angin untuk memporak-porandakan bumi, agar hati manusia menyadari
kelemahan, dan kembali menggantungkan diri pada dzat yang paling perkasa dan maha menolong
yaitu Alloh, sebaiknya sebelum pulang umroh dulu ke Makkah, dan sedikit tenangkan hati, ingat
hanya orang yang hatinya tenang yang akan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.”
jelasku panjang lebar.
“Iya mas, rencana juga mau umroh dulu…” jawab Lukman.
--------------------------------
Aku sudah tidak dipekerjakan menjadi tukang sapu, aku disuruh menunggu material yang ku
butuhkan datang, dan aku ditempatkan di belakang Banggala, Banggala kalau di Indonesia ya mini
market, menjual berbagai kebutuhan, dan walau cuma menunggu untung tak jenuh karena ada
internet, di Saudi hanya dua sim card, yaitu Al-jawal dan mobile, aku selalu memakai Al-jawal,
karena internetnya dapat ku tembus, bisa internetan gratis, sehingga mau apa saja, asal internetan
pasti gratis, semua konten porno di Saudi itu tak bisa dibuka, entah pakai hape atau komputer, asal
ada unsur porno, xxx, warna biru, dan ada tulisan porno, sex, adult pasti jika dibuka langsung diblok,
tapi kalau pakai gratisan malah tidak, karena tidak terbaca operator kita membuka apa.
Dan tentu saja aku bebas membuka, tanpa ada blok, karena bisa membuka sehingga orang- orang
kebanyakan ingin ku ajari, setidaknya dapat mengurangi kesenangan mereka telpon-telponan
dengan TKW, yang kebanyakan menghabiskan gaji sebulan, ya tak apalah mereka ku ajari
membobol internet, ku setingkan, asal tidak menghabiskan uang, dipakai nelpon.
Karena banyakan nganggur sehingga tiap hari paling ngobrol sama teman-teman di Indonesia, lewat
ebbudy, atau lewat forumku di jowo.jw.lt, dan makwa.mw.lt, atau iseng-iseng menulis CERBER
cerita berantai yang digagas oleh temanku Asim, atau menulis cerita-cerita pendek, setidaknya
waktu tak membosankan, dan yang pasti internet gratis.
Apalagi setelah membeli laptop aku memakai antena wireless adapter, dan memakai pemancar
wajan bolik, menyadap modem orang Arab yang dibiarkan bocor tanpa password, internetan makin
seru, setiap hari habis pulang kerja langsung saja membuka internet, kalau kamis jum’at libur, habis
kerja seharian sampai malam jam empat pagi baru tidur, karena membuka internet, semua orang
Indonesia kemudian juga membeli laptop, dan berinternetan gratis.
Tak ada lagi telpon-telponan dengan TKW, di kamarku tiap hari ada saja yang minta diajari memakai
laptop, bahkan orang Pakistan dan Yaman juga ada yang datang minta diajari.
——————————————-
“Mas…! nenekku meninggal…” kata Iwan suatu pagi bicara padaku dengan wajah murung.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun, kapan wan?” tanyaku.
“Semalam, karena mungkin ingin mengambil air, atau mau ke kamar mandi, jadi jalan sendiri,
menurut tembok, dan menabrak tivi, dan tertimpa, dan ditemukan sudah meninggal.” cerita Iwan.
“Sabar Wan…, setiap orang juga akan mati, segala sesuatu pasti ada sebabnya, semua kejadian
tak lepas dari taqdir yang telah digariskan.” hiburku.
“Iya mas…, cuma kenapa aku jadi lupa tak meminta mas juga mendo’akan agar sakit mata nenekku
sembuh, soalnya matanya sudah susah melihat mas, makanya dia berjalan merambati tembok,
sehingga nabrak tivi.”
“Nah itu juga tak lepas dari ketentuan dan rancangan Alloh.” jelasku. “Mungkin saja kematiannya
lebih baik, daripada menanggung derita selama ini.”
Seperti biasa, aku cuma duduk-duduk di ruang kerjaku, karena tidak ada pekerjaan, Sodikun masuk
ke ruang kerjaku, wajahnya kelihatan panik.
“Mas… aku mau minta tolong lagi…” katanya panik.
“Minta tolong apa lagi? Apa tumor anaknya kambuh?” tanyaku.
“Tumornya sudah sembuh mas…, tapi sekarang anak perempuanku dibawa kabur lelaki…” kata
Sodikun agak malu.
“Wah kalau itu aku ndak bisa nolong, ya dilaporkan polisi saja, la aku sendiri walau di Indonesia juga
belum tentu bisa nolong.”
“Apa ndak bisa dido’akan biar pulang mas.”
“Do’a itu senjatanya orang Islam, addu’au syaiful muslimin, karena do’a itu penggantungan diri pada
Sang Pencipta, sehingga jika seseorang ditaqdirkan buruk, dan tak bisa siapapun merubah menjadi
baik, maka berdo’a saja minta pada Alloh agar taqdir dirubah oleh Alloh menjadi baik, karena hanya
Alloh yang bisa merubah taqdir, jadi secara tak langsung dengan do’a taqdir itu bisa dirubah, karena
penyandaran permintaan pada Alloh, tapi juga dalam hal tertentu kita tidak bisa menggantungkan
do’a, karena Alloh telah menetapkan syarat, sebab, contoh jika masak kurang asin, jangan dido’ai
agar masakan jadi asin, ya dido’ai sehari semalam juga tak akan asin, sebab sudah ada sarat, kalau
pengen asin ya ditambah garam, maka makanan yang kurang asin, kasih saja garam, pasti asin, ya
kayak anakmu yang dibawa kabur pacarnya itu laporkan saja ke polisi, biar dicari.”
“Oh iya mas makasih.” kata Sodikun.
Aku jadi berfikir mungkin Alloh memberikan penyakit tumor kandungan pada anak gadisnya
Sodikun, dengan maksud agar tak menjalankan perbuatan maksiat yaitu zina, tapi aku telah
memintakan kesembuhan, sehingga akhirnya malah pacaran kemudian hamil, ah entahlah, aku
memang lemah, semoga Alloh mengampuni kesalahanku.
Ternyata banyak sekali maksud yang terkandung dalam segala kejadian, yang kadang tak aku
mengerti sebelum semuanya terjadi.
Memang akhirnya anak Sodikun akhirnya mengandung di luar nikah.

Anda mungkin juga menyukai