Dibuat Oleh :
Ilmu Sejarah
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam budaya serta
banyak kebudayaan yang khas dari masing-masing daerah dari sabang hingga marauke. Dari
daerah tersebut pasti disetiap pulaunya juga memiliki banyak sekali suku-suku yang berbeda
sesuai dengan kultur yang sudah ada dari sejak nenek moyangnya hingga sekarang. Dalam
pembahasan ini, saya akan membahas kebudayaan dari suku yang ada di Banten.
Suku yang belum terpengaruh dengan adanya budaya modern dan masih mematuhi
aturan sukunya yang tidak mau menerima kebudayaan baru tersebut yaitu dari suku Baduy.
Suku Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang memang tinggal di pedalaman Banten
yang mana mereka biasanya menyebut dirinya itu sebagai orang Kenakes. Suku yang berada
di Desa Kenakes, Leuwidar, Lebak, Banten ini memang bukan suku yang terasing, tetapi
suatu suku yang memang sengaja mengasingkan dirinya dari kehidupan luar (menghindari
modernisasi), karena dengan caranya seperti itu memang untuk menghormati leluhurnya
untuk memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Selain itu, masyarakat
yang begitu unik ini juga selalu mengikuti apa program yang dijalankan oleh pemerintah dan
itu berjalan dengan sangat harmonis.
Selain itu juga suku Baduy selalu menggunakan alat tradisional dalam kehidupan
sehari-hari. Suku Baduy yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu suku Badui Dalam dan suku
Badui Luar yang tinggal dipemukiman yang sudah ramai. Memang banyak sekali yang akan
dibahas selanjutnya di pembahasan mengenai adat istiadat kebudayaan suku Baduy, yang
mana paling utamanya pembahasan mengenai kegiatan masyarakat atau manusia dalam
menjalankan kehidupannya. Dan juga akan membahas secara runtut untuk mengetahui apa itu
suku Baduy dan bagaimana kehidupan meraka.
Banyak istilah kata Baduy itu yang salah satunya dari kata “badawi” yaitu julukan
bagi orang yang bertempat tinggal tidak tetap di jazirah Arab.dalam buku Asep Kurnia yang
berjudul saatnya Baduy Berbica bahwa mereka menjelaskan istilah Baduy sebenarnya itu
adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai Cibaduy yang mengalir di
tempat mereka berdasarkan satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka., yaitu
bukit Baduy. Dikaitkan dengan keberadaan Baduy di Indonesia pada waktu itu yang menolak
untuk masuk Islam, maka muncul istilah Baduy.
Baduy yang juga sebuah kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak mengenal
budaya tulisan, sampai sekarang melarang mereka untuk bersekolah secara formal, mereka
juga tidak memiliki catatan silsilah keturunana atau leluhur yang lengkap. Menurut orang
setempat juga Baduy merupakan keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan
Tuhan di muka bumi ini yang bernama Adam Tunggal. Selain itu kesukuan mereka juga tidak
ditugaskan untuk meramaikan dunia, tetapi lebih pada kewajiban untuk memelihara
1
Farukhi, Mengenal 33 Provinsi Indonesia : Banten, PT Sinergi Pustaka Indonesia :
Jakarta, 2008, hlm. 14-15
2
Feri Prihantoro , KEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT SUKU
BADUY, dalam Jurnal Asia Good ESD Practice Project, BINTARI (Bina Karta Lestari)
Foundation, 2006, hlm.2.
keharmonisan dan keseimbangan alam semesta dengan tidak mengubah tanah sehingga
kehidupan sederhana dengan ajaran hukum adat yang seragam satu keyakinan.3
C. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Baduy tinggal secara mengelompok pada suatu kampung dan menyebar
di wilayah Kanekes. Ada dua kelompok besar pemukiman masyarakat Baduy, yaitu
kelompok Baduy Dalam dan Kelompok Baduy Luar. Kelompok yang berada di Baduy Luar
disebut masyarakat “panamping” yang artinya adalah pendamping, karena mereka bermukim
di bagian luar wilayah Baduy dan mendampingi masyarakat Baduy Dalam. Kelompok Baduy
Luar ini tersebar di 50 kampung. Sementara kelompok Baduy Dalam disebut dengan
masyarakat “Kajeroan” yang artinya dalam atau “Girang” yang artinya hulu. Mereka
bermukim di bagian dalam atau daerah hulu dari Sungai Ciujung. Ada tiga kampung yang
mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.4 Kelompok Baduy Dalam tidak
pernah menambah jumlah kampung yang ada, wilayahnya hanya ada di tiga kampung
tersebut. Sementara untuk Baduy Luar dari tahun ketahun jumlah kampungnya bertambah
seiring dengan pertambahan populasi disana. Jika populasi di Baduy Dalam bertambah dan
tidak sesuai dengan kapasitas kampungnya, maka sebagian dari mereka akan keluar untuk
tinggal di wilayah Baduy Luar dan menjadi kelompok Baduy Luar.
3
Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta : Bumi Aksara, 2010, hlm 24-25.
4
Feri Prihantoro, Op,Cit hlm.3.
5
Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan dan
Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002, hlm 11-12.
Hubungan dari berbagai aspek kehidupan di Kanekes memiliki integrasi yang bagus
dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Yang mana sudah tersusun dalam ideologi
kehidupan mereka yang bisa dipahami dan dijalankan oleh seluruh masyarakat di Baduy.
Pandangan masyarakat Baduy relatif sama terhadap hubungan antara kehidupan sosial
budaya, ekonomi, serta pengelolaan lingkungan. Mereka mampu membuat instrumen-
instrumen yang menjamin keberlanjutan kehidupan disana. Ada beberapa aspek kehidupan
yang diciptakan oleh masyarakat Baduy untuk menciptakan keberlanjutan kehidupan mereka,
yaitu sistem sosial dan budaya yang sangat kuat, pengaturan sistem ekonomi berbasis pada
pemenuhan kebutuhan primer, dan pengaturan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga aspek
tersebut ditata oleh mereka untuk menjamin terciptanya kehidupan yang layak bagi
masyarakat Baduy.6
Pemimpin tertinggi dalam sistem adat Baduy disebut Puun yang ada di tiga kampung
di Baduy Dalam, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Jabatan puun ini berlangsung
secara turun temurun, meskipun tidak otomatis dari bapak ke anak, tetapi bisa ke saudara
puun lainnya yang dianggap memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.7 Tidak ada
batasan waktu bagi puun untuk menjabat sebagai pimpinan tertinggi masyarakat Baduy,
hanya didasarkan pada batas kemampuannya untuk memimpin. Sebagai pelaksana sehari-hari
dalam sistem adat dilaksanakan oleh Jaro Tangtu di masing-masing kampung di Baduy
Dalam, sedangkan untuk kampung-kampung di Baduy Luar dipimpin oleh Jaro . Urusan
puun lebih banyak untuk dunia gaib, sedangkan Jaro Tungtu lebih banyak pada urusan
duniawi. Selain itu Puun juga memiliki pembantu umum yang disebut Girang Seurat dan
juga memiliki penasehat yang disebut Baresan . Untuk kesehatan dan kepala dukun yang ada
di wilayah Baduy diurus oleh Tangkesan. Orang menjabat tangkesan haruslah seorang
cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan dan juga pandai meramal masa depan. Tangkesan
juga terlibat di dalam penentuan pemilihan puun yang tepat dan juga sebagai penasehat Puun.
Dalam struktur pemerintahan banyak dijumpai istilah Jaro yang artinya adalah
pemimpin kelompok. Pemimpin-pemimpin di Baduy dipilih secara turun temurun, sehingga
6
Feri Prihantoro, Op, Cit, hlm.4
7
Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Pustaka Obor Indonesia :
Jakarta, 2015. hlm.44-45.
ada hubungan kekerabatan dalam sistem kepemimpinan. Untuk urusan yang bersifat duniawi
ditunjuk dari garis keturunan yang paling muda, sedangkan untuk pemimpin urusan
keagamaan, budaya, serta adat istiadat dipilih dari garis keturunan yang tertua.
D. Sistem Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Baduy adalah bahasa Sunda dialek Baduy. Bahasa
Sunda Baduy merupakan bahasa asli orang Baduy. Orang Baduy biasa berbicara dengan
nada tinggi. Dalam bahasa Sunda, nada yang tinggi itu terdengar kasar. Dalam keadaaan
marah orang Sunda akan berbicara dengan nada tinggi. Oleh sebab itu, mereka yang bukan
orang Baduy menyebut bahasa Sunda Baduy adalah kasar.
Dalam bahasa Sunda Baduy tidak dikenal adanya undak, usuk, basa. Namun bukan
berarti masyarakat Baduy tidak saling menghormati. Rasa hormat kepada orang lain
khususnya terhadap pemimpin diperlihatkan melalui sikap dan tingkah laku. Mereka juga
taat kepada adat istiadat yang berlaku.
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang menganut pola hidup sederhana yang
secara mandiri berusaha memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Mata pencaharian mereka
yang pokok adalah bercocok tanam secara khusus berladang (ngahuma) setahun sekali,
menanam padi disawah dilarang adat karena mengubah struktur tanah/alam. Berladang juga
dipandang merupakan kewajiban pokok bagi setiap warga Baduy dan tidak boleh
ditinggalkan mengingat ngahuma (berladang) juga merupakan salah satu acara ritual adat
setara dengan bentuk ibadah sesuai dengan keyakinan Ajaran Sunda Wiwitan. Lereng bukit
dimanfaatkan sebagai ladang kebun dan kebun campuran. Mata pencaharian lainnya adalah
nyadap kawung (air nira) yang kemudian mereka olah menjadi gula merah/gula kawung
murni, menjual hasil bumi berupa buah-buahan seperti durian, pisang, buah ranji, lada khusus
Baduy, madu, coklat, dan lain-lain.
Masyarakat Suku Baduy termasuk masyarakat yang produktif, dalam arti selalu
memanfaatkan waktu dengan diisi oleh kegiatan-kegiatan yang menghasilkan dan
bermanfaat, apalagi setelah dibukanya program Wisata Budaya Baduy (Saba Budaya Baduy).
Kegiatan warga lebih intensif termasuk kaum wanitanya, di saat waktu senggang tidak ke
ladang mereka menenun berbagai jenis pakaian khas Baduy misalnya selendang,
samping/sarung, pakaian adat, dan lain-lain. Bagi kaum laki-laki dimanfaatkan dengan
membuat kerajinan anyaman membuat koja, jarog, tas pinggang, topi, tas model anak
sekolah, tempat HP, tempat minuman yang terbuat dari kulit pohon teureup serta bentuk-
bentuk kerajinan lainnya sebagai cinderamata khusus Baduy.
Dalam pertanian, suku Baduy ini menggunakan beberapa peralatan yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pertanian mereka. Bersawah bagi mereka merupakan suatu yang
tabu. Adat mereka yang tidak membolehkan mengolah tanah dengan sistem padi basah.
Mereka dilarang membelokkan air, mencangkul tanah dalam sistem pertanian bersawah dan
berkebun secara intensif dan menanam tanaman keras tidak boleh dilakukan.8 Demikian alat
seperti cangkul, bajak waluku dan sejenisnya itu tidak boleh dipergunakan. Adapun alat yang
sering digunakan tersebut diantaranya adalah arit atau sabit, kujang atau pisau, kored yang
merupakan alat untuk membersihkan rumput, dan aseuk yang merupakan alat untuk membuat
lubang ditanah tempat menaruh biji padi yang akan ditanam. Cara menuai padi dilakukan
secara tradisional menggunakan anai-anai atau etem. Kemudian setelah itu padi diletakkan di
galah bambu dengan menggunakan tiang-tiang dari cabang atau batang kayu. Galah bambu
ini dinamakan lantayan. Sedangkan untuk menyimpan padi tersebut, padi diletakkan dalam
lumbung padi yang disebut leuit.
8
Suhandi Sam, dkk, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Provinsi Jawa Barat,
Depdikbud : Jakarta,1986. Hal.19
alat-alat tenun yang terbuat dari kayu dan bambu yang sederhana. Alat untuk menyimpan air
menggunakana gentong, sedangkan alat untuk mengambil air menggunakan kele yang terbuat
dari ruas bambu diberi lubang bagian pinggir atas.
Rumah orang Baduy pada umumnya berupa rumah panggung. Bentuk rumahnya
hampir sama diberbagai kampung. Selain itu, rumah juga hanya menghadap utara dan
selatan. Rumah orang Baduy hanya berpintu satu tanpa memakai jendela. Atapnya memakai
rumbia dan ijuk, serta temboknya tidak menggunakan tembok atau cat yang berwarna.
Rumah tersebut dibuat atau dibangun dengan cara gotong royong. Letak pemukimannya
selalu berada dekat dengan sumber air (sungai). Sedangkan pakaiannya, hanya menggunakan
dua warna yaitu hitam dan putih. Wanita memakai kebaya dan lelaki memakai ikat kepala.
Peralatan masaknya menggunakan peralatan tradisonal seperti tungku, dandang, kuali,
kukusan, lumpang, kaluwung, boboko, mangkok, dan botol besar tempat air minum. Namun
ada juga yang sudah menggunakan minyak tanah.
G. Sistem Kesenian
Alat musik yang digunakan oleh susku Baduy diantaranya berupa angklung, kecaoi,
karinding, kumbang, tarawewet, calintu, tangtu, toleot, panamping, kendang, dan suling.
Toleot adalah alat musik sejenis serling pendek yang terbuat dari bambu. Tangtu dan
panamping adalah alat musik gesek sejenis biola yang berdawai dua dan dimainkan bersama
suling. Musik selalu dibunyikan dalam upacara keagamaan dan upacara yang lainnya.
Kesenian dicurahkan sepenuh jiwa untuk penghormatan kepada Shangyang Asri.9
Hampir semua alat musik dimainkan untuk menyenangkan dewi padi tersebut.
penghormatan yang benar menurut pikukuh (aturan adat) kepada Nyi Asri adalah
berkesenian. Bentuk kesenian yang lazim dibawakan adalah pantun dan musik angklung
untuk mengantar Nyi Asri. Alunan seruling serta toleot sebagai hiburan di huma.
9
Djoko Mudji Rahardjo, Op, Cit, hal.57
Mereka memiliki sistem pendidikan sendiri, dimana bagi anak-anak sebelum usia 10 tahun
mereka dibimbing oleh orang tua masing-masing. Setelah usia 10 tahun, mereka belajar
mengenai norma dan aturan yang berlaku di Baduy dengan berkelompok kecil. Kelompok-
kelompok tersebut didasarkan pada kedekatan rumah mereka, dan dibimbing oleh seorang
pemimpian atau Jaro yang ada di lingkungan dekat mereka. Umumnya tempat belajar mereka
di rumah pemimpin mereka yang memiliki tempat luas, selain itu juga pelajaran lebih banyak
dilakukan di alam secara langsung. Bagi mereka proses belajar dilakukan terus menerus dan
tidak lagi dibatasi umur, siapa saja dapat datang kepada pemimpinnya atau belajar dengan
orang lain yang lebih pintar kapan saja mereka membutuhkan.
Materi atau substansi pendidikan yang diajarkan oleh mereka secara turun temurun
pada dasarnya adalah sesuai dengan kebutuhan hidup saja. Aspek aturan hidup, ekonomi,
sosial, serta lingkungan merupakan materi pelajaran yang diajarkan bagi semua masyarakat.
Aspek ekonomi yang diajarkan hanya sederhana, yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap
menjaga keseimbangan alam. Semua laki-laki Baduy bisa bercocok tanam sesuai dengan cara
bercocok tanam mereka. Perempuan baduy belajar menenun pakaian dan membuat gula aren.
Pengetahuan sosial masyarakat diberikan untuk memahami struktur adat serta ritual-ritual
yang harus dijalankan. Pelajaran mengenai menjaga kelestarian lingkungan ditujukan untuk
tetap menjaga keutuhan bentuk alam. Mereka paham titik-titik mana yang tidak boleh
dimanfaatkan dan tempat mana yang bisa dimanfaatkan. Untuk menjaga kebersihan mereka
menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuhan sebagai pengganti sabun dan pasta gigi.
Pendidikan non formal yang diajarkan sangat sederhana sekali, hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup saja. Dituturkan oleh salah satu Jaro (pemimpin) bahwa mereka
mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi untuk menjadi jujur. Alam
merupakan sumber ilmu yang disarikan oleh orang-orang tua dan diturunkan kepada anak-
anak mereka. Prinsip dengan perubahan sekecil-kecilnya menjadi landasan pelajaran yang
diajarkan kepada anak-anak.
10
Asep Kurnia,Op, Cit, hal.138
dan melaporkan jumlah warga khusus Baduy secara lahiriah dan batiniah kepada
leluhur dan Yang Maha Kuasa.
Seba, adalah kegiatan rutin masyarakat suku Baduy dan merupakan tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun untuk menghadap pemerintah (Ratu dan Menak)
secara resmi dengan tujuan utama menjalin mempererat silaturahmi, melaporkan
situasi dan kondisi lingkungan suku Baduy sehingga terjalin kerja sama untuk
saling mendoakan dan saling melindungi.
J. Kesimpulan
Suku Baduy yang merupakan suku yang tinggal di pedalaman banten yang memiliki
banyak kebudayaan yang unik-unik dan berbeda dari suku yang lain. Suku Baduy yang
merupakan suku yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan bisa dikatakan suku yang
tidak mau memodernisasikan dirinya dengan cara mengasingkan dirinya dari zaman sekarang
di wilayah Kenakes.
Daftar Pustaka
Anonim, Masyrakat Baduy, Hand-Out PKL (Geografi Terpadu), Program Studi Pendidikan
Geografi FISE UNY : Yogyakarta, 2011.
Djoko Mudji Rahardjo, Urang Kenakes di Banten Kidul, Proyek Pemanfaatan dan
Kebudayaan Direktorat Tradisi dan Kepercayaan : Jakarta, 2002.
Suhandi Sam, dkk, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Provinsi Jawa Barat, Depdikbud :
Jakarta,1986.
Zulyani Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Pustaka Obor Indonesia : Jakarta,
2015.