Anda di halaman 1dari 8

Spiritualitas Kebatinan dalam pandangan Islam

Oleh: Syamsul Badi’/peserta PKU angkatan XIII

Spiritualitas adalah aspek terpenting dalam setiap agama tetapi juga tidak hanya diajarkan
oleh agama-agama, ada juga kelompok lain biasa disebut dengan Aliran Kebatinan, yang
ajarannya masih menginduk pada agama-agama. Aliran kebatinan jumlahnya cukup banyak dan
eksistensinya turut mengalami fluktuasi, ada yang berkembang ada yang mati. Sekarang, Aliran
kebatinan disetujui eksistensinya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi pilihan ketujuh
dalam kolom agama di KTP (kartu tanda penduduk), sebagai agama kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa.1 Dengan keputusan ini, membuktikan bahwa aliran kebatinan memisahkan diri
dari agama, secara tidak langsung juga menolak ajaran agama dan mereka tidak lagi menginduk
kepada agama-agama, tetapi memiliki ajaran spiritualitas sendiri.

Masalahnya, masih banyak kaum muslimin yang masih menggandrungi aliran kebatinan,
sebagai jalan untuk mendalami spiritual. Bagi mereka, para pemimpin agama selalu menekankan
pada fikih saja, tanpa mengajarkan sifat bathiniyyah-nya.2 Ibadah formal dirasa belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan batinnya, belum lagi anggapan bahwa Islam yang menekankan pada
aspek fikih saja terbilang tidak toleran. Padahal syari’at Islam, dalam aspek akidah (batin)
maupun fikih (lahir) sangat berkaitan dalam penguatan spiritualitas karena kedua-duanya
menegaskan keesaan Allah. Islam tidak mengakui adanya garis horizontal yang memisahkan
antara ibadah lahir dan batin, justru menekankan adanya garis vertikal sebagai penghubung dan
lanjutan dari lahir ke batin.3 Maka Seharusnya, kaum muslimin lebih megutamakan jalan
spiritual dalam Islam untuk meraih kedamaian batinnya, serta tidak perlu lagi mengikuti aliran
kebatinan untuk menguatkan keimanannya

Aliran kebatinan sekarang ini, tumbuh dan berkembang memiliki tujuan damai telah
memisahkan diri dari agama. dengan memisahkan diri tersebut menjadi bukti bahwa ilmu dan

1
Kristian Erdianto, Sandro Gatra (ed) MK (Mahkamah Konstitusi) Hak Penganut Kepercayaan Setara
dengan Pemeluk 6 Agama, (diposting pada tanggal 07/11/2017, 11:49 WIB)
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/11495511/mk-hak-penganut-kepercayaan-setara-dengan-pemeluk-6-
agama, diakses pada tanggal 03 Oktober 2019 pukul 03.38 WIB.
2
Dikutip dari: Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 82
3
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam an exposition of the
fundamental elements of the worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 11
ajarannya merupakan strategi untuk menentang, menolak syari’at Islam dan menjadi ladang
suburnya Pluralisme Agama.4 Penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan dalam makalah ini, yaitu
bagaimana pengolahan spiritualitas dalam aliran kebatinan yang akan berujung pada pemudaran
keimanan kita kepada Allah SWT.

Definisi Spiritualitas Kebatinan

Secara etimologi, kata “spiritual” adalah kata sifat yang berhubungan dengan atau
bersifat kejiwaan (rohani, batin).5 Dalam bahasa Inggris kata tersebut berasal dari kata dasar
“spirit”. Kata ini memiliki beberapa derivasi, seperti; “spiritualisasi”yaitu, pembentukan jiwa;
“spiritualisme” yang berarti kepercayaan memanggil roh orang mati, aliran filsafat atau faham
yang mengutamakan kerohanian, atau spiritisme; “spiritualitas” yang berarti semangat jiwa
tentang sesuatu. Dalam konteks kebahasaan ini, kata dasar spiritual adalah spirit yang memiliki
arti jiwa.6 Sedangkan kata “sipiritualitas” dapat didefinisikan sebagai pengalaman manusia
secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan, dan moralitas.7

Sedangkan kebatinan, jika dilihat dari akar katanya, maka istilah ”kebatinan” berasal dari
kata “batin” (bahasa Arab) yang berarti “di dalam”, “yang tersembunyi” muncul saat zaman
Islam di Indonesia.8 Untuk mempermudah memahami definisi dari kebatinan juga bisa dilihat
dari hasil Kongres Kebatinan Indonesia (KKI). KKI kedua di Surakarta tahun 1956
menghasilkan sebuah definisi yaitu, “kebatinan ialah sumber azas dan sila ketuhanan yang
Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup.”9 Kesempurnaan hidup yang
dimaksud adalah menjadikan manusia layaknya sepi ing pamrih, rame ing gawe (banyak bekerja

4
Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup dan berdampingan di surga (Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme)
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online), http://kbbi.web.id/spiritual
6
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 963
7
Charles H. Zastrow, The Practice Work, (White Water: An International Thompson Publishing Company,
1999), 317
8
Prof. H. M Rasjidi, Islam dan..., hal. 51. lihat juga Prof HAMKA, PerkembanganKebatinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), p. 2-3
9
Tjahaja Widjayakusuma: Buku Satu Windu B.K.K.I (Jakarta: Badan Kongres Kebaitnan Indonesia pusat,
1963), hal. 107
dengan tidak memikirkan keuntungan diri) dan menciptakan memayu hawuning bawana
(membentuk dunia yang indah dan makmur).

Dalam Islam, ilmu tauhid merupakan landasan utama untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, setiap muslim harus memahami ilmu tauhid secara benar. Ibadah
tanpa dilandasi tauhid yang benar, tidak ada nilainya dihadapan Allah SWT. Namun bila ditelaah
kembali definisi dari kebatinan tidak sejalan dengan konsep tauhid. H.M Rasjidi mengatakan
definisi ini terbalik, Tuhan yang Maha Esa adalah pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Seharusnya bukan kebatinan yang menjadi sumber ketuhanan yang Maha Esa, melainkan
Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi sumber bagi kebatinan. Suwarno Imam menolak H.M
Rasjidi, definisi terbalik karena cara pandangnya menurut orang Islam, definisi kebatinan sudah
tentu untuk orang penganut kebatinan, ketuhanan bagi orang kebatinan bagi orang kebatinan
adalah pendalaman batin.10 hal ini seperti yang disebutkan Rahmat Subagya,11 seorang Jesuit
katolik, mengutip penafsiran Mr. Wongsonegoro, yaitu “semua pikiran atau tindakan yang
berdasarkan kekuatan gaib yang mencari dan ingin mengetahui kenyataan dibelakang fenomin
alam”.12 Maksudnya kebatinan lebih menekankan pada aspek mistisme dan merealisasikan daya
batin manusia untuk mencapai kontak langsung antara roh manusia dengan roh yang mutlak.

Namun, Jika kita telaah salah satu hasil KKI tersebut dalam rumusan tentang pendidikan
jiwa, teruraikan tujuan pendidikan jiwa adalah “timbulnya manusia susila atau manusia yang
bertindak: sepi ing pamrih rame ing gawe bersumber pada azas dan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, untuk mencapai Budi Luhur, guna kesempurnaan hidup lahir dan batin...”.13 Dikuatkan
dalam Anggaran Dasar Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) pada Bab II tentang Azas
dan Tujuan menyebutkan “BKKI berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.14 Selain itu, Surastri

10
Suwarno Imam S., Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa (Jakarta: Rajawali
Pers, 2005), hal. 85-86
11
Nama aslinya J.W.M Bakker SJ, lihat: Azyumardi Azra, Mehamami Konflik Barat-Islam dalam Era
Globalisasi, sebuah pengantar buku Karel Stenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam
di Indonesia (1596-1942), (Bandung: Mizan,1995), hal. xxii
12
Rahmat Subagya, Kepercayaan kebatinan-kerohanian-kejiwaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius
(anggota IKAPI), 1992), hal. 34. Lihat juga: K. Permadi, Pandangan Aliran Kepercayaan terhadap Islam, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Pembinaan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, 1992, hal. 21
13
Lihat rumus (Definisi) Pendidikan Djiwa dalam Kenang-kenangan Konggres Kebatinan Indonesia
Indonesia ke I dan ke II di Semarang dan di Surakarta (Surakarta: Percetakan Kepunton, 1956), hal. 107
14
Hasil Seminar Kebathinan Indonesia Ke-1 Djakarta (Badan Kongres Kebathinan Indonesia: Jakarta,
1959), hal. 17
Karma Trimurti, selaku penghayat aliran kebatinan menafsirkan pernyataan diatas sebagai
panduan anggota BKKI wajib percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Hakekat kebenaran tidak
terletak pada materi (kebatinan) melainkan bersumber dari Tuhan yang Maha Esa.15 Walaupun
begitu, Mr Wongsonegoro telah menjelaskan dalam pembukaan, bahwa pendidikan agama telah
gagal dalam pendidikan jiwa,16 kebatinan dianggap lebih superioritas dalam memahami Tuhan
yang Maha Esa.

Perhelatan definisi ini memang tidak lepas dari banyaknya aliran kebatinan yang
berkembang di Indonesia, definisi kebatinan sulit untuk bisa memuaskan semua pihak.17
Gerakannya bersifat subyektif bertolak belakang dari ajaran agama pada umumnya yang bersifat
universal sarat dengan tujuan politiknya.18 Namun secara umum, dapat disimpulkan spiritualitas
kebatinan adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa
melalui pengalaman batin agar mengetahui makna, tujuan hidupnya, atau sebagai haluan
pandangan tentang pengetahuan yang berkaitan erat dengan batin maupun jiwa, yang berusaha
untuk mengungkapkan dan meralisasikan keyakinan yang didapati dari pengalaman dalam olah
rasa, jiwa atau batinnya diluar dari ajaran agama, termasuk Islam.

Ajaran Spiritualitas dalam Aliran Kebatinan

Dengan definisi diatas, ajaran-ajaran yang terdapat dalam aliran-aliran kebatinan tidak
berdasarkan agama, melainkan berlandaskan wahyu, wangsit, wisik, peling, sasmita atau sebutan
serupa yang didapat oleh pendiri setiap aliran kebatinan. M.M Jayadiguna yang dikutip oleh
Kamil Kartapradja, kebatinan empat unsur tersebut; Ilmu Gaib, Union Mystic (menyatu dengan
tuhan), sangkan paraning dumadi (asal manusia dari tuhan) dan budi luhur.19 H.M Rasjidi
mengingatkan, jika suatu golongan mengajarkan hal-hal tersebut pasti memiliki konsepsi

15
Lihat: Hasil Seminar Kebatinan Indonesia ke-1 Djakarta (Jakarta: Badan Kongres Kebatinan Indonesia,
1959), hal. 17
16
”pendidikan jiwa mempunyai dasar yang lebih luas daripada pendidikan agama maupun pendidikan budi-
pekerti”___“mengapa agama tidak dapat menentramkan dunia? Sebabnya adalah karena orang-orang yang
menjalankan agama itu sering hanya menitik beratkan pada satu segi saja, yaitu berbakti kepada Tuhan, dengan
melepaskan sama sekali kebatinan. (dalam Kongres Kebatinan Indonesia ke-2, solo 1956, kata pembuka. Dikutip
dari Rahmat Subagya, Kepercayaan..., hal, 68)
17
Ma’ruf al-Payamani, Islam dan Kebatinan: Studi Kritis tentang Perbandingan Filsafat dan Tasawuf,
(T.K: Ramadhani, 1992)), hal. 9
18
Tim penulis Riwayat Hidup dan Perjuangan KH Imam Zarkasyi Pondok Modern Gontor, KH. Imam
Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press,1996), hal. 320
19
Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung,
1985), hal. 60-61
tersendiri. Empat unsur tersebut sudah pasti memiliki keterhubungan yang kuat hingga mencapai
pribadi yang budi luhur.20 Hal tersebut juga sudah ada dalam ajaran Islam tetapi bagi Mr
Wongsonegoro dalam Seminar Kebatinan ke-3 penekanan dalam agama dan kebatinan berbeda,
Corak kebatinan lebih bersifat kosmosentris.21 Maka kesempurnaan hidup diraih dengan
menggali kenyataan mutlak yang terdapat dalam batin, melalui kontak dengan alam gaib akan
menerima kekuasaan atas daya-tenaga gaib dalam kosmos, dapat dilihat dari ilmunya,
kesaktiannya, astrologi, maupun ramalan masa depan.

Para pendiri dari setiap aliran kebatinan memiliki peran dan kedudukan yang tinggi,
sebagai penyambung tuntunan Tuhan, menjadi sarana Tuhan untuk menyampaikan maksud dan
kehendakNya, sehingga pituturnya adalah kata-kata Tuhan yang keluar dari mulut pendiri aliran
tersebut.22 Oleh karena itu, pengikutnya dilarang membantah apa yang diperintahkan oleh
pendirinya, karena para pendiri telah mencapai pada tingkatan tertinggi dalam pengolahan
batinnya yaitu, manunggaling kawula gusti (penyatuan dengan Tuhan). Dalam penelitiannya
tentang Serat Hidayat Jati karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, Simuh menjelaskan dalam
kondisi ini manusia berhak mengakui sebagai Tuhan.23 Karena bagi yang mahir dalam kebatinan
akan memiliki kekuatan Gusti yang dalam istilahnya angampil wewenanging Dzat (meminjam
wewenang Tuhan). Dengan anggapan seperti ini, ajaran yang diajarkan oleh para pendiri datang
langsung dari Tuhan mereka.

Hardopusoro misalnya, salah satu aliran kebatinan yang ajarannya berbasis budaya jawa.
Ajarannya menjadi komplementer esoteros kejawen yang mengarah ke masyarakat teosofi.24
Untuk mencapai moksa (leburnya seluruh anasir fisik dan jiwa dari diri sendiri) tingkatan

20
Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Islam dan ..., hal. 53
21
Mr Wongsonegoro menerangkan: ”Agama dan Kebatinan, kedua-duanya memiliki unsur yang sama,
ialah panembah (kebaktian kepada Tuhan yang Maha Esa) dan budi luhur. Perbedaan hanya terdapat pada
pemberian stress atau tekanan. Bagi agama stressnya diberikan pada panembah, sedang pada kebatinan
memberikan tekanan kepada tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup” (dalam Rahmat Subagya,
Kepercayaan kebatinan-kerohanian-kejiwaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius (anggota IKAPI), 1992), hal. 42)
22
Jarman Arroisi, Aliran Kepercayaan, Kebatinan dan Sinkretisme, Mencermati Tradisi & Budaya
Masyarakat Muslim Jawa, (Penerbit Perum Ansor,2017) Lihat juga: zoemulder
23
“...menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya masa ajal atau maut. Manusia yang sanggup mencapai
penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskitha dan menjadi manusia yang sempurna
hidupnya. Yaitu orang yang tingkah-lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Lantaran Tuhan bersabda,
mendengar, melihat, merasakan segara rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia. Dalam keadaan kesatuan
seperti itu manusia berhak mengakui sebagai Tuhan. Karena Tuhanlah yang berbicara mempergunakan mulutnya.”
(Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988) , hal. 282
24
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu, 2008), hal. 356
tertinggi dalam spiritualnya, Hardopusoro mengajarkan wirid dalam tujuh tingkatan. Tehnik
utamanya dengan melakukan kungkum atau semedi dengan mengucap mantra, sambil duduk
merendam diri sampai leher di sumber air keramat atau pertemuan dua aliran sungai yang biasa
disebut dengan tempuran.25 Paul Strange dalam wawancaranya dengan Drs. Warsito dan
Martosuwignio, Setelah latihan keras dalam sumber air, pelatihan bisa dilakukan dengan
mencelupkan kaki di dalam semangkuk air saja. Strange juga bertemu dengan para penghayat
aliran ini yang diketuai oleh Hardjanto di Solo, melakukan latihan kungkum tersebut di rumah
masing-masing saat sulit menemukan atau mengunjungi tempat sakral. 26 Lelaku seperti ini demi
mencapai kasunyatan dan kasampurnan berdasarkan kawruh ngelmu, sehingga memiliki
kesaktian seperti halnya Wali.

Aliran ini juga menjadi telah banyak melahirkan kaum waskita dan paling berpengaruh
pada masa akhri kolonialisme, keanggotaan kelompok ini para priyayi, termasuk ayah dan paman
mantan presiden Soekarno dan beberapa pendiri aliran kebatinan, khususnya PANGESTU dan
Sumarah juga bertemu dengan SUBUD.27 Memang secara panembahan berbeda-beda, tetapi
dalam setiap kasus, kesan, gaya, corak dan praktik nampak bersifat derivatif. Bentuk-bentuk
ekspresi mistik dan wujud bathiniyyahnya menunjukkan sifat turunan. Walaupun setiap aliran
menegaskan pengalaman batinnya bersifat langsung secara subyektif, tidak menuntut
kemungkinan pewahyuan yang diterima adalah sama, yakni setelah melalui kontak langsung
dengan alam gaib. Kebanyakan orang mencampurkan antara kesatuan dan wahyu dengan
penyirnaan bentuk yang maujud, padahal pencerahan semacam itu tidak menyangkut perubahan
bentuk apapun. Bila mana hal ini dirasakan setiap orang akan menjadi paradoksial, yang mana
setiap orang akan menemukan Tuhannya masing-masing dalam pengalaman batin, dengan cara
yang mereka suka.

Contoh lainnya, yang mendapatkan Tuhan melalui pengalaman batinnya adalah Aliran
PANGESTU. Konsep ketuhanan aliran PANGESTU disebut dengan Tri Purusa, yang artinya
keadaan Satu bersifat Tiga. Dijelaskan dalam Kitab Sasangka Jati, sifat itu adalah Suksma
25
Petir Abimanyu, Buku Pintar Aliran Kebatinan..., hal. 23
26
Paul Strange, Kejawen Modern; Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah, (Yogyakarta:
LkiS, 2009), hal. 32
27
Wawancara dengan Drs. Warsito, Magelang, Juni 1973. Warsito, yang kemudian juga menjadi anggota
Sumarah, dibesarkan di salah satu keluarga pengikut Hardopusoro, yakni ayah dan kakeknya merupakan pemimpin
gerakan itu di Jawa Timur (Madiun dan Malang). Paul Strange, Kejawen Modern; Kejawen Modern: Hakikat dalam
Penghayatan Sumarah, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hal. 29-30
Kawekas (Tuhan Sejati), Suksma Sejati (Pemimpin Sejati) dan Roh Suci (Jiwa Manusia Sejati). 28
Konsep ini sama dengan konsep Trinitas dalam agama Kristen.29 Dijelaskan pula dalam
Piwulangipun Sang Guru Sejati, Suksma Sejati dalam kristen disebut Sang Kristus atau Sang
Sabda dan dalam Islam menurut kalangan sufi disebut Nur Muhammad atau Nur Dzatullah.30
Sedangkan Roh Suci adalah Roh Kudus dalam Kristen. Menurut ajaran Kristiani,
seorang Kristen memiliki Roh Kudus di dalam dirinya. Roh Kudus merupakan Roh Allah yang
menolong, memimpin, menghibur, dan menjadi Teman Yang Setia. Roh Kudus gabungan dari
roh tuhan bapak dan anak, yang pancarannya menuntun umat Kristiani agar hidup sejalan dengan
kehendak Tuhan.31 Sang Guru Sejati PANGESTU bersabda dalam Sasangka Jati:

“Sesungguhnya sejatimu itu adalah cahaya tuhan, sedangkan tuhan itu adalah tunggal dengan sejatimu,
oleh karena itu tidak ada barang sesuatupun yang tidak dapat kamu lakukan asal kamu benar-benar
telah dapat bertemu dengan penuntunmu yang sejati, ya gurumu yang sejati, sebab ya Suksma Sejati
itulah yang akan memberikan petunjuk kepadamu tentang qawat dan rungsitnya perjalananmu dijalan
keutamaan, maka sentausakanlah niatmu bagaikan tegaknya gunung baja.”32

Pendiri aliran PANGESTU mendapat wangsit tersebut setelah melakukan shalat daim
yaitu,33 shalat yang tidak pernah terputus-putus dalam hidupnya, tidak terikat dengan waktu,
tanpa rukuk, dan tanpa sujud hanya berzikir, bertafakkur dan mawas diri. Mawas diri di sini
berarti selalu ingat (eling) kepada Tuhan Yang Maha Esa.34 Kita semua tahu bahwa kata “shalat”
hanya ada dalam Islam. Sekarang ini Shalat daim menjadi shalat alternatif dari shalat lima waktu

28
Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Pangestu, 1971), hal. 13
29
Trinitas adalah konsep ketuhanan kristen; Tuhan Bapak yang ada di surga menciptakan alam semesta,
Tuhan Anak yang membawa ajaran dan sebagai penebus dosa, Roh Kudus tempat penyucian yang berdiam dalam
diri kita. Hadiwijono menerangkan, “Trinitas itu menghindarkan orang tersesat dari ajaran Deisme (ajaran bahwa
tuhan menciptakan dan meninggalkan makhluknya) jadi, tuhan bapak ada diatas kita, tetapi tuhan anak bersama-
sama dengan kita dan roh kudus ia berdiam di dalam kita” (Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: Badan
Penerbit Kristen, 1970), hal. 115)
30
Pokok-pokok Piwulangipun Sang Guru Sejati, (Jakarta: Pangestu, 1967), hal. 6
31
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil..., hal. 55
32
Pokok-pokok Piwulangipun Guru Sejati, (Jakarta: Pangestu, 1967), hal. 56
33
Petir Abimanyu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, cetakan pertama (Yogyakarta: Laksana,
2014), hal. 65, tata cara panembah dengan shalat daim dengan menghadap kiblat, berdiri tegak, meluhurkan nama
Tuhan, bersedakap dengan wajah tunduk, badan membungkuk, sujud, duduk bersimpuh, berpaling ke kiri dan
kemudian berpaling ke kanan (Sasangka Jati, 1983), 192.
34
Karya Pangeran Sastrawijaya, Suluk Sajatining Salat, teks ke 11, bertuliskan Salad daim winuwus
kariyin, Salat iku tan klawan nalika, Tan ana sujud rukuk, Tan nganggo wulu bany, Datan nganggo atakbir kaki,
Salat iku sadaya, Wektune puniku, Sakehe napase ika, Karentege ingkang dadi salad daim, Langgeng sajenengira.(
Shalat Daim diceritakan terlebih dahulu, shalat itu tidak dengan ketika, tidak ada sujud dan rukuknya, tidak
menggunakan air wudlu tidak memakai takbir, anakku. Shalat itu semua waktunya itu. Semua nafasnya itu, niatnya
yang menjadi Shalat Daim, abadi dengan namamu)
yang wajib.35 Pendapat seperti ini adalah yang penting dalam shalat itu tidak lalai kepada Allah,
tidak perlu melaksanakan syarat dan rukunnya. Karena dalam keyakinan mereka, esensi shalat
itu adalah Ingat (eling). Bila mana ajaran ini diajarkan oleh kaum muslimin yang menjadi
penganut aliran kebatinan ini bisa terjadi pengguguran atau penolakan syari’at shalat,
sebagaimana yang diajarkan Islam.

Dengan demikian, ajaran spiritualitas dalam aliran kebatinan berusaha untuk


menggugurkan syari’ah dan bertolak belakang dengan syariat Islam. Terlihat dari strategi mereka
yang awal mula kemunculan mereka bersifat organisasi dan menjadi dokter spiritual, bagi
pemula yang baru masuk aliran kebatinan masih disuruh untuk menjalankan syari’at. Namun jika
telah mencapai tahap tertentu, mereka harus terbebas dari taklif syari’ah.36 Tidak ada kewajiban
beribadah kepada Allah, atau beribadah kepada Allah dengan cara apapun yang kamu suka.
ketika mencapai tahap puncak (manunggaling kawula gusti),37 bagi mereka hatinya tidak akan
lalai kepada Allah, maka kewajiban syariahnya gugur. Ibadah hanya perlu dengan batin saja dan
bertafakkur memperbaiki akhlak batin.38 dalam hal ini, Syeikh Hasyim Asy’ari mengingatkan
“tidak ada namanya wali yang meninggalkan syariah maka ia sesungguhnya mengikuti hawa
nafsunya saja dan tertipu oleh setan, orang seperti itu tidak perlu dipercaya.”39 Orang yang
mengenal Allah SWT wajib menjalankan seluruh amal zahir dan batin, tidak melakukan
dikotomi bahwa ibadah batin adalah untuk orang tertentu atau tidak menekankan batin saja.

35
Awal dikenalkannya shalat daim ini oleh Sunan Bonang ketika mendidik Raden Mas Syahid yang lebih
dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam, dan
berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Lewat kitab Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan
perihal shalat daim yaitu: "Keutamaan diri ini adalah mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang
sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau Maghrib (shalat 5 waktu). Itu namanya sembahyang. Apabila
disebut shalat, itu hanya hiasan dari shalat daim, hanya tata krama. Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah
raga atau tataran syariat mengerjakan shalat lima waktu. Shalat sejati adalah shalat daim, yaitu bersatunya semua
indra dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya
Tuhan: Hua Allah, dia Allah. Hu saat menarik napas dan Allah saat mengeluarkan napas." Dari sini Sunan Bonang
telah menjelaskan bahwa Shalat 5 waktu harus tetap dijalankan dan dikuatkan dengan shalat daim, bukan malah
menjadi alternatif.
36
Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Bahaya Aliran Kebatinan, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1432 H), hal. 96
37
Manunggaling Kawula Gusti (menyatunya hamba dan Tuhan). Ajaran dari Syeikh Siti Jenar yang
terdokumentasikan dalam buku Hidayat Jati karangan R. Ng Ronggowarsito, juga merupakan kitab suci bagi kaum
kebatinan Jawa. Satu ciri yang khas buku ini adalah banyak istilah mistik Islam, yang tidak dapat dimengerti oleh
seorang yang belum pernah membaca mistik Arab yang tinggi mutunya, seperti: Insan Kamil, karangan Abdul
Karim al-Jili, atau kitab-kitab karangan Suhrawardi dan Muhyiddin Ibn Arabi. (Prof. H M Rasjidi, Islam dan
Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 48)
38
Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, 1418
H), hal. 11
39
Hasyim ‘Asy’ari, al-Durar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’ al-‘Asyarah, (Kediri: Ma’had Lirboyo
Kediri, T.Th.), hal. 6 dan 14

Anda mungkin juga menyukai