Source: http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2006−04/msg00209.html
• From: rkusumo@xxxxxxxxx
• Date: 5 Apr 2006 08:54:35 −0700
http://vishnumurti.blogs.friendster.com/vishnumurtis_weblog/2006/02/rogosukmo_siti_.html
Tuan rumah baru menyadari bahwa yang bertamu tadi bukan badan kasar si
kiai, melainkan rohnya. Esoknya, ia mengonfirmasikan pada si kiai.
''Pak Kiai tadi malam datang ke rumah saya?'' tanyanya. Kiai dengan
wajah teduh itu cuma mesem.
Sebagai bukti bahwa itu bukan mimpi, kala rohnya kembali ke raga, di
tangannya tergenggam buah kurma segar, hasil memetik di tanah Arab.
Kisah ini diungkapkan tentu bukan untuk bertakabur. Ini bukti kebesaran
Yang Mahaagung. ''Subhanallah,'' kata kiai itu sembari menunduk.
Di tanah Jawa, melepas roh dari raga dinamai ngrogo sukmo. Ada yang
menyebut mati sajroning urip, mati di dalam hidup. Sembah−jiwo itu
ditempuh dengan cara selalu mendekatkan diri pada Allah. Bekal yang
dibawa adalah bersih lahir−batin.
Kala sembah−roso itu dilakukan −−hingga tingkat heneng dan hening (diam
dan tenang)−− timbul perasaan nikmat menyerupai rasa kantuk. Dan, yang
terpenting adalah eling atau ingat. Kesadaran ini harus dipegang teguh.
Jika tidak, akan hanyut atau terperosok ke alam tidur. Begitu yang
terurai di buku Wedho Tomo.
Orang Barat menyebut ngrogo sukmo sebagai out of the body experience
disingkat OOBE. Kemampuan OOBE, menurut Achmad Chodjim, penulis buku
Syekh Siti Jenar, adalah tahap awal untuk mengetahui rahasia kematian.
Syekh Siti Jenar satu di antara yang tahu akan kematiannya −−walau bab
kematian ini ada dua versi. Versi pertama menyebut lehernya ditebas
para wali. Versi kedua menulis Siti Jenar menghendaki kematiannya
sendiri dengan cara menutup jalan pernapasan.
Ia merasa kehadiran Allah sangat dekat. Allah lebih dekat daripada urat
leher. Ia menganggap hidup adalah kematian, sedangkan mati adalah
kehidupan. Hidup yang tak tersentuh oleh kematian, itulah kehidupan
sejati.
Untuk mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sunyi dari pamrih. Tak
boleh dengki. Bebas dari kekalutan dan kecemburuan. Hati dan pikiran
jadi satu, tak ada konflik batin. Hening atau diam adalah usaha manusia
untuk tidak menimbulkan riak kenegatifan dalam hidup.
Bila manusia sudah mampu mewujudkan pribadinya seperti itu, dia tak
akan merasa lelah atau sakit dalam menempuh kehidupan. Suka−duka yang
dialami, itu karena manusia kehilangan jati dirinya. Jiwanya lagi
kosong. Belum bersih dan pasrah.
Orang yang pasrah kepada Allah tidak pernah mengklaim bahwa dia yang
berbuat baik. Kalaupun ada kebaikan, alhamd li Allah, yaitu Allah yang
diberi kredit. Ucapan itu untuk memupus egoisme. Rasulullah pernah
bersabda, tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya
terdapat seberat atom dari perasaan sombong.
Agama, bagi Siti Jenar, bukan teori yang harus dihapal. ''Agama adalah
sebuah jalan yang harus dilalui. Dia tidak ambil pusing dengan nama
agama, walaupun agama yang disandangnya Islam. Kenyataan hidup,
keberadaan diri, itulah yang menjadi bagian kesadaran Siti Jenar,''
tulis Achmad Chodjim.
Menurut Siti Jenar, ''kitab suci'' di dalam diri manusia itu harus
''dibaca''. Sedangkan Kitab Suci yang tertulis itu merupakan penerang.
Lampu itulah yang digunakan menerangi ''kitab suci'' yang ada di dada,
agar kita tidak membaca dalam kegelapan. Agama apa saja, bagi Siti
Jenar, tidak berbeda, karena sama−sama berfungsi sebagai pelita.
Memang, tak sedikit di antara kita yang menilai ibadah yang diajarkan
Siti Jenar tidak sempit. Tidak terkotak−kotak. Ia mengamalkan ibadahnya
secara nyata. ''Kalau mau tahu ibadah yang benar, carilah dalam dirimu
sendiri,'' kata Siti Jenar, yang di saat kematiannya,
konon, jasadnya berbau wangi dan bersinar terang. Wallahualam.