Anda di halaman 1dari 25

Di Buat oleh:

Bibit Nata Prawira

Tanggal:
31-jan-2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar
kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya
Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka
sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan
nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti
Urang Cibeo (Garna, 1993).
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok
masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan
Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah
Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung)
dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan
Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala
Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan
sejahtera.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana asal usul suku Badui?

2
2. Dimana wilayah tempat tinggal suku Badui?
3. Apa kepercayaan yang dianut oleh suku Badui?
4. Bagaimana kehidupan suku Badui?
5. Apa mata pencaharian suku Badui?
6. Apa bahasa yang dgunakan suku Badui?
7. Bagaimana kebudayaan suku Badui?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SUKU BADUY

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
(Garna, 1993).

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu
yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu
Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang
dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal
ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah
Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak
yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih
setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai,
mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun
upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir
dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu
ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa
wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan,
berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus
berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“ 

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam) 
dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih,
memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya

3
jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh,
berpendirian kuat tapi bijaksana.

Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah
putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun
setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus
putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan
agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk
Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki
hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini
mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk
meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang
sangat di keramatkan

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan
Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak
bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang
lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah,
iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari
percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang,
priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-
orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang
ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam
sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan
belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di
kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan
kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada
kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar
mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing
menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di
Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak
dengan ciri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian
dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak
berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh
dan taat terhadap Hukum adat.

Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara
berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda  Sebutan bagi suku Baduy terdiri
dari:

4
1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu
(Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana. 
2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang
menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat
dibawah pimpinan Puuun (kepala adat).
3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah
mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat
luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

2.2 LOKASI DAN TEMPAT DEMOGRAFI

Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten


Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo,dan Cikertawana.dan
terbagi atas abaduy luar dan baduy dalam.Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk
yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan
rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.Masyarakat suku
baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-
bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali.
Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-
rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di
daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukuop
tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut.

Wilayah Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak pada 60 27’ 27” – 60 30’
LU dan 1080 3’ 9” – 1060 4’ 55” BT. wilayahnya berbukit – bukit dengan rata –rata terlelak
pada ketinggian 250m diatas permukaan laut.

1.Asal Muasal Sejarah Tempat

Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal
usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai
tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan
bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.

Pendapat lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau
Jawa , berdasarkan bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di
Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan
simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di
Peru ribuan tahun silam.

Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan
Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian selatan dan dipublikasikan

5
pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca
domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden
berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang
Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas
merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek
moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh
dimasuki orang luar (purwitasari,2000)

Asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti,
catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang
cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau
yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam
ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari
Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan
demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan
dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy
yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah
untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran

2.Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

2.3 KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BADUY

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok
masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan
6
Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah
Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung)
dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer
zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

1.StrukturPemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat
istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”.
Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari
bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksanaan sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro,


yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro
pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu
dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan
memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka
berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro
duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro
pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes
dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

2. Sistem Pemerintahan.

Orang Baduy menganggap dirinya sebagai keturunan jauh dari 7 Batara atau Dewa,
yang dikierim ke dunia di Sasaka Pusaka Buana oleh Batara Batara tunggal. Mereka
membagikan diri kedalam beberapa kelompok berdasarkan keturunan mereka. Karena itu
mereka hidup dalam pemukiman yang berbeda. Ada 3 pemukiman di Tangtu ( daerah bagian
dalam ), yaitu Cibeo,Cikeusek, dan Cikartawana.Setiap daerah pemuk,iman memiliki puun
sendiri yang secara adapt memiliki tugas khusus dan mengadakan hubungan dengan sejumlah
pemukiman di Dangka (daerah bagian luar Baduy).Setiap pemukiman luar memiliki
pemimpin sendiri yang disebut Jaro. Seluruh organisasi ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu
dan tujuh Jaro”. Dengan semakin banyak penduduk ada juga orang Baduy yang kini tinggal
diluar tata susun resmi, yaitu di pemukiman tambahan yang disebut penamping atau pajaroan.

Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dan sistem adat.

7
dalam sistem nasional, masyarakat baduy termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. di daerah baduy terdapat
sejumlah kampung yang terbagi menjadi kampung tangtu, kampung panamping dan kampung
dangka. selain kampung tangtu juga terdapat rukun kampung yang disebut kokolotan lembur.

Desa Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah yang berada di bawah
camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat)
yang disebut puun. yang membedakan dengan kepala desa lainnya adalah kepala desa
Kanekes tidak dipilih oleh warga, tetapi ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada
bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai kepala desa. untuk saat ini yang menjabat
sebagai jaro pamarentah adalah Jaro Dainah.

Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat baduy bersorak kesukuan dan


disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Ada tiga orang puun di wilayah
baduy yaitu puun Cikeusik, puun Cibeo dan puun Cikertawana. puun-puun tersebut
merupakan “tri tunggal”. selain berkuasa di wilayah masing-masing, mereka secara bersama-
sama juga memegang kekuasaan pemerintahan tradisional masyarakat baduy. walaupun
merupakan satu kesatuan, ketiga puun tersebut mempunyai wewenang tugas yang berlainan.
wewenang puun Cikeusik adalah menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat
yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat (seren taun, kawalu dan seba). dan
memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.

Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di


kawasan baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelintas batas dan
berhubungan dengan daerah luar. sedangkan wewenang kapuunan Cikertawana menyangkut
urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau sebagai badan pelaksana langsung di
lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan baduy.

Dalam lembaga kapuunan terdapat beberapa jabatan yang masing-masing jabatan


memegang dan bertanggung jawab pada urusan khas. berikut ini akan diuraikan masing-
masing jabatan dalam lembaga kapuunan tersebut

Puun

Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. menurut pikukuh “peraturan
adat” jabatan puun berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal yang tidak
memungkinkan. sehubungan dengan hal tersebut jabatan puun bisa diwariskan kepada
keturunannya atau kerabat dekatnya. lama jabatan puun tidak ditentukan. jangka waktu
jabatan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan seseorang memegang jabatan puun. ada
yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan mengundurkan diri karena usia
tua.

Girang Seurat

8
Girang seurat atau kadang disebut seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah
puun yang melaksanakan tugas sebagai “sekertaris” puun atau pemangku adat, juga bertugas
mengurus huma serang “ladang bersama” dan menjadi penghubung dan pembantu utama
puun. setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus melalui girang seurat.
tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang mewakili puun. sebagai pembantu puun,
girang seurat hanya ada di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikertawana tugas yang
sama dipegang oleh kokolot “tetua kampung”.

Baresan

Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan


bertanggungjawab dalam bidang keamanan dan ketertiban. mereka termasuk dalam anggota
sidang kapuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas orang di Cikeusik,
sembilan orang di Cibeo dan lima orang di Cikertawana. mereka juga dapat menggantikan
puun menerima tamu yang akan menginap dan dalam berbagai upacara adat.

Jaro

Jaro merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. tugas jaro sangat
berat karena meliputi segala macam urusan. di baduy dikenal empat jabatan jaro yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertugas sebagai
pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga tangtu. Ia bekerja sama dengan girang seurat
mendampingi puun dalam pelaksanaan upacara adat atau menjadi utusan kepala desa ke luar
desa Kanekes. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan
leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan
kembali warga tangtu yang dibuang karena melanggar adat. jaro dangka berjumlah sembilan
orang, tujuh orang berada di luar desa Kanekes dan dua lainnya berada di dalam desa.
Kesembilan jaro ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro duabelas yang
dikepalai oleh salah seorang diantara mereka. pemimpin jaro duabelas ini disebut jaro
tanggungan dua belas.

Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung pemerintahan adat dan masyarakat


baduy dengan pemerintah dan bertindak sebagai kepala desa Kanekes yang berkedudukan di
Kaduketug. Dalam tugas jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur.

Palawari

Palawari merupakan kelompok khusus - semacam panitia tetap - yang bertugas


sebagai pembantu, pesuruh dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. mereka
mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dan
pelaksanaan suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua petugas dan
warga yang terlibat dalam upacara tersebut.

9
Tangkesan

Tangkesan merupakan ”menteri kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari
semua dukun yang ada di baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek kehidupan
orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun. ia juga orang yang
memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun. oleh karena itu, orang yang menjabat
sebagai tangkesan harus cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan mantera-mantera.
sekalipun tangkesan dapat memberikan nasihat dan menjadi tempat bertanya bagi puun,
jabatan ini dapat dipegang oleh orang baduy luar. dalam hal ini, biasanya ia merupakan
keturunan dari tangkesan sebelumnya.

Ada beberapa sebutan dukun pada masyarakat baduy, yakni paraji (dukun beranak),
panghulu (dukun khusus mengurus orang yang meninggal), bengkong julu (dukun sunat
untuk pria) dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita).

2.4 KEBUDAYAAN SUKU BADUI

1.Masyarakat dan Kebudayaan "Suku Badui" di Banten


Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh
ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red)
mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk
menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir
keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang
atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala
Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan
sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang

10
miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya.
Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan
kolot yang harus mereka patuhi.

2.Bulan Puasa/Kawalu

Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di


saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah
mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang
mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada
banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan
kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau
selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi
masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan
utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari
ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat
Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.

3.Pernikahan

Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa
dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan
tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali


pelamaran. \Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung)
dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain
membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang
terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung
oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang
Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah
kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal
tersebut.

2.5 Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan
bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh
anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena
sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang
ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu
negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman

11
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan
pelanggaran ringan.

Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain
cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat.


Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau
akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda
dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy
bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota,
melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama
40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap
melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi
nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah
jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat.
Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota,
juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy
tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

 Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi


 Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
 Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua
adat)
 Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
 Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit
sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai
Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah
Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam
ke Kanekes Luar:

12
 Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
 Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
 Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

 Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.


 Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat
bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes
Dalam.
 Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans.
 Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas
kaca & plastik.
 Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
 Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang
muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka
"Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka
tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

1.Pakaian Suku Baduy

Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk
melindungi diri dan menunjukan  citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini masyarakat
Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian
dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau
Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar,
yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana
dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki
satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama.
Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana,
perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar,
model dan warnanya saja.Baduy Dalam
merupakan masyarakat yang masih tetap
mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda
dengan Baduy Luar yang sudah mulai
mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara
Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat

13
dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya.
Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja,
yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara
memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya
dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai
kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya
adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan
mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian
bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan
pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain.
Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih.
Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan
dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih
polos itu dapat mengandung makna suci bersih.

Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna
hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah
dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan
bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun
corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh
budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy
Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok
yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas
koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.

Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun
Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan
warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung
warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan
dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk
pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna
biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk
Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun
sendiri.

Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri


yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian
untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung

14
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih,
sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil
tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan
oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain
sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh
kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon
teureup ataupun benang yang dicelup. 

2.Tarian Daerah Suku Badui

Tarian daerah Suku Baduy adalah Tari Topeng.


Tarian ini dilakukan oleh satu orang pria atau lebih sesuai dengan kebutuhan.
Gerakkan tari ini tempak gemulai.
Tarian topeng mengisahkan tentang seorang rasa yang balas dendam karena cintanya yang
ditolak.

3.Bahasa Daerah Suku Badui

Penduduk Asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara menggunakan dialek yang
merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno.

Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang
memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal).

Tingkatan tersebut pertama tercipta pada masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan
(bagian tenggara Provinsi Jawa Barat).

Namun demikian, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebak dan Pandeglangmenggunakan


Bahasa Sunda Campuran, Sunda Kuno, Sunda Modern dan Bahasa Indonesia, di Serang dan
Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik Jawa.

Kemudian, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga
digunakan oleh pendatang beretnis Betawi.

Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan
terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.

4.Rumah Adat Suku Badui

15
Rumah adat merupakan bangunan yang mempunyai ciri khas terkait dengan budaya dari
tiap-tiap suku yang ada di Indonesia. Di Indonesia begitu banyak rumah adat yang mewakili
suku dan adat istiadat dari masing-masing daerah. Salah satunya adalah Suku Baduy, suku
asli masyarakat Banten yang memiliki rumah adat Sulah Nyanda.
Rumah adat merupakan bangunan yang mempunyai ciri khas terkait
Dengan budaya dari tiap-tiap suku yang ada di Indonesia. Di Indonesia begitu banyak rumah
adat yang mewakili suku dan adat istiadat dari masing-masing daerah. Salah satunya adalah
Suku Baduy, suku asli masyarakat Banten yang memiliki rumah adat Sulah Nyanda. Terletak
di dalam pegunungan, Suku Baduy hidup di dalam rumah adat yang terbuat dari kayu dan
bambu ini.

Pembuatan rumah adat Sulah Nyanda dilakukan dengan cara gotong royong menggunakan
bahan baku yang berasal dari alam. Bahan seperti kayu digunakan untuk membangun
pondasi, sedangkan pada bagian dasar pondasi menggunakan batu kali atau umpak sebagai
landasannya.

Hal yang unik dari pembangunan rumah ini adalah dibangun dengan mengikuti kontur
tanah. Hal ini berkaitan dengan aturan adat yang mengharuskan setiap masyarakat yang
ingin membangun rumah tidak merusak alam sekitar demi membangun suatu bangunan.
Karenanya, tiang-tiang rumah adat Suku Baduy tidak memiliki ketinggian yang sama.
Sedangkan anyaman bambu digunakan dalam pembuatan bilik dan lantai rumah. Untuk
atap, rumah adat Suku baduy menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa yang telah
dikeringkan.

Rumah adat Sulah Nyanda dibagi dalam 3 ruangan yaitu bagian sosoro (depan), tepas
(tengah) dan ipah (belakang). Masing-masing ruangan berfungsi sesuai dengan rencana
pembuatan.

Pada bagian depan rumah atau yang biasa disebut sosoro berfungsi sebagai ruang penerima
tamu. Hal ini dikarenakan tamu tidak diperkenankan masuk ke dalam rumah. Fungsi lainnya
digunakan sebagai tempat bersantai dan menenun bagi kaum perempuan. Bagian depan ini
berbentuk melebar ke samping dengan lubang di bagian lantainya.

Sedangkan bagian tengah atau biasa disebut tepas digunakan untuk aktivitas tidur dan
pertemuan keluarga. Sementara pada bagian belakang rumah atau biasa disebut imah

16
digunakan sebagai tempat untuk memasak serta menyimpan hasil ladang dan beras. Tiap
ruangan ini dilengkapi dengan lubang pada bagian lantainya.

Lubang di lantai rumah Suku Baduy berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ini dikarenakan rumah
adat Suku Baduy tidak dilengkapi dengan jendela. Tujuan tidak dibangunnya jendela agar
para penghuni rumah yang ingin melihat keluar diharuskan pergi untuk melihat sisi bagian
luar rumah.
5.Senjata Tradisional Suku Badui

Golok adalah pisau besar dan berat yang digunakan sebagai alat berkebun sekaligus senjata yang
jamak ditemui di Asia Tenggara.
Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok digunakan sebagai senjata dalam silat.
Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi tergantung dari pandai besi yang membuatnya.
Golok memiliki bentuk yang hampir serupa dengan machete tetapi golok cenderung lebih pendek
dan lebih berat, dan sering digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon.

Golok biasanya dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar lainnya di
dunia.Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan pengasahan yang lebih sering.

5.Kepercayaan Suku Badui

Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan
Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak
dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.

Objek kepercayaan terpenting bagi


masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. masyarakatnya
mengunjungi lokasi tersebut dan
melakukan pemujaan setahun sekali pada
bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi
puun dan rombongannya yang terpilih
saja yang dapat mengikuti rombongan
tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat
batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka
pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika
kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.

3.Mata Pencaharian Suku Badui

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun

17
sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.
Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota
besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan
barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya
dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti
pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat
kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar
untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu humas serang,
merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu
merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan
atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy
diluar kawasan tradisional. Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy didalam Sistem
perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad
dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem
pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun),
dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya
10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara
tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993).

Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau
sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau
masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor
kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang didapatkan.
Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau
tumbuhan asli (Nair, 1993).

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan
Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang
lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai
2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut
dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi
kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan
periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.

Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit ditambah dengan
pertambahan penduduk, maka lahan huma yang tersedia juga semakin sempit sehingga dari
tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal
tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung
18
secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy yang tersisa adalah 5.101
hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau 51% (709 ha atau 14%
ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman 24,5 ha atau
0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49%
(Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk bertani dan luas
tanah bera bervariasi dari tahun ke tahun.

Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau huma
berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam huma
tersebut adalah:

1) Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam, yang
hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
6) Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar
dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.

Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy Dalam, artinya
setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang manapun dalam luasan yang tak
dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi warga
Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga dapat menyewa lahan
pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap sesuai adat Baduy. Apabila lahan
garapan tersebut kemudian dibeli, maka akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya
menjadi hak milik orang tersebut.

Pekerjaan di huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam, yang
merupakan huma adat milik bersama dikerjakan secara bersama-sama pula, baik oleh
masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan dalam
satu hari karena dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara adat.
Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang tersebut mengawali
pekerjaan di huma lainnya.

Pengolahan ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap. Kegiatan pertanian
padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy,
sehingga setiap kegiatan pada masing-masing tahapan dilakukan dengan upacara adat
Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut:

* Narawas

Narawas adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada tahun
tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk dijadikan huma biasanya

19
berupa reuma (bekas huma yang diberakan cukup lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang
dipilih oleh sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara meletakkan batu, batu asahan,
ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses memilih lahan maka mereka mengikuti
pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut, memakai baju yang bersih dan memakai ikat
kepala.

* Nyacar

Nyacar berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh
tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan biasanya
dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).

* Nukuh

Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses
sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar
matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk kemudian
dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan huma terdapat pohon yang
besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan, dan biasanya
tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan menunggu sampai proses nukuh. Penebangan
diawali dengan upacara adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang dilakukan oleh
puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak marah karena
tempatnya diganggu manusia.

* Ngaduruk

Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan
yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk juga
berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang
kudu ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh, yang
umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu yang tepat untuk
membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap onggokan, api selalu dijaga agar
tak merambat dan menimbulkan kebakaran hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka
akan selalu memastikan bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu
bekas pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.

* Nyoo Binih

Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih,
ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan
dan berpatokan pada posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila
bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh, yang diistilahkan
sebagai kidang muhunan.

20
Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum
penanaman atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari
lumbung, yang dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang putih, sabuk
putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut dengan suasana hening dan
khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan mantra tertentu. Kegiatan
menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh istri girang seurat, dimaknai sebagai
membangunkan Nyi Pohaci, yaitu dewi pelindung pertanian dari tidurnya.

Setelah menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk
diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas dari tangkai
padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada malam hari salah satu dari
bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah
lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung (baris kolot) diiringi serombongan
pemain angklung yang semuanya pria dan disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul
tersebut biasanya kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal
masyarakat Baduy.

* Ngaseuk

Kata ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu dengan cara
membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya, dan
menanam benih padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria dewasa,
dan penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.

* Ngirab Sawan

Arti ngirab sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau penyakit. Dalam
kegiatan tersebut dilakukan pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain (gulma) yang
mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan
adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau membacakan pantun,
dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan tersebut terdiri dari campuran daun mengkudu
(Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang, dan
kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan dengan abu dapur, dan
disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut adalah tindakan pemupukan tanaman, dan
dilakukan sebanyak 10 kali selama pertumbuhan padi.

* Ngored dan Meuting

Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain yang timbuh di
antara tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi. Adapun meuting
adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug yang dibangun di huma dengan jangka
waktu tertentu dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.

21
* Mipit

Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan
dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut dilakukan
oleh istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian
tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma serang,
dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan di leuit atau lumbung padi
huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di
huma puun, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma
tuladan dan huma panamping.

* Dibuat

Istilah dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau memanen padi dengan
mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita.
Pelaksanaannya adalah setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera. Apabila terlambat
maka hama walang sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut dilakukan oleh seluruh
keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan padi menjadi kering dijemur, seluruh
anggota keluarga menginap di huma.

* Ngunjal

Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk kemudian
disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari dikeringkan atau dilantay,
disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum diangkut ke kampung, tali
pengikat padi diganti dengan tali baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan secara bertahap
oleh seluruh keluarga. Para pria mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua
ikatan besar dan kemudian dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita
membawa padi dengan cara menggendong dengan menggunakan kain.

* Nganyaran

Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi
pertama kali hasil dibuat di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan mengambil 5
ikat padi dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat
menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang wanita, yaitu
para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan bekas puun. Alu penumbuk padi
sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan
disimpan dalam bakul tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian,
dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng
yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun
nasi tumpeng tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke
rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari huma serang
yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi masih banyak tersisa setelah diambil para
warga, maka hal tersebut merupakan suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah

22
Baduy akan berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang untuk dijual
atau diperdagangkan.

2.Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:

1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.


2. saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

2.6 SISTEM PENGETAHUAN

Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala
perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan
oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun
mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali
sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang
rawayan (pengembara).

Sebagai penutup dan catatan penulis, kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak
digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di
lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat
dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan
prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas
masyarakat yang tertua di Banten.

23
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Baduy sebagai masyarakat yang bersahaja dan masih teguh mempertahankan adatnya,
merupakan gambaran masyarakat yang menjalankan tradisi asli mereka. Arca Domas atau
Sasaka Domas sebagai objek utama pemujaan Orang Baduy, pada dasarnya merupakan salah
satu peninggalan tradisi megalitik di Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut, kiranya
masyarakat Baduy ini dapat dijadikan analogi dalam usaha menghidupkan objek arkeologi
berupa Arca Domas sehingga dapat memberikan gambaran tentang masyarakat megalitik
masa lalu.
Melalui telaahan terhadap Arca Domas dan masyarakat Baduy ini diharapkan dapat
memberikan wawasan lain dalam dunia arkeologi khususnya pada penataan ruang, selain
makna dan fungsi objek yang bersangkutan. Selain itu, melalui kajian ini diharapkan pula
menjadi ancangan untuk memberikan penafsiran dan penyusunan strategi penelitian kepada
objek-objek megalitik lain yang berada di wilayah Jawa Barat (mungkin juga di tempat lain).

Dari penelitian terhadap Arca Domas tersebut, agaknya dapat dibuat sebuah dugaan bahwa
arah hadap objek megalitik seperti arca, menhir dan punden berundak dapat menentukan
letak situs penting lainnya (khususnya pemukiman). Atau dengan kata lain, objek-objek
pemujaan yang menjadi arah penentu utama, memberikan tanda atau dugaan bahwa arah
yang menghadap padanya terdapat situs-situs seperti pemukiman, penguburan, dan aktivitas
lainnya.

Mengingat, di daerah Banten Selatan sendiri yang relatif dekat dengan Baduy ini banyak
terdapat peninggalan megalitik yang penting, misalnya Lebak Sibedug, Kosala (Lebak),
Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar (Sukabumi), dan Gunung Padang (Cianjur Selatan),
maka untuk mencari situs seperti pemukiman, penguburan, dan aktivitas lainnya dapat
mengacu dari arah hadap bangunan megalitik tersebut. Dapat dicurigai bahwa situs
pemukiman, penguburan, dan lainnya berada pada daerah dihadapan bangunan megalitik
tersebut. 

24
25

Anda mungkin juga menyukai