Anda di halaman 1dari 3

AGH MUHAMMAD YUSUF SURUR

AGH Muhammad Yusuf Surur lahir di Pompanua Bone pada tanggal 22 Januari 1920 bertepatan dengan
30 Rabiul Akhir 1338 Hijriyah. Beliau adalah anak kedua dari 6 bersaudara, putra dari pasangan AGH
Ahmad Surur bin Syekh Abdul Majid al Bugisy dan Hanafiah binti Haji Ibrahim guru Pajalele. Dari
jalur ayah, nasabnya bersambung kepada Syekh Abdul Hayyi al-Pammani al-Bugisy hingga La Sikati
To Palettei Ranreng Bengtempola.
Sejak belia AGH Yusuf belajar agama langsung dari ayahnya yang merupakan imam di distrik
Pompanua. Ayahnya pernah mukim di Mekah dan berguru kepada sejumlah ulama di Haramayn.
Diantarax Syekh Abubakar Syatha ad-Dimiyathi, Syekh Sayyid Umar bin Abubakar ba Junaid al
Hadrami, Syekh Sayyid Habib Husein bin Muhammad al Habsyi, dan Syekh Sayyid Muhammad Said
Babasil al Hadrami.
Selain belajar pada ayahnya, AGH Muh Yusuf juga sempat mendapat berkah ilmu dari Syekh Sayyid
Abubakar al-Habsyi Kapiten Arab di Makassar (sahabat Buya Hamka), dan Sayyid Abdullah bin
Sadaqoh Dahlan keponakan dari Maha Guru Ulama Nusantara Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan mufti
mazhab syafi’i Mekah. Syekh Abubakar sebelumnya pernah bermukim di Pompanua, dan kemudian
pindah di Makassar. Begitupula Sayyid Abdullah menetap selama 2 bulan di Pompanua pasca pertemuan
alim ulama di Bone tahun 1931. Pada pertemuan alim ulama tersebut hadir pula al-Allamah AGH
Muhammad As’ad dan AGH Ahmad Surur, serta 22 ulama muktbarah lainnya.
Perjumpaan antara AGH Ahmad Surur dengan al-Allamah AGH Muhammad As'ad, kemudian menjadi
titik awal perjalanan keilmuan AGH Muhammad Yusuf Surur di Sengkang. AGH Ahmd Surur kagum
dengan kedalaman ilmu al-Allamah AGH Muhammad As’ad, sehingga mewasiatkan kepada istrinya
bahwa bila dirinya meninggal agar Yusuf menimba ilmu kepada al-Allamah AGH Muhammad As’ad di
Sengkang. AGH Ahmad Surur sepertinya berharap agar anaknya memperoleh hikmah ilmu dari al-
Allamah AGH Muhammad As’ad. Selain itu untuk menyambung kembali hubungan keilmuan dengan
leluhurnya. Karena ayah mertua al-Allamah AGH Muhammad As’ad yakni Syekh Abdurrahman bin
Umar al Bugisy yang dikenal dengan guru teruu menerima ijazah wirid dari Syekh Abdul Majid ayah
dari AGH Ahmad Surur.
Sepeninggal ayahnya dan setamat sekolah Gubernemen di Pompanua pada tahun 1932, AGH
Muhammad Yusuf Surur berangkat ke Sengkang memenuhi wasiat ayahandanya untuk belajar di
Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) pada tahun 1932-1937. AGH Muhammad Yusuf Surur tercatat
sebagai murid generasi ketiga dari al-Allamah AGH Muhammad As’ad, dan seangkatan dengan AGH
Abdul Malik. Setelah belajar di MAI, AGH Muhammad Yusuf Surur menamatkan pendidikannya di
SMP Muhammadiyah Cabang Sengkang tahun 1954 dan SMA Sawerigading di Sengkang 1957.
Selanjutnya kembali kepada almamaternya menyelesaikan pendidikan sarjana muda di STAI As’adiyah
tahun 1971.
Diselah kesibukannya sebagai pegawai Kantor Urusan Agama Kabupaten Wajo (Pensiun 1976) dan
Hakim Mahkamah Syariah Sengkang (1966-1980). AGH Muhammad Yusuf Surur mengabdikan dirinya
sebagai Sekertaris Umum Pengurus Besar As’adiyah (1952-1975) dan Sekertaris Majelis Dakwah Islam
(MDI) As’adiyah Pusat Sengkang (1975-1980). Posisi tersebut diamanahkan kepadanya, karena
kepiawaian AGH Muhammad Yusuf Surur dalam urusan administrasi.
AGH Muhammad Yusuf Surur berpengalaman menjadi jurutulis kerajaan, pernah menjadi Jurutulis
wanua Timurung (1937-1938), Jurutulis wanua Bola (1938-1939), Jurutulis wanua bawahan Lempong
(1939-1941), Jurutulis wanua Liu (1941-1943), Jurutulis Swaparaja Wajo (1943-1952), dan Jurutulis
Kepala di KUA Kecamatan Sengkang (1952-1954). Selain di pemeritahan AGH Muhammad Yusuf
Surur juga aktif mengurusi administrasi sejumlah organisasi diantaranya sebagai anggota Jami’atul
Islamiyah di Sengkang (1943-1945), pendiri Persatuan Amal Muslimin Pompanua (PAMP) Bone
(1945), Sekretaris Umum Persatuan Pegawai Indonesia (PERTI) di Sengkang (1946-1950), Bendahara
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Cabang Sengkang (1951-1953), Sekretaris Badan Amal
Sangkuru (BAS) Wajo (1950-1952), Sekretaris Umum Masyumi Cabang Sengkang (1950-1960),
Sekretaris Umum pembangunan Mesjid Raya Sengkang (1952-1960), Kepala perwakilan Penyelenggara
Haji Indonesia (PHI) Kabupaten Wajo (1955-1965), Ketua Badan Penasihatan Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan (BP4) Kabupaten Wao (1956-1980), Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Cabang Wajo (1975-1980), Wakil Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Wajo (1957-1977),
dan Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Wajo (1998).
Selain mengurusi adminstrasi di As’adiyah, AGH Muhammad Yusuf Surur diamanahkan pula sebagai
ketua wakaf As’adiyah (1976-1980), Kepala Madrasah Ibtidaiyah As'adiyah (1969-1973), dan asisten
dosen pada Fakultas Ushuluddin STAI As’adiyah Sengkang (1971-1976). Sebagai upaya memperluas
jaringan keilmuan gurunya, AGH Muhammad Yusuf Surur merintis pembangunan Madrasah Ibtidaiyah
As’adiyah di Pompanua Bone dan Amessangeng Orai Sengkang.
Keaktifannya pada organisasi mengharuskan AGH Muhammad Yusuf Surur hadir pada sejumlah
pertemuan, diantaranya Muktamar Nadlatul Ulama, Musyawarah Alim Ulama pada September 1970 di
Markas Kodam XIV Makassar, Kongres Pembangunan Masyarakat Islam pada tahun 1957 di Malino,
dan beberapa pertemuan lainnya baik di Makassar maupun di Jakarta.
AGH Muhammad Yusuf Surur termasuk ulama yang telaten menjurnal aktifitas hariannya, tradisi ini
diwarisi dari ayahnya yang juga rajin menulis catatan harian (lontaraq bilang). Kedekatannya dengan
Arung Matowa Wajo, membuat dirinya tekun menulis lontaraq dan silsilah, sehingga beliau mampu
merangkai pohon silsilah keluarganya sampai pada era Arung Matowa Wajo La Masalewa Mulaselleng.
Beliau juga aktif menulis karya ilmiah diantaranya makalah Pertemuan Ulama Muktabarah di Bone
tahun 1931 (1980), Masuknya Islam di Wajo ( 1971), Kenang-kenangan 50 tahun As’adiyah (1980), al-
Shalawat al-Masnunah (1981), Risalah al-Tareqat al-Muhammadiyah, dll.
Dakwah AGH Muhammad Yusuf Surur tidak hanya melalui pengajian dan mimbar, tapi juga dengan
seni diantaranya melukis, kaligrafi, qira’ah dan hadrah. Beliau mewarisi kemampuan kakeknya yang
merupakan ulama penulis mushaf al-Quran, yakni Syekh Abdul Majid bin Syekh Abdul Hayyi al-Bugisy
penulis mushaf kuno Bolaberua Sinjai dan Syekh Ahmad Umar bin Syekh Abdul Hayyi al-Bugisy
penulis mushaf kuno museum Balla Lompoa Gowa. Disamping itu, beliau mewarisi qira’ah sab’ah dari
ayahnya yang sanadnya bersambung kepada al-Allamah Sayyid Muhammad bin Ali as-Sanusy. Atas
kemampuan tersebut, AGH Muhammad Yusuf Surur dipercayakan sebagai hakim MTQ Kabupaten
Wajo dari tahun 1966 s/d 1980.
AGH Muhammad Yusuf Surur telah mendedikasikan hidupnya untuk umat dan masyarakat, dirinya
menyempurnakan penghambaannya dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Selama pensiun
hari-harinya dihabiskan dengan menghatamkan al-Qur’an setiap 3 hari. Dia mengamalkan wirid tarekat
al-Idrusiyah al-Alawiyah al-Qadiriyah yang diterima oleh kakek buyutnya dari Syekh Abdullah bin
Syekh Abdurrahman Ali Bafadhal Petta Mallinrungnge (wafat di Pompanua 1800-an). Beliau
mengamalkan pula wirid tareqat Sanusiyah Muhammadiyah yang diijazahkan oleh sepupunya Haji
Muhyiddin Imam Pompanua yang silsilahnya bersambung kepada kakeknya Syekh Abdul Majid al-
Bugisy murid langsung dari Sayyid Muhammad bin Ali as-Sanusy mursyid tarekat Sanusiyah di Mekah.
Tanggaung jawab sebagai murid al-Allamah AGH Muhammad As’ad sudah ia tunaikan. Jalan dakwah
dilintasi siang dan malam, ia mendidik keluarga dan masyarakat dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan, ia berkhidmat pada As’adiyah lembaga yang menjadi legacy gurunya. Pada akhirnya ia harus
menghadap kepada sang Khalik, menikmati buah perjuangannya ketika berkebun amal di dunia. Beliau
meninggalkan 8 orang anak, 29 cucu dan 16 cicit dari pernikahannya dengan Hj. Indo Wittoeng Dg
Malebbi. Makamnya berada di sisi ayahnya, dan hanya ditandai sebuah batu nisan sederhana yang
bertuliskan KH. Muh. Yusuf Surur Wafat 09 Agustus 2012.

Penulis : Fadly Ibrahim

Anda mungkin juga menyukai