Anda di halaman 1dari 6

Candi Prambanan dan Candi Sewu

Bangunan Candi merupakan cermin dari puncak kebudayaan manusia pada zamannya dahulu. Kebanggaan sebagai pewaris budaya akan lebih sempurna apabila disertai kesadaran untuk melestarikannya. Namun, melestarikan tanpa mencintai adalah hal yang sulit terjadi. Mencintai sesuatu tanpa mengenalnya juga sia-sia. Candi pada umumnya diartikan sebagai bangunan peninggalan zaman kuno. Kata candi berasal dari kata candika yaitu salah satu nama Dewi Durga, istri Siwa sebagai, Dewi maut. Oleh karena itu, kata candi dikaitkan dengan perihal kematian, yaitu sering dianggap sebagai makam para raja atau orang terkemuka pada zaman itu. Pada perkembangan selanjutnya, kata candi dipakai untuk menyebut semua bangunan yang ada hubungannya dengan agama Hindu dan Budha. Jadi bangunan candi merupakan bangunan suci yang berhubungan dengan suatu kepercayaan atau agama. Baik itu hubungan dengan kematian, tempat pemujaan atau sebagai lambing kejayaan. Salah satunya adalah Candi Prambanan. Lakon Bandung Bandawasa dan Roro Jonggrang merupakan lakon yang dikenal melatarbelakangi cerita rakyat terjadinya Candi Prambanan dan Candi Sewu. Dalam hal ini membuat masyarakat kadang salah mengartikan suatu cara menyampaikan pesan yang dilakukan nenek moyangnya. Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa pembangun candi tersebut adalah Bandung Bandawasa. Ironis jika masyarakat mencampur baurkan sejarah dan cerita rakyat dan menganggap Bandung Bandawasa benar-benar pernah hidup pada zaman dahulu. Yang pada kenyataannya, Candi Prambanan dan Candi Sewu yang berada di tepi Kali Opak yang bermuara di kaki Gunung Merapi memungkinkan pada zaman dahulu kerajaan membangun candi dari tumpahan bebatuan dan matrial gunung tersebut. Kompleks Candi Prambanan dan Candi Sewu memberikan gambaran bahwa pada zaman dahulu merupakan pusat kebudayaan atau pusat pemerintahan. Hal itu berbeda dengan cerita yang beredar di masyarakat. Menurut cerita, Pada zaman dahulu Prabu Gupala raja Kraton Wanasagara marah ketika mengetahui Dewi Setyawati dari kerajaan Pengging telah dipersunting Pangeran Damarmaya dari kerajaan Sulbi. Yang dibantu oleh Patih Sumbang Bita serta pasukan Raksasa, Prabu Gupala menyerbu Kraton Sulbi. Di Kraton Sulbi, pangeran Damarmaya sedang dirundung duka karena baru beberapa hari dia diangkat menjadi raja Sulbi. Pengangkatannya sebagai raja membuatnya sedih karena sebenarnya dia enggan menjadi raja atas Sulbi. Dia menginginkan adiknya,

Pangeran Darumaya yang menjadi raja. Pangeran Damarmaya ingin menduduki tahta di kerajaan Pengging seperti yang dijanjikan mertuanya. Tapi pada kenyataannya Pangeran Darumaya menolak sebab hak tahta merupakan hak Pangeran Damarmaya. Hal ini membuat murka sang ayah, Prabu Dipakusuma. Pangeran Darumaya diusir, kemudian disusul adiknya yang bernama Dewi Daruwati secara diam-diam. Kepergian anak-anaknya menimbulkan penyesalan dihati Prabu Dipakusuma, sehingga ia meninggalkan kerajaan untuk mencari mereka. Hanya karena rasa tanggungjawab terhadap rakyat, Pangeran Damarmaya bersedia memimpin rakyat. Dalam kesedihan Kraton Sulbi, Prabu Gupala menantang raja Sulbi berperang. Peperangan berlangsung setiap hari tanpa henti. Pada masa-masa perang, dewi Setyawati melahirkan seorang bayi laki-laki. Berita kelahiran bayi akhirnya sampai di telinga Prabu Gupala, dan dia berniat membunuh bayi itu dengan harapan dapat mengalahkan kerajaan Sulbi. Prabu Gupala berhasil membawa bayi itu. Bayi kecil itu dimasukkan dalam mulutnya, tetapi disaat itu pula seorang dewa dengan cepat menyambar bayi dari mulut Prabu Gupala tanpa disadari oleh Prabu Gupala. Batara Narada yang berhasil membawa bayi itu sampai di Kayangan Jonggring Saloka lalu menyerahkan pada Batara Guru. Oleh Batara Guru, bayi itu dilempar ditengah telaga api kawah Candradimuka. Para Dewa segera melempar senjata andalan masingmasing. Dari tangah telaga api lalu muncul seorang pemuda tampan. Bayi kecil yang telah berubah menjadi pemuda tampan tersebut diberi nama Bandung Bandawasa yang berarti kekuatan yang dahsyat. Batara Guru segera memerintahkan Bandung kembali ke bumi membantu orang tuanya di kerajaan Sulbi. Prabu Damarmaya merasa kewalahan melawan Prabu Gupala. Bukan karena kalah kesaktian, melainkan hatinya risau kehilangan buah hatinya. Terkejut ia pada sosok pemuda yang mengaku adalah anaknya yang hendak berperang. Pemuda itu dengan sigap membunuh semua prajurit Wanasagara. Tapi kesaktian Prabu Gupala yang dapat hidup kembali ketika sudah dibunuh Bandung. Sampai pada akhirnya, dengan beringas pemuda itu membunuh Gupala. Sebelum Gupala hidup lagi, segera dia memecahkan kepalanya. Otaknya dilempar jauh-jauh ke selatan menjadi pegunungan kapur di Gunungkidul. Cukilan matanya dilempar kebarat dan jatuh didaerah Mataram. Dikemudian hari penduduk Mataram menjadi waspada akan bencana alam.

Kedua kakinya dilempar ketimur dan jatuh di Pegunungan Kendeng, sehingga di kemudian hari penduduknya sangat kuat berjalan kaki. Kedua tangannya dibuang di Jepara sehingga di kemudian hari penduduknya sangat trampil membuat kerajinan terutama ukiran. Hal itu semua karena kesaktian Gupala. Setelah puas mencincang Gupala, kemudian Bangung pergi ke Kraton Wanasagara hendak mengambil rampasan perang. Namun ia terpesona oleh kecantikan Roro Jonggrang,adik Gupala. Bandung hendak memperistri wanita itu tapi Roro Jonggrang takut menolak mentah-mentah Bandung karena kehebatannya. Dengan tipu muslihat Roro Jonggrang menyuruh Bandung mengambilkan cincin yang jatuh disumur. Setelah bandung terjun dalam sumur, para prajurit menjatuhkan batu-batu dengan niat membunuh Bandung. Mereka semua menganggap Bandung telah mati didalam sumur. Tapi bandung dapat berhasil keluar dengan mengeruk tepian dinding sumur, menembus tana. Dia terhenyak ketika mendapatkan dirinya berada di tepi pantai selatan. Dan terowongan yang berhasil dibuat akhirnya dikenal sebagai Gua Lengse. Bandung segera pergi mencari Roro Jonggrang hendak membunuhnya. Tetapi karena terpikat oleh rayuan Roro Jonggrang niat itu berubah. Roro Jonggrang menyuruh Bandung supaya membangun seribu candi dalam waktu semalam jika ingin menikah dengannya. Bandung menyanggupi hal itu. Ditengah malam, Bandung telah berhasil membanguun hamper seribu candi dengan bantuan kekuatan malam. Mengetahui hal itu Roro Jonggrang membangunkan perawanperawan Prambanan untuk menumbuk padi denagn lesung supaya ayam jantan berkokong menandakan hari telah pagi. Malam seakan menjadi pagi. Bandung tahu semua itu adalah ulah Roro Jonggrang. Dikutuklah Roro Jonggrang untuk mengenapi candi yang berjumlah sembilan ratus sembilan puluh Sembilan itu. Jadi genap seribu candi terlaksana dibuat. Setelah ia sadar bahwa harapannya sirna, Roro Jonggrang yang dicintai telah berubah wujud menjadi sebuah arca. Ia menyesal melakukan hal itu. Ditinggalkan arca itu kembali ke Kraton Sulbi. Disaat Bandung Bandawasa pergi, Roro Jonggrang keluar dari arca yang menutupi tubuhnya. Roro Jonggrang berlari menuju pedesaan yang jauh supaya tidak bertemu lagi dengan Bandung Bandawasa. Setiba di Kraton Sulbi, bandung Bandawasa menceritakan apa yang ada dalam hatinya pada sang ayah. Tanpa sadar akan ucapannya, Prabu Damarmaya berkata bahwa mengawini keluarga

musuh dalah sikap seekor anjing. Ucapan raja berubah menjadi kenyataan, Prabu Damarmaya menyesali apa yang telah diucapkan tetapi tidak dapat menarik perkataannya kembali dan mengubah wujud anaknya menjadi manusia kembali. Anjing itu segera pergi meninggalkan Kraton Sulbi mencari orang sakti yang dapat merubah wujudnya menjadi manusia kembali. Di muara Kali Opak, Begawan Samudana yang sebenarnya adalah Prabu Dipakusuma, raja Sulbi yang dahulu. Ia membangun pertapaan yang diberi nama Karang Tumaritis dan ia mempunyai seorang murid kesayangan bernama Roro Singlon. Timbul cinta diantara guru dan murid. Antara Begawan Samudana dengan Roro Singlon. Mereka kemudian menikah. Tiba saat Roro Singlon mengandung. Dalam pembicaraan kali ini Begawan Samudana terkejut akan pengakuan istrinya yang merupakan putrid kerajaan Sulbi yang bernama Dewi Daruwati. Dewi Daruwati yang merupakan anak dari Prabu Dipakusuma tidak menyadari bahwa sang suami adalah ayah kandungnya. Mendengar pengakuan sang istri, Begawan Samudana berlari menuju padepokan Begawan Sepuh menceritakan hal itu. Menurut Begawan Sepuh yang merupakan mertua Prabu Damarmaya berpendapat bagi orang yang menikahi anaknya sendiri apalagi itu adalah seorang begawan maka orang itu harus mati tergencet bumi. Maka berlarilah Begawan Samudana menabrakkan diri pada sebuah batu sebesar gajah dan mati seketika. Salah satu murid Begawan Sepuh yaitu Pangeran Darumaya mengenali sosok itu adalah ayahnya. Pangeran Darumaya akhirnya bertemu dengan Dewi Daruwati, sang adik yang tengah mengandung benih ayah mereka. Tak berapa lama kemudian Dewi Daruwati melahirkan seorang putra berwujud raksasa dibawah pohon baka sehingga anak itu diberi nama Baka. Baka tumbuh menjadi raksasa rakus dan gemar merusak lingkungan. Pangeran Darumaya dianggap sebagai ayahnya sampai kewalahan menghadapi Baka. Suatu hari tatkala ibunya memasak, tangannya terkena pisau, darahnya tercampur dalam makanan. Tapi di lidah Baka itu terasa lezat sekali. Pangeran Darumaya yang mengetahui hal itu lantas menyuruh Baka mencari daging manusia di Sulbi atau Wanasagara. Baka segera pergi. Ditengah jalan bertemu dengan Patih Sumbang Bita. Si Patih lalu mengangkat Baka menjadi senopati, tapi Baka menolak dan bersikeras menjadi raja. Ia lalu mendirikan Kraton Baka.

Bandung Bandawasa yang berwujud anjing mencari-cari sumber suara merdu yang didengarnya dan menemukan pemilik suara itu adalah Roro Jonggrang. Oleh wanita itu, si anjing lalu dipelihara. Anjing itu selalu menemani, mencarikan ranting pohon wanita itu. Di sustu malam, wanita itu menjatuhkan topong alat penenun kain. Dalam kesendirian, dia bersumpah akan berbalas budi bagi yang mengambilkan topongnya. Jika perempuan akan dijadikan saudara, jika laki-laki akan dijadikan suami. Anjing itu mengejutkan Roro Jonggrang karena mengambilkan topong itu. Tambah kaget pula saat si anjing berubah wujud menjadi Bandung Bandawasa. Mereka lalu menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang dibrei nama Raden Kalang Jaya. Pada suatu hari yang panas, diwaktu si anjing yang biasanya menurut akan perintah merasa malas-malasan berburu. Kalang Jaya merasa jengkel. Ia membunuh anjing itu dengan menggunakan topong yang dahulu mempersatukan orang tua Kalang Jaya. Daging buruan itu segera diserahkan ibunya untuk dimasak. Tanpa sengaja Roro Jonggrang memakan daging suaminya sendiri yang setiap matahari terbit berubah menjadi anjing. Setelah menyadari bahwa si anjing tidak pulang, Roro Jonggrang mencaricari. Akhirnya Kalang Jaya mengakui dirinya yang telah membunuh anjing itu. Terkejut Roro Jonggrang akan pengakuan anak lelakinya tersebut. Bertahun-tahun Roro Jonggrang menyembunyikan rahasia ayah si bocah. Dia hanya memberitahukan bahwa sang ayah itu adalah prajurit hebat. Sampai pada suatu ketika Roro Jonggrang menyuruh Kalang Jaya mengabdi pada Kraton Sulbi. Dan dia menjadi satusatunya pemuda yang mendaftarkan diri sebagai prajurit. Tiba waktu Kalang Jaya harus menghadapi Prabu Baka yang bernyawa ganda itu. Kalang Jaya akhirnya memilih mundur setelah beberapa kali tidak berhasil membunuh Prabu Baka. Dia meninggalkan arena peperangan menuju hutan dimana ia telah membunuh anjing kesayangan ibunya. Ia pun tertidur dibawah sebuah pohon. Ketika dalam tidurnya, ia mendengar suara yang memerintahkan supaya membunuh Prabu Baka dengan topong. Ia tidak percaya akan hal itu tapi setelah empunya suara mengatakan peristiwa kematian si anjing maka ia mulai percaya. Sebab yang mengetahui kematian si anjing hanya ia dan ibunya, ia mengira itu adalah suara Dewata Agung. Suara itu juga memerintahkan Kalang Jaya supaya membangun sebuah Candi ditempat ia membunuh anjingnya dahulu. Secara diam-diam Kalang Jaya mengambil topong sewaktu ibunya sedang tidur. Pada pagi harinya dalam berperang melawan Prabu Baka ia berhasil membunuh Patih Sumbang Bita. Sewaktu ia menggoreskan topong ke tubuh Prabu Baka sampai mati, Sakeli dan

Rakeli berupaya memasukkan Prabu Baka kedalam telaga Panguripan dengan tujuan supaya Prabu Baka dapat hidup kembali. Suara yang dahulu dikira Dewata Agung menyuruh melemparkan topong itu ke dalam telaga. Prabu Baka menjadi hangus terbakar karena lemparan topong di telaga itu. Prajurit kembar Sakeli dan Rakeli berhasil terbunuh oleh Kalang Jaya. Semua rakyat merasa gembira atas kematian raksasa-raksasa yang telah mengganggu kehidupan mereka. Tak berapa lama kemudian muncul Dewi Daruwati dan Pangeran Darumaya yang berpakaian layaknya penduduk desa. Pangeran Darumaya mengatakan bahwa Baka adalah anak Dewi Daruwati tetapi ia tidak mengatakan siapa ayah Baka sebenarnya. Mendengar cerita itu Patih Mamangmaya berpendapat, Kalang Jaya harus dihukum mati karena membunuh keluarga kerajaan. Tiba waktunya hukuman gantung akan dilaksanakan, tetapi dari pinggir alun-alun terlihat seorang wanita meneriaki supaya hal itu jangan dilakukan dahulu. Roro Jonggrang menceritakan bahwa Raden Kalang Jaya merupakan anak Bandung Bandawasa yang berwujud anjing. Karena Raden Kalang Jaya juga merupakan keluarga kerajaan juga, jadi ia tidak menerima hukuman gantung. Ia mendapat tahta di Kraton Wanasagara. Semua berakhir bahagia. Roro Jonggrang memilih untuk kembali ke desanya menjalani citacita hidupnya. Cerita diatas bukanlah hal yang sebenarnya terjadi pada zaman dahulu. Cerita diatas hanyalah Cerita Rakyat yang mengisahkan terjadinya Candi Sewu dan Candi Prambanan. Cerita yang dahulu bertujuan untuk menasehatkan anak-anak. Dalam sejarahnya Candi Sewu dan Candi Prambanan sebenarnya dibengun pada zaman kaerajaan. Pentingnya bagi kita mengenal sejarah yang berdampingan dengan munculnya cerita rakyat yang beredar. Sejarah sebagai warisan generasi berikutnya disertai bukti yang ada berupa bangunan candi dan sebagainya. Oleh sebab itu sangat penting memelihara agar bangunan tidak rusak. Cerita Rakyat dan Sejarah merupakan aset budaya yang tidak boleh diabaikan. Yang dikemudian hari bisa menunjukkan Indonesia dimuka dunia serta warisan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai