(Studi Kasus: Masyarakat Adat Suku Baduy di Provinsi Banten, Jawa Barat)
Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester 6 Mata Kuliah Dinamika Masyarakat
Adat C
Disusun oleh:
NIM 13040220140103
Dosen Pengampu:
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia, negara yang dikenal dengan keberagaman yang mencakup ras, suku bangsa,
identitas golongan, hingga agama, terdiri atas kurang lebih 17.000 pulau dengan 300 suku
bangsa yang masing-masing menempati berbagai belahan daratan di dalamnya. Indonesia
merupakan ‘rumah’ bagi beragam kelompok etnis dan suku, seperti Jawa, Sunda, Batak,
Minangkabau, Bali, Bugis, Aceh, Dayak, Ambon, Toraja, Papua, dan lain sebagainya.
Kelompok-kelompok etnis tersebut memiliki bahasa, adat istiadat, hingga tradisi unik yang
membedakan satu etnis dengan etnis lainnya yang menjadi elemen kekayaan keberagaman
budaya di Indonesia. Keberagaman inilah yang menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki oleh
Indonesia, meskipun di samping itu terkadang konflik dan tantangan kerap muncul akibat
adanya keberagaman dan perbedaan yang ada tersebut. Keberagaman tersebut menjadi
identitas tersendiri yang membedakan satu suku atau satu etnis dengan yang lainnya. Perbedaan
identitas ini hadir sebagai dasar dari pandangan mengenai corak budaya suatu suku bangsa.
Keberagaman etnis dan suku bangsa dalam masyarakat adat menjadi penting dalam konteks
pembahasan mengenai masyarakat adat. Masyarakat adat atau masyarakat hukum adat
didefinisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan
mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud atau tidak berwujud
(Rona, 2023:216; Ter Haar, 1960). Kekayaan yang dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat
adat dapat berupa bendawi ataupun non-bendawi seperti nilai-nilai yang dipercayai. Kekayaan-
kekayaan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah kearifan lokal yang mana mengacu pada
pengetahuan, nilai, norma, serta praktik-praktik yang berkembang di dalam suatu komunitas
masyarakat adat selama periode waktu yang panjang.
Ras, etnis, hingga suku bangsa merupakan satu kesatuan dari tujuh elemen kebudayaan
yang digaungkan oleh Koentjaraningrat, dimana kebudayaan sendiri didefinisikan sebagai
seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Bahrudin, 2021; Koentjaraningrat, 2015).
Dinamika sendiri diartikan sebagai gerak masyarakat secara terus menerus yang menciptakan
sebuah perubahan dalam lingkup tata kehidupan masyarakat tersebut. Maka dari itu, pada
dasarnya, dinamika kebudayaan merupakan suatu konsepsi mengenai perubahan-perubahan
yang terjadi akibat terjadinya pergerakan dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat terkait.
Suku Baduy, sebagai bagian dari masyarakat adat suatu suku bangsa, memiliki identitas
yang khas dan cukup membedakan suku Baduy dengan suku bangsa lainnya dengan cukup
mencolok. Suku Baduy sendiri merupakan suatu suku yang sangat menjaga kemurnian nilai-
nilai budaya dan kepercayaan, yang mana terbilang cenderung masih cukup tradisional dan
jauh dari kata modern. Tradisi yang menjadi acuan filosofis cara hidup mereka, terkait cukup
erat dengan ritual-ritual dan aturan yang melibatkan masyarakat adat suku Baduy itu sendiri,
melalui cara-cara yang mereka lakukan untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan
yang dipijak. Kearifan lokal yang dipegang oleh masyarakat adat suku Baduy ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dengan dinamika-dinamika adat yang terjadi di dalamnya.
Kearifan lokal sendiri didefinisikan sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Njatrijani, 2018:18).
Terdapat beberapa kearifan lokal yang dimiliki, dipercaya, dan dilakukan oleh masyarakat suku
Baduy hingga sekarang, seperti contohnya filosofi mengenai kesederhanaan, prinsip mereka
dalam menekankan tradisi gotong royong, penghormatan terhadap alam, memegang teguh adat
serta ritual yang menjadi warisan turun temurun, hingga pengetahuan tradisional dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Makna kearifan lokal yang diakui dan berlaku bagi masyarakat adat suku Baduy sesuai
dengan pengertian kearifan lokal menurut UU No. 32 Tahun 2009 yang adalah nilai-nilai luhur
yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus
mengelola lingkungan hidup secara lestari (Njatrijani, 2018:18). Kearifan-kearifan lokal
tersebut memberikan cerminan nyata bahwa seluruh aspek kehidupan komunitas masyarakat
adat suku Baduy masih memegang erat hubungan sosial, alam, dan budaya yang erat demi
mempertahankan identitas dan keberlanjutan budaya suku Baduy dalam menghadapi segenap
tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti contohnya ialah globalisasi dan perubahan
sosial yang menjadi objek utama dalam analisis studi kasus ini.
Dinamika masyarakat adat dalam suku Baduy merupakan objek yang sangat menarik untuk
dibahas, terlebih pada era modern dimana eksistensi kearifan lokal perlahan mulai terlupakan.
Terkait dengan hal tersebut, diperlukan beberapa rumusan masalah untuk mengkaji lebih dalam
dan menggambarkan secara lebih runtut sebagai upaya untuk mengeksplorasi bagaimana
masyarakat adat suku Baduy berinteraksi dengan era modern serta menghadapi tantangan
dalam mempertahankan kearifan lokal mereka. Rumusan masalah terkait adalah sebagai
berikut:
1. Untuk menganalisis dinamika masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi dampak
globalisasi dan perubahan sosial yang terjadi di sekitar mereka.
2. Untuk mempelajari interaksi antara kearifan lokal Suku Baduy dengan fenomena
globalisasi dan bagaimana hal ini mempengaruhi budaya, identitas, dan kehidupan
sehari-hari masyarakat adat.
3. Untuk mengevaluasi strategi dan mekanisme yang digunakan oleh masyarakat adat
Suku Baduy dalam menjaga keberlanjutan budaya mereka di tengah gempuran
globalisasi.
4. Untuk memahami peran partisipasi masyarakat adat Suku Baduy dalam
mempertahankan identitas budaya mereka dan menjaga keberlanjutan lingkungan alam
di sekitar mereka.
5. Untuk mengidentifikasi tantangan, hambatan, dan peluang yang dihadapi oleh
masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi globalisasi serta mengeksplorasi
upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi perubahan tersebut.
6. Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya perlindungan
hukum terhadap hak ulayat masyarakat adat Suku Baduy dan kontribusinya dalam
menjaga keberlanjutan budaya dan keberlanjutan lingkungan alam.
7. Untuk menggali keterkaitan antara teori habitus Pierre Bourdieu dengan dinamika
masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi pengaruh globalisasi, serta
mengevaluasi relevansi dan kontribusinya dalam konteks ini.
8. Untuk memberikan rekomendasi kebijakan dan tindakan yang dapat mendukung
perlindungan, pemeliharaan, dan penguatan kearifan lokal masyarakat adat Suku Baduy
dalam menghadapi gempuran globalisasi.
Dengan tujuan-tujuan tersebut, makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang
lebih baik tentang dinamika masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi tantangan yang
ditimbulkan oleh globalisasi, serta memberikan dasar untuk melindungi dan mempertahankan
warisan serta identitas budaya dari masyarakat adat suku Baduy itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Terdapat dua istilah berbeda yang digunakan dalam penggambaran jenis masyarakat
suku Baduy, yakni Baduy Luar dan Baduy Dalam. Sesuai dengan arti harfiahnya, Baduy Dalam
atau yang juga dikenal dengan istilah Baduy Tangtu merupakan masyarakat Baduy yang
menempati wilayah Baduy bagian dalam atau pedalaman yang jaraknya cenderung lebih jauh
dengan peradaban modern. Masyarakat adat suku Baduy Dalam digambarkan sebagai
masyarakat yang masih sangat mematuhi dan menjaga kemurnian dari nilai-nilai kearifan lokal
yang diwarisi oleh nenek moyang mereka. Masyarakat Baduy Dalam merupakan representasi
asli dari masyarakat Baduy yang menjaga kearifan lokal leluhur mereka dengan
mempertahankan adat istiadatnya dan menutup diri mereka dari pengaruh-pengaruh eksternal
yang mereka anggap sebagai sebuah ancaman yang dapat merusak nilai dan tradisi yang
mereka percayai.
Sedangkan, Baduy Luar atau juga yang dikenal dengan istilah Baduy Penamping
merupakan gambaran masyarakat adat suku Baduy yang lebih terbuka pada pengaruh budaya
luar. Meskipun mungkin gambaran masyarakat Baduy Luar bersifat kontradiktif dengan nilai-
nilai leluhur dan kearifan lokal masyarakat adat suku Baduy, namun terdapat anggapan yang
dapat dijadikan sebagai argumentasi bahwa eksistensi dan peran dari masyarakat adat Baduy
Luar memiliki dampak positif bagi posisi masyarakat adat suku Baduy secara keseluruhan di
tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang
setara dengan warga negara Indonesia lainnya. Hal ini mengacu pada suatu literatur karya
Kurnia & Sihabuddin dalam Bahrudin (2021) yang menyatakan bahwa keberadaan masyarakat
Baduy Luar berperan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung, dan penyambung
silaturahmi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar untuk menyalurkan hak dan
partisipasinya sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya, hal
ini tercermin dalam susunan kepala desa yang dijabat oleh warga dari Baduy Luar sebagai
sosok yang memiliki tugas untuk menjembatani segala bentuk informasi antara lembaga adat
dengan pemerintah.
Selain dibedakan melalui nilai-nilai yang merupakan hal non-bendawi, secara fisik dan
kasat mata, masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dengan mudah dibedakan dengan
melalui cara berpakaian mereka yang cukup terlihat mencolok. Masyarakat suku Baduy Dalam
kerap berpakaian putih dengan ikat kepala yang juga berwarna putih, sedangkan pada
masyarakat suku Baduy Luar kerap terlihat mengenakan ikat kepala berwarna gelap seperti
hitam atau biru tua. Perbedaan fisik ini juga secara tidak langsung menggambarkan nilai-nilai
yang mereka bawa, yakni warna putih yang menjadi ciri khas masyarakat Baduy Dalam
mencerminkan kemurnian diri mereka yang tidak tersentuh oleh pengaruh luar. Sedangkan,
warna gelap yang menjadi ciri khas dari masyarakat Baduy Luar menggambarkan
kecenderungan mereka yang telah terbuka dan terkontaminasi dengan pengaruh dari luar.
Lokasi hunian masyarakat Baduy Dalam terbatas hanya pada tiga kampung saja yakni
di kawasan Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Sedangkan letak hunian masyarakat adat suku
Baduy Luar tersebar pada 55 kampung seluas Desa Kanekes. Letak geografisnya yang berada
di kawasan sungai Ciujung, dilatarbelakangi oleh sisi historisnya yang dahulu, di sungai
Ciujung ini dijadikan sebagai lintasan untuk mengangkut hasil bumi dalam pelabuhan dagang.
Pangeran Pucuk Umum, yang mana dikenal sebagai penguasa wilayah Baduy zaman dahulu
kala, memerintahkan bala tentara yang ditugaskan khusus untuk melakukan patroli dan
penjagaan ketat kawasan daerah aliran Sungai Ciujung agar tetap bersih. Maka dari itu,
kebersihan dan kelestarian aliran sungai di kawasan Baduy hingga sekarang masih menjadi
fokus penting dalam elemen pelestarian kearifan lokal masyarakat adat suku Baduy.
2.2 Tradisi dan Kearifan Lokal Sebagai Bentuk Way of Life Masyarakat Adat Suku Baduy
Masyarakat adat suku Baduy merupakan salah satu masyarakat adat yang terkenal
dengan cara menjalani segala aspek dalam kehidupannya berlandaskan pada etika lingkungan.
Etika lingkungan sendiri didefinisikan sebagai petunjuk atau arah perilaku praktis manusia
dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dalam konsep ini, manusia diharapkan
untuk dapat membatasi dan mengatur tingkah laku dan segala upaya yang dilakukan untuk
mengendalikan seluk beluknya agar berada tetap pada batas kepentingan dan keseimbangan
lingkungan. Kearifan lokal memegang peranan yang sangat penting dalam pelestarian
lingkungan manusia yang masih memegang era telemen-elemen adat dan budayanya, termasuk
pada suku Baduy yang dikategorikan sebagai salah satu komunitas masyarakat adat yang maish
menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi leluhur sebagai bentuk kearifan lokal setempat.
Sungai memiliki peran sentral bagi kehidupan masyarakat adat suku Baduy, sebagai
tempat untuk membasuh tubuh, mencuci pakaian, mencuci alat makan, hingga menggunakan
air sebagai kebutuhan hidup. Maka dari itu, pemeliharaan kebersihan sungai menjadi tanggung
jawab yang dipikul bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari way of life atau
cara hidup sebagai kearifan lokal masyarakat adat suku Baduy. Bagi masyarakat Baduy Dalam
maupun Baduy Luar, kebersihan dan kelestarian sungai merupakan harga mati yang harus
mereka jaga apapun yang terjadi. Pentingnya kebersihan dan pelestarian sungai dalam
kehidupan masyarakat adat suku Baduy tercermin melalui praktik-praktik yang mereka
lakukan sebagai upaya untuk menjaga kebersihan dan pelestarian sungai sebagai cerminan dari
kearifan lokal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat suku Baduy.
Pikukuh karuhun
Kearifan lokal masyarakat adat suku Baduy yang terkait dengan kelestarian dan
kebersihan alam lingkungan kawasan Baduy sedikit banyak diimplementasikan melalui norma
dan adat masyarakat adat suku Baduy. Terdapat bentuk ketentuan dan larangan adat yang
mengatur segala bentu norma dan adat masyarakat Baduy yang disebut sebagai pikukuh
karuhun. Pikukuh karuhun sendiri secara harfiah bahasa sunda diambil dari kata pikukuh yang
berarti ketetapan atau aturan dan karuhun yang berarti leluhur, yang apabila digabungkan,
pikukuh karuhun artinya adalah aturan yang diturunkan dari leluhur. Aturan tersebut berisikan
larangan adat yang mengatur segala bentuk norma kehidupan masyarakat adat suku Baduy.
Aturan-aturan ini pada dasarnya bersumber pada sistem kepercayaan mereka dalam keyakinan
sunda wiwitan.
Unsur budaya sunda yang masih sangat kental dalam dominasi kehidupan masyarakat
adat suku Baduy dijadikan sebagai pelafalan dalam pikukuh karuhun yang mana isi-isinya
harus ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat adat suku Baduy secara keseluruhan.
Ujaran-ujaran dalam pikukuh karuhun tersebut dinyatakan melalui wawancara langsung
dengan warga Baduy bernama Jaro Dainah dan Panggiwa pada tahun 2009 oleh Senoaji dalam
jurnalnya tahun 2010, yakni sebagai berikut:
Dasa sila atau yang secara harfiah berarti sepuluh sila merupakan pedoman lainnya
yang diterapkan oleh masyarakat adat suku Baduy dalam aspek kehidupannya. Menurut catatan
Djoewisno dalam Senoaji tahun 2010, tercatat sebagai berikut:
Masyarakat Baduy yang melanggar pikukuh karuhun dan dasa sila yang telah
dijabarkan sebelumnya, akan memperoleh bentuk timbal balik hukuman yang setimpal dengan
perbuatan mereka. Hukuman-hukuman tersebut diberikan oleh sang ketua adat atau yang
dikenal dengan sebutan puun yang mana memiliki kedudukan sebagai pemimpin dari
pelaksanaan dan penetapan aturan serta tata cara pelaksanaan aturan dan norma adat yang
berlaku pada kehidupan masyarakat adat suku Baduy. Terdapat berbagai jenis hukuman yang
berlaku pada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, mulai dari hukuman pekerjaan fisik,
pengasingan, hingga dikeluarkan secara mentah-mentah dari komunitas masyarakat adat suku
Baduy itu sendiri.
Masyarakat adat suku Baduy memiliki aktivitas ekonomi yang didominasi oleh bidang
agraris, yakni berladang. Mereka menggunakan sistem perladangan yang sesuai dengan
kepercayaan dan ideologi mereka untuk menjaga keseimbangan alam. Mereka menanam padi
dan tanaman lainnya sesuai dengan kontur lereng tanpa membuat terasering, serta
mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Aktivitas pertanian melibatkan partisipasi laki-
laki sebagai pelaku utama, sementara perempuan membantu dalam bidang pertanian. Terdapat
larangan-larangan dalam pertanian, seperti tidak boleh menggunakan cangkul, menanam
singkong, menggunakan bahan kimia, pergi ke ladang pada hari tertentu, dan membuka ladang
di hutan tutupan atau hutan kampung.
Hasil pertanian mereka digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti padi yang
dikeringkan dan disimpan dalam lumbung padi yang disebut Leuit. Setiap keluarga memiliki
satu atau lebih lumbung padi tersebut. Padi yang disimpan digunakan untuk kebutuhan sehari-
hari dan upacara adat. Lumbung padi merupakan milik perorangan, dan penggunaannya telah
direncanakan secara bersama agar tidak ada keluarga yang kekurangan atau kelebihan
persediaan. Selain itu, membuka lumbung padi membutuhkan izin dari puun atau
pemimpin adat masyarakat adat suku Baduy
Terkait dengan aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Baduy yang menyandarkan
kehidupan mereka pada kehidupan berladang, terdapat suatu mitologi yang menjadi landasan
kepercayaan masyarakat Baduy yang hidup di tengah budaya agraris yakni mengenai mitologi
Nyi Pohaci. Apabila pada kebudayaan masyarakat Jawa kita mengetahui mitologi mengenai
Dewi Sri, pada kepercayaan masyarakat Baduy, terdapat suatu mitologi yang cukup terkenal
terkait Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Nyi Pohaci sendiri merupakan simbolisasi dari leluhur atau
karuhun yang mereka hormati sebagai pemberi kesejahteraan dan pelindung bagi segala aspek
kehidupan masyarakat Baduy.
Menurut keyakinan masyarakat Baduy, mitologi atau mitos ini cukup terkait dengan
sistem religi masyarakat Sunda secara keseluruhan dimana memandang Nyi Pohaci ini sebagai
simbolisme kesejahteraan penanaman dan panen padi bagi masyarakat Baduy. Penghormatan
masyarakat Baduy mengenai mitologi Nyi Pohaci ini tergambar dalam prosesi ritual ngaseuk,
ngawalu, dan ngalaksa (Nadroh, 2018). Ngaseuk sendiri merupakan prosesi awal dimulainya
bercocok tanam padi, dimana melibatkan kegiatan ngahudangkeun, nurunkeun binih,
ngalemar, ngareremokeun, dan ngaseuk. Ritual ini bertujuan untuk meminta restu pada Nyi
Pohaci untuk memberikan kelancaran, perlindungan, dan menyuburkan pada yang ditanam.
Kemudian, terdapat pula ritual ngawalu atau kawalu dimana ritual ini dilaksanakan
seusai panen dan seusai padi yang sudah dipanen dimasukkan ke dalam leuit atau lumbung.
Pada ritual ini, seluruh masyarakat Baduy kecuali masyarakat kampung Cikertawarna
melaksanakan puasa setiap tanggal 17 bulan pertama, tanggal 18 bulan kedua, dan tanggal 17
bulan ketiga sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur kepada Nyi Pohaci. Terakhir,
terdapat ritual lain yang disebut dengan ritual ngalaksa, dimana ritual ini merupakan penutup
dari rangkaian kegiatan perladangan masyarakat Baduy selama setahun penuh, dengan
pembuatan laksa atau lontong yang terbuat dari 7 macam padi yang dianggap memiliki
kekuatan magis dari bumi. Ritual ini dilaksanakan pada akhir bulan ketiga selama 7 hari.
2.3 Globalisasi: Dampak bagi Perubahan Budaya dan Identitas Masyarakat Adat Suku
Baduy
Lebih lanjut, ketersediaan teknologi modern dan media massa juga berperan penting
dalam memperkenalkan gaya hidup, nilai, dan ide-ide baru kepada masyarakat Baduy. Akses
yang mudah terhadap informasi dan pengaruh eksternal melalui internet, televisi, dan media
sosial mampu merangsang perubahan pandangan dan perilaku. Namun, tidak semua anggota
masyarakat Baduy memiliki daya tahan yang sama terhadap pengaruh globalisasi dalam
menjaga keutuhan norma adat mereka. Beberapa individu mungkin lebih terbuka terhadap
perubahan dan terpengaruh oleh tren global, sementara yang lain mungkin lebih kokoh dalam
mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Penting untuk dicatat bahwa tidak setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Baduy dianggap sebagai pelanggaran norma adat. Masyarakat Baduy memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan memilih untuk mempertahankan nilai-nilai
yang relevan dengan konteks zaman modern tanpa mengorbankan identitas budaya mereka.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi, sangat penting bagi masyarakat Baduy untuk
melakukan introspeksi dan dialog antargenerasi tentang nilai-nilai, norma, dan tradisi adat
mereka. Dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai adat dan pengakuan terhadap
akulturasi yang selektif, masyarakat Baduy dapat dengan bijak memilih untuk memperkuat
identitas budaya mereka tanpa mengorbankan inti dan integritas norma adat yang merupakan
elemen krusial bagi identitas mereka.
Isinya ttg potensi wisata dan exposure masy luas thdp baduy, kebutuhan hidup mrk yg smakin
konsumtif, trs baru jelasin dampaknya kyk gimana, trakhir sebutin ttg dampak negatifnya pd
hal ulayat masy baduy
Dalam konteks eksistensi dan sejarah masyarakat Baduy Luar, peran mereka sebagai
jembatan dengan dunia luar dan partisipasi mereka dalam kepentingan dunia luar berdampak
pada dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy Luar
memegang peranan penting sebagai mediator antara masyarakat Baduy secara keseluruhan
dalam menjalin interaksi dengan dunia luar. Sebagai agen perantara, mereka berfungsi sebagai
penghubung antara masyarakat Baduy yang memegang teguh nilai-nilai adat dan masyarakat
di luar yang mungkin saja sudah terpengaruh oleh globalisasi. Melalui peran ini, mereka
membawa masukan, informasi, dan pengalaman dari dunia luar ke dalam komunitas Baduy
dengan menggunakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai penyaringnya.
Partisipasi masyarakat Baduy Luar dalam kepentingan dunia luar juga dapat diamati
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pariwisata, dan dialog antarbudaya.
Masyarakat Baduy luar terlibat dalam perdagangan, kerjasama pembangunan, dan pertukaran
produk budaya dengan entitas di luar komunitas Baduy. Dalam upaya memenuhi kebutuhan
ekonomi dan memperkuat perekonomian mereka, mereka menghadapi tantangan dalam
menjaga keseimbangan antara modernitas dan nilai-nilai adat yang mereka junjung tinggi.
Selain itu, partisipasi masyarakat Baduy luar dalam kepentingan dunia luar juga menghadirkan
kesempatan untuk berdialog dengan pemangku kepentingan eksternal, seperti pemerintah,
organisasi non-pemerintah, dan akademisi. Dalam dialog ini, masyarakat Baduy Luar memiliki
kesempatan untuk menyampaikan kepentingan, aspirasi, dan kebutuhan mereka sebagai
masyarakat adat, serta menjaga kesinambungan dan kelestarian budaya mereka.
Dalam konteks sejarah, eksistensi masyarakat Baduy Luar dan peran mereka sebagai
jembatan dengan dunia luar merupakan hasil dari evolusi dan adaptasi dalam menghadapi
perubahan zaman. Perjalanan sejarah telah membentuk dinamika hubungan antara masyarakat
Baduy Luar dengan masyarakat di luar komunitas mereka, memungkinkan mereka untuk
menjaga identitas budaya mereka sambil tetap relevan dalam konteks globalisasi. Keterlibatan
masyarakat Baduy luar dalam dunia luar tidaklah tanpa konsekuensi. Proses akulturasi,
perubahan nilai, dan pengaruh eksternal yang terjadi dalam interaksi dengan dunia luar juga
dapat menimbulkan risiko terhadap kelestarian norma adat dan identitas budaya masyarakat
Baduy secara keseluruhan. Oleh karena itu, peran mereka sebagai jembatan dan partisipasi
mereka harus diperhatikan secara bijaksana untuk memastikan keberlanjutan dan keutuhan
nilai-nilai adat yang menjadi warisan kultural yang berharga bagi masyarakat Baduy.
Globalisasi secara khusus memiliki dampak yang komplek terhadap hak ulayat
masyarakat adat suku Baduy, yang mencakup pengaruh budaya eksternal, akses terhadap
sumber daya alam, perubahan dalam tata kelola tradisional, dan pertentangan kepentingan
dengan pihak eksternalMeskipun demikian, globalisasi juga memberikan peluang bagi
masyarakat Baduy dalam memperkuat dan mempromosikan hak ulayat mereka melalui
partisipasi dalam forum global dan dukungan dari masyarakat internasional yang peduli
terhadap hak asasi manusia dan masyarakat adat. Pemerintah dan lembaga terkait memiliki
peran penting dalam mengakui, melindungi, dan memperkuat hak ulayat masyarakat Baduy
dalam konteks globalisasi, dengan memastikan keberlanjutan identitas budaya, pengelolaan
sumber daya alam yang berkelanjutan, dan akses yang adil terhadap manfaat ekonomi yang
terkait dengan penggunaan sumber daya tersebut.
Hak ulayat sendiri merujuk pada hak-hak kolektif yang dimiliki oleh masyarakat adat
yang meliputi tanah, wilayah, serta sumber daya alam yang secara tradisional dikelola dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat itu sendiri. Perihal legalitas
eksistensi masyarakat adat di Indonesia, telah tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang menyatakan bahwa
negara mengakui serta menghormati setiap kesatuan masyarakat adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta prinsip
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitu juga dalam pasal 28 I ayat (3)
UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa mengenai identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional harusnya dihormati selaras dengan perkembangan yang terjadi di zaman yang
berjalan pada perabadan (Rona, 2023:216)
Pembuatan dan pengesahan dari pasal-pasal ini tak jauh dari perjuangan aspirasi dan
demokrasi masyarakat Baduy Luar sendiri sebagai mediator dalam menyuarakan hak dan
kewajiban mereka sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia yang adil dan majemuk.
Perda sebagai salah satu hukum yang melindungi hak ulayat masyarakat adat suku Baduy
diharapkan menjadi pemantik dari peraturan-peraturan lainnya yang mampu mengatasi
berbagai permasalahan terakit masyarakat adat dan awalan positif bagi pemerintah pusat dan
daerah dalam memperhatikan permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat.
2.6 Keterkaitan Teori Habitus Pierre Bourdieu dengan Dinamika Masyarakat Adat Suku
Baduy dalam Menghadapi Gempuran Globalisasi
Habitus merupakan hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang
dibatinkan (Siregar, 2016). Habitus lahir akibat adanya sebuah proses sosialisasi dalam suatu
masyarakat yang melibatkan pembelajaran dan pengasuhan. Keterkaitan antara Teori habitus
yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dengan dinamika masyarakat adat suku Baduy dalam
menghadapi gempuran globalisasi melibatkan pemahaman tentang bagaimana struktur mental
yang terinternalisasi membentuk persepsi, pemikiran, dan tindakan mereka. Teori habitus
menekankan bahwa individu dalam masyarakat membentuk pola perilaku dan keyakinan yang
terikat oleh nilai-nilai, norma, dan praktik sosial yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi.
Berbicara mengenai konteks masyarakat adat suku Baduy, habitus menjadi landasan
yang berperan penting dalam menjaga identitas dan keberlanjutan budaya mereka dalam
menghadapi perubahan global. Habitus yang tercermin dalam pandangan mereka terhadap
alam, keberlanjutan ekologi, dan gaya hidup sederhana menjadi pijakan untuk mengambil
keputusan yang konsisten dengan tradisi adat dan kelestarian lingkungan. Namun, di tengah
gempuran globalisasi yang membawa perubahan sosial, teknologi, dan pengaruh budaya dari
luar, habitus masyarakat Baduy juga menghadapi tantangan. Adopsi nilai-nilai global dapat
memicu konflik dan ketegangan dengan nilai-nilai tradisional yang mereka anut. Dalam
konteks ini, pergeseran dalam habitus masyarakat Baduy dapat mengancam keberlanjutan
budaya dan lingkungan mereka.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku Baduy merupakan suatu entitas masyarakat adat yang mempertahankan dan
menjalankan tradisi serta kearifan lokal sebagai bentuk way of life yang komprehensif,
mencakup sistem pemerintahan adat, norma dan ketentuan adat, sistem kepercayaan, sistem
pendidikan, aktivitas ekonomi dan sosial, serta mitologi lokal berupa kisah Nyi Pohaci. Dalam
konteks globalisasi, terdapat dampak yang signifikan terhadap perubahan budaya dan identitas
masyarakat adat Suku Baduy. Pengaruh nilai-nilai global dalam aspek kehidupan mereka
berpotensi mengakibatkan pergeseran paradigma dan cara hidup yang berpotensi mengancam
keberlanjutan budaya dan identitas adat mereka.
Selain itu, terdapat keterkaitan yang substansial antara Teori Habitus Pierre Bourdieu
dengan dinamika masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi pengaruh globalisasi.
Konsep Habitus memberikan wawasan tentang bagaimana struktur mental dan nilai-nilai
internal yang terbentuk dalam masyarakat adat mempengaruhi sikap, tindakan, serta
penyesuaian mereka terhadap perubahan eksternal yang terjadi. Secara keseluruhan,
kesimpulan ini menekankan pentingnya menjaga dan melindungi kearifan lokal serta hak-hak
masyarakat adat Suku Baduy dalam menghadapi perubahan yang ditimbulkan oleh fenomena
globalisasi. Hal ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, masyarakat adat, dan berbagai
pemangku kepentingan lainnya guna memastikan keberlanjutan budaya, identitas, serta hak
ulayat masyarakat adat Suku Baduy.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin, B., & Zurohman, A. (2021). Dinamika kebudayaan Suku Baduy dalam Menghadapi
Perkembangan Global di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Provinsi Banten. Journal Civics and Social Studies, 5(1), 31-47. Diakses melalui
https://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/journalcss/article/view/795
Mukrim, A., Maulana, U., Firdaus, M. N., & Tachril, M. I. Dilema Transformasi Kearifan
Lokal Masyarakat Adat Baduy-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada. Diakses
melalui
https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=0cVyEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1
&dq=dinamika+masyarakat+adat+baduy&ots=04GNp5cdmy&sig=paA5GTfsTRGbv
qUg2AV0p3Ual-8
Nadroh, S. (2018). Pikukuh Karuhun Baduy dinamika kearifan lokal di tengah modernitas
zaman. Jurnal Pasupati, 5(2), 196-216. Diakses melalui
http://www.ojs.stahdnj.ac.id/index.php/pasupati/article/view/117
Njatrijani, R. (2018). Kearifan lokal dalam perspektif budaya Kota Semarang. Gema
Keadilan, 5(1), 16-31. Diakses melalui
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/3580
Rona, W. (2023, June). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy
Ditinjau Dari Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 Tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. In Prosiding Seminar Nasional
Komunikasi, Administrasi Negara dan Hukum (Vol. 1, No. 1, pp. 215-220). Diakses
melalui https://e-jurnal2.lppmunsera.org/index.php/senaskah/article/view/27
Senoaji, G. (2010). Dinamika sosial dan budaya masyarakat baduy dalam mengelola hutan dan
lingkungan. Bumi Lestari Journal of Environment, 10(2). Diakses melalui
https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/%20article/view/134
Siregar, M. (2016). Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu. An1mage Jurnal Studi
Kultural, 1, 84-87. Diakses melalui
https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=hFdHDAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA8
4&dq=teori+habitus+pierre+bourdieu+dalam+kajian+budaya&ots=zcvrqyhbHe&sig=
G57kYDk9vhgF7zh8vlE-cuXSkGY
Suparmini, S., Setyawati, S., & Sumunar, D. R. S. (2013). Pelestarian lingkungan masyarakat
Baduy berbasis kearifan lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, 18(1). Diakses melalui
https://journal.uny.ac.id/index.php/humaniora/article/view/3180
Sutoto, S. (2017). Dinamika Transformasi Budaya Belajar Suku Baduy. Jurnal Penelitian
Pendidikan, 17(2). Diakses melalui
https://ejournal.upi.edu/index.php/JER/article/view/8249