PENDAHULUAN
1
1. Apakah definisi dari sistem kearifan lokal ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari sistem kearifan local.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
sekalipun mampu bertahan menghadapi perubahan iklim. Praktek-praktek
tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan dan
sebagainya yang kesemuanya mendukung keberlanjutan lingkungan. Para petani
telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan
cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti
kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi
ketidakpastian di masa depan. Pemuliaan varietas jenis baru secara lokal ini
dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati.
Metode pertanian yang dipraktekkan oleh nenek moyang diberbagai
komunitas masyarakat adat termasuk di Indonesia hanya berfokus pada apa yang
diberikan alam pada mereka berupa berbagai jenis tanaman seperti kopi, kayu
manis dan berbagai tumbuhan liar lainnya sudah cukup untuk kebutuhan
masyarakat saat itu. Contoh lain yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mempertahan kearifan lokal antara lain:
1. Penggunaan Ruang dalam Masyarakat Baduy
Penggunaan ruang dalam masyarakat Baduy secara umum dibagi kedalam
tiga zona, yaitu: Zona Bawah sebagai pemukiman, Zona Tengah digunakan untuk
bercocok tanam dan Zona Atas digunakan sebagai hutan belantara dan tempat
pemujaan (Syarif Muis, 2010)
4
Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap
pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-
pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas
semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk
mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang
didamba-damba oleh manusia. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami
bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur
dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu
sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari
generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat
cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan
atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat
lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu
sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat
disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik
masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu
mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-
masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi
kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan
mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti
etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat
muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan
perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi,
dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-
etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki
5
budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan
kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke
dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
6
bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk
komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
7
diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang
bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal
nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus
disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat
menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset
(modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk
meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya dalam keadaan baik.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil
kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-
kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar
meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup
manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus
mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua
pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
8
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan
lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi
penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik
dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.
9
masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk
memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan
harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau
merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang
memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan,
penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah
kehidupan.
10
mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan
orang lain.
Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang
masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga
seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja
yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang
pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi
panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak
keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang
telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan
adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak,
Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian
11
pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat
yang bersangkutan.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata
kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal
dari kata benda simah, kemudian menjadi kata kerja nyimah yang berarti suka
memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai
sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti
material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas
kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta
silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari
masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan
keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan,
kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang
dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan
keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang
tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini
lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan.
Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
12
tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak
merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang
berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur
menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat
diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama.
Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung
mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan
bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul
dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka
bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap
toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang
lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-
gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-
nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah
nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan
embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif
terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang
pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan
prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian
menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk
kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk
mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
13
demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya
untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan
dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam
adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan
informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami
makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah
menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai
kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Ternyata bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada
dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah,
Banten ada kiyai dan jawara, di Madura ada carok, di Bugis ada syiri.
14
Di Jawa, lebih banyak lagi ragam nilai-nilai budaya yang senantiasa dijadikan
pedoman hidup; ada 2 (dua) pedoman hidup orang jawa yang populer dari sekitar
10 (sepuluh) lebih yang ada, yaitu:
Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh pamer kekayaan (sugih
tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu
demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu
unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake). Konsep ini dirumuskan para
bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa rakyat. Karena itu, rakyat
tidak boleh disakiti. Tetapi kenyataannya banyak rakyat ditekan sedemikian rupa,
dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas kebijakan yang sepihak.
Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat jawa, apabila ada resi
yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe),
menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang
hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri,
menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik.
Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi
mata hari).
Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan
cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos
kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun
jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan.
Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol dengan
15
maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut
etnik atau bangsa.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut
memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan
menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan
dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-
formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan
prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan
berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat. Dalam prakteknya kearifan lokal itu
harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk
penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Artinya, harus
berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku korupsi, menggelapkan uang
negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi
memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan roda
kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain contohnya gemar
menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
16
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam
kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi
dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran,
larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang
perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk
knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan
pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu bangsa adalah
perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme,
keserakahan, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada pada
kelompok masyarakat daerah masing-masing, dan bersedia berbagi dengan pihak
lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan harus
mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam janji, tapi harus
mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada
kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah
antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber kehidupan
secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih baik,
damai, adil dan sejahtera.
17
disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh
bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
18
DAFTAR PUSTAKA
19