Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam
suku-suku di Indonesia merupakanbagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
segala keaneka- ragaman dan tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan primordial,
kesukuandan kedaerahan. Proses pembangunan yang sedang berlangsung
menimbulkanperubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga mental
manusiapun terkenapengaruhnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
menimbulkan perubahankondisi kehidupan manusia. Maka dari itu diperlukan
sebuah peranan budaya lokaluntuk mendukung ketahanan budaya nasional itu
sendiri.
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam
kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah
hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam
berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari
nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat
Wietoler dalam Akbar (2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya,
perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan
berkembang secara turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau budaya
daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-
unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam
pelaksanaan pembangunanan berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi
membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam
mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah
ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali
tidak melibatkan masyarakat.

1.2 Rumusan Masah


Dari latar belakang di atas maka dapat di rumuskan masalahnya antara lain:

1
1. Apakah definisi dari sistem kearifan lokal ?

2. Bagaimanakah kearifan lokal sebagai aset budaya bangsa ?

3. Bagaimanakah kearifan lokal dan implentasinya dalam kehidupan


masyarakat ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari sistem kearifan local.

2. Untuk mengetahui kearifan lokal sebagai aset budaya bangsa.

3. Untuk mengetahui kearifan lokal dan implentasinya dalam kehidupan


masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sistem Kearifan Lokal


Ada beberapa definisi system kearifan local menurut beberapa ahli, di
antaranya ialah: Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah
demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup
lama ( Sunaryo dan Laxman (2003). Menurut Keraf (2002), kearifan lokal atau
kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan
di dalam komunitas ekologis.
Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat
biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam
Adimiharja, 2004). Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem
pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang khas
milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai
hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya
(Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004). Jadi, konsep sistem kearifan lokal
berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena
hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat
lokal, tradisional, atau asli, melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman
terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal yang telah dianggap
mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang
dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003).
Pengetahuan lokal ternyata bisa menjadi salah satu solusi mengatasi
dampak perubahan iklim disektor pertanian terutama dalam mengatasi krisis
pangan ditingkat komunitas. Sebuah penelitian terbaru dari International Institute
for Environment and Development (IIED) mengungkapkan kearifan lokal yang
diajarkan turun temurun telah menuntun masyarakat tradisional yang terbelakang

3
sekalipun mampu bertahan menghadapi perubahan iklim. Praktek-praktek
tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan dan
sebagainya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan lingkungan. Para petani
telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan
cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti
kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi
ketidakpastian di masa depan. Pemuliaan varietas jenis baru secara lokal ini
dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati.
Metode pertanian yang dipraktekkan oleh nenek moyang diberbagai
komunitas masyarakat adat termasuk di Indonesia hanya berfokus pada apa yang
diberikan alam pada mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu
manis dan berbagai tumbuhan liar lainnya sudah cukup untuk kebutuhan
masyarakat saat itu. Contoh lain yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mempertahan kearifan lokal antara lain:
1. Penggunaan Ruang dalam Masyarakat Baduy
Penggunaan ruang dalam masyarakat Baduy secara umum dibagi kedalam
tiga zona, yaitu: Zona Bawah sebagai pemukiman, Zona Tengah digunakan untuk
bercocok tanam dan Zona Atas digunakan sebagai hutan belantara dan tempat
pemujaan (Syarif Muis, 2010)

2. Sistem Perladangan Masyarakat Baduy


Menurut orang baduy atau orang Kanekes, sistem berladang mereka
adalah dengan tidak melakukan perubahan besar-besaran terhadap alam, tetapi
mengikuti alam yang ada. Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi tetapi
mengandalkan air hujan, karena dalam kepercayaan mereka ada larangan
penggunaan air sungai untuk keperluan penanaman tanaman diladang. (Syarif
Muis, 2010).

3. Pelestarian hutan mangrove


Hutan mangrove yang tumbuh dipinggiran pantai (laut) sangat bermanfaat
untuk terus dikembangkan dan dilestarikan karena tanaman ini dapat menyimpan
carbon dan juga dapat menahan ketinggian air laut.

4
Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-
pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas
semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk
mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang
didamba-damba oleh manusia. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami
bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur
dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu
sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari
generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat
cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan
atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat
lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu
sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat
disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.

2.2 Kearifan Lokal Sebagai Aset Budaya Bangsa

Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik
masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu
mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-
masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi
kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan
mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti
etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat
muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan
perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi,
dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-
etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki

5
budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan
kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke
dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga


prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat.
Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi
dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan
kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal
ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan
berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang


dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing
daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas
budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan
intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai


meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya
pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan
dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa pada
tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris
mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas,

6
bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk
komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung


kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai
sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan
bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam
memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip
hidup Piil Pesenggiri. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan
kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak
kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum.
Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk
mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya
melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa
misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada
realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih
hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada
gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih
bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit
mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka
pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap


kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat
adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui
penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya
kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif
kearifan lokal, di mana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan
sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi
prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya Nemui-Nyimah sebagai
kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan
hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga

7
diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang
bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal
nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus
disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat
menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset
(modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk
meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya dalam keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi


menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan
perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran
terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam
penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan
antagonis berbagai kepentingan hidup. Sebagaimana contoh pada kehidupan
masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen
budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-
elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula
yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang
elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang
baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil
kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-
kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar
meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup
manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus
mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua
pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.

8
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan
lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi
penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik
dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.

2.3 Kearifan Lokal Dan Implentasinya Dalam Kehidupan


Masyarakat

Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam


menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau
situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau
situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial
merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini
kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan
memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu,
kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat
manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan
berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi
nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya.
Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

1. Piil Pesenggiri dan Implentasinya

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya


luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup

9
masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk
memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan
harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau
merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang
memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan,
penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah
kehidupan.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu


mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada
prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul.
Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu
yang mulya di tengah-tengah masyarakat. Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip
kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan
nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan
tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah
(prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka
bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan), dan sakai sambaian
(prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung
Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom
mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak
waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras);
bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan


mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami
dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil
Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan
mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih
unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan
seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih
mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya
diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab,

10
mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan
orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah


kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai
positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup
dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu
membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi,
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran
tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani,
2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang
masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga
seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja
yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang
pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi
panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak
keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang
telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan
adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak,
Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian

11
pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat
yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat


Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud
prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas
identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk
dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap
perilaku dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata
kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal
dari kata benda simah, kemudian menjadi kata kerja nyimah yang berarti suka
memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai
sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti
material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas
kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta
silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari
masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan
keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan,
kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang
dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan
keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang
tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini
lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan.
Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan,

12
tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak
merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang
berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur
menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat
diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama.
Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung
mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan
bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul
dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka
bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap
toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang
lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-
gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-
nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah
nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan
embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif
terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang
pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan
prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian
menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk
kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk
mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat.


Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai
pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan
melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan

13
demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya
untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan
dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam
adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan
informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang


dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya
cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan
umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami
makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah
menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai
kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak


mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini
menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan
memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai
manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai
sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap
saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian
menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Ternyata bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada
dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah,
Banten ada kiyai dan jawara, di Madura ada carok, di Bugis ada syiri.

14
Di Jawa, lebih banyak lagi ragam nilai-nilai budaya yang senantiasa dijadikan
pedoman hidup; ada 2 (dua) pedoman hidup orang jawa yang populer dari sekitar
10 (sepuluh) lebih yang ada, yaitu:

1. tri ojo (ojo kagetan/jangan gampang kaget/tawaqkal, ojo gumunan/jangan


mudah eran/arif/bijak, dan ojo dumeh/jangan mentang2/rendah hati)

2. sugih tampo bondo (kaya tanpa didasari kebendaan), digdoyo/sekti tanpo


aji (berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan), ngluruk tampo
bolo (berjuangan tanpa perlu membawa massa), dan menang tampo
ngasorake (menang tanpa mempermalukan/merendahkan yang lain).

Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh pamer kekayaan (sugih
tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu
demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu
unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake). Konsep ini dirumuskan para
bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa rakyat. Karena itu, rakyat
tidak boleh disakiti. Tetapi kenyataannya banyak rakyat ditekan sedemikian rupa,
dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas kebijakan yang sepihak.

Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat jawa, apabila ada resi
yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe),
menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang
hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri,
menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik.
Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi
mata hari).

Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan
cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos
kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun
jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan.
Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol dengan

15
maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut
etnik atau bangsa.

Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut
memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan
menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan
dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-
formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan
prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan
berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat. Dalam prakteknya kearifan lokal itu
harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk
penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Artinya, harus
berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku korupsi, menggelapkan uang
negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi
memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan roda
kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain contohnya gemar
menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

16
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam
kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi
dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran,
larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang
perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk
knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan
pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.

Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu bangsa adalah
perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme,
keserakahan, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada
kelompok masyarakat daerah masing-masing, dan bersedia berbagi dengan pihak
lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan harus
mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam janji, tapi harus
mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada
kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah
antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan
secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik,
damai, adil dan sejahtera.

Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif nilai-nilai


kearifan lokal. Keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalarn setiap
aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai budaya lain
yang menyertainya. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai
keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan
prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang perlu
dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui
kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme,
keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang
sama. Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa yang majernuk masing-masing
merajut kebhinnekaan, kemudian menjadikannya sebagai semangat nasionalisme
yang kokoh. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan

17
disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh
bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.

Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar


proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan dan
pertumbuhan ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat,
mendukung proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong
munculnya pernerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif, serta
mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Jojo. kearifan lokal. http://merdekaahmad.blogspot.com/2012/11/kearifan-


lokal.html.

Johan Iskandar, Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal, Kompas, 6 Oktober


2009.
Ending. System Kearifan Lokal.
http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php.

19

Anda mungkin juga menyukai