Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PEMBAHASAN

A. SEJARAH
Menurut Kol Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer Podi, Adat Nggelul Suku Karo
Indonesia" menuliskan bahwasannya Suku Karo bukan berasal dari si Raja Batak ini juga
berdasarkan dari cerita turun temurun dan di dengar oleh beliau dari kakeknya yang lahir
sekitar tahun 1838. Menurutnya leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan yang
berbatasan dengan Myanmar. Socura ringkas Sempa Sitepu meringkaskan bahwa pada
awalnya seoning madaraja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa memiliki seorang
panglima yang disegani oleh semu orang dan nama panglima tersebut adalah Karo
keturunan India.
Suatu hari maharaja ingin pergi untuk mencari tempat baru dan mendirikan kerajaan
yang baru dia mengajak pasukannya dan putrinya yang bernama Miarsari Maharaja
kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok dan Mansari memilih untuk
bergabung dengan punglima perang. Mereka mulai berlayar dan tibalah di sebuah pulau
yang bernama Pulau Pinang mereka tinggal untuk heberapa bulan. Suatu hari maharaja
memandang ke arah selatan dan memandang sebuah pulau yang lebih bagus lagi lalu ia
berniat untuk menyeberang ke pulau tersebut. Dalam perjalanan mereka menyebrang ke
pulau tersebut, mereka terkena angin ribut dan ombak yang sangat besar hingga mereka
terpisah-pisah, Miansai dan panglima beserta rombongannya terdampar di sebuah pulau
dan maharaja juga tidak mengetahui keberadaan mereka.
Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang dan tiga orang pengawal. Mereka
berjalan mengikuti aliran sungai dan mencari tempat untuk bersembunyi dengan aman,
Mereka berdiam di suatu pulau dan terjadilah peristiwa yang penting yaitu panglima dan
Miansai menikah disaksikan oleh pengawal dan prajurit mereka. Lalu mereka mulai
meanjutkan perjalanan untuk mencari tempat yang lebih aman yaitu Perca(Sumatra) dan
tempat itu sekarang bernama Belawan. Dari tempat itu mereka melanjutkan perjalanan
dan tibalah di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani, disana terdapat sebuah
gua yakni Gua Umang.
 Gua Umang

Gambar. Gua Umang


Guia(rumah) Umang yang banyak diternakan di wilayah-wilayah Karo diyakini tempat
tinggal manusia Purba. Mereka lalu pergi lagi untuk mencari tempat yang lebih aman lagi,
setelah beberapa hari lamanya mereka berjalan di tengah hutan belantara dan mereka
melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar Bukum, dan tibalah mereka di suatu
tempat di kaki guming Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandar
Baru mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat
bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar
mereka kembali berjalan menelusuri hutan, Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus.
Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat
pemandangan yang begitu indah dan sejuk Mereka sangat senang dan mereka semua
senju bila mereka tinggal di tempat itu.
Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat
bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka.
Ia kemalian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka
beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jah" (sejenis pohon beringin). Si Karo mengutus
seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu
kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai
sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari kemudian
tibalah mereka di saatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat in juga memiliki
kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan
bersorak- sorai Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan
dengan si Capah yang sekarang Seberiya.
Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran
tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Tunch Karo) Dari perkawinan si Karo
dengan Mansari lahir tujah orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya
perempuan, yaitu: Corah, Unjuk. Tekang, Girik. Pagit, Jile dan akhirnya lahirlah anak
ketujuh adalah seorang anak laki-laki yang diberikan nama Meherga yang berarti berharga
atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang
Karo yang berasal dari ayah (patrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru
berasal dari kata diberi yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak
Tarlon yang bernama Cinata. Tarkan merupakan saudara bungsu dari Mansuri (istri Nani
Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya
merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu :
1. Karo Diberi nama Karo nujumnya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo
sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang
2. Ginting anak kedua
3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitum) karena dia merupakan yang paling hitam
diantara saudaranya.
4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus
dengan kencangnya(angin puting-beliung)
5. Tarigan, anak bungsu
Marga-marga dari Karo tersebut memiliki sub-cab merganyammasing-masing dan
setiap sub-sub margam memiliki wilayah persebarannya serta sejarah mumpun
legendanya masing-masing.

B. KEBUDAYAAN SUKU KARO


1. Rumah Adat Suku Karo
Rumah adat Suku Karo yang paling terkenal adalah rumah adat Si Waluh Jabu. Namun di
Suku Karo sendin memiliki beberapa jenis rumah adat seperti :
 Gerga, adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh makna.
 Belang Ayo, memiliki bentuk yang mirip dengan Gerga, sehingga kadang belang Ayo
dianggap sama dengan Gerga.
 Si Waluh Jabu, artinya "delapan rumah" atau makna sebenarnya berarti delapan keluarga
yang tinggal dalam satu rumah dan masih ada ikatan kekerabatan. Rumah adat Si Waluh
Jabu adalah nama lain dari Gerga atau Belang Ayo. Rumah adat Si Waluh Jabu ini yang
paling banyak masih bisa ditemui di beberapa wilayah adat Taneh Karo.
 Sepulu Jabu, artinya dalam satu rumah terdiri dari 10 keluarga dalam satu rumah dan
masih ada ikatan kekerabatan. Berukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu.
 Sepulu Dua Jabu, di dalamnya terdapat 12 keluarga dalam satu rumah dan masih ada
ikatan kekerabatan. Tidak memiliki kamar seperti Rumah Adat Si Waluh Jabu dan Sepuluh
Jabu.
 Sepulu Enem Jabu, mungkin merupakan Rumah Adat tertinggi di Indonesia. Di huni oleh
16 keluarga dalam satu kekerabatan. Karena Sepuluenem Jabu ini adalah Rumah Adat
Karo yang terbesar, kemungkinan Sepuluenem Jabu ini bisa saja merupakan suatu Istana
Kerajaan orang Karo yang dihuni oleh para keluarga Kerajaan di masa lalu.
 Si Enem Jabu, rumah adat yang berukuran lebih kecil dari si Waluh Jabu, dan dihuni oleh
6 keluarga dalam satu kekerabatan.
 Si Empat Jabu, rumah adat yang berukuran paling kecil, dan dihuni oleh 4 keluarga dalam
satu kekerabatan.
 Jambur, adalah suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan berbentuk rumah adat Karo
dengan atap ijuk, merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat (adat perkawinan,
adat dukacita) dan kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan untuk
tempat anak muda tidur. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung
mereka. Para pemuda tidak pantas tidur bersama orangtuanya dalam satu kelambu yang
disekat-sekat dan sempit. Oleh karena itu para pemuda tidur di Jambur. Selain itu Jambur
juga menjadi sarana bagi pemuda desa lain menginap jika kemalaman dalam perjalanan,
atau pemuda yang datang bertandang untuk melihat pujaan hatinya yang disebut naki-
naki.
 riten (Geriten), bangunan adat tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah
meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, berdiri di atas tiang penyangga
bangunan.
 Sapo Page, artinya lumbung padi. Bentuk seperti rumah adat. Berada di halaman depan
rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas
tiang. Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk,
beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas berfungsi untuk menyimpan padi’
Gerga

Sepuh Dua Jabu

Siwaluh
Jabu sapo page

C. KAIN ADAT SUKU KARO


Kain adat suku Karo atau dalam bahasa Karonya sendiri disebut Uis Kalak Karo
merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan budaya suku karo maupun
dalam kehidupan sehari-hari. Uis Karo memiliki warna dan motif yang berhubungan
dengan penggunaannya atau dengan pelaksanaan kegiatan budaya. Pada umumnya Uis
Adat Karo dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara manual dan menggunakan
zat pewarna alami (tidak menggunakan bahan kimia pabrikan). Namun ada juga beberapa
diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan pewarna
alami dan dijadikan kain adat Karo. Berikut beberapa Uis Karo yang digunakan :
A. Uis Beka Buluh
Uis Beka Buluh ini memiliki ukuran : 166 x 86 Cm Uis Beka Buluh memiliki ciri Gembira,
Tegas dan Elegan.

1. Merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo
2. Sebagai Penutup Kepala. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai Pria/putra Karo sebagai
mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Kain
ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah
(Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi Orang Tua yang
meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut)
3. Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke
bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.
4. Sebagai Maneh maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu
(Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam
hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima
tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak
kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.
B. Uis Nipes Benang Biring
Ukuran : 154 x 62 cm Penggunaan : Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada
upacara yang bersifat duka duka cita.

C. Uis Kelam-kelam
Ukuran : 169 x 80 cm Kain ini bukan kain tenun manual, tapi hasil pabrik tekstil yang
dicelup warna hitam menggunakan pewarna alami. Penggunaan : Penutup kepala wanita
Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro aron. Kain ini juga digunakan
sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada saat wanita lanjut usia
meninggal dunia (morah-morah)
D. Uis Ragi Barat / Ragi Mbacang
Ukuran : 144 x 65 Cm Penggunaan : Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada
upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian. Lapisan luar pakaian wanita
bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta sukacita yang diharuskan
berpakaian adat lengkap.

E. Uis Jongkit Dilaki.


Ukuran : 172 x 96 Cm Kain menunjukkan karakter kuat dan perkasa.
Penggunaan : Sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje
(sebagai kain sarung). Kain ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang
mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.

F. Uis Jujung-jujungen.
Ukuran : 120 x 54 cm Penggunaan : Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar
penutup kepala wanita (tutup tudung) dengan umbai-umbai emas pada bahagian
depannya.

G. Uis Nipes Mangiring


Ukuran : 148 x 64 cm Penggunaan : Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu
dalam upacara adat duka cita

D. ADAT ISTIADAT SUKU KARO.


Merdang Merdem atau Kerja Tahun Adalah sebuah perayaan di Kabupaten Karo yang
diadakan setiap tahunnya yang diadakan setelah acara menanam padi di telah selesai.
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron
yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi Eroangir Ku Lau
Merupakan ritual untuk membuang sial, biasanya pergi ke sungai. Raleng Tendi Raleng
tendi atau Ngicik Tendi adalah sebuah ritual untuk memanggil jiwa setelah seseorang
kurang tenang karena terkejut oleh suatu kejadian yang tidak disangka-sangka. Motong
Rambai Merupakan sebuah pest kecil keluarga dimana kegiatan untuk memangkas habis
rambut bayi.
E. ALAT MUSIK KARO
a. Balobat

Balobat adalah alat musik tradisional Suku Karo dari Sumatra Utara yang
menyerupai suling rekorder dan terbuat dari seruas pucuk bambu berukuran sejengkal jari
tangan enam lubang pembeda nada dan satu lubang untuk peniup. Alat musik ini dapat
dimainkan secara solo dan juga dengan ansamble. Balobat memiliki tangga nada lagu
yang serupa dengan nada Suling Sunda atau Laras Pelog, nada minor, nada mayor, serta
mempunyai lubang nada yang terdiri dari enam buah. Balobat ini biasanya dibuat
menggunakan bambu yang kecil dan pada bagian bambunya diberikan lubang yang
berjumlah 6. Alat musik balobat ini biasanya dimainkan dengan cara ditiup layaknya
seperti seruling pada umumnya.
Balobat sering digunakan sebagai pengiring seperti pesta panen atau Kerja Tahun,
pernikahan, mistis, bahkan duka cita pada adat Suku Karo, Balobat memiliki suara yang
sangat sendu dan pilu atau "tangis-tangis" karena Balobat paling sering digunakan pada
saat duka cita.

b. Surdam

Surdam adalah alat musik tradisional Suku Karo yang merupakan alat musik tiup berjenis
flute yang terbuat dari bambu. Cara memainkan surdam tidaklah mudah, hal ini
disebabkan terdapatnya lubang pada ujung dan pangkal tidak seperti suling pada
umumnya. Surdam bisa dibilang alat musik tradisional suku Karo yang masih eksis hingga
sekarang. Alat musik tiup yang terbuat dari bambu ini memang cukup mudah ditemui
karena banyak dijual secara online. Meski memainkan Surdam tidak mudah, tidak sedikit
anak muda suku Karo yang kerap unjuk kebolehan memainkan alat musik satu ini.
Adapun cara memainkan Surdam adalah ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang
terbuka. Surdam memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar menghasilkan
suara, Pemain alat musik ini dinamakan Penurdam. Agar dapat memainkannya, maka
seorang Penurdam terlebih dahulu harus memiliki keterampilan khusus termasuk tehnik
pernapasan yang baik. Alat musik surdam terdiri dari beberapa jenis, yaitu surdam
rumamis, surdam tangko kuda, surdam pingko-pingko, dan surdam puntung. Dahulu,
surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi, bisa juga untuk
memainkan lagu-lagu yang sedih, atau untuk menggembalakan ternak. Tidak jarang pula
alat musik ini dahulu dimainkan dalam suatu upacara atau ritual tertentu di suku Karo.
c. Kulcapi

Kulcapi dimainkan dengan cara dipetik. Berbeda dengan Gotar, alat musik Kulcapi
memiliki lubang pada bagian belakangnya. Lobang dibagian belakang ini berfungsi
sebagai penggubah efek suara yang dihasilkan.
d. Keteng-keteng

Keteng-keteng adalah alat musik pukul tradisional Suku Karo yang berbahan dasar dari
bambu. Keteng-keteng memiliki panjang sekitar setengah meter dan memiliki senar yang
terbuat dari kulit bambu itu sendiri. Alat pemukul keteng-keteng juga terbuat dari potongan
bambu dan terdiri dari dua buah.
Dahulu, alat musik ini kerap dijadikan sebagai media dalam upacara Erpangir Ku Lau oleh
masyarakat Karo. Erpangir Ku Lau merupakan suatu upacara mandi yang biasanya
dilakukan di danau atau sungai dengan tujuan tertentu seperti mengobati suatu jenis
penyakit tertentu, ataupun menyembuhkan seseorang dari pengaruh sihir dan lainnya.
Sehingga bisa dibilang, alat musik ini berperan penting dalam kehidupan masyarakat
suku Karo. Cara memainkan alat ini juga sangat sederhana seperti layaknya memukul
alat musik drum, namun cara memukulnya lebih halus. Umumnya, Keteng-keteng terbuat
dari bambu yang telah tua atau disebut buluh belin, bambu dipotong sesuai ukuran
ruasnya.

E. Gendang Singanaki

Alat musik ini tidak dapat menghasilkan suara naik turun hanya bunyi yang berulang –
ulang saja. Gendang Singanaki terbuat dari bahan kayu dan kulit binatang dengan dua
palu yang digunakan sebagai alat pemukulnya. Biasanya alat musik ini akan dimainkan
bersama dengan dengan grantung dalam tampilan musik penggual. Permainan musik dari
alat ini diadakan bersamaan dengan acara upacara adat setempat.
F. Gendang Singindungi

Gendang Singindungi hampir sama dengan Gendang Singanaki, Kedua alat musik
memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya.
Perbedaannya hanya pada “gendang mini” yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm)
yang di ikat di sisi badan gendang singanaki, sedangkan pada gendang singindungi tidak
ada. Gendang singindungi dapat menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan
tertentu, sedangkan gendang singanaki tidak memiliki tehnik tersebut sehingga bunyi yang
dihasilkannya tidak bisa naik turun. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu
gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.

F. MAKANAN KHAS SUKU KARO


 Babi Panggang Karo

 Lemang

 Cimpa

Anda mungkin juga menyukai