Anda di halaman 1dari 7

KAMPUNG NAGA

Kampung Naga (aksara Sunda: ᮊᮙ᮪ᮕᮥ ᮀ ᮔᮍ) adalah sebuah perkampungan


tradisional Sunda yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kampung ini merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat
istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda.
Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian
antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada
masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa
Barat.

Sejarah
Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari.
Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka.
Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan
merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini
sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan
siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung
dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri
menyebut sejarah kampungnya dengan
istilah Sunda, translit. pareum obor. Pareum jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti
penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu,
Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu
sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat
kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya
arsip/sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh
Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan
terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu
lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi
tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga
Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun
1956.
Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber
diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke
daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh
masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu
hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus
mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun
masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi
sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.
WAE REBO

Wae Rebo atau Waerebo adalah sebuah desa adat terpencil dan
misterius di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Wae Rebo
merupakan salah satu destinasi wisata budaya di Kabupaten
Manggarai.[1] Terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.
Di kampung ini hanya terdapat 7 rumah utama atau yang disebut
sebagai Mbaru Niang. Wae Rebo dinyatakan UNESCO sebagai Warisan
Budaya Dunia pada Agustus 2012 dengan menyisihkan 42 negara
lainnya.[2] Wae sendiri dalam bahasa manggarai artinya ialah "air".
Penulisan waerebo menggunakan 1 kata dan tidak memakai spasi
seperti yang ditulis media. Desa Waerebo sendiri sudah berumur 1200
tahun dan sudah memasuki generasi ke 20. Dimana 1 generasi berusia
60 tahun lamanya.

SEJARAH
Menurut legenda masyarakatnya, nenek moyang mereka berasal
[3]
dari Minangkabau. yang bernama Empo Maro berlayar dari Pulau
Sumatera hingga ke Labuan bajo. Empo Maro melarikan diri dari
kampungnya karena difitnah dan ingin dibunuh. Kemudian ia merantau
ke beberapa kota. Pertama ia singgah di Gowa Sulawesi, lalu berpindah
lagi ke beberapa kota lain. Saat perpindahannya, Maro menemukan
seorang istri. Lalu ia mengajak istrinya tersebut ikut berpindah
bersamanya. Pada suatu malam Maro bermimpi bertemu dengan seorang
petua yang berbicara kepada Maro untuk menetap dan berkembang di
Kampung Wae Rebo. Maro mengikuti apa yang petua itu katakan. Ia
bersama istrinya mencari Kampung Wae Rebo tersebut. Setelah sampai
di Wae Rebo, Maro dan istri hidup dan menetap di sana.

KEHIDUPAN MASYARAKAT
Wae Rebo tidak saja memiliki keindahan desa dan alamnya saja, ragam
kehidupan dan sosialnya pun juga menjadi daya tarik. Desa ini ditinggali
oleh 44 keluarga dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian
seperti kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Aktivitas para wanita di Desa
Adat Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, menenun, juga
membantu kaum pria di kebun. Masyarakat Wae Rebo masih
mempertahankan cara hidup sesuai budaya dan tradisi yang diwarikan
oleh leluhur mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat menggunakan mata
air yang berasal dari pegunungan. Sumber mata air ini dinamakan sosor,
yang terbagi menjadi 2, yaitu sosor pria dan sosor wanita.
SUKU BADUI

Suku Badui alias Sunda Badui (Bahasa Badui: Urang Kanékés, Urang
Cibéo,[a] atau kadang hanya sering disebut Badui, terkadang ditulis
secara tidak baku sebagai Baduy)[1] merupakan sekelompok masyarakat
adat Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu
kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain
itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan,
khususnya penduduk wilayah Badui Dalam.
Suku Badui termasuk sub-suku dari suku Sunda, mereka dianggap
sebagai masyarakat Sunda yang belum terpengaruh modernisasi atau
kelompok yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.
Masyarakat Badui menolak istilah "wisata" atau "pariwisata" untuk
mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk
mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan
wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah "Saba
Budaya Badui", yang bermakna "Silaturahmi Kebudayaan Badui".

SEJARAH
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai
tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat
para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan
dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-
16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum
berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini
merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap
bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih
untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan
tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah
hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada
masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari
serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan
pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang
Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya
tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes
sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-
orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut
Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban
memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang),
bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan
(wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Anda mungkin juga menyukai