Kategori: Suku |
Ditulis oleh contributor
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna, 1993).
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada
waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan
gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran
Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia
dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai
Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin
terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam.
Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan
keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka
meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun
upacara Suku Baduy Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang ,
malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring
tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya
nu masih keneh sa wangatua Artinya : jauh tidak menentu yang tuju
( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik
gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara
ataupun keluarga yang masih satu turunan
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam)
dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala
putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat
penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat,
tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah
putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk
Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau
mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya
untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga
situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya
meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai
Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur
Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang
dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di
keramatkan
Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari
percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah
Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu
terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan
Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak
oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah
perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang
tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong
Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan
kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas
masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka
terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang
masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap
di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan
Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat
kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang
berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap
terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat
terhadap Hukum adat.
Keluarga Kanekes
Jumlah populasi
5.000 - 8.000
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Banten, Indonesia
Bahasa
Dialek Baduy dari Sunda
Agama
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat
sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000
hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan
isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto,
khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Etimologi
2 Wilayah
3 Bahasa
4 Kelompok masyarakat
5 Asal-usul
6 Kepercayaan
7 Pemerintahan
8 Mata pencaharian
9 Interaksi dengan masyarakat luar
10 Rujukan
11 Lihat pula
12 Pranala luar
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah[sunting | sunting sumber]
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa[sunting | sunting sumber]
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik
dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya
perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup
diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang
tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan
mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti
Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek
moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit
sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai
Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah
Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga
Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka
"Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh
dari luar (Permana, 2001).
Asal-usul[sunting | sunting sumber]
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga
Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni
dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti
sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta
cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa
ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan
dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan
ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan
demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang
lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun
1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut
Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk
setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan
Darmasiksa.
Kepercayaan[sunting | sunting sumber]
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi
lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang
pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat
tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti
rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu
lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu
lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak
turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau
berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang
memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian
utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga
mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka
dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi dengan masyarakat luar[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis
memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini
telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buahbuahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli
kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes
terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat
sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari
sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima
para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan
bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap
terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba
masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki.
Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5
orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil
menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya
mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Rujukan[sunting | sunting sumber]
Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara
sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 59.
Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di
Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4.
Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan
Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
Abstract
Hal ini disebabkan oleh hukum adat memiliki batas-batas personal dan territorial
dimana tempat berlakunya kejadian pencurian di kampung Cikertawana, maka
hukum adat masyarakat Baduy Dalam kampung Cikertawana yang dikenakan
kepada pencuri tersebut, bukan ketentuan mengenai pencurian yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ceritanya, pada 10 Agustus 2013 sekitar pukul 10.30 WIB lalu, Sanadi atau yang
akrab disapa Sangsang oleh warga Baduy Dalam mengalami musibah. Ia jatuh dari
ketinggian tujuh hingga delapan meter saat hendak mengambil daun sirih yang
merambat di ujung sebuah pohon.
"Sangsang langsung digotong oleh sepuluh orang," tutur Hasman yang juga dikenal
di dunia fotografi ini.
Sangsang terluka parah di bagian belakang tubuhnya. Dua ruas tulang ekornya
rusak dan terlepas. Beberapa sarafnya putus. Benturan keras di tanah juga
membuat luka menganga. Bahkan, sebagian tulang belakang dapat terlihat dari
luka tersebut.
Luka tersebut membuat Sangsang menderita sampai saat ini. Tidur pun tak
nyenyak. Ia harus menahan rasa sakit setiap malam.
Kabar tentang Sangsang kemudian beredar hingga keluar kampung terpencil itu.
Terbentur adat
Menurut Don Hasman, salah satu rekannya, Lody Korua, yang beberapa minggu lalu
baru pulang mengunjungi Baduy Dalam, menyampaikan kisah tentang Sangsang
kepada Kepala Badan SAR Nasional yang juga pernah menjadi komandan Marinir,
Letnan Jenderal TNI (Mar) M Alfan Baharudin.
Penderitaan Sangsang selama hampir lima bulan menuai simpati Alfan. Seizin
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Alfan menyiapkan segala macam prosedur
penanganan medis untuk Sangsang dengan melibatkan enam dokter spesialis,
seperti spesialis bedah dan spesialis saraf.
Namun, penyelamatan Sangsang terbentur adat yang melarang warga adat keluar
daerah. Tim penyelamat mencoba bernegosiasi dengan Jaro (pemimpin adat Baduy)
untuk menjemput Sangsang menggunakan helikopter Bolco. Namun, permintaan itu
ditolak.
Pasalnya, saat memasuki musim hujan, jalan setapak menuju Desa Kanekes sangat
sulit karena akan dipenuhi lumpur. Akses ke kampung itu hanya bisa dilakukan
dengan jalan kaki. Sangsang membutuhkan waktu enam jam untuk sampai ke lokasi
tapal batas.
Masalah lainnya adalah soal higienis. Untuk penanganan operasi yang terbilang
besar dan sulit, peralatannya harus benar-benar steril. Sementara di rumah sakit
lapangan, tidak ada jaminan peralatan operasi steril.
"Kita coba lagi untuk negosiasi dengan Jaro agar (Sangsang) bisa dijemput dengan
heli, tetapi tetap tidak bisa. Dia (Jaro) bilang dapat ilham berupa bisikan gaib agar
(Sangsang) tidak dibawa keluar," kata Don Hasman.
"Tulang ekornya bisa dikembalikan dengan menggunakan pen baja. Saraf-saraf yang
putus juga masih dimungkinkan untuk disambung," tutur Don Hasman.
Kini Sangsang masih terbaring lemah di rumahnya. Ia tak mau melawan hukum
adatnya. Ia tahu, jika menerima tawaran penanganan medis ke luar kampung, ia
akan terusir dari Baduy.
"Ya, sudah. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami pasrah saja. Adat memang tidak
bisa dilawan, tetapi seharusnya itu bisa ditoleransi karena dia punya hak untuk
tetap hidup," tutup Don Hasman di ujung teleponnya.
Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk
menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara, maka
dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam Bahasa
Indonesia disebut Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah
larangan bagi warga Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu menang
dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang ada dalam
kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.
Adanya interaksi dengan warga masyarakat luar Baduy menyebabkan orang Baduy
banyak yang terpengaruh untuk memiliki barang perlengkapan hidup yang
sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka, lebih jauh lagi mereka
melakukan pelanggaran baik secara terang-terangan maupun secara sembunyisembunyi, keadaan yang demikian tentu saja tidak lepas dari pengawasan pemuka
PEMBAHASAN
buyut, karena buyut sebagai pikukuh Baduy tidak dijelaskan secara rinci kepada
setiap warga masyarakatnya, sehingga pelanggaran terjadi tanpa disadari.
Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat Baduy sebagai berikut :
Perubahan tanpa melanggar pikukuh
Seringnya orang Tangtu atau Panamping berinteraksi dengan orang lain, mendorong
mereka untuk dapat membaca dan menulis. Kebutuhan dapat membaca dan
menulis ini dimaksudkan untuk mengetahui barang yang akan dibeli agar tidak
terjadi kesalahan. Begitu pula jika mereka berkunjung ke kota dan sulit mencari
alamat yang di tuju, maka mereka dapat membaca alamat dan nama jalan, karena
jika bertanya di kota jarang orang mengetahui atau menunjukkan tempat yang
dimaksud. Kemampuan membaca dan menulis sangat penting bagi mereka, karena
jika ada perjanjian tertulis yang akan ditandatangani atau berhubungan dengan
perjanjian jual beli tanah maka mereka akan mengetahui dan memahaminya,
sehingga tidak begitu mudah diperalat orang lain.
Berikut ini beberapa contoh perubahan yang dialami oleh masyarakat tanpa
melanggar pikukuh, yaitu dalam pencarian bahan pakaian. Benang sebagai bahan
kain untuk pakaian yang diperlukan orang Baduy dibeli dari daerah lain kemudian di
tenun di desa Kanekes. Dahulu mereka menanam kapas untuk dijadikan benang
kemudian ditenun dijadikan kain, tetapi penanam kapas ini selalu berbenturan
dengan waktu menanam padi, menanam padi bagi orang Baduy lebih penting bagi
dibandingkan menanam kapas, akibatnya menanam kapas mereka tinggalkan.
Maka untuk memenuhi kebutuhan kapas, mereka membelinya dari masyarakat
Gunung Buleud Kecamatan Gunung Kancana. Perkembangan harga kapas yang
terus tidak menentu dan tidak menguntungkan lagi maka penanaman kapas
dihentikan, sehingga orang Baduy berusaha mencari kapas ke berbagai daerah,
namun tidak mendapatkan sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya orang Baduy
memilih membeli benang yang berukuran besar dinamakan kanteh ( benang katun
no. 12S ), didapat dari Tanah Abang Jakarta Barat. Pembelian kanteh dari daerah ini
berlangsung lama, sehingga orang Baduy menjadi pelanggan tetap took di Tanah
Abang.
Pembelian kanteh dari Tanah Abang tidak dapat berlangsung terus, karena Jakarta
mengalami perubahan, akibatnya toko langganan orang Baduy tidak ada lagi
disana. Akhirnya orang Baduy mencari kanteh ke berbagai daerah, kemudian
mendapatkan di Majalaya Kabupaten Bandung sampai sekarang.
Pada mulanya pakaian Baduy Tangtu dan Panamping hasil tenunan dari Cipaler
tetapi bagi orang Panamping yang pikukuhnya lebih longgar diperbolehkan untuk
membeli kain tenunan pabrik, ternyata mereka lebih menyenanginya, karena selain
murah tenunan pabrik lebih halus.
Pakaian pria Panamping nampaknya hanya baju hitam, tetapi mereka memiliki
pakaian resmi yang biasa digunakan pada saat Seba, perayaan perkawinan,
khitanan dan lain-lain. Pakaian tersebut dua lapis, yaitu baju hitam dipakai diluar
dan baju putih didalam juga celana pendek berwarna hitam pula. Pakaian resmi
yang demikian dirasakan cukup panas, maka jalan keluarnya dibuatkan pakaian
hitam dengan ditambah tempelan kain putih yang dibuat mirip krah baju, seakanakan pemakaiannya memakai dua pakaian sekaligus.
Pria Baduy Panamping sebelumnya tidak memakai celana pendek berwarna hitam,
melainkan memakai kain sarung poleng hitam (hitam bergaris putih) sebatas lutut.
Perubahan dari kain sarung poleng hitam ke celana pendek hitam, terjadi pada saat
orang Baduy menyerahkan hasil bumi sebagai tanda setia (seba) kepada Dalem
Banten, seseorang yang ditugaskan tiba-tiba larangannya (kemaluannya) terlihat,
sehingga orang melihat mentertawakan, maka Dalem Banten memerintahkan orang
Baduy Panamping, jika tidak terpaksa sebaiknya memakai celana pendek hitam
hasil tenunan Baduy, untuk membedakan bahan celana dengan bahan baju, maka
kain celana harus berserat seperti kayu pohon aren. Sejak saat itulah pria Baduy
Panamping memakai celana pendek. Tetapi di beberapa kampung Panamping masih
ada yang memakai kain sarung poleng hitam tanpa celana dalam, mereka ini
disebut Kaum Dalem, yang berada di kampung Cibongkok, Cikopeng, Cicatang,
Pamoean, Cibogo, Cisadane, Batubeulah, Cikulinseng, Ciranji, Cijanar, Cisagu
landeuh, Cisagu Tonggoh, Cikadu, Cijengkol, Cicangkudu dan Cipiit. Ikat kepala
berwarna hitam atau biru tua bermotif batik tidak dihasilkan sendiri oleh orang
Baduy, begitu pula bahan pakaian untuk Panamping banyak yang berasal dari
tenunan pabrik, sedangkan yang menggunakan hasil tenunan Baduy jumlahnya
makin sedikit. Wanita Panamping pakaiannya menggunakan samping hitam atau
biru tua dapat bermotif batik, bajunya sedikit lebih terang dan berwarna biru muda,
ungu atau putih yang dibeli dari pasar desa atau dari Rangkasbitung.
Pewarna kain hitam atau biru tua tidak lagi menggunakan bahan pewarna dari kulit
kayu tarum, melainkan sudah menggunakan bahan kimia karena selain mudah
menggunakan juga warnanya tahan lama. Penggunaan pelita untuk penerangan
rumah di malam hari di kampung Tangtu Cibeo mengalami perubahan. Bahan baker
pelita pada mulanya menggunakan minyak buah picung, tetapi pohon picung tidak
berbuah sepanjang musim. Maka untuk itu sekarang digunakan minyak goring
tetapi minyak goreng kadang digunakan keperluan lain, akhirnya mulai
menggunakan lilin. Begitu pula untuk penerangan untuk berjalan malam jika akan
berkunjung ke rumah tetangga, mereka biasanya menggunakan pohon kaso kering
atau daun pohon kelapa kering yang dibakar. Karena terlalu berbahaya dapat
mengakibatkan kebakaran, maka sekarang diganti dengan lilin. Agar apinya tidak
mati tertiup angina, lilin tersebut dihalangi bato kelapa yang tengahnya dilubangi.
Kampung Dangka yang berfungsi sabagai penahan perubahan yang masuk dalam
kehidupan warga masyarakat Baduy di desa Kanekes dipimpin Jaro Dangka yang
langsung berhubungan dengan organisasi social masyarakatnya, mereka adalah
Jaro Tujuh, dianggap sebagai Pamageuh Alam ( penguat alam ) yang sengaja
dimunculkan dengan tujuan untuk mententramkan dunia. Hal itu berhubungan
dengan kepercayaan orang Baduy yang menganggap bahwa Batara Tunggal
menciptakan alam semesta sebanyak 7 X ( tujuh kali ) sedangkan alam dunia 1 X
( satu kali ), sehingga untuk penguat alam dan pikukuh perlu dibentuk Jaro Tujuh.
Jaro Dangka yang bermukim di luar desa Kanekes sudah ada yang meninggalkan
kampungnya kemudian kembali ke desa Kanekes, hal ini disebabkan adanya
pertentangan dengan pemuka masyarakat atau kepala desa setempat.
Jaro Panyaweuyan di desa Karang Gombong sama halnya seperti Jaro Kamancing
terusir dari tanah dangkanya kemudian pindah ke kampung Batara.
Kehidupan warga masyarakat diatur oleh rukun tetangga dan kokolet lembur yang
berada di setiap kampung lama( Utama ) panamping. Organisasi adat baduy akan
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada saat
tertentu, hal ini adalah toleransi pikukuh terhadap tantangan yang ada, sehingga
pikukuh akan tetap terjaga dari rombongan yang akan mengubah kehidupan warga
masyarakat baduy. Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat bukan berarti
dikehendaki atau tidak, melainkan tuntutan perkembangan jaman yang
meharuskan bahwa bagian instusi sosial harus berubah dan beradaptasi
terhadapnya tanpa dapat dicegah, sehingga terjadi toleransi terhadap itu, maka
perubahn tersebut dianggap tidak melanggar norma budaya.
Perubahan Yang dianggap melanggar pikukuh.
Perubahan yang dilakukan orang Baduy sejak dahulu telah ada, sehingga perlu
penanganan dari pemuka adat dan puun untuk mengatasinya.
Perubahan yang dialami orang baduy tungku biasanya berhubungan dengan status
mereka karena pelanggaran terhadap pikukuh yang dilakukan langsung berhadapan
dengan Sidang Adat, si pelanggar dibuang ke kampung dangaka selama 40 hari
untuk bekerja di tanah Dangka. Adapun pelanggaran tersebut adalah mencuri,
berzina, orang dewasa mengobrol dengan lawan jenis yang bukan suami istri, naik
mobil, berbohong menipu, bertengkar, berkelahi dan memiliki perlengkapan hidup
yang dilarang. Terdapat tiga kampung dangka yang digunakan untuk menampung
pelanggar pikukuh dari kampung Tangtu ialah, kampung Dangka Sibengkung
menampungpelanggar dari Cikeusik, kampung dangka cihulu menampung
pelanggar Cibeo dan kampung dangka Panyaweungan yang sekarang berada di
Cisaban menampung pelanggar dari Cikartawana. Hukuman kerja selama 40 hari di
cibengkung sudah jarang dilakukan, setelah seminggu atau 5 hari pelanggar
dianggap selesai menjalani hukuman, maksudnya agar jangan sampai terpengaruh
oleh warga masyarakat yang berada di kampung sekitarnya, yang menyebabkan
kerjasama dengan Belanda. Akibatnya jika orang Baduy di Desa Kanekes diketahui
menanamnya maka pohon tersebut ditebang.
Pelangkaran terhadap Pikukuh dilakukan pula di lahan pertanian, seperti
penggunaan Herbisida untuk membasmi tumbuhan yang tidak dikehendaki dan
penggunaan Pestisida untuk memberantas hama padi. Penyemprotannya dilakukan
pada malam hari maksudnya agar tidak diketahui pemuka adat. Nampaknya
penggunaan obat-obat pertanian belum terkena operasi pembersihan karena
dilakukan secara sembunya pada malam hari, sehingga pembuka adat tidak
melihatnya.
Warga Kampung Panamping ada yang tidak terkena operasi pembersihan, tetrapi
hanya diperingatkan saja oleh yang ditugaskan dalam hal itu, yaitu Kampung
Gerendeng di Desa Karang Combong. Tidak sampainya operasi pemberihan karena
Kampung Gerendeng dilindungi Kepala Desa Karang Cembung. Segala
perlengkapan hidup yang menjadi milik orang Kampung Gerendeng tidak boleh
diganggu, sehingga orang Baduy Panamping di Kampug itu bebas memiliki barangk
perlengkapan hidupnya.
Pelanggaran dilakukan pula oleh orang Baduy Tangtu dalam hal menikmati
kesenangan dengan jalan menonton TV milik masyarakat sekitar Desa Kanekes,
seperti di Ciboleger pelanggaran ini dilakukan sore hari yaitu menonton TV secara
terang-terangan denga alasan menjual hasil bumi, jika selesai jual beli dan kembali
ke Kampung Tangtu akan kemalaman di jalan, apalagi hari itu terjadi hujan, maka
mereka akan bermalam di tempat si penampung atau tengkulak, ditempat inilah
terdapat TV. Hal ini berlangsung setiap saat sehingga informasi perubahan dari TV
diterima mereka, akan menambah penasaran untuk datang ke tempat yang muncul
di TV seperti wilayah Banten, Bogor dan Jakarta. Keingin untuk mengetahui tempattempat tersebut dilaksanakan pada saat selesai menanam padi atau pada saat
seba. Sepunglangnya dari tempat yang dikunjungi, mereka membawa pengalaman
baru.
Pemuda Baduy Panamping yang pergi ke kota sambil berdagang atau mencari
perlengkapan hidup, sudah jarang berpakaian hitam, tetapi sudah memakai baju,
kaos oblong, jelana panjang (bahkan jeans), sandal, sepatu, demikian pula wanita
Panamping sudah tidak memakai kain kebaya hitam atau biru tua dengan baju biru
muda atau putih, tetapi sudah memakai sepatu, rok atau jelana panjang. Sebelum
berangkat ke kota mereka berganti pakaian di luar Desa Kanekes, dan sekembalinya
kelingkungan Baduy, mereka mekamai pakaian asli kembali.
Pemuda Kampung Kadu Ketug dan Cipondok ada yang dapat bermain gitar, lebih
jauh lagi bersama-sama dengan pemuda Ciboleger ikut minum minuman keras
sejenis anggur, anggu ketan hitam dan arak putih, sedangkan minuman tradisional
yaitu Wayu (tuak yang berasal dari Nira pohon aren) mulai ditinggalkan.
Kampung Tangtu dan masyarakatnya tidak boleh difoto dengan alasan inti
kehidupan (sari) kampung atau orang akan terbawa foto tersebut. Jika hal itu
dilakukan terhadap kampung, akibatnya mudah ditimpa sial, seperti mudah
kebakaran, panen tidak berhasil, ayam tidak beranak banyak, mengganggu
kepergiannya diketahui oleh warga masyarakat bersangkutan. Orang Baduy yang
meninggalkan Tikukuh dan keluar dari Desa Kanekes, baik melalui proyek
pemukiman maupun perorangan sampai tahun 1993 hanya 54 orang yang meminta
ijin kepada Jaro Cihulu.
Orang Baduy Panamping yang berhuma jauh di luar desanya tidak dapat ulang alik
setiap hari, mereka harus bermalam di saung huma yang tertutup, jika lamanya
tinggal di lahan pertanian itu lebih dari 5 atau 7 hari, maka wajib lapor kepada Jaro
Pamarentah, bahwa ia masih ada di huma. Hal tersebut dilakukan jika orang yang
bersangkutan mengalami musibah atau ingin meninggalkan Pikukuh dapat
diketahui.
Orang Baduy yang akan pindah mengikuti proyek pemukiman pada mulanya
dihalangi dan ditakut-takuti seperti akan dibuang ke pulau terpencil, akan
dimasukan ke agam Islam dan dikhitan kembali, akan diperkerjakan diperkebunan
tanpa dibayar dan lain-lain. Maksudnya agar orang Baduy merasa takut dan raguragu, sehingga mereka urung meningkalkan Pikukunya. Begitu juga setelah berada
di proyek Pemukimanpun akan diajak kembali ke Desa Kanekes.
Orang luar Desa Kanekes sering melakukan rong-rongan seperti mencuri ayam atau
buah-buahan, jika pencurinya tertangkap disuruh mengganti kerugian, atau
diserahkan kepada yang berwajib. Rongrongan tersebut dapat pula berupa
pelanggaran batas wilayah dan penyerobotan wilayah lahan garapan, maka Jaro
Pamarentah dan tanggunga Jaro dua belas bertugas menyelesaikan masalah
tersebut.
Munculnya perubahan dari dalam dan adanya rongrongan dari luar akan
mengganggu tantanan yang telah ada, maka lembaga sosial berusahan untuk
mengatasinya melalui saluran yang telah disediakan.
Tempaan Perubahan terhadap struktur sosial.
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat baduy akan
menggoyahkan unsur sosialnya, sehingga pemuka adat berkewajiban
mempertahankan unsur sosial itu, tetapi adanya perubahan pola kehidupan, lambat
laun struktur goyah pula.
Unsur-unsur sosial sebagai pedukung struktur sosial masyarakat baduy yang
terpengaruh oleh adanya perubahan diuraikan sebagai berikut;
Munculnya kelompok sosial yang menyimpang
Pelanggaran terhadap pikukuh yang dilakukan oleh beberapa orang Baduy yang
membentuk kelompok sendiri, seperti yang pernah dipimpin oleh samin mantan Jaro
pamarentah (Kepala Desa) Desa Kanekes, kemudian anggota kelompok tersebut
mengadopsi perubahan yang dibawanya untuk dibawa kelompok ini mendorong
kelompok baduy lain untuk melakukan perubahan yang sama.
Kemapanan yang ada di dalam kehidupan akan mendorong warga masyarakat ingin
mengenal hal yang baru yang sebelumnya tidak ada dalam kehidupan mereka,
sehingga memunculkan kelompok yang menginginkan perubahan.
Perubahan Sosial dan Budaya.
Perubahan yang dialami orang baduy akan diikuti perubahan kebudayaannya,
seperti yang ditunjukan oleh perubahan unsur kebudayaan yang universal berikut
ini.
a. Peralatan dan perlengkapan hidup. Peralatan pertanian yang digunakan orang
baduy mendapat tambahan yaitu alat penyemprot yang digunakan untuk
memberantas rumput atau tumbuhan liar (herbisida), serta hama tanaman
(pestisida), penggunaan alat dan obat pertanian ini dilakukan secara sembunyi.
Alat-alat pertukangan untuk kayu sebagai pendukung membuat rumah di kampung
panamping telah menggunakan gergaji pembelah, gergaji pemotong, paku, pahat,
bor kayu, serutan atau ketam ( Bah. Sunda=sugu) dan alat ukur(meteran). Alatalattersebut sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan orang baduy. Alat
pertukangan yang dikenal dalam kehidupan mereka yaitu baliung, golok dan kapak.
Peralatan hidup yang digunakan sehari-hari untuk minum yang terbuat dari pecah
belah telah diadopsi. Selain pecah belah, diadopsi pula penggunaan lampu senter,
Thermos, sendok-garpu, rantang, kastrol nasi,Pakaian, dan lain-lain.
b. Mata pencaharian orang baduy adalah bertani dengan padi sebagai tanaman
utamanya, tetapi mereka telah menambah jenis tanaman lain yaitu cengkeh dan
kop. Mata pencaharian tambahan ialah adalah berdagang atau menjadi buruh di
luar Desa Kanekes.
c. Pemuka adat dalam organisasi sosial masyarakat baduy yang dipegang jaro
dangka, Jaro Pamarentah, Tanggungan Jaro duabelas dan jaro tangtu, sebagai
pemegang dan pemelihara pikukuh baduy, senantiasa berusaha untuk
mempertahankan pikukuh dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga
masyarakatnya. Tetapi seteleh beberapa Jaro Dangka terusir dan berpindah (atau
ditarik) ke desa Kanekes, nampak pengawasan mereka terhadap perilaku orang
baduy yang Menyimpang sudah berkurang dan mereka lebih menitikberatkan pada
operasi pembersihan pikukuh saja yang dilaksanakan setahun sekali.
d. Bahasa yang digunakan orang baduy adalah bahasa sunda dialek Kanekes, tetapi
sekarang ini orang baduy sudah banyak yang dapat berbicara bahasa Indonesia,
Situasi sosial ini identik dengan strategi dalam pertanian (game), dimana penerima
perubahan dan pemerintah (Departemen sosial Propinsi jawa barat) berperan
sebagai pemain yang masing-masing memiliki Strategi. Proses bermain tersebut
didapati adanya kerjasama diantara mereka ( penerima inovasi) sebagai suatu
strategi, disamping itu terapat pula kerjasam dengan pemerintah, untuk menjamin
kelangsungan hidup di tempat yang baru hasil kerjasama dengan pemerintah
diantaranyan diberangkatkan Samin ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah
Haji pada tahun 1989 yang kemudian disusul anaknya pada tahun 1990. Strategi
diperlukan bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya, sehingga dapat
mengatasi segala kemungkinan yang merugikan dirinya.
PENUTUP
Perubahan orang Baduy terhadap pikukuhnya secara jelas dimulai adanya interaksi
sosial dengan warga masyarakat diluar kehidupan sosialnya, sehingga orang Baduy
akan membandingkan kepuasan yang didapat dari ketaatan terhadap pikukuh dan
kepuasan melakuan hubungan dengan warga masyarakat luar ( Pertukaran Sosial ).
Apabila hubungan dengan warga masyarakat luar mendapat imbalan yang lebih
menguntungkan, maka mereka akan mengadopsi perlengkapan hidup yang
sebelumnya tidak dikenal. Tetapi hal itu tergantung pula pada orang Baduy sendiri,
apabila mereka masih takut mendapat hukuman dari pemuka adat atau takut
ditimpa musibah ( bencana ), maka mereka akan tetap taat terhadap pikukuh.
Keinginan untuk berubah ditunjang dengan adanya ide perubahan yang dibawa
tokoh masyarakat, agar orang Baduy menerima perubahan dan meninggalkan
pikukuhnya, diantara mereka yang menerima perubahan, ada yang mempersiapkan
strategi hidup, sedangkan yang tidak turut mengikuti perubahan tetap memegang
pikukuhnya. Menerima perubahan memerlukan strategi untuk kelangsungan hidup
mereka ditampat baru, yang berfungsi untuk menjaga segala kemungkinan yang
akan merugikannya. Bagi yang mereka yang berhasil menggunakan strategi hidup,
maka akan terus melakukan adaptasi seperti halnya di proyek pemukiman yang
telah disediakan, dan menjadi masyarakat biasa yang lepas dari pikukuhnya Baduy,
sedangkan yang tidak berhasil dalam strategi hidup dan beradaptasi, maka akan
kembali kepada pikukuhnya di desa Kanekes. Perubahan yang dialami orang Baduy
tidak lepas dari dari pengawasan pemuka adat yang seantiasa berusaha menetang
perubahan dan mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan
pikukuh.
Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Pidana
(Makalah ini Disampaikan dalam Diskusi Publik di Rumah Dunia, Banten, 4 Februari
2011 atas kerjasama Rumah Dunia dan Banten Institute dan Seminar Internasional
Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda, Jatinangor, 9-10 Februari 2011.
Diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bekerja sama dengan
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata)
Abstrak
Hukum Pidana Adat adalah disiplin ilmu hukum yang direkomendasikan untuk
dipelajari dan digali oleh berbagai para ahli hukum, seminar hukum nasional, dan
Kongres PBB Mengenai Penanggulangan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku
Kejahatan. Rekomendasi tersebut didasarkan pada kepentingan hukum nasional
dalam upaya pembaharuan hukum nasional agar hukum tidak semakin menjauh
dari nilai-nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat dalam rangka membangun
hukum nasional. Latar belakang pemikiran tersebut kemudian dituangkan dalam
makalah ini dengan judul Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana.
Makalah ini mendasarkan pada dua pokok permasalahan yang disusun dalam
pertanyaan besar bagaimanakah sistem hukum pidana substansif adat Baduy? Dan
bagaimana hukum pidana substansif adat Baduy dapat berperan dalam
memberikan kontribusi pada pembaharuan hukum pidana nasional? Tujuan makalah
ini untuk mengetahui sistem hukum pidana substansif adat Baduy dan mencari
nilai-nilai universal hukum pidana substansif adat Baduy yang dapat dikontribusikan
dalam pembaharuan hukum pidana nasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum pidana adat Baduy merupakan hukum
yang tidak tertulis yang mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara
integral yang meliputi pemulihan kepentingan korban, kepentingan pelaku dan
kepentingan masyarakat. Hukum pidana adat Baduy mengenal berbagai jenis
tindak pidana berikut konsep pertanggungjawaban dan sanksi hukumnya.
Hukum pidana adat Baduy juga mengenal tindak pidana santet dan pidana ganti
rugi dengan berbagai karakteristiknya yang perlu dipertimbangkan untuk
diakomodir dalam konteks pembaharuan hukum pidana nasional
Kata kunci: Hukum pidana adat Baduy, pembaharuan hukum pidana, penyelesaian
perkara integral.
1. PENDAHULUAN
ketujuhbelas, negeri ini sudah mengenal tatanan sosial dan kehidupan yang telah
berkembang, Belanda tidak menemukan suatu komunitas yang primitif, melainkan
berbagai kerajaan dan karya-karya budaya fisik maupun non fisik yang terkadang
berkualitas dunia, seperti candi Borobudur. Daniel S Lev, menggambarkan kondisi
hukum di Indonesia sebelum bertemu dengan barat sebagai berikut: Before then
many different legal orders existed, independently within a wide variety of social
and political systems.
Berkaitan dengan hal di atas, Moeljatno dalam bukunya Fungsi dan Tujuan Hukum
Pidana Indonesia dan Rencana Undang-undang Tentang Asas-asas dan Dasar-dasar
Pokok Tata Hukum Indonesia mengingatkan resolusi bidang hukum pidana yang
dihasilkan dalam Seminar Hukum Nasional 16 Maret 1963 sebagai berikut:
1. Menyerukan dengan sangat agar supaya rancangan kodifikasi Hukum Pidana
Nasional selekas mungkin diselesaikan.
2. Dalam KUHP baru itu bagian umum (fundamentals), antara lain: asas legalita
hendaknya disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian Indonesia dan
perkembangan Revolusi, setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana
umum dalam KUHP, di negara-negara lain.
3. ....................................................................
4. Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatanperbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam
perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatanperbuatan menurut Hukum Adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan
masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai
dengan martabat bangsa.
5. .....................................................................
6. .....................................................................
7. ....................................................................
8. Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP.
9. ...................................................................
(Cetak tebal dari penulis)
Sejak seminar hukum nasional yang pertama tahun 1963 itulah kemudian
Indonesia mulai mendesain pembaharuan hukum pidana dalam bentuk konsep
(RUU) KUHP yang salah satunya dilakukan dengan cara menggali kearifan lokal dan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hingga kini konsep KUHP yang terbaru adalah
konsep 2008.
Selain itu, berbagai Kongres PBB mengenai Prevention Crime and the Treatment of
Offenders juga telah menegaskan pentingnya memperhatikan nilai-nilai budaya
yang ada pada tiap-tiap negara.
Hal tersebut misalnya terdapat dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan pada
kongres PBB ke -6 tahun 1980 menegaskan:
-Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of
economic development, political system, social and cultural values and social
change, as well as in the context of the new international economic order. (garis
bawah dari penulis).
-it is a matter of great importance and priority that programmes for crime
prevention ant the treatment of offenders should be based on the social, cultural,
political, and economic circumstance of each country, in a climate of freedom and
respect for human rights, and that member states should develop an effective
capacity policy, coordinate with strategies for social, economic, political and cultural
development. (garis bawah dari penulis)
Komisi I Kongres PBB ke-6 yang membicarakan Crime trend and crime prevention
strategies antara lain menyatakan:
......the corelation betwen development and increasing criminality could not be
accepted as principle. ........development was not rationally planned, disregarded
cultural and moral values and did not include integrated social defence strategies.
(garis bawah dari penulis).
Jadi, pada dasarnya pembangunan tidak menimbulkan meningkatnya angka
kejahatan. Namun pembangunan yang tidak direncanakan dengan rasional, tidak
menghargai budaya dan nilai moral membuat pembangunan menjadi salah satu
faktor kriminogen.
Salah satu hukum pidana adat yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah
hukum pidana adat Baduy. Terlebih penting sekadar pemaparan, makalah ini akan
menyajikan nilai-nilai ataupun kaidah yang dapat dikontribusikan pada
pembaharuan hukum pidana nasional.
2. PEMBAHASAN
Sulit untuk menuangkan seluruh hasil penelitian mengenai hukum pidana adat
Baduy dalam jumlah halaman yang terbatas dalam makalah ini. Oleh karenanya,
pemaparan mengenai hukum pidana adat dan nilai-nilai yang dapat dikontribusikan
dalam konsep KUHP kiranya akan disampaikan sarinya saja. Namun sebelum itu,
saya kira perlu dipaparkan terlebih dahulu hal-hal umum mengenai Baduy.
Puun = Pemimpin adat tertinggi yang ada di masing-masing Baduy Dalam yang
disakralkan dalam hal spiritual. Saat ini Puun Cibeo dijabat Jahadi, Cikartawana
Puun Sangsang, di Cikeusik Puun Yasih.
Girang Seurat = Tokoh adat yang diberi kewenangan dan membidangi masalah
pertanian, dijabat oleh 2 orang: Seurat Arwi di Cibeo dan Seurat Samin di Cikeusik.
Jaro Tangtu = Kepala kampung yang ada di tiap kampung Baduy Dalam. Saat ini
dijabat oleh Jaro Sami (Cibeo), Jaro Damin (Cikartawana), Jaro Alim (Cikeusik)
Baresan Salapan/tujuh = Pembantu puun yang ada di Baduy Dalam. Di Cibeo ada 9,
di Cikeusik ada 9 (maka disebut Baresan salapan), di Cikartawana ada 7 maka
disebut Baresan tujuh. Jumlah penduduk Cikartawana lebih sedikit dibanding Cibeo
dan Cikeusik.
Tangkesan = Penasehat Jaro 7 atau Jaro Dangka, berfungsi dalam hal urusan adat,
tangkesan ini semacam dukun yang terkadang diminta menujum seorang pelaku
tindak pidana. Pada dasarnya posisi struktur tangkesan lebih tinggi dari
Tanggungan. Tangkesan dijabat 1 orang yang saat ini berada di Cicatang.
Tanggungan/Jaro 12 = Mirip tangkesan, sebagai penasehat Jaro 7/Jaro Dangka
namun lebih berfungsi sebagai saksi dalam pelaksanaan kegiatan Jaro7.
Tanggungan/Jaro 12 dijabat oleh satu orang, saat ini dijabat Saidi Putra di Katuketer
Hilir.
Jaro 7/Jaro Dangka = Tokoh adat yang berfungsi menegakan hukum adat (termasuk
hukum pidana adat). Berjumlah 7 orang yang tersebar di : Dangka Cibengkung,
Dangka Cihandam, Dangka Cipatik, Dangka Panyaweyan, Dangka Carungan,
Dangka Nungkulan, Dangka Warega. Kesemuanya adalah Jaro 7. Pusat Jaro 7 ada di
Warega.
Kepala Desa = Kepala Desa Kanekes yang saat ini dijabat Jaro Dainah/Jaro
Pamarentahan (Jaro Pemerintahan) berfungsi sebagai penghubung antara Baduy
dengan lingkungan luar termasuk persoalan tindak pidana yang tidak bisa
diselesaikan di Baduy (melibatkan hukum negara).
Keterangan:
2.5 Kontribusi Hukum Pidana Adat Baduy terhadap Pembaharuan Hukum Pidana
(Konsep KUHP).
Hukum adat pada dasarnya telah diakomodir dalam konsep KUHP. Misalnya dalam
Pasal 1 ayat 3 yang memberi tempat bagi asas legalitas materiil (hukum tidak
tertulis sebagai sumber hukum). Namun demikian penelitian hukum pidana adat
Baduy yang telah dilakukan memberikan gambaran tentang beberapa hal yang
patut untuk diakomodir dalam Konsep KUHP.
a. Santet (Julid)
Konsep KUHP 2008 telah mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan santet
(kekuatan gaib) dalam Pasal 293 . Namun pengaturan tersebut hanya untuk orang
yang menawarkan bantuan jasa kepada orang lain melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang.
Sementara jika santet tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri si pelaku santet maka
Konsep KUHP belum dapat menjangkaunya. Hukum Pidana Adat Baduy mengatur
larangan menawarkan bantuan jasa santet dan juga melakukan santet atas inisiatif
sendiri. Sehingga patut dipertimbangkan untuk memasukan rumusan pengaturan
orang yang melakukan santet atas kehendak dan kemampuannya sendiri. Santet
(julid ka papada) merupakan dosa/ tindak pidana yang sangat berat hukumannya
dalam hukum pidana adat Baduy, dalam riwayat, menurut jaro sami, pelaku santet
dihukum dengan cara ditalian dibalangkeun ka laut.
b. Ganti Kerugian
Hukum pidana adat Baduy mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara
integral yang mengorientasikan pada pemulihan korban, pelaku dan keseimbangan
masyarakat. Dalam beberapa hal konsep tersebut mirip dengan konsep restorative
justice yang dikembangkan John Braithwaite, dosen, kriminolog dan peneliti pada
Australia National University. KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal konsep
ganti kerugian, hal ini menunjukan penyelesaian perkara pidana lebih diorientasikan
pada pelaku (retributive justice) dan korban (victim) cenderung ditinggalkan.
Konsep KUHP 2008 telah mengakomodir kepentingan korban dengan mengantur
ganti rugi sebagai jenis pidana tambahan dalam Pasal 67 ayat 1 huruf d
(pembayaran ganti rugi sebagai jenis pidana tambahan). Namun pengenaan pidana
tambahan ganti rugi dalam Konsep KUHP masih terbatas pada tindak pidana
tertentu saja, misalnya kekerasan terhadap orang atau barang; mengakibatkan
cidera pada badan orang; mengakibatkan luka berat; mengakibatkan matinya orang
(Pasal 306 ayat 1 dan 2 Konsep KUHP 2008). Dalam hukum pidana Adat Baduy,
pidana ganti kerugian adalah jenis pidana yang melekat pada setiap tindak pidana
yang menimbulkan korban. Jadi ganti rugi (secara proporsional) merupakan hak
korban, kecuali jika korban melepaskan haknya, maka pidana ganti kerugian tidak
perlu dikenakan pada pelaku. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang
bersifat integral dan juga mengorientasikan pada kepentingan korban, hendaknya
konsep KUHP juga memuat ganti kerugian sebagai jenis pidana tambahan yang
melekat pada setiap tindak pidana yang menimbulkan korban.
3. SIMPULAN
3.1 Simpulan
1. Hukum pidana adat Baduy memiliki sistem hukum pidana substantif yang
meliputi hukum formil/prosedural, hukum materiel/susbtantif dan hukum
pelaksanaan pidana.
2. Perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan sanksi dalam hukum pidana
substantif adat Baduy dirumuskan secara tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan
dalam sebuah kitab. Pengetahuan dan pemahaman hukum pidana substantif adat
Baduy dilestarikan melalui budaya lisan tutur secara turun temurun.
3. Konsep pertanggungjawaban sanksi hukum dalam Hukum pidana substantif adat
Baduy diorientasikan pada penyelesaian perkara secara integral yang meliputi
pemulihan kepentingan korban (victim oriented), kepentingan pelaku (offender
oriented) dan kepentingan masyarakat (community oriented) sehingga
keseimbangan dalam masyarakat kembali terjaga.
4. Hukum Pidana Substantif Adat Baduy memiliki ketentuan mengenai konsep
pelaku santet dan konsep ganti rugi yang diorientasikan pada kepentingan hukum
korban dan masyarakat yang belum diakomodir dalam Konsep KUHP 2008.
3.2 . Rekomendasi
1. Sebagaimana hukum pidana adat Baduy, pembaharuan hukum pidana nasional
hendaknya mengorientasikan penyelesaian perkara pidana secara integral yang
meliputi pengakomodiran kepentingan korban, kepentingan pelaku dan kepentingan
masyarakat.
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan santet sebagaimana terdapat dalam
hukum pidana adat Baduy dan konsep KUHP 2008 hendaknya tetap dipertahankan
keberadaannya dan mempertimbangkan untuk mengkriminalisasikan dan
memformulasikan tindak pidana santet yang dilakukan oleh orang yang memiliki
kemampuan santet atas inisiatif sendiri mengingat eksistensi dan fenomena santet
yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
3. Konsep ganti rugi sebagaimana ada dalam hukum pidana adat Baduy yang
melekat kepada setiap tindak pidana hendaknya diadopsi Konsep KUHP dan selalu
diperhatikan hakim sehingga penyelesaian perkara pidana secara integral dapat
terlaksana.
4. Nilai-nilai universal hukum adat yang telah diakomodir dalam pembaharuan
hukum pidana nasional hendaknya dipertahankan dengan berdasarkan pada kajiankajian hukum adat secara berkesinambungan.