Anda di halaman 1dari 8

SUMBER 1

Banyak cara meraih kekayaan dengan kerja keras dan halal, tapi tak sedikit pula orang yang ingin
kaya secara instan. Bahkan rela bersekutu dengan setan, yaitu dengan cara ritual pesugihan.

Di Jawa Timur, ada banyak tempat untuk ritual ngipri atau pesugihan. Salah satunya di daerah
Ngujang, Tulungagung. Di tempat ini terkenal dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam
Bahasa Jawa biasa disebut kethek.

Tidaklah sulit menemukan tempat ritual pesugihan ini. Jika hendak menuju Kota Tulungagung,
para wisatawan yang datang dari arah utara, pasti melewati Desa Ngujang. Dan jika para
wisatawan (biasanya mereka berwisata di daerah Popoh, yang menjadi salah satu obyek wisata
Pantai Selatan di Jawa Timur) yang melewati Desa Ngujang, mereka akan mengira tempat ini
adalah area komplek lokalisasi. Sebab, selain terkenal sebagai tempat pesugihan, Desa Ngujang
juga dikenal sebagai lokalisasi atau komplek tempat para pekerja seks komersial (PSK) mengais
rezeki.

Sementara area pesugihan 'kethek' berada di kompleks pemakaman umum, di sebelah selatan
Sungai Brantas, tepatnya di sisi utara Desa Ngujang. Di tempat tersebut, terdapat dua makam
umum di sisi kiri dan kanan. Kedua makam itu saling berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan
raya.

Satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa. Dan di tempat inilah,
tempat hidup dan berkumpulnya ratusan, bahkan ribuan monyet, atau warga sekitar biasa
menyebutnya lokasi Kethekan.

"Di situ, orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan," terang Wignyo, warga Desa
Campur Darat, Tulungagung.

Lelaki paruh baya, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual di Tulungagung itu juga
menceritakan, ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-
perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin).

"Termasuk dia (pemuja pesugihan) harus bersedia menjadi penghuni makam Ngujang dan
berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal menjemput. Saat masih hidup-pun, si
pemuja juga wajib memberi tumbal kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang."

Sementara warga sekitar, meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni makam Ngujang, adalah
perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah
dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah
mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman.

Namun populasi monyet-monyet itu tidak bertambah maupun berkurang dari dulu. Dalam bahasa
ilmiah, angka kelahiran monyet itu sama dengan angka kematiannya.
Sedangkan menurut Mohammad Toif, warga Sepanjang, Sidoarjo yang mengaku sempat singgah
dan bercakap-cakap dengan juru kunci makam Ngujang menceritakan, sejarah Kethekan.

Sejarahe Kethekan, cerita Toif yang didapat dari juru kunci makam Desa Ngujang. Dahulu kala,
ada sebuah Pondok Pesantren di Desa Ngantru yang berada tidak jauh dari Desa Ngujang.
"Sampai sekarang pesantren itu masih ada," katanya.

Suatu hari, lanjut Toif, dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah bermain-
main di sekitar dua komplek makam. "Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat
biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh," terang Toif menceritakan
cerita sang juru kunci.

Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa dijumpai di areal pemakaman. "Dua santri itu
sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat muja.
Mereka bermain sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua santri
tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat mereka belajar. Namun, tiba-tiba salah
satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua santrinya yang asyik bermain tersebut," kata Toif
melanjutkan ceritanya.

Kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai mereka datang. Sedangkan sang kiai
yang melihat kedua santrinya tidak mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang
kiai: "Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat temakalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-
teman kalian sedang mengaji di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek
saja."

Menurut orang-orang kuno, kata Toif menegaskan, khususnya orang-orang linuweh (sakti) seperti
para kiai, kata-katanya ibarat kutukan. "Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di
sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah
keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai pondok tersebut. Sejak saat itu,
desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat
menuntut ilmu (pondok pesantren)."

Selanjutnya, dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari
pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan, dia (si
pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.

"Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual terlebih dahulu. Dan
setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana, dimintai
sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah
mencari pesugihan di sana akan diundang dalam acara selamatan tersebut," pungkas Toif
mengakhiri cerita yang pernah dia dapat secara kebetulan di Desa Ngujang.

Kali ini kita akan melihat berbagai ritual pesugihan di tanah air kita. Yang kami sebutkan kali ini,
cuma contoh saja, padahal masih banyak sampel lainnya. Dan itu sudah jadi bukti bagaimana
tradisi kesyirikan di negeri kita terus laris manis, tiada henti. Bahkan hal itu pun didukung oleh
orang banyak dan juga para pejabat. Hanya dengan pertolongan Allah, lalu ajakan untuk bertauhid
yang bisa memusnahkan ajaran semacam itu.

Beberapa Ritual Pesugihan

1. Pesugihan lewat monyet atau kera (kethek)

Di Jawa Timur, ada banyak tempat untuk ritual pesugihan. Salah satunya di daerah Ngujang,
Tulungagung. Di tempat ini terkenal dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam Bahasa Jawa
biasa disebut ‘kethek’. Ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan ini. Ada
perjanjian-perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin). Di
antara syarat yang harus dipenuhi dalam pesugihan ini adalah wajib memberi tumbal kepada
mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang selama si pemuja masih hidup.

Selanjutnya, dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari
pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan, dia (si
pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki. Konon
kisahnya, di antara monyet yang ada adalah jelmaan dari dua santri yang dahulu enggan untuk
ngaji di pesantren, ketika disuruh, mereka malah memanjati pohon. (Sumber: Merdeka.com)

2. Pesugihan lewat semedi di goa dan makam

Gunung Selok di Cilacap merupakan wisata yang nyaman mengasyikkan dan unik karena lokasi
ini menyajikan perpaduan keindahan alam berupa hutan bukit goa-goa alam Benteng peninggalan
Jepang yang konon ada 25 benteng dan pantai laut selatan .

Wisatawan yang datang berkunjung biasanya mempunyai minat berziarah atau ingin bersemedi di
petilasan atau makam atau di goa-goa yang ada. Petilasan yang banyak dikunjungi dan dianggap
keramat adalah Padepokan Jambe Lima dan Padepokan Jambe Pitu.

Goa yang ada di sana setiap hari dikunjungi wisatawan untuk berziarah dengan tujuan yang
beraneka ragam ada yang menginginkan pangkat, kemuliaan, kesehatan, ingin punya jodoh,
usahanya lancar dan sebagainya. (Sumber: Cirebonfree.blogspot.com)

3. Pesugihan lewat ritual seks

Gunung Kemukus berada di Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Di
gunung ini, terdapat sebuah sendang yang bernama Sendang Ontrowulan. Menurut legenda,
Gunung Kemukus ini adalah tempat pelarian Pangeran Samodra dari Majapahit, bersama
kekasihnya yang juga ibu tirinya, bernama Nyai Ontrowulan. Nyai Ontrowulan sering mandi di
sendang tersebut. Pesugihan lewat ritual seks

Gunung Kemukus berada di Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Di
gunung ini, terdapat sebuah sendang yang bernama Sendang Ontrowulan. Menurut legenda,
Gunung Kemukus ini adalah tempat pelarian Pangeran Samodra dari Majapahit, bersama
kekasihnya yang juga ibu tirinya, bernama Nyai Ontrowulan. Nyai Ontrowulan sering mandi di
sendang tersebut. Mencuci muka dengan air sendang ini dipercaya bisa membuat awet muda. Yang
paling kontroversial dari Gunung Kemukus adalah ritual pesugihan berbau seksual. Untuk
mendapatkan hasil maksimal, konon para pencari pesugihan harus berhubungan seks dengan
lawan jenis yang juga sedang mencari pesugihan. Lawan jenis ini bisa jadi bukan suami/istrinya.
Konon, ritual ini untuk mengenang cinta terlarang Pangeran Samodra dengan Nyai Ontrowulan.
(Sumber: Lipatan6.blogspot.com)
Ada pula pesugihan jenis ini yang aneh karena melakukan ritual seks alam ghaib. Awalnya akan
terjadi “persetubuhan” antara laki-laki dan perempuan yang bersedia mengandung benih.
“Persetubuhan” ini setengah ghaib sifatnya, tidak harus benar-benar menyetubuhi atau
disetubuhi oleh seseorang lain secara fisik. Setelah hal itu dilakukan maka benih dari pria dan
wanita yang telah bercampur dan bersatu secara ghaib itu menjadi janin hidup Anak Dewa yang
kelak akan menjadi “tumbal pengganti” dan dititipkan ke dalam rahim seorang perempuan yang
bersedia menjadi “pengandung” sewaan untuk dibesarkan. Ketika tiba waktunya, Sang Anak
Dewa berpindah alam, tetapi sebenarnya ia akan hidup dan menjadi besar sebagai tentara ghaib di
alam sana. Dialah yang menjadi tumbal pengganti dari keinginan seseorang untuk mendapatkan
kekayaan besar dengan cara yang mudah.

4. Pesugihan lewat ngalap berkah pada pohon

Gunung Kawi merupakan petilasan dari tokoh-tokoh yang berbeda generasi. Tempat ini pernah
menjadi pelarian Pangeran Kameswara dari Kediri pada tahun 1200-an Masehi.

Selain itu, di gunung ini juga terdapat makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo, yang merupakan
keturunan Mataram. Keduanya adalah pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri setelah
ditangkapnya Pangeran diponegoro pada tahun 1830. Petilasan dan makam tersebut yang biasanya
dikunjungi untuk ngalap berkah.

Di Gunung ini terdapat sebuah pohon yang bernama Pohon Dewandaru. Konon, pohon ini bisa
mendatangkan keberuntungan. Para pengalap berkah akan menunggu daun, buah, dahan, atau
ranting yang jatuh dari pohon tersebut yang dipercaya bisa mendatangkan apa yang diinginkan.
(Sumber: Lipatan6.blogspot.com)

5. Pesugihan lewat tumbal, sembelihan dan sesajen

Gunung Srandil yang terletak di Kecamatan Adipala, Cilacap, Jawa Tengah ini menyimpan
banyak kisah dan mitos. Selain dipercaya sebagi petilasan tokoh-tokoh sejarah seperti Kunci Sari
dan Dana Sari yang merupakan pengikut pangeran Diponegoro, gunung ini juga diyakini menjadi
petilasan tokoh-tokoh mitologis Jawa, seperti Hanoman dan Eyang Semar.

Para pencari berkah biasa datang ke gunung ini dengan membawa berbagai sesajen, baik berupa
bunga-bungaan, hingga sembelihan seperti ayam atau kambing. (Sumber: Lipatan6.blogspot.com)
Pesugihan jenis ini dapat pula ditemui di Gunung Merapi. Merapi sejak dulu menyimpan sejuta
misteri. Gunung teraktif di dunia ini, menjadi tempat yang banyak dikunjungi paca peziarah. Di
antara mereka, ada yang datang untuk mencari jalan pintas untuk kaya.

Di Cangkringan, lereng Merapi sebelah selatan terdapat sebuah gundukan tanah yang dipercaya
sebagai makam keramat. Lokasi ini dinamakan Watu Tumpeng. Konon di sini bersemayam jasad
seorang sakti dari masa lampau.

Situs Watu Tumpeng ini ramai didatangi oleh mereka yang ingin mengubah nasib. Banyak
persembahan diberikan pada penunggu ghaib dari situs tersebut. Konon, tempat ini memang tidak
meminta tumbal fisik bagi mereka yang berhasil.

Meski secara fisik tidak meminta tumbal, namun secara rohani, mereka yang meminta di tempat
tersebut telah menyerahkan jiwa mereka pada kekuatan lain selain Allah. (Sumber:
Lipatan6.bPesugihan lewat kubur para wali, sunan, kyai, gus dan tokoh penyebar islam, dengan
do’a dan tawassul

Setiap orang yang datang ke makam tokoh-tokoh tadi mempunyai maksud dan tujuan bermacam-
macam, mulai dari yang ingin sukses usahanya, cepat naik pangkat, hingga agar dimudahkan
jodoh. Bisa jadi, mereka ingin menjadi kaya atau agar masalah yang sedang dihadapi selekasnya
menemukan jalan keluarnya. Apalagi menjelang Pemilu, kubur-kubur ini semakin diramaikan oleh
para pejabat. Biasanya mereka langsung nyekar lalu berdoa di makam. Bahkan tak jarang peziarah
menggelar selamatan di pelataran makam. Dipercaya mereka yang datang dan menggelar
selamatan merupakan orang-orang yang telah terkabul permohonannya, termasuk nazar
dimudahkan rezekinya yang banyak diartikan sebagai ritual pesugihan. Peziarah setelah
melakukan ritual nyekar acap kali kembali datang untuk selanjutnya menggelar selamatan.

Tak cuma kuburan kuno yang laris manis dikunjungi orang-orang yang lemah akal dan akidahnya.
Makam mantan Presiden Gus Dur di Jombang pun tak pernah sepi dari para peziarah yang datang
jauh-jauh untuk bertawasul di sana. Mungkin lantaran saking ramainya dikunjungi orang, Pemkab
Jombang bahkan berencana untuk memugar makam tersebut yang menelan biaya hingga 180
milyar. Konon biaya sebesar itu akan diambil dari APBD Kabupaten Jombang, dan APBD
Propinsi Jawa Timur, serta sebagian besar diambil dari dana APBN pemerintah pusat. Bila proyek
itu benar-benar terlaksana maka sungguh ironis sekali di tengah puluhan juta orang yang masih
hidup di bawah garis kemiskinan, dan ratusan gedung sekolah yang nyaris ambruk.

9. Pesugihan lewat jimat (tamimah)

Di antara jimat yang digunakan diberi nama “Mustika Alam Pesugihan Tuyul Putih”. Jimat ini
diklaim dapat membantu dalam hal kejayaan dan kekayaan supaya dapat menghasilkan uang
dengan lebih mudah. Kata mereka, benda tersebut diisi dengan “Kekuatan Rahasia Hikmat
Alam” untuk membantu menyelesaikan masalah keuangan betapapun peliknya dalam waktu
yang relatif sangat singkat dan dengan cara yang tidak terduga-duga. Cara pemakaiannya, mustika
cukup disimpan di rumah kotak khusus, lalu diberi dupa setiap sebulan sekali. Di antara
keampuhannya menurut klaim mereka adalah bisa melariskan barang dagangan dan bila dipakai
melamar pekerjaan maka pasti diterima dikarenakan orang yang melihat akan terpesona dengan
orang yang memakainya.

Bentuk jimat (tamimah lainnya) adalah lewat pemajangan foto kyai, ulama, tokoh agama bahkan
tokoh ghaib (mistis) seperti Nyi Roro Kidul dengan keyakinan untuk dapat berkah, melariskan
dagangan, dan melancarkan rizki. Pesugihan jenis ini bisa ditemukan di Jawa maupun luar Jawa.

(Beberapa sumber info di atas kami sembunyikan, karena berpotensi bahaya jika diakses).

Sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya, bahwa ritual pesugihan di atas tidaklah lepas
dari penyimpangan berikut ini.
Syirik dalam ibadah (uluhiyah) bahkan dalam rububiyah (karena yakin yang mengabulkan do’a
adalah selain Allah).
‘Ngalap berkah’ yang tidak syar’i bisa jadi syirik, bisa jadi amalan yang mengada-ngada.
Semedi atau i’tikaf tanpa ada petunjuk dalam Islam.
Meraih kekayaan dan hajat dunia lewat ritual maksiat seperti lewat ritual seks dengan bukan
pasangan yang sah.
Tawassul yang tidak benar.
Harus memenuhi syarat pesugihan dengan menyajikan tumbal dan sesajen.
Tawakkal (menyandarkan hati) pada sesuatu yang bukan sebab atau mencari keberkahan lewat
jimat.
Beramal akhirat hanya untuk mencari keuntungan dunia semata.
Melakukan safar terlarang ke gunung, petilasan dan kubur wali.
Mencontoh pelaku maksiat.
Melakukan ritual mengada-ada yang tidak pernah dituntunkan.
Penyimpangan di atas akan dijelaskan secara lebih detail dalam serial berikutnya. Moga Allah
menolong dan memudahkan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk.

Sumber / Penulis : merdeka & media blob

SUMBER 2
Merdeka.com - Banyak cara meraih kekayaan dengan kerja keras dan halal, tapi tak sedikit pula
orang yang ingin kaya secara instan. Bahkan rela bersekutu dengan setan, yaitu dengan cara ritual
pesugihan.

Di Jawa Timur, ada banyak tempat untuk ritual ngipri atau pesugihan. Salah satunya di daerah
Ngujang, Tulungagung. Di tempat ini terkenal dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam
Bahasa Jawa biasa disebut kethek.

Tidaklah sulit menemukan tempat ritual pesugihan ini. Jika hendak menuju Kota Tulungagung,
para wisatawan yang datang dari arah utara, pasti melewati Desa Ngujang. Dan jika para
wisatawan (biasanya mereka berwisata di daerah Popoh, yang menjadi salah satu obyek wisata
Pantai Selatan di Jawa Timur) yang melewati Desa Ngujang, mereka akan mengira tempat ini
adalah area komplek lokalisasi. Sebab, selain terkenal sebagai tempat pesugihan, Desa Ngujang
juga dikenal sebagai lokalisasi atau komplek tempat para pekerja seks komersial (PSK) mengais
rezeki.

Sementara area pesugihan 'kethek' berada di kompleks pemakaman umum, di sebelah selatan
Sungai Brantas, tepatnya di sisi utara Desa Ngujang. Di tempat tersebut, terdapat dua makam
umum di sisi kiri dan kanan. Kedua makam itu saling berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan
raya.

Satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa. Dan di tempat inilah,
tempat hidup dan berkumpulnya ratusan, bahkan ribuan monyet, atau warga sekitar biasa
menyebutnya lokasi Kethekan.

"Di situ, orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan," terang Wignyo, warga Desa
Campur Darat, Tulungagung.

Lelaki paruh baya, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual di Tulungagung itu juga
menceritakan, ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-
perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin).

"Termasuk dia (pemuja pesugihan) harus bersedia menjadi penghuni makam Ngujang dan
berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal menjemput. Saat masih hidup-pun, si
pemuja juga wajib memberi tumbal kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang."

Sementara warga sekitar, meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni makam Ngujang, adalah
perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah
dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah
mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman.

Namun populasi monyet-monyet itu tidak bertambah maupun berkurang dari dulu. Dalam bahasa
ilmiah, angka kelahiran monyet itu sama dengan angka kematiannya.

Sedangkan menurut Mohammad Toif, warga Sepanjang, Sidoarjo yang mengaku sempat singgah
dan bercakap-cakap dengan juru kunci makam Ngujang menceritakan, sejarah Kethekan.

Sejarahe Kethekan, cerita Toif yang didapat dari juru kunci makam Desa Ngujang. Dahulu kala,
ada sebuah Pondok Pesantren di Desa Ngantru yang berada tidak jauh dari Desa Ngujang.
"Sampai sekarang pesantren itu masih ada," katanya.

Suatu hari, lanjut Toif, dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah bermain-
main di sekitar dua komplek makam. "Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat
biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh," terang Toif menceritakan
cerita sang juru kunci.

Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa dijumpai di areal pemakaman. "Dua santri itu
sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat muja.
Mereka bermain sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua santri
tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat mereka belajar. Namun, tiba-tiba salah
satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua santrinya yang asyik bermain tersebut," kata Toif
melanjutkan ceritanya.

Kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai mereka datang. Sedangkan sang kiai
yangKedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai mereka datang. Sedangkan sang kiai
yang melihat kedua santrinya tidak mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang
kiai: "Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji di pondok.
Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek saja."

Menurut orang-orang kuno, kata Toif menegaskan, khususnya orang-orang linuweh (sakti) seperti
para kiai, kata-katanya ibarat kutukan. "Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di
sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah
keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai pondok tersebut. Sejak saat itu,
desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat
menuntut ilmu (pondok pesantren)."

Selanjutnya, dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari
pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan, dia (si
pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.

"Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual terlebih dahulu. Dan
setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana, dimintai
sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah
mencari pesugihan di sana akan diundang dalam acara selamatan tersebut," pungkas Toif
mengakhiri cerita yang pernah dia dapat secara kebetulan di Desa Ngujang.

Anda mungkin juga menyukai