Anda di halaman 1dari 5

Asal Usul Nagari Lubuk Kilangan

Nagari Lubuk Kilangan tidak begitu saja adanya seperti membalikkan telapak tangan atau dengan cara
sim salabim, tapi tumbuh dan berkembangnya suatu nagari tentu melalui proses dan perjuangan yang
panjang. Nagari tidak tumbuh dengan sendirinya, akan tetapi merupakan kumpulan beberapa koto
(istilah kampung di Nagari Lubuk Kilangan). Sebagaimana tulisan di atas, bahwasannya nagari baru
diawali dari taratak, kemudian terbentuklah dusun, dan akhirnya dusun berkembang menjadi koto
(kampung). Begitu juga Nagari Lubuk Kilangan bermula dari taratak
adi secara logika dapat kita simpulkan, bahwa keberadaan Nagari Lubuk Kilangan berawal dari taratak
yang sekarang ada di kelurahan Tarantang. Untuk pemahaman selanjutnya dapat diuraikan satu
persatu asal-usul Nagari Lubuk Kilangan.

1. Taratak “Taratak mulo dibuek, sudah taratak manjadi dusun, sudah dusun manjadi koto, sudah koto
manjadi nagari”

Dari ketentuan di atas menambah keyakinan kita bahwa tempat yang mula-mula didiami oleh nenek
moyang Minangkabau adalah Taratak. Taratak asal kata dari “tatak” yang dapat diartikan sebagai
“membuat”. Di sinilah mereka manaruko lahan untuk berladang bersama-sama, tapi kepunyaan
masing-masing. Karena kampung asal yang jauh dan ditempuh selama berhari-hari, berminggu-
minggu bahkan sampai berbulan-bulan baru sampai ke tujuan, maka sepakatlah mereka membangun
rumah untuk tempat menginap dan tinggal. Hanya saja, bangunan rumahnya baru seruangseruang
dan bertonggak empat, yang dikenal dengan istilah Dangau. Masyarakatnya masih hidup
berkelompok-kelompok, baik melakukan kegiatan sehari-hari seperti berladang, bertani dan berburu
ke hutan maupun dalam kegiatan lainnya, namun mereka tetap hidup dalam kerukunan dan damai.

Hari demi hari mereka lalui dengan kehidupan dan kesibukan mereka masing-masing, semakin hari,
wilayah mereka makin bertambah luasnya berkat keuletan mereka menaruko (membuat/mengolah)
lahan baru untuk lahan pertanian dan tempat tinggal, di samping itu sekali-sekali mereka tetap pulang
ke kampung asalnya di saat-saat tertentu. Apabila
mereka kembali ke daerah rantau mereka selalu mengajak dan membawa keluarga serta kerabat
untuk bersama-sama membangun kehidupan baru di tempat yang baru.

Pemukiman baru ini berkembang pesat sekali, bangunan rumah sudah bertambah, surau dan jalan
(hanya jalan setapak) sudah dibangun, kegiatan sosialnya telah mempunyai peraturan hidup
bermasyarakat walaupun baru secara sederhana sekali.

Pertumbuhan taratak seperti digambarkan di atas sudah bisa dianggap sebagai dusun di mana sudah
bisa pula ada pimpinan yang kemudian disebut kepala dusun.

Tarantang

Urek panjang malilik-lilik

Maleo-leo sampai ka batang pinang

Tarantang di tapi bukik

Diagiah namo dek nenek moyang (Urat panjang melilit-lilit Menjuntai ke batang pinang Terantang di
tepi bukit Diberi nama oleh nenek moyang)

Tarantang bukan lagi taratak, tapi sudah merupakan wilayah kumpulan beberapa dusun yang terus
menerus berkembang menjadi koto (kampung). Tarantang boleh dikatakan sebagai sebuah koto,
karena telah memenuhi syarat, sudah ada labuah tapian, babalai basurau, basawah baladang, dan
sudah berdiri rumah adat (rumah gadang). Setiap nama koto (kampung) mempunyai makna dan arti
tersendiri baik secara

tersirat maupun secara kiasan. Pun demikian nama Kampung Tarantang yang dibahas sekarang.
Menurut tetua tetua kampung menceritakan bahwa asal nama tarantang adalah tatkala nenck
moyang mengolah hutan untuk dijadikan ladang dan tempat tinggal, melihat akar panjang yang
melintang schingga terhalang perjalanan mereka untuk meneruskan membuka pemukiman baru,
mereka katakan “lihat akar (urat) tarantang panjang menghambat perjalanan kita, lebih baik kita
istirahat di sini dulu”. Salah seorang penduduk menyela “bagaimana tempat ini kita beri nama
tarantang saja”.

Konon begitulah asal mulanya kampung tersebut bernama Tarantang, benar atau tidak biarlah sejarah
yang menentukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, masa
beredar, bumi berputar, kehidupan penduduk Tarantang terus berjalan. Ke ladang, ke sawah, dan ke
hutan menjadi kegiatan sehari-hari mereka. Begitulah seterusnya, ada yang pergi dan ada pula yang
datang, di mana yang pergi mencari lahan baru lagi untuk diolah dan dijadikan pemukiman tempat
tinggal, sedangkan yang datang adalah kaum kerabat di negeri asal (ibu) untuk ikut bergabung dengan
kaum yang terdahulu, karena kita tahu hidup orang Minangkabau suka merantau dan berladang
berpindah-pindah, dan tidak tertutup kemungkinan pendatang baru dari negeri lain (luhak lain) yang
ingin bergabung dengan penduduk dan kaum yang ada, bahkan ada yang membaur dalam ikatan tali
perkawinan.

4. Padang Besi

Sekarang kita berbicara tentang Padang Besi, koto (kampung) ini juga tidak jauh berbeda
pertumbuhan dan perkembangannya dengan kampung lainnya yang ada di nagari ini. Konon katanya,
sebelum nenek moyang berpindah ke wilayah yang mana lokasinya cukup luas berbukit-bukit, padang
ilalang yang luas sudah ada dusun-dusun yang dihuni oleh kelompok lain. Padang ilalang yang luas ini
sudah berisi. Padangnya sudah barisi, maka diberilah nama kampung ini Padang Barisi, lama kelamaan
menjadi Padang Besi. Namun ada versi lain yang mengatakan asal kata Padang Besi adalah
ditemukannya sebuah besi yang panjang menyerupai pedang (Padang Besi).

5. Banda Buek

Banda Buek asal usulnya sama dengan koto (kampung) lainnya, juga terdiri dari beberapa dusun,
namun perkembangan banda buek lebih maju dari kampung lainnya, ini terjadi karena pertemuan tiga
nagari, yaitu Nagari Nan XX, Nagari Pauh V dan Nagari Limau Manih, sehingga masyarakatnya juga
lebih maju, hal ini disebabkan pembauran penduduk di tiga nagari tadi.

Menurut cerita orang tua-tua terdahulu, bahwa di koto ini sudah ada permainan seperti barambuang,
sabuang ayam sebagai permainan anak nagari pada waktu itu. Setiap akan dimulai permainan maka
pesertanya sepakat dulu mencari dan menunjuk seorang bandar (cukong) yang akan memimpin
permainan tersebut. Lalu dibuatlah bandar, sehingga akhirnya semakin lama semakin ramai orang ikut
bermain sedangkan lokasi permainan ini belum punya nama, sehingga timbul

usulan dari orang orang yang datang untuk mengikuti per mainan tersebut, karena setiap akan
bermain dibuat dulu bandarnya, maka bernamalah tempat itu Banda Buck (bandar buat sekarang).

Di samping itu ada cerita lain yang mengatakan hahwa Banda Buek berasal dari selokan/sungai kecil
yang dibuat oleh penduduk pada kala itu guna untuk mengairi sawah dan lahan pertanian mercka.
Mana yang benar biarlah sejarah yang menentukan.

6. Indarung

Indarung adalah nama salah satu jenis pohon yang tumbuh diperbukitan dan lembah hutan belantara
yang ditemukan oleh nenek moyang kita yang kebetulan pergi ke hutan mencari kayu guna keperluan
untuk membangun rumah dipemukiman baru nantinya. Menurut cerita tetua-tetua terdahulu, bahwa
suatu ketika timbul masalah dan kesulitan bagaimana caranya membawa pekayuan yang cukup
banyak agar sampai ke tujuan. Lalu dicarilah kulit kayu dari pohon yang mereka tebangi tersebut, lalu
dikubak (dikuliti) kulit kayu tersebut, bila masih kurang, ditebang lagi pohon yang akan diambil
kulitnya. Setelah pohon ditebang, maka masyarakat beramai-ramai mendorong pohon tersebut ke
tempat yang datar dan lapang, bersorak-soraklah mereka “ayo dorong, ayo dorong”, dan terus
menerus mereka bersemangat mendorong pohon itu ke tempat yang lebih lapang untuk diambil
kulitnya. Konon, katanya oleh penduduk yang mencari kayu tersebut, pohon tadi diberi nama pohon
ndorong, yang lama-kelamaan berubah menjadi pohon indarung.

ejak ditemukan pohon ndorong tersebut, maka tidak ada lagi kesulitan bagi warga yang akan
membawa pekayuan pulang ke tempat tujuan, ada yang diikat ataupun dengan ditarik dengan tali
kulit ndorong yang disambung-sambungkan, sehingga memudahkan membawanya pulang. Begitulah
seterusnya, apabila warga mengambil kayu ke hutan, maka pohon ndorong menjadi langganan untuk
dikuliti (dikubak) sebagai bahan tali pengikat.

Dari kata ndorong-dorong lama kelamaan berubah menjadi indarung oleh warga menyebutkannya,
dan dari nama pohon kayu indarung ini pulalah wilayah ini dinamakan Kampung Indarung. Menurut
cerita tetua-tetua kampung yang juga cerita tentang Kampung Indarung ini diterimanya dari
pendahulu terdahulu, mengatakan bahwa Kampung Indarung sangat terisolir sekali di mana belum
banyak penduduk yang mendiami dan bertempat tinggal di wilayah ini. Jadi tidak heran Kampung
Indarung ini terlambat berkembangnya, sebab oleh nenek moyang wilayah ini hanya tempat
beristirahat sementara. Namun demikian lama-kelamaan Kampung Indarung mulai berkembang
setelah nenek moyang menetapkan wilayah ini untuk diolah menjadi lahan peladangan dan tempat
pemukiman.

Ada pameo di tengah-tengah masyarakat yaitu Indarung bakubak yang bermakna negatif dan selalu
mengganjal di hati penduduk asli Indarung di kala itu, seolah-olah mereka telah dikuliti habis-habisan
sehingga tidak berkutik lagi. Menyakitkan, memang kenyataan bahwa penduduk Indarung asli selalu
tertinggal dari orang pendatang. Pameo ini oleh penjajah Belanda dimanfaatkan untuk memecah
belah penduduk, sehingga segala niat dan tujuannya tercapai. Namun Pameo

Indarung bakubak sckarang sudah tidak muncul lagi, tapi dari parmeceo tersebut dapat diambil
hikmahnya yang menjadi ciri khas penduduk Indarung asli hingga saat ini yang bermakna positif,
bahwasannya penduduk asli terbuka bagi siapa saja yang datang ke Kampung Indarung, bahkan
orang-orang yang tinggal di Indarung sekarang tercatat dari daerah-daerah yang ada di Sumatera
Barat bahkan ada dari Jawa dan Tapanuli.

Mereka sudah membaur dengan penduduk setempat dan diterima dengan tangan terbuka untuk
hidup berdampingan, bahu membahu membangun Kampung Indarung. Jadi Indarung berkubak
(dikulit) sudah berubah maknanya menjadi Indarung terbuka, yang terbuka untuk siapa saja di segala
bidang.

7Batu Gadang . pot. . mk “ ap Ate 3 ——s “ Pen 7 ng Lon — “& $ : ? & PON KI aa 4 ad « -. CA SEK PE RE
- ta & ba naga Aa -. - , PLT TA ni AI | Toaatol 1 Tn po PE Ah | at Pa aa -41I -. ah, ta - Ih: ta it 5 Batu
Gadang, Tampek Bernazar bagi Warga Sekitar Foto: April Chan, S.Pd., M.Pd.

Wilayah Batu Gadang ini juga tidak jauh beda dengan Kampung Indarung, hutan yang lebat berbukit-
bukit, tetapi, di Batu Gadang ini nenek moyang orang Lubuk Kilangan lebih suka menetap di sini untuk
mengolah lahan untuk pertanian,

mungkin dikarenakan lahannya sangat subur, airnya cukup untuk persawahan, dan ini bisa kita lihat
sekarang di Batu Gadang lahan persawahannya cukup luas, kelak di sini juga ada permukiman dan
peladangan diperbukitan yang ada di Batu Gadangsini.

Adapun asal usul nama Batu Gadang menurut ceritanya adalah pada dulu kala ada seorang nenek
moyang mempunyai kesaktian dan ilmu kanuragan yang sangat tinggi, dan beliau juga selaku
pemimpin kaum serta rombongan yang ikut mencari pemukiman baru, di mana sampai di suatu
tempat di ketinggian tertentu beliau memandang dan meninjau jauh ke depan maka terlihat dari
kejauhan lautan lepas yang sangat luas sehingga beliau menyampaikan kepada anggota
rombongannya bahwa nun jauh di sana ada tanda-tanda kehidupan. Atas kesepakatan bersama
diputuskan untuk istirahat di tempat ketinggian itu yang kemudian nama tempat tersebut dikenal
dengan nama Sitinjau Lauik.

Beberapa hari berselang pimpinan rombongan yang mempunyai kesaktian dan ilmu kanuragan tinggi
itu memutuskan untuk berangkat menuju arah laut lepas bersama dengan rombongan dan kaumnya
mencari pemukiman yang layak untuk tempat tinggal. Lamanya diperjalanan membuat mereka
kelelahan, maka beristirahatlah rombongan tersebut di sekitar sungai yang mereka lalui sembari
melihat-lihat kondisi — wilayahnya. Di kala itulah pimpinan rombongan mereka yang berilmu
kesaktian tinggi itu menginjakkan salah satu kakinya di atas sebuah batu besar (gadang) yang ada di
sekitar aliran Sungai yang mereka lalui tersebut.

Konon ceritanya cengkraman kaki beli


au meninggalkan bekas di atas batu besar (gadang) berbentuk telapak kaki. Jejak
kaki nenck moyang yang mempunyai kesaktian tinggi itu masih berbckas sampai sekarang walaupun
sudah tidak jelas lagi, karena pada zamannya tempat itu dianggap keramat dan sakti. Sering orang-
orang pergi ke Batu Gadang tersebut untuk berdoa melcpaskan niat (nazar), apabila seorang keluarga
sembuh dari sakit, memohon minta keturunan atau akan mengadakan helat perkawinan dan lain
sebagainya.

Dulunya tempat ini cukup terkenal bagi masyarakat Lubuk Kilangan, sehingga lama-kelamaan oleh
penduduk kala itu, kalau ingin berniat atau bernazar selalu dikatakan hendak pergi ke tampek Batu
Gadang, dan ini pulalah yang menjadi cikal bakal nama Kampung Batu Gadang.

Tidak jauh dari Tampek Batu Gadang, ada pula Tampek Baringin, yang fungsinya sama dengan Tampek
Batu Gadang, yakni sebagai tempat bernazar, atau melepas niat. Sampai sekarang Tampek Baringin ini
masih dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar.

Koto Lalang

Sengaja penulis membahas tentang Koto Lalang ini bahagian akhir tentang keberadaan sebuah koto
(kampung) hal ini disebabkan minimnya cerita serta informasi dan pendapat dari tetua-tetua
kampung sekitarnya namun demikian masih ada cerita yang menyatakan bahwa wilayah ini dahulunya
merupakan daerah perlintasan penduduk dari Kampung Tarantang, Kampung Baringin menuju
kampung lain yaitu Bandar Buat sekarang, jadi apabila mereka ingin ke kampung lain selalu melalui
jalur ini. Setiap hari perlintasan ramai dilalui oleh penduduk untuk lalu lalang menuju ke tempat lain,
maka bernamalah koto ini Koto Lalu Lalang yang akhirnya menjadi Koto Lalang saja.

Lubuk Kilangan

Setelah diuraikan asal nagari menurut pertumbuhannya mulai dari Taratak Dusun, koto (kampung)
sampai menjadi nagari maka cikal bakal Nagari Lubuk Kilangan telah tumbuh dan berkembang
sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu Tarantang, Baringin, Padang Besi, Banda
Buek, Indarung, Batu Gadang dan Koto Lalang. Nagari Lubuk Kilangan sama juga dengan nagari lain di
Minangkabau yang mempunyai hak otonomi sendiri dan mempunyai wilayah batas tertentu dengan
nagari lain.

Pada awalnya gabungan kampung-kampung di Nagari Lubuk Kilangan tersebut merupakan satu
kesatuan sosial yang berdasarkan kebudayaan dan kebathinan di mana masyarakat dan penduduk
yang mendiami kampung-kampung masingmasing selalu hidup dalam kerukunan dan kedamaian
takala menjalankan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari. Ketika se

habis bekerja membanting tulang di sawah dan di ladang mereka beramai-ramai pergi ke tapian
tempat mandi untuk membersihkan badan sembari melepas lelah untuk kembali ke rumah masing-
masing.
Di tapian ini merupakan sebuah lubuk yang cukup dalam, dan menurut ceritanya, apabila sore hari
cukup ramai penduduk pergi mandi ke lubuk tersebut. Pada suatu ketika, di sekitar Lubuk itu pada
heboh dan mencekam dikarenakan salah seorang warga yang mandi hanyut dan hilang dibawa arus
sehingga beramai-ramailah penduduk mencari warga yang hanyut tersebut menelusuri arus sungai ke
hilir. Lama mencari, yang dicari tidak kunjung bertemu, sehingga penduduk yang ikut mencari secara
berpencar sama-sama bertemu di dekat sebuah lubuk, di lubuk inilah mereka bersepakat untuk
melanjutkan pencarian esok harinya karena tidak mungkin lagi dilanjutkan sebab hari sudah
berangsur malam, maka disepakatilah untuk bertemu dan berkumpul di Lubuk tempat mereka
bertemu kemarin, sehingga lubuk tempat pertemuan penduduk itu selalu disebut Lubuk Patamuan.

Ada versi lain yang menceritakan tatkala rombongan nenek moyang orang Lubuk Kilangan yang
datang dari Kubung XIII sebanyak 12 (dua belas) orang mencari tempat pemukiman baru melalui dan
menelusuri perbukitan arah ke matahari terbenam. Lama diperjalanan sampailah rombongan di
sebuah penghujung bukit, maka beristirahatlah mereka di tempat itu karena rasa lelah dan letih
setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Kelihatan kala itu laut bersentak surut, bumi bersentak lapang, langit bersentak naik yang
menandakan ada kehidupan nun jauh di sana, sepakatlah rombongan untuk meneruskan
perjalanannya dengan menelusuri iliran sunge yang akh rnya sampailah mercka di sebuah Lubuk.

Kembali mereka bersepakat untuk istirahat samb' melepaskan lelah serta letih selama dalam
perjalanan. Ada di antara mereka yang tidur-tiduran dan ada pula yang mandi membersihkan badan
dengan penuh suka cita. Tidak disangkasangka, salah seorang rombongan tersebut hilang entah ke
mana. Apakah hanyut dibawa arus atau tersesat di sekitar Lubuk itu, lalu berusahalah mereka mencari
temannya yang hilang dengan cara berpencar ada yang ke arah timur tiga orang, ada yang ke arah
barat tiga orang pula sedangkan yang lima orang mencari ke arah utara, namun yang dicari juga tidak
ditemui sesuai dengan kesepakatan mereka akan kembali berkumpul di Lubuk tempat mereka
beristirahat sebelumnya untuk menyampaikan hasil pencarian masing kelompok.

Lubuk tempat rombongan berkumpul dan bertemu ini kemudian bernama Lubuk Patamuan,
sedangkan Lubuk tempat awal mulanya mandi tadi di mana salah seorang rombongan hilang disebut
Lubuk Kahilangan sekarang disebut Lubuk Kilangan, yang menjadi nama Nagari Lubuk Kilangan
sekarang. Dari sebelas orang rombongan yang tinggal lima orang terus melanjutkan perjalanannya ke
arah utara sedangkan yang enam orang tetap menetap di Nagari Lubuk Kilangan.

Menurut ceritanya keturunan dari enam orang inilah yang menata dan menyusun aturan tentang
persukuan dan kekerabatan di dalam kaum, sehingga aturan dan susunan itulah yang diwarisi oleh
anak nagari sampai sekarang yaitu suku Caniago, suku Tanjung, suku Koto, suku Jambak, suku Melayu,
dan suku Sipanjang. Keberadaan suku ini pulalah

Anda mungkin juga menyukai